Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Menurut Wahab, A. A (2009: 109) mengemukakan bahwa bermain peran
(role playing) adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan
terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menghidupkan kembali
suasana historis misalnya mengungkapkan kembali perjuangan para pahlawan
kemerdekaan, atau mengungkapkan kemungkinan keadaan yang akan datang.
Menurut Ahmadi (2011: 54) bermain peran (role playing) adalah suatu cara
penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan
penghayatan siswa”. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan
siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati.
Permainan ini umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal ini bergantung
kepada apa yang diperankan.
Jadi kesimpulannya bermain peran adalah berakting sesuai dengan peran
yang dilakukan satu orang atau lebih dengan memerankannya sebagai tokoh
hidup atau benda mati untuk tujuan tertentu.
2.2 Macam-macam
Dalam teorinya, Erikson dalam Depdiknas (2004: 4) mengemukakan bahwa
bermain peran terbagi ke dalam dua jenis bermain, diantaranya bermain peran
makro dan bermain peran mikro.
1. Bermain Peran Makro
Bermain peran makro adalah salah satu jenis bermain peran dengan
menggunakan ukurannya sebenarnya. Anak dikatakan sedang bermain peran
makro jika dia memerankan sendiri suatu tokoh. Biasanya anak akan
mengenakan kostum sesuai tokoh tersebut. Pada bermain peran makro, anak-
anak berperan sebagai seseorang atau sesuatu. Misalnya ia menggunakan
pakaian ayahnya lalu menirukan gaya ayah (Safriyani, 2011:9).
Bermain peran makro dapat melatih imajinasi dan membangun sendiri
cerita yang dikehendakinya sesuai dengan pengalaman panca inderanya
selama ini. Biasanya dalam bermain peran makro ini, seorang anak
mengimitasi perilaku orang yang ia idolakan atau orang yang ia benci. Anak
juga dapat menggunakan benda atau media apa saja yang ada disekitarnya,
untuk dijadikan alat bermain perannya.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa bermain peran makro merupakan suatu
kegiatan bermain anak yang sedang memerankan sebuah peran, menjadikan
dirinya semirip mungkin layaknya aktor dalam peran tersebut dan
mengimitasi perilaku dari objek yang ia perankan itu. Sedangkan bermain
peran dalam lingkup yang kecil biasa di sebut dengan bermain peran mikro.
2. Bermain Peran Mikro
Bermain peran mikro adalah awal bermain kerjasama yang dilakukan
hanya dua orang saja bahkan sendiri dengan menggunakan media. Safriyani
(2011:9) mengemukakan bermain peran mikro, anak menggunakan benda-
benda untuk dimainkan sesuai dengan peran yang ia bayangkan. Misalnya
anak menggunakan boneka, dan ia memainkan boneka itu untuk bercakap-
cakap dengan boneka yang lain.
Seiring dengan pendapat tersebut, Tarigan (2008:1) berpendapat bahwa
“Micro play adalah anak bermain peran dengan menggunakan dua boneka”.
Anak dikatakan sedang bermain peran mikro ketika ia bermain dengan benda-
benda berukuran kecil. Ia menjadi sutradara dan melakonkan peran melalui
boneka-boneka dan alat bermain kecil lainnya. Bermain peran mikro sering
dimainkan oleh anak-anak usia prasekolah, karena pada usia ini anak
memiliki daya imajinasi yang kuat dan terkadang anak masih memiliki teman
khayalan.
2.3 Tujuan dan Manfaat
Menurut Santoso (2010: 18) model pembelajaran role play lebih
menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain. Model
ini lebih memfokuskan pada proses negosiasi sosial. Model pembelajaran role
playing memberikan prioritas pada peningkatan kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain dalam upaya peningkatan kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain dalam upaya meningkatkan
proses demokratis, didesain untuk mengajak peserta didik dalam menyelidiki
nilai-nilai pribadi dan sosial melalui tingkah laku mereka sendiri dan nilai-
nilai yang menjadi sumber penyelidikan. Menurut Zuhaerini (1983: 56),
model ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk:
1. Menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak,
dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada
diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak
2. Melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah
sosial-psikologis
3. Melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan
bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.
