Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH FARMASI KLINIK DAN RUMAH SAKIT

“TUBERKULOSIS”

Dosen : Dr. Dra. Refdanita, M. Si, Apt

Disusun Oleh :

NESYA ANABEL 15330084

AJENG ARIYA PRAHASTA D.K15330090

DEA SAFITRI FEBRIYANI 15330115

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim,

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan
dan ketabahan bagi hamba-Nya. Serta memberi ilmu pengetahuan yang banyak agar kita
tidak merasa kesulitan. Salawat serta salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah menyampaikan wahyu-Nya kepada hamba-Nya yang setia
sampai akhir zaman.

Makalah yang berjudul “Farmasi Klinik dan Rumah Sakit - Tuberkulosis “ ini,
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah wajib Farmasi Klinik dan Rumah Sakit di
Fakultas Farmasi Institut Sains dan Teknologi Nasional. Dalam penyusunan makalah ini
penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan pemikiran, serta dorongan dari berbagai
pihak, tetapi tidak luput dari kendala yang begitu banyak.

Akhir kata semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
penulis, Amin yarobbal ‘alamiin.

Jakarta, Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................2

1.3 Tujuan.....................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tuberkulosis..........................................................................................3

2.2 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis...........................................................................4

2.2.1 Tuberkulosis Paru............................................................................................4

2.2.2 Tuberkulosis Ekstra Paru.................................................................................4

2.3 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis.........................................................................5

2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Tuberkulosis..............................................................6

2.4.1 Kuman Tuberkulosis.....................................................................................6

2.4.2 Terjadinya Tuberkulosis................................................................................7

2.5 Gejala Penyakit Tuberkulosis.................................................................................9

2.5.1 Gejala Umum................................................................................................9

2.5.2 Gejala Khusus.............................................................................................10

2.6 Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis.............................................................10

2.6.1 Bahan pemeriksaan.....................................................................................10

2.6.2 Cara Pemeriksaan Laboratorium.................................................................11

2.7 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis..........................................................................11


2.7.1 Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa..............................................11

2.7.2 Diagnosis Tuberkulosis pada Anak-Anak...................................................12

2.8 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis.................................................................13

2.9 Faktor Risiko Tuberkulosis...................................................................................14

2.9.1 Faktor Predisposisi......................................................................................14

2.9.2 Faktor Pendukung.......................................................................................15

2.10 Tatalaksana Terapi Penyakit Tuberkulosis..........................................................16

2.10.1 Efek Samping Obat...................................................................................19

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Kasus 1..................................................................................................................21

3.2 Kasus 2..................................................................................................................25

3.3 Kasus 3..................................................................................................................29

3.4 Kesimpulan Kasus................................................................................................28

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan...........................................................................................................34

4.2 Saran.....................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................36
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis dimana dalam tahuntahun terakhir memperlihatkan
peningkatan dalam jumlah kasus baru maupun jumlah angka kematian yang disebabkan
oleh TB.

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, 10,4 juta orang
terdeteksi menderita TB dan 1,8 juta orang meninggal akibat penyakit ini, termasuk 0,4
juta diantaranya dalah orang dengan HIV. Lebih dari 95% kematian yang terjadi akibat
TB terjadi pada negara miskin dan berkembang. Indonesia merupakan satu dari enam
negara yang menyumbang 60% kasus baru penderita TB paru dengan urutan tepat
dibawah India, dan diikuti oleh Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan pada urutan
terakhir. Pada tahun 2015, sekitar 480.000 orang dari seluruh dunia mengalami Multi
Drug Resistant TB (MDR-TB).

Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di
seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal
jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.

Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan


bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab kematian,
sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999
WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000
penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens
rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat Tuberkulosis /
TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah penderita TBC paru
dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua
menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap
empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia.Sehingga kita harus
waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari penyakit tuberkulosis ?


2. Bagaimana klasifikasi penyakit tuberkulosis ?
3. Bagaimana pencegahan penyakit tuberkulosis ?
4. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis ?
5. Bagaimana gejala dari penyakit tuberkulosis ?
6. Bagaimana pemeriksaan penyakit tuberkulosis ?
7. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit tuberkulosis ?
8. Bagaimana cara penularan penyakit tuberkulosis ?
9. Apa saja faktor risiko tuberkulosis ?
10. Bagaimana tatalaksana terapi untuk penderita tuberkulosis ?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari penyakit tuberkulosis
2. Mengetahui klasifikasi penyakit tuberkulosis
3. Mengetahui bagaimana pencegahan penyakit tuberkulosis
4. Mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis
5. Mengetahui bagaimana gejala dari penyakit tuberkulosis
6. Mengetahui bagaimana pemeriksaan penyakit tuberkulosis
7. Mengetahui bagaimana cara mendiagnosa penyakit tuberkulosis
8. Mengetahui bagaimana cara penularan penyakit tuberkulosis
9. Mengetahui apa saja faktor risiko tuberkulosis
10. Mengetahui bagaimana tatalaksana terapi untuk penderita tuberkulosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang,
dan nodus limfe.

Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak,
tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa
tahun.

Kurang lebih 5 – 10% individu yang terinfeksi kuman TB akan menderita


penyakit TB paru dalam beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya tahan
tubuh (imunitas) yang rendah di antaranya karena gizi buruk atau menderita
HIV/AIDS.

Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki,


perempuan,miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah
dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap
tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar
dengan masalah TBC di dunia. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi
pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar
antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru.
2.2 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

2.2.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru


(parenkim paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak, menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif dan biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih spesimen dahak
hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT

b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto


rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif
rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk
berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan
gambar kerusakan paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Ditentukan
(dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.2.2 Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ


tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan lain-lain.

TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :
a. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat


Misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan
alat kelamin.

2.3 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis

Adapan tujuan dari pencegahan TBC, yaitu;


a. Menyembuhkan penderita.
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Menurunkan tingkat penularan.

