Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Adanya
kelemahan atau ketidakmampuan pada 3 unsur tersebut dapat menyebabkan
jiwa seseorang terganggu bahkan bisa menjadi gangguan jiwa.
Pada mulanya gangguan jiwa dianggap suatu hal yang gaib, sehingga
penanganannya secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan kekuatan gaib. Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang terjadi
pada unsur jiwa yang manifestasinya pada kesadaran, emosi, persepsi dan
intelegensi. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu yang
sakit jiwa adalah aib dan memalukan, tidak bermoral bahkan tidak beriman.
Pada umumnya ada 7 masalah keperawatan antara lain gangguan konsep
diri: harga diri rendah, isolasi sosial: menarik diri, gangguan sensori persepsi:
halusinasi, perubahan proses pikir: waham, resiko perilaku kekerasan, resiko
bunuh diri dan deficit perawatan diri.
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagaian caman bagi individu (Stuart dan
Sundeen, 1995). Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan kunstruktif
pada saat terjadi dapat melegakan individu dan membantu orang lain untuk
mengerti perasaan yang sebenarnya sehingga individu tidak mengalami
kecemasan, stress dan merasa bersalah, dan bahkan merusak diri sendiri,
orang lain dan lingkungan. Dalam hal ini peran serta keluarga dalam
membantu menyelesaikan masalah sangat berperan penting, karena keluarga
merupakan orang yang terdekat. Namun peran perwat merupakan ujung
tombak dalam pelasanan kesehatan jiwa.
Masalah perilaku kekerasan banyak ditemukan pada pasien gangguan
jiwa, sering terjadi pada alasan masuk keluarga mengatakan pasien
mengamuk, marah-marah, merusak, mengancam bahkan melukai orang lain.
Hal tersebut memerlukan penanganan yang spesifik untuk mengarahkan

1
pasien dalam mengelola rasa marah yang maladaptive menjadi adative dan
konstruktif (Muhith, 2015).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perilaku kekerasan?
2. Apa saja bagian dari teori perilaku agresi?
3. Bagaimana rentang respon marah?
4. Apa penyebab perilaku kekerasan?
5. Bagaimana pohon masalah dari resiko perilaku kekerasan?
6. Bagaiamana tanda & gejala perilaku kekerasan?
7. Bagaiamana penatalaksanaan medis dari perilaku kekerasan?
8. Apa saja hal-hal yang dapat dilakukan apabila memiliki keluarga dengan
perilaku kekerasan?
9. Bagaimana peran keluarga dalam penanganan perilaku kekerasan ?
10. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan klien dengan resiko perilaku
kekerasan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari perilaku kekerasan.
2. Untuk mengetahui bagian dari teori perilaku agresi.
3. Untuk mengetahui rentang respon marah.
4. Untuk mengetahui penyebab perilaku kekerasan.
5. Untuk mengetahui pohon masalah dari resiko perilaku kekerasan.
6. Untuk mengetahui tanda & gejala perilaku kekerasan.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari perilaku kekerasan.
8. Untuk mengetahui hal-hal yang dapat dilakukan apabila memiliki keluarga
dengan perilaku kekerasan.
9. Untuk mengetahui peran keluarga dalam penanganan perilaku kekerasan.
10. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan klien dengan resiko
perilaku kekerasan.

2
BAB II

ISI & PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi Perilaku Kekerasan


Menurut Muhith (2015), kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk
perilaku agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap
hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk
pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi
adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau
ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku
kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa
tindakan menyerang, merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu
diekspresikan berupa tindak kekerasan menyerang orang lain (assault),
agresivitas terhadap diri sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan
narkoba (drugs abuse) untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri
juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau perilaku
agresi merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini, maka
perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal
dan fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih
menunjuk kepada suatu perangkat perasaan tertentu yang biasanya disebut
dengan perasaan marah (Stuart dan Sundeen, 1995).

Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk


melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis Marah merupakan
perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan / kebutuhan
yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman. (Keliat, 2010).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri

3
maupun orang lain (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan
kekerasan, ditujukan pada diri sendiri/orang lain secara verbal maupun non
verbal dan pada lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2013).

Suatu keadaan ketika individu mengalami perilaku yang secara fisik dapat
membahayakan bagi diri sendiri atau pun orang lain (Sheila L. Videbeck,
2008)

Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa


perilaku kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah yang mengakibatkan
hilangnya kontrol diri yang mengakibatkan individu bisa berperilaku
menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri
sendiri, orang lain dan lingkungan.

