“TUBERKULOSIS”
Disusun Oleh :
FAKULTAS FARMASI
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahiim,
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan
dan ketabahan bagi hamba-Nya. Serta memberi ilmu pengetahuan yang banyak agar kita
tidak merasa kesulitan. Salawat serta salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah menyampaikan wahyu-Nya kepada hamba-Nya yang setia
sampai akhir zaman.
Makalah yang berjudul “Farmasi Klinik dan Rumah Sakit - Tuberkulosis “ ini,
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah wajib Farmasi Klinik dan Rumah Sakit di
Fakultas Farmasi Institut Sains dan Teknologi Nasional. Dalam penyusunan makalah ini
penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan pemikiran, serta dorongan dari berbagai
pihak, tetapi tidak luput dari kendala yang begitu banyak.
Akhir kata semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
penulis, Amin yarobbal ‘alamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan.....................................................................................................................2
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan...........................................................................................................34
4.2 Saran.....................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, 10,4 juta orang
terdeteksi menderita TB dan 1,8 juta orang meninggal akibat penyakit ini, termasuk 0,4
juta diantaranya dalah orang dengan HIV. Lebih dari 95% kematian yang terjadi akibat
TB terjadi pada negara miskin dan berkembang. Indonesia merupakan satu dari enam
negara yang menyumbang 60% kasus baru penderita TB paru dengan urutan tepat
dibawah India, dan diikuti oleh Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan pada urutan
terakhir. Pada tahun 2015, sekitar 480.000 orang dari seluruh dunia mengalami Multi
Drug Resistant TB (MDR-TB).
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di
seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal
jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari penyakit tuberkulosis
2. Mengetahui klasifikasi penyakit tuberkulosis
3. Mengetahui bagaimana pencegahan penyakit tuberkulosis
4. Mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis
5. Mengetahui bagaimana gejala dari penyakit tuberkulosis
6. Mengetahui bagaimana pemeriksaan penyakit tuberkulosis
7. Mengetahui bagaimana cara mendiagnosa penyakit tuberkulosis
8. Mengetahui bagaimana cara penularan penyakit tuberkulosis
9. Mengetahui apa saja faktor risiko tuberkulosis
10. Mengetahui bagaimana tatalaksana terapi untuk penderita tuberkulosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak,
tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa
tahun.
TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :
a. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Berbagai karakter klinis unik
patogen ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak/lipid yang dimilikinya. Sel-
selnya membelah setiap 16 –20 jam. Kecepatan pembelahan ini termasuk lambat bila
dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang umumnya membelah setiap kurang dari
satu jam. Mikobakteria memiliki lapisan ganda membran luar lipid.
Infeksi Primer
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau
dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari sebulan.
TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-
14 tahun. Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC
dari bahan yang diambil dari penderita. Tetapi pada anak hal ini sangat sulit
dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan
atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain
melihat gejala umum TBC anak, seorang anak harus dicurigai menderita
tuberkulosis bila mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita
TBC BTA positif dan terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan
BCG (dalam 3-7 hari).
1. Umur.
3. Perilaku
4. Kontak Penderita
Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada
orang disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-
anak.Semakin sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA
positif maka semakin besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis,
apalagi ditunjang dengan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang
sehat.
2. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan
tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan
rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga
merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya
bibit-bibit penyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya didalam rumah
akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata. Cahaya ini
sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam
rumah, seperti basil TBC, karena itu sangat penting rumah untuk
mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian
besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.
Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi
minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada anak 6-
12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Pengobatan TBC pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama
dua bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat,
tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap
Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal
maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang, dan lain-
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TBC tertentu yaitu
TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC,
dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2 - 4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR.
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus
disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
3.1 Kasus 1
“Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun”
Subject
Keluhan batuk disertai dengan dahak berwarna putih kental dan sulit
dikeluarkan.Keluhan batuk disertai darah disangkal. Batuk dirasakan semakin
memberat pada malam hari , keluhan terus-menerus, pasien juga mengeluh disertai
demam yang tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada malam hari. Pasien juga
mengaku penurunan nafsu makan sehingga pasien merasa lemas dan mengalami
penurunan berat badan.
Pasien pergi berobat ke dokter dan rumah sakit untuk mengobati keluhan
batuknya.Setelah mengkonsumsi obat yang diberikan keluhan batuk berkurang, tetapi
setelah obat habis keluhan kembali dirasakan.
Pasien mengaku pernah kontak langsung dengan teman kerja yang memiliki
keluhan yang sama dan sedang menjalani pengobatan TB. Saat itu pasien masih tidak
banyak mengetahui mengenai TB paru dan bagaimana penularannya.