Cara-cara pencegahan TBC sebagai berikut :


a. Saat batuk seharusnya menutupi mulutnya, dan apabila batuk lebih dari 3 minggu,
merasa sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa ke puskesmas atau ke
rumah sakit.
b. Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.
c. Membuang ludah di tempat yang tertutup, dan apabila ludahnya bercampur darah
segera dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.
d. Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan oleh
penderita.
e. Bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil harus diimunisasi dengan vaksin BCG.
Karena vaksin tersebut akan memberikan perlindungan yang amat bagus.

Sebenarnya seseorang bisa terhindar dari penyakit TBCdengan berpola hidup


yang sehat dan teratur. Diantaranya dengan makan makanan yang bergizi seimbang
sehingga daya tahan tubuh meningkat untuk membunuh kuman TB, tidur dan istirahat
yang cukup, tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba, lingkungan
yang bersih baik tempat tinggal dan disekitarnya, serta membuka jendela agar masuk
sinar matahari di semua ruangan rumah karena kuman TB akan mati bila terkena sinar
matahari.
Sistem pola hidup seperti itu diharapkan daya tubuh seseorang akan cukup
kuat untuk membersihkan perlindungan terhadap berbagai macam penyakit. Orang
yang benar-benar sehat meskipun ia diserang kuman TBC, diperkirakan tidak akan
mempan dan tidak akan menimbulkan gejala TBC.
Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit tuberkulosis,
mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi yang cukup, minum susu yang
telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga
dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis virulen serta menyarankan apabila ada
yang dicurigai sakit TB agar segera memeriksakan diri dan berobat sesuai aturan
sampai sembuh.

2.4 Faktor Penyebab Penyakit Tuberkulosis

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Berbagai karakter klinis unik
patogen ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak/lipid yang dimilikinya. Sel-
selnya membelah setiap 16 –20 jam. Kecepatan pembelahan ini termasuk lambat bila
dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang umumnya membelah setiap kurang dari
satu jam. Mikobakteria memiliki lapisan ganda membran luar lipid.

2.4.1 Kuman Tuberkulosis

Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) disebabkan oleh kuman TBC


(Mycobacterium tuberculosis) yang sebagian kuman TBC menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Gambar 2.4 Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robet Koch pada tahun


1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam
keadaan kering, tetapi dalam cairan mati dalam suhu 60ºC dalam 15-20 menit.
Fraksi protein basil tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan
lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor terjadinya
fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.
Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan
sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam Mycobacterium
tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam
susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa
berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC
terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini.
Perjalanan TBC setelah terinfeksi melalui udara. Bakteri juga dapat masuk ke
sistem pencernaan manusia melalui benda/bahan makanan yang
terkontaminasi oleh bakteri. Sehingga dapat menimbulkan asam lambung
meningkat dan dapat menjadikan infeksi lambung.

2.4.2 Pathogenesis Tuberkulosis

Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan


kuman TBC. Percikan dahak yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman
TBC berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman TBC ke kelenjar limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi


tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitasseluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita
TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Tanpa pengobatan, setelah lima
tahun, 50% dari penderita TBC akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri
dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25% sebagai “kasus kronik” yang tetap
menular.

Tuberkulosis Pasca Primer

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau


tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.
2.5 Gejala Penyakit Tuberkulosis

Gambar 2.5 Gejala Penyakit Tuberkulosis

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.

Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau
dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari sebulan.

2.5.1 Gejala Umum


1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam.
2. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang
timbul.
3. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
4. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
5. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
2.5.2 Gejala Khusus
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak – anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang - kejang.

2.6 Pemeriksan Laboratorium Tuberkulosis


2.6.1 Bahan Pemeriksaan
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diperhatikan waktu
pengambilan, tempat pemampungan, waktu penyimpanan dan cara pengiriman
bahan pemeriksaan. Pada pemeriksaan laboraiorium tuberkulosis ada beberapa
macam bahan pemeriksaan yaitu :
1. Sputum (dahak), harus benar – benar dahak, ingus juga bukan ludah.
Paling baik adalah sputum pagi hari pertama kali keluar. Kalau sukar
dapat sputum yang dikumpulkan selama 24 jam (tidak lebih 10 ml).
Tidak dianjurkan sputum yang dikeluarkan ditempat pemeriksaan.
2. Air Kemih, Urin pagi hari, pertama kali keluar, merupakan urin
pancaran tengah. Sebaiknya urin kateter
3. Air kuras lambung, Umumnya anak-anak atau penderita yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Tujuan dari kuras lambung untuk
mendapatkan dahak yang tertelan. Dilakukan pagi hari sebelum makan
dan harus cepat dikerjakan.
4. Bahan-bahan lain, misalnya nanah, cairan cerebrospinal, cairan pleura,
dan usapan tenggorokan.

2.6.2 Cara Pemeriksaan Laboratorium


1. Mikroskopik, dengan pewarnaan Ziehl-Nelsen dapat dilakukan
identifikasi bakteri tahan asam, dimana bakteri akan terbagi menjadi dua
golongan :
a. Bakteri tahan asam, adalah bakteri yang pada pengecatan ZN tetap
mengikat warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol,
sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Dibawah
mikroskop tampak bakteri berwarna merah dengan warna dasar
biru muda.
b. Bakteri tidak tahan asam, adalah bakteri yang pewarnaan ZN
warna pertama yang diberikan dilunturkan oleh asam dan alkohol,
sehingga bakteri akan mengikat warna kedua. Dibawah mikroskop
tampak bakteri berwarna biru dengan warna dasar biru yang lebih
muda lagi.
2. Kultur (biakan), Media yang biasa dipakai adalah media padat Lowenstein
Jesen. Dapat pula Middlebrook JH11, juga satu media padat. Untuk
perbenihan kaldu dapat dipakai Middlebrook JH9 dan JH12
3. Uji kepekaan kuman terhadap obat-obatan anti tuberkulosis, tujuan dari
pemeriksaan ini, mencari obat- obatan yang poten untuk terapi penyakit
tuberkulosis.