Manfaat yang dapat diambil dari role playing menurut Bobby DePorter
(2000: 12).adalah:
1. Role playing dapat memberikan semacam hidden practise, dimana murid
tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah
dan sedang mereka pelajari.
2. Role playing melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk kelas
besar.
3. Role playing dapat memberikan kesenangan karena role playing pada
dasarnya adalah permainan. Dengan bermain murid akan merasa senang
karena bermain adalah dunia siswa.
Sedangkan menurut Depdiknas (2003: 41) tujuan dan manfaat bermain peran
adalah sebagai berikut:
1. Memahami perasaan orang lain
2. Menempatkan diri dari situasi orang lain
3. Mengerti dan menghargai perbedaan pendapat
4. Melatih daya tangkap dan konsentrasi
5. Melatih berbicara lancar di depan umum
6. Menciptakan suasana yang menyenangkan
7. Membantu perkembangan intelegensi dan fantasi
2.4 Kelemahan dan Kelebihan
Pada hakekatnya sebuah ilmu yang tercipta oleh manusia tidak ada yang
sempurna, semua ilmu ada kelebihan dan kekurangan. Jika kita melihat
metode role playing dalam cakupan cara dalam proses mengajar dan belajar
dalam lingkup pendidikan tentunya selain kelebihan terdapat kelemahan. Role
playing menurut Djamarah dan Zain (2002: 67) mempunyai beberapa
kelemahan dan kelebihan sebagai berikut:
1. Kelemahan
a. Metode bermain peranan memelrukan waktu yang relatif panjang/banyak.
b. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru
maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya.
c. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk
memerlukan suatu adegan tertentu.
d. Apabila pelaksanaan role playing dan bermain pemeran mengalami
kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus
berarti tujuan pengajaran tidak tercapai.
e. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
2. Kelebihan
a. Siswa melatih dirinya memahami dan mengingat isi bahan yang akan
diperankan. Sebagai pemain harus memahai, menghayati isi cerita secara
keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan
demikian daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.
b. Siswa akan berlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain
peran para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai
dengan waktu yang tersedia.
c. Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan
akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah.
d. Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-
baiknya.
e. Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi
tanggungjawab dengan sesamanya.
f. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar
mudah dipahami orang lain
2.5 Syarat-syarat
Berdasarkan pendapat para ahli aspek yang harus diperhatikan pemeran
dalam bermain peran adalah vokal, intonasi, ekspresi, dan gerak tubuh.
1. Vokal atau Lafal
Vokal dalam KBBI (2007: 858) adalah yang berhubungan dengan suara. Bagi
pemeran teknik pengucapan jelas mempunyai tempat yang sangat penting di
dalam pekerjaannya, karena suaralah yang akan menyampaikan ucapan dalam
naskah drama yang diperankannya.
Menurut Wiyanto (2002:60) vokal adalah suara dari mulut yang
membunyikan kata-kata yang dirakit menjadi kalimat-kalimat untuk
mengutarakan perasaan dan pikiran.
Sebagai seorang pemeran hendaknya memiliki kemampuan untuk mengolah
vokal agar lafal yang dihasilkan menjadi baik, jelas, dan mudah untuk
dipahami. Seorang pemeran harus mempunyai vokal yang kuat agar kata-kata
yang diucapkan jelas. Seorang pemeran perlu membaca puisi dengan suara
lantang di depan teman-temannya. Manfaatnya, untuk melatih vokal supaya
terbiasa melakukan perubahan nada suara sebagai akibat adanya perubahan
perasaan dalam berbagai situasai.
2. Intonasi
Intonasi menurut Raharjo (1986: 86) adalah nada suara dalam pengucapan
dialog. Setiap tokoh pada dasarnya memiliki intonasi masing-masing.
Perbedaan intonasi yang mudah dikenali misalnya, intonasi perempuan dan
laki-laki atau anak-anak dengan orang tua.
Sebagai seorang pemeran memiliki kewajiban menemukan intonasi yang
tepat dari tokoh yang diperankannya. Apakah tokoh itu perempuan, laki-laki,
anak-anak, pemuda atau orang tua. Selain itu, perubahan emosi pada dialog
tokoh juga menuntut intonasi yang berbeda misalnya, emosi marah, sedih,
menyindir, meratap dan lain-lain.
Intonasi penting dikuasai oleh setiap pemeran, karena tidak jarang dialog
menjadi janggal dan salah arah disebabkan pegucapan intonasinya tidak tepat.
Mengucapkan intonasi yang berbeda dapat merubah arti kata atau kalimat,
misalnya kata “panas” atau “dingin” bila diucapkan dengan intonasi yang
berbeda-beda akan mengandung arti dan tujuan yang berbeda-beda pula.
3. Mimik atau Ekspresi
Mimik atau ekspresi dalam KBBI (2007: 744) berarti peniruan dengan
gerak-gerik anggota badan dan raut muka. Dalam hal ini siswa harus
menunjukkan mimik muka yang sesuai dengan tuntutan peran yang terdapat
dalam naskah drama. Ekspresi disebut juga mimik yaitu seorang pemeran
drama menggunakan wajahnya untuk memerankan karakter tertentu. Organ
yang ada pada wajah digunakan untuk memperkuat karakter. Organ tersebut
seperti mata, hidung, alis, mulut dan lainnya. Misalnya, saat memerankan
orang yang marah, maka mata dibuka lebar-lebar atau melotot.
Ekspresi yang ditampilkan pemeran haruslah yang wajar dan tidak dibuat-
buat. Untuk dapat mengekspresikan karakter tokoh dengan wajar dan tidak
dibuat-buat, seorang pemeran harus menghayati peran yang diperankan
dengan cara menelaah peran yang dimainkan kemudian dicamkan benar-
benar di alam khayal seorang pemeran agar dapat maksimal dalam
menghayatinya.
Menurut Raharjo (1986: 79) ada beberapa cara untuk menghayati tokoh yang
diperankan yaitu:
a. Dengan cara mengumpulkan keterangan-keterangan mengenai peran
yang akan dibawakan
b. Meneliti peran yang dibawakan
c. Menguraikan peran yang dibawakan
d. Menyimpulkannya
4. Gerak Tubuh
Seorang pemeran menghasilkan gerak di panggung. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa segala perbuatan pemeran di panggung termasuk gerak-
geriknya, merupakan hasil kerjanya. Pemeran harus mempelajari dan melatih
secara berulang-ulang semua gerakan yang sesuai dengan tokoh yang
diperankan. Misalnya, makan dengan tangan tanpa sendok dan garpu, duduk
santai sambil mengobrol, membaca surat, dan lain-lain.
Penghayatan seperti ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh supaya
pemeran dapat melakukannya dengan sempurna seperti yang dikehendaki
naskah. Sebab, kalau sudah dipraktikkan di panggung tidak dapat diulang
atau diperbaiki.
Hal-hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemeran menurut
Wiyanto (2002: 68) adalah:
a. Gerakan yang dilakukan harus ada maksud dan tujuan
b. Gerakan harus menarik
c. Gerakan dilakukan secara berurutan
d. Gerakan hanya dilakukan dengan gerak maju, bukan gerakan mundur atau
menyamping, kecuali ada alasan tertentu
e. Gerakan yang cepat menunjukkan adanya sesuatu yang penting.
Sebaliknya, gerakan yang lambat menunjukkan kesedihan, keputusasaan,
atau kekhidmatan
2.6 Unsur-unsur
Bermain peran dalam bentuknya sebagai tontonan selalu ditunjang oleh
beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut antara lain:
1. Cerita atau Lakon
Lakon atau cerita merupakan unsur yang esensial dalam bermain peran.
Berangkat dari lakon atau cerita inilah para pelaku menampilkan diri di depan
penonton, baik dengan gerak-geriknya (akting) maupun percakapan (dialog).
Selanjutnya dari perpaduan antara lakon, gerak dan percakapan itulah kita
sebagai penikmatnya dapat menyaksikan sebuah pementasan. Secara
struktural, lakon atau cerita dalam bermain peran terdiri atas lima bagian
yaitu:
a. Pemaparan atau eksposisi (penjelasan situasi awal suatu cerita).
b. Penggawatan atau kompilasi (bagian yang menunjukkan konflik yang
sebenarnya).
c. Puncak atau klimaks (puncak ketegangan cerita, titik perselisihan tertinggi
protagonis dan antagonis).
d. Peleraian atau anti klimaks (bagian pengarang mengetengahkan
pemecahan konflik).
e. Penyelessaian atau kongkulasi (bagian cerita yang berfungsi
mengembalikan lakon pada kondisi awal).
2. Pemain
Menurut Suharianto (2005:61) Pemain atau pemeran adalah orang-orang
yang menerjemahkan dan sekaligus menghidupkan setiap deretan kata-kata
dari sebuah naskah drama. Pemain berfungsi sebagai alat pernyataan watak
dan penunjang tumbuhnya alur cerita. Untuk dapat menerjemahkan dan
memperagakan tokoh yang akan diperankan, pemeran harus menghafalkan
percakapan yang tertulis dalam naskah dan menafsirkan watak tokoh yang
akan diperankan seraya mencoba memeragakan gerak-geriknya. Pemain
harus berlatih berulang-ulang supaya peragaan yang dibawakannya benar-
benar sesuai dengan yang dikehendaki lakon atau cerita.
3. Tempat
Unsur tempat dalam sebuah drama adalah suatu tempat yang dapat digunakan
sebagai pertunjukkan. Dalam hal ini, tempat yang dimaksud adalah gedung,
lapangan atau arena. Menurut Prasmajdi (1984:11) panggung adalah tempat
para pelaku melakukan perbuatan atau akting. Tempat tidak hanya
dibutuhkan oleh para pemain, namun juga oleh para penonton. Oleh karena
itu, tempat yang memenuhi syarat akan sangat mendukung terjadinya sebuah
pagelaran yang baik (Suharianto 2005: 62).
4. Penonton
Dalam KBBI (2007: 825) penonton adalah orang yeng menonton atau
pemirsa. Penonton atau publik yang dimaksudkan di sini adalah penonton
yang aktif, yang dengan kesungguhan hati berusaha menyambut ajakan
berdialog pengarang drama yang disalurkan lewat para pelaku. Dengan
menempatkan penonton pada kedudukan seperti itu, maka sebuah drama atau
pementasan baru dapat diharapkan berhasil apabila terdapat tiga hal, yaitu
lakon atau cerita yang baik, para pelaku yang pandai, dan para penonton yang
mengerti. Tidak dipenuhinya salah satu dari ketiga hal di atas, tidak pernah
akan kita dapatkan pementasan atau drama yang dapat dikatakan berhasil atau
baik.
2.7 Langkah-langkah
Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa (2011) mengemukakan tahapan pembelajaran
bermain peran meliputi:
1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik.
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik
terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita
dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan.
Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar
tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran
dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila
peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan
guru.
2. Memilih peran
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru
mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,
bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan,
kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi
pemeran.
3. Menyusun tahap-tahap peran
Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-
garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada
dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan
berbicara secara spontan.
4. Menyiapkan pengamat
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan
terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut
mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif
mendiskusikannya.
5. Pemeranan
Pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan
peran masing-masing. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik
telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba
lakukan. Ada kalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga
tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru
perlu menilai kapan bermain peran dihentikan.
6. Diskusi dan evaluasi
Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam
bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan
melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing
untuk diskusi.
7. Pemeranan ulang
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai
alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut.
Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya
pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran
lainnya.
8. Diskusi dan evaluasi tahap dua
Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama
seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil
pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah
lebih jelas.
9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan
Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya
dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua
pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

Anda mungkin juga menyukai