Object
Pada pasien, Nn. S, ditegakkan diagnosis kasus baru TB paru karena
berdasarkan anamnesis, pasien mengalami batuk berdahak selama satu bulan, adanya
demam, penurunan berat badan, serta belum pernah mengonsumsi OAT. Teman
sekerja pasien mengalami keluhan yang sama. Tempat tinggal pasien yang kurang
bersih, halaman berupa tanah dan pasir, serta atap kamar belum di plavon yang
membuat debu di lantai merupakan pemicu terjadinya batuk.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pasien didapatkan hasil BTA SPS
+++, dimana diagnosis TB paru BTA positif adalah bila :
Action
Di puskesmas pasien diberikan terapi farmakologis berupa :
a. Obat paket TB (Fixed Dose Combination Fixed Dose Combination (FDC))
b. Vit C
Planning
Di puskesmas pasien diberikan terapi farmakologis berupa obat paket TB
(Fixed Dose Combination Fixed Dose Combination (FDC)) tiga kali sehari dan vit C
dua kali sehari. FDC merupakan obat yang digunakan dalam pengembangan strategi
directly observed treatment short course (DOTS) untuk mengontrol epidemic TB dan
sudah merupakan rekomendasi dari WHO. FDC pada fase intensif dengan dosis
harian berisi 150 mg rifampisin, 75 mg isoniazid, 400 mg pirazinamid, dan 275 mg
etambutol. Dengan berat badan 38-54 kg, diberikan tiga tablet dalam sehari.
Telah terjadi perubahan prilaku pada Nn. S. Perubahan perilaku pada Nn. S
untuk gaya hidup bersih dan sehat terlihat setelah pasien diberikan intervensi,
akhirnya pasien mengubah gaya hidupnya dengan pola makan yang sehat, tidak
merokok, menggunkaan masker, dan aktifitas latihan jasmani yang baik.
Pasien juga rutin datang ke puskesmas untuk mengambil obat, dan pasien
lebih aktif di kegiatan posyandu.Dalam kunjungan kali ini juga tetap dilakukan
motivasi kepada pasien dan keluarganya. Hal ini dilakukan agar pasien dan keluarga
senantiasa menerapkan gaya hidup sehat yang pada akhirnya meningkatkan kualitas
hidup pasien dan anggota keluarga lainnya.
3.2 Kasus 2
Subjek
Pada awal pengobatan pasien, Tn. N, 27 tahun, datang diantar oleh
kakaknya, Ny. A, dengan keluhan sesak napas dan batuk selama lebih dari 1
bulan yang tidak kunjung sembuh, batuk dirasakan semakin memberat pada
malam hari dan berdahak pada pagi harinya berwarna putih kental dan sulit
dikeluarkan. Keluhan batuk berdarah disangkal. Pasien juga mengeluhkan
batuknya yang disertai demam yang tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada
malam hari. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan yang menurun sehingga
pasien merasa lemas dan mengalami penurunan berat badan.
Object
Action
Planning
Kesimpulan Kasus
Perbaikan klinis belum dapat terlihat pada akhir masa intervensi, karena
membutuhkan waktu yang lama sesuai dengan patofisologi penyakit dan kerja sama
antara pasien, keluarga dan provider pelayanan kesehatan.
3.3 Kasus 3
Subject : Seorang wanita berusia 21 tahun. Dengan keluhan batuk sejak satu tahun
terakhir, kadang disertai batuk darah, suara serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas
disertai demam terutama sore. Penderita memiliki riwayat diare yang hilang timbul
sejak 4 bulan, pada mulut luka yang hilang timbul sejak enam bulan lalu.
Action :
Planning :
Tabel diatas adalah seharusnya untuk terapi kedepannya bagi pasien tersebut.
Tetapi pasien meninggal kecurigaan akibat sepsis.
Pemantauan Terapi
Penderita ini didiagnosa HIV sejak 3 tahun lalu, dan didiagnosa menderita TB
paru 10 bulan dan telah mendapat terapi obat anti tuberkulosa (OAT) selama 2 bulan,
namun berhenti mengkonsumsi OAT karena merasa keadaan membaik. TB
merupakan salah satu penyebab progresifitas HIV menjadi AIDS, kasus TB drop out
mengakibatkan progresivitas perjalanan HIV menjadi AIDS menjadi lebih cepat lagi,
pada kasus ini dapat dilihat pada hasil CD4 absolut = 6 sel /цL, Lymphocyte T helper
sangat kurang. Infeksi HIV pada CD4 dan makrofag menyebabkan tidak berfungsinya
cell mediated immune response sehingga daya tahan penderita HIV menurun, pada
kasus ini mengakibatkan penyebaran TB lebih progresif hematogen menyebabkan
timbulnya ekstra pulmonary TB di mulut dan labia mayora serta reaktifasi TB
dorman. Prioritas pertama terapi pada penderita HIV/AIDS dengan TB adalah dimulai
pengobatan TB serta kotrimoksazol profilaksis segera waktu diagnosis ditegakkan dan
selama pengobatan TB, selanjutnya pemberian Anti Retrovirus (ARV) bila CD4 < 200
sel/μl.
1) Pemakaian obat HIV/AIDS, spt zidovudin meningkatkan terjadinya efek toksik OAT.
2) Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat buffer
antasida
Pada penderita HIV/AIDS yang sedang menjalani terapi ARV dan OAT, perlu
diperhatikan efek samping obat yang tumpang tindih dan seringkali sulit ditentukan
penyebabnya. Efek samping OAT lebih sering terjadi pada penderita HIV/AIDS dengan TB
dibandingkan kelompok TB tanpa HIV. Sebaiknya OAT tidak dimulai bersama-sama dengan
ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi
paradoks (tanda eksaserbasi TB), jika penderita HIV/AIDS sudah dalam terapi ARV,
pemberian ARV tetap diteruskan. Pemberian OAT fase lanjutan secara intermitten pada kasus
TB deangan HIV, meningkatkan kemungkinan relaps dan gagal pengobatan 2 – 3 kali bila
dibandingkan dengan pemberian fase lanjutan secara tiap hari.
Pasien dengan koinfeksi HIV/AIDS+TB mempunyai viral load ± 1 log lebih besar
atau meningkat 6-7 kali daripada pasien yang tidak mengalami TB. Terjadinya peningkatan
kepadatan viral load ini akibat pengaruh Mikobakterium TB terhadap produksi sitokin (IL-1,
IL-6, TNF- α). Sitokin proinflamatori tersebut mengiduksi aktivasi NkKB sehingga terjadi
aktivasi provirus yang semula tenang pada fase laten, serta percepatan replikasi HIV. Hal ini
mengakibatkan perkembangan HIV menjadi AIDS lebih cepat. HIV juga meningkatkan
kerentanan terhadap TB dan meningkatkan progresifitas TB laten menjadi TB aktif. HIV
menyebabkan penurunan CD4 mengakibatkan sistem imun mendorong timbulnya TB, akibat
kegagalan mencegah perkembangan dan penyebaran MTB. Angka mortalitas pada koinfeksi
TB/HIV ± 4 kali lebih besar daripada pasien yang hanya mengalami TB saja.
Salah satu permasalahan dari TB dan AIDS ini adalah terjadinya multi drug resistance
(MDR), angka kematian pada penderita TB+AIDS dengan MDR yang tinggi (70% - 90%)
dalam waktu 4-16 minggu sejak diagnosis hingga meninggal, (Mulyadi dan Fitrika, 2010;
Dikromo, Antariksa, Nawas, 2011). Pada kasus ini seorang penderita HIV dan TB yang tidak
mendapat perawatan TB dengan adekuat mengakibatkan HIV/AIDS menjadi progresif
mengakibatkan infeksi opportunis lainnya, kondisi makin buruk dan penderita meninggal
dicurigai karena sepsis.
Kesimpulan Kasus
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
paru. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke orang
oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa atau
bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percian
dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ).Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus
menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering
terjadi yaitu batuk darah atau dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan
lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang
lebih dari sebulan.
Tuberkulosis paru
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Tuberkulosis ekstra paru
a. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
b. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat
Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
4.2 Saran
Semoga kita semua dapat lebih memahami dan mengetahui tentang penyakit
Tuberculosis (TBC) serta dapat meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta
dalam penanggulangan Tuberculosis (TBC).
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif (et.al). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. (edisi 3). Jakarta : Media
Aesculapius.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Alih bahasa oleh Agung Waluyo. Jakarta :
EGC.
Amalia, Fini. 2007. Penatalaksanaan Holistik pada Laki-laki Usia 27 Tahun dengan Gagal
Pengobatan Tuberkulosis Paru. J Medula UnilaVolume 7 Nomor 1.
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
Fadillah, Raissa Ulfah, dkk. 2016. Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada
Wanita Usia 30 Tahun. Volume 5. Universitas Lampung; Fakultas Kedokteran.
Mulyadi. Studi kasus: penderita HIV/AIDS yang dirawat dengan penyulit Tuberkulosis Paru
Volume II Nomor 2.
Aditama TY, dkk. 2006. Tuberculosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
PERPARI. Jakarta.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 2008.