2.7 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis

Untuk mendiagnosis TBC, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama


di daerah paru/dada, lalu dapat meminta pemeriksaan tambahan berupa foto rontgen
dada, tes laboratorium untuk dahak dan darah, juga tes tuberkulin (mantoux/PPD).

2.7.1 Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa

Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain


adalah dengan menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman
Mycobacterium Tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis tuberkulosis
ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik,
rontgen dada, usapn BTA, kultur sputum, dan tes kulit tuberkulin.

Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3


spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) yaitu:

a. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali


berkunjung ke tempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC.
b. Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi
hari segera setelah bangun tidur.
c. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak
pagi ke tempat pengobatan.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3


spesimen dahak SPS hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
dahak SPS diulang. Bila hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita
didiagnosis menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak
mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas
memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur.
Pemeriksaan biakan/kultur memerlukan waktu yang cukup lama serta tidak
semua unit pelaksana memilikinya, sehingga jarang dilakukan.

2.7.2 Diagnosis Tuberkulosis pada Anak-Anak

TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-
14 tahun. Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC
dari bahan yang diambil dari penderita. Tetapi pada anak hal ini sangat sulit
dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan
atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain
melihat gejala umum TBC anak, seorang anak harus dicurigai menderita
tuberkulosis bila mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita
TBC BTA positif dan terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan
BCG (dalam 3-7 hari).

a. Uji Tuberkulin (Mantoux)


Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan
intrakutan). Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan
kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif
pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat pemberian
imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang.
b. Reaksi Cepat BCG
Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tubercolosis.

c. Foto Rontgen dada


Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto
biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau
underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar
kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang
mencurigai TBC adalah milier, atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura
dan atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila
ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus dicurigai
TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero-anterior) dan lateral.

2.8 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang
ke orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa
atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percian dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar menetap,
sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan.
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernapasan.

Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan,


kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui
saluran peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut.Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan,
lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh.

2.9 Faktor Risiko Tuberkulosis


Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan
suatu risiko dalam hal ini penyakit tertentu.Faktor risiko di sebut juga faktor penentu,
yaitu menentukan seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit.
Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan risiko
terserang suatu penyakit. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam kejadian
penyakit TBC antara lain:

2.9.1 Faktor Predisposisi

1. Umur.

Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak


dan pada usia remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5
tahun mempunyai risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di
Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun.

2. Pendidikan dan Pengetahuan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan


seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan
dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang
cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup
bersih dan sehat.

3. Perilaku

Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah


perilaku yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah
terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap
hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan,
merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal. Perilaku dapat
terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TBC
Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan
akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya.

4. Kontak Penderita
Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada
orang disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-
anak.Semakin sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA
positif maka semakin besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis,
apalagi ditunjang dengan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang
sehat.

5. Status Sosial Ekonomi


WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin.Walaupun tidak berhubungan
secara langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti
adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan ekses terhadap
pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Apabila status gizi
buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TBC Paru.
Menurut perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai
empat bulan waktu kerja dalam setahun.Mereka juga kehilangan
penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah
tangga.
2.9.2 Faktor Pendukung
1. Kepadatan Hunian

Penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat,


sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penakit infeksi, akan mudah
menularkan kepada anggota keluarga yang lain.

2. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan
tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan
rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga
merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya
bibit-bibit penyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya didalam rumah
akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata. Cahaya ini
sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam
rumah, seperti basil TBC, karena itu sangat penting rumah untuk
mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

3. Ventilasi dan Kelembaban Udara


Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran
udara didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen
yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi juga menyebabkan kelembaban di dalam ruangan meningkat.
Kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TBC.
Kuman TBC Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab.

2.10 Tatalaksana Terapi Penyakit Tuberkulosis

Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah:


menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah
kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TBC,
menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah perkembangan dan
penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).

Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian
besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini,


disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR 30 Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2


disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-
KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk


memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket
kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping
OAT KDT.

Tabel 1. Paduan OAT

Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.

Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi
minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada anak 6-
12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.

Pengobatan TBC pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama
dua bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat,
tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap
Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal
maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang, dan lain-
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TBC tertentu yaitu
TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC,
dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2 - 4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR.

Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus
disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 2. Dosis Kombinasi pada TB Anak

2.10.1 Efek Samping Obat


Beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi
obat TB bervariasi mulai dari ringan hingga berat. Efek samping ringan dapat
berupa berubahnya warna urine menjadi kemerahan yang diakibatkan oleh
rifampisin.
Efek samping lainnya dapat berupa nyeri sendi, tidak ada nafsu makan,
mual, kesemutan dan rasa terbakar di hati, gatal dan kemerahan dikulit
gangguan keseimbangan hingga kekuningan (ikterus). Jika pasien merasakan
hal-hal tersebut, pasien harus segera berkonsultasi dengan dokter untuk
memperoleh penanganan lebih lanjut, fase lanjutan. Dalam beberapa kasus
pengobatan bisa berlangsung hingga delapan bulan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus 1
“Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada Wanita Usia 30 Tahun”

Subject

Nn. S, 30 tahun dengan pendidikan terakhir SMA berdomisili di Jl. Karang


Raya Barat Nomor 17 bekerja sebagai cleaning service di perusahaan swasta. Pasien
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien datang ke Puskesmas Panjang
dengan keluhan batuk berdahak sejak ± satu bulan yang lalu dan tidak kunjung
sembuh.

Keluhan batuk disertai dengan dahak berwarna putih kental dan sulit
dikeluarkan.Keluhan batuk disertai darah disangkal. Batuk dirasakan semakin
memberat pada malam hari , keluhan terus-menerus, pasien juga mengeluh disertai
demam yang tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada malam hari. Pasien juga
mengaku penurunan nafsu makan sehingga pasien merasa lemas dan mengalami
penurunan berat badan.

Pasien pergi berobat ke dokter dan rumah sakit untuk mengobati keluhan
batuknya.Setelah mengkonsumsi obat yang diberikan keluhan batuk berkurang, tetapi
setelah obat habis keluhan kembali dirasakan.

Pasien merasa kebingungan mengenai pengobatan yang dijalani karena


berobat ke beberapa dokter dan diberikan obat yang berbeda. Akhirnya pasien berobat
kembali ke puskesmas dan dicek sputum. Hasilnya pasien dinyatakan menderita
tuberkulosis.

Pasien mengaku pernah kontak langsung dengan teman kerja yang memiliki
keluhan yang sama dan sedang menjalani pengobatan TB. Saat itu pasien masih tidak
banyak mengetahui mengenai TB paru dan bagaimana penularannya.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, tekanan


darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi nafas 30 x/menit, suhu
tubuh 36,9ºC, berat badan 48 kg, tinggi badan 155 cm, status gizi normal (Indeks

Masa Tubuh (IMT): 20,9 kg/ .

Status generalis didapatkan mata, telinga, hidung, kesan dalam batas


normal.Leher, JVP tidak meningkat, kesan dalam batas normal. Paru tampak adanya
retraksi pada otot pernapasan, gerakan dada dan fremitus taktil simetris, suara sonor
pada seluruh lapang paru, bunyi napas dasar vesikuler normal, didapatkan rhonki
basah halus pada kedua lapang paru, tidak didapatkan wheezing pada kedua lapang
paru. Jantung, batas kanan jantung pada linea sternalis kanan, batas jantung kiri tepat
pada linea midclavicula, ICS V, bunyi jantung I dan II murni reguler, tidak ada bunyi
jantung tambahan, kesan jantung normal. Abdomen, supel, tidak terdapat
organomegali ataupun ascites, kesan dalam batas normal. Status neurologis
didapatkan reflex fisiologis normal, reflek patologis (−). Rangsang raba normal.
Kekuatan otot 5/5 / 5/5. Pemeriksaan laboratorium pada pemeriksaan BTA SPS
didapatkan BTA +++.

Object
Pada pasien, Nn. S, ditegakkan diagnosis kasus baru TB paru karena
berdasarkan anamnesis, pasien mengalami batuk berdahak selama satu bulan, adanya
demam, penurunan berat badan, serta belum pernah mengonsumsi OAT. Teman
sekerja pasien mengalami keluhan yang sama. Tempat tinggal pasien yang kurang
bersih, halaman berupa tanah dan pasir, serta atap kamar belum di plavon yang
membuat debu di lantai merupakan pemicu terjadinya batuk.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya retraksi intercostal dan terdengar


bunyi ronchi basah halus.Pada pasien dilakukan pemeriksaan sputum BTA SPS dan
mendapatkan hasil +++.

Pada pasien dengan dugaan sakit TB dapat dilakukan beberapa pemeriksaan


penunjang, antara lain: radiologi (foto toraks) dan pemeriksaan bakteriologi dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquoer cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan
jaringan biopsi. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman dan
pemeriksaan penunjang lain seperti analisis cairan pleura, pemeriksaan histopatologi
jaringan, dan pemeriksaan darah.

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pasien didapatkan hasil BTA SPS
+++, dimana diagnosis TB paru BTA positif adalah bila :

a. Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau


b. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto
thoraks sesuai dengan gambaraan TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau
c. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.
tuberculosis positif.
Interprestasi BTA SPS +++ adalah ditemukaan > 10 BTA dalam satu lapang pandang.

Action
Di puskesmas pasien diberikan terapi farmakologis berupa :
a. Obat paket TB (Fixed Dose Combination Fixed Dose Combination (FDC))
b. Vit C

Planning
Di puskesmas pasien diberikan terapi farmakologis berupa obat paket TB
(Fixed Dose Combination Fixed Dose Combination (FDC)) tiga kali sehari dan vit C
dua kali sehari. FDC merupakan obat yang digunakan dalam pengembangan strategi
directly observed treatment short course (DOTS) untuk mengontrol epidemic TB dan
sudah merupakan rekomendasi dari WHO. FDC pada fase intensif dengan dosis
harian berisi 150 mg rifampisin, 75 mg isoniazid, 400 mg pirazinamid, dan 275 mg
etambutol. Dengan berat badan 38-54 kg, diberikan tiga tablet dalam sehari.

