Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan Pada Lansia
Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan Pada Lansia
(INKONTINENSIA URIN)
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan
yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan
fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang
dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada
tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai
penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang
mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan
lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik
sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan
dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan
intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami
yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu
sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam
berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari
proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan
adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30%
pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga
karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani,
2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti
gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan),
dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
1. B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin
pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau menetap. Klien tidak
dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit
sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot
sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab
inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan
penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti
gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan),
dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
1. B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain:
melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk
kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka
tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan
tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila
terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan
yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan
yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi
medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi
non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang
terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik,
antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan
alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine
juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul (Darmojo, 2009).
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga berpengaruh terhadap kontrol
eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air
kecil karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik
menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada
manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
1. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol, dapat menghambat proses
miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah
yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih
sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi
menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk
mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap
infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).
1. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang
sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008).
1. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dati otot-otot
abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).
1. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami diare ataupun beser
(Asmadi, 2008).
1. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas
metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi
konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
1. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang, maupun nyaman. Oleh
karena itu berpangaruh pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).
1. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat Amerika Utara mengharapkan
agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang
digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).
1. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan, peningkatakan asupan cairan
dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat
glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).
1. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih,
berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi.
Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
1. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali pembedahan yang diakibatkