Anda di halaman 1dari 203

Kerjasama Teknis Indonesia-Jerman

Departemen Kesehatan Kementerian Koordinator German Technical Cooperation


Republik Indonesia Bidang Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia

LAPORAN RAKERNAS

Sistem Jaminan Sosial Nasional


dan
Program Jaminan Kesehatan Sosial
Dalam Rangka Mewujudkan
Kesejahteraan Rakyat

Jakarta, 15—16 Maret 2006

Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat R.I


KATA PENGANTAR
Jaminan sosial adalah hak asasi rakyat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,
pasal 27 ayat 2 dan pasal 34 ayat 2 pada akhir tahun 2004 Pemerintah telah mengesahkan
berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
yaitu suatu tatacara penyelenggaraan jaminan sosial berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat,
dan keadilan sosial menuju terpenuhinya kebutuhan hidup dasar yang layak bagi setiap peserta.

Pengesahan Undang-Undang tersebut merupakan itikad baik pemerintah untuk memperbaiki


penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang telah berlaku sebelumnya yang ditandai dengan
landasan peraturan yang tumpang tindih, diikuti oleh peserta yang terbatas jumlahnya serta
manfaat yang diterima peserta sangat tidak memadai sehingga peserta belum terlindungi secara
optimal. Agar isi dan materi dari undang-undang tersebut dapat diketahui, dimengerti dan
dipahami oleh masyarakat luas maka pada tanggal 15-16 Maret 2006 telah diselenggarakan

Rapat Kerja Nasional Sistem Jaminan Sosial Nasional di Jakarta, yang diikuti oleh Sekretaris
Daerah Propinsi, Ketua Komisi E DPRD Daerah, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi seluruh
Indonesia serta instansi terkait tingkat pusat.

Laporan kegiatan Rakernas ini berdasarkan pada materi yang dipaparkan dan dibahas selama
Rakernas berlangsung dilengkapi dengan hasil diskusi kelompok yang telah menyepakati untuk
segera diimplementasikannya Unang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Diharapkan laporan ini
dapat memberikan informasi yang memadai bagi para pemangku kepentingan yang
bertanggung jawab menyelenggarakan jaminan sosial baik di tingkat pusat maupun daerah.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan penghargaan setingi-tingginya kepada GTZ serta
seluruh jajaran Pemerintah yang telah membantu terselenggaranya Rakernas ini, semoga segala
upaya keberpihakan kita terhadap percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat senantiasa
mendapatkan bimbingan dan kemudahan dari Allah SWT, Amien.

Jakarta, April 2006

Deputi Menko Kesra


Bidang Koordinasi Kesejahteraan Sosial

ttd
Adang Setiana
DAFTAR ISI
RINGKASAN LAPORAN ......................................................................................................................................1
EXECUTIVE SUMMARY ...................................................................................................................................34
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................................68
SAMBUTAN DEPUTY COUNTRY DIRECTOR GTZ FOR INDONESIA DAN TIMOR LESTE .............74
ARAHAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT.....................................76
MEKANISME DAN KELEMBAGAAN SJSN SISTIM JAMINANAN SOSIAL NASIONAL: POKOK-
POKOK PIKIRAN ................................................................................................................................................82
RINGKASAN MAKALAH...................................................................................................................................87
1. SUBSTANSI DAN FILOSOFI UU NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SJSN ..................................................87
2. PELAKSANAAN UU NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SJSN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 91
3. PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGEMBANGAN SISTEM JAMINAN SOSIAL SESUAI KORIDOR
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH ..............................................94
4. KEBIJAKAN DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI DALAM PENGEMBANGAN JAMINAN
SOSIAL TENAGA KERJA SELAMA INI DAN PENGEMBANGAN SELANJUTNYA DI ERA SJSN................................105
5. KEBIJAKAN DEPARTEMEN KESEHATAN DALAM PENGEMBANGAN JAMINAN KESEHATAN SELAMA INI DAN
PENGEMBANGAN SELANJUTNYA DI ERA SJSN..................................................................................................109
6. KEBIJAKAN DEPARTEMEN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN ASURANSI KESEJAHTERAAN SOSIAL SELAMA
INI DAN PENGEMBANGAN SELANJUTNYA DI ERA SJSN....................................................................................115
7. PENGEMBANGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DALAM RANGKA PENGIMPLEMENTASIAN UU NOMOR
40 TAHUN 2004 TENTANG SJSN DI PROPINSI JAWA TENGAH ............................................................................119
8. TUGAS, FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH JAWA TIMUR DALAM PENGEMBANGAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN BERDASARKAN UU NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SJSN DAN UU NOMOR 32 TAHUN
2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH ..............................................................................................................123
9. PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BERDASARKAN UU NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SJSN DAN
UU NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ...................128
REKOMENDASI.................................................................................................................................................131
RENCANA TINDAK LANJUT..........................................................................................................................131
PENUTUP ............................................................................................................................................................134
LAMPIRAN 1 ......................................................................................................................................................137
LAMPIRAN 2 ......................................................................................................................................................153
LAMPIRAN 3 ......................................................................................................................................................192
DAFTAR ISTILAH
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
Askes Asuransi Kesehatan
Askeskin Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin
Askesos Asuransi Kesejahteraan Sosial
Bapel JPKM Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BUMN Badan Usaha Milik Negara
Depkes Departemen Kesehatan
Depnakertrans Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Depsos Departemen Sosial
DJSN Dewan Jaminan Sosial Nasional
DHK Dalam Hubungan Kerja
Dirjen Direktur Jenderal
GTZ German Technical Zusammenarbait (German Technical Cooperation)
Jamsostek Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
JPKM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
LHK Luar Hubungan Kerja
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Menkokesra Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Orsos Organisasi Sosial
PP Peraturan Pemerintah
Pra-Bapel JPKM Bapel JPKM yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri
Kesehatan
PT ASABRI Perseroan Terbatas Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
PT ASKES Perseroan Terbatas Asuransi Kesehatan Indonesia
PDB Pendapatan Domestik Bruto
PMKS Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
PT JAMSOSTEK Perseroan Terbatas Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia
PT TASPEN Perseroan Terbatas Tabungan Pensiun
Rakernas Rapat Kerja Nasional
RI Republik Indonesia
SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional
SHI Social Health Insurance
TAP MPR Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
UU Undang-Undang
UUD Undang-Undang Dasar
WHO World Health Organization
PANITIA
Ketua dan Penanggung Jawab
Dr. Adang Setiana, Deputi Bidang Kesejahteraan Sosial, Kementrian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat

Panitia Pengarah dan Ilmiah:

Drs. Sukamto (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat)

Qomarudin, SH (Departemen Hukum dan HAM)

Drs. Febuadodo Hia, MSi (Departemen Dalam Negeri)

Ir. Alwi Alhabsy, MPH (Departemen Kesehatan)

Ir. Tianggur Sinaga, MA (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

Lisning Sri Hastuti, SH (Departemen Sosial)

Dr. Atifah Thaha (Kantor Sekretariat Wakil Presiden)

Prof. Dr. Hasbullah Thabrany (FKM Universitas Indonesia)

Dr. Sulastomo, MPH (mantan Ketua Pokja Nasional SJSN)

Panitia Pelaksana:

Drs. Edi Sularno (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat)

Dra. Endang Srimulyani (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat)

Dra. Setyo Ediningsih (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat)

Dirk Matamuhual, MBA (Departemen Kesehatan)

Dr. Donald Pardede (Departemen Kesehatan)

Dr. Widyarti (Departemen Kesehatan)

Konsultan

Dr. Miroslaw Manicki (Team Leader, GTZ-SHI Indonesia)

Dr. Asih Eka Putri (Senior National Advisor GTZ-SHI Indonesia)


RINGKASAN LAPORAN

Rapat Kerja Nasional “Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program


Jaminan Kesehatan Sosial Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat”
untuk pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia pada tanggal 15-16 Maret
2006 di Jakarta. Rapat Kerja Nasional ini diprakarsai dan diselenggarakan
bersama oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
(Menkokesra), Departemen Kesehatan (Depkes) dan GTZ-SHI Indonesia
(German Technical Cooperation, Social Health Insurance Project) dalam
kerangka kerja sama teknis bilateral pembangunan jaminan kesehatan sosial di
Indonesia. Pertemuan ini diselenggarakan untuk membangun kordinasi yang
harmonis antar Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menyelenggarakan sistem
jaminan sosial nasional dan program jaminan kesehatan sosial nasional sesuai
amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Rapat Kerja ini dihadiri oleh 133 peserta yang mewakili institusi
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Jaminan Sosial, Pakar Jaminan
Sosial dan Lembaga Pembangunan Internasional. Pemerintah Pusat diwakili oleh
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Sekretariat Negara,
Sekretariat Wakil Presiden, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri,
Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Departemen Pertahanan, Kementerian Negara Badan Usaha Milik
Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional dan Badan Pusat Statistik). 28 Provinsi hadir pada
pertemuan nasional yang diwakili oleh DPRD Ketua Komisi Kesejahteraan

1
RINGKASAN LAPORAN

Rakyat, Sekretaris Daerah Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.


Provinsi Sumatra Utara, Kepulauan Riau, NTT, Maluku Utara dan Irian Jaya
Barat tidak mengirimkan wakilnya. Keempat Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial hadir pada pertemuan ini yaitu PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri, PT
Taspen. Dua Lembaga Pembangunan Internasional yang berpartisipasi aktif
dalam pertemuan ini adalah Lembaga Pembangunan Internasional Jerman (GTZ)
dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Rapat kerja nasional ini telah berhasil membangun persepsi yang sama
antar pelaksana sistem jaminan sosial nasional termasuk program jaminan
kesehatan baik di pusat dan daerah dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem jaminan sosial sesuai dengan pedoman dan tata cara
yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Selama rapat kerja nasional dibahas
berbagai isu pokok yang meliputi tugas, fungsi dan kewajiban Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan sistem jaminan sosial nasional
serta langkah-langkah aksi tindak lanjut pengimplementasian sistem jaminan
sosial nasional.

Luaran yang dihasilkan dari pertemuan ini adalah: 1) pemahaman yang


jelas tentang sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun
2004 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi; 2) pemahaman pembagian urusan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial
nasional dan program jaminan kesehatan sosial nasional; 3) pemahaman
mengenai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang perlu dicermati
dalam penyelenggaraan jaminan sosial nasional dan program jaminan kesehatan
sosial nasional; 4) tersusunnya strategi-strategi dan agenda tindak lanjut untuk

2
RINGKASAN LAPORAN

penyempurnaan kebijakan penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional


termasuk program jaminan kesehatan sosial nasional di masa peralihan yang akan
berakhir pada 18 Oktober 2009.

Sesi Pembukaan dan Laporan Panitia

Pada sesi pembukaan disampaikan laporan Ketua Panitia Rakernas oleh


Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kesejahteraan Sosial, Bapak Dr. Adang
Setiana dan sambutan tertulis Bp. M. Riza Tajoedin, Deputi Direktur GTZ
Indonesia. Rakernas dibuka dengan resmi dan diarahkan oleh Bapak Ir. Aburizal
Bakrie, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kesejahteraan Sosial, Bapak Dr.


Adang Setiana, selaku Ketua Panitia Pelaksana Rakernas, melaporkan bahwa
pertemuan ini diselenggarakan untuk meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan
sekaligus sebagai upaya untuk merumuskan kebijakan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Pertemuan tersebut
dilaksanakan selama dua hari yang terdiri dari: 1) penyampaian 6 pokok bahasan
(hari pertama); dan 2) diskusi kelompok dan dialog kebijakan yang dilanjutkan
dengan perumusan agenda tindak lanjut pengimplementasian UU SJSN (hari
kedua). Keenam pokok bahasan meliputi: 1) substansi dan filosofi UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN; 2) struktur, organisasi dan mekanisme kerja SJSN; 3)
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca keputusan Mahkamah Konstitusi;
4) tugas, fungsi dan peran Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN; 5) Kebijakan Departemen Sosial,
Departemen Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam

3
RINGKASAN LAPORAN

pengembangan jaminan sosial saat ini dan selanjutnya di era SJSN; 6)


Pengalaman Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Kalimantan Timur dalam penyelenggaraan program jaminan sosial.

Beliau mengharapkan dengan disampaikannya keenam pokok bahasan


tersebut, peserta Rakernas mampu memahami sistem jaminan sosial nasional dan
mampu menghilangkan multi tafsir negatif terhadap materi dan substansi UU
Nomor 40 Tahun 204 tentang SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang
kemudian diikuti dengan mampu menciptakan kesamaan persepsi yang positif dan
selanjutnya mampu merumuskan agenda tindak lanjut untuk penyempurnaan
kebijakan dan pengimplementasian SJSN.

Beliau pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada GTZ dan


Departemen Kesehatan serta pihak-pihak lain yang mendukung kelancaran
pertemuan tersebut. Direncanakan Rakernas tingkat nasional akan dilanjutkan
dengan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) SJSN di tingkat Provinsi dengan peserta
dari tingkat Kabupaten/Kota pada Tahun 2006 di masing-masing Provinsi.

Pembukaan Resmi dan Pidato Pengarahan

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Bapak Ir. Aburizal


Bakrie menyambut para peserta, memberikan arahan-arahan pemikiran untuk
dijadikan acuan Rapat Kerja Nasional kepada peserta dan membuka acara secara
resmi. Pembukaan resmi dan pidato pengarahan dihadiri pula oleh Menteri
Kesehatan, Dr. Siti Fadilah Supari.

Di dalam pesannya, Bapak Menko Kesra menyampaikan bahwa


pembangunan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) adalah salah satu upaya
pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Beliau menyatakan bahwa

4
RINGKASAN LAPORAN

“Rakernas Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program Jaminan Kesehatan


Nasional Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat” merupakan
pertemuan yang sangat penting untuk menyempurnakan kebijakan SJSN dan
merumuskan upaya-upaya tindak lanjut pembangunan sistem jaminan sosial
nasional di Indonesia setelah diundang-undangkannya UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN (UU SJSN) pada tanggal 19 Oktober 2004.

Bapak Menko Kesra menegaskan bahwa UU SJSN merupakan


penyempurnaan sistem jaminan sosial yang saat ini masih terbatas pada sebagian
kecil kelompok masyarakat yang terbatas pada kelompok Pegawai Negeri Sipil
aktif dan pensiunan, anggota TNI dan Polri dan sebagian kelompok pegawai
swasta melalui program Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri.

Di dalam pidatonya, Bapak Menko Kesra mengingatkan kembali bahwa


UU SJSN sesuai dengan amanat UUD Negara RI Tahun 1945 (amandemen) pasal
34 yang mengamanatkan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat. UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN akan memberi manfaat yang sangat luas bagi
pembangunan sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat sekaligus
memberikan payung hukum untuk mengatasi fragmentasi dan segmentasi
penyelenggaraan sistem jaminan sosial selama ini.

Saat ini pemerintah telah memberikan perhatian yang nyata pada


perluasan kepesertaan jaminan sosial yang sejalan dengan amanat UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN, dengan memberikan jaminan kesehatan bagi 60 juta
masyarakat miskin melalui program Askeskin. Untuk selanjutnya, setelah seluruh
peraturan pelaksanaan UU SJSN selesai dirumuskan dan operasional,
pengimplementasian sistem jaminan sosial akan dilakukan secara bertahap hingga
mencakup seluruh program jaminan dan seluruh komponen masyarakat.

5
RINGKASAN LAPORAN

Bapak Menko Kesra mengingatkan bahwa untuk mengoperasionalkan UU


Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
tidaklah mudah karena program jaminan sosial menyangkut berbagai
kepentingan. Tantangan terbesar yang dihadapi dalam memberlakukan UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi adalah
membangun dukungan dan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha. Dengan
demikian, untuk mendapatkan hasil nyata perlu dibangun koordinasi yang
melibatkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, dihindari disinergi dan
tumpang-tindih kebijakan, dan dibangun sistem yang mampu memberi manfaat
nyata pada seluruh pemangku untuk peningkatan produktivitas, peningkatan daya
saing sumber daya manusia Indonesia di era kompetisi global dan berdampak
pada pembangunan ekonomi nasional dan pengentasan kemiskinan.

Beliau pun mengingatkan waktu yang tersedia relatif singkat untuk


menyiapkan seluruh peraturan pelaksanaan SJSN dan menyelesaikan masa
peralihan yang akan berakhir pada 18 Oktober 2009, sehingga beliau
menghimbau partisipasi dan kesungguhan semua pihak untuk menyelesaikan
agenda-agenda tersebut.

Bapak Menko Kesra menyampaikan 2 agenda penting yang harus


diselesaikan selama masa peralihan yaitu: 1) penyiapan rancangan perangkat
peraturan pelaksana UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi oleh Departemen/Sektor terkait; 2) penyempurnaan
perangkat peraturan pelaksana UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi oleh Kantor Menko Kesra dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan untuk menghasilkan produk hukum yang telah
memuat pertimbangan-pertimbangan yang matang

6
RINGKASAN LAPORAN

Bapak Menko Kesra mengharapkan peserta Rakernas untuk dapat


merumuskan: 1) agenda-agenda tindak lanjut prioritas untuk membangun sistem
jaminan sosial sebagai salah satu unsur utama kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat; dan 2) pembagian tugas, tanggung jawab dan urusan dalam membangun
sistem jaminan sosial di tingkat nasional dan daerah untuk terselenggaranya
sistem jaminan sosial yang efektif dan efisien.

UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial


Nasional

Pada sesi pertama disampaikan 4 pokok bahasan yang terdiri dari: 1)


Substansi dan filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN (disampaikan
oleh Dr. Sulastomo, mantan ketua tim penyusun naskah RUU SJSN); 2)
Mekanisme dan Kelembagaan SJSN (disampaikan oleh Deputi Menko Kesra
Bidang Koordinasi Kesejahteraan Sosial, Dr. Adang Setiana); 3) UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN pasca hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi
(disampaikan oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum &
Hak Asasi Manusia, A.A Oka Mahendra SH); dan 4) Tugas dan fungsi serta peran
Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi (disampaikan oleh Kepala Bagian
Perencanaan Departemen Dalam Negeri – Dodi Riyatmadji mewakili Dirjen
Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri).

Substansi Dan Filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN;


Dr Sulastomo mengulas prinsip-prinsip sistem jaminan sosial dan proses
reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia yang dimulai dengan penerbitan UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN.

7
RINGKASAN LAPORAN

Dr. Sulastomo mengingatkan kembali bahwa saat ini penyelenggaraan


program jaminan sosial baru menjangkau sebagian kecil kelompok masyarakat
(pegawai negeri dan sebagian pegawai swasta) dengan manfaat yang sangat
terbatas dan diselenggarakan oleh 4 badan penyelenggara berbeda - PT ASKES,
PT JAMSOSTEK, PT ASABRI dan PT TASPEN - berdasarkan landasan hukum
dan regulasi yang berbeda-beda.

Pemerintah telah memulai proses penataan ulang sistem jaminan sosial


nasional dengan menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Penataan
ulang sistem jaminan sosial bertujuan untuk menyelenggarakan jaminan sosial
bagi seluruh penduduk sebagai upaya mencapai keadilan sosial (sesuai amanat
UUD 1945 pasal 34 ayat 2). Penataan ulang dilakukan dengan memperbaiki
regulasi, mekanisme penyelenggaraan, kualitas dan manfaat jaminan sosial untuk
menjamin penyelenggaraan jaminan sosial secara universal, transparan, akuntabel
dan berhati-hati.

UU SJSN memerhatikan dan memuat prinsip-prinsip dasar sistem jaminan


sosial demi terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional yang adekuat dan
mampu memberi dampak nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Diharapkan sistem jaminan sosial nasional yang akan dibangun mampu
memberikan manfaat langsung pada peningkatan pembangunan ekonomi dan
mampu mencegah terjadinya ledakan sosial yang diakibatkan oleh ledakan jumlah
penduduk lanjut usia yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan jaminan pensiun
pada Tahun 2015. Pada Tahun 2015, diperkirakan 11% atau sekitar 24,5 juta
penduduk Indonesia berusia di atas 60 Tahun.

Dr Sulastomo menjelaskan mekanisme penyelenggaraan SJSN yang diatur


dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai berikut: 1) Presiden

8
RINGKASAN LAPORAN

menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan dengan dibantu


oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang didirikan melalui Peraturan
Presiden; 2) DJSN berkewajiban melakukan kajian, penelitian, pengusulan
kebijakan investasi dan anggaran bagi penerima bantuan, dan monitoring dan
evaluasi pelaksanaan program jaminan sosial nasional); 3) Badan penyelenggara
jaminan sosial adalah ke-4 badan penyelenggara yang telah berdiri saat ini (PT
ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI dan PT TASPEN) yang diwajibkan
untuk menyesuaikan badan hukum dan mekanisme penyelenggaraannya sesuai
dengan mandat UU SJSN dalam waktu 5 Tahun sejak keputusan UU Nomor 40
Tahun 2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 dan terbuka kesempatan untuk
membentuk badan penyelenggara baru yang dibentuk dengan Undang-Undang; 4)
program jaminan sosial nasional meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian; 5) Pemerintah
dapat melakukan tindakan-tindakan khusus dalam rangka menjamin
terpeliharanya kesehatan keuangan badan penyelenggara jaminan sosial, seperti
penggalian sumber dana, penetapan besar iuran dan manfaat termasuk
menetapkan mekanisme dan besaran subsidi.

Di dalam pemaparannya, Dr. Sulastomo menyampaikan pula bahwa


penyelenggaraan sistem jaminan sosial harus melibatkan Pemerintah Daerah
untuk memenuhi amanat kedua Undang-Undang yaitu UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketentuan rinci selanjutnya akan diuraikan dalam Peraturan Pemerintah kedua
Undang-Undang tersebut.

Mekanisme dan Kelembagaan SJSN, diuraikan dalam makalah Dr.


Adang Setiana sebagai proses penyelenggaraan yang mengatur hubungan antar

9
RINGKASAN LAPORAN

pelaku SJSN dan hubungan antar pelaku atau lembaga-lembaga yang terkait
dalam penyelenggaraan SJSN berikut segenap perangkatnya. Diperlukan
prosedur tetap yang mengatur tata kerja dan hubungan antar segenap pelaku atau
lembaga yang terkait dalam penyelenggaraan SJSN.

Di dalam makalahnya, Dr Adang menyampaikan pokok-pokok pikiran


makro untuk didiskusikan selama Rakernas yaitu: 1) aspek kelembagaan; 2)
mekanisme pendanaan; dan 3) mekanisme pemberian manfaat.

Aspek kelembagaan yang ditetapkan dalam UU SJSN terdiri dari: 1)


Dewan Jaminan Sosial Nasional berkedudukan di tingkat pusat dan bertugas
membantu Presiden dalam menetapkan kebijakan SJSN dan berperan mengawasi
pelaksanaan kebijakan Presiden tentang SJSN; 2) Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT TASPEN dan BPJS lain)
dibentuk dengan Undang-Undang, ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan
diselesaikan penyesuaian status peralihan dari persero menjadi badan nir laba bagi
keempat institusi tersebut; 3) BPJS akan memiliki kantor cabang di daerah sesuai
dengan kebutuhan; 4) Di tingkat Propinsi dapat dibentuk sebuah lembaga yang
berfungsi sebagai pengawas penyelenggaraan SJSN dan pengusul saran dan
kebijakan SJSN untuk disampaikan kepada DJSN.

Dr. Adang Setiana menguraikan bahwa mekanisme pendanaan SJSN


ditetapkan oleh Presiden yang dibantu oleh DJSN. Mekanisme pendanaan akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden, sedangkan mekanisme pemberian
manfaat akan diselenggarakan dengan memperhatikan aspek efisiensi dan
keberlangsungan pemberian manfaat.

Pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN Pasca


Putusan Mahkamah Konstitusi; Bapak A.A. Oka Mahendra, SH menegaskan

10
RINGKASAN LAPORAN

bahwa Mahkamah Konstitusi diberi wewenang oleh Pasal 10 ayat (1) UU Nomor
24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi menurut pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2004
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian UU Nomor 40 Tahun


2004 tentang SJSN pasal 5 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) dan pasal 52 terhadap
UUD 1945 yang dibacakan pada tanggal 31 Agustus 2005 adalah sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yaitu: 1)


menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
bertentangan dengan UUD Negara RI 1945; dan 2) menyatakan Pasal 5 ayat
(2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa pembentukan BPJS tingkat daerah dapat dibentuk dengan Peraturan
Daerah dengan memenuhi ketentuan SJSN sebagaimana diatur dalam UU
SJSN yaitu diselenggarakan berdasarkan asas, tujuan, dan prisip sebagaimana
diatur dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU SJSN. Norma, standar dan
prosedur BPJS tingkat daerah harus dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan yang akan dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam
menyusun Peraturan Daerah

2. Menolak permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menolak


permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (1) dengan pertimbangan bahwa
pasal tersebut cukup memenuhi kebutuhan pembentukan badan penyelenggara

11
RINGKASAN LAPORAN

jaminan sosial nasional di tingkat pusat dan tidak bertentangan dengan UUD
Negara RI Tahun 1945. Pengujian terhadap pasal 52 juga ditolak dengan
alasan untuk mengisi kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum.
Dijelaskan pula bahwa pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
pelaksanaan UU SJSN adalah tidak signifikan. UU SJSN telah memenuhi
maksud Pasal 34 ayat 2 UUD RI 1945 karena sistem yang dipilih mencakup
seluruh rakyat dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut
ditegaskan bahwa dengan sendirinya UU SJSN merupakan penegasan kewajiban
Negara atas jaminan sosial sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana
dimaksud pasal 28 H ayat (3) UUD RI 1945.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dikemukakan bahwa


eksistensi keempat persero (PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT
TASPEN) sepanjang belum disesuaikan dengan UU SJSN tetap berlaku
berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU SJSN dengan memerhatikan pasal 52 ayat (2)
tentang 5 Tahun masa peralihan yang akan berakhir paling lambat pada 18
Oktober 2009. Beliau menegaskan bahwa langkah-langkah sistematis, terarah
dan terpadu untuk menyusun Undang-Undang sesuai dengan ketentuan pasal 5
UU SJSN harus segera disusun untuk memberikan dasar hukum bagi BPJS.
Keempat Persero yang ditunjuk sebagai BPJS apabila tidak memiliki Undang-
Undang hingga batas akhir masa peralihan, maka keempat Persero tersebut akan
kehilangan dasar hukum eksistensinya. Ditegaskan pula untuk menyegerakan
penyusunan seluruh peraturan pelaksanaan UU SJSN agar UU SJSN dapat
berlaku efektif.

12
RINGKASAN LAPORAN

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan Sistem


Jaminan Sosial Sesuai Koridor Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Bapak
Kausar AS menguraikan 5 isu pokok yaitu: 1) konsep desentralisasi dan otonomi
daerah; 2) pembagian urusan pemerintahan; 3) pelaksanaan sistem jaminan sosial;
4) peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sistem jaminan sosial dan
implementasi dan 5) strategi kebijakan pengembangan sistem jaminan sosial.

Di dalam makalahnya, Bapak Direktur Jenderal Otonomi Daerah


mengingatkan kembali konsep penyelenggaraan desentralisasi dan Otonomi
Daerah yang dianut Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
UUD Negara RI Tahun 1945. Daerah otonom dalam rangka penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia memiliki 3 ciri utama yang terdiri dari: 1) daerah
otonom tidak memiliki kedaulatan seperti yang berlaku di Negara Federal; 2)
desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan urusan Pemerintahan;
dan 3) penyerahan urusan pemerintahan terkait erat dengan tujuan Negara antara
lain menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pembagian Pemerintahan mengacu pada kriteria eksternalitas,


akuntabilitas dan efisiensi sebagaimana ketentuan pasal 10 hingga 18 UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengelolaan sistem jaminan sosial
oleh Daerah dalam koridor UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah perlu mempertimbangkan pasal 10 hingga 14 dan pasal 22 huruf (h).

Bapak Dirjen Otonomi Daerah memaparkan 3 masalah utama yang


akan dihadapi saat mengimplementasikan SJSN yang diatur oleh UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, yaitu:

13
RINGKASAN LAPORAN

1. Penghapusan pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) sebagai putusan Mahkamah
Konstitusi atas uji materi UU Nomor 40 Tahun 2004 tanggal 31 Agustus 2005
memerlukan penyesuaian dan penyempurnaan peraturan perundangan yang
terkait dengan jaminan sosial;

2. Berkembangnya pemahaman di beberapa daerah bahwa UU Nomor 40 Tahun


2004 tentang SJSN bertentangan dengan pasal 22 huruf (h) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 22 huruf (h) mengatur bahwa
Daerah wajib mengembangkan sistem jaminan sebagai kewajiban
menjalankan otonomi daerah;

3. Berkembangnya pemahaman bahwa UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN


bernuansa sentralistik dan bertentangan dengan pembagian urusan
pemerintahan sebagai wujud penyelenggaraan desentralisasi sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13, 14 dan 22 huruf (h) UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.

Bapak Dirjen Otonomi Daerah di dalam makalahnya menekankan bahwa


penyusunan kerangka implementasi dan strategi pengembangan SJSN perlu
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai peraturan dan perundangan
beserta aksi-aksi penting sebagai berikut:

1. semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung


dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
pada UU Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 237 UU Nomor 32 Tahun 2004);

2. urusan Pemerintahan yang terkait dengan jaminan sosial (kesehatan, sosial


dan ketenagakerjaan) adalah urusan Pemerintahan yang didesentralisasikan

14
RINGKASAN LAPORAN

kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota (pasal 13 dan 14 UU Nomor 32 Tahun


2004);

3. Dalam menyelenggarakan otonomi, Daerah mempunyai kewajiban


mengembangkan sistem jaminan sosial (pasal 22 huruf (h) UU Nomor 32
Tahun 2004);

4. Sesuai dengan konsep dan tujuan otonomi untuk membangun demokrasi dan
kesejahteraan rakyat, Daerah harus diberi kreatifitas dan inovasi kebijakan
untuk mewujudkan sistem jaminan sosial (pasal 22 huruf (h) Nomor 32 Tahun
2004);

5. Perlu harmonisasi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan UU


Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah;

6. Kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial daerah dapat berupa Badan


Layanan Umum (Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Badan
Layanan Umum);

7. Sumber dana pengelolaan jaminan sosial mengacu pada ketentuan pasal 155
ayat (1) dan (2), pasal 156 ayat (1), pasal 167 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun
2004), PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Keuangan Daerah.
Bapak Dirjen Otonomi Daerah mengharapkan untuk segera
menindaklanjuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi dengan merumuskan
kebijakan SJSN yang komprehensif dan efektif dan pelaksanaan aksi tindak lanjut
nyata dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan memberdayakan
seluruh instansi Pemerintah di Pusat dan Daerah serta mitra kerja PT
JAMSOSTEK, PT ASKES, PT TASPEN dan PT ASABRI. Beliau menekankan

15
RINGKASAN LAPORAN

bahwa kebijakan dan strategi penataan lanjut pengembangan SJSN menjadi opsi
yang sangat strategis dan komprehensif untuk menyinergikan dan meningkatkan
koordinasi antar Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen serta
meningkatkan keterpaduan program antar instansi Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pada sesi diskusi setelah pemaparan keempat makalah tersebut di atas,


berbagai pertanyaan diajukan terutama mengenai kejelasan isu pembagian urusan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan landasan hukum
pembentukan BPJS terutama di Daerah.

Peserta Rakernas menekankan perlunya menyelesaikan masalah


ketidakjelasan pembagian peran antar tingkatan Pemerintah terutama dalam
program jaminan kesehatan. Pengalaman Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur
memperlihatkan bahwa penyelenggaraan program Askeskin telah mengganggu
penyelenggaraan program jaminan kesehatan di wilayahnya dan permasalahan ini
bermuara pada pengajuan uji materi UU SJSN. Muncul pula permintaan kepada
Pemerintah Pusat untuk menyampaikan informasi dengan jelas dan tidak saling
bertentangan antar institusi/pembicara yang berbeda sehingga informasi yang
disampaikan tidak membingungkan dan dapat dijadikan pedoman bagi Daerah.

Dipertanyakan pula kejelasan perintah UU SJSN tentang pembentukan


BPJS melalui Undang-Undang, apakah satu Undang-Undang untuk masing-
masing BPJS ataukah satu Undang-Undang untuk keseluruhan BPJS dan apakah
ketentuan mengenai pendirian BPJS di Daerah dengan Peraturan Daerah dapat
diganti dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Bentuk badan hukum BPJS di
Daerah yang mengacu pada ketentutan UU SJSN masih membingungkan peserta
sebagai contoh muncul sebuah pertanyaan yang menanyakan apakah Koperasi
dapat dijadikan bentuk badan hukum BPJS di Daerah.

16
RINGKASAN LAPORAN

Dalam sesi ini mengemuka pula berbagai hambatan yang disebabkan oleh
adanya regulasi yang berpotensi menghambat pengimplementasian SJSN, seperti
sulitnya melibatkan Rumah Sakit Daerah dalam sosialisasi program pemerintah
termasuk UU SJSN karena adanya Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2001
tentang peran dan tanggung jawab Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit.

Presentasi dan diskusi pada sesi ini mempertegas perlunya segera


menyelesaikan agenda-agenda peraturan perundang-undangan SJSN,
memformulasikan kerangka kebijakan - desain - strategi penyelenggaraan SJSN,
membangun mekanisme dan kelembagaan SJSN yang jelas, tegas dan rinci
dengan kejelasan pembagian urusan antar tingkat pemerintah, serta membangun
kesatuan dan kesepahaman di tingkat Pusat sebelum penyebarluasan informasi
kepada Daerah dan pemangku kepentingan SJSN lainnya.

Kebijakan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,


Departemen Kesehatan Dan Departemen Sosial Tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Saat Ini Dan
Pengembangan Selanjutnya Di Era SJSN

Sesuai dengan topik Rakernas untuk mengharmonisasikan UU SJSN dan


UU Pemerintahan Daerah, pembahasan dibatasi pada tiga Departemen yang
mengatur penyelenggaraan program jaminan sosial bagi kelompok masyarakat
umum, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kesehatan
dan Departemen Sosial. Departemen Pertahanan dan Keamanan sebagai regulator
program jaminan sosial bagi kelompok masyarakat khusus, yaitu Tentara
Nasional Indonesia (TNI) tidak termasuk dalam agenda dialog pada Forum ini.

Ketiga makalah tersebut masing-masing ditulis oleh Direktur Jenderal PHI


dan Jaminan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi – Muzni Tambusai -

17
RINGKASAN LAPORAN

yang disampaikan oleh Ir. Tianggur Sinaga MA, Sekretaris Jendral Departemen
Kesehatan – Dr. Syafii Achmad MPH - yang disampaikan oleh, dan Direktur
Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial yang disampaikan oleh
Direktur Jaminan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial - Lisning Sri Hastuti,
SH.

Sesi ini membahas pelaksanaan program-program jaminan sosial yang


masing-masing diregulasi oleh ketiga Departemen tersebut sebelum
diberlakukannya UU SJSN dan persiapan-persiapan yang telah dan akan
dilaksanakan oleh ketiga Departemen tersebut untuk mempersiapkan program
jaminan sosial nasional di era UU SJSN.

Pemaparan oleh ketiga Departemen tersebut di atas memperjelas


karakteristik program jaminan sosial di Indonesia di era pra-SJSN yang masih
berlaku hingga saat ini. Program jaminan sosial pra-SJSN terpilah-pilah ke dalam
berbagai Departemen disebabkan oleh inisiatif Departemen yang dilatarbelakangi
oleh tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing Departemen yang memiliki
kelompok sasaran kebijakan yang berbeda pula.

Penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Indonesia diatur oleh berbagai


landasan hukum yang berbeda dan dilaksanakan oleh regulator yang berbeda
untuk kelompok masyarakat yang berbeda, diselenggarakan oleh berbagai badan
penyelenggara yang memberikan manfaat yang berbeda dengan mekanisme dan
pengorganisasian yang berbeda pula. Dengan kata lain, program jaminan sosial
yang berlaku saat ini di Indonesia terpilah-pilah (segmented) menurut unit
regulator dan kelompok masyarakat dan manfaat jaminan sosial yang diberikan
tidak lengkap (fragmented).

18
RINGKASAN LAPORAN

Dalam ketiga makalah Departemen terungkap dengan jelas bahwa


ketiganya sepakat bahwa UU SJSN membuka peluang untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Namun, mereka mengingatkan pula bahwa penyelesaian
masalah tersebut sangat bergantung pada kebijakan Presiden tentang jaminan
sosial melalui DJSN. Penyempurnaan peraturan dan perundang-undangan tentang
SJSN merupakan agenda prioritas yang harus diselesaikan untuk mewujudkan
sistem jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Departemen Tenaga


Kerja dan Transmigrasi mengatur penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga
kerja (Program Jamsostek) yang dilandasi oleh: 1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan 2) Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.

Ibu Tianggur Sinaga menyampaikan bahwa Jaminan Sosial Tenaga Kerja


(Jamsostek) sebagaimana disebutkan dalam UU Jamsostek pasal 1 ayat (1) adalah
suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan
sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Program
jaminan sosial tenaga kerja yang dicakup meliputi 4 program yaitu jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan
kesehatan.

Penyelenggaraan Program Jamsostek sebagaimana diatur dalam pasal 4


ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1992 adalah program wajib yang harus dilaksanakan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam

19
RINGKASAN LAPORAN

hubungan kerja dan pasal 4 ayat (2) mengatur bahwa program jaminan sosial
tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hingga saat ini, amanat pasal 4
ayat (1) telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
1993, namun amanat pasal 4 ayat (2) belum diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. Sebagai akibatnya hanya pekerja yang bekerja di sektor formal saja
yang sudah terlindungi oleh program jamsostek, sementara pekerja yang bekerja
dalam hubungan kerja ekonomi informal termasuk pekerja mandiri belum
terlindungi oleh program ini.

Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 14 Tahun 1992, program jamsostek


berlaku wajib bagi Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10
(sepuluh ) orang atau lebih atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,-
(satu juta rupiah) sebulan. Besar iuran proporsional terhadap pendapatan. Iuran
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan pemeliharaan kesehatan
ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, sedangkan iuran jaminan hari tua
ditanggung bersama oleh pengusaha.

Mekanisme penyelenggaraan program jamsostek sebagaimana yang diatur


dalam PP Nomor 14 Tahun 1993 diselenggarakan oleh sebuah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia (PT JAMSOSTEK).
Berbeda dengan sistem jaminan sosial nasional yang diatur oleh UU SJSN, Bapak
Direktur Jenderal melalui makalahnya menyampaikan bahwa program jamsostek
saat ini diselenggarakan oleh badan penyelenggara yang berorientasi laba.

Ibu Tianggur memaparkan masalah utama yang dihadapi program


jamsostek hingga saat ini adalah rendahnya kepatuhan hukum. Pelaksanaan
program jamsostek belum sepenuhnya ditaati oleh semua pengusaha seperti yang

20
RINGKASAN LAPORAN

diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku sehingga belum semua pekerja
DHK formal terjangkau oleh program jamsostek.

Memasuki era SJSN, kebijakan Depnakertrans diarahkan pada 1)


perluasan cakupan peserta jaminan sosial tenaga kerja; 2) pengembangan
program; dan 3) peningkatan pelayanan. Keempat kebijakan tersebut
dilaksanakan melalui 4 (empat) program yang meliputi: 1) kajian perluasan
cakupan dan pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja; 2)
penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang jaminan sosial tenaga
kerja; 3) penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah jaminan sosial tenaga
kerja bagi tenaga kerja mandiri; dan 4) penyusunan pedoman program jaminan
sosial bagi tenaga kerja mandiri.

Departemen Kesehatan; Departemen Kesehatan telah


mengembangkan 2 kebijakan jaminan kesehatan yaitu jaminan kesehatan sukarela
(Program JPKM) sejak Tahun 1992 dan jaminan kesehatan bagi 60 juta
masyarakat miskin (Program Askeskin) sejak Tahun 2005. Program JPKM
dikembangkan dengan mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, sedangkan Program Askeskin diatur oleh Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1241 Tahun 2004. Program Askeskin dipahami sebagai
langkah awal pengimplementasian program jaminan kesehatan sosial yang sejalan
dengan filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN.

Bapak Dr. Syafii Achmad menyatakan di dalam makalahnya bahwa


Departemen Kesehatan telah merintis langkah-langkah nyata menuju pencapaian
cakupan jaminan kesehatan semesta. Jumlah masyarakat yang terlindungi
program jaminan kesehatan telah meningkat 2 kali lipat dari 20,6% (2004)
menjadi 40,5% (2005) setelah Departemen Kesehatan menugaskan PT ASKES

21
RINGKASAN LAPORAN

untuk mengelola jaminan kesehatan bagi 60 juta masyarakat miskin dalam


Program Askeskin. Perluasan cakupan program jaminan kesehatan akan terus
dilakukan untuk mencapai target cakupan semesta yaitu 80% penduduk di setiap
desa siaga terlindungi program jaminan kesehatan secara mandiri. Agenda
Pembangunan Kesehatan Jangka Panjang Departemen Kesehatan menargetkan
cakupan semesta pada 2020.

Departemen Kesehatan melakukan pentahapan menuju pencapaian


cakupan semesta yang meliputi 5 tahap yaitu: 1) pemantapan program jaminan
kesehatan bagi penduduk yang bekerja di sektor formal; 2) pemantapan Program
Askeskin; 3) pengembangan daerah sentinel cakupan semesta; 4) pemantapan
cakupan semesta di daerah sentinel; dan 5) pemantapan cakupan semesta di
seluruh Indonesia.

Departemen Kesehatan mengagendakan 6 kegiatan pokok pengembangan


program jaminan kesehatan yaitu: 1) pengembangan dan pemantapan peraturan
perundangan tentang program jaminan kesehatan; 2) pengembangan aspek
pembiayaan program jaminan kesehatan; 3) pengembangan komponen-komponen
essensial program Jaminan kesehatan; 4) fasilitasi pelaksanaan program jaminan
kesehatan di daerah; 5) pengembangan dan pemantapan kelangsungan
pembiayaan Program Askeskin; dan 6) pengembangan dan pemantapan
kelangsungan pembiayaan program jaminan kesehatan.

Di dalam makalahnya, Bapak Sekretaris Jenderal mengingatkan masalah-


masalah potensial yang dapat memperlambat penyelenggaraan program jaminan
kesehatan wajib sebagai salah satu program SJSN. Terdapat 6 masalah utama
yaitu: 1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 5 ayat (2), (3),
(4) dan keharusan mendirikan BPJS dengan Undang-Undang hingga 2009; 2)

22
RINGKASAN LAPORAN

belum didirikannya DJSN yang berimplikasi pada keterlambatan penetapan


kebijakan SJSN; 3) belum disepakati paket manfaat dan besaran premi; 4)
terdapat kesenjangan kebijakan; 5) belum jelas pembagian urusan dan peran
pemerintah di setiap tingkatan baik Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota; dan
6) tidak dimuatnya sangsi yang jelas terhadap pelanggaran pelaksanaan SJSN.

Departemen Sosial; Departemen Sosial telah menetapkan rencana


strategis Tahun 2004 – 2009 untuk memusatkan kebijakan pembangunan bidang
kesejahteraan sosial pada 5 klausa sasaran strategis yang meliputi: 1) kemiskinan
(fakir miskin dan komunitas adat terpencil); 2) ketelantaran (anak terlantar, anak
jalanan dan lanjut usia); 3) kecacatan (penyandang cacat dan anak cacat); 4)
ketunaan sosial (wanita tuna susila, gelandangan, pengemis dan eks narapidana);
dan 5) korban bencana (bencana alam dan korban kerusuhan sosial). Kelima
sasaran strategis tersebut diwujudkan dalam program-program pembinaan sosial,
perlindungan sosial, pelayanan rehabilitasi dan pemberdayaan untuk memulihkan
fungsi sosial agar hidup sesuai harkat dan martabat kemanusiaan yang layak.

Ibu Lisning Srihastuti menjelaskan bahwa sejak Tahun 2003 Departemen


Sosial telah mengembangkan ujicoba atau rintisan asuransi kesehatan sosial
(ASKESOS) kepada pekerja mandiri pada sektor informal. Program ini
merupakan upaya menjembatani keberhasilan Program Bantuan Sosial yang
dilaksanakan oleh Departemen Sosial dan Program Jaminan Sosial. Program ini
dimulai di 23 propinsi yang kemudian dikembangkan di seluruh propinsi pada
Tahun 2006 dengan jumlah peserta 28.000 KK (2006).

ASKESOS adalah sistem perlindungan untuk memberikan pertanggungan


dan perlindungan sosial bagi warga masyarakat terhadap resiko menurunnya
tingkat kesejahteraan sosial akibat pencari nafkah utama meninggal dunia,

23
RINGKASAN LAPORAN

menderita sakit atau kecelakaan, sehingga berada dalam kondisi tidak


terpenuhinya kebutuhan dasar anggota keluarga. ASKESOS bertujuan untuk: 1)
memperkuat sistem ketahanan keluarga rentan atau miskin melalui program
pemeliharaan penghasilan; 2) memfasilitasi jaminan pertanggungan bagi warga
negara yang kondisinya diambang batas miskin dan 3) menciptakan suatu sistem
perlindungan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warga masyarakat
pekerja mandiri pada sektor informal.

Mekanisme penyelenggaraan program rintisan ASKESOS dilaksanakan


oleh Departemen Sosial melalui Dinas Sosial dan bermitra dengan Organisasi
Sosial yang telah dibina oleh Departemen Sosial. Program diwujudkan dalam
bentuk program usaha sosial-ekonomi produktif berupa bantuan modal usaha
yang disalurkan melalui kelompok usaha bersama.

Ibu Lisning menyampaikan kepada Forum apakah ASKESOS


terintegrasikan dan diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara sesuai UU SJSN,
sepenuhnya merupakan kebijakan Presiden melalui Dewan Jaminan Sosial
Nasional.

Bapak Dirjen mengingatkan dalam makalahnya bahwa amanat konstitusi


dan konsideran UU SJSN belum sepenuhnya terjabarkan di dalam pasal-pasal UU
SJSN. Implementasi UU SJSN hanya akan menyentuh kelompok pekerja formal
dan masyarakat miskin penerima bantuan, sementara kelompok penduduk yang
termasuk ke dalam kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
masih harus diperjuangkan untuk dapat dilindungi oleh UU SJSN

Pada sesi diskusi setelah pemaparan ketiga makalah tersebut di atas


mengemuka berbagai isu pokok yang menyangkut kebijakan dan teknis
operasional. Posisi peraturan dan perundangan yang memayungi program-

24
RINGKASAN LAPORAN

program jaminan sosial pra-SJSN di hadapan UU SJSN menjadi perhatian utama.


Muncul kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih peraturan dan kebijakan
jaminan sosial bila peraturan dan kebijakan yang berlaku saat ini tidak ditinjau
ulang dan ditata kembali. Begitu pula halnya dengan keterpaduan
penyelenggaraan program jaminan sosial. Forum sangat mengharapkan
keterpaduan dapat terwujud sehingga fragmentasi program jaminan sosial yang
berlangsung selama ini dapat diatasi.

Isu-isu teknis operasional dilontarkan berdasarkan pengalaman-


pengalaman di lapangan selama menyelenggarakan sistem jaminan sosial pra-
SJSN terutama program jaminan kesehatan. Isu portabilitas, rujukan, besarnya
iur-bayar dan mutu pelayanan kesehatan menjadi perhatian utama dalam diskusi.
Terungkap pula masalah kesenjangan ketersediaan dan mutu pelayanan kesehatan
di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang berpotensi
mempengaruhi kinerja jaminan kesehatan. Pengalaman menyelenggarakan
Askeskin dapat dijadikan pembelajaran bagi penyelenggaraan program-program
jaminan sosial bagi penerima iuran. Penetapan kriteria penerima iuran (means
testing) dan peran Pemerintah Daerah masih menjadi isu hangat yang
diperdebatkan dalam sesi diskusi.

Transparansi pengelolaan dana investasi program jaminan sosial pra-SJSN


juga dipertanyakan dalam diskusi. Diharapkan pada era-SJSN pengelolaan dana
jaminan sosial sebagai dana publik dapat diatur dengan jelas dan tegas untuk
menjamin terselenggaranya sistem yang transparan dan mendapat dukungan
publik.

25
RINGKASAN LAPORAN

Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial dan Peran-Tugas-


Fungsi Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
program jaminan sosial berdasarkan UU SJSN dan UU
Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa
Timur dan Provinsi Kalimantan Timur

Pada sesi ini disampaikan pengalaman penyelenggaraan program jaminan


sosial di era pra-SJSN di tiga Provinsi di Indonesia dan masukan-masukan dari
ketiga Daerah untuk penyelenggaraan SJSN yang sesuai dengan amanat UU SJSN
dan UU Pemerintahan Daerah. Makalah disampaikan oleh Kepala Biro
Kesejahteraan Rakyat – Bapak Ateng Putradi (Provinsi Jawa Tengah) mewakili
Sekretaris Daerah Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur – Dr.
Bambang Giyatno (Provinsi Jawa Timur) mewakili Sekretaris Daerah Provinsi
dan Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur – H. Syaiful Teteng.

Didasari oleh pemahaman pentingnya mencermati kebijakan otonomi


daerah dan desentralisasi, Panitia Rakernas mengundang tiga Provinsi – Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur – untuk bertukar pengalaman dalam
mengimplementasikan sistem jaminan sosial pra-SJSN dan mengutarakan usulan-
usulan Daerah untuk pembangunan SJSN secara langsung di muka Forum.
Diharapkan ketiga Provinsi tersebut dapat memperlancar terlaksananya dialog
yang harmonis dan bermanfaat bagi penyempurnaan SJSN. Provinsi Jawa
Tengah mendapat pendampingan dari Departemen Kesehatan dan GTZ-SHI sejak
2 Tahun yang lalu dan telah ikut serta dalam berbagai forum dialog kebijakan
sistem jaminan sosial terutama program jaminan kesehatan sosial di tingkat Pusat
maupun di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Propinsi Jawa Timur mewakili
Daerah-Daerah yang menyuarakan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
dalam penyelenggaraan SJSN yang kemudian diajukan kepada Mahkamah

26
RINGKASAN LAPORAN

Konstitusi melalui permohonan uji materi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang


SJSN. Propinsi Kalimantan Timur belum mendapat pemaparan mengenai UU
SJSN dan mewakili Propinsi di luar Pulau Jawa.

Ketiga Provinsi menyelenggarakan program jaminan sosial yang


diregulasi secara nasional oleh Pemerintah Pusat. Seperti halnya kinerja jaminan
sosial di seluruh wilayah Indonesia, cakupan jaminan sosial, salah satu indikator
kinerja jaminan sosial, di ketiga Provinsi tersebut masih sangat rendah. Penduduk
Propinsi Jawa Tengah yang terlindungi oleh program jaminan kesehatan sekitar
41% dan sebagian besar adalah masyarakat miskin (30,3% penduduk), begitu pula
di Propinsi Jawa Timur 28,7% penduduk terlindungi program jaminan kesehatan
di mana 19% penduduk adalah peserta Askeskin. Data peserta jaminan kesehatan
di Provinsi Kalimantan Timur tidak disebutkan di dalam makalah, namun
diperkirakan hasilnya tidak jauh berbeda dari kedua provinsi tersebut.

Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan lokal untuk memperluas


cakupan atau untuk meningkatkan manfaat pertanggungan. Propinsi Jawa Tengah
telah menyusun rencana pengembangan program jaminan kesehatan sebagai
pelaksanaan urusan wajib Pemerintah Daerah. Perluasan cakupan peserta
program jaminan kesehatan akan diutamakan pada kelompok masyarakat non
miskin yang belum terlindungi oleh program jaminan kesehatan yang ada saat ini.
Pemerintah Propinsi Jawa Timur telah menetapkan Peraturan Daerah yang
memberi wewenang penuh kepada Dinas Kesehatan Provinsi untuk menyusun
rencana, menjabarkan pedoman dan melakukan pembinaan, pemantauan,
pengendalian, pengawasan dan penyelenggaraan program JPKM serta
melaksanakan akreditasi Bapel JPKM dan penyelenggara pelayanan kesehatan.
Provinsi Kalimantan Timur telah menyubsidi program jaminan kesehatan bagi

27
RINGKASAN LAPORAN

Pegawai Negeri Sipil untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan menyubsidi


masyarakat miskin untuk perluasan kepesertaan.

Keluhan yang disampaikan oleh narasumber-narasumber dari ketiga


Provinsi hampir sama yaitu ketidasinambungan kebijakan-kebijakan yang disusun
oleh Pemerintah Pusat, ketidaktersediaan peraturan pelaksana SJSN dan
ketidakjelasan pembagian urusan di bidang jaminan sosial antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

Saran-saran yang disampaikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah


lebih komprehensif dan mengutamakan penyelesaian peraturan perundang-
undangan yang mengatur SJSN dan peraturan perundang-undangan lain yang
akan mempengaruhi kebijakan jaminan sosial nasional. Sementara usulan dari
Provinsi Jawa Timur lebih ditekankan pada pembentukan sistem jaminan sosial
daerah dan penyelenggaraan sistem jaminan sosial oleh Pemerintah Daerah.
Usulan tentang tugas, fungsi dan peran Pemerintah Daerah yang diusulkan
ditekankan pada pembangunan jaminan kesehatan sosial sebagai kelanjutan
program JPKM di era pra-SJSN yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur. Di dalam makalah dan presentasi provinsi Jawa Timur, tidak ada
ulasan mengenai usulan tugas, fungsi dan peran Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan keempat program jaminan sosial lainnya (jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian). Provinsi Kalimantan Timur
menekankan pentingnya kesinambungan kebijakan yang disusun oleh Pemerintah
Pusat dan perluasan kepesertaan jaminan sosial bagi masyarakat non miskin.

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah menyarankan beberapa usulan untuk


pengimplementasian SJSN, yaitu: 1) pengajian mendalam tentang UU Nomor 40
Tahun 2004 dan peraturan perundangan lain yang terkait untuk mencegah

28
RINGKASAN LAPORAN

kebijakan yang tumpang tindih dan tidak efektif; 2) penyelesaian segera seluruh
peraturan pelaksana UU Nomor 40 Tahun 2004 dengan melibatkan peran aktif
daerah; 3) perluasan perhatian pengembangan kepesertaan yang tidak hanya
terpusat pada pekerja informal dan masyarakat miskin; 4) optimalisasi dukungan
lintas sektor dan pengambil kebijakan jaminan kesehatan di setiap tingkat
pemerintahan; dan 5) pembangunan komitmen bersama untuk mempersiapkan
pengimplementasian UU SJSN.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengusulkan desentralisasi di bidang


jaminan sosial di era SJSN, meliputi:

1. pengembangan Sistem Jaminan Sosial Daerah dengan membentuk Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah dengan Peraturan Daerah untuk
mencakup masyarakat non miskin yang belum terlindungi oleh program
jaminan kesehatan yang ada.

2. Pengalokasian anggaran belanja daerah untuk pengembangan Sistem


Jaminan Sosial Daerah

3. Pembentukan Badan pembina dan pengawas jaminan kesehatan sosial


yang bertugas dan berfungsi sebagai: i) penyusun regulasi sistem jaminan
kesehatan; ii) menetapkan kebijakan umum Bapel JPKM; iii) pembinaan
dan pengawasan Bapel JPKM; iv) bimbingan, pengembangan dan
mendorong Bapel JPKM sebagai pengelola jaminan kesehatan bagi
seluruh komponen masyarakat.

Diskusi pada sesi ini tertuju pada program jaminan kesehatan khususnya
program jaminan kesehatan masyarakat miskin dan tidak ada pertanyaan atau
tanggapan mengenai peran Daerah dalam penyelenggaraan keempat jaminan

29
RINGKASAN LAPORAN

sosial lainnya. Kondisi ini dapat dipahami mengingat Program JPKM telah
diselenggarakan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dalam waktu cukup
lama dan program Askeskin diselenggarakan serentak di seluruh daerah di
Indonesia sejak seTahun yang lalu. Makalah dan presentasi Daerah yang diwakili
oleh ketiga Provinsi memperingatkan kita semua untuk lebih mengintensifkan
dialog kebijakan jaminan sosial nasional dengan Pemerintah Daerah. Pembagian
tugas, peran dan tanggung jawab harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati
dengan memerhatikan prinsip-prinsip jaminan sosial dan filosofi desentralisasi.

REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT

Rakernas “Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program Jaminan


Kesehatan Nasioanal dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat” pada
tanggal 15-16 Maret 2006, MENYEPAKATI sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN Pasca Putusan


Mahkamah Konstitusi merupakan payung hukum sistem jaminan sosial
nasional.

2. Pemerintah Daerah dapat mengembangkan Sistem Jaminan Sosial dalam


kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Rakernas “Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program Jaminan


Kesehatan Nasioanal dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat” pada
tanggal 15-16 Maret 2006, MEREKOMENDASIKAN TINDAK LANJUT sebagai
berikut:

1. Menyelesaikan Agenda-Agenda Bidang Regulasi, meliputi: i)


mempercepat penyusunan peraturan pelaksanaan UU 40/2004 ttg SJSN pasca

30
RINGKASAN LAPORAN

Putusan MK; ii) memetakan dan mengharmonisasikan seluruh peraturan


perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan SJSN - UU Nomor
40 Tahun 2004 pasca Putusan MK; iii) menetapkan kewenangan pemerintah
pusat dan daerah dalam mengembangkan sistem jaminan sosial nasional
secara tegas dan rinci dalam peraturan pelaksana UU 40/2004 tentang SJSN
dan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan iv) mempercepat proses
penyusunan RUU Badan Penyelenggara SJSN dengan mengakomodasi
aspirasi daerah.

2. Menyelesaikan Agenda-Agenda Bidang Pengorganisasian, meliputi:


i) mempercepat terbentuknya DJSN (Perpres dan Kepres DJSN) passl 6 UU
Nomor 40 Tahun 2004; ii) memberikan dasar hukum pembentukan BPJS dan
iii) mempersiapkan peralihan PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT
TASPEN menjadi BPJS.

3. Membangun Peran Serta Pemangku Kepentingan: i) menyusun modul


penyuluhan dan melaksanakan pelatihan bagi penyuluh SJSN; ii)
mempercepat pelaksanaan/penyelenggaraan sosialisasi dan diseminasi UU
SJSN kepada seluruh pemangku (Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota,
Pengusaha/pemberi kerja, Pekerja/buruh, media masa dan masyarakat luas);
iii) menampung aspirasi daerah; iv) membangun sistem informasi dan
manajemen jaminan sosial; v) Membangun sumber daya manusia yang
memahami dan peduli sistem jaminan sosial; dan vi) membangun opini publik
yang kondusif untuk pengembangan sistem jaminan sosial nasional.

4. Memperluas Kepesertaan dan Manfaat Program Jaminan Sosial


dengan: i) menyusun desain, strategi, dan rencana perluasan cakupan
kepesertaan dan manfaat program jaminan sosial jangka pendek, jangka

31
RINGKASAN LAPORAN

menengah dan jangka panjang; ii) meningkatkan peran serta pemerintah


daerah untuk mencapai kepesertaan semesta program jaminan sosial; iii)
menyiapkan infrastuktur dan fasilitas pendukung pengimplementasian
program jaminan sosial nasional; iv) menetapkan daerah-daerah untuk
percepatan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional termasuk upaya
perluasan kepesertaan dengan pendekatan wilayah; v) menggalang kemitraan
dan harmonisasi dengan seluruh pemangku termasuk lembaga-lembaga
internasional.

5. Kementerian MenkoKesra menyusun agenda dan kordinasi


penganggaran bagi pelaksanaan butir nomor 1 hingga nomor 4.

Penutup
Rakernas ditutup secara resmi oleh Menteri Kesehatan, Dr.dr. Siti Fadilah
Supari SpKJ yang sambutan tertulisnya dibacakan oleh Kepala Pusat
Pembangunan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Dr. Muharso SKSM. Di dalam
sambutan tertulisnya, Ibu Menteri menyampaikan bahwa Rakernas SJSN telah
berhasil merumuskan hal-hal penting seperti identifikasi pengaturan dan peran
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan SJSN, strategi
menuju kepesertaan semesta dan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
masa transisi. Rekomendasi ini akan digunakan untuk menyempurnaan berbagai
perangkat yang dibutuhkan untuk penerapan SJSN.

Ibu Menteri mengharapkan adanya aksi-aksi nyata sebagai tindak lanjut


Rakernas SJSN, antara lain: 1) menjadikan keputusan dan kesimpulan Rakernas
SJSN sebagai salah satu aucuan persiapan pelaksanaan SJSN ke depan; 2) segera
melakukan sosialisasi UU SJSN pascaa Putusan Mahkamah Konstitusi ke
berbagai stakeholder secara berjenjang ke provinsi dan kabupaten/kota; 3)

32
RINGKASAN LAPORAN

mendukung terbentuknya Dewan Jaminan Sosial Nasional ( DJSN) dan 4) setelah


Rakernas SJSN ini, implementasi SJSN dapat segera dimulai dan diawali dengan
program jaminan kesehatan.

33
EXECUTIVE SUMMARY

EXECUTIVE SUMMARY

The National Working Meeting on “the National Social Security System


and the National Social Health Insurance Program Towards The Creation of The
Prosperous Indonesian Society” was held at the first time in Indonesia from 15 to
16 March 2006 in Jakarta. The meeting was initiated and organized by the
Coordinating Ministry for People’s Welfare in coordination with the Ministry of
Health and GTZ-Social Health Insurance Project Indonesia in the framework of
technical cooperation on social health insurance development in Indonesia. The
meeting aimed at establishing effective coordination between central and local
government in establishing a national social security system and a national social
health insurance program as mandated in the National Social Security Law (Law
No.40/2004) and the verdict of the Judicial Review on 31 August 2005.

The national meeting was attended by 133 participants from various


institutions, including central government, provincial governments, existing social
security providers, candidates for the National Social Security Council, social
security experts and international partners on development. Representatives of
national government attending the meeting were from the Coordinating Ministry
for People’s Welfare, the Office of the State Secretary, the Office of the Vice
President, the Ministry of Foreign Affairs, the Ministry of Home Affairs, the
Ministry of Health, Ministry of Social Affairs, the Ministry of Manpower and
Transmigration, the Ministry of Finance, the Ministry of Law and Human Rights,
the Ministry of State Owned Enterprises, the Ministry of Defence, the National
Development Planning Agency, the National Coordination Council for Family

34
EXECUTIVE SUMMARY

Planning and the National Statistics Bureau. Representatives of local government


were from the Commission for People’s Welfare of Provincial Parliament,
Provincial Secretary and Heads of Provincial Health Offices. Also at the Meeting
were representatives from social security providers (PT ASKES, PT
JAMSOSTEK, PT ASABRI and PT TASPEN), candidates for the National Social
Security Council, experts on social security, World Health Organization (WHO)
Jakarta, and GTZ (Health, Regional Economic Reform, Good Governance and
Decentralization Projects). 28 out of 33 Provinces attended the meeting. Sumatra
Utara, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara and Irian Jaya Barat
Provinces did not attend the meeting.

This national meeting succeeded in building a common perception among


implementors of the national social security system, including national and
regional health insurance programmes, as regards developing and implementing
the social security system in accordance with the guidelines and procedures set
established in Law No. 40/2004 on the National Social Security System following
the ruling by the Constitutional Court. Several key issues were discussed at this
national meeting, including the tasks, functions and authority of central
government and regional governments as regards developing the national social
security system and measures to further the implementation of the national social
security system

Outputs from this meeting were: 1) a clear understanding of the national


social security system as per Law No.40/2004 following the ruling of the
Constitutional Court; 2) an understanding of the division of tasks between central
government and local government in administering national social security and
the national health insurance programmes; 3) an understanding of the legislation

35
EXECUTIVE SUMMARY

and policies that need to examined in administering national social security and
the national health insurance programme; 4) formulation of strategies and the
future agenda for revision of policy on the administering of national social
security, including the national health insurance programme, during the period of
transition, which will end on 18 October 2009.

Opening Session and Committee Report

At the opening session, Deputy Coordinating Minister for Coordination of


Social Welfare, Dr. Adang Setina, delivered the report of the Chair of the Steering
Committee for the National, and Mr. M. Riza Tajoedin, Deputy Director GTZ
Indonesia delivered a speech. The national meeting was officially opened and
moderated by Mr. Ir. Aburizal Bakrie, Coordinating Minister for People’s
Welfare.

Deputy Coordinating Minister for Coordination of Social Welfare, Dr.


Adang Setiana, acting as Chair of the Steering Committee for the National,
explained that the purpose of this meeting was to improve coordination and
synchronisation, and to formulate central government and regional government
policy to implement Law No. 40/2004 on the National Social Security System
following the ruling of the Constitutional Council. This two-day meeting
consisted of: 1) presentation of six topics (day one); and 2) group discussions and
policy dialogue, followed by formulation of the future agenda for implementation
of the Law on the National Social Security System (day two). The six discussion
topics were: 1) the substance and philosophy of Law 40/2004 on the National
Social Security System; 2) the structure, organisation, and work mechanisms of
the national social security system; 3) Law No. 40/2004 on the National Social

36
EXECUTIVE SUMMARY

Security System following the ruling of the Constitutional Court; 4) the tasks,
functions, and roles of regional government in implementing Law No. 40/2004; 5)
the past and current (post Law No. 40/2004) policies of the Ministry of Social
Affairs, the Ministry of Health, and the Ministry of Manpower and
Transmigration regarding development of social security; 6) the experiences of
the governments of the provinces of Central Java, East Java and East Kalimantan
in administering social security programmes.

The Minister hoped that by discussing these six topics, the participants
would be able to understand the national social security system and be able to
eradicate the many negative impressions of the material and substance of Law
40/2004 on the national social security system following the ruling of the
Constitutional Court, and from there be able to create a positive common
perception and thus be able to formulate the future agenda for revising policy on
and implementing the national social security system.

The Minister also thanked GTZ and the Ministry of Health and others for
their support for this meeting. It is planned that the national meeting will be
followed by provincial level meetings on the national social security system with
participants from the districts/municipalities in 2006.

Official Opening and Briefing

Coordinating Minister for People’s Welfare, Mr. Ir. Aburizal Bakrie,


welcomed the participants, briefing the participants on the terms of reference for
the National Working Meeting to the participants and officially opening the event.
The opening speech and briefing was also attended by Minster for Health, Dr. Siti
Fadilah Supari.

37
EXECUTIVE SUMMARY

In his message, the Coordinating Minister for People’s Welfare explained


that development of the national social security system is a government initiative
to create a prosperous society. He said that the “National Meeting on the National
Social Security System and the National Health Insurance Programme Towards
the Creation of a Prosperous Indonesian Society” is a crucial meeting for revising
policy on the national social security system and formulating measures to further
develop the national social security system in Indonesia following the enactment
of Law No. 20/2004 on the National Social Security System (National Social
Security Law) on 19th October 2004.

The Coordinating Minister for People’s Welfare stressed that the National
Social Security Law is an improvement on the social security system that
currently covers only a small portion of Indonesian society – active and retired
civil servants, members of the armed forces and the police, and some private
sector workers – through the Askes, Jamsostek, Taspen and Asabri programmes.

In his speech, the Minister reiterated that the National Social Security Law
is in accordance with the mandate of the 1945 Constitution (amended), article 34,
which mandates social protection for all. Law No. 40/2004 on the National Social
Security System will be enormously beneficial for the development of human
resources and people’s welfare, and provide a legal umbrella to do away with the
fragmentation and segmentation in administration of the social security system.

The government is giving serious attention to expanding social security


participation, in keeping with the mandate of Law No. 40/2004 on the National
Social Security System, by providing health insurance to 60 million poor people
through the Askeskin programme. In the future, when all the implementing
regulations for the National Social Security Law have been formulated and are

38
EXECUTIVE SUMMARY

operational, implementation of the social security system will be phased in to


eventually encompass all social security programmes and all components of
society.

The Coordinating Minister for People’s Welfare reiterated that


operationalization of Law No. 40/2004 on the National Social Security System
following the ruling of the Constitutional Court would not be easy, because the
social security programme concerns a range of interests. The greatest challenge in
implementing the National Social Security Law following the ruling by the
Constitutional Court is building the support and trust of the public and business.
Thus, to obtain concrete results, coordination must be built by involving all
stakeholders, avoiding dis-synergy and overlapping of policy, and building a
system that is able to provide real benefits to all stakeholders through improved
productivity, increased competitiveness of Indonesian human resources in this era
of globalisation, and positive implications for national economic growth and
poverty reduction.

He also emphasised that time is short for preparing all the implementing
regulations for the national social security system, which must be finalised by the
end of the transition period, on 18 October 2009, and he called on all the
participants, and indeed all parties, to finalise these agendas.

The Coordinating Minister noted two key agendas that must be completed
ruing the transition period: 1) preparation of a draft regulatory instruments for
implementation of Law No. 40/2004 on the National Social Security System
following the ruling of the Constitutional Court by related departments/sectors,
and 2) revision of regulatory instruments for implementation of Law No. 40/2004

39
EXECUTIVE SUMMARY

by the Office of the Coordinating Minister for People’s Welfare by involving all
stakeholders in the production of a carefully considered legal product.

The Minister hoped that the meeting participants would be able to


formulate: 1) priority agendas for developing the social security system as a key
element of social security for all, and 2) division of tasks, responsibilities and
affairs related to development of the social security system at the national and
regional levels in the context of administering an effective and efficient social
security system.