Pelaksanaan pembinaan pada pasien ini dilakukan dengan mengintervensi


pasien beserta keluarga sebanyak tiga kali, dimana dilakukan kunjungan pertama pada
tanggal 22 Januari 2016.Pada kunjungan keluarga pertama dilakukan pendekatan dan
perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan, diikuti
dengan anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah diderita. Dari hasil
kunjungan tersebut, sesuai konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan
pasien masih mengutamakan kuratif daripada preventif dan memiliki pengetahuan
yang kurang tentang penyakit-penyakit yang ia derita.
Kunjungan kedua dilakukan pada tanggal 26 Februari 2016, dengan tujuan
intervensi terhadap pasien.Pada kunjungan kedua ini juga dilakukan pemeriksaan
tanda vital, pemeriksaan fisik thorax, dan makroskopik dahak terhadap pasien.
Didapatkan TD 120/80 mmHg, RR 20 x/menit, nadi 88 x/menit, suhu 36,2ºC. Pada
pemeriksaan fisik masih terdapat retraksi dinding dada namun, tidak seberat saat
pertama kali diperiksa, dan juga bunyi ronki basah halus tidak terdengar seberat saat
pertama kali. Pasien diberikan intervensi dengan menggunakan media utama poster
dan leaflet.
Dalam hal ini ditekankan pada titik gaya hidup sehat berupa diet dan aktifitas
fisik yang benar dan baik, serta tidak lupa dalam minum obat pada penyakit TB.
Mengingat pasien juga memiliki keluarga yang setiap hari berkontak langsung dengan
pasien dan dapat menjadi salah satu factor resiko terkena penyakit TB. Intervensi ini
dilakukan dengan tujuan untuk merubah pola makan pasien yang tidak teratur, aktifitas
olahraga yang rutin, dan pola berpikir menganai penyakit TB meskipun untuk
merubah hal tersebut bukanlah hal yang dapat dilihat hasilnya dalam kurun waktu
yang singkat. Pasien juga diberi motivasi untuk mengikuti program kesehatan lain
seperti posyandu. Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut serta mendampingi
dan mendengarkan apa yang disampaikan pada pasien.
Edukasi yang diberikan berupa pola hidup bersih dan sehat, rumah yang bersih,
makanan yang sehat, pentingnya minum obat dan dampak bila tidak minum obat,
menghindari factor yang dapat memperberat, cara penularan penyakit, dan selalu
memakai alat pelindung diri. Dengan tujuan pasien minum obat secara teratur,
mengoreksi status gizi, dan dapat memutus rantai penyebaran TB. Berdasarkan index
broca pasien saat ini berada dalam kondisi berat badan yang normal yaitu 48 kg, dan
IMT didapatkan normal yaitu 20,9.
Kunjungan ketiga dilakukan pada tanggal enam Maret 2016, saat dilakukan
kunjungan pasien sekarang sudah pulang dari membantu orang tua di warung makan
dan menggunakan masker, pasien juga berkata bahwa keluhan sesak dan nyeri dada
sudah tidak ada. Pasien dan keluarganya juga sudah terlihat mulai menjalani gaya
hidup sehat meskipun belum sepenuhnya diterapkan. Pasien mengatakan bahwa ia
mulai makan tepat waktu, istirahat cukup, dan membereskan rumah serta membuka
pintu rumah saat pagi untuk pertukaran udara. Pasien juga mengatakan bahwa badanya
terasa lebih sehat.

Telah terjadi perubahan prilaku pada Nn. S. Perubahan perilaku pada Nn. S
untuk gaya hidup bersih dan sehat terlihat setelah pasien diberikan intervensi,
akhirnya pasien mengubah gaya hidupnya dengan pola makan yang sehat, tidak
merokok, menggunkaan masker, dan aktifitas latihan jasmani yang baik.
Pasien juga rutin datang ke puskesmas untuk mengambil obat, dan pasien
lebih aktif di kegiatan posyandu.Dalam kunjungan kali ini juga tetap dilakukan
motivasi kepada pasien dan keluarganya. Hal ini dilakukan agar pasien dan keluarga
senantiasa menerapkan gaya hidup sehat yang pada akhirnya meningkatkan kualitas
hidup pasien dan anggota keluarga lainnya.

3.2 Kasus 2

“Penatalaksanaan Holistik pada Laki-laki Usia 27 Tahun dengan Gagal


Pengobatan Tuberkulosis Paru”
Analisis SOAP

Subjek
Pada awal pengobatan pasien, Tn. N, 27 tahun, datang diantar oleh
kakaknya, Ny. A, dengan keluhan sesak napas dan batuk selama lebih dari 1
bulan yang tidak kunjung sembuh, batuk dirasakan semakin memberat pada
malam hari dan berdahak pada pagi harinya berwarna putih kental dan sulit
dikeluarkan. Keluhan batuk berdarah disangkal. Pasien juga mengeluhkan
batuknya yang disertai demam yang tidak terlalu tinggi dan berkeringat pada
malam hari. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan yang menurun sehingga
pasien merasa lemas dan mengalami penurunan berat badan.

Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal oleh pasien, pasien


tidak memiliki penyakit darah tinggi atau penyakit degeneratif. Pasien
menyangkal pernah kontak dengan penderita seperti ini sebelumnya.
Kemudian pasien diminta untuk melakukan tes BTA dan didapatkan hasil +3.
Setelah pasien dijelaskan mengenai penyakit TB, pasien mulai melakukan
pengobatan pada bulan November 2015.

Setelah melakukan pengobatan sekitar 1 bulan, pasien merasa keluhan


batuknya sudah jauh berkurang dan sudah tidak merasa sesak napas lagi.
Pasien juga masih rutin mengambil obat ke Puskesmas. Kemudian di
Puskesmas dilakukan pemeriksaan BTA ulang setelah memasuki bulan ke 2,
hasilnya adalah +1. Hingga bulan ke 3 pasien mengaku bahwa ia merasa
belum mengalami peningkatan nafsu makan. Pada bulan ke 4 pengobatan,
pasien mulai mengkhawatirkan berat badannya yang masih belum mengalami
peningkatan selama pengobatan.

Pada bulan ke 5 pengobatan yaitu bulan Maret 2016, pasien datang ke


Puskesmas Panjang diantar oleh adiknya, pasien datang dengan keluhan batuk
dan sesak napas yang kembali timbul pasien juga sudah dijadwalkan untuk
melakukan pemeriksaan BTA ulang. Setelah diperoleh hasilnya kembali
didapatkan BTA +1. Karena pada 3 kali pemeriksaan BTA tersebut selalu
didapatkan hasil BTA + maka pasien dinyatakan gagal pengobatan dan
melanjutkan pengobatan ke kategori II.

Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 15 tahun namun berhenti


sejak sakit yang dideritanya ini. Pasien tidak pernah melakukan olahraga.
Pasien kurang mengatur pola makan sehingga pasien tetap tidak mengalami
kenaikan berat badan dalam masa pengobatan.

Pada awal pengobatan, keluarga pasien mengetahui tentang penyakit


yang diderita pasien, namun mereka tidak terlalu mempedulikan pengobatan
pasien. Pasien mengaku pada awal pengobatan selalu meminum obatnya dan
kakak pasien selaku pengawas menelan obat (PMO) sering mengingatkan
pasien untuk meminum obat. Tetapi ternyata PMO yang dipilih merupakan
kakak pasien yang tidak tinggal serumah dengan pasien karena keluarga yang
tinggal serumah tidak ada yang bersedia menemani pasien ke puskesmas.