2. Teori Perilaku Agresi

Menurut Muhith (2015) ada beberapa teori mengenai perilaku agresi, yaitu :
a. Instinct theory, mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupak suatu
insting naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut, setiap manusia
memiliki insting kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat agresivitas
pada diri sendiri maupun orang lain. Saat ini teori ini telah banyak ditolak.
b. Drive theory, menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu
oleh faktor pencetus eksternal intuk survive dalam mempertahankan
eksistensinya. Menurut teori tersebut, tanpa agresi kita dapat punah atau
dipunahkan orang lain, namun teori ini pun banyak disangkal.
c. Social learning theory, menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan
hasil pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang kemudian
menjadi pola perilaku (learned behavior). Dalam perkembangan konsep
teori ini mengasumsikan juga bahwa pola respon agresi seseorang
memerlukan stimulus (impuls) berupa kondisi sosial lingkungan (faktor
psikososial) untuk memunculkan perilaku agresi. Namun bentuk stimulus
yang sama tidak selalu memunculkan bentuk perilaku agresi yang sama
pada setiap orang. Dengan kata lain, pola perilakuagresi seseorang

4
dibentuk oleh faktor pengendalian diri individu tersebut (internal control)
serta berbagai stimulus dari luar (impulses). Saat keseimbangan antara
kemampuan pengendalian diri dan besarnya stimulus terganggu, maka
akan membangkitkan perilaku agresi.

Agresi sendiri dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu :

a. Irritable aggression merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi


perasaan marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena
sirkuit pendek pada proses penerimaan dan memahami informasi
dengan intensitas emosional tinggi (directed against an available
target).
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai
sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk
mencapai suatu tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang
dilakukan secara sengaja dan terencana; seperti peristiwa
penghancuran menara kembar WTC di New York, tergolong dalam
kekerasan instrumental).
c. Mass aggression adalah tindakan agresi yang dilakukan oleh massa
akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada
saat massa berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan
individualitas orang-orang yang membentuk kelompok massa tersebut.
Manakala massa tersebut telah solid, maka bila ada seseorang
memelopori tindak kekerasan, maka secara otomatis semua akan ikut
melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasikan tindak kekerasan
tersebut bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator )
maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat,
2010).

5
3. Rentang Respon Marah

Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit


diri-sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan
kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan
melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang
sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus pula mengetahui tentang respon
kemarahan seseorang dan fungsi positif marah. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1995).
Secara umum,rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan
bagian dari rentang respon sosial,dimana pembagian adalalah sebagai berikut

1) Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat
dan individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan kata lain respon
adaptif adalah respon atau masalah yang masih dapat di toleransi atau
masih dapat di selesaikan oleh kita sendiri dalam batas yang normal.
2) Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma - norma dan
kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain di luar batas individu
tersebut.
Adaptasi Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kemarahan

Menurut ( Yosep, 2007) rentang respon marah yaitu :

a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
karena tidak reakstis atau hambatan dalam proses percakapan tujuan.

6
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya,
klien tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri
dan merasa kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa : muka kusam , bicara
kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
e. Ngamuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai
kehilangan kontrol diri, individu dapat merusak diri sendiri, orang lain
dan lingkungan.

4. Penyebab Perilaku Kekerasan


Menurut Muhith (2015), penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor antara
lain.

a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya., sesorang
yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam
dan cemas. Jika tidak mampu mengendalikan frustasi tersebut maka
dia meluapkannya dengan cara kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
(Keliat, 2010)
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive).

7
4) Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobilogi mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang
berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan
perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada neukleus
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing
mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya
berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, hendak
menerkam tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi, terjadi
kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk
interpretasi indera penciuman dan memori). Neurotransmiter yang
sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin,
norepineprin, asetilkolin, dan asam amino GABA. Faktor-faktor yang
mendukung adalah ; 1) masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan,
2) sering mengalami kegagalan, 3) kehidupan yang penuh tindakan
agresif, dan 4) lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan
yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan
orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab
yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu
perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri,
tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan

8
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana
gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang rebut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai,
pekerjaan dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Intraksi
social yang provokatif dan konflik dapat pula memicu tindakan kekerasan.

5. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan Effect

Perilaku KekerasanC Core problem

Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Cause

( Sumber: Keliat, B. A., 2010)

Perilaku kekerasan berawal dari halusinasi yang merupakan gangguan


persepsi yang dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi. Seperti halusinasi pendengaran yang sebenarnya tidak
didengar oleh orang lain yang normal namun individu yang tidak normal
mendengar sesuatu yang baik atau buruk kemudian jika buruk yang terjadi
misal individu mendengar bisikan untuk memukul orang, maka akan
dipersepsikan pada realita dengan individu tampak menggenggam
(mengepal) tangan, wajah merah, mata melotot, otot tegang, bicara kasar,
nada suara tinggi, merusak barang-barang, susah diatur, banyak bicara,
agresif. Apabila tidak dapat diatasi pasien akan mengarah kepada perilaku
kekerasandan akan berakibat pada risiko menciderai diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan.

9
6. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
Yosep (2007), mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial

10
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

7. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, mania
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.

2) Haloperidol (Haldol, Serenace)


Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles
de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg sehari
yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat. Kontraindikasinya depresi
sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping nya sering
mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
3) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.

4) ECT (Electro Convulsive Therapy)


ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada

11
skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

b. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi
(VIdebeck,2008) :
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang
direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan
klien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika
klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses
terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan
perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk
mendengarkan masalah pikiran serta perasaan klien. Mengetahui
apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien
(Videbeck, 2008).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi
bersama dalam kelompok individu. Para anggota kelompok
bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada
kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat bantuan
dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi
oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota
kelompok, klien dapat mempelajari cara baru memandang masalah
atau cara koping atau menyelesaikan masalah dan juga
membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang
penting (Videbeck, 2008).

12
c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptive, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga (Steinglass dalam Videbeck, 2008).
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal
antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu
memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan
personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha
lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap
yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien yaitu introduksi,
kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan
oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain
mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga
memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi
(Videbeck, 2008).

8. Hal-hal yang dapat dilakukan apabila Mempunyai Keluarga dengan


Perilaku kekerasan
a Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan
minat bakat anggota keluarga yang mengalami perilaku kekerasansehingga
diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku kekerasan.
b Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-pihak
terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam membantu
menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan kekerasan.

13
c Mengadakan kontrol khusus dengan perawat / dokter yang dapat membahas
dan melaporkan perkembangan anggota keluarga yang mengalami risiko
pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara pengajar dengan pihak
keluarga terutama orangtua.

9. Peran Keluarga dalam Penanganan Perilaku Kekerasan


a. Mencegah terjadinya perilaku amuk :
1) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota
keluarga
2) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota keluarga
yang berada dalam kesulitan
3) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
4) Menjalin keterbukaan
5) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
6) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha
memperbaiki kekurangan tersebut
7) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan pada
anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk membantu
kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
8) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum obat
anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan tentang
pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
9) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan
yang telah dilatih di rumah sakit.
10) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan klien untu mengendalikan
marah.
11) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan anggota
keluarga risiko pelaku kekerasan.
12) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir
kesempatan melakukan perilaku kekerasan
b. Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan klien :
1) Menarik nafas dalam

14
2) Memukul-mukul bantal
3) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan klien mengucapkan apa
yang tidak disukai klien
4) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
5) Mendampingi klien dalam minum obat secara teratur.
c. Bila Klien dalam PK
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu
membawa klien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa usahakan
dan utamakan keselamatan diri klien dan penolong.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Klien dengan Risiko Perilaku


Kekerasan
1. Pengkajian
a. Faktor Predisposisi
1) Riwayat Kelahiran dan tumbuh kembang (biologis)
2) Trauma karena aniaya fisik, seksual/tindakan aniaya fisik
3) Tindakan anti sosial
4) Penyakit yang pernah diderita
5) Gangguan jiwa dimasa lalu
6) Pengadaan sebelumnya:
a) Faktor Biologis
b) Faktor Psikologis
c) Faktor Sosiokultural
b. Faktor Fisik
1) Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, diagnosa medis, pendidikan,
dan pekerjaan.
2) Keturunan
Apakah keluarga memiliki penyakit yang sama dengan klien.
3) Proses Psikologis
a) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

15
Apakah klien pernah merasa sakit/kecelakaan, apakah sakit
tersebut mendadak/menahun dan meninggalkan cacat.
b) Makan minum klien
c) Istirahat tidur
d) Pola BAB/BAK
e) Latihan
f) Pemeriksaan Fisik
Fungsi sistem : pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal,
genitourinary, integument, paru udara.
Penampilan fisik, berpakaian rapi/tidak rapi, bersih, faktor
tubuh (kaku, lemah, rileks, lemas).
4) Faktor Emosional (klien merasa tidak aman, merasa terganggu,
dendam, jengkel).
5) Faktor Mental (cenderung mendominasi, cerewet, kasar,
meremehkan, dan suka berdebat)
6) Latihan (menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran).

Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien


dan keluarga (pelaku rawat). Tanda dan gejala perilaku kekerasandapat
ditemukan dengan wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa penyebab perasaan marah?


b. Apa yang dirasakan saat terjadi kejadian/penyebab marah?
c. Apa yang dilakukan saat marah?
d. Apa akibat dari cara marah yang dilakukan?
e. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah hilang?

Tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dapat ditemukan melalui


observasi adalah sebagai berikut:

a. Wajah memerah dan tegang


b. Pandangan tajam

16
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Mondar mandir
g. Nada suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Melempar atau memukul benda/orang lain

2. Masalah Keperawatan
Langkah berikutnya adalah merumuskan diagnosis keperawatan.
Diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala yang
diperoleh pada pengkajian. Berdasarkan data-data tersebut dapat
ditegakkan diagnosis keperawatan

a. Risiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan


b. Risiko perilaku kekerasan
c. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

3. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan

17
4. Intervensi Keperawatan

Diagnos Rencana Tindakan Keperawatan Rasional


a Kep. Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
TUM : Setelah .... x SP 1 : 1. Mengetah
Perilaku Klien tidak pertemuan pasien 1. Identifikasi ui
Kekeras melakukan mampu penyebab penyebab
an tindakan Kriteria Evaluasi : tanda dan tanda dan
kekerasan 1. Klien gejala serta gejala
baik kepada menyebutkan akibat serta
diri sendiri, penyebab perilaku akibat
orang lain tanda, gejala, kekerasan perilaku
maupun dan akibat 2. Latih cara kekerasan
lingkungan. dari perilaku melakukan 2. Melatih
TUK 1 : kekerasan teknik nafas klien
Klien dapat 2. Klien dapat dalam. mengatur
mengidentifik memperagak 3. Masukkan emosinya
asi penyebab an cara dalam jadwal dengan
dan tanda mengontrol harian pasien teknik
perilaku perilaku nafas
kekerasan kekerasan dalam
dengan cara 3. Untuk
melakukan membiasa
teknik nafas kan klien
dalam untuk
mengatur
emosinya
dengan
teknik
nafas
dalam
TUK 2 : Setelah .....x SP2 : 1. Untuk
Menyebutkan pertemuan pasien 1. Evaluasi mengetah

18
jenis-jenis mampu kegiatan yang ui
prilaku Kriteria evaluasi : lalu (SP 1) perkemba
kekerasann 1. Klien dapat 2. Latih cara ngan
yang pernah menyebutkan fisik II (pukul pasien
dilakukan kegiatan kasur atau dalam
yang sudah bantal) mengontr
dilakukan 3. Masukkan ol emosi
2. Klien dapat dalam jadwal 2. Untuk
memperagak harian pasien menyalurk
an cara fisik an emosi
untuk pasien
mengontrol secara
perilaku fisik
kekerasan 3. Mengatur
waktu
pasien
dalam
mengulan
g cara
untuk
mengontr
ol
emosinya.

TUK 3 : Setelah.... x SP 3 : 1. Untuk


Menyebutkan pertemuan pasien 1. Evaluasi mengetah
akibat dari mampu: kegiatan yang ui
prilaku Kriteria evaluasi : lalu ( SP 1 bagaiman
kekerasan 1. Menyebutkan dan SP 2) a
yang kegiatan 2. Latih secara kemampu
dilakukan yang sudah sosial atau an pasien
dilakukan verbal dalam

19
2. Memperagak 3. Menolak mengontr
an cara sosial dengan baik ol
atu verbal 4. Meminta emosinya
untuk dengan baik 2. Untuk
mengontrol 5. Mengungkap membantu
prilaku kan dengan pasien
kekerasan baik dalam
6. Masukkan mengontr
dalam jadwal ol emosi
harian pasien secara
verbal
3. Mengajar
kan pasien
dalam
mengungk
apkan
perasaan
pasien
4. Mengajar
kan pasien
dalam
meminta
sesuatu
tanpa
mengguna
kan emosi
5. Mengajar
kan cara
menolak
sesuatu
dengan
baik

20
6. Mengatur
waktu
pasien
dalam
mengulan
g cara
untuk
mengontr
ol
emosinya.