Law No. 40 of 2004 on the National Social Security System

During the first session, four topics were discussed, comprising: 1) the
substance and philosophy of Law No. 40/2004 on the National Social Security
System (presentation delivered by Dr. Sulastomo, former chair of the team that
drafted the National Social Security Bill); 2) National Social Security System
Mechanisms and Institutions (delivered by Deputy Coordinating Minister for
People’s Welfare responsible for Coordination of Social Welfare, Dr. Adang
Setiana; 3) Implementation of Law No. 40/2004 on the National Social Security
System following the ruling of the Constitutional Court (presented by the Director
General of Legislation, Ministry of Law and Human Rights, A.A. Oka Mahendra,
SH); and 4) Tasks, functions and role of Regional Governments in implementing
Law No. 40/2004 following the ruling of the Constitutional Court (presented by
Head of Planning, Ministry of Home Affairs, Mr. Dodi Riyatmadji representing
the Director General of Regional Autonomy, Ministry of Home Affairs).

Substance and Philosophy of Law No. 40/2004 on the National


Social Security System

40
EXECUTIVE SUMMARY

Dr. Sulastomo explained the principles of the social security system and
the process of reform of the social security system in Indonesia, which began with
the introduction of Law No. 40/2004 on the National Social Security System.

Dr. Sulastomo reiterated that, at present, implementation of the new social


security system covers only a small portion of the population (civil servants and
some private sector workers), provides very limited benefits, and is administered
by four different administering bodies – PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT
ASABRI and PT ASPEN – based on different legal and regulatory foundations.

The government initiated the process of reforming the national social


security system by introducing Law No. 40/2004 on the National Social Security
System. Reform of the social security system aims at administering social security
for all as means to achieving social justice (as mandated by the 1945 Constitution
Article 34 Clause 2). Reform involves revising regulations, and improving the
implementation mechanisms, quality and benefits of social security in order to
guarantee universal, transparent, accountable and prudent administration of social
security.

The National Social Security Law is concerned with and establishes the
basic principles of the social security system to ensure administration of a national
social security system that is adequate and able to offer concrete benefits for the
improvement of people’s welfare. The national social security system that will be
developed is expected to have a direct impact on increasing economic
development and be able to prevent, by 2015, an explosion of the social time
bomb resulting from the upsurge in the number of elderly people without health
insurance or pension insurance. It is estimated that by 2025, 11% of the
Indonesian population, or around 24.5 million people, will be over the age of 60.

41
EXECUTIVE SUMMARY

Dr. Sulastomo explained the mechanisms for implementation of the


National Social Security System set forth in Law No. 40/2004 as follows: 1) The
President established general policy and synchronizes implementation with the
assistance of the National Social Security Council, which shall be established by a
Presidential Regulation; 2) the National Social Security Council is responsible for
conducting study and research, making policy recommendations on investment
and recommendations on the budget for recipients of assistance, and monitoring
and evaluating implementation of the national social security system; 3) There are
currently four social security administering bodies (PT ASKES, PT
JAMSOSTEK, PT ASABRI and PT TASPEN), the legal entities and
implementation mechanisms of which must be brought into compliance with the
National Social Security Law within five years of the date of the enactment of
Law No. 24/2004 on 19 October 2004, and there is an opportunity for additional
administering bodies to be established by Law; 4) the national social security
programme covers health insurance, work accident insurance, old age pension,
public pension, and life insurance; 5) the Government may take special measures
to safeguard the financial soundness of the social security administering bodies,
such as exploring funding sources, and setting contributions and benefits, which
includes setting subsidy mechanisms and amounts.

In his presentation, Dr. Sulastomo also explained that administration of the


social security system must involve Regional Government in order to fulfil the
two legal mandates: Law No. 40/2004 on the National Social Security System and
Law No. 32/2004 on Regional Governments. Detailed provisions will be set forth
in Government Regulations on these two Laws.

42
EXECUTIVE SUMMARY

National Social Security System Mechanisms and Institutions,


were defined in the paper by Dr. Adang Setiana as the administrative processes
that govern relations between actors in the National Social Security System and
relations between actors and institutions involved in administering the National
Social Security System along with all their instruments. Established procedures
are necessary to regulate work mechanisms and relations between all actors and
institutions involved in administering the National Social Security System.

In his presentation, Dr. Adang explained the macro concepts that would be
discussed during the meeting: 1) institutions; 2) funding mechanism; and 3)
mechanism for payment of compensation.

The institutions established by the National Social Security Law consist


of: 1) The National Social Security Council, a national body that has the task of
assisting the president in setting national social security policy and monitoring
implementation of this policy; 2) Social Security Administering Bodies (PT
ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT TASPEN and other social security
administering bodies) are established by Law as required, and the legal status of
these four institutions shall be changed from limited liability companies to non
profit organisations; 3) Social security administering bodies will have regional
offices as necessary; 4) At the provincial level, an agency to monitor
implementation of the national social security system and to make
recommendations and give advice on National Social Security Policy to the
National Social Security Council, may be established.

Dr. Adang Setiana explained that the National Social Security funding
mechanism would be established by the President with the assistance of the
National Social Security Council. The funding mechanism will be further

43
EXECUTIVE SUMMARY

governed by a Presidential Regulation. The mechanism for compensation


payment will be administered with due regard for the aspects of efficiency and
sustainability of compensation payments.

Implementation of Law No. 40/2004 on the National Social


Security System following the Ruling of the Constitutional Court: Mr.
A.A. Oka Mahendra, SH, explained that the Constitutional Court is granted the
authority by Article 10 clause (1) of Law No. 24/2004 on the Constitutional Court
to try in the first and last instance, including the authority to test Laws against the
1945 Constitution, and that rulings of the court are final. A ruling of the
Constitutional Court, according to article 26 of Law No. 24/2004, has established
legal standing from the moment it is read in open, public session.

The ruling of the Constitutional Court on Law No. 40/2004 on the testing
of article 5 clause (1), clause (3) and clause (4) and article 52 of the National
Social Security System against the 1945 Constitution, which was read on 31
August 2005, is as follows:

1. Accepts the Petition in part, namely: 1) the claim that Article 5 clauses
(2), (3), and (4) of Law No. 40/2004 on the National Social Security System
are unconstitutional; and 2) the claim that Article 5 clauses (2), (3), and (4) of
Law No. 40/2004 on the National Social Security System are not legally
binding. The ruling of the Constitutional Court deemed that social security
administering bodies in the regions may be established by a Regional
Regulation on fulfilment of criteria concerning the National Social Security
System as governed by the National Social Security Law, namely that it is
administered based on the philosophy, aims and principles as established in
Article 2, Article 3 and Article 4 of the National Social Security Law. Norms,

44
EXECUTIVE SUMMARY

standards and procedures for regional social security administering bodies


must be established in the legislation that will form Regional Government
guidelines on drafting Regional Regulations.

2. Rejects the Petition in part, namely, rejects the petition for testing of
Article 5 clause (1) as this article is deemed sufficient to meet the needs for
establishment of national social security administering bodies at the national
level and is deemed not to be unconstitutional. Testing of article 52 was also
rejected for reasons of filling a legal vacuum and guaranteeing legal certainty.
It was also explained that there was no significant influence over the
ruling of the Constitutional Court regarding implementation of the National Social
Security Law. The National Social Security Law fulfils the purpose of Article 34
clause 2 of the 1945 Constitution because the system chosen covers all citizens,
empowering the weak and disadvantaged in accordance with humanitarian
principles. Furthermore, it was emphasised that in itself the National Social
Security Law was a confirmation of the State’s responsibility to provide social
security as a human right, as referred to in article 28H clause (3) of the 1945
Constitution.

In the Constitutional Court’s judgement it was explained that the four


limited liability companies (PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT
TASPEN) would remain in effect up until such time that they are brought into
compliance with the National Social Security Law pursuant to Article 52 clause
(1) of this Law with due regard to Article 52 clause (2) which establishes a five
year transition period, which will end on 18 October 2009. He stressed that
systematic, directed and integrated measures to draft Law pursuant to the
provisions in article 5 of the National Social Security Law must formulated

45
EXECUTIVE SUMMARY

immediately to provide a legal basis for the social security administering bodies.
If no Law is established before the end of the transition period, the four limited
liability companies designated as social security administering bodies will lose the
legal basis for their existence. Also emphasised was the need to accelerate the
drafting of all regulations to implement the National Social Security Law to
ensure that it can be applied effectively.

The Role of Regional Governments in the National Social


Security System within the Corridor of Law No. 32/2004 on Regional
Governments: The Director General of Regional Autonomy, Mr. Kausar AS,
discussed five main issues: 1) the concept of decentralisation and regional
autonomy; 2) division of government tasks; 3) implementation of the social
security system; 4) the role of Regional Governments in managing and
implementing the social security system, and 5) policy strategy for developing the
social security system.

In his paper, the Director General for Regional Autonomy recapped on the
concept of decentralisation and regional autonomy adopted by Indonesia as
mandated in the 1945 Constitution. Regional autonomy in the context of the
implementation of decentralisation in Indonesia has three main features: 1)
autonomous regions do not have sovereignty; 2) decentralisation is manifested in
the form of transfer of government tasks; and 3) transfer of government tasks is
closely related to State goals, including creating a prosperous and educated
Indonesian society.

Division of government is based on the criteria of externality,


accountability and efficiency, as set forth in the provisions in articles 10 through
18 of Law 32/2004 on Regional Governments. Management of the social security

46
EXECUTIVE SUMMARY

system by the Regions within the corridor of Law No. 32/2004 on Regional
Governments requires consideration of articles 10 through 14 and article 22 letter
(h).

The Director General of Regional Autonomy identified 3 main problems


that will be faced when implementing the National Social Security System, which
is governed by Law No. 40/2004:

1. Following the repeal of article 5 clauses (2), (3) and (4) based on the ruling of
the Constitutional Court on its testing of the substance of Law No. 40/2004
issued on 31 August 2004, legislation concerning social security will have to
be adjusted and revised accordingly;

2. The spread of the idea in some districts that Law No. 24/2004 on the National
Social Security System is in contravention of article 22 letter (h) of Law No.
32/2004 on Regional Governments; Article 22 letter (h) says that Regions are
required to develop social security systems as a part of the duty to implement
regional autonomy;

3. The spread of the idea that Law No. 40/2004 on the National Social Security
System is centralistic and is contrary to the division of government tasks in
implementation of decentralization as established in articles 13, 14, and 22
letter (h) of Law No. 32/2004 on Regional Governments.
In his paper, the Director General for Regional Autonomy stressed that in
the formulation of the framework for implementing and strategies for developing
the national social security system, it would be necessary to consider and take into
account various regulations and statutes and key actions, as follows:

47
EXECUTIVE SUMMARY

1. All legal provisions that relate directly to regional autonomy must be based on
and be in line with the regulations set forth in Law No. 32/2004 (article 237,
Law No. 32/2004)

2. Government tasks that have to do with social security (health, social and
employment insurance) are government tasks that have been decentralised and
delegated to the provinces and districts/municipalities (articles 13 and 14 Law
No. 32/2004)

3. In implementing autonomy, Regions a responsibility to develop a social


security system (article 22 letter (h), Law No. 32/2004);

4. In keeping with the concept and aim of autonomy, which is to build


democracy and people’s welfare, Regions must be allowed creativity and
innovation in policy to create a social security system (article 22 letter (h),
Law No. 32/2004);

5. Law No. 40/2004 on the National Social Security System needs to harmonised
with Law No. 1/1995 on Limited Liability Companies and Law No. 32/2004
on Regional Governments;

6. Regional social security administering bodies may take the form of Public
Service Bodies (Government Regulation No. 23/2005 on Public Service
Bodies);

7. For sources of funding for management of social security refer to the


provisions of article 155 clause (1) and (2), article 156 clause (1), article 167
clause (1) of Law No. 32/2004, and Government Regulation No. 58/2005 on
Regional Finances.

48
EXECUTIVE SUMMARY

The Director General hoped to take immediate action on the ruling of the
Constitutional Court by formulating comprehensive and effective national social
security policy and taking concrete action by involving all stakeholders and
empowering all central and regional government institutions and partners, PT
JAMSOSTEK, PT ASKES, PT TASPEN, and TP ASABRI. He stressed that
policy and strategy for further development of the national social security system
are very strategic and comprehensive options in synergising and intensifying
coordination between departments and non-departmental government agencies,
and in stepping up programme integration between central and regional
government.

During the discussion session following the presentation of these four


papers, several questions were raised, particularly concerning clarification of the
division of tasks between central government and regional governments and the
legal basis for the establishment of the national social security system, especially
in the regions.

Meeting participants stressed the need to resolve the problem of


uncertainty over the division of tasks between the different levels of government,
particularly in terms of the health insurance programme. The experience of the
East Java Provincial Government demonstrates that implementation of the
ASKESKIN programme has interfered with the implementation of the health
insurance programme in this region, which led to the petition to test the content of
the National Social Security Law. There were also requests that central
government provide clear and consistent information (that all
institutions/information providers give the same information), so that the

49
EXECUTIVE SUMMARY

information provided is not confusing and can be used by the Regions as a


guideline.

Also requested was confirmation of the requirement of the National Social


Security Law that social security administering bodies be established by Law;
whether that meant one Law for each social security body or one Law for all
social security bodies, and whether, with regard to provisions requiring a
Regional Regulation for establishment of social security administering bodies in
the Regions, a Decree of the Regional Head could be used instead. The legal
entity of social security administering bodies as referred to in the provisions of the
National Social Security Law is confusing to participants. For example, one
participant asked whether a cooperative could be the legal entity for a social
security administering body in the Regions.

Also discussed during this session were several obstacles resulting from
the existence of regulations that could delay implementation of the national social
security system, such as the difficulty of involving regional public hospitals in the
socialization of government programmes, including the National Social Security
Law, owing to Presidential Decree No. 40/2001 on the roles and responsibilities
of health services and hospitals.

The presentations and discussions during this session highlighted the


urgent need to finalise legal agendas for the National Social System, formulate the
policy – design – strategy framework for implementation of the national social
security system, develop clear, strict and detailed national social security
mechanisms and institutions by clarifying the division of tasks between the
different levels of government, and build unity and consensus at the national level

50
EXECUTIVE SUMMARY

before disseminating information the Regions and other stakeholders in the


national social security system.

Current Policy of the Ministry of Manpower and


Transmigration, Ministry of Health, and Ministry of Social
Affairs on Implementation of Social Security Programmes
and Development of this Policy in the Era of the National
Social Security System

In accordance with the theme of the meeting to harmonise the National


Social Security Law and the Law on Regional Governments, discussion was
limited to three Ministries that manage implementation of social security
programmes for the general public, namely the Ministry of Manpower and
Transmigration, the Ministry of Health, and the Ministry of Social Affairs. The
Ministry of Defence and Security as regulator of social security programmes for a
specific section of society, that is members of the Indonesian National Forces
(TNI) was not included in the agenda dialogue at this forum.

The three papers were written by Director General for Industrial Relations
and Employee Social Security, Ministry of Manpower and Transmigration –

Mr. Muzni Tambusai – presented by Ir. Tianggur Sinaga MA, Secretary


General, Minstry of Health – Dr. Syafii Achmad MPH – presented by the Deputy
Head of the Health Financing and Health Insurance Centre, and the Director
General of Social Security and Social Assistance, Minstry of Social Affairs –
presented by the Director of Social Welfare Security, Ministry of Social Affairs,
Ms. Lisning Sri Hastuti.

This session discussed implementation of the social security programmes


regulated by each of these three Ministries, prior to the enactment of the National

51
EXECUTIVE SUMMARY

Social Security Law, and preparations that have been and will be made by the
three Ministries to prepare national social security programmes in light of the
National Social Security Law.

The presentations by the three Ministries clarified the characteristics of


social security programmes in Indonesia prior to introduction of the national
social security system that remain in effect up to the present. Pre national social
security system social security programmes are segmented among the various
ministries on the initiative of the ministries, based on the tasks, functions and
responsibilities of the individual ministries and their different policy target
audiences.

The legal basis and regulator of the implementation of the social security
system in Indonesia differ for each societal group. It is implemented by several
administering bodies that offer different benefits and adopt different kinds of
mechanism and organisation. In other words, social security programmes as they
exists to today in Indonesia are segmented according to regulator and societal
group, and they provide segmented social security benefits.

The three Ministerial papers clearly state that all three agree that the
National Social Security Law paves the way for solving this problem. But, they
warn that finding a solution to this problem greatly depends on presidential policy
on social security channelled through the National Social Security Council.
Reform of regulations and legislation on the national social security system is a
priority agenda that must be completed in order to create a comprehensive social
security system for all.

Ministry of Manpower and Transmigration: The Ministry of


Manpower and Transmigration manages the implementation of the employee

52
EXECUTIVE SUMMARY

social security programme (Jamsostek), which is based on: 1) Law No. 3/1992
concerning Employee Social Security (Jamsostek), and 2) Government
Regulation No. 14/1992 on Implementation of the Employee Social Security
Programme.

Ms. Tianggur Sinaga explained that employee social security (Jamsostek)


as referred to in article 1 clause (1) of the Employee Social Security Law is
protection for employees in the form of services and monetary compensation for
complete or partial loss of earnings resulting from an incident suffered by an
employee, such as an accident at work, sickness, pregnancy, childbirth, old age,
and death. The employee social security programme includes 4 programmes:
work accident insurance, life insurance, old age pension, and health insurance.

Implementation of the employee social security programme as governed


by article 4 clause (1) of Law No. 3/1992, is mandatory for all companies for
employees engaged in work within an employment relationship, and by article 4
clause (2), which requires that provisions regarding employee social security
programmes for employees engaged in work outside an employment relationship
be further governed by a Government Regulation. Up to the present, the mandate
of article 4 clause (1) has been further governed in Government Regulation No.
14/1993, but the mandate of article 4 clause (2) has yet to be further governed in a
Government Regulation. Consequently, only workers in the formal sector are
protected by the employee social security programme, while workers who are
working in employment relationships in the informal economic sectors, including
the self-employed, are not protected by this programme.

As regulated in Government Regulation No. 14/1992, the employee social


security programme is mandatory for employers that employ a workforce of 10

53
EXECUTIVE SUMMARY

(ten) or more or pay wages of at least Rp 1,000,000 (one million rupiah) a month.
Contributions are pro rata. Work accident insurance, life insurance and health
insurance contributions are paid in full by the employer, while old age pension
contributions are the joint responsibility of the employer and employee.

The mechanism for implementing the employee social security


programme as regulated in Government Regulation No. 14/1993 is administered
by the state-owned enterprise, PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia (PT
JAMSOSTEK). The Director General, through this paper, conveyed that unlike
the national social security system regulated by the National Social Security Law,
this employee social security programme is administered by a for-profit
administering body.

Ms Tianggur explained that the main problem currently facing the


employee social security programme is the lack of legal certainty. Not all
employers implement the employee social security programme as mandated by
law, so not all employees in formal employment relationships are covered by the
employee social security programme.

Entering the era of the national social security system, policy of the
Ministry of Manpower and Transmigration will focus on: 1) expanding
participation in employee social security; 2) programme development, and 3)
improving services. These policies will be implemented through four
programmes: 1) study of the coverage and development of the employee social
security programme; 2) revising legislation on employee social security; 3)
drafting a Government Regulation on employee social security for the self-
employed; and 4) formulating guidelines for a social security programme for the
self-employed.

54
EXECUTIVE SUMMARY

Ministry of Health: The Ministry of Health has developed two health


insurance policies: voluntary health insurance (the JPKM programme established
in 1992) and health insurance for 60 million poor people (the Askeskin
programme established in 2005). The JPKM programme was developed with
reference to Law No. 32/1992 on Health, while the Askeskin programme is
regulated by Decree of the Minister of Health No. 1241/2004. The Askeskin
programme is understood to be the first step in the implementation of a social
security programme that is in line with the philosophy of Law No. 40/2004 on the
National Social Security System.

Dr. Syafii Achmad said in his paper that the Ministry of Health has
innovated concrete measures towards achieving universal health insurance
coverage. The proportion of people protected by health insurance programmes
doubled from 20.6% (2004) to 40.5% (2005) after the Ministry of Health charged
PT ASKES with the task of managing health insurance for 60 million poor people
under the Askeskin programme. The coverage of the health insurance programme
will continue to expand to achieve the target of universal coverage, which means
that 80% of the population of each village will have the protection of health
insurance. The Ministry of Health’s long term health development agenda targets
universal coverage for 2020.

The Ministry of Health is phasing in universal coverage in five phases: 1)


consolidation of the health insurance programme for people working in the formal
sectors; 2) consolidation of the Askeskin programme; 3) development of sentinel
regions for universal coverage; 4) consolidation of universal coverage in sentinel
regions; and 5) consolidation of universal coverage for the whole of Indonesia.

55
EXECUTIVE SUMMARY

The Ministry of Health has planned 6 core activities for development of


the health insurance programmes: 1) development and consolidation of legislation
on the health insurance programmes; 2) development of financing for health
insurance programmes; 3) development of essential components of health
insurance programmes; 4) facilitation of the implementation of the health
insurance programme in the regions; 5) development and consolidation of
sustainable financing of the Askeskin programme; and 6) development and
consolidation of financing for the health insurance programme.

In his paper, the Secretary General warned of potential problems that


could delay implementation of the compulsory health insurance programme as
one of the programmes in the national social security system. There are six main
problems: 1) the ruling of the Constitutional Court repealing article 5 clauses (2),
(3) and (4), and the requirement that social security administering bodies be
established by Law up until 2009; 2) the fact that the National Social Security
Council has not been established yet will delay the setting of national social
security policy; 3) the fact that the compensation package and amount of
premiums have yet to be decided on; 4) inconsistencies in policy; 5) the fact that
the division of government tasks and responsibilities at each level of government,
central, provincial and district/municipal, has yet to be clarified; and 6) the
absence of clear sanctions for violations in implementing the National Social
Security System.

Ministry of Social Affairs: The Ministry of Social Affairs has prepared


a strategic plan for 2004 -2009 to focus social welfare development policy on 5
strategic targets: 1) poverty (the poor and isolated indigenous communities);
neglect (neglected children, street children, and the elderly); 3) disability (the

56
EXECUTIVE SUMMARY

disabled and disabled children); social depravation (women sex workers,


vagrants, beggars, and ex prisoners); and disaster victims (victims of natural
disasters and social unrest). These five strategic targets are manifested in social
guidance and social protection programmes, rehabilitation services, and
empowerment programmes to rehabilitate social functions enabling people to live
humane and worthy lives.

Ms. Lisning Sri Hastuti explained that in 2003, the Ministry of Social
Affairs developed a trial or pilot social welfare insurance scheme for self-
employed workers in the informal sectors. This programme was intended to
bridge the successes of the social assistance programme implemented by the
Ministry of Social Affairs and the social security programme. First introduced in
23 provinces, this programme will be extended to include all provinces in 2006,
with a total of 28,000 participating households.

ASKESOS is a system of protection to provide social security and


protection against the risk of a decrease in social welfare in the event that the
main breadwinner suffers death, sickness or accident and as a result is unable to
meet the family’s basic needs. ASKESOS aims to: 1) strengthen the security of
vulnerable or poor families through an income protection programme; 2) facilitate
a guarantee of security for citizens on the poverty threshold; and 3) create a
system of protection and maintenance of the level of social welfare of citizens
who are self-employed workers in the informal sector.

The mechanism for implementation of the ASKESOS pilot programme is


implemented by the Ministry of Social Affairs through the social services and in
partnership with social organisations established by the Ministry. The programme

57
EXECUTIVE SUMMARY

is realised in the form of productive social-economic initiatives, with enterprise


capital channelled through cooperative enterprise groups.

Ms. Lisning explained the forum that ASEKSOS is integrated with and
administered by an administering body in compliance with the Law on the
National Social Security System, and is in line with Presidential policy channelled
through the National Social Security Council.

The Director General warned in his paper that the constitutional mandate
and consideration of the National Social Security Law have yet to be fully
translated in the articles of the National Social Security Law. Implementation of
the National Social Security Law will affect only workers in the formal sector and
poor recipients of aid, while those who fall within the category of “social
undesirables” will still have to fight to be protected by the National Social
Security Law.

During the discussion session following the presentation of these three


papers, several key issues concerning policy and technical operational matters
were raised. The position of regulations and legislation governing pre-National
Social Security System social security programmes vis-à-vis the National Social
Security Law is key area for attention. Concerns were expressed concerning the
overlapping of social security regulations and policies if current regulations and
policies were not reviewed and revised. Likewise regarding the integration of the
implementation of social security programmes. The forum hoped very much that
the programmes would be integrated, to eliminate the ongoing problem of the
fragmentation of social security programmes.

Technical operational issues raised were based on experiences of


implementing the social security system prior to the National Social Security

58
EXECUTIVE SUMMARY

System, in particular the health insurance programme. The issues of portability,


referral, premiums, and quality of health services were main points of concern
during the discussion. Also raised was the problem of inconsistency in the
availability and quality of health services in regions bordering neighbouring
countries, which could affect the performance of health insurance. Experiences in
implementing Askeskin could be used as lessons for the implementation of social
security programmes. Means testing and the role of regional governments were
hot topics of debate during the discussion session.

The question of transparency in the investment fund management of pre-


National Social Security System social security programmes was also raised
during the discussion. It is hoped that when the National Social Security System is
operational, the management of social security funds as public funds will be
clearly and strictly regulated to guarantee the transparent administration of the
system and win public support.

Implementation of the Social Security System and the


Roles, Tasks and Functions of Regional Government in
implementing social security programmes pursuant to the
National Social Security Law and the Law on Regional
Governments in the Province of Central Java, the Province
of East Java, and the Province of East Kalimantan.

During this session, experiences in implementing social security


programmes in the pre National Social Security era in three provinces in
Indonesia were presented along with input from the three regions for
implementation of the national social security system in accordance with the
National Social Security Law and the Law on Regional Governments. Papers

59
EXECUTIVE SUMMARY

were presented by the Head of the Bureau for People’s Welfare, Mr. Ateng
Putradi (Central Java Province), representing the Provincial Secretary; Head of
the East Java Provincial Health Service, Dr. Bambang Giyanto (East Java
Province) representing the Provincial Secretary; and the Provincial Secretary for
East Kalimantan, H. Syaiful Teteng.

Based on an understanding of the importance of reviewing regional


autonomy and decentralisation policy, the committee of the working meeting
invited three provinces – Central Java, East Java, and East Kalimantan – to share
their experiences in implementing social security systems prior to the National
Social Security era and give recommendations to the Regions for development of
the national social security system directly before the forum. It was expected that
the three provinces would be able to facilitate harmonious and constructive
dialogue for revision of the national social security system. Central Java province
has had support from the Ministry of Health and GTZ-SHI for the past two years
and has participated in several policy dialogue forums on the social security
system, especially social health insurance, at the central, provincial and
district/municipal levels. East Java province represented regions that translated
regional autonomy and decentralisation policy in implementation of the National
Social Security System, subsequently leading to a petition to the Constitutional
Court for a test of the content of Law No. 40/2004 on the National Social Security
System. East Kalimantan province has not received any explanation of the
National Social Security Law and represented provinces outside Java.

The three provinces implement social security programmes that are


regulated at the national level by central government. As with the performance of
social security in the whole of Indonesia, the coverage of social security – which

60
EXECUTIVE SUMMARY

is one indicator of the performance of social security – is still very low in these
three provinces. The proportion of the population of Central Java province
protected by the health insurance programme is around 41%, most of whom are
poor people (30.3% of the population). In East Java province, 28.7% of the
population are protected by the health insurance programme, of which 19% of the
population are participants of Askeskin. Data on the number of participants in
health insurance in East Kalimantan were not mentioned in the paper, but it is
estimated that the figures are much the same as in the other two provinces.

Regional Governments set local policy to expand the coverage or improve


benefits. Central Java province has prepared plans for developing a health
insurance programme in implementation of the responsibilities of Regional
Government. Expansion of the coverage of health insurance programme will be
prioritized for non poor groups that are not yet protected by existing health
insurance programmes. East Java Province has established a Regional Regulation
that grants full authority to the provincial health service to formulate plans,
explicate guidelines, and perform guidance, monitoring, control, supervision and
implementation of the JPKM programme, as wall as accredit JPKM administering
bodies and health service providers. East Kalimantan province has subsidised a
health insurance programme for civil servants to raise the quality of services and
subsides poor people to expand participation.

The grievances expressed by the speakers from the three provinces were
very similar: the lack of synergy in policies formulated by central government, the
lack of regulations to implement the National Social Security System, and the
lack of clarification concerning the division of tasks in the area of social security
between central government and regional governments.

61
EXECUTIVE SUMMARY

Recommendations given by the Central Java provincial government were


the most comprehensive and prioritised finalising legislation governing the
National Social Security System and other statutes that will affect national social
security policy. The recommendations from East Java province focused more on
establishing a regional social security system and implementation of social
security systems by regional governments. Recommendations on the tasks,
functions, and roles of regional governments emphasised development of social
health insurance as a follow up to the JPKM programme implemented in the pre-
National Social Security era by the government of East Java province. In the
paper and presentation by East Java province, there were no recommendations
concerning the tasks, functions and roles of Regional Government in
implementing the four other social security programmes (work accident
insurance, old age pension, public pension, and life insurance). East Kalimantan
province focused its concerns on the importance of synergy in policy formulated
by Central Government and the expansion of social security participation for non
poor groups.

Central Java province made several recommendations for implementing


the National Social Security System: 1) intensive review of Law No. 24/2004 and
other relevant legislation to avoid overlapping and ineffective policy; 2)
finalization of all implementing regulations for Law No. 40/2004, with the active
participation of the regions; 3) more attention on expanding participation rather
than focusing on informal workers and the poor; 4) optimalization of cross sector
support and support from health insurance policy makers at each level of
government; and 5) development of a joint commitment to make preparations for
the implementation of the National Social Security Law.

62
EXECUTIVE SUMMARY

East Java Province recommended decentralising social security in the era


of the National Social Security System, which would involve:

1. developing Regional Social Security Systems by establishing Regional


Social Security Administering Bodies by Regional Regulation in order to
include non poor groups that are not yet protected by existing health
insurance programmes.

2. Allocating regional budget for development of Regional Social Security


Systems.

3. Establishing social health insurance advisory and supervisory Councils


that would have the tasks and functions of: i) drafting regulations on the
health insurance system; ii) setting general policy for JPKM administering
bodies; iii) guidance and supervision of JPKM administering bodies; iii)
guiding, developing and motivating JPKM administering bodies as the
managers of health insurance for all segments of society.

Discussion. During this session, the focus was on health insurance


programmes, in particular health insurance programmes for the poor. There were
no questions or feedback on the role of the Regions in implementing the four
other social security programmes. This is understandable given that the JPKM
programme has been implemented jointly with Regional Governments for quite
some time, and the Askeskin programme that was launched simultaneously in all
regions of Indonesia a year ago. The Regional papers and presentations
represented by the three Provinces reminded us all to intensify policy dialogue on
the national social security system with Regional Governments. The division of
tasks, roles and responsibilities must be given close and careful attention, with

63
EXECUTIVE SUMMARY

due regard for the principles of social security and the philosophy of
decentralisation.

RECOMMENDATIONS AND FOLLOW UP

The National Working Meeting on “the National Social Security System


and the National Social Health Insurance Program Towards The Creation of The
Prosperous Indonesian Society” held on 15-16 March 2006, CONCURS as
follows:

1. Law No. 40/2004 concerning the National Social Security System following
the Ruling of the Constitutional Court shall form the legal umbrella for the
national social security system.

2. Regional Governments may develop social security systems within the


framework of the National Social Security System.

The National Working Meeting on “the National Social Security System


and the National Social Health Insurance Program Towards The Creation of The
Prosperous Indonesian Society” held on 15-16 March 2006, RECOMMENDS

FOLLOW UP, as follows:

1. Finalizing Regulatory Agendas, including:

i) accelerating the drafting of regulations to implement Law No. 40/2004


concerning the National Social Security System following the Ruling
of the Constitutional Court;

ii) mapping and harmonising all regulations and legislation related to the
administration of the National Social Security System – Law No.

64
EXECUTIVE SUMMARY

40/2004 concerning the National Social Security System following the


Ruling of the Constitutional Court;

iii) defining clearly and in detail the authority of central government and
regional governments as regards developing the national social
security system in implementing regulations for Law No. 40/2004
concerning the National Social Security System and Law No. 32/2004
concerning Regional Governments;

iv) accelerating the drafting of a Bill on the National Social Security


Administering Body which accommodates regional aspirations.

2. Finalising Organisational Agendas, including:

i) accelerating the establishment of the National Social Security Council


(Presidential Regulation and Decree of the National Social Security
Council), article 6 Law No. 40/2004

ii) providing the legal basis for the formation of National Social Security
Administering Bodies;

iii) preparing for the transition of PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT


ASABRI, PT TASPEN into Social Security Administering Bodies.

3. Building Stakeholder Participation:

i) preparing training modules and implementing training for National


Social Security System trainers;

ii) accelerating the organisation/implementation of the socialisation and


dissemination of the National Social Security Law to all stakeholders

65
EXECUTIVE SUMMARY

(central/provincial/district/municipal governments, employers,


employees, the mass media and the general public);

iii) accommodating regional aspirations;

iv) building and social security information and management systems;

v) developing human resources that understand and care about social


security systems;

vi) building public opinion that is conducive to developing a national


social security system.

4. Expanding Social Security Programme Participation and Benefits,

i) developing designs, strategies and plans for expanding the coverage


and benefits of social security programmes, for the short term, medium
term and long term;

ii) increase the participation of regional government toward achieving


universal social security coverage;

iii) preparing supporting infrastructure and facilities for implementing


national social security programmes;

iv) identifying regions for accelerated implementation of the national


social security system, including expanding coverage using a regional
approach;

v) promoting partnership and harmonization among all stakeholders,


including international organisations.

5. The Coordinating Ministry for People’s Welfare prepare budget agendas and
coordination for implementation of points 1 through 4.

66
EXECUTIVE SUMMARY

Official Concluding Remarks,

The National Working Meeting on “the National Social Security System


and the National Social Health Insurance Program Towards The Creation of The
Prosperous Indonesian Society” was officially closed by the Ministry of Health.
The Ministerial speech was read by Dr. Muharso, Head of the Center for Health
Manpower Development, Ministry of Health. Minister for Health, Dr.dr. Siti
Fadilah Supari SpKJ, oficially stated on her paper that the Meeting succeded on
formulizing importants elements, which have to be taken into consideration, such
as identification of regulations, roles of national and regional governments,
strategy to reach universal coverage and necessary steps for operationalization in
transitional period. Ms. Minister for Health stated that the recommendations shall
be used for finalizing the necessary agendas for the operationalization of the
national social security system.

Ms. Minister for Health hoped that immediate actions must be taken for
following up the National Working Meeting, such as: 1) use the decision and
recommendation the National Working Meeting as one of references for prepare
the operationalization of the national social security system; 2) take immediate
action to disseminate Law nr. 40/2004 following the ruling of the Constitutional
Court to all stakeholders in provinces and districts in stages; 3) support the
establishement of the National Social Security Council, and 4) initiate the
operationalization of Law nr 40/2004 from social health insurance program.

67
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program


pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program itu, setiap penduduk
diharapkan dapat terbantu untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak
apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya
pendapatan, baik karena usia lanjut/pensiun, menderita sakit, mengalami
kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan.

Sebagai tindak lanjut amanat UU Dasar 1945 pasal 28 H dan pasal 34 ayat
2. Pemerintah telah mengesyahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang mengatur tata cara semua kegiatan program
Jaminan Sosial. Pemerintah juga telah berkomitmen untuk segera melaksanakan
dan mengimplementasikan UU tersebut dengan penyiapan PP dan Perpres sebagai
upaya agar setiap orang dapat segera mendapatkan jaminan sosial baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah.

Di dalam SJSN disebutkan bahwa pelaksanaan Jaminan Sosial dilakukan


secara bertahap baik dalam jangkauan cakupan peserta maupun jenis manfaat
yang diterima peserta. Pada tahap pertama jaminan sosial diberikan dalam bentuk
jaminan kesehatan, khususnya bagi penduduk miskin sebelum yang bersangkutan
punya kemampuan untuk membiayai iuran, akan dibantu oleh pemerintah.

68
PENDAHULUAN

Selama ini di Indonesia telah berkembang beberapa program jaminan


sosial baik yang terselenggara di tingkat pusat maupun daerah, namun
disayangkan bahwa pemahaman pemerintah pusat dan daerah dalam mekanisme
peran tugas dan fungsinya dalam pengembangan jaminan sosial masih sering
berbeda. Untuk itu dinilai perlu menyelenggarakan pertemuan koordinasi antara
pengelola jaminan sosial tingkat pusast dan daerah untuk membahas proporsi
tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing pihak dalam penyelenggaraan
jaminan sosial sehingga terjadi sinkronisasi yang harmonis dalam
penyelenggaraan jaminan sosial.

Tujuan

Diselenggarakannya “Rapat Kerja Nasional Sistim Jaminan Sosial


Nasional dan Program Jaminan Kesehatan Sosial dalam Rangka Mewujudkan
Kesejahteraan Rakyat” (selanjutnya disebut Rakernas SJSN) secara umum
bertujuan untuk menyamakan persepsi antar pelaksana program jaminan sosial
khususnya jaminan kesehatan baik di pusat maupun daerah agar dalam
mengembangkan dan melaksanakan program jaminan sosial tidak menyimpang
dari pedoman dan tata cara yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004.

Tujuan khusus penyelenggaraan Rakernas SJSN meliputi:

1. diperolehnya pemahaman secara jelas tentang jaminan sosial sesuai dengan


UU No. 40 Tahun 2004 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi;

2. teridentifikasinya tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan jaminan sosial nasional dan jaminan kesehatan;

69
PENDAHULUAN

3. teridentifikasinya peraturan dan kebijakan penyelenggaran jaminan sosial


nasional;

4. teridentifikasinya peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaminan


kesehatan sosial;

5. diperolehnya masukan awal untuk perencanaan pengembangan kebijakan


SJSN termasuk jaminan kesehatan sosial di Indonesia masa peralihan samapi
dengan Tahun 2009.
Dialog 2 hari antar pemangku kepentingan di bidang SJSN diharapkan
akan mampu membangun koordinasi yang harmonis antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dalam menyelenggarakan Sistim Jaminan Sosial Nasional termasuk
program jaminan kesehatan sosial.

Penyelenggaraan

Rakernas SJSN dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 15-16 Maret 2006 di


Hotel Arya Duta, Jl. Prapatan 44-48, Jakarta. Kegiatan ini dibiayai dengan
anggaran dana bantuan GTZ-SHI bekerjasama dengan pemerintah Indonesia.
Rakernas didahului oleh dialog-dialog lintas Departemen untuk membangun
kesepahaman di tingkat pusat dan diakhiri dengan pertemuan lintas Departemen
untuk merumuskan kesimpulan dan rencana tindak lanjut.

Penanggungjawab Rakernas SJSN ini adalah Kantor Menko Kesra dan


penyelenggaraannya diketuai oleh Deputi Menko Kesra Bidang Kesejahteraan
Sosial – Dr. Adang Setiana.

Panitia Pengarah dan perumus hasil Rakernas SJSN terdiri dari 8 Institusi
Pusat dan 2 ahli jaminan sosial dan diketuai oleh Asisten Deputi Urusan Jaminan

70
PENDAHULUAN

Sosial – Drs. Sukamto. Kesepuluh anggota tim adalah Departemen Hukum dan
HAM (Qomarudin SH), Departemen Dalam Negeri (Drs. Febuadodo Hia, Msi),
Departemen Kesehatan (Ir. Alwi Alhabsy MPH), Departemen Sosial (Lisning Sri
Hastuti, SH), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Ir. Tianggur Sinaga
MA), Kantor Wakil Presiden (Dr. Atiffah Thaha), ahli jaminan sosial (Dr.
Sulastomo dan Prof. Dr. Hasbullah Thabrany).

Panitia Penyelenggara terdiri dari wakil Kantor MenkoKesra (Drs. Edi


Sularno, Dra. Endang Sri Mulyani, Dra Setyo Ediningsih, Sachran SH), wakil
Departemen Kesehatan (Dirk Matahumual MBA, Dr. Widiarti, Dr. Donald
Pardede) dan dibantu oleh staf GTZ-Kesehatan Jakarta (Ibu Adriane Sopacua, Ibu
Paulita, Ibu Dien dan Ibu Titin).

Penyelenggaraan Rakernas ini didukung oleh 2 orang konsultan jaminan


kesehatan sosial dari GTZ-SHI Indonesia, Dr. Miroslaw Wojtek Manicki dan Dr.
Asih Eka Putri.

Rapat Kerja ini dihadiri oleh 150 peserta yang mewakili berbagai insitusi
Pemerintah dan non Pemerintah. I5 institusi Pemerintah Pusat menghadiri
pertemuan ini (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Sekertariat
Wakil Presiden, Sekertariat Negara, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar
Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Kementrian Negara Badan Usaha Milik Negara, Departemen
Pertahanan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional dan Badan Pusat Statistik). Institusi daerah dari 33
propinsi diwakili oleh DPRD Ketua Komisi Kesejahteraan Rakyat, Sekretaris
Daerah Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Institusi non Pemerintah

71
PENDAHULUAN

terdiri dari Direktur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PT Askes, PT


Jamsostek, PT Asabri, PT Taspen), para calon anggota Dewan Jaminan Sosial
Nasional, para pakar jaminan sosial dan lembaga internasional yang membidangi
jaminan sosial (GTZ, WHO, ILO).

Dialog kebijakan SJSN selama dua hari dibagi atas 3 sesi meliputi sesi
informatif, diskusi kelompok, dan perumusan kesepakatan dan agenda tindak
lanjut. Informasi-informasi yang disampaikan pada sesi informatif mencakup 3
topik utama yaitu:

1. UU SJSN (filosofi UU SJSN, UU SJSN Pasca Putusan Mahkamah


Konstitusi, mekanisme pe

2. nyelenggaraan SJSN dan Peran Pemerintah Daerah di bidang SJSN);

3. Kebijakan jaminan sosial Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga


Kerja dan Transmigrasi dan Departemen Sosial di era pra-SJSN dan era
SJSN;

4. Penyelenggaraan program jaminan sosial di Provinsi Jawa Tengah, Jawa


Timur dan Kalimantan Timur di era pra-SJSN dan usulan Pemerintah
Daerah tentang penyelenggaraan jaminan sosial di era-SJSN.

Diskusi kelompok dibagi atas 4 kelompok untuk masing-masing topik


diskusi yang meliputi identifikasi peraturan SJSN, peran Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah di bidang SJSN, strategi menuju kepesertaan semesta dan
agenda tindak lanjut di masa transisi hingga tahun 2009. Diskusi berlangsung
sangat efektif dan menghasilkan masukan-masukan yang sangat berharga untuk
memecahkan ketidakpastian pembangunan SJSN setelah 1,5 Tahun
diundangkannya UU Nomor 40 Tahun 2004 pada 19 Oktober 2004 dan memberi

72
PENDAHULUAN

harapan akan dimulainya aksi-aksi nyata pembangunan jaminan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia.

Peserta Rakernas berhasil merumuskan kesepakatan nasional


untuk pengimplementasian SJSN dan berhasil pula menyusun agenda
tindak lanjut yang harus diselesaikan untuk mewujudkan sistem jaminan sosial
nasional di Indonesia. Peserta Rakernas dengan tegas telah memberi
amanat kepada Kantor Menko Kesra untuk menindaklanjuti hasil
Rakernas SJSN ini.

73
SAMBUTAN Deputy Country Director
GTZ for Indonesia dan Timor Leste

Bapak Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang terhormat


Peserta Rakernas yang tercinta

Assalamualaikum Wr. Wb.


Selamat Pagi
Salam Sejahtera

Saya sangat bersyukur atas adanya pertemuan ini. Karena dengan


pertemuan ini kita semua: Anda, saya, baik yang dari Jakarta maupun luar Jakarta,
dari kalangan Pemerintah atau luar Pemerintah dan pihak lainnya, telah dengan
konsisten menunjukkan bahwa 52 juta jiwa atau 18,4 persen penduduk miskin di
Indonesia dengan tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, pada dasarnya
bukanlah suatu masalah, tetapi harus dilihat sebagai statu aset. Sebagai layaknya
suatu aset, dia harus dipelihara dan dikembangkan sehingga menjadi lebih
produktif dan bermanfaat bagi perkembangan bangsa.

Ada statu cerita yang disampaikan dalam sambutan GTZ pada pembukaan
Konferensi Internasional di Berlin pada bulan Desember yang lalu. Cerita nyata
ini berasal dari Afrika, tetapi dapat saja banyak terjadi di Indonesia. Seorang
kepala keluarga yang masih muda harus dioperasi karena penyakit usus buntunya.
Setelah mempertimbangkan cukup lama, akhirnya keluarga bersedia untuk
menjual sapi satu-satunya untuk dapat membiayai operasi itu. Karena kebutuhan
yang mendesak ini, sapi ini dijual jauh di bawah harga pasar. Dengan uang yang
ada, keluarga segera datang ke rumah sakit. Tetapi apa daya semuanya sudah

74
SAMBUTAN DEPUTY DIRECTOR GTZ INDONESIA

terlambat, usus buntu sudah pecah dan pasien telah meninggal. Yang tertinggal
adalah sebuah keluarga tanpa kepala keluarga dan alat produktif. Yang
bertambah adalah penduduk miskin dan tidak produktif di negara itu.

Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi apabila kita mempunyai suatu sistim
asuransi kesehatan yang memadai. Jadi jeals terlihat di sini bahwa suransi
kesehatan juga akan sangat membantu tercapainya Millenium Development Goal
(MDG) yaitu mengurangi kemiskinan (MDG1), tingkat kematian bayi (MDG 4),
termasuk kesehatan ibu yang melahirkan (MDG 5).

Program asuransi kesehatan sosial adalah sesuatu yang tidak mudah,


apalagi jika akan mencakup puluhan juta penduduk dari Sabang sampai Merauke.
Oleh karena itu Pemerintah Jerman melalui GTZ telah menyampaikan komitmen
kerjasama untuk waktu 10 Tahun. Kerjasama ini mencakup tataran kebijakan,
capacity building amaupun pengembangan sumberdaya manusia. Dalam rangka
ini, GTZ akan memberikan pengalamannya dalam membangun asuransi kesehata
sosial di berbagai negara antara lain dalam pembentukan lembaga asuransi
kesehatan nasional di Filipina.

Akhirnya, kami ucapkan selamat bekerja nasional, semoga hasilnya dapat


bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.

Jakarta, 15 Maret 2006

M. Riza Tadjoedin

75
Arahan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Yth : Saudara Menteri Kesehatan;
Saudara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
Saudara Menteri Sosial;
Saudara Menteri Negara BUMN;
Saudara - Saudara Pimpinan DPRD Propinsi;
Saudara - Saudara Sekretaris Daerah Propinsi;
Saudara - Saudara Kepala Dinas Kesehatan Propinsi;
Hadirin dan Undangan peserta Rakornas SJSN

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat IIlahi Rabi atas perkenanNya
pada hari ini dapat bersama-sama melaksanakan pertemuan dalam rangka Rapat
Kerja Nasional Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN merupakan salah
satu upaya pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, karenanya
pertemuan ini saya anggap sangat penting untuk merumuskan prioritas yang harus
segera kita tindaklanjuti secara bersama-sama.

76
ARAHAN MENKO KESRA

Kita ketahui bersama bahwa sebelum terbitnya UU nomor 40 tahun 2004


tentang SJSN, Indonesia telah memiliki dan melaksanakan suatu sistem jaminan
sosial yang terbatas bagi kelompok pegawai negeri sipil dan sebagian kelompok
pegawai swasta melalui Askes, Jamsostek, Asabri dan Taspen. Sistem tersebut
telah dirasakan manfaatnya, dengan kata lain jaminan sosial memang diperlukan
dan dapat kita laksanakan. Namun demikian kita melihat perlu ada pengaturan
lebih lanjut antara lain yang menyangkut aspek bentuk dan besaran manfaat
jaminan serta cakupan kepesertaannya. Undang-undang SJSN merupakan suatu
penyempurnaan sistem jaminan sosial, sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 34
Ayat 2 yang menghendaki perlunya kita memiliki suatu sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat.

Saudara - Saudara sekalian,

Sistem jaminan sosial merupakan sebuah sistem pengorbanan dimuka


untuk menjamin kesejahteraan di hari kemudian, sebuah sistem untuk menutupi
kekurangan sifat manusia yang kebanyakan berpandangan pendek (short-
shighted). Sistem jaminan sosial diperlukan untuk mengurangi resiko sosial
ekonomi yang selalu mengancam kemapanan seseorang seperti kehilangan atau
berkurangnya sumber pendapatan, keperluan biaya pengobatan yang besar yang
dapat menghabiskan seluruh harta benda yang dimilikinya.

Dalam sistem jaminan sosial yang berlaku universal, setiap orang yang
mempunyai penghasilan wajib mengiur. Kewajiban mengiur tidak saja berlaku
bagi mereka yang bekerja tetapi juga bagi pemberi kerja atau majikan. Iuran
tentunya bukan merupakan suatu beban, tetapi sebagai bagian dari investasi dalam

77
ARAHAN MENKO KESRA

jangka panjang. Sesungguhnya iuran tersebut mempunyai kontribusi besar


terhadap ketentraman dan kepastian untuk bekerja lebih baik tanpa harus
terganggu oleh kekhawatiran menghadapi berbagai risiko sosial ekonomi yang
mungkin terjadi. Hasil kajian di negara maju menunjukkan bahwa semakin kuat
sistem jaminan sosial, semakin produktif penduduknya dan semakin besar sumber
dana yang dapat terkumpul untuk modal pembangunan.

Sementara ini dana jaminan sosial yang ada di ke-empat Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS : PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen dan
PT Asabri) belum mencapai 2 % GDP atau kurang dari Rp. 60 Trilyun. Masih
tertinggal jika dibanding dengan Malaysia misalnya yang telah mencapai sekitar
Rp. 1000 Trilyun walaupun penduduknya hanya 10 % dari jumlah penduduk kita.
Dengan tersedianya dana jaminan sosial sebesar itu sangatlah mungkin untuk
melakukan berbagai program ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja baru.
Jika tingkat upah pekerja sudah jauh lebih baik maka iuran wajib dapat lebih
ditingkatkan, di Singapura iuran wajib telah mencapai 36 % dari upah sedangkan
di Indonesia sebesar 10 % bagi PNS dan maksimum 13,74 % untuk yang bekerja
di sektor swasta.

Mengambil pelajaran dari negara-negara yang telah memulai program


jaminan sosial, secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan pekerja,
perusahaan, dan pemerintah, kita perlu meningkatkan upaya – upaya
pengembangan sistem jaminan sosial. Pemerintah telah menunjukkan perhatian
yang besar untuk meningkatkan program jaminan sosial dengan memberikan
jaminan kesehatan bagi masyarakat melalui Program Askeskin (Asuransi
Kesehatan untuk Orang Miskin) yang diperuntukan bagi 60 juta jiwa yang
tergolong kategori miskin. Program ini sejalan dengan perintah UU nomor 40

78
ARAHAN MENKO KESRA

tahun 2004 tentang SJSN karena kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat
mendasar untuk memungkinkan penduduk yang sakit dapat terobati sehingga
mereka mampu bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Tahun 2005 Program Askeskin dilaksanakan dengan dana yang berasal


dari pengurangan subsidi BBM dan tahun ini sudah menjadi dana rutin dalam
APBN, artinya UU SJSN ini kita implementasikan secara bertahap. Dengan tekad
untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, melalui Saudara
yang hadir dari daerah, kami sangat yakin bahwa pemerintah daerah dapat
melengkapi dan memperkuat program pemerintah pusat ini dengan memberikan
jaminan tambahan misalnya seperti membantu uang transport terutama bagi
pasien kurang mampu yang lokasi rumahnya jauh dari rumah sakit.

Saudara dan hadirin yang saya hormati,

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya atas upaya judicial review


terhadap kekuatan dan kesesuaian substansi UU SJSN telah menyatakan bahwa
UU SJSN telah sesuai dengan amanat UUD 1945. Di lain pihak, pemerintah
daerah juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan jaminan sosial dalam
kerangka UU SJSN. Pengaturan tugas dan tanggung jawab dalam sistem jaminan
sosial di tingkat nasional dan di tingkat daerah perlu dirumuskan lebih lanjut
untuk menghindari adanya tumpang tindih dan untuk menjamin efisiensi
penyelenggaraan jaminan sosial.

Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk meng-


implementasikan UU SJSN ini. Untuk memiliki kekuatan hukum dalam
pelaksanaannya banyak substansi yang diamanatkan isi UU SJSN untuk segera

79
ARAHAN MENKO KESRA

disiapkan perangkat peraturannya. Ini bukan pekerjaan yang mudah karena


menyangkut berbagai kepentingan yang harus mendapat pertimbangan secara
seksama serta masalah waktu transisi yang sepertinya cukup longgar yaitu sampai
Oktober 2009 tetapi sebetulnya tidak lama lagi. Oleh karena itu melalui Rakernas
ini saya meminta, pertama : departemen/sektor terkait serta BPJS segera
menyiapkan draft perangkat hukumnya sesuai dengan substansi yang menjadi
amanah tertulis dalam UU SJSN. Kedua, proses penyempurnaan draft tersebut
dapat lebih ditingkatkan melalui koordinasi yang selama ini dilaksanakan oleh
Kantor Menko Kesra dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan,
sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat dan telah menampung
pertimbangan – pertimbangan yang matang.

Saudara - Saudara sekalian,

Melalui Rakernas SJSN ini, saya sangat berharap kepada Saudara -


Saudara semuanya sebagai pemangku kepentingan keberhasilan pelaksanaan
jaminan sosial untuk merumuskan prioritas implementasi SJSN dan menata
program jaminan sosial sebagai salah satu unsur utama kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat. Kita perlu memusatkan perhatian pada peningkatan upaya – upaya
untuk saling mengisi terlaksananya jaminan sosial dan saya mohon kesadaran
untuk berbagi peran tanpa mengorbankan esensi jaminan sosial itu sendiri. Tidak
ada urusan yang sepenuhnya bisa dikerjakan secara nasional oleh pusat dan tidak
ada urusan yang sepenuhnya bisa diselesaikan oleh daerah. Kita harus duduk
bersama dan membagi tugas yang saling mendukung peningkatan kesejahteraan
rakyat.

80
ARAHAN MENKO KESRA

Melalui kebersamaan tekad, secara bertahap dan konsisten kita tingkatkan


upaya membangun sistem jaminan sosial yang kuat di negara kita. Selamat
mengikuti Rapat Kerja Nasional SJSN.

Billahi Taufik Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 15 Maret 2006

Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat,

ttd

Aburizal Bakrie

81
MEKANISME DAN KELEMBAGAAN SJSN
SISTIM JAMINANAN SOSIAL NASIONAL:
POKOK-POKOK PIKIRAN

Dr. Adang Setiana


Deputi Bidang Koordinasi Kesejahteraan Sosial
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

Untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial


Nasional rancangan, mekanisme dan kelembagaan adalah sangat penting.
Mekanisme merupakan proses penyelenggaraan SJSN, yang mengatur hubungan
peserta, Badan penyelenggara dan Pemberi Pelayanan, bagaimana SJSN dapat
berjalan sesuai dengan UU nomor 40 tahun 2004. Apa hak dan kewajiban
masing-masing, sehingga SJSN dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya.

Adapun kelembagaan terkait dengan hubungan berbagai Lembaga


Penyelenggara Jaminan Sosial, dengan segenap perangkatnya. Kelembagaan
SJSN harus bekerja sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, sehingga Badan
Penyelenggara SJSN dapat memenuhi harapan peserta SJSN. Untuk itu, pada
setiap lembaga penyelenggara SJSN harus ada prosedur tetap yang mengatur cara
kerja lembaga penyelenggara SJSN tersebut.

Naskah ini menyajikan pokok-pokok pikiran makro, untuk dapat dijadikan


bahan diskusi dalam Rakernas SJSN ini, dengan harapan akan memperoleh
masukan yang sangat berharga dari para peserta.

82
MEKANISME DAN KELEMBAGAAN SJSN

Namun, sebelum kita membicarakan mekanisme SJSN, sudah tentu kita


harus mensepakati terlebih dahulu kemungkinan kelembagaan yang akan
terbentuk, bahwa dari aspek kelembagaan, penyelenggara SJSN akan
diselenggarakan oleh :

1. Dewan Jaminan Sosial Nasional, yang berkedudukan di tingkat nasional,


yang bertugas untuk membantu presiden didalam menetapkan kebijakan
umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Mengenai SJSN, melakukan
kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan
sosial. Mengusulkan anggaran yang diperlukan dan kebijakan investasi
jaminan sosial nasional.

2. Badan penyelenggara SJSN (PT.Askes, PT.Jamsostek, PT.Taspen, PT.


Asabri) dan kemungkinan juga akan ada badan penyelenggara yang lain,
yang dapat dibentuk dengan Undang-Undang.

3. Badan penyelenggara dapat memiliki kantor cabang didaerah-daerah


sesuai kebutuhan.

4. Organisasi Badan Penyelenggara akan ditetapkan sesuai dengan


kebutuhan, dengan tentunya memperhatikan apa yang sudah berjalan
sekarang. Status Persero menjadi Badan ”Not for profit” Struktur
organisasi, dengan sendirinya menyesuaikan, tanpa mengurangi
pengalaman yang sudah dimiliki.

5. Dewan Jaminan Sosial Nasional berperan memonitor pelaksanaan


kebijakan Presiden tentang SJSN yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara SJSN, agar terwujud sinkronisasi kebijakan dan sesuai
dengan target-target yang ditetapkan.

83
MEKANISME DAN KELEMBAGAAN SJSN

6. Ditingkat provinsi, jika dinilai perlu dapat dibentuk sebuah lembaga


tingkat daerah, yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan SJSN
dan memberi saran/usul kebijakan kepada Dewan Jaminan Sosial
Nasional.

Mekanisme pendanaan
Masalah pendanaan, akan menempati peran yang sangat besar didalam
menjamin kelangsungan hidup program. Sebagaimana lazimnya penyelenggaraan
suatu program, setiap tahun berjalan akan dimulai dengan penyusunan rencana
anggaran dan pendapatan yang disusun dengan mekanisme sebagai berikut :

1. Disusun berdasarkan kebijakan yang ditetapkan presiden melalui Dewan


Jaminan Sosial Nasional & khususnya yang terkait dengan ”scheme
jaminan sosial yang ditetapkan”, misalnya besarnya iuran dan manfaat
yang harus diberikan kepada peserta, target perluasan kepersertaan dan
jenis jaminan dan lain sebagainya.

2. Memperkirakan pendapatan lain, hasil investasi dan lain sebagainya.

3. Pengeluaran Badan Penyelenggara, baik rutin, investasi maupun


pelayanan.

4. Mekanisme pendapatan iuran / premi, bagi kelompok formal maupun


nonformal, disesuaikan dengan ketentuan dalam UU nomor 40 tahun
2004.

5. Mekanisme pembayaran pada pemberi pelayanan dilaksanakan sesuai


dengan yang termaksud dalam UU nomor 40 tahun 2004.

84
MEKANISME DAN KELEMBAGAAN SJSN

6. Rencana Anggaran / Pendapatan disyahkan oleh komisaris / Badan yang


akan ditetapkan kemudian sesuai dengan struktur organisasi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang akan ditetapkan den Pespres.

7. Hubungan dengan pihak ketiga diselenggaran dengan perjanjian deng


pihak ketiga terkait, termasuk didalam pembayaran manfaat yang
dinikmati peserta.

8. Setiap tahun berjalan diselenggarakan pertanggungan – jawab


penyelenggaraan program tahun berjalan, evaluasi kinerja keuangan dan
manajemen yang juga dihadiri pakar SJSN. Pada kesempatan tersebut
didiskusikan hambatan dan upaya perbaikan yang diperlukan untuk tahun
mendatang.

Mekanisme pemberian manfaat


Mekanisme pemberian manfaat diselenggarakan dengan
memperhitungkan aspek efisiensi dan keamanan / jaminan pemberian manfaat.

1. Manfaat berupa uang tunai sedapatnya diselenggarakan melalui jasa pihak


ketiga, misalnya perbankan / Kantor Pos.

2. Manfaat berupa jasa pelayanan, misalnya Jaminan Kesehatan,


diselenggarakan sesuai prosedur yang menjamin tingkat kualitas / standar
pelayanan yang ditetapkan dan dengan prosedur yang sederhana.

3. BPJS harus memiliki standar operasional prosedur yang menyakinkan


pelayanan akan diberikan melalui prosedur yang tepat sesuai dengan
standar yang ditetapkan.

85
MEKANISME DAN KELEMBAGAAN SJSN

4. BPJS wajib menyelenggarakan / memberi informasi tentang


hak/kewajiban peserta dengan seluas-luasnya dan semudah-mudahnya,
dengan menggunakan teknologi yang tersedia seluas mungkin. Hal ini
diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan peserta.

5. Memudahkan kemungkinan penggunaan manfaat yang melebihi standar


yang ditetapkan, misalnya, penggunaan kelas perawatan yang lebih tinggi.

Demikian pokok – pokok pikiran mengenai mekanisme dan kelembagaan


SJSN sebagai bahan awal diskusi.

Jakarta, 15 Maret 2006

Deputi
Bidang Koordinasi Kesejahteraan Sosial

ttd
Adang Setiana

86
RINGKASAN MAKALAH

1. Substansi Dan Filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang


SJSN

Dr Sulastomo, MPH adalah pakar sistem jaminan sosial dan mantan ketua
kelompok kerja nasional penyusunan Rancangan UU SJSN. Pada Rakernas ini,
Dr. Sulastomo mengulas prinsip-prinsip sistem jaminan sosial dan proses
reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia yang dimulai dengan penerbitan UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Program jaminan sosial bukanlah hal baru
di Indonesia. Saat ini program jaminan sosial baru memberikan manfaat yang
sangat terbatas, belum menjangkau seluruh penduduk yang terbatas pada pegawai
negeri sipil dan sebagian pegawai swasta, dan pengelolaan dilakukan oleh 4 badan
penyelenggara, PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI dan PT TASPEN,
dengan regulasi yang beragam.

Dengan didasari oleh tujuan untuk menjangkau seluruh penduduk dan


terselenggaranya keadilan sosial (sesuai amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 2),
perbaikan kualitas dan manfaat program, perbaikan penyelenggaraan dan regulasi
untuk menjamin penyelenggaraan yang universal, transparan, akuntabel dan
berhati-hati, Pemerintah melakukan penataan ulang sistem jaminan sosial nasional
dengan menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. UU SJSN
memuat dan memerhatikan 7 prinsip dasar sistem jaminan sosial yaitu: 1) sistem
jaminan sosial tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
dalam negeri; 2) peserta berperan aktif melalui kontribusi yang proporsional
terhadap pendapatan, dan bagi pekerja formal kontribusi ditanggung bersama

87
RINGKASAN MAKALAH

dengan pemberi kerja; 3) kepesertaaan wajib bertahap dimulai dari kelompok


masyarakat yang memiliki ikatan kerja formal dengan pemberi kerja yang
kemudian diperluas hingga menjangkau kelompok masyarakat non formal dan
mandiri; 4) perluasan cakupan manfaat bertahap ; 5) negara berperan aktif
membangun sistem jaminan sosial nasional dan berfungsi sebagai regulator,
penanggung jawab penyelenggaraan dan kontributor bagi masyarakat tidak
mampu; 6) diselenggarakan oleh badan penyelenggara nir laba; dan 7) merupakan
instrumen mobilisasi dana masyarakat yang berfungsi sebagai motor
pembangunan nasional (engine of development).

Dr. Sulastomo mengingatkan, apabila sistem jaminan sosial nasional


diselenggarakan dengan adekuat, sistem proteksi sosial ini akan mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berdampak pada pembangunan ekonomi
dan mampu mencegah terjadinya ledakan sosial yang diakibatkan oleh ledakan
jumlah penduduk lanjut usia berumur 60 tahun keatas sekitar 11% penduduk atau
24,5 juta pada tahun 2015. Beberapa mata rantai positif yang akan dihasilkan dari
penyelenggaraan SJSN yang adekuat dan mampu membentuk tabungan nasional
adalah: 1) penempatan dana di bank akan mendorong penurunan suku bunga bank
yang kemudian akan berdampak pada peningkatan investasi/pemberian kredit; 2)
perluasan lapangan kerja dan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja di
sektor formal; 3) meningkatkan keuangan dan kemandirian bangsa untuk
membiayai pembangunan; 4) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang
disebabkan oleh terbukanya peluang untuk menata ulang sistem pelayanan
kesehatan seperti diberlakukannya standarisasi pelayanan, perbaikan mekanisme
kontrak dan pembayaran, peningkatan sarana dan teknologi kesehatan.

88
RINGKASAN MAKALAH

Mekanisme penyelenggaraan SJSN yang dituangkan dalam UU Nomor 40


Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1) Badan penyelenggara jaminan sosial
adalah ke-4 badan penyelenggara yang telah berdiri saat ini (PT ASKES, PT
JAMSOSTEK, PT ASABRI dan PT TASPEN) yang diwajibkan untuk
menyesuaikan badan hukum dan mekanisme penyelenggaraannya sesuai dengan
mandat UU SJSN dalam waktu 5 Tahun dan terbuka kesempatan untuk
membentuk badan penyelenggara baru yang dibentuk dengan undang-undang; 2)
Presiden menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan yang
dibantu oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang didirikan melalui
Peraturan Presiden; 3) DJSN berkewajiban melakukan kajian, penelitian,
pengusulan kebijakan investasi dan anggaran bagi penerima bantuan, dan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan program jaminan sosial nasional; 4)
program jaminan sosial nasional meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian; 5) Pemerintah
dapat melakukan tindakan-tindakan khusus dalam rangka menjamin
terpeliharanya kesehatan keuangan badan penyelenggara jaminan sosial, seperti
penggalian sumber dana, penetapan besar iuran dan manfaat termasuk
menetapkan mekanisme dan besaran subsidi.

Di dalam makalahnya, Dr. Sulastomo menyampaikan pula bahwa


penyelenggaraan sistem jaminan sosial harus melibatkan Pemerintah Daerah
untuk memenuhi amanat kedua Undang-Undang yaitu UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Ketentuan rinci selanjutnya akan diuraikan dalam Peraturan Pemerintah terkait
kedua undang-undang tersebut. Beliau menyampaikan beberapa tugas dan urusan
yang harus diemban oleh Pemerintah Daerah dalam mengembangkan SJSN, yaitu:
1) mengawasi penyelenggaraan; 2) menyediakan anggaran bagi masyarakat

89
RINGKASAN MAKALAH

penerima bantuan; 3) menetapkan masyarakat penerima bantuan; 4) menyediakan


fasilitas bagi penyelenggaraan SJSN seperti sarana pelayanan kesehatan; 5)
mengusulkan investasi dana; 5) mengusulkan kebijakan penyelenggaraan.

Dr. Sulastomo menjelaskan secara singkat kelima program jaminan sosial,


sebagai berikut: 1) Program jaminan kesehatan diselenggarakan untuk
memberikan manfaat pelayanan medik yang komprehensif, efektif dan efisien
dengan menerapkan prinsip-prinsip kendali mutu dan kendali biaya (managed
health care) melalui kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan melalui metoda
pembayaran prospektif dan penyediaan obat yang terstandarisasi baik mutu dan
harga. Implementasi program jaminan kesehatan memerlukan berbagai persiapan
yang adekuat seperti perhitungan besar iuran dan manfaat, penyediaan fasilitas
kesehatan, sinkronisasi program-program jaminan kesehatan yang telah
diselenggarakan saat ini, penyiapan sumber daya manusia, manajemen dan
teknologi informasi, dan pentahapan perluasan cakupan kepesertaan. 2)
Program Kecelakaan Kerja diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin
tersedianya manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai bagi pekerja
yang mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja. 3)
Program Jaminan Hari Tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan
sistem asuransi sosial atau tabungan wajib. Manfaat diberikan pada beberapa
Tahun menjelang memasuki masa pensiun, menderita kecacatan total tetap atau
meninggal dunia. Sebagian manfaat baru dapat diberikan setelah kepesertaan
berlangsung minimal 10 Tahun. Manfaat yang diberikan adalah seluruh akumulasi
dana yang dikontribusikan ditambah dengan hasil pengembangan dana tersebut.
Apabila peserta meninggal dunia, ahli waris peserta berhak menerima manfaat
jaminan hari tua. Program jaminan hari tua akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah. 4) Program Jaminan Pensiun diselenggarakan

90
RINGKASAN MAKALAH

berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib untuk memberikan


manfaat pasti untuk mempertahankan kehidupan yang layak setelah menjalani
penurunan atau kehilangan pendapatan karena memasuki masa pensiun atau
mengalami cacat total tetap. Pengimplementasian program jaminan pensiun
memerlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan terutama dengan UU
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Tenaga Kerja. Keberhasilan program ini sangat ditentukan oleh kemajuan
perekonomian khusunya kemampuan pemberi kerja untuk berkontribusi dengan
adekuat. Di samping itu, diperlukan pula kajian yang cermat untuk mengubah
mekanisme penyelenggaraan jaminan pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil dan
Tentara Nasional Indonesia dari sistem yang memberlakukan mekanisme “pay as
you go” menjadi ”fully funded”. 5) Jaminan Kematian diselenggarakan
berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib untuk memberi
kompensasi finansial kepada ahli warisnya ketika peserta meninggal dunia.
Manfaat yang diberikan berupa uang tunai. Pengaturan lebih lanjut dan rinci akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN


Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Makalah disampaikan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-


Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, A.A. Oka Mahendra, SH.
Informasi yang dipaparpan meliputi wewenang Mahkamah Konstitusi, putusan
Mahkamah Konstitusi tentang perkara pengujian UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dan konsekuensi hukumnya pada tataran pelaksanaan sistem
jaminan sosial nasional.