Pemilihan PMO yang tidak tinggal serumah tersebut menyebabkan


tidak adanya pengawasan langsung ketika pasien meminum obat sehingga
pasien sering lupa dan tidak teratur meminum obatnya. Setelah mulai
memasuki pengobatan kategori II, PMO yang dipilih adalah adik pasien yang
tinggal serumah dengan pasien. Anggota keluarga lain di rumah sudah mulai
mengingatkan pasien untuk meminum obatnya, namun hingga kini anggota
keluarga tidak ada yang mau melakukan pemeriksaan BTA karena mereka
mengaku mereka tidak memiliki keluhan kesehatan apapun.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan keadaaan umum


tampak sakit ringan, kesadaran composmentis, suhu 36,2oC, tekanan darah
120/80 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, frekuensi nafas 22 x/menit, berat
badan 40 kg, tinggi badan 170 cm, status gizi kurang (IMT :13,8).

Kepala, telinga, hidung, tenggorokan, mulut, leher, abdomen,


ektrimitas, neurologis semua dalam batas normal. Paru, gerak dada dan
fremitus taktil tidak simetris yaitu meningkat di paru kanan, pada perkusi
didapatkan suara sonor yang menurun di paru kanan, didapatkan ronkhi halus
pada auskultasi. Jantung, batas kanan jantung pada linea sternalis kanan, batas
kiri jantung tepat pada linea midclavicula, ICS 5, kesan batas jantung normal.
Abdomen, datar dan supel, tidak didapatkan organomegali ataupun asites,
kesan dalam batas normal. Ekstremitas tidak terdapat edema, kesan dalam
batas normal. Muskuloskeletal tidak didapatkan kelainan sendi, Range Of
Motion (ROM) dalam batas normal, kesan dalam batas normal, status
neurologis, reflek fisiologis normal. Reflek patologis tidak ada, pemeriksaan
motorik dan sensorik pasien tidak ada kelainan.

Object

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan BTA


dengan hasil BTA positif 3 pada awal pengobatan kategori I, BTA positif 1
pada bulan 2 pengobatan kategori I, BTA positif 1 pada bulan 5 pengobatan
kategori I (Awal pengobatan kategori II).

Action

Pasien didiagnosis dengan TB paru kasus gagal pengobatan dengan


penatalaksanaan kategori II Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu 3 tab 4FDC +
750 mg Streptomisin Injeksi. 4FDC terdiri dari rifampicin 150 mg, isoniazid
75 mg, pyrazinamid 400 mg, ethambutol 275 mg. Selain tatalaksana
medikamentosa, dilakukan penatalaksanaan dengan prinsip pelayanan dokter
keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine,
penatalaksaan tersebut yaitu memberikan penjelasan mengenai penyakit yang
sedang diderita oleh pasien, memberikan penjelasan tentang komplikasi dari
penyakit TB, memberikan penjelasan mengenai cara penularan penyakit TB,
memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang pentingnya
pengawasan dalam minum obat, memberikan penjelasan mengatur pola makan
yang baik bagi penderita TB dan olah raga teratur, memotivasi pasien untuk
meminum obat secara teratur dan memotivasi pasien untuk kontrol bila obat
akan habis.

Planning

Saat pasien datang ke Puskesmas Panjang tanggal 13 April 2016,


tatalaksana yang dilakukan adalah pemberian OAT selama 15 hari. Pasien juga
dianjurkan untuk minum obat teratur setiap hari dan kembali bila obat akan
habis, serta menerapkan pola makan makanan bergizi dan melakukan olah raga
secara teratur. Pasien juga diinformasikan bahwa pemeriksa akan melakukan
kunjungan ke rumah pasien.

Enam hari kemudian tanggal 19 April 2016, dilakukan kunjungan


rumah yang pertama. Dari hasil wawancara dengan pasien dan keluarga, dapat
disimpulkan bahwa pasien dan keluarga belum banyak mengetahui mengenai
penyakit TB Paru. Kemudian kepada keluarga dijelaskan bahwa penyakit TB
Paru merupakan penyakit yang menular. Sehingga yang berperan dalam
pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang
terkait, akan tetapi lebih penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan
keluarganya. Pengelolaan penyakit TB Paru meliputi terapi farmakologis dan
nonfarmakologis. Tujuan dari pengelolaan itu sendiri adalah menurunkan
resiko tertularnya bagi keluarga dan lingkungan sekitar.

Pembinaan kedua dilakukan pada tanggal 23 April 2016. Dari


anamnesis yang dilakukan diketahui bahwa saat ini batuk berdahak semakin
berkurang dan nafsu makan semakin membaik dari hari ke hari setelah
mengalami pengobatan. Menurut pasien, ia minum obat secara teratur setiap
hari. Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan hasilnya 120/80 mmHg,
berat badan 42 Kg.

Kunjungan rumah ketiga pada tanggal 28 April 2016. Dari anamnesa


diketahui bahwa keluhan batuk sudah tidak dirasakan lagi. Pasien sudah
mengerti tentang TB Paru yang bisa menular ke dalam keluarga dan
lingkungan sekitar rumah pasien. Dengan bantuan PMO yang baru, pasien
menjadi lebih rutin meminum obat setiap hari tanpa di ingatkan oleh anggota
keluarga lain. Pasien juga mulai menerapkan cara batuk yang baik serta
memakai penutup mulut seperti masker jika pasien mau keluar rumah. Pasien
juga melakukan olah raga ringan berupa jalan sehat setiap pagi selama kurang
lebih 30 menit.

Kesimpulan Kasus

Tatalaksana pada laki-laki usia 27 tahun dengan gagal pengobatan tuberkulosis


paru dilakukan dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna,
berbasis evidence based medicine. Setelah dilakukan penatalaksanaan berupa
intervensi mengenai penyakit TB dan komplikasinya terjadi perubahan sikap,
perilaku, dan pengetahuan Tn. N tentang penyakit TB yaitu kepatuhan pengambilan
dan minum OAT secara berkala pada Tn. N.

Perbaikan klinis belum dapat terlihat pada akhir masa intervensi, karena
membutuhkan waktu yang lama sesuai dengan patofisologi penyakit dan kerja sama
antara pasien, keluarga dan provider pelayanan kesehatan.