TUK 4 : Setelah.... x SP 4 : 1. Untuk


Menyebutkan pertemuan pasien 1. Evaluasi mengetahui
cara mampu kegiatan yang perkembanga
mengontrol Kriteria evaluasi: lalu ( SP 1, n pasien
prilaku 1. Klien mampu SP 2 dan SP dalam
kesehatan menyebutkan 3) mengontrol
kegiatan 2. Latih secara emosi
yang sudah spiritual 2.Menganjur
dilakukan berdoa dan tri kan pasien
2. Klien dapat sandya untuk berdoa
memperagak 3. Masukkan dan tri
an cara dalam jadwal sandya untuk
spiritual harian pasien. mengontrol
emosi
3.Mengatur
waktu pasien
dalam
mengulang
cara untuk
mengontrol

21
emosinya.

TUK 5 : Setelah SP 5 : 1. Untuk


Mengontrol pertemuan... x 1. Evaluasi mengetahui
perilaku pasien mampu kegiatan yang perkembanga
kekerasan Kriteria evaluasi : lalu (SP 1,2,3 n pasien
dengan cara 1. Klien dan 4) dalam
psikofarmaka menyebutkan 2. Latih patuh mengontrol
( obat) kegiatan yang obat pasien : emosi
sudah minum obat 2.Menekan
dilakukan secara teratur emosipasien
2. Klien dengan dengan cara
memperagaka prinsip 5 B psikofarmaka
n cara patuh dan susun 3.Mengatur
obat jadwal minum waktu pasien
obat secara dalam
teratur mengulang
3. Masukkan cara untuk
dalam jadwal mengontrol
harian pasien. emosinya.

5. Implementasi
Menurut Keliat (2010), implementasi keperawatan disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan
masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta
lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
di rencanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih di butuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat
ini (here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien
merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

22
6. Evaluasi
Evaluasi menurut Keliat (2010) adalah proses yang berkelanjutan
untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif dan
evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon
klien dengan tujuan yang telah ditentukan. Hasil evaluasi yang diharapkan
adalah:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
c. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
d. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
e. Klien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasan yang dilakukakannya
f. Klien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya
g. Klien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka

Strategi Pelaksanaan pada Klien dengan Resiko Kekerasan

SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya; identifikasi penyebeb perasaan


marah, tanda, dan gejala yang sering dirasakan; perilaku
kekerasan yang dilakukan; akibatnya serta cara mengontrol secara
fisik I.

ORIENTASI :

“Asalamualaikum Pak, perkenalkan nama saya AK, panggil saja A, saya perawat
yang bertugas di ruangan Soka ini. Hari ini saya dinas pagi dari pukul 07.00-
14.00. saya yang akan merawat bapak selama Bapak berada di rumah sakit ini.
Nama Bapak siapa? Senangnya dipanggil apa?”

“Bagaimana perasaan Bapak saat ini? Masih ada perasaan kesal atau marah?”

23
“Baiklah Pak, sekarang kita akan berbincang-bincang tentang perasaan marah
Bapak.”

“dimana enaknya kita duduk sambil berbincang-bincang ya Pak?” Bagaimana


kalau di ruang tamu?”

KERJA :

“Apa yang menyebabkan Bapak marah? Apakah sebelumnya Bapak pernah


marah? Lalu apa penyebabnya? Samakah dengan sekarang? O jadi ada 2
penyebab kemarahan Bapak.”

“Pada saat penyebab kemarahan itu ada, seperti ketika Bapak pulang ke rumah
namun istri belum menyediakan makanan (misalnya ini adalah penyebab
kemarahan pasien), apa yang Bapak rasakan?” (tunggu respon pasien)

“Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada Bapak berdebar-debar, mata


melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”

“Ada beberapa cara untuk mengontrol emosi, Pak. Salah satunya adalah dengan
cara fisik. Dengan cara ini, Bapak dapat menyalurkan amarah melalui kegiatan
fisik.”

“Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu?”