91
RINGKASAN MAKALAH

Bapak A.A. Oka Mahendra, SH menyampaikan bahwa Mahkamah


Konstitusi diberi wewenang oleh Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004
tentang Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final, antara lain untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Putusan Mahkamah
Konstitusi menurut pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2004 memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian UU Nomor 40 Tahun


2004 tentang SJSN pasal 5 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) dan pasal 52 terhadap
UUD 1945 yang diucapkan pada 31 Agustus 2005 adalah sebagai berikut:

Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yaitu 1)


menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
bertentangan dengan UUD Negara RI 1945; dan 2) menyatakan Pasal 5 ayat (2),
(3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Dikabulkannya pengujian terhadap Pasal 5 ayat (2), dan (3)
adalah karena pasal tersebut berpeluang menimbulkan multi tafsir yang
disebabkan oleh rumusan yang saling bertentangan dengan ayat lain yang
bermuara pada ketidakpastian hukum. Oleh karena itu pasal tersebut
bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Sementara
permohonan pengujian Pasal 5 ayat (4) dikabulkan dengan pertimbangan bahwa
pasal ini menutup peluang bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk dan
mengembangkan BPJS tingkat daerah dalam kerangka SJSN. Mengingat bahwa
penyelenggaraan SJSN adalah bagian dari fungsi pelayanan sosial negara yang
menjadi urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka UU SJSN tidak
boleh menutup peluang Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem

92
RINGKASAN MAKALAH

jaminan sosial sebagai sub-sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan urusan
yang diturunkan dari ketentuan pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD Negara RI Tahun
1945. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pembentukan BPJS
tingkat daerah dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi
ketentuan SJSN sebagaimana diatur dalam UU SJSN.

Menolak permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menolak


permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (1) dengan pertimbangan bahwa
pasal tersebut cukup memenuhi kebutuhan pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial nasional di tingkat pusat dan tidak bertentangan dengan UUD.
Pengujian terhadap pasal 52 juga ditolak dengan alasan untuk mengisi
kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum.

Bapak Oka Mahendra menjelaskan bahwa pengaruh putusan Mahkamah


Konstitusi terhadap pelaksanaan UU SJSN adalah tidak signifikan. UU SJSN
telah memenuhi maksud Pasal 34 ayat 2 UUD RI 1945 karena sistem yang dipilih
mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa dengan sendirinya UU SJSN merupakan
penegasan kewajiban Negara atas jaminan sosial sebagai bagian dari hak asasi
manusia, sebagaimana dimaksud pasal 28 H ayat (3) UUD RI tahun 1945.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dikemukakan bahwa


eksistensi keempat persero (PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT
TASPEN) sepanjang belum disesuaikan dengan UU SJSN tetap berlaku
berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU SJSN dengan memperhatikan pasal 52 ayat (2)
tentang 5 Tahun masa peralihan yang akan berakhir paling lambat pada tanggal 19
Oktober 2009. Beliau menegaskan bahwa langkah-langkah sistematis, terarah

93
RINGKASAN MAKALAH

dan terpadu dalam menyusun Undang-Undang sesuai dengan ketentuan pasal 5


UU SJSN harus segera disusun untuk memberikan dasar hukum bagi BPJS.
Keempat Persero yang ditunjuk sebagai BPJS apabila tidak memiliki Undang-
Undang hingga batas akhir masa peralihan, maka keempat Persero tersebut akan
kehilangan dasar hukum eksistensinya. Ditegaskan pula untuk menyegerakan
menyusun seluruh peraturan pelaksanaan UU SJSN agar UU SJSN dapat berlaku
efektif.

Dalam makalahnya, Bapak Oka Mahendra menyampaikan bahwa


pembentukan BPJS tingkat daerah pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi dapat
dibentuk dengan Peraturan Daerah dengan tetap berada dalam kerangka SJSN
yang diselenggarakan berdasarkan asas, tujuan, dan prisip sebagaimana diatur
dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU SJSN. Norma, standar dan prosedur BPJS
tingkat daerah harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang akan
dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan Daerah.
SJSN sebagai program Negara yang bertujuan memberikan kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat harus mampu
memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak di seluruh wilayah di Indonesia.

3. Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan Sistem


Jaminan Sosial Sesuai Koridor Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Makalah disampaikan oleh Kepala Biro Perencanaan Departemen Dalam


Negeri - Bapak Dodi Riyatmadji mewakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah –
Bapak Kausar AS. Uraian topik ini mencakup 5 isu pokok yaitu: 1) konsep

94
RINGKASAN MAKALAH

desentralisasi dan otonomi daerah; 2) pembagian urusan pemerintahan; 3)


pelaksanaan sistem jaminan sosial; 4) peran Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan sistem jaminan sosial dan implementasi dan 5) strategi kebijakan
pengembangan sistem jaminan sosial.

Konsep Desentralisasi Dan Penyelenggaraan Otonomi Daerah:


Di dalam makalahnya, Bapak Direktur Jenderal Otonomi Daerah
mengingatkan kembali konsep penyelenggaraan desentralisasi dan Otonomi
Daerah yang dianut Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
UUD Negara RI Tahun 1945. Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia
menganut dua nilai dasar yaitu nilai kesatuan dan nilai otonomi yang berarti tidak
dimungkinkan adanya daerah yang juga bersifat sebagai negara dan terdapat
pembatasan atas besar dan luas daerah otonom serta hubungan kekuasaan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam membahas Otonomi Daerah tidak dapat dipisahkan dari kebijakan


desentralisasi yang memayunginya. Konsep penyelenggaraan Otonomi Daerah
berimplikasi pada penyelenggaraan desentralisasi karena penyelenggaraan
desentralisasi terkait erat dengan pola pembagian kekuasaan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

Ditegaskan pula bahwa penyelenggaraan desentralisasi selalu memuat dua


elemen pokok yaitu: 1) pembentukan daerah otonom dan 2) penyerahan urusan
secara hukum dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan Pemerintahan. Pemerintahan Daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan yang artinya pelaksanaan urusan Pemerintahan Daerah dapat
diselenggarakan langsung oleh Pemerintahan Daerah dan dapat pula melalui

95
RINGKASAN MAKALAH

penugasan Propinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa serta penugasan


Kabupaten/Kota kepada Desa.

Penyelenggaraan desentralisasi memiliki 2 tujuan yaitu tujuan demokrasi


dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi berarti penyelenggaraan
desentralisasi bertujuan untuk memosisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen
pendidikan politik di tingkat lokal untuk mewujudkan masyarakat madani.
Sedangkan tujuan kesejahteraan berarti penyelenggaraan desentralisasi berarti
penugasan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik untuk
masyarakat lokal secara efektif dan efisien.

Dengan demikian, daerah otonom dalam rangka penyelenggaraan


desentralisasi di Indonesia memiliki 3 ciri utama yang terdiri dari: 1) daerah
otonom tidak memiliki kedaulatan sebagaimana layaknya pada Negara Federal; 2)
desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan urusan Pemerintahan;
dan 3) penyerahan urusan pemerintahan terkait erat dengan tujuan Negara antara
lain menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pembagian Urusan Pemerintahan:


Disampaikan 7 ketentuan dalam pembagian urusan Pemerintahan
berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal
10 sampai dengan 18, sebagai berikut:

1. Urusan Pemerintahan dipilah menjadi 2 bagian yaitu urusan pemerintahan


yang bersifat absolut yang menjadi urusan Pemerintah Pusat sepenuhnya dan
urusan pemerintahan yang dapat didistribusikan kepada daerah yang dikelola
bersama-sama sesuai dengan tingkatan dan susunan pemerintahan. Urusan

96
RINGKASAN MAKALAH

pemerintahan yang bersifat absolut adalah politik luar negeri, pertahanan


keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan agama. Urusan
pemerintahan yang bersifat bersama terdiri dari 30 urusan yaitu 1)
pendidikan, 2) kesehatan, 3) pekerjaan umum, 4) perumahan, 5) penataan
ruang, 6) perencanaan pembangunan, 7) perhubungan, 8) lingkungan hidup, 9)
pertanahan, 10) kependudukan dan catatan sipil, 11) pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, 12) keluarga berencana dan keluarga
sejahtera, 13) sosial, 14) tenaga kerja dan transmigrasi, 15) koperasi dan usaha
kecil dan menengah, 16) penanaman modal, 17) kebudayaan dan pariwisata,
18) pemuda dan olah raga, 19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, 20)
pemerintahan umum dan kepegawaian, 21) pemberdayaan masyarakat dan
desa, 22) statistik, 23) arsip, 24) komunikasi dan informatika, 25) pertanian,
26) kehutanan, 27) energi dan sumber daya mineral, 28) kelautan dan
perikanan, 29) perdagangan dan 30) perindustrian.

2. Pembagian urusan pemerintahan menggunakan kriteria: i) eksternalitas


(pertimbangan dampak dan akibat yang timbul dari penyelenggaraan
pemerintahan); ii) akuntabilitas (penyelenggaraan urusan pemerintahan
ditangani pada tingkatan terdekat dengan dampak/akibat); dan iii) efisiensi
(mengutamakan hasilguna dan dayaguna yang ditandai dengan proses yang
lebih cepat, tepat, murah, bermanfaat lebih besar dan luas serta memiliki
resiko minimal).

3. Urusan pemerintahan yang diserahkan meliputi urusan wajib (urusan yang


terkait dengan pelayanan dasar) dan urusan pilihan (urusan yang terkait
dengan upaya penciptaan daya saing daerah sesuai dengan karakteristik,
kondisi dan potensi unggulan daerah). Urusan pilihan meliputi 9 urusan yaitu

97
RINGKASAN MAKALAH

kelautan dan perikanan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral,


pariwisata, perindustrian, perdagangan, dan transmigrasi. Urusan-urusan
lainnya termasuk ke dalam kelompok urusan wajib.

4. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan berdasarkan standar


pelayanan minimal.

5. Penyelenggaraan urusan pemerintahan harus memiliki hubungan antar


tingkatan pemerintahan (hubungan dalam hal kewenangan, keuangan,
pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya) dan susunan pemerintahan.

6. Daerah-daerah yang wilayahnya berbatasan dengan laut diberi kewenangan


pengelolaan dalam batas dan jenis tertentu.

7. Masing-masing tingkatan pemerintahan melaksanakan urusan pemerintahan


berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial:


Bapak Dirjen Otonomi Daerah menjelaskan contoh pembagian urusan
pemerintahan bidang kesehatan, sosial dan tenaga kerja yang tercantum di dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Pembagian urusan-urusan tersebut mengacu pada kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi sebagaimana ketentuan pada UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pembagian urusan pemerintahan bidang kesehatan –


pelaksanaan jaminan sosial, antara lain:

Pusat : pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional

98
RINGKASAN MAKALAH

Propinsi : bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan


pemeliharaan kesehatan nasional; pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan
skala provinsi

Kabupaten/Kota: penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional;


pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal

Pembagian urusan pemerintahan bidang sosial – pelaksanaan


jaminan sosial bagi penyandang cacat, lanjut usia tidak potensial, terlantar,
masyarakat rentan dan tidak mampu, antara lain:

Pusat : penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial; pelaksanaan


pemberian jaminan sosial bagi masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional

Propinsi : pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi masyarakat


rentan dan tidak mampu di lingkup propinsi

Kabupaten/Kota: pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi masyarakat


rentan dan tidak mampu di lingkup kabupaten/kota.

Pembagian urusan bidang tenaga kerja – pembinaan hubungan


industri dan jaminan sosial bagi tenaga kerja, antara lain:

Pusat : pengkoordinasian pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial,


fasilitasi, dan kesejahteraan tenaga kerja skala nasional

Propinsi : pengkoordinasian pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga


kerja skala provinsi

Kabupaten/kota: pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala


kabupaten/kota.

99
RINGKASAN MAKALAH

Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sistem Jaminan


Sosial:
Pengelolaan sistem jaminan sosial oleh Daerah dalam koridor UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu mempertimbangkan pasal-
pasal di bawah ini:

1. Pasal 10 ayat (1) mengatur pembagian urusan pemerintahan;

2. Pasal 10 ayat (2) memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk


menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan;

3. Pasal 11 ayat (1) mengatur bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan


berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan
memerhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan;

4. Pasal 11 ayat (2) mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan antara


susunan pemerintahan sebagai satu sistem pemerintahan yang saling
terkait, tergantung dan sinergis;

5. Pasal 11 ayat (3) mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan yang


bersifat wajib dan urusan pilihan berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi;

6. Pasal 11 ayat (4) mewajibkan melaksanakan penyelenggaraan urusan


pemerintahan yang bersifat wajib dengan berpedoman pada standar
pelayanan minimal secara bertahap;

100
RINGKASAN MAKALAH

7. Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa urusan yang didesentralisasikan harus


disertai dengan sumber-sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian;

8. Pasal 13 ayat (1) mengatur 16 urusan wajib yang menjadi kewenangan


pemerintah provinsi dalam skala provinsi, di antaranya adalah penanganan
bidang kesehatan, penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
dan pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

9. Pasal 14 mengatur 16 urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah


daerah kabupaten/kota di antaranya adalah penanganan bidang kesehatan,
penanggulangan masalah sosial dan pelayanan bidang ketenagakerjaan;

10. Pasal 22 huruf (h) mewajibkan daerah untuk mengembangkan sistem


jaminan sosial.

Bapak Dirjen Otonomi Daerah memaparkan 3 masalah utama yang


akan dihadapi saat mengimplementasikan SJSN yang diatur oleh UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, yaitu:

1. Penghapusan pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) sebagai putusan Mahkamah
Konstitusi atas uji materi UU Nomor 40 Tahun 2004 tanggal 31 Agustus
2005 memerlukan penyesuaian dan penyempurnaan peraturan
perundangan yang terkait dengan jaminan sosial;

2. Berkembangnya pemahaman di beberapa daerah bahwa UU Nomor 40


Tahun 2004 tentang SJSN bertentangan dengan pasal 22 huruf (h) UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 22 huruf (h)

101
RINGKASAN MAKALAH

mengatur bahwa Daerah wajib mengembangkan sistem jaminan sebagai


kewajiban menjalankan otonomi daerah;

3. Berkembangnya pemahaman bahwa UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang


SJSN bernuansa sentralistik dan bertentangan dengan pembagian urusan
pemerintahan sebagai wujud penyelenggaraan desentralisasi sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13, 14 dan 22 huruf (h) UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah.

Implementasi Dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sistem


Jaminan Sosial:
Bapak Dirjen Otonomi Daerah mengingatkan di dalam makalahnya bahwa
penyusunan kerangka implementasi dan strategi pengembangan SJSN perlu
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai peraturan dan perundangan
beserta aksi-aksi penting sebagai berikut:

1. semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung


dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada UU Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 237 UU Nomor 32
Tahun 2004);

2. urusan Pemerintahan yang terkait dengan jaminan sosial (kesehatan, sosial


dan ketenagakerjaan) adalah urusan Pemerintahan yang
didesentralisasikan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota (pasal 13 dan 14
UU Nomor 32 Tahun 2004);

102
RINGKASAN MAKALAH

3. dalam menyelenggarakan otonomi, Daerah mempunyai kewajiban


mengembangkan sistem jaminan sosial (pasal 22 huruf (h) UU Nomor 32
Tahun 2004);

4. sesuai dengan konsep dan tujuan otonomi untuk membangun demokrasi


dan kesejahteraan rakyat, Daerah harus diberi kreatifitas dan inovasi
kebijakan untuk mewujudkan sistem jaminan sosial (pasal 22 huruf (h)
Nomor 32 Tahun 2004);

5. perlu harmonisasi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan UU


Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

6. kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial daerah dapat berupa


Badan Layanan Umum (Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005
tentang Badan Layanan Umum);

7. sumber dana pengelolaan jaminan sosial mengacu pada ketentuan sebagai


berikut:

i) penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


daerah didanai dari dana atas beban APBD (pasal 155 ayat (1) UU
Nomor 32 Tahun 2004);

ii) penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


pemerintah di daerah didanai dari dana atas beban APBD (pasal 155
ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004);

iii) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang
dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan

103
RINGKASAN MAKALAH

hak dan kewajiban tersebut (penjelasan pasal 156 ayat (1)


Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah didanai dari dana atas beban APBD (pasal 155 ayat (1) UU
Nomor 32 Tahun 2004);

iv) kelanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan


kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban
daerah (pasal 167 ayat (1) penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah didanai dari dana atas beban APBD
(pasal 155 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004);

v) peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Keuangan


Daerah;

vi) sosialisasi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN Pasca Putusan


Mahkamah Konstitusi.

Bapak Dirjen Otonomi Daerah menghimbau seperti disampaikan di dalam


makalahnya:

1. perumusan strategi pengembangan sistem jaminan sosial nasional harus


melibatkan seluruh pemangku kepentingan (pemerintah, swasta dan
masyarakat) dan memberdayakan seluruh instansi Pemerintah di Pusat dan
Daerah serta mitra kerja PT JAMSOSTEK, PT ASKES, PT TASPEN dan
PT ASABRI;

2. kebijakan dan strategi penataan lanjut pengembangan SJSN menjadi opsi


yang sangat strategis dan komprehensif untuk menyinergikan dan
meningkatkan koordinasi antar Departemen dan Lembaga Pemerintah Non

104
RINGKASAN MAKALAH

Departemen serta meningkatkan keterpaduan program antar instansi Pusat


dan Pemerintah Daerah.

Bapak Dirjen Otonomi Daerah menegaskan di akhir makalahnya bahwa


seluruh informasi di atas perlu diuraikan lebih lanjut yang kemudian diikuti
dengan perumusan kebijakan yang komprehensif dan efektif dan pelaksanaan aksi
tindak lanjut nyata agar SJSN dapat diimplementasikan secara efisien dan efektif
oleh semua instansi terkait.

4. Kebijakan Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi


Dalam Pengembangan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Selama Ini Dan Pengembangan Selanjutnya Di Era SJSN

Makalah disampaikan oleh Ir. Tianggur Sinaga, M.A mewakili Direktur


Jenderal PHI dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi- Bp. Muzni Tambusai. Topik ini membahas pelaksanaan program
jaminan sosial tenaga kerja sebelum diberlakukannya UU SJSN dan persiapan-
persiapan yang telah dan akan dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk mempersiapkan program jamsostek di era UU SJSN.

Dasar hukum dari program jaminan sosial tenaga kerja di Indonesia saat
ini sebelum diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN adalah 1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagaimana disebutkan dalam


UU Jamsostek pasal 1 ayat (1) adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam

105
RINGKASAN MAKALAH

bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan
meninggal dunia.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 mengatur penyelenggaraan,


program, iuran, manfaat, tata cara pembayaran, badan penyelenggara, kententuan
hukum dan ketentuan peralihan jaminan sosial tenaga kerja. Program jaminan
sosial tenaga kerja yang dicakup meliputi 4 program yaitu jaminan kecelakaan
kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

Penyelenggaraan Program Jamsostek sebagaimana diatur dalam pasal 4


ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1992 adalah program wajib yang harus dilaksanakan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja dan pasal 4 ayat (2) mengatur bahwa program jaminan sosial
tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Di dalam makalahnya, Bapak Muzni Tambusai, menjelaskan bahwa


tenaga kerja menurut UU Nomor 3 Tahun 1992 adalah pekerja yang bekerja
dalam hubungan kerja (DHK) maupun di luah hubungan kerja (LHK). DHK
mencakup pekerja sektor formal maupun sektor informal sedangkan LHK adalah
pekerja yang berusaha mandiri tanpa buruh. DHK memiliki tiga unsur yang
saling terkait yaitu pekerjaan, perintah dan upah.

Amanat pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993 yang mengatur penyelenggaraan program jaminan sosial
tenaga kerja bagi tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja formal.
Amanat pasal 4 ayat (2) belum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

106
RINGKASAN MAKALAH

sehingga belum ada peraturan pelaksana untuk pekerja mandiri. Sementara


pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja ekonomi informal belum tercakup
dalam pasal tentang penyelenggaraan dalam UU Nomor 3 Tahun 1992. Dengan
demikian, peraturan perundangan sistem jaminan sosial yang ada baru
menjangkau DHK formal. Saat ini jangkauan program-program pembinaan dan
perlindungan tenaga kerja dalam hubungan ekonomi informal masih sangat
terbatas. Hal ini sangat ironis mengingat sektor informal sangat berjasa sebagai
katub pengaman perekonomian dengan menampung para pencari kerja yang tidak
tertampung di sektor formal.

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 mengatur bahwa:


“Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh ) orang atau
lebih atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan
wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga
kerja”. Diatur pula iuran jaminan sosial tenaga kerja yang besarnya proporsional
terhadap pendapatan. Iuran jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan
jaminan pemeliharaan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha,
sedangkan iuran jaminan hari tua ditanggung bersama oleh pengusaha.

Iuran program jaminan kecelakaan kerja dibedakan berdasarkan 5


kelompok jenis usaha berdasarkan kelompok jenis usaha yaitu untuk kelompok I
sampai dengan kelompok V adalah 0,24%, 0,54%, 0,89%, 1,27% dan 1,74% dari
upah sebulan. Iuran jaminan kematian adalah 0,30% upah sebulan. Iuran jaminan
pemeliharaan kesehatan dibedakan bagi pekerja berkeluarga dengan tidak
bekeluarga, yaitu 6% untuk bagi tenaga kerja berkeluarga dan 3% bagi pekerja
lajang. Iuran jaminan hari tua adalah 5,7% dari upah sebulan dan ditanggung
bersama yaitu 3,7% oleh pengusaha dan 2,0% oleh pekerja.

107
RINGKASAN MAKALAH

Hingga saat ini pelaksanaan program jamsostek belum sepenuhnya ditaati


oleh semua pengusaha seperti yang diatur dalam peraturan perundangan yang
berlaku sehingga belum semua pekerja DHK formal terjangkau oleh program
jamsostek. Akibatnya, masih ditemukan berbagai kriteria perusahaan berdasarkan
kepatuhan menjaminkan tenaga kerjanya yaitu PWBD (perusahaan
wajib belum daftar), PDS tenaga kerja (Perusahaan daftar sebagian tenaga kerja),
PDS Upah (perusahaan daftar sebagian upah dan PDS program (perusahaan daftar
sebagian program).

Memasuki era SJSN, kebijakan Depnakertrans diarahkan pada 1)


perluasan cakupan peserta jaminan sosial tenaga kerja; 2) pengembangan
program; dan 3) peningkatan pelayanan. Keempat kebijakan tersebut
dilaksanakan melalui 4 (empat) program yang meliputi: 1) pengkajian
perluasan cakupan dan pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja;
2) penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang jaminan sosial tenaga
kerja; 3) penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah jaminan sosial
tenaga kerja bagi tenaga kerja mandiri; dan 4) penyusunan pedoman program
jaminan sosial bagi tenaga kerja mandiri.

Perluasan cakupan ditujukan untuk menjangkau para pekerja DHK


informal dan LHK/tenaga kerja mandiri dan akan dilakukan secara bertahap yang
akan dimulai dari tenaga kerja mandiri. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi akan melaksanakan proyek percontohan jaminan sosial tenaga kerja
bagi tenaga kerja mandiri di 3 (tiga) propinsi yaitu Jawa Tengah, Jambi dan
Kalimantan Barat. Berbagai kajian yang berkaitan dengan pekerja informal telah
dilakukan yang meliputi profil, penghasilan dan keinginan untuk menjadi peserta
program jamsostek dan selanjutnya akan digunakan sebagai masukan bagi

108
RINGKASAN MAKALAH

Rancangan Peraturan Pemerintah. Dan, saat ini Depnakertrans sedang membahas


Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Sosial Bagi Pekerja Mandiri.

5. Kebijakan Departemen Kesehatan Dalam Pengembangan


Jaminan Kesehatan Selama Ini dan Pengembangan
Selanjutnya Di Era SJSN

Makalah disampaikan oleh Ir. Alwi Alhabsy MPH mewakili Sekretaris


Jenderal Departemen Kesehatan – Dr. Syafii Achmad, MPH. Di dalam makalah
ini dibahas 2 kebijakan jaminan kesehatan yang telah dikembangkan oleh
Departemen Kesehatan yaitu jaminan kesehatan sukarela (Program JPKM) yang
dikembangkan berdasarkan landasan hukum UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (Program
Askeskin) yang diatur oleh Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241
Tahun 2004. Program Askeskin dipahami sebagai langkah awal
pengimplementasian program jaminan kesehatan sosial yang sejalan dengan
filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Disampaikan pula karakteristik
jaminan kesehatan wajib dan langkah-langkah strategis untuk pembangunan
program jaminan kesehatan wajib sesuai dengan amanat UU SJSN.

Di dalam makalahnya, Bapak Sekertaris Jenderal menegaskan bahwa


Indonesia memiliki dasar-dasar filosofis dan legal yang sangat kuat untuk
membangun kesehatan sebagai wujud pemenuhan hak asasi manusia, kewajiban
setiap individu dan sebagai bentuk investasi jangka panjang yang secara bertahap
akan berdampak pada peningkatan derajat kesehatan penduduk. Dasar hukum
pembangunan kesehatan di Indonesia adalah 1) UUD Negara RI Tahun 1945

109
RINGKASAN MAKALAH

pasal 28H dan pasal 34; 2) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 1
butir (15), pasal 5 dan pasal 66; 3) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan
4) TAP MPR Nomor 1V Tahun 2004. Pengakuan Negara terhadap kesehatan
sebagai hak asasi manusia sesuai pula dengan Konvensi WHO. Selama 3 dekade,
pembangunan kesehatan telah berhasil memperbaiki derajat kesehatan masyarakat
namun hasil yang dicapai masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-
negara tentangga di kawasan Asia Tenggara.

Untuk mengejar ketertinggalan ini, Bapak Sekretaris Jenderal


mengingatkan tidaklah mudah dan banyak agenda yang harus dikerjakan.
Indonesia saat ini menghadapi tiga beban penyakit sekaligus yaitu berhadapan
dengan penyakit-penyakit infeksi yang masih belum terselesaikan, penyakit-
penyakit degeneratif dan berbagai penyakit baru seperti flu burung dan SARS.
Masalah semakin diperberat dengan tingginya inflasi sektor kesehatan (2-3 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi di sektor lain) yang berdampak langsung
pada tingginya peningkatan biaya kesehatan, pemutusan akses masyarakat pada
pelayanan kesehatan dan penurunan mutu pelayanan kesehatan. Sementara
anggaran pembangunan kesehatan masih sangat kecil yaitu 3,2% PDB. Dampak
ini sangat terasa bagi masyarakat miskin dan kurang mampu.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas dan meminimalkan


dampak negatif atas tingginya biaya pelayanan kesehatan, Departemen Kesehatan
mengembangkan sistem jaminan kesehatan sebagai salah satu strategi penting.
Program jaminan kesehatan yang telah dikembangkan menerapkan prinsip-prinsip
pelayanan terpadu dengan biaya yang terkendali (managed care). Peningkatan
jumlah dan kualitas infrastruktur pelayanan kesehatan terus-menerus ditingkatkan
di seluruh daerah di Indonesia dan Pemerintah menyediakan insentif bagi petugas

110
RINGKASAN MAKALAH

kesehatan yang bekerja di daerah terpencil. Pemerintah secara bertahap


meningkatkan anggaran pembangunan kesehatan untuk mencapai standar minimal
5% PDB atau setara dengan 15% APBN/APBD.

Kebijakan Departemen Kesehatan tentang pembangunan jaminan


kesehatan seiring dengan visi pembangunan kesehatan yaitu Desa Siaga, yaitu
memandirikan masyarakat untuk hidup sehat, dan misi pembangunan kesehatan
yang bertujuan untuk membuat rakyat sehat. Visi Departemen Kesehatan
membangun program jaminan kesehatan adalah untuk mencapai cakupan
semesta (Universal Coverage). Departemen Kesehatan menetapkan 4 strategi
untuk mencapai misi dan visi pembangunan kesehatan yang juga terkait langsung
dengan visi pembangunan program jaminan kesehatan yaitu 1) pemberdayaan
masyarakat untuk selalu hidup sehat; 2) peningkatan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas; 3) peningkatan sistem surveilans,
monitoring dan informasi; dan peningkatan pembiayaan kesehatan.

Di dalam makalahnya, Bapak Sjafii Achmad menjelaskan bahwa


peningkatan biaya kesehatan akan dicapai melalui upaya untuk memperoleh
prioritas penganggaran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bagi
pembangunan kesehatan yang pemanfaatan anggaran tersebut akan diutamakan
untuk kegiatan preventif dan promotif serta untuk mendukung terciptanya sistem
jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin.

Sejak Tahun 1992 Departemen Kesehatan telah mengembangkan program


jaminan kesehatan sukarela yang dikenal sebagai Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JPKM) dan seiring dengan diundangkannya UU SJSN, Departemen
Kesehatan turut mengembangkan program jaminan kesehatan wajib. Dengan

111
RINGKASAN MAKALAH

demikian, di Indonesia terdapat dua bentuk program jaminan kesehatan yaitu


program jaminan kesehatan wajib dan jaminan kesehatan sukarela.

Bapak Sekretaris Jendral menjelaskan dalam makalahnya bahwa


penyelenggaraan kedua program jaminan kesehatan ini berbeda. Beliau
menjelaskan bahwa program jaminan kesehatan wajib berlaku nasional dan
diselenggarakan oleh badan penyelenggara tunggal (single payer) untuk
menjamin penyelenggaraan yang efektif. Sebaliknya, program jaminan kesehatan
sukarela dapat diselenggarakan oleh berbagai badan penyelenggara (multiple
payers). Perbedaan mendasar lainnya, seperti yang diuraikan dalam makalah
beliau, program jaminan kesehatan wajib diselenggarakan oleh badan
penyelenggara nirlaba, sementara program jaminan kesehatan sukarela oleh badan
pro-laba.

Selanjutnya, karakteristik jaminan kesehatan dipaparkan dalam tabel di


bawah ini:

No. Properti Jaminan Kesehatan Jaminan Kesehatan


Wajib Sukarela
1. Dasar Hukum UU 40/2004: SJSN UU 23/1992: Kesehatan
2. Portabilitas Nasional Propinsi/Kabupaten/Kota
3. Badan penyelengara Tunggal (single payer) Banyak (Multiple payers)
4. Bisnis Nirlaba Prolaba
5. Paket manfaat yang Dasar Disesuaikan atau
dipertanggungkan pelengkap
6. Premi Universal Bervariasi
7. Iur bayar Minimal Tergantung Benefit
8. Premi Masyarakat Ditanggung Pemerintah Tidak ditanggung
miskin Pemerintah
9. Prinsip Jaminan kesehatan sosial Bukan jaminan kesehatan
sosial

112
RINGKASAN MAKALAH

No. Properti Jaminan Kesehatan Jaminan Kesehatan


Wajib Sukarela
10. Subsidi silang Maksimal Minimal
11. Fasilitas pelayanan Fokus Pemerintah Fokus Swasta
kesehatan
12. Limitasi Kosmetik Tergantung Premi
13. Kerjasama Tiga pihak Tiga pihak
14. Kontrak PKS PKS

Perluasan cakupan program jaminan kesehatan akan terus dilakukan untuk


mencapai target cakupan semesta yaitu 80% penduduk di setiap desa siaga
terlindungi program jaminan kesehatan secara mandiri yang diagendakan akan
tercapai pada akhir Tahun 2020 sebagaimana disebutkan dalam Agenda
Pembangunan Kesehatan Jangka Panjang. Departemen Kesehatan melakukan
pentahapan menuju pencapaian cakupan semesta yang meliputi 5 tahap yaitu: 1)
pemantapan program jaminan kesehatan bagi penduduk yang bekerja di sektor
formal; 2) pemantapan Program Askeskin; 3) pengembangan daerah sentinel
cakupan semesta; 4) pemantapan cakupan semesta di daerah sentinel; dan 5)
pemantapan cakupan semesta di seluruh Indonesia.

Departemen Kesehatan mengagendakan 6 kegiatan pokok pengembangan


program jaminan kesehatan yaitu: 1) pengembangan dan pemantapan peraturan
perundangan tentang program jaminan kesehatan; 2) pengembangan aspek
pembiayaan program jaminan kesehatan; 3) pengembangan komponen-komponen
essensial program Jaminan kesehatan; 4) fasilitasi pelaksanaan program jaminan
kesehatan di daerah; 5) pengembangan dan pemantapan kelangsungan
pembiayaan Program Askeskin; dan 6) pengembangan dan pemantapan
kelangsungan pembiayaan program jaminan kesehatan sebagai bentuk

113
RINGKASAN MAKALAH

penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) yang bersifat


komplementer dengan penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).

Di dalam makalahnya, Bapak Sekretaris Jenderal mengingatkan masalah-


masalah potensial yang dapat memperlambat penyelenggaraan program jaminan
kesehatan wajib sebagai salah satu program SJSN. Terdapat 6 masalah utama
yaitu: 1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 5 ayat (2), (3),
(4) dan keharusan mendirikan BPJS dengan Undang-Undang hingga 2009; 2)
belum didirikannya DJSN yang berimplikasi pada keterlambatan penetapan
kebijakan SJSN; 3) belum disepakati paket manfaat dan besaran premi; 4)
terdapat kesenjangan kebijakan; 5) belum jelas pembagian urusan dan peran
pemerintah di setiap tingkatan baik Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota; dan
6) tidak dimuatnya sangsi yang jelas terhadap pelanggaran pelaksanaan SJSN.

Departemen Kesehatan mengharapkan Rapat Kerja Nasional dapat


menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
SJSN dan program jaminan kesehatan wajib dengan melakukan 4 agenda pokok
yaitu: 1) mengidentifikasi peraturan perundangan yang dibutuhkan amat segera
oleh setiap tingkat pemerintahan; 2) mengidentifikasi peran masing-masing
tingkat pemerintahan; 3) Menyusun rencana aksi Tahun 2006-2009 untuk setiap
tingkat pemerintahan; dan 4) mengidentifikasi dan mereplikasi daerah-daerah
yang telah mencapai cakupan semesta jaminan kesehatan.

Sebagai kesimpulan dan penutup, Bapak Sekretaris Jenderal menuliskan


bahwa Departemen Kesehatan telah menetapkan dua kebijakan jaminan kesehatan
yaitu jaminan kesehatan sukarela berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan jaminan kesehatan wajib berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN. Program jaminan kesehatan wajib diselenggarakan dengan

114
RINGKASAN MAKALAH

mengimplementasikan prinsip-prinsip jaminan sosial dan melibatkan 3 pelaku


yaitu pengiur (Pemerintah dan Peserta), Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
(jaringan penyelenggara pelayanan kesehatan yang terikat kontrak kerja dengan
Badan Penyelenggara) dan Badan Penyelenggara (PT ASKES Indonesia).
Program jaminan kesehatan merupakan program prioritas dari SJSN yang bersifat
mendesak dan dibutuhkan dalam jangka waktu pendek serta merupakan pilar dari
4 program SJSN lainnya.