3.3 Kasus 3

“Penderita HIV/AIDSyang Dirawat dengan Penyulit Tuberkulosis Paru”

Subject : Seorang wanita berusia 21 tahun. Dengan keluhan batuk sejak satu tahun
terakhir, kadang disertai batuk darah, suara serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas
disertai demam terutama sore. Penderita memiliki riwayat diare yang hilang timbul
sejak 4 bulan, pada mulut luka yang hilang timbul sejak enam bulan lalu.

Object (Diagnosa Lab) :


Penderita memiliki riwayat diare yang hilang timbul sejak 4 bulan, pada mulut
luka yang hilang timbul sejak enam bulan lalu. Penderita telah didiagnosa HIV dan
TB paru 10 bulan lalu, namun berhenti minum obat anti tuberkulosa sejak 8 bulan
lalu. Pada pemeriksaan tanda vital tanggal 21 April 2011 didapatkan kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 20
kali per menit, suhu tubuh aksila 38,2 °C.
Pada pemeriksaan fisik kepala/leher didapatkan konjunktiva anemis, ulcus
pada lidah 2 x 1 cm, multiple. Pada pemeriksaan torak tanggal 21 April 2011
didapatkan suara nafas bronko vesikular dan bronkial pada kedua hemi torak.
Didapatkan ulkus labia majora. Hasil pemeriksaan Radiologi torak pada waktu
masuk didapatkan infiltrat pada kedua lapangan paru, terutama apek, dengan
kecurigaan suatu proses spesifik lesi sedang. Hasil laboratorium tanggal 21 April 2011
didapatkan Hb 7,8 gr/dl, Leukosit 11.000, Trombosit 735, gula darah sewaktu 120,
hapusan sputum BTA +. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, penderita ini
didiagnosa sebagai penderita HIV/AIDS dengan TB paru dan Candidiasis oral.

Action :

Dari anamnesa dan pemeriksaan lab, Penderita dirawat di ruang isolasi.


Dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk bantuan nutrisi, diberi O2 3 – 4
l/menit, infus RL /D5 / Aminofusin tiap 8 jam, tablet multivitamin C dan B complex
3x1 tablet, Parasetamol 3x500 mg, tranfusi PRC 2 kolf, Kotrimoksazole 1x960 mg,
Nystatin drops oral 4x2 ml, Fluconazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada labia
mayora / 8 jam, Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg. Direncanakan
pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, pemeriksaan kultur jamur pada
lesi oral, pemeriksaan sputum BTA / gram / jamur/ kultur sputum. Selama penderita
dirawat di rumah sakit dalam 4 hari pertama, diare berkurang, nyeri telan berkurang,
beberapa pemeriksaan belum didapat, hingga penderita meninggal dunia tanggal 2
Mei 2011 karena kecurigaan sepsis. Hasil laboratorium tanggal 24 – 04 - 2011 yang
diterima tanggal 04 – 05 – 2011 (setelah penderita meninggal) didapat : CD4 absolut
= 6 sel/цL, Lymphocyte T helper sangat kurang, CD4 % = 3 % ; T Lymphs % of
Lymphs (CD3 + /CD45) = 56 % (55- 84); T Lymphs (CD3+) Abs Cnt = 136 (690
-2540); T helper % of Lymphs (CD3+/CD45+) = 3 Lc (31 % - 60 %) ; T helper
Lymphs (CD3+/CD4+) Abs Cnt = 6 Lo (410 - 1590); Lymphocyte (CD 45+) Abs Cnt
243 cells/цL.

Planning :
Tabel diatas adalah seharusnya untuk terapi kedepannya bagi pasien tersebut.
Tetapi pasien meninggal kecurigaan akibat sepsis.

Pemantauan Terapi

Penderita ini didiagnosa HIV sejak 3 tahun lalu, dan didiagnosa menderita TB
paru 10 bulan dan telah mendapat terapi obat anti tuberkulosa (OAT) selama 2 bulan,
namun berhenti mengkonsumsi OAT karena merasa keadaan membaik. TB
merupakan salah satu penyebab progresifitas HIV menjadi AIDS, kasus TB drop out
mengakibatkan progresivitas perjalanan HIV menjadi AIDS menjadi lebih cepat lagi,
pada kasus ini dapat dilihat pada hasil CD4 absolut = 6 sel /цL, Lymphocyte T helper
sangat kurang. Infeksi HIV pada CD4 dan makrofag menyebabkan tidak berfungsinya
cell mediated immune response sehingga daya tahan penderita HIV menurun, pada
kasus ini mengakibatkan penyebaran TB lebih progresif hematogen menyebabkan
timbulnya ekstra pulmonary TB di mulut dan labia mayora serta reaktifasi TB
dorman. Prioritas pertama terapi pada penderita HIV/AIDS dengan TB adalah dimulai
pengobatan TB serta kotrimoksazol profilaksis segera waktu diagnosis ditegakkan dan
selama pengobatan TB, selanjutnya pemberian Anti Retrovirus (ARV) bila CD4 < 200
sel/μl.

Hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita ini didapatkan CD4 absolut = 6


sel/цL, Lymphocyte T helper sangat kurang, CD4 % = 3%; T Lymphs % of Lymphs
(CD3+/CD45) = 56 (55% - 84%); T Lymphs (CD3+) Abs Cnt = 136 (690 -2540); T helper%
of Lymphs (CD3+/CD45+) = 3 Lc (31% - 60%) ; T helper Lymphs (CD3 +/CD4+) Abs Cnt =
6 Lo (410 - 1590); Lymphocyte (CD 45+) Abs Cnt 243 cells / цL. Hasil menunjukkan status
imunologis penderita yang menurun secara progresif akibat penghentian OAT. Pemberian
Kotrimoksazole dengan dosis 960 mg pada penderita ini bertujuan untuk profilaksis terhadap
Pneumonitis Carinii Pneumonia dan Toksoplasmosis, selain itu pemberian Kotromoksazole
diberikan pada kasus HIV/AIDS dengan infeksi TB. Penderita ini belum diberikan ARV
karena masih memulai pengobatan TB, diberikan Ciprofloxacin 200 mg/12 jam untuk infeksi
sekunder. Pada kasus HIV/AIDS+TB, pemberian ARV direkomendasikan untuk semua
penderira HIV/AIDS +TB CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 < 350/mm3
. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua
HIV/AIDS + TB. Pada kasus ini ARV belum diberikan karena masih dalam fase awal
pemberian OAT.