“Begini Pak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah Bapak rasakan, Bapak berdiri
lalu tarik nafas dari hidung, tahan sebentar lalu keluarkan/tiup perlahan-lahan
melalui mulut seperti mengeluarkan amarah. Ayo coba lagi tarik nafas dari
hidung, bagus, tahan dan keluarkan dari mulut. Nah, lakukan 5 kali lagi. Bagus
sekali, Bapak sudah bisa melakukannya. Bagaimana perasaan Bapak?”

“Nah sebaiknya latihan ini Bapak lakukan secara rutin sehingga bila sewaktu-
waktu rasa marah itu muncul, Bapak sudah terbiasa melakukannya.”

TERMINASI :

“Bagaimana perasaan Bapak setelah berbincang-bincang tentang amarah Bapak?”

24
“Iya, jadi ada 2 penyebab Bapak marah …(sebutkan) dan yang Bapak rasakan …
(sebutkan) serta yang Bapak lakukan … (sebutkan) serta akibatnya …(sebutkan)”

“Saat sendiri nanti, coba renungkan lagi penyebab marah Bapak yang lalu serta
apa yang Bapak lakukan marah yang belum kita bahas tadi dan jangan lupa
latihan nafas dalamnya ya Pak.”

“Sekarang kita buat jadwal latihannya ya Pak, berapa kali sehari Bapak mau
latihan nafas? Jam berapa saja Pak?”

“Baik, bagaimana kalau 2 jam lagi saya datang dan kita latihan lagi cara yang lain
untuk mengontrol/mencegah marah. Tempatnya disini saja ya Pak,
assalamualaikum.”

SP 2 Pasien :Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik kedua

a. Evaluasi latihan nafas dalam


b. Latihan cara fisik kedua: memukul kasur dan bantal
c. Susun jadwal kegiatan harian cara kedua

ORIENTASI :

“Assalamualaikum Pak, sesuai dengan janji saya dua jam yang lalu sekarang saya
datang lagi.”

“Bagaimana perasaan Bapak saat ini? Adakah hal yang menyebabkan Bapak
marah?”

“Baik, sekarang kita akan belajar cara kedua dalam mengontrol perasaan marah
dengan kegiatan fisik.”

“Mau berapa lama? Bagaimana kalau 20 menit?”

“Dimana kita bicara? Bagaimana kalau di ruang tamu?”

25
KERJA:

“Jika ada yang menyebabkan Bapak marah dan muncul perasaan kesal, berdebar-
debar, dan mata melotot selain bernafas dalam-dalam, Bapak bisa
melampiaskannya dengan memukul bantal atau kasur.”

“Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Dimana kamar Bapak?
Jadi kalau nanti Bapak kesal dan ingin marah, langsung pergi ke kamar dan
lampiaskanlah kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal. Nah, coba
Bapak lakukan, pukul kasur dan bantalnya. Ya, bagus sekali.”

“Nah, cara inipun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah. Jangan
lupa untuk merapikan kembali tempat tidurnya ya.”

TERMINASI :

“Bagaimana perasaan Bapak setelah melakukan latihan menyalurkan marah tadi?”

“Coba Bapak sebutkan cara-cara yang sudah kita lakukan tadi! Bagus!”

“Mari kita masukkan ke jadwal kegiatan sehari-hari Bapak. Jam berapa Bapak
mau latihan memukul kasur dan bantal? Bagaimana kalau setiap bangun tidur?
Baik, jadi jam 05.00 pagi dan jam 15.00 sore. Jika Bapak merasakan keinginan
untuk marah, gunakan kedua cara tadi ya Pak.”

“Besok pagi kita akal latihan mengontrol marah dengan belajar bicara yang baik.
Mau jam berapa Pak? Baik jam 10 pagi ya. Sampai jumpa.”

26
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi


(aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap
hewan atau benda-benda. Teori Perilaku Agresi dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu Instinct theory Drive theory, Social learning theory

Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada


waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk
mengerti perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus pula
mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah.

Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif


mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobilogi mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah
sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.

B. Saran
Untuk mahasiswa agar lebih dapat memahami tentang asuhan keperawatan
klien dengan resiko perilaku kekerasan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Keliat, B. A. 2010. Model Praktek Keperawatan profesional Jiwa. Jakarta : EGC
Muhith, A.2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta :
CV Andi Offset
Stuart and Sundeen.1995. Buku Keperawatan (Alih Bahasa) Achir Yani S. Hamid.
Edisi 3. Jakarta : EGC
Videbeck, Sheila L. 2008. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :EGC
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung : PT Refika Aditama

28

Anda mungkin juga menyukai