6. Kebijakan Departemen Sosial Dalam Pengembangan


Asuransi Kesejahteraan Sosial Selama Ini Dan
Pengembangan Selanjutnya Di Era SJSN

Makalah disampaikan oleh Ibu Lisning Sri Hastuti, SH. mewakili Direktur
Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial. Isi makalah
dititikberatkan pada kebijakan pengembangan asuransi kesehatan sosial
(ASKESOS) bagi pekerja mandiri pada sektor informal sebelum diberlakukannya
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan kelanjutan program di era SJSN.

Di dalam makalahnya, Bapak Direktur Jenderal mengingatkan kembali


bahwa UUD Negara RI Tahun 1945 pasal 28 huruf H ayat (3) menegaskan bahwa
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan pasal 34 ayat (2)
menegaskan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat
kemanusiaan”. Amanat konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menyebutkan di dalam konsideran

115
RINGKASAN MAKALAH

menimbang huruf b dinyatakan bahwa “Untuk memberikan Jaminan Sosial yang


menyeluruh, Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.”

Beliau mengingatkan, bahwa amanat konstitusi dan konsideran UU SJSN


belum sepenuhnya terjabarkan di dalam pasal-pasal UU SJSN. Implementasi UU
SJSN hanya akan menyentuh kelompok pekerja formal dan masyarakat miskin
penerima bantuan, sementara kelompok penduduk yang termasuk ke dalam
kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) masih harus
diperjuangkan untuk dapat dilindungi oleh UU SJSN. PMKS terbagi atas 27
katagori yang di dalamnya termasuk pekerja sektor informal dan masyarakat fakir
miskin.

Dari 27 katagori kelompok penduduk yang termasuk kelompok PMKS,


Departemen Sosial menetapkan rencana strategis Tahun 2004 – 2009 dengan
memusatkan kebijakan pembangunan bidang kesejahteraan sosial pada 5 klausa
sasaran strategis yang meliputi: 1) kemiskinan (fakir miskin dan komunitas adat
terpencil); 2) ketelantaran (anak terlantar, anak jalanan dan lanjut usia); 3)
kecacatan (penyandang cacat dan anak cacat); 4) ketunaan sosial (wanita tuna
susila, gelandangan, pengemis dan eks narapidana); dan 5) korban bencana
(bencana alam dan korban kerusuhan sosial). Kelima sasaran strategis tersebut
diwujudkan dalam berbagai program yang bertujuan untuk memulihkan fungsi
sosial mereka agar dapat hidup sesuai harkat dan martabat kemanusiaan yang
layak. Program-program tersebut mencakup pembinaan sosial, perlindungan
sosial, pelayanan rehabilitasi dan pemberdayaan.

Ibu Lisning Sri Hastuti menjelaskan bahwa sejak Tahun 2003 Departemen
Sosial telah mengembangkan ujicoba atau rintisan asuransi kesehatan sosial

116
RINGKASAN MAKALAH

(ASKESOS) kepada pekerja mandiri pada sektor informal. Program ini dimulai
di 23 propinsi yang kemudian dikembangkan di seluruh propinsi pada tahun 2006
dengan jumlah peserta 10.400 KK (2003), 19.400 KK (2004), 13.400 KK (2005)
dan 28.000 KK (2006).

ASKESOS adalah sistem perlindungan untuk memberikan pertanggungan


dan perlindungan sosial bagi warga masyarakat terhadap resiko menurunnya
tingkat kesejahteraan sosial akibat pencari nafkah utama meninggal dunia,
menderita sakit atau kecelakaan, sehingga berada dalam kondisi tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar anggota keluarga. ASKESOS bertujuan untuk: 1)
memperkuat sistem ketahanan keluarga rentan atau miskin melalui program
pemeliharaan penghasilan; 2) memfasilitasi jaminan pertanggungan bagi warga
negara yang kondisinya diambang batas miskin agar mereka mampu
meningkatkan taraf hidupnya; dan 3) menciptakan suatu sistem perlindungan dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warga masyarakat pekerja mandiri
pada sektor informal.

ASKESOS merupakan upaya menjembatani keberhasilan Program


Bantuan Sosial yang dilaksanakan oleh Departemen Sosial dan Program Jaminan
Sosial. Salah satu Program Bantuan Sosial adalah program pemberdayaan
keluarga fakir miskin, pekerja mandiri, pekerja sektor informal dan kelompok
PMKS lainnya yang diwujudkan dalam bentuk program usaha sosial-ekonomi
produktif berupa bantuan modal usaha yang disalurkan melalui kelompok usaha
bersama. Setelah program ini membuahkan hasil berupa keuntungan usaha yang
layak, maka program ini ditingkatkan menjadi program ASKESOS di mana
anggota kelompok mampu membayar iuran atau premi secara mandiri.

117
RINGKASAN MAKALAH

Mekanisme penyelenggaraan program rintisan ASKESOS dilaksanakan


oleh Departemen Sosial bermitra dengan Organisasi Sosial yang telah dibina oleh
Departemen Sosial. Mekanisme penyelenggaraannya adalah sebagai berikut:

• Program pemberdayaan fakir miskin, sektor informal, pekerja mandiri,


dan PMKS lainnya dikelola oleh LSM/ Orsos yg memenuhi kriteria;

• Pusat operasional Asuransi Kesejahteraan Sosial diseleksi dan ditetapkan


dengan Kep. Menteri Sosial melalui Dinas Sosial. Orsos/LSM membentuk
Tim Pengelola Askesos;

• LSM/Orsos pendamping mengintegrasikan program peningkatan


penghasilan dengan pemeliharaan penghasilan melalui program
ASKESOS;

• LSM / Orsos bertanggung jawab kepada negara melalui Menteri Sosial


melalui Dinas Sosial & Departemen Sosial;

• Propinsi, Kota/Kabupaten dan Kecamatan membentuk Tim Pengendali


/Pengawas.

Dalam makalahnya Bapak Direktur Jenderal menyimpulkan bahwa


program ASKESOS merupakan program yang mengandung misi perlindungan
sosial dan harus diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara nir laba yang
dibentuk dengan Undang-Undang. Diharapkan ASKESOS dapat menjadi
pelengkap atau komplemen dan sinergis dengan SJSN. Begitu pula Ibu Lisning
menyampaikan kepada Forum apakah ASKESOS terintegrasikan dan
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara sesuai UU SJSN, sepenuhnya
merupakan kebijakan Presiden melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional.

118
RINGKASAN MAKALAH

7. Pengembangan Program Jaminan Kesehatan Dalam


Rangka Pengimplementasian UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN di Propinsi Jawa Tengah

Makalah disampaikan oleh Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat – Bapak


Ateng Putradi mewakili Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah – Bapak
Mardjijono. Informasi yang disampaikan meliputi penyelenggaraan dan
pengembangan program jaminan kesehatan di Propinsi Jawa Tengah, pandangan
Propinsi Jawa Tengah terhadap penyelenggaraan jaminan kesehatan di era UU
SJSN dan usulan-usulan mengenai peran Pemerintah Daerah dalam
mengembangkan program jaminan kesehatan di era UU SJSN.

Propinsi Jawa Tengah, sebagaimana disebutkan dalam makalah Sekretaris


Daerah, telah melaksanakan program jaminan kesehatan sesuai dengan arahan
reformasi di bidang kesehatan yang meliputi kebijakan pembangunan kesehatan
dan sistem kesehatan nasional. Sebagai dampak dari perubahan kebijakan dan
sistem kesehatan tersebut terjadi perubahan mendasar pada sub sistem upaya
kesehatan dan sub sistem pembiayaan kesehatan. Beliau mengingatkan kembali
dampak yang lebih luas akibat reformasi sub sistem pembiayaan kesehatan di
tingkat masyarakat, yaitu terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Perubahan
perilaku tersebut adalah perubahan pola membayar biaya kesehatan dari individu
menjadi kolektif, dari membayar biaya kesehatan pada saat sakit menjadi
membayar di saat sehat dan dari membayar biaya kesehatan setelah mendapatkan
pelayanan menjadi membayar sebelum mendapatkan pelayanan.

Program Jaminan Kesehatan yang telah diselenggarakan di Propinsi Jawa


Tengah adalah program Askes wajib bagi PNS, program Jamsostek, Program

119
RINGKASAN MAKALAH

Askeskin, JPKM dan program jaminan kesehatan komersial. Bapak Sekretaris


menjelaskan lebih lanjut program Askeskin dan program JPKM di dalam
makalahnya.

Penduduk Propinsi Jawa Tengah pada Tahun 2005 adalah 32,4 juta jiwa
dengan jumlah penduduk miskin sebesar 11,1 juta jiwa (34,21%). 10,9 juta jiwa
penduduk miskin terlindungi program Askeskin, sementara penduduk non-miskin
yang terlindungi program jaminan kesehatan sangat rendah yaitu hanya sekitar 2,5
juta jiwa (11,19% penduduk non-miskin). Secara keseluruhan, sekitar 41,5%
penduduk Propinsi Jawa Tengah telah terlindungi program jaminan kesehatan.
Hingga akhir Tahun 2005, kartu program Askeskin telah didistribusikan kepada
92,3% penduduk miskin dan masyarakat miskin peserta program Askeskin telah
dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dijaminkan.

Mengenai program JPKM, Propinsi Jawa Tengah telah mengembangkan


Badan Penyelenggara JPKM di tingkat Kabupaten dan Kota. Hingga Tahun
2005, Propinsi Jawa Tengah hanya memiliki 2 Badan Penyelenggara (Bapel)
JPKM yang memiliki izin operasional dari Menteri Kesehatan dan 14 Pra-Bapel
JPKM aktif. Kinerja pencapaian cakupan kepesertaan program JPKM masih
sangat rendah, hanya 4 Kabupaten/Kota yang mencapai kriteria cukup sementara
31 Kabupaten/Kota lainnya masuk ke dalam katagori kurang baik.
Pengembangan program JPKM di Jawa Tengah diutamakan kepada pekerja di
sektor informal melalui pengembangan jaminan kesehatan mikro yaitu Dana
Sehat dan JPK di Institusi Pendidikan dan JPK Non Gakin.

Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mengembangkan program JPKM


di Propinsi Jawa Tengah, yaitu: uji coba Pengembangan JPKM di sekolah,
pertemuan strategi peningkatan kepesertaan JPKM, pertemuan sosialisasi SJSN di

120
RINGKASAN MAKALAH

Propinsi, Kabupaten dan Kota secara bertahap, peningkatan kapasitas manajemen


program pembiayaan dan jaminan kesehatan, pengembangan jaminan kesehatan
melalui analisa potensi kemauan dan keinginan untuk membayar iuran program
jaminan kesehatan dan pengembangan dan penataan dana sehat.

Mengenai pengembangan program jaminan kesehatan di era SJSN,


Propinsi Jawa Tengah sebagaimana disampaikan dalam makalah, menyatakan ada
3 hambatan mendasar yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah yaitu hambatan
regulasi, penyelenggaraan dan kepesertaan. Hambatan regulasi meliputi: 1)
adanya ketetapan dalam pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 2004 yang mensyaratkan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang dan
2) belum adanya Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 yang
mengakibatkan timbulnya keraguan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan
program jaminan kesehatan. Hambatan penyelenggaraan ditimbulkan oleh
ketidakjelasan komitmen pengambil keputusan, fungsi pelaku penyelenggaraan
jaminan kesehatan belum optimal, dukungan lintas sektor yang belum optimal
serta belum optimalnya sosialisasi dan advokasi program jaminan kesehatan.
Hambatan pengembangan program jaminan kesehatan dari sisi regulasi dan
penyelenggaraan diperburuk oleh berbagai permasalahan dari sisi kepesertaan
seperti rendahnya kesadaran masyarakat mengenai makna program jaminan
kesehatan dan rendahnya kondisi sosial ekonomi sebagian besar masyarakat.

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah mengusulkan dalam pengembangan


SJSN agar Pemerintah Pusat memberi ruang kepada Pemerintah Daerah untuk
dapat mengimplementasikan SJSN sesuai kondisi dan aspirasi daerah. Diingatkan
pula landasan hukum yang perlu dijadikan dasar pertimbangan usulan ini, yaitu:

121
RINGKASAN MAKALAH

• UUD Negara RI Tahun 1945 Amandemen, pasal 28 Huruf H yang


menetapkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.

• UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 10 ayat (4)


yang menetapkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,
Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah
di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau
Pemerintahan Desa.

• UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 167 yang


menetapkan bahwa perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar,
pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial,
fasilitas umum yang layak dan mengembangkan sistem jaminan sosial.

• UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah menyarankan beberapa usulan untuk


pengimplementasian SJSN, yaitu: 1) pengajian mendalam tentang UU Nomor 40
Tahun 2004 dan peraturan perundangan lain yang terkait untuk mencegah
kebijakan yang tumpang tindih dan tidak efektif; 2) penyelesaian segera seluruh
peraturan pelaksana UU Nomor 40 Tahun 2004 dengan melibatkan peran aktif
daerah; 3) perluasan perhatian pengembangan kepesertaan yang tidak hanya
terpusat pada pekerja informal dan masyarakat miskin; 4) optimalisasi dukungan
lintas sektor dan pengambil kebijakan jaminan kesehatan di setiap tingkat

122
RINGKASAN MAKALAH

pemerintahan; dan 5) pembangunan komitmen bersama untuk mempersiapkan


pengimplementasian UU SJSN.

8. Tugas, Fungsi dan Peran Pemerintah Daerah Jawa Timur


Dalam Pengembangan Program Jaminan Kesehatan
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Makalah disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur


– Dr. Bambang Giyatno mewakili Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Timur. Tidak
jauh berbeda dari makalah Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur
menyampaikan penyelenggaraan program jaminan kesehatan yang tengah
berlangsung dan berbagai usulan dengan rinci mengenai tugas, fungsi dan peran
Pemerintah Daerah Jawa Timur.

Pemaparan diawali dengan penjelasan mengenai visi, misi dan program


prioritas Propinsi Jawa Timur. Propinsi Jawa Timur bercita-cita untuk
mewujudkan masyarakat di Jawa Timur memiliki akhlak mulia, maju, berdaya
saing, sejahtera, hidup aman dan damai secara berkesinambungan di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut
dilaksanakan berbagai upaya berupa peningkatan penghayatan dan pengamalan
nilai nilai agama, peningkatan aksesibilitas serta kualitas pendidikan dan
kesehatan, reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik untuk
mewujudkan upaya revitalisasi desentralisasi dan otonomi daerah. Visi dan misi
Pemerintah Jawa Timur dioperasionalkan dalam program-program prioritas dan
proyek-proyek strategis yang bersifat pengungkit untuk menjawab 3 tantangan

123
RINGKASAN MAKALAH

dan permasalahan mendasar di Propinsi Jawa Timur yaitu pengangguran,


kemiskinan dan ketimpangan pembangunan wilayah. Pada Tahun 2005 Propinsi
Jawa Timur berpenduduk 37,1 juta jiwa di antaranya adalah penduduk miskin
berjumlah 7,1 juta jiwa (19%).

Pembangunan jaminan kesehatan di Propinsi Jawa Timur tidak berbeda


dengan Propinsi-Propinsi lainnya di Indonesia. Masyarakat yang terlindungi
program jaminan kesehatan masih sangat rendah yaitu 28,7% penduduk dan
mayoritas adalah penduduk miskin peserta Askeskin (19%) dan sisanya adalah
penduduk non miskin (9,7%). Masyarakat non miskin tersebar di dalam berbagai
jenis program jaminan kesehatan yaitu Askes Pengawai Negeri (1,74%),
Jamsostek (0,52%), Bapel JPKM (0,48%), Dana Sehat (0,84%), Asuransi mandiri
diselenggarakan oleh Perusahaan (2,06%) dan asuransi lainnya termasuk
komersial (4,06%).

Dr. Bambang Giyatno menjelaskan urusan Pemerintah Daerah Jawa


Timur dalam mengembangkan program jaminan kesehatan dilandasi oleh
peraturan dan perundangan yang berlaku yaitu: 1) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945; 2) UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; 3) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan; 4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 5) UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dangan Pemerintahan Daerah; 6) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional; 7) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 007/PUU-
III/2005 tentang Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional; dan 8) Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 37 Tahun 2000
tentang Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur.

124
RINGKASAN MAKALAH

Urusan, tugas dan fungsi Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur dalam
mengembangkan program jaminan kesehatan khususnya JPKM telah diatur
dengan jelas di dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 37 Tahun
2000. Peraturan Daerah tersebut mengatur bahwa Dinas Kesehatan Propinsi
bertugas menyusun rencana, menjabarkan pedoman dan melakukan pembinaan,
pemantauan, pengendalian, pengawasan dan penyelenggaraan program JPKM
serta melaksanakan akreditasi Bapel JPKM dan penyelenggara pelayanan
kesehatan.

Propinsi Jawa Timur menyatakan dengan tegas usulan-usulan urusan,


tugas dan fungsi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan program jaminan
kesehatan di era SJSN. Terdapat 2 bentuk urusan Pemerintah Daerah yang
diusulkan kepada Forum. Urusan tersebut adalah: 1) mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial Daerah dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Daerah dengan Peraturan Daerah untuk mencakup masyarakat non miskin yang
belum terlindungi oleh program jaminan kesehatan yang ada; dan 2)
memprioritaskan anggaran belanja daerah untuk pengembangan Sistem Jaminan
Sosial Daerah.

Di dalam makalahnya, Pemerintah Propinsi Jawa Timur mengusulkan 5


tugas Pemerintah Daerah mengembangkan program jaminan kesehatan yang
dibatasi pada ruang lingkup sistem jaminan sosial daerah. Tugas-tugas
Pemerintah Daerah yang diusulkan meliputi:

1. memformulasikan pembiayaan program penanggulangan kemiskinan dan


peningkatan derajat kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah secara
sistematis;

125
RINGKASAN MAKALAH

2. mengembangkan, membina dan mendorong JPKM sebagai landasan


penyelenggaraan program pemeliharaan kesehatan yang pembiayaannya
dilaksanakan secara pra-upaya dan berasaskan usaha bersama dan
kekeluargaan dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Daerah;

3. membayar iuran program jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang
yg tidak mampu;

4. menyediakan dan meningkatkan mutu fasilitas pelayanan kesehatan;

5. mewujudkan keadilan sosial melalui sistem subsidi silang dan


keseimbangan risiko sosial ekonomi antar individu masyarakat atau antar
daerah secara lebih berkeadilan & proporsional.

Pemerintah Propinsi Jawa Timur mengusulkan 9 fungsi Pemerintah


Daerah dalam membangun program jaminan kesehatan di dalam kerangka sistem
jaminan sosial daerah, sebagai berikut:

1. menjalankan pelayanan sosial pemerintahan negara sebagai kewajiban


daerah otonom menembangkan sistem jaminan sosial daerah;

2. membangun komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk


mengembangkan sistem jaminan sosial daerah di wilayah Propinsi Jawa
Timur;

3. melakukan pembinaan terhadap Bapel JPKM berizin yang telah


beroperasi;

4. mendorong terwujudnya transparansi, pertanggungjawaban, penggunaan


dan pengelolaan keuangan dana titipan masyarakat;

126
RINGKASAN MAKALAH

5. mendorong terwujudnya tabungan daerah sebagai dana alternatif dalam


pembiayaan pembangunan infrastruktur kesehatan di daerah sebagai
pelengkap pembiayaan bersumber APBD;

6. mendorong peningkatan mutu pelayanan sosial umum melalui


pengendalian biaya;

7. meningkatkan dan menjamin kesinambungan, efisiensi dan efektivitas


dana bantuan sosial dari pemerintah;

8. memfasilitasi perluasan sasaran kepesertaan;

9. mendampingi Bapel JPKM dalam membangun pelembagaan kerjasama


antar daerah penyelenggara jaminan sosial.

Propinsi Jawa Timur mengusulkan urusan, tugas dan fungsi Pemerintah


Daerah dalam membangun program jaminan kesehatan sosial di daerah untuk:

1. membangun komitmen dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan


Pemerintah Pusat untuk pembiayaan jaminan kesehatan masyarakat;

2. membentuk Badan pembina dan pengawas yang bertugas dan berfungsi


sebagai: i) penyusun regulasi sistem jaminan kesehatan; ii) menetapkan
kebijakan umum Bapel JPKM; iii) pembinaan dan pengawasan Bapel
JPKM; iv) bimbingan, pengembangan dan mendorong Bapel JPKM yang
saat ini terbatas hanya mengelola jaminan kesehatan masyarakat miskin
menjadi pengelola jaminan kesehatan bagi seluruh komponen masyarakat;

3. membentuk kelompok kerja teknis sesuai kebutuhan;

4. melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Gubernur;

5. membentuk Bapel Jaminan Sosial Daerah untuk masyarakat non miskin.

127
RINGKASAN MAKALAH

9. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Berdasarkan UU Nomor


40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah di Provinsi Kalimantan
Timur

Makalah disampaikan oleh H. Syaiful Teteng, Sekretaris Daerah Propinsi


Kalimantan Timur. Propinsi Kalimantan Timur memaparkan penyelenggaraan
program jaminan sosial termasuk program jaminan kesehatan di wilayah Propinsi
Kalimantan Timur. Pada makalah ini tidak terdapat usulan mengenai tugas, fungsi
dan peran Pemerintah Daerah dalam mengembangkan jaminan sosial di era SJSN.
Saran yang diajukan terbatas pada perbaikan program yang tengah berlangsung.

Propinsi Kalimantan Timur adalah propinsi yang memiliki wilayah


geografis yang terluas di antara propinsi-propinsi lainnya di Indonesia dan salah
satu wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Penyebaran
penduduk tidak merata, kabupaten didiami 6 jiwa/km2 sementara kota didiami
470 jiwa/km2) Penduduk Propinsi Kalimantan Timur berjumlah 2,75 juta jiwa;
24,5% (674.356 jiwa) di antaranya tergolong masyarakat miskin.

Propinsi Kalimantan Timur memiliki kebijakan pembangunan jaminan


sosial yaitu: 1) jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diselenggarakan
berdasarkan prinsip asuransi sosial; 2) pembiayaan penyelenggaraan program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dibebankan secara
proporsional kepada anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota;
3) jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan dengan prinsip asuransi sosial; 4)
jaminan hari tua, jaminan pensiun dan kematian diselenggarakan dengan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib.

128
RINGKASAN MAKALAH

Program jaminan pelayanan kesehatan di Propinsi Kalimantan Timur


diselenggarakan oleh berbagai badan penyelenggara dengan mengacu pada
kebijakan nasional. Penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri sipil,
pekerja formal swasta dan masyarakat miskin mengikuti kebijakan Pemerintah
Pusat yang secara berurutan diselenggarakan melalui kebijakan Askes Pegawai
Negeri, Jamsostek dan Askeskin.

Berbagai inovasi pengembangan di tingkat daerah dilakukan untuk


memberikan jaminan yang optimal. Propinsi Kalimantan Timur melaksanakan
berbagai upaya peningkatan kualitas program jaminan kesehatan yang dibiayai
oleh anggaran Pemerintah Daerah. Kebijakan lokal tersebut meliputi:

• membayar premi Askes Pegawai Negeri Sipil sebesar 2% gaji pokok;

• mengembangkan Program Askes Prima (sejak tahun 2004) yang dikelola


oleh PT ASKES untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi
Pegawai Negeri Sipil;

• menunjuk Dewan Pembina Korps Pegawai Negeri Sipil Republik


Indonesia (DP KORPRI) untuk mengelola dana bersumber Anggaran
Pemerintah Daerah bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi
Pegawai Negeri Sipil sejak Tahun 2005 sebagai pengalihan dari program
Askes Prima yang dinilai tidak memuaskan;

• Sejak Tahun 2003 mengalokasikan dana bersumber Anggaran Pemerintah


Daerah untuk mendukung program Pemerintah Pusat tentang jaminan
kesehatan bagi masyarakat miskin dan peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin di Propinsi Kalimantan Timur dengan

129
RINGKASAN MAKALAH

dukungan anggaran yang semakin meningkat dari 21 milyar rupiah pada


tahun 2004 menjadi 38,3 milyar rupiah pada tahun 2005 (naik 182%).

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diselenggarakan


sesuai dengan kebijakan nasional Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan
diselenggarakan oleh PT JAMSOSTEK. Sedangkan program Jaminan
Kesejahteraan Sosial dekelola oleh Dinas Sosial Propinsi Kalimantan Timur
dengan sasaran organisasi sosial kemasyarakatan.

Terdapat berbagai kendala yang dihadapi selama melaksanakan program-


program jaminan sosial di Propinsi Kalimantan Timur. Berikut ini disampaikan
kendala-kendala serta harapan pemecahan masalahnya:

• Kebijakan Pemerintah Pusat yang sering dan cepat berubah terutama


kebijakan penyaluran dana bantuan pelayanan kesehatan masyarakat
miskin menyulitkan sinkronisasi anggaran dengan anggaran daerah,
sehingga diperlukan penguatan Satuan Tugas Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Miskin di tingkat propinsi dan kabupaten/kota serta
mencari bentuk penguatan mekanisme penyaluran dana yang lebih efisien,
efektif dan akuntabel;

• Pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja masih terbatas pada


sebagian pegawai swasta yang bekerja di sektor formal sehingga perlu
diperluas jangkauannya hingga sampai pada kelompok pekerja di sektor
informal;

• Jangkauan program jaminan kesejahteraan sosial dengan sasaran


kelompok masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial masih
sangat terbatas sehingga perlu perluasan jangkauan pelayanannya.

130
REKOMENDASI
RENCANA TINDAK LANJUT

Rekomendasi:

Rakernas “Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program Jaminan


Kesehatan Nasioanal dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat” pada
tanggal 15-16 Maret 2006, MENYEPAKATI sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN Pasca Putusan


Mahkamah Konstitusi merupakan payung hukum sistem jaminan sosial
nasional.

2. Pemerintah Daerah dapat mengembangkan Sistem Jaminan Sosial dalam


kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional.

RencanaTindak Lanjut:

Rakernas “Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Program Jaminan


Kesehatan Nasioanal dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat” pada
tanggal 15-16 Maret 2006, MEREKOMENDASIKAN TINDAK LANJUT sebagai
berikut:

1. Menyelesaikan Agenda-Agenda Bidang Regulasi, meliputi:

i) Mempercepat penyusunan peraturan pelaksanaan UU 40/2004 ttg


SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi;

131
REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT

ii) Memetakan dan mengharmonisasikan seluruh peraturan perundang-


undangan yang terkait dengan penyelenggaraan SJSN - UU Nomor 40
Tahun 2004 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi;

iii) Menetapkan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam


mengembangkan sistem jaminan sosial nasional secara tegas dan rinci
dalam peraturan pelaksana UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

iv) Mempercepat proses penyusunan RUU Badan Penyelenggara SJSN


dengan mengakomodasi aspirasi daerah.

2. Menyelesaikan Agenda-Agenda Bidang Pengorganisasian, meliputi:

i) Mempercepat terbentuknya DJSN (Perpres dan Kepres DJSN) ps 6


UU Nomor 40 Tahun 2004;

ii) Memberikan dasar hukum pembentukan BPJS.

iii) Mempersiapkan peralihan PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT


ASABRI, PT TASPEN menjadi BPJS.

3. Membangun Peran Serta Pemangku Kepentingan:

i) Menyusun modul penyuluhan dan melaksanakan pelatihan bagi


penyuluh SJSN;

ii) Mempercepat pelaksanaan/penyelenggaraan sosialisasi dan diseminasi


UU SJSN kepada seluruh pemangku (Pemerintah
Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, Pengusaha/pemberi kerja,
Pekerja/buruh, media masa dan masyarakat luas);

iii) Menampung aspirasi daerah;

132
REKOMENDASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT

iv) Membangun sistem informasi dan manajemen jaminan sosial

v) Membangun sumber daya manusia yang memahami dan peduli sistem


jaminan sosial.

vi) Membangun opini publik yang kondusif untuk pengembangan sistem


jaminan sosial nasional.

4. Memperluas Kepesertaan dan Manfaat Program Jaminan Sosial

i) Menyusun desain, strategi, dan rencana perluasan cakupan kepesertaan


dan manfaat program jaminan sosial jangka pendek, jangka menengah
dan jangka panjang;

ii) Meningkatkan peran serta pemerintah daerah untuk mencapai


kepesertaan semesta program jaminan sosial;

iii) Menyiapkan infrastuktur dan fasilitas pendukung pengimplementasian


program jaminan sosial nasional;

iv) Menetapkan daerah-daerah untuk percepatan pelaksanaan sistem


jaminan sosial nasional termasuk upaya perluasan kepesertaan dengan
pendekatan wilayah;

v) Menggalang kemitraan dan harmonisasi dengan seluruh pemangku


termasuk lembaga-lembaga internasional.

5. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial menyusun agenda


dan koordinasi perencanaan program dan penganggaran bagi pelaksanaan
butir ke-1 hingga ke-4.

133
PENUTUP

SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN R.I.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Yth. Para peserta Rakerkesnas,


Yth. Perwakilan GTZ Indonesia,
Yth. Undangan yang berbahagia

Syukur Alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada Kita, pada
akhirnya kita dapat menyelesaikan tugas yang penting ini dengan hasil yang
optimal.

Dengan telah tuntasnya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, maka UU ini
harus disikapi secara arif mengingat untuk pelaksanaanya memerlukan beberapa
tahapan yang membutuhkan waktu dan menuntut kesiapan semua stakeholder.

SJSN mengamanatkan 5 (lima) program jaminan sosial yaitu Jaminan


Hari Tua, Jaminan Kecelakaan kerja, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian serta
Jaminan Kesehatan (JK) yang menjadi prioritas segera untuk dilaksanakan karena
pada hakekatnya Jaminan Kesehatan merupakan kebutuhan jangka pendek yang

134
PENUTUP

mendesak dan menjadi tahapan pertama untuk dilaksanakan sesuai dengan amanat
yang tertuang di dalam undang undang.

Sebagai langkah awal untuk mempercepat pelaksanaan Jaminan


Kesehatan, Departemen Kesehatan sejak Tahun 2005 menginvestasikan dana
sebesar 3,8 trilyun dengan memberikan Jaminan Kesehatan pada keluarga miskin
yang dikenal dengan program Askeskin dan akan terus dilanjutkan pada Tahun-
Tahun berikutnya. Fakta menunjukkan bahwa cakupan kepesertaan Jaminan
Kesehatan yang sebelumnya masih rendah, saat ini meningkat hingga mencapai
40,5%.

Diharapkan, sejalan dengan waktu dan lengkapnya perangkat untuk


melaksanakan UU SJSN ini, maka universal coverage dapat dicapai termasuk di
dalamnya kelompok sektor informal.

Saudara-saudara sekalian,
Rakernas ini telah berhasil merumuskan hal-hal penting seperti identifikasi
pengaturan dan peran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam
pelaksanaan SJSN, , strategi menuju kepesertaan semesta dan langkah-langkah
yang perlu dilakukan dalam masa transisi. Rekomendasi ini akan digunakan untuk
menyempurnaan berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk penerapan SJSN.
Beberapa hal yang diharapkan dapat dilaksanakan sebagi langkah kongkrit ke
depan antara lain :

1. Agar keputusan dan kesimpulan Rakernas SJSN dapat menjadi salah satu
acuan dalam rangka persiapan pelaksanaan SJSN ke depan.

2. Agar segera melakukan sosialisasi UU SJSN paska keputusan Mahkamah


Konstitusi ke berbagai stakeholder secara berjenjang ke provinsi dan
kabupaten/kota

135
PENUTUP

3. Mendukung terbentuknya Dewan Jaminan Sosial Nasional ( DJSN)

4. Diharapkan setelah Rakernas SJSN ini, maka implementasi SJSN dapat


segera dimulai dan diawali dengan program Jaminan Kesehatan.

Kepada semua pihak yang telah membantu kesuksesan acara ini saya
ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.Akhirnya kepada
peserta daerah yang merupakan representatif DPRD, Sekretaris Daerah dan
Dinkes Provinsi yang hadir pada Rakernas ini, saya ucapkan selamat jalan dan
selamat bertugas ke tempat masing-masing.

Jakarta, 16 Maret 2006

Menteri Kesehatan R.I

ttd

DR. Dr. Siti Fadillah Supari, SpKJ

136
LAMPIRAN 1

PENYELENGGARAAN

Kerangka Acuan

Jadual

Daftar Peserta

137
PENYELENGGARAAN

KERANGKA ACUAN
1. Latar Belakang

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program


pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program itu, setiap
penduduk diharapkan dapat terbantu untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau
berkurangnya pendapatan, baik karena usia lanjut/pensiun, menderita sakit,
mengalami kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan.

Sebagai tindak lanjut amanat UU Dasar 1945 pasal 28 H dan pasal 34 ayat
2. Pemerintah telah mengesyahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang mengatur tata cara semua kegiatan program
Jaminan Sosial. Pemerintah juga telah berkomitmen untuk segera melaksanakan
dan mengimplementasikan UU tersebut dengan penyiapan PP dan Perpres
sebagai upaya agar setiap orang dapat segera mendapatkan jaminan sosial baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah.

Di dalam SJSN disebutkan bahwa pelaksanaan Jaminan Sosial dilakukan


secara bertahap baik dalam jangkauan cakupan peserta maupun jenis manfaat
yang diterima peserta. Pada tahap pertama jaminan sosial diberikan dalam bentuk
jaminan kesehatan, khususnya bagi penduduk miskin sebelum yang bersangkutan
punya kemampuan untuk membiayai iuran, akan dibantu oleh pemerintah.

Selama ini di Indonesia telah berkembang beberapa program jaminan sosial


baik yang terselenggara di tingkat pusat maupun daerah, namun disayangkan
bahwa pemahaman pemerintah pusat dan daerah dalam mekanisme peran tugas
dan fungsinya dalam pengembangan jaminan sosial masih sering berbeda. Untuk
itu dinilai perlu menyelenggarakan pertemuan koordinasi antara pengelola jaminan
sosial tingkat pusast dan daerah untuk membahas proporsi tugas dan fungsi serta
kewenangan masing-masing pihak dalam penyelenggaraan jaminan sosial
sehingga terjadi sinkronisasi yang harmonis dalam penyelenggaraan jaminan
sosial.

138
PENYELENGGARAAN

2. Tujuan

Umum
Untuk menyamakan persepsi antar pelaksana program jaminan sosial khususnya
jaminan kesehatan baik di pusat maupun daerah agar dalam mengembangkan
dan melaksanakan program jaminan sosial tidak menyimpang dari pedoman dan
tata cara yang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004.

Khusus

a. Diperolehnya pemahaman secara jelas tentang jaminan sosial sesuai dengan


UU No. 40 Tahun 2004 dan hasil putusan Mahkamah Konstitusi;
b. Teridentifikasinya tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan jaminan sosial nasional dan jaminan kesehatan;
c. Teridentifikasinya peraturan dan kebijakan penyelenggaran jaminan sosial
nasional;
d. Teridentifikasinya peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaminan
kesehatan sosial;
e. Diperolehnya masukan awal untuk perencanaan pengembangan kebijakan
SJSN termasuk jaminan kesehatan sosial di Indonesia masa peralihan samapi
dengan tahun 2009.