Interaksi obat TB dengan ARV :

1) Pemakaian obat HIV/AIDS, spt zidovudin meningkatkan terjadinya efek toksik OAT.

2) Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat buffer
antasida

Pada penderita HIV/AIDS yang sedang menjalani terapi ARV dan OAT, perlu
diperhatikan efek samping obat yang tumpang tindih dan seringkali sulit ditentukan
penyebabnya. Efek samping OAT lebih sering terjadi pada penderita HIV/AIDS dengan TB
dibandingkan kelompok TB tanpa HIV. Sebaiknya OAT tidak dimulai bersama-sama dengan
ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi
paradoks (tanda eksaserbasi TB), jika penderita HIV/AIDS sudah dalam terapi ARV,
pemberian ARV tetap diteruskan. Pemberian OAT fase lanjutan secara intermitten pada kasus
TB deangan HIV, meningkatkan kemungkinan relaps dan gagal pengobatan 2 – 3 kali bila
dibandingkan dengan pemberian fase lanjutan secara tiap hari.

Pasien dengan koinfeksi HIV/AIDS+TB mempunyai viral load ± 1 log lebih besar
atau meningkat 6-7 kali daripada pasien yang tidak mengalami TB. Terjadinya peningkatan
kepadatan viral load ini akibat pengaruh Mikobakterium TB terhadap produksi sitokin (IL-1,
IL-6, TNF- α). Sitokin proinflamatori tersebut mengiduksi aktivasi NkKB sehingga terjadi
aktivasi provirus yang semula tenang pada fase laten, serta percepatan replikasi HIV. Hal ini
mengakibatkan perkembangan HIV menjadi AIDS lebih cepat. HIV juga meningkatkan
kerentanan terhadap TB dan meningkatkan progresifitas TB laten menjadi TB aktif. HIV
menyebabkan penurunan CD4 mengakibatkan sistem imun mendorong timbulnya TB, akibat
kegagalan mencegah perkembangan dan penyebaran MTB. Angka mortalitas pada koinfeksi
TB/HIV ± 4 kali lebih besar daripada pasien yang hanya mengalami TB saja.

Salah satu permasalahan dari TB dan AIDS ini adalah terjadinya multi drug resistance
(MDR), angka kematian pada penderita TB+AIDS dengan MDR yang tinggi (70% - 90%)
dalam waktu 4-16 minggu sejak diagnosis hingga meninggal, (Mulyadi dan Fitrika, 2010;
Dikromo, Antariksa, Nawas, 2011). Pada kasus ini seorang penderita HIV dan TB yang tidak
mendapat perawatan TB dengan adekuat mengakibatkan HIV/AIDS menjadi progresif
mengakibatkan infeksi opportunis lainnya, kondisi makin buruk dan penderita meninggal
dicurigai karena sepsis.

Kesimpulan Kasus

Telah dibahas seorang penderita HIV/AIDS+ TB ( TB paru kasus drop out)


keadaan ini mengakibatkan progresifitas HIV/AIDS + TB dengan infeksi opportunistik
lainnya. Penderita dirawat dan kembali mendapat obat anti Tuberkulosis dan untuk sementara
ARV belum diberikan, keadaan progresifitas HIV/AIDS + TB dan infeksi sekunder lainnya
yang memperberat mengakibatkan penderita meninggal kecurigaan akibat sepsis.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
paru. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke orang
oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa atau
bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percian
dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ).Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus
menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering
terjadi yaitu batuk darah atau dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan
lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang
lebih dari sebulan.

Klasifikasi penyakit tuberkulosis :

Tuberkulosis paru
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Tuberkulosis ekstra paru
a. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
b. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat

Tujuan Pencegahan Penyakit Tuberkulosis :


a. Menyembuhkan penderita
b. Mencegah kematian
c. Mencegah kekambuhan
d. Menurunkan tingkat penularan
Jenis OAT terdiri dari :
a. Isoniazid (H)
b. Rifampisin (R)
c. Pirazinamid (Z)
d. Etambutol (E)
e. Streptomisin (S).

Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis


di Indonesia :
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

4.2 Saran
Semoga kita semua dapat lebih memahami dan mengetahui tentang penyakit
Tuberculosis (TBC) serta dapat meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta
dalam penanggulangan Tuberculosis (TBC).

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman penaggulangan nasional TBC.


Jakarta: Depkes RI.

Mansjoer, Arif (et.al). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. (edisi 3). Jakarta : Media
Aesculapius.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Alih bahasa oleh Agung Waluyo. Jakarta :
EGC.

Amalia, Fini. 2007. Penatalaksanaan Holistik pada Laki-laki Usia 27 Tahun dengan Gagal
Pengobatan Tuberkulosis Paru. J Medula UnilaVolume 7 Nomor 1.

Barbara, C.L. 1996. Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses


keperawatan) Bandung.

Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.

Doengoes, M. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Prinsip-prinsip. Dasar. Jakarta :


PT. Rineka Cipta.

Fadillah, Raissa Ulfah, dkk. 2016. Penatalaksanaan Kasus Baru Tuberkulosis Paru pada
Wanita Usia 30 Tahun. Volume 5. Universitas Lampung; Fakultas Kedokteran.

Mulyadi. Studi kasus: penderita HIV/AIDS yang dirawat dengan penyulit Tuberkulosis Paru
Volume II Nomor 2.

Aditama TY, dkk. 2006. Tuberculosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
PERPARI. Jakarta.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 2008.

Anda mungkin juga menyukai