3. Hasil yang diharapkan

Terselenggaranya koordinasi yang harmonis antar pemerintah pusat dan daerah


dalam menyelenggarakan Sistim Jaminan Sosial Nasional termasuk program
jaminan kesehatan sosial.

4. Materi yang dibahas

Tugas, fungsi dan kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam


mengembangkan Sistim jaminan Sosial Nasional termasuk program jaminan
kesehatan sosial untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat.

5. Presentasi Materi

1. Substansi dan filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional;

139
PENYELENGGARAAN

2. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasca


hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi;
3. Tugas dan Fungsi serta Peran Pemda dalam pelaksanaan UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi;
4. Kebijakan Departemen Sosial dalam pengembangan Asuransi Kesejahteraan
Sosial selama ini dan pengembangan selanjutnya di era SJSN;
5. Kebijakan Departemen Keseharan dalam pengembangan jaminan kesehatan
selama ini dan pengembangan selanjutnya di era SJSN;
6. Kebijakan Departemen Nakertrans dalam pengembangan jaminan tenaga
kerja selama ini dan pengembangan selanjutnya di era SJSN;
7. Pengembangan Jaminan Kesehatan dan rangka Implementasi UU Nomor 40
Tahun 2004 di Propinsi Jateng, oleh Pemda Prop. Jateng;
8. Tugas, Fungsí, dan Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan
Jaminan Kesehatan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah oleh Pemda Propinsi Jawa Timur;
9. Penyelenggaraan Jaminan Sosial berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh
Pemda Kalimantan Timur.

6. Peserta

1. Kementeriaan Koordinator Bidang Kesra;


2. Sekretariat Wapres;
3. Sekretariat Negara;
4. Departemen Dalam Negeri;
5. Departemen Luar Negeri;
6. Departemen Kesehatan;
7. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
8. Departemen Sosial;
9. Departemen Pertahanan;
10. Departemen Keuangan;
11. Departemen Hukum dan HAM;
12. BAPPENAS;
13. BKKBN;
14. BPS;
15. Para Sekretaris Daerah seluruh Indonesia;
16. Para Ketua Komisi DPRD Propinsi yang membidangi masalah Kesra;
17. Para Kepala Dinas Kesehatan Propinsi seluruh Indonesia;

140
PENYELENGGARAAN

18. Para Badan Penyelenggara Jaminan;


19. Para Pakar Jaminan Sosial;
20. Para Calon Anggota DJSN;
21. Lembaga Donor

7. Pelaksanaan

Kegiatan rapat Kerja Nasional Sistim Jaminan Sosial Nasional dan Program
Jaminan Kesehatan Sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat
dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 15-16 Maret 2006 di Hotel Arya Duta, Jl.
Prapatan 44-48, Jakarta.

8. Anggaran

Kegiatan ini dibiayai dengan anggaran dana bantuan GTZ bekerjasama dengan
pemerintah Indonesia.

Jakarta, Maret 2006

Deputi Koordinasi
Bidang Kesejahteraan Sosial

ttd

DR. Adang Setiana

141
PENYELENGGARAAN

JAM ACARA PEMBICARA MODERATOR

Hari Pertama – Rabu, 15 Maret 2006


09.00 – Presentasi Panel I:
11.00 1. Substansi dan filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 Dr. Sulastomo DR. Atifah Taha,
tentang SJSN MSc

2. Struktur, organisasi, dan mekanisme kerja SJSN Dr. Adang Setiana


Deputi Koord. Bid.
Kes. Sos
3. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca
hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi Dirjen Peraturan
Perundang-Undang
4. Tugas dan fungsi serta peran Pemda dalam Dep. Hukum & HAM
pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
SJSN pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Dirjen OTDA
Dep. Dagri
11.00 – Pembukaan & Dialog Interaktif GTZ
12.00 Menko Kesra
12.00 – Foto Bersama
12.30
13.30 – Presentasi Panel II:
15.00 Drg Moeryono
Kebijakan Departemen Tenaga Kerja dan Dirjen Bantuan & Aladin
Transmigrasi, Departemen Sosial dan Departemen Jamsos, Depsos -
Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Sekretaris Jenderal
Sosial di era pra-SJSN dan pengembangan Depkes -
selanjutnya di era SJSN Dirjen PHI &
Jaminan T. Kerja
Dep. Nakertrans
15.15 – Presentasi Panel III:
16.30 1. Pengembangan Jaminan Kesehatan dalam Sekretaris Daerah Prof. DR.
rangka Implementasi UU Nomor 40 Tahun 2004 di Prop. Jateng Hasbullah
Propinsi Jateng

2. Tugas, Fungsi, dan Peran Pemerintah Daerah


dalam pengembangan Jaminan Kesehatan Sekretaris Daerah
berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Prop. Jatim
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

142
PENYELENGGARAAN

JAM ACARA PEMBICARA MODERATOR

Daerah
Sekretaris Daerah
3. Penyelenggaraan Jaminan Sosial berdasarkan Prop. Kaltim
UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional oleh Pemda Kaltim

16.30 – Penjelasan dan pembagian Kelompok Kerja Drs. Soekamto


17.00
Hari Kedua – Kamis, 16 Maret 2006
08.30 – Diskusi Kelompok: Fasilitator :
12.00
Kelompok:
1. Identifikasi pengaturan dalam pelaksanaan SJSN Qomarudin SH

2. Identifikasi peran pusat dan daerah dalam Drs. Faebudodo


penyelenggaraan dan pengembangan SJSN
Ir. Alwi MPH
3. Menyusun Strategi untuk menuju kepesertaan
semesta Ir. Tianggur MA

4. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam


masa transisi sampai 2009
13.00 – Pleno Dr. Sulastomo,
15.00 MPH
15.30 – Pembacaan Keputusan Hasil Raker Drs. Soekamto
16.00
16.00 – Penutupan Menteri Kesehatan
17.00

143
PENYELENGGARAAN

DAFTAR PESERTA
A. PEMERINTAH PUSAT

1 Aburizal Bakrie Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

2 Dr. Siti Fadillah Supari, Spkj Menteri Kesehatan

3 Dr. Adang Setiana Deputi Koordinasi Bidang Kesejahteran Sosial


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

4 Dra. Maswita Djaya, MSc Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan


Perempuan dan Kesejahteraan Anak
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

5 Dr. Risman Musa, MA, Deputi Koordinasi Bidang Agama, Budaya dan
Pariwisata Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat

6 Drs. Arifin Badri, MDS Staf ahli Menko kesra Bid Kependudukan dan
Tenaga kerja Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat

7 Drs. Dody Budiatman Staf ahli Menko kesra Bid Polkam


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

8 Drs. Djoharis Lubis, MSc Staf Ahli Menko Kesra Bid Otda dan PDT
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

9 Dr. Komet Mangiri Staf Ahli Menko Kesra Bidang EKIKR


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

10 Drs. Sukamto Asdep urusan Jaminan Sosial


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

144
PENYELENGGARAAN

11 Ir. Ngatiyo Ngayoko , MM Asdep Urusan Penca dan Lansia


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

12 Drs. Andi M Natsir Asdep Urusan Bantuan Sosial


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

13 Drs. Edy Sularno Kabid Sistem Jaminan Sosial


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

14 Dra. Endang Sri Mulyani Kabid Kerjasama Jaminan Sosial


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

15 Meida Octarina, MCN Kabid Sistem Pemeliharaan Kesehatan


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

16 Dra. Setyo Ediningsih, MM Kabid Bidang Penca


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

17 Enal Tawakal Tahrir, MSc Kabid BSTK


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

18 Ir. Tonno Supranoto,SH,CES Asdep Urusan Perumahan, Pertanahan dan Air


bersih Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat

19 Drs. Ida Rusdiawan,MA Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

20 Marlina,SH Kasubag TU Deputi I


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

145
PENYELENGGARAAN

21 Hery Sukoco, S.Sos Kasubag TU Menteri


Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat

22 Slamet Gurindo,S.Sos Kasubid Formal Sistem Jaminan Sosial

23 Sachran Saputra, SE Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

24 Drs. Asmar Hadi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

25 Andi Bashar Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

26 Dedy M Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

27 Dedy Huda Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat

28 DR. Atifah Thaha, Msc Sekretariat Wakil Presiden

29 Rima Eryani Sekretariat Kabinet RI

30 Nanik S Ditjen Otda Depdagri

31 Drs. Suad Husnan, MBA, Phd Deputi Kementerian BUMN

31 M. Kristandi Kementerian BUMN

32 Sri Mulyanto Kementerian BUMN

33 Drs.Faebudodo HIA, DI, M.Si Departemen Dalam Negeri

34 Nanie S Departemen Dalam Negeri

35 Rajimin Departemen Dalam Negeri

146
PENYELENGGARAAN

36 Sigit Sandiowo Departemen Luar Negeri

37 Prio Iswanto Departemen Luar Negeri

38 Ibnu Said Departemen Luar Negeri

39 Dr. Achmad Syafei, MPH Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan

40 Dr. Sri Hastuti Soeparmanto, Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat


MPH Dep Kes

41 Dr. Suparmanto Direktur Jenderal Bina Pelayanan Masyarakat


Dep Kes

42 Dr. Muharso,MPH Kepala Badan PPSDM Departemen Kesehatan

43 Dr. Triono Sundono Kepala Badan Litbang Departemen Kesehatan

44 Ir. Alwi A, MPH Departemen Kesehatan

45 Dirk Johannes Abraham M. Departemen Kesehatan

46 Dr Widiyarti Departemen Kesehatan

47 Ir.Tianggur Sinaga, M.Sc. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

48 Etik Sugiyanti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

49 Nunik Medyawati Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

50 Lisning Sri Hastuti,SH Departemen Sosial

51 Laksamana Muda. Ir. Departemen Pertahanan


Darmawan

52 Prof. Dr. Mardiasmo,MBA Departemen Keuangan

53 Oka Mahendra, SH Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Dep.


Hukum Dan HAM

147
PENYELENGGARAAN

54 Qomaruddin, SH Departemen Hukum Dan HAM

55 Drs. Lala Sudarmadi Sekretaris Utama BKKBN

56 Setia Edi BKKBN

57 Dasep Budi Abadi BKKBN

B. PEMERINTAH DAERAH

1 T.Husin Banta DPRD NAD

2 Daniwar Djalil SETDA Sumbar

3 Dr. Rosilina Saidin DINKES Sumbar

4 Dr. H. Ekmal Rusdy DINKES Riau

5 Dr. H. Rasyidi Rauf, M.Kes DINKES Bengkulu

6 Heri Susanto DPRD Bengkulu

7 Abdul Sthlobur SETDA Sumatera Selatan

8 Ibnu Hajar DPRD Sumatera Selatan

9 Dra. Yasmidar Muatima, Ms DINKES Jambi

10 Muhaimi M Amin SETDA Bangka Belitung

11 Dr. Relliyani DINKES Lampung

12 Ir.H.A.Hilman Nitiamidjaja,MM SETDA Banten

13 Djadja DINKES Banten

14 H.A. Sadeli Karim DPRD Banten

148
PENYELENGGARAAN

15 Dra.Hj. Rohana DINKES DKI Jakarta

16 Joice Hutagalung DINKES DKI Jakarta

17 Hj. Jeji DINKES Jawa Barat

18 Drg. Murni M.Kes DINKES Jawa Barat

19 Sukatinah DINKES DI Yogyakarta

20 Dr. Nonis. B DINKES DI Yogyakarta

21 Basuki AR DPRD DI Yogyakarta

22 Ateng. Ch.N.SH SETDA Jawa Tengah

23 AR Gaffon DINKES Jawa Tengah

24 Thomsons DPRD Jawa Tengah

25 Ali Saroni SETDA Jawa Timur

26 A. Mudjub Ifan DINKES Jawa Timur

27 Saleh Mukandar DPRD Jawa Timur

28 A.A.Gede Alit SETDA Bali

29 Pande Sriyomi DINKES Bali

30 Lalu Djunaidi SETDA NTB

31 Dr. Baiq Magdalena DINKES NTB

32 H. Abdul Hayyi Nu'man DPRD NTB

33 Hamdi. SB.SM,M.Kes DINKES Kalimantan Barat

149
PENYELENGGARAAN

34 Anwar S.pd. DPRD Kalimantan Barat

35 Dayang DINKES Kalimantan Timur

36 Daniwan Djalil SETDA Kalimantan Timur

37 Yurnanto SETDA Kalimantan Timur

38 Achmad Rudiansyah DINKES Kalimantan Selatan

39 Martinus Teuns DPRD Kalimantan Selatan

40 T.E Wagie SETDA Sulawesi Utara

41 H.Arif Sandagang SETDA Sulawesi Tengah

42 H. Syamsuridjal Djalanggo DPRD Sulawesi Tengah

43 Tajjudin DINKES Sulawesi Selatan

44 Jalaludin Rakiman DPRD Sulawesi Selatan

45 Djaliman Mady SETDA Sulawesi Tenggara

46 Dr. Izat M DINKES Sulawesi Tenggara

47 Hj. Masyhura DPRD Sulawesi Tenggara

48 Jasin Usman Dilo DPRD Gorontalo

49 Ir. Arnolis Laipenny DPRD Maluku

50 Dr. Tigors.MK DINKES Papua

C. BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

1 Basani Situmorang,SH PT. Jamsostek

150
PENYELENGGARAAN

2 Robby ARS PT. Jamsostek

3 Banjar Aseli Ds PT. Jamsostek

4 Budhi Pranowo PT. Jamsostek

5 Hilda PT. Jamsostek

6 Diana PT. Jamsostek

7 A. Muhtarom PT Taspen

8 Ach Sutanto PT Taspen

9 MGS. Aritonang PT Askes

10 Sri Endang Tidarwati PT Askes

11 Tabrie PT Asabri

D. SERIKAT PEKERJA

1 Drs. Ridwan Mondarfa SPSI

2 Syukur Sarto SPSI

E. LEMBAGA INTERNASIONAL

1 DR. W. M. Manicki GTZ-Social Health Insurance

2 Dr. Asih Eka Putri GTZ-Social Health Insurance

3 Christina Schmalhofer GTZ-Regional Economic Development

4 Guritno GTZ-Good Local Governance

5 Charles Poluan GTZ-Good Local Governance

6 Dr. Stephanus Indradjaya WHO

151
PENYELENGGARAAN

F. AHLI SJSN

1 Dr. Soelastomo, MPH Ahli SJSN

2 Prof. Dr. Hasbullah Thabrani Ahli SJSN

3 Dr. Widiastuti Wibisono Ahli SJSN

4 Drg. Moeryono Aladin,MM Ahli SJSN

5 DR. Bambang Purwoko Ahli SJSN

6 Timoer Sutanto Ahli SJSN

7 T. Arsen Rickson,SH Ahli SJSN

152
LAMPIRAN 2

NASKAH LENGKAP

Departemen Hukum dan Hak Asasi


Manusia

Departemen Dalam Negeri

Dr. Sulastomo, MPH

153
NASKAH LENGKAP

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004


Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi

Oleh A.A. Oka Mahendra, SH – Direktur Jenderal Peraturan


Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang


Mahkamah Konstitusi memberi wewenang kepada Mahkamah Konstitusi
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara
lain untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945.

Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat diajukan upaya


hukum apapun karena bersifat final.

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar tersebut


mencakup pengujian materiil atau materi muatannya dan pengujian formal atau
berkenaan dengan prosedur pembentukannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi, menurut pasal 47 Undang-Undang Nomor


24 Tahun 2004 memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum. Pengucapan putusan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum merupakan perwujudan dari prinsip keterbukaan lembaga
yudikatif dalam mentransformasikan norma yang abstrak dari faktor-faktor
pembentukan hukum ke dalam kenyataan konkrit mengenai suatu Undang-
Undang yang dimohon untuk diuji.

Pada tanggal 31 Agustus 2005 Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno


terbuka untuk umum telah mengucapkan putusan terhadap perkara nomor

154
NASKAH LENGKAP

007/PUU-III/2005 yaitu perkara pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun


2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional – khususnya Pasal 5 ayat (1), ayat
(3) dan ayat (4) serta pasal 52 – terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945. Amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut selengkapnya sebagai
berikut:

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; menyatakan Pasal 5


ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4456) bertentangan dengan UUD Negara RI 1945;

Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4456) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;

Menolak permohonan Pemohon selebihnya;

Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana


mestinya;”

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan menurut


Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, wajib dimuat dalam
jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan.

PERTIMBANGAN HUKUM

Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan


Pemohon untuk sebagian diuraikan secara panjang lebar dalam pertimbangan
hukum putusan dimaksud.

155
NASKAH LENGKAP

Intinya sebagai berikut:

Permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (3) dikabulkan dengan


pertimbangan hukum bahwa apabila keberadaan Pasal 5 ayat (3) tersebut
dipertahankan akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum, karena
materinya sudah tertampung dalam Pasal 52. Mengenai Pasal 5 ayat (2)
walaupun tidak dimohonkan dalam petitum namun ayat ini merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan
juga akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum sebagaimana Pasal
5 ayat (3). Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
sangat berpeluang menimbulkan multi interpretasi, karena terdapat rumusan yang
saling bertentangan dengan ayat lain yang bermuara pada ketidakpastian hukum,
karena itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945.

Permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (4) dikabulkan dengan


pertimbangan hukum bahwa Pasal 5 ayat (4) menutup peluang bagi Pemerintah
Daerah untuk membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan
sosial tingkat daerah dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional.

Pada bagian lain pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi


berpendapat bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial
nasional sebagai bagian dari fungsi pelayanan sosial negara bukan saja menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah. Karena itu Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak boleh
menutup peluang Pemerintah Daerah untuk ikut juga mengembangkan sistem
jaminan sosial sebagai sub sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan
kewenangan yang diturunkan dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) Undang-

156
NASKAH LENGKAP

Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Pembentukan badan penyelenggara


jaminan sosial tingakat daerah dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan
memenuhi ketentuan sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

DITOLAK SEBAGIAN

Ditolaknya permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (1) oleh


Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa Pasal 5 ayat
(1) cukup memenuhi kebutuhan pembentukan badan penyelenggara jaminan
sosial nasional di tingkat pusat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar. Kemudian ditolaknya permohonan pengujian terhadap Pasal 52
didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa Pasal 52 tersebut justru dibutuhkan
untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian
hukum (rechtszekerheid), karena belum adanya badan penyelenggara jaminan
sosial yang memenuhi persyaratan, agar Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
dapat dilaksanakan.

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara nomor 007/PUU-III/2005


yaitu perkara pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 terhadap
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah mempunyai kekuatan hukum
tetap sejak diucapkannya putusan tersebut dalam sidang pleno terbuka untuk
umum tanggal 31 Agustus 2005. Dengan demikian Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sejak tanggal 31 Agustus 2005.

PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP


PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

157
NASKAH LENGKAP

Apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempengaruhi


pelaksanaan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional?

Secara umum dapat dikemukakan bahwa pengaruh putusan Mahkamah


Konstitusi aquo terhadap pelaksanaan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional tidak signifikan. Sebab Mahkamah Konstitusi sendiri dalam
pertimbangan hukumnya halaman 263 antara lain berpendapat sebagai berikut:
“Sepanjang menyangkut Sistem Jaminan Sosial yang dipilih Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yakni sistem yang dipilih itu mencakup
seluruh rakyat dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Lebih lanjut
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa oleh karena itu “sistem jaminan sosial
yang dipilih, telah memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, maka berarti Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dengan sendirinya juga merupakan penegasan kewajiban Negara atas
jaminan sosial sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana dimaksud
Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang
mewajibkan Negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
menjamin pemenuhannya (to fulfil).”

EKSISTENSI 4 PERSERO

Masalah yang lebih bersifat mikro pasca putusan Mahkamah Konstitusi


yang menyatakan Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ialah
apakah Persero JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI dan ASKES dapat

158
NASKAH LENGKAP

melaksanakan aktivitasnya memberikan pelayanan sosial pada bidang masing-


masing? Jawabanya sudah pasti! Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial Nasioal ke empat Persero tersebut tetap berlaku sepanjang
belum disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Dalam pertimbangan hukum
putusan Mahkamah Konstitusi a quo halaman 268 antara lain dikemukakan
bahwa: “Seandainya pembentuk Undang-Undang bermaksud menyatakan bahwa
selama belum terbentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) badan-badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas
diberi hak untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, maka hal
itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan Peralihan pada Pasal 52 Undang-
Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Namun demikian perlu diperhatikan ketentuan ayat (2) Pasal tersebut yang
menentukan bahwa semua ketentuan yang mengatur mengenai badan
penyelenggara jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang
diundangkan. Artinya penyesuaian ketentuan yang mengatur keempat Persero
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang harus sudah selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 19
Oktober 2009. Lebih cepat tentu lebih baik, demi kepastian hukum. Untuk itu
dari sekarang perlu diambil langkah-langkah sistematis, terarah dan terpadu untuk
menyusun Undang-Undang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jika terlambat boleh jadi keempat Persero yang
telah lama melayani publik akan kehilangan dasar hukum eksistensinya.

Selain itu peraturan pelaksanaan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial


Nasional juga perlu segera dibuat agar Undang-Undang tersebut berlaku efektif.

159
NASKAH LENGKAP

BADAN PENYELENGGARA TINGKAT DAERAH

Mengenai pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat


daerah pasca putusan Mahkamah Konstitusi dapat saja dibentuk dengan peraturan
daerah, tetapi harus tetap dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional yang
diselenggarakan berdasarkan asas, tujuan dan prinsip sebagaimana diatur dalam
Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Norma, standar dan prosedur pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial
tingkat daerah yang mengacu kepada sistem jaminan sosial nasional perlu
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman
oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan Daerah. Selain itu juga untuk
menjamin kepastian hukum dan standar pelayanan yang menjamin bahwa jaminan
sosial yang diberikan tersebut cukup memenuhi standar kebutuhan hidup yang
layak antara daerah yang satu dengan yang lain, seperti dikemukakan dalam
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi halaman 266.

Program Sistem Jaminan Sosial Nasional yang pada dasarnya merupakan


program Negara dengan tujuan memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, harus dilaksanakan pasca putusan
Mahkamah Konstitusi. Sebab melalui program tersebut setiap penduduk
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-
hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena
menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia
lanjut atau pensiun. Masih panjang jalan yang harus ditempuh untuk
mengembangkan program Sistem Jaminan Sosial Nasional yang lebih
menjangkau masyarakat luas dan mampu memberikan perlindungan yang adil dan

160
NASKAH LENGKAP

memadai kepada peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak
peserta.

Jakarta, Maret 2006

Direktur Jenderal
Peraturan Perundang-Undangan

ttd
A.A. Oka Mahendra, SH

161
NASKAH LENGKAP

DEPARTEMEN DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA

MAKALAH

DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH

“PERAN PEMERINTAH DAERAH


DALAM PENGEMBANGAN SISTEM JAMINAN SOSIAL
SESUAI KORIDOR UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”

Jakarta, 15 Maret 2006

Yth. Bapak Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

Sdr. Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan


Sdr. Sekretaris Jenderal Departemen Sosial
Sdr. Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Sdr. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen
Hukum dan HAM
Sdr. Para Pejabat Eselon I dan II di Lingkungan Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Sdr. Para Sekretaris Daerah Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi
seluruh Indonesia
Sdr. Ketua Komisi E (Bidang Kesra) DPRD Provinsi seluruh Indonesia
Para peserta dan hadirin yang kami hormati

162
NASKAH LENGKAP

Mengawali ceramah ini perkenankan saya mengajak saudara-saudara


untuk sejenak bersyukur ke-Hadirat Allah SWT, karena atas Rahmat-Nya kita
dapat berkumpul bersama-sama di tempat ini pada acara Rapat Kerja Nasional
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang menurut hemat saya, forum
pertemuan ini sangat strategis dan urgen sebagai wahana dalam kerangka
koordinasi, sinkronisasi dan keterpaduan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bidang Jaminan Sosial serta peningkatan kerjasama antar Pemerintah
Daerah.

Saya berterima kasih kepada panitia yang mengundang kami untuk


menyampaikan makalah pada Rapat Kerja Nasional Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan selanjutnya pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan makalah
dengan topik “PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENGEMBANGAN SISTEM JAMINAN SOSIAL SESUAI KORIDOR
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH.”

I. Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah:

1. Konsepsi penyelenggaraan Otonomi Daerah secara prinsip menganut dua


nilai dasar yaitu nilai kesatuan dan nilai otonomi. Hal ini sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara Indonesia adalah
“Eenheidstaat”, sehingga di dalam lingkungannya tidak dimungkin adanya
daerah yang juga bersifat “Staat”. Ini berarti bahwa besar dan luas daerah
otonom serta hubungan kekuasaan antara Pemerintah dan Daerah dibatasi.
Dalam konteks itu penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat

163
NASKAH LENGKAP

dengan pola pembagian kekuasaan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,


karena di dalam penyelenggaraan desentralisasi tersebut , selalu terdapat dua
elemen penting yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan
kewenangan secara hukum dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan Pemerintahan.

2. Daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia mempunyai ciri-ciri:


a. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan sebagaimana layaknya pada
Negara Federal.
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan urusan
pemerintahan.
c. Penyerahan urusan pemerintahan terkait erat dengan tujuan Negara, yaitu
antara lain menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Berbicara mengenai Otonomi Daerah tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
desentralisasi yang memayunginya. Pada dasarnya ada dua tujuan utama yang
ingin dicapai dari penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi
dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memosisikan Pemda
sebagai instrumen pendidik politik di tingkat lokal yang secara agregat akan
menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat
terwujudnya masyarakat madani atau civil society. Tujuan kesejahteraan
mengisyaratkan Pemda untuk menyediakan pelayanan publik untuk
masyarakat lokal secara efektif, efisien dan ekonomis.
4. Pemeritahan Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Yang dimaksud dengan asas
otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan
pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh

164
NASKAH LENGKAP

pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan Provinsi kepada
Kabupaten/Kota dan Desa serta penugasan Kabupaten/Kota kepada Desa.

II. Pembagian Urusan Pemerintahan:

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,


Bab III (pasal 10 hingga 18) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan bahwa
istilah kata kewenangan yang dahulu dipakai dalam UU Nomor 22 Tahun 1999
sekarang digunakan kata urusan. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk
menyesuaikan dan konsisten dengan UUD 1945, bukan untuk melakukan
resentralisasi.

Pengaturan tentang pembagian urusan Pemerintahan dilakukan dengan


ketentuan sebagai berikut:

1. Urusan Pemerintahan dipilah menjadi 2 bagian yaitu urusan pemerintahan


yang bersifat absolut meliputi: Politik Luar Negeri, Pertahanan
Keamanan, Moneter Dan Fiskal Nasional, Yustisi dan Agama
(menjadi urusan Pemerintah sepenuhnya) dan kedua urusan pemerintahan
yang dapat didistribusikan kepada daerah (concurrent function) yang
dikelola secara bersama-sama sesuai dengan tingkatan dan susunan
Pemerintahan. terdiri dari 30 urusan Pemerintahan yakni:
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Pekerjaan Umum
4. Perumahan
5. Penataan Ruang
6. Perencanaan Pembangunan

165
NASKAH LENGKAP

7. Perhubungan
8. Lingkungan hidup
9. Pertanahan
10. Kependudukan dan Catatan Sipil
11. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
12. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
13. Sosial
14. Tenaga Kerja dan Transmigrasi
15. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
16. Penanaman Modal
17. Kebudayaan dan Pariwisata
18. Pemuda dan Olah Raga
19. Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
20. Pemerintahan Umum dan Kepegawaian
21. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
22. Statistik
23. Arsip
24. Komunikasi dan Informatika
25. Pertanian
26. Kehutanan
27. Energi dan Sumber Daya Mineral
28. Kelautan dan Perikanan
29. Perdagangan
30. Perindustrian.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah,
Pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan

166
NASKAH LENGKAP

dan dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur


selaku wakil Pemerintah atau menugaskan sebagian urusan kepada
Pemerintah Daerah dan atau Pemerintah Desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
2. Pembagian urusan pemerintahan menggunakan kriteria: eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi dengan memerhatikan keserasian hubungan antar
tingkat pemerintahan.

Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan


pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang
ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan Kabupaten/Kota, apabila regional menjadi kewenangan Provinsi,
dan apabila Nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan


pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang
menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih
langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.
Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan
tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi adalah apabila suatu urusan dalam penanganannya


dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh suatu
strata pemerintahan tertentu, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat
untuk menangani urusan pemerintahan dimaksud dibandingkan dengan strata
pemerintahan lainnya. Dayaguna dan hasilguna dapat diukur dari proses yang

167
NASKAH LENGKAP

lebih cepat, tepat, murah, hasil dan manfaat lebih besar dan luas serta
memiliki resiko minimal.

Kriteria ini digunakan dalam rangka untuk mewujudkan proporsionalitas


dalam pembagian urusan pemerintahan.

3. Urusan pemerintahan yang diserahkan meliputi urusan wajib dan urusan


pilihan. Urusan wajib terkait dengan pelayanan dasar dan urusan pilihan
terkait dengan upaya penciptaan daya saing daerah dalam menangani sektor
unggulan sesuai dengan potensi, karakteristik, kekhasan dari masing-masing
daerah dalam upaya peningkatan perekonomian daerah. Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi tersebut di atas
terdiri dari:
a. Urusan wajib adalah urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, berkaitan
dengan pelayanan dasar meliputi: Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan
Hidup, Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan,
Perumahan, Pemuda Dan Olah Raga, Penanaman Modal, Koperasi dan
UKM, Kependudukan dan Catatan Sipil, Tenaga Kerja, Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera, Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Pertanahan,
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri, Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa, Sosial, Kebudayaan, Statistik dan Arsip.
b. Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

168
NASKAH LENGKAP

Urusan pilihan ini meliputi Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, Energi


dan Sumberdaya Mineral, Pariwisata, Industri, Perdagangan dan
Transmigrasi.
4. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan oleh pemerintahan
daerah berdasarkan dengan standar pelayanan minimal.
5. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan maka harus terdapat
hubungan antara tingkatan pemerintahan dan susunan pemerintahan yang
meliputi: hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan dalam
pelayanan umum, serta hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.
6. Khusus daerah-daerah yang wilayahnya berbatasan dengan laut maka kepada
daerah diberikan kewenangan pengelolaan dalam batas dan jenis tertentu.
7. Bagian urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh masing-masing tingkatan
pemerintahan berdasarkan 3 kriteria tersebut di atas (eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi) antara lain:
a. Pusat : berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev,
supervisi, fasilitasi, pengawasan dan urusan-urusan pemerintahan dengan
eksternalitas nasional.
b. Provinsi : berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kabupaten/Kota).
c. Kabupaten/Kota : berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kabupaten/Kota).
Demikian gambaran pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,
Propinsi dan Kabupaten/Kota.

169
NASKAH LENGKAP

III. Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial:

Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan


Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan khususnya urusan Pemerintahan Bidang
Kesehatan, Sosial dan Tenaga Kerja antara lain:

1. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan


Pelaksanaan Jaminan Sosial pada urusan Pemerintahan bidang kesehatan
antara lain:
Pusat : Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional
Provinsi : a. Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan
pemeliharaan kesehatan nasional
b. Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan skala
provinsi
Kabupaten/Kota: a. Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan
nasional;
b. Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai
kondisi local (Kabupaten/Kota)
2. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Sosial
a. Pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial pada urusan Pemerintahan
bidang Sosial antara lain:
Pusat : Pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial meliputi
uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri dan
penganggulangan masalah sosial yang berskala
nasional.

170
NASKAH LENGKAP

Provinsi : Pelaksanaan Program/kegiatan bidang sosial skala


Provinsi
Kabupaten/Kota : Pelaksanaan Program/kegiatan bidang sosial skala
Kabupaten/Kota.
b. Selanjutnya terkait dengan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan
mental, dan lanjut usia tidak potensial, terlantar, masyarakat rentan dan tidak
mampu, meliputi:
Pusat : a. penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial
b. pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi
masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional
Propinsi : pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi
masyarakat rentan dan tidak mampu di lingkup propinsi
Kabupaten/Kota : pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi
masyarakat rentan dan tidak mampu di lingkup
kabupaten/kota.
3. Pembagian Urusan Bidang Tenaga Kerja
Pembinaan hubungan industri dan jaminan sosial bagi tenaga kerja pada
bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi, khususnya Sub Bidang Tenaga Kerja
antara lain:
Pusat : Pengkoordinasian pembinaan penyelenggaraan jaminan
sosial, fasilitasi, dan kesejahteraan tenaga kerja skala
nasional
Propinsi : Pengkoordinasian pembinaan kepesertaan jaminan sosial
tenaga kerja skala provinsi
Kabupaten/kota: Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala
kabupaten/kota.

171
NASKAH LENGKAP

IV. Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sistem


Jaminan Sosial:

A. Pengelolaan Sistem Jaminan Sosial Sesuai Koridor UU Nomor 32 Tahun


2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam pengelolaan Sistem Jaminan
Sosial oleh Daerah antara lain:
1. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah
menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah. Yang dimaksud urusan pemerintah dalam
ayat ini adalah urusan pemerintahan yang mutlak menjadi kewenangannya
dan urusan bidang lainnya yaitu bagian-bagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya Pemerintah.
2. Pasal 10 ayat (2) dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan;
3. Pasal 11 ayat (1) penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi dalam
kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memerhatikan
keserasian hubungan antara susunan Pemerintahan. Ayat (2) bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota atau antar Pemerintah Daerah yang saling terkait,
tergantung dan sinergis sebagai satu sistem Pemerintahan. Sedang pada
ayat (3) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah

172
NASKAH LENGKAP

daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas,


akuntabilitas dan efisiensi terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Dan pada ayat (4) penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat
wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah.
4. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah disertai dengan sumber-sumber pendanaan,
pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan
yang didesentralisasikan.
5. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa urusan wajib yang
menjadi kewenangan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
provinsi yang meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan
f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia
potensial
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota
j. Pengendalian lingkungan hidup
k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l. Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil

173
NASKAH LENGKAP

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan


n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota
0. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.

6. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah


kabupaten/kota mengacu pada pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004
meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan
f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota
j. Pengendalian lingkungan hidup
k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l. Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan

174
NASKAH LENGKAP

n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas


kabupaten/kota
0. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
7. Sesuai dengan Pasal 22 yang menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan
otonomi, daerah mempunyai kewajiban, huruf (h) mengembangkan sistem
jaminan sosial.

B. Permasalahan dalam pengembangan Sistem Jaminan Sosial


Permasalahan dalam penerapan pengelolaan Sistem Jaminan Sosial terkait
dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
1. Dengan ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Agustus
2005 perihal Judicial Review UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) sebagai memerlukan penyesuaian dan
penyempurnaan peraturan perundangan yang terkait dengan jaminan sosial.
2. Berkembang pemikiran bahwa UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pada Pasal 22 huruf (h) diberik kesempatan untuk mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial. Termuat dari beberapa daerah di antaranya Provinsi Jawa
Timur.
3. Isu UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN seolah-olah sangat bernuansa
sentralistik sedangkan pada Pasal 13 dan 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa
mengenai urusan pemerintahan bidang kesehatan, sosial dan ketenagakerjaan

175
NASKAH LENGKAP

merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah provinsi dan


kabupaten/kota. Selanjutnya dipertegas pada Pasal 22 bahwa dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban, huruf (h),
mengembangkan sistem jaminan sosial. .

V. Impelementasi Dan Strategi Kebijakan Pengembangan


Sistem Jaminan Sosial

Dalam kerangka implementasi dan strategi pengembangan jaminan sosial perlu


memperhatikan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan pasal 237 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan
menyesuaikan pengaturannya pada UU Nomor 32 Tahun 2004.
2. Sesuai pasal 13 dan 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, bahwa urusan Pemerintahan yang terkait dengan jaminan sosial
(kesehatan, sosial dan ketenagakerjaan) adalah yang didesentralisasikan
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota.
3. Sesuai pasal 22 huruf (h) UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam
menyelenggarakan otonomi, Daerah mempunyai kewajiban mengembangkan
sistem jaminan sosial.
4. Sesuai dengan konsep bahwa tujuan otonomi adalah untuk demokrasi dan
kesejahteraan. Untuk itu diberikan kreatifitas dan inovasi kebijakan kepada
Daerah untuk mewujudkan sistem jaminan sosial sebagaimana ketentuan pasal
22 huruf (h).

176
NASKAH LENGKAP

5. Regulasi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN serta UU Nomor 1 Tahun


1995 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
6. Kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial daerah dapat berupa Badan
Layanan Umum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005
tentang Badan Layanan Umum.
7. Sumber dana pengelolaan jaminan sosial mengacu pada:
a. Pasal 155 ayat (1) bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah didanai dari dana atas beban anggaran dan
pendapatan dan belanja daerah,
b. Pasal 155 ayat (2) penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah di daerah didanai dari dana atas beban anggaran
dan pendapatan dan belanja daerah,
c. Penjelasan pasal 156 ayat (1) Keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu
berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
d. Pasal 167 ayat (1) belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi
kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Keuangan Daerah;
f. Perlu disosialisasikan ke Daerah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
khususnya Pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) serta Pasal 52.
g. Perlu disosialisasikan ke Daerah UU Nomor 40 Tahun 2004 pasca
Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Agustus 2005, menilai bahwa
sebagian materi UU saling bertentangan.

177
NASKAH LENGKAP

Suksesnya pengembangan sistem jaminan sosial nasional, mensyaratkan


strategi yang tepat dengan cara memberdayakan seluruh instansi Pemerintah di
Pusat dan Daerah serta mitra kerja PT JAMSOSTEK, PT ASKES, PT TASPEN
dan PT ASABRI. Kebijakan dan strategi penataan lanjut pengembangan SJSN
perlu melibatkan seluruh elemen Pemerintahan, Swasta dan Masyarakat. Untuk
itu sukses tidaknya pengembangan jaminan sosial sepenuhnya tergantung dari
berbagai pihak baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, Swasta dan
Masyarakat serta seluruh Stakeholder yang terkait.

Kebijakan dan strategi penataan lanjut pengembangan jaminan sosial


menjadi opsi yang sangat strategis dan komprehensif sebagai upaya
menyinergikan serta meningkatkan koordinasi antar Departemen dan Lembaga
Pemerintah Non Departemen serta meningkatkan keterpaduan program antar
instansi Pusat dan Pemerintah Daerah.

Demikianlah beberapa hal yang perlu saya sampaikan kiranya pemikiran


awal ini dapat dielaborasi dalam pertemuan Nasional ini. Akhirnya kepada
peserta Rakernas Sistem Jaminan Sosial Nasional, saya ucapkan selamat
mengikuti Rakernas, semoga ada formulasi kebijakan yang komprehensif dan
tindak lanjut program yang riil dan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif
oleh semua instansi terkait.

DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH


ttd

KAUSAR AS

178
NASKAH LENGKAP

SUBSTANSI DAN FILOSOFI UU No 40/2004

tentang

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL


Oleh : Sulastomo

Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Sistem Jaminan Sosial Nasional;


dan program Jaminan Kesehatan Sosial dalam rangka untuk mewujudkan
kesejahteraan Rakyat, Jakarta , 15 – 16 Maret , 2006 )

Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial ( Social Security ), sebagaimana


pertama kali dirintis oleh Otto von Bismarck ( 1883 ), sebagai upaya
mewujudkan kesejahteraan rakyat, dewasa ini telah berkembang diseluruh dunia.
Sudah tentu, dengan berbagai modifikasi, sesuai dengan keadaan , kebutuhan dan
bahkan sistem politik dan ekonomi di setiap Negara.

Ada prinsip – prinsip yang menjadi ciri setiap program jaminan sosial.
Pertama, bahwa program jaminan sosial itu tumbuh dan berkembang sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi sebuah Negara. Kedua, ada peran peserta untuk
ikut membiayai program jaminan sosial, melalui mekanisme asuransi , baik sosial
/ komersial atau tabungan ketiga, dimulai dari kelompok formal, non – formal
dan baru kelompok masyarakat mandiri keempat, kepesertaan yang bersifat
wajib, sehingga hukum “ the law of large numbers cepat terpenuhi, kelima, peran
Negara yang besar dan keenam bersifat “ not for profit” dan ketujuh , ternyata
merupakan instrumen mobilisasi dana masyarakat yang besar, sehingga mampu

179
NASKAH LENGKAP

membentuk tabungan nasional yang juga besar, sehingga memberi dampak


ekonomi/ pembangunan pada umumnya. . Sistem Jaminan Sosial Sosial
merupakan “ engine of development”., mesinnya pembangunan sebuah bangsa.

Peran Negara, tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga sebagai
penyelenggara, pemberi kerja yang harus ikut membayar iuran, dan bahkan juga
sebagai penanggung – jawab kelangsungan hidup program jaminan sosial,
termasuk memberi subsidi, apabila diperlukan. Bagi masyarakat yang tidak
mampu membayar iuran program jaminan sosial, negara dapat
menyelenggarakan program bantuan sosial ( social assistance ) atau pelayanan
sosial ( social services ), yang penyelengaraannya dapat “ dititipkan” pada
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

Program Jaminan Sosial, sebenarnya juga sudah dikenal di Indonesia,


sebagaimana telah diselenggarakan oleh PT Askes Indonesia, PT Taspen, PT
Jamsostek dan PT Asabri. Namun, baik dilihat dari jumlah kepesertaan, jenis
program maupun kualitas manfaat, serta prinsip – prinsip penyelenggaraan dan
regulasi ternyata memerlukan penyempurnaan. Peserta program jaminan sosial
di Indonesia, dibanding dengan Negara lainnya, masih terlalu sedikit ( sekitar
20% ). Manfaat yang diperoleh peserta juga masih sangat terbatas. Prinsip /
Sistem penyelenggaraan juga bervariasi, sehingga menimbulkan ketidak adilan
sosial. Karena itu diperlukan UU baru yang diharapkan dapat memayungi
segenap penyelenggaraan program jaminan sosial, meningkatkan jumlah peserta,
meningkatkan manfaat serta lebih berkeadilaan. yang kemudian dikenal sebagai
UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. UU No 40/2004.

Secara garis besar, UU No 40/2004, dirancang untuk:

180
NASKAH LENGKAP

1. Memenuhi amanat UUD 1945, khususnya pasal 34 ayat 2 “ Negara


mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”
2. Meningkatkan jumlah peserta program jaminan sosial di Indonesia. Hal ini
disebabkan, oleh karena sejauh ini, peserta program jaminan sosial di
Indonesia masih sangat rendah.
3. Meningkatkan cakupan manfaat / benefit yang dapat dinikmati oleh peserta
program jaminan sosial. Hal ini disebabkan, oleh karena manfaat program
jaminan sosial belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar rakyat
Indonesia. Bagi Pegawai Negeri Sipil belum meliputi program Jaminan
Kecelakaan Kerja, sementara bagi kelompok pekerja formal swasta, belum
memiliki program jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
4. Meningkatkan kualitas manfaat yang dapat dinikmati oleh peserta program
jaminan sosial, agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
5. Terselenggaranya keadilan sosial dalam penyelenggaraan program jaminan
sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pengembangan SJSN,
diharapkan terselenggara penyelenggaraan program jaminan sosial secara
terpadu, sinchron, melalui pendekatan sistem yang berlaku bagi semua
penduduk Indonesia.
6. Terselenggaranya prinsip – prinsip penyelenggaraan program jaminan sosial
sesuai dengan prinsip – prinsip universal yang dikenal, misalnya prinsip
kegotong – royongan, kepesertaan bersifat wajib, nirlaba , transparan, pruden
dan akuntabel
7. Dilaksanakan secara bertahap, baik dari aspek jenis program maupun
kepesertaan dengan memperhatikan kelayakan program. Dengan

181
NASKAH LENGKAP

mengantisipasi implementasi SJSN sesuai dengan UU N0 40/2004, sedikitnya


diperlukan waktu 20 sampai 25 tahun untuk dapat mencakup seluruh rakyat
Indonesia. Hal ini, antara lain disebabkan oleh karena diperlukan tenggang
waktu 15 tahun untuk menjamin terselenggaranya program jaminan pensiun
bagi pekerja formal.
Adapun badan penyelenggara program jaminan sosial dalam UU no
40/2005 adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sudah ada ( PT
Jamsostek, PT Askes, PT Taspen dan PT Asabri ) dengan tidak menutup
kemungkinan pembentukan Badan Penyelenggara lain, yang dibentuk dengan
UU. Hal ini diperlukan untuk dapat menjamin kelangsungan hidup program .
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sudah ada, diwajibkan menyesuaikan
diri dengan UU No 40/2004 dalam waktu 5 ( lima ) tahun setelah diberlakukannya
UU ini . Antara lain, menjadi lembaga yang “ not for profit”, secara bertahap
penyelengaraannya menyesuaikan diri sesuai dengan ketentuan dalam UU No
40/2004, khususnya yang terkait dengan besaran iuran dan manfaat, sistem
pendanaan, dan mekanisme pemberian pelayananan / manfaat, khususnya dalam
penyelenggaraan program jaminan kesehatan.

Selanjutnya dikatakan, bahwa Presiden menetapkan kebijakan umum dan


sinchronisasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Untuk itu, Presiden
dibantu oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Persiden.

Tugas Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah melakukan kajian,


penelitian , mengusulkan kebijakan investasi, mengusulkan anggaran bagi peserta
“penerima bantuan iuran” serta melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
program jaminan sosial.

182
NASKAH LENGKAP

Dalam UU no 40/2004, jenis program jaminan sosial yang hendak


diselenggarakan meliputi :

1. Jaminan Kesehatan.
2. Jaminan Kecelakaan Kerja.
3. Jaminan Hari Tua.
4. Jaminan Pensiun
5. Jaminan Kematian.
Semula, juga dirancang Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja. Namun,
karena kita baru menerbitkan UU no 13/2003, dimana masalah pesangon berhenti
beekrja tertampung, maka rancangan itu dibatalkan.

Selain itu, dalam UU no 40 / 2004, dalam rangka memenuhi ketentuan


UUD 1945 pasalah 34 ayat 1, terbuka kepesertaan program jaminan sosial dari
masyarakat “penerima bantuan iuran”, yaitu peserta dari kalangan masyarakat
miskin dan tidak mampu, yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Program ini,
pada dasarnya adalah program bantuan sosial, yang “ dititipkan “
penyelenggaraannya pada penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Selain itu, untuk menjamin kelangsungan program jaminan sosial,


Pemerintah dapat melakukan tindakan – tindakan khusus guna menjamin
terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Hal ini, antara lain dapat dilakukan dengan melalui penggalian sumber – sumber
dana yang lain, ketetntuan mengenai iuran dan manfaat, termasuk memberikan
subsidi, apabila diperlukan.

183
NASKAH LENGKAP

Jaminan Kesehatan ( JK ).

Program Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional, berdasar


prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Prinsip asuransi sosial meliputi kepesertaan
yang bersifat wajib dan non – diskriminatif, iuran berdasar prosentase pendapatan
menjadi beban bersama antara pemberi dan penerima kerja, sehingga ada
kegotong – royongan antara yang kaya – miskin, resiko sakit tinggi – rendah, tua
– muda dengan manfaat pelayanan medik yang sama (prinsip ekuitas), bersifat “
komphrehensif”. Adapun untuk pelayanan non – medik, disesuaikan dengan
besaran iuran yang diberikan.

Bagi kelompok “ non – formal” dan “penerima bantuan iuran” iuran


ditetapkan berdasar nilai nominal . Bagi “ penerima bantuan iuran”, iuran dibayar
oleh pemerintah.

Selanjutnya , dalam penyelenggaraan program JK, akan diterapkan prinsip


– prinsip “ managed healthcare concept “ , Prospective Payment System ( PPS )
serta standar dan plafon harga obat. Hal ini untuk menjamin tumbuhnya sistem
pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang efisien dan effektif, sesuai dengan
standar pelayanan yang ditetapkan, antara lain melalui introduksi konsep dokter
keluarga, sistem rujukan dan sistem wilayah pelayanan , tarif paket serta DRG’s.
Untuk mencegah terjadinya penyalah – gunaan, juga dapat diterapkan iur – biaya
(“ cost – sharing”) , bagi pelayanan kesehatan yang akan ditetapkan kemudian
serta jenis – jenis pelayanan yang tidak menjadi beban BPJS, misalnya yang
bersifat kosmetik, makanan ( vitamin ? ) suplemen dan lain sebagainya.

Dengan ketentuan seperti tersebut, pelaksanaan program JK memerlukan


persiapan yang matang, agar kelangsungan program JK dapat terjamin, misalnya :

184
NASKAH LENGKAP

1. Ketentuan mengenai besaran iuran, harus ditetapkan secara cermat.


2. Penerimaan / pelaksanaan “ managed healthcare concept”, “ Prospective
Payment System (PPS) bagi kalangan yang terkait ( Penyeleggaran
Pelayanan Kesehatan / healthcare providers dan BPJS ).
3. Pentahapan cakupan kepesertaan.
4. Sinchronisasi sistem dan penyelenggaraan program JK antara berbagai
BPJS, khususnya antara program Jamsostek dan Askes.
5. “ Capacity - building BPJS, antara lain meliputi sumber daya manusia,
kemampuan manajemen dan tekhnologi informasi.
6. Membangun jaringan pelayanan kesehatan yang mampu memenuhi
ketentuan UU 40/2004, untuk melayani peserta program JK.

Jaminan Kecelakaan kerja ( JKK )

Jaminan Kecelakaan Kerja diselenggarakan secara nasional berdasar


prinsip asuransi sosial dengan manfaat jaminan kesehatan dan santunan uang
yang disebabkan karena sakit akibat kecelakaan kerja. Besarnya iuran ditetapkan
berdasar prosentase upah dan seluruhnya menjadi beban pemberi kerja. Bagi
peserta yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan berdasar jumlah nominal.

Jaminan Kesehatan diberikan pada jaringan pemberi pelayanan kesehatan


( PPK ) yang telah bekerjasama dengan BPJS, sesuai dengan standar yang
ditetapkan, selain dalam hal – hal sifatnya mendadak atau dimana tidak tersedia
jaringan PPK yang bekerjasama dengan BPJS.

Besarnya uang tunai yang diterima dan hak ahli waris akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

185
NASKAH LENGKAP

Untuk memperluas cakupan peserta Jaminan Kecelakaan Kerja,


pemerintah sudah saatnya disarankan untuk melengkapi program jaminan sosial
bagi pegawai negeri sipil dan anggauta TNI / Polri dengan program Jaminan
Kecelakaan Kerja.

Jaminan Hari Tua ( JHT )

Program Jaminan Hari Tua diselenggarakan secara nasional berdasar


sistem asuransi sosial atau tabungan wajib. Manfaat diberikan beberapa tahun
sebelum memasuki masa pensiun, meninggal dunia atau menderita kecacatan total
tetap. Iuran ditetapkan berdasar prosentase upah, menjadi beban pekerja dan
pemberi kerja. Bagi peserta yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan berdasar
angka nominal.

Sebagian nanfaat jaminan hari tua dapat diterima oleh peserta setelah
kepesertaan berlangusng 10 tahun, yang dalam hal ini akan diatur kemudian
dengan perturan pemerintah.

Manfaat Jaminan Hari Tua adalah seluruh akumulasi dana yang telah
disetor ditambah hasil pengembangan dana tersebut. Apabila peserta meniggal
dunia, ahli waris peserta berhak menerima manfaat jaminan hari tua.

Jaminan Pensiun ( JP ) .

Jaminan Pensiun diselenggarakan berdasar prinsip asuransi sosial atau


tabungan wajib. Manfaat JP merupakan manfaat pasti ( defined benefit ),
dimaksudkan untuk dapat mempertahankan kehidupan yang layak disebabkan

186
NASKAH LENGKAP

oleh menurunnya upah / pendapatan atau hilangnya pendapatan. Diberikan setiap


bulan, kepada peserta ataupun ahli warisnya.

Iuran ditetapkan berdasar prosentase upah / pendapatan, menjadi beban


pekerja dan pemberi kerja.

Bagi pekerja formal swasta, penyelenggaraan Jaminan Pensiun


diselenggarakan dengan memperhatikan UU 11 / 1992 tentang Dana Pensiun.
Dalam hal ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional perlu merumuskan kebijakan
penyelenggaraan JP, sehingga penyelenggaraan JP dapat diselaraskan dengan
pelaksanaan UU No 11/1992 serta UU no 13/2003 tentang Tenaga Kerja. Selain
itu, juga harus memperhatikan perkembangan ekonomi pada umumnya,
khususnya kemampuan pemberi kerja

Sedangkan penyelenggaraan JP bagi PNS / TNI, perubahan sistem, dari “


pay as you go” menjadi “ fully funded” juga perlu memperoleh pertimbangan
yang cermat.

Jaminan Kematian

Jaminan Kematian diselenggarakan berdasar asuransi sosial. Tujuannya


adalah untuk memberi kompensasi ketika peserta meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Iuran dibayar oleh pemberi kerja sedangkan manfaat, berupa uang
tunai, diberikan 3 hari setelah bukti – bukti diterima BPJS dalam jumlah nominal
yang ditetapkan.

187
NASKAH LENGKAP

Dampak SJSN pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dampak SJSN, apabila dapat diselenggara dengan baik, sudah tentu akan
berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Lima program jaminan sosial
sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004, selain akan memberikan proteksi
sosial yang lebih besar juga akan mencegah kemungkinan ledakan sosial ditahun
2015, ketika sekitar 20 juta manusia usia lanjut ( diatas 60 tahun ) tidak memiliki
jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Pada saat itu, penduduk Indonesia yang
berusia diatas 60 tahun merupakan 11 % penduduk Indonesia, yang jumlahnya
sekitar 24,5 juta. Sebagian besar dari lansia itu, dalam sistem Jaminan Sosial
yang berlaku sekarang , tidak akan memiliki JK dan JP, oleh karena program
Jamsostek tidak mencakup kedua program itu.

Selain dari itu, apabila tidak ada perubahan penyelenggaraan sistem


jaminan pensiun PNS/TNI, beban anggaran Negara untuk membiayai pensiun
PNS /TNI juga akan semakin besar. Pengeleuaran untuk pensiun PNS/TNI
kemungkinan sudah akan menyamai anggaran untuk gajih PNS / TNI aktif.
Dampaknya, sudah etntu akan mengurangi angagran kesejahteraan. Perubahan
sistem pensiun PNS/TNI, dengan demikian sudah sangat mendesak.

Selain dari itu, SJSN juga akan berperan secara tidak langsung pada
peningkatan kesejahteraan rakyat, melalui dampak tidak langsung dari akumulasi
dana jaminan sosial. SJSN, selain sebuah program kesejahteraan sosial, pada
dasarnya juga merupakan instrumen mobilisasi dana masyarakat yang mampu
membentuk tabungah nasional yang besar, melalui mekansime asuransi sosial dan
tabungan wajib. Diprojeksikan, bahwa besarnya tabungan nasional itu dapat
mencapai Rp 1000 trilyun, apabila dalam kurun waktu 10 tahun, peserta program

188
NASKAH LENGKAP

JP dan Perumahan ( JHT ) dapat mencapai 80 juta peserta. Sementara untuk


anggaran kesehatan, akan mampu terkumpul dana Rp 50 trilyun / tahun , apabila
dalam kurun waktu 10 tahun dapat tercapai 170 juta peserta program JK (
Hartari / Sulastomo, 2000 ).

Dengan akumulasi dana SJSN sebesar itu, dapat diperkirakan dampak


sebagai berikut :

1. Penempatan dana tersebut di Bank akan berpeluang menurunnya bunga bank,


sehingga mendororng kegiatan pemberian kredit / investasi.
2. Dengan terbukanya peluang investasi, berarti membuka perluasan lapangan
kerja, mengurangi jumlah sektor non – formal, sehingga mendorong
kepesertaan program jaminan sosial. Dampaknya, penerimaan pajak juga
akan meningkat.
3. Terbentuknya tabungan nasional yang besar juga akan berperan pada
kemampuan keuangan Negara, kemandirian bangsa dan meningkatnya
kemampuan domestik di dalam membiayai pembangunan. Biaya
pembangunan, dengan demikian juga relatif murah.
4. Disektor kesehatan, akan membuka peluang standardisasi, program
peningkatan mutu pelayanan kesehatan, pengendalian tarif pelayanan serta
jumlah / jenis serta harga obat – obatan yang beredar. Selain itu, juga
berpeluang meningkatnya sarana kesehatan serta peningkatan kemampuan
tekhnologi kedokteran di Indonesia.
Dapat dikatakan, bahwa SJSN adalah program kesejahteraan rakyat yang
berdampak pada pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Bahkan, di
Malaysia, program jaminan sosial dianggap sebagai “ mesin pembangunan
Malaysia “ ( engine of development ).

189
NASKAH LENGKAP

Peran Pemerintah Daerah

Penyelenggaraan program Jaminan Sosial, harus melibatkan Pemerintah


Daerah. Hal ini juga untuk dapat memenuhi ketentuan UU no 32/2004.
Keterlibatan Pemerintah Daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan
program jaminan sosial bagi penduduk di daerah terkait agar sesuai dengan
ketentuan UU No 40/2004, tetapi juga untuk memenuhi UU No 32/2004. Hal ini
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang akan diterbitkan untuk
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

Peran Pemrintah Daerah itu, antara lain adalah :

1. Pengawasan penyelenggaraan program SJSN, agar sesuai dengan ketentuan,


misalnya standar, kualitas dan tariff . Antara lain, pada tingkat daerah dapat
dibentuk sebuah Badan Pengawas SJSN Daerah.
2. Menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk “ penerima bantuan
iuran” ataupun amsyarakat yang lain.
3. Penentuan peserta “ Penerima Bantuan Iuran”.
4. Penyediaan / pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya sarana
kesehatan
5. Mengusulkan pemanfaatan / investasi dana SJSN di daerah terkait.
6. Saran / usul kebijakan penyelenggaraan SJSN.

Penutup.
Telah dibicarakan berbagai permasalahan SJSN dan antisipasi dampak
SJSN pada pembangunan bangsa secara keseluruhan. Dapat dikatakan, melalui

190
NASKAH LENGKAP

pelaksnaan SJSN, terbuka peluang upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.


akumulasi dana yang cukup bermakna, sehingga berdampak pada pembangunan
ekonomi pada umumnya. Meskipun demikian, implementasi SJSN harus benar –
benar sesuai dengan UU 40/2004, sehingga dapat dihindari penyimpangan yang
sering terjadi dalam penyelenggaraan program jaminan sosial, misalnya
penyelenggraan yang tidak efisien serta investasi yang tidak tepat atau bahkan
menyimpang.

Untuk itu, diperlukan langkah – langkah , antara lain sebagai berikut :

1. Perlunya membangun persepsi yang sama. Untuk itu diperlukan sosialisasi


SJSN diseluruh jajaran aparatur Pemerintah dan “ stake holder” yang lain.
2. Persiapan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang diperlukan.
3. Pembentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional.
4. Langkah – langkah pada masa transisi, persiapan perubahan Pt Askes,
Jamsostek, Taspen dan Pt Asabri menjadi lembaga “ not for profit” serta
kebijakan lain sesuai dengan UU No 40/2004, misalnya jenis program,
manfaat dan iuran serta penyelenggaraan program SJSN. Juga diperlukan
kajian yang cermat kemungkinan diperlukan Badan Penyelenggara yang lain.
5. Pentahapan Pertumbuhan SJSN ( skenario makro – 20 tahun ) yang
diperlukan untuk memberi arah penyelenggaraan untuk jangka menengah dan
panjang.
6. Lembaga / Instansi yang secara intens dan berkelanjautan bertanggung –
jawab terhadap penyelenggaraan program SJSN.

Demikianlah pokok – pokok materi yang perlu disampaikan pada kesempatan


yang sangat berharga ini.

Semoga bermanfaat.

191
LAMPIRAN 3

RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

1. IDENTIFIKASI PERATURAN SJSN

2. IDENTIFIKASI PERAN PUSAT DAN DAERAH DALAM


PENYELENGGARAAN DAN PENGEMBANGAN SJSN

3. STRATEGI KEPESERTAAN SEMESTA

4. LANGKAH-LANGKAH YANG PERLU DILAKUKAN DALAM MASA


TRANSISI SAMPAI DENGAN 18 OKTOBER 2009

192
RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

KELOMPOK I
TOPIK : IDENTIFIKASI PERATURAN SJSN

1. MEMBERLAKUKAN UU 40/2004 PASCA KEPUTUSAN MK dengan


menghapus Pasal 5 ayat 2,3,4 dan UU 40/2004 Pasca MK merupakan payung
hukum sistem jaminan sosial nasional.

Peraturan dan Perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan


SJSN harus disesuaikan dengan UU 40/2004: PERLU PEMETAAN untuk
HARMONISASI PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN: Peran
pemerintah, teknis pelaksanaan
o Contoh:
ƒ UU JAMSOSTEK
ƒ UU 13/2003
ƒ UU DANA PENSIUN
ƒ UU PERASURANSIAN UU 2/1992 – COMMERCIAL
INSURANCE
ƒ UU JAMINAN SOSIAL – UU 6/1974
ƒ UU 32/2004
ƒ Dll

2. PUSATKAN pada pembentukan UU Badan Penyelenggara SJSN dengan


mengakomodir kesempatan daerah untuk membentuk BPJSD, yang tetap dalam
kerangka UU 40/2004, HARUS TERBENTUK PALING LAMBAT 18
OKTOBER 2009:

o Identifikasi manfaat dan kontribusi dan penyelenggaraan yang


dilaksanakan oleh badan penyelenggara yang memegang mandat 2
pemangku utama yaitu kontributor dan penerima manfaat program
jaminan sosial.
o Kejelasan pemisahan kewenangan penyelenggaraan jaminan sosial dan
jaminan komersial
o Persyaratan penyelenggaraan bagi program jaminan sosial harus tegas dan
ketat dan diselenggarakan dengan prinsip2 GOOD Governance :
ƒ Menyelesaikan mandat masa peralihan bagi PT ASKES, PT
JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT TASPEN.
• Selesaikan peralihan pro-laba menjadi nir-laba PT ASKES,
PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, PT TASPEN.
ƒ Memberikan dasar hukum pembentukan BPJSD
ƒ Norma-norma BPJSN/BPJSD dituangkan dengan rinci

3. Pembentukan peraturan pelaksanaan UU 40/2004 ttg SJSN

193
RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

• Segera mendirikan DJSN (Perpres dan Kepres DJSN) ps 6 UU


40/2004
• Perlu dipertimbangkan pembentukan DJSD
• PEMDA dapat membentuk BPJSD dengan PERDA dengan memenuhi
kaidah-kaidah yang diatur dalam UU SJSN Nr. 40/2004 dan peraturan
pelaksanaanya.

• Wujud dari kewenangan wajib pemerintah daerah mengembangkan


sistem jaminan sosial secara hukum:
• Dapat Mendirikan BPJSD
• Wajib Mengalokasikan anggaran untuk penerima bantuan
di wilayahnya
• Wajib meregulasi siapa?
o Badan penyelenggara (BPJSN/BPJSD)
o Operasionalisasi BPJSN di wilayahnya
o Penyelenggara Pelayanan
o Masyarakat
• Wajib Mengevaluasi dan memonitor
• Dll

REKOMENDASI TINDAK LANJUT:


1. DIAMANATKAN Kepada MenKoKesra untuk ditindaklanjuti
2. Mekanisme tindak lanjut:
a. Sosialisasi dalam rangka menjaring aspirasi masyarakat mengenai
Rancangan Peraturan dan PerUU ke seluruh daerah sebelum diajukan ke
DPR. Mekanisme mengacu pada UU nr. 10/2004.
b. Dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat di daerah harus
mengikutsertakan PEMERINTAHAN DAERAH.
c. Rakernas perlu diselenggarakan kembali.

194
RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

KELOMPOK II
TOPIK : IDENTIFIKASI PERAN PUSAT DAN DAERAH DALAM
PENYELENGGARAAN DAN PENGEMBANGAN SJSN

PEMBUKA
• Peran Negara: Sebagai Penyelenggara, sebagai penanggung jawab program Jaminan
Sosial

• Peran Pemerintah Daerah: Sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat

• Landasan: UU 40/2004 sebagai prinsip dan azas dalam Jaminan Sosial, namun dalam
pelaksanaannya adalah UU No.32/2004.
- Perlu ada kejelasan peran pusat dan daerah
- Daerah diberikewenangan perluasan kepesertaan…formal, informal, dan
penduduk miskin
- Dari 5 program JS, baru sebagian daerah menyelengarakan jaminan
kesehatan bagi sebagian penduduk

PERAN PEMERINTAH DAERAH


1. Koordinasi penyelenggaraan JS ditingkat Provinsi/ Kabupaten/Kota
2. Diberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan JS dengan mengacu
pada UU SJSN dan peraturan perundang undangan yang terkait sampai seluruh
masyarakat tercover oleh JS.
3. Pengawasan dalam penyelenggaraan JS di daerah Propivinsi/Kabupaten/Kota.
4. Menentukan penduduk miskin yang berhak menjadi peserta JS sesuai dengan UU
SJSN dan peraturan perundang undangan terkait
5. Penyediaan /pengelolaan sarana dan dana penunjang JS.
6. Pemda berperan menangani JS bagi masyarakat yg belum ditangani Pusat dalam
masa transisi
7. Dana JS dikelola dan dikembangan secara transparan

PERAN PEMERINTAH PUSAT


1. Menetapkan kebijakan, norma, pedoman dan standar penyelenggaraan SJSN
2. Koordinasi penyelenggaraan SJSN antar daerah
3. Harmonisasi peraturan perundang undangan penyelenggaraan SJSN.
4. Dana JS dikelola dan dikembangan secara transparan

PENUTUP
1. 1.Perlu dilakukan sosialisasi ke daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota)
2. Mempercepat terbitnya PP, Pepres UU SJSN
3. Dalam penyusunan PP dan Perpres agar supaya Daerah diiukt sertakan
/perwakilan

195
RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

4. Dalam menyusun PP dan Perpres UU SJSN, perlu diharmonisasikan dengan


peraturan perundang undangan yang terkait
5. Perlu keterbukaan dalam pengelolaan dana Jaminan Sosial

KELOMPOK III
TOPIK : STRATEGI KEPESERTAAN SEMESTA

Universal Coverage diprioritaskan kepada Jaminan Kesehatan, baru kemudian diikuti


oleh Jaminan lain, karena :
a. Amanat UU No. 40 thn 2004
b. Kebutuhan mendesak (kesehatan merupakan investasi pembangunan)
c. Kepesertaan secara nasional sudah mencapai sekitar 40 %
d. Pelaku (kelembagaan) relatif siap

Universal Coverage :
• Minimum 80 % penduduk secara nasional tahun 2015
• Dicapai secara bertahap :
- Askeskin, PN, Pensiun, Veteran, dll tahun 2005 (40 %)
- Sektor formal tahun 2009 (60 %)
- Sektor informal tahun 2015 (MDGs) (80 %)
• Disesuaikan dengan resources daerah

STRATEGI UMUM
1. Pembentukan DJSN
2. Pembentukan PP dan regulasi yang dibutuhkan (Prioritas : yang mengatur tentang
kepesertaan, premi dan benefit package)
3. Perlunya sosialisasi mengenai UU no.40 thn 2004, segera setelah pembentukan
DJSN dan PP disahkan
4. Perlunya dibentuk tim sosialisasi yang terlatih
5. Perlu dibangun dan dimantapkan prasarana dan sarana utk mendukung SJSN
khususnya Provider
6. Mendorong peran daerah untuk mempercepat cakupan

STRATEGI KHUSUS
1. ASKESKIN
a. Legal aspect pendanaan
b. Update data peserta (single ID)
c. Penyempurnaan dan peningkatan
pengelolaan askeskin
2. SEKTOR FORMAL
a. Law enforcement dari PP kepesertaan

196
RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

b. Optimalisasi pengawasan
3. SEKTOR INFORMAL
a. Percontohan dengan pendekatankewilayahan
b. Replikasi hasil pecontohan

PERAN KEMITRAAN
Perlu digalang kerjasama dengan mitra lokal, nasional, internasional : LSM,
Perguruan tinggi, organisasi profesi, swasta, Serikat Pekerja / Serikat Buruh, KADIN,
APINDO, Bank Dunia, WHO, GTZ, dll

KELOMPOK IV
TOPIK : LANGKAH-LANGKAH YANG PERLU DILAKUKAN DALAM MASA
TRANSISI S/D 2009

1. DJSN
Perlu dipercepat proses pembentukan DJSN, paling lambat sampai dengan 2006.

2. Payung Hukum Pembentukan Perda


1. Peluang dibentuknya BPJSD melalui Perda merupakan hasil putusan MK yang
menganulir ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 40/ 2004
2. Perlu dipikirkan dasar hukum pembentukan Perda

3. Peraturan Pelaksanaan UU No. 40/ 2004


1. Terdapat 10 PerPres dan 11 PP pelaksanaan yang saat ini dikoordinasikan oleh
Menkokesra
2. Pembentukan PP dan PerPres yang dipercepat dan sinkronisasi dengan peraturan
perundang-undangan terkait

4. BPJS:
1. Pembentukan BPJS yang ada (Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes) dengan UU.
2. Menkokesra memfasilitasi pembentukan BPJS dengan UU untuk masuk dalam
Prolegnas.
3. Sinkronisasi diantara BPJS tersebut

5. Program Jaminan Sosial:


1. Pentahapan jenis-jenis program sehingga Pasal 18 UU No. 40 (Jaminan
Kesehatan, JKK, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian)
2. Pentahapan program, setelah jaminan kesehatan kemudian diutamakan jaminan
kematian.

197
RANGKUMAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

6. Sosialisasi UU No. 40/ 2004


1. Penyamaan persepsi di tingkat pusat.
2. Mengambil aspirasi dari bawah
3. Perlu diperhitungkan atau dipertimbangkan segi positif dan negatif apabila
dibentuk BPJS di pusat dan daerah.

198

Anda mungkin juga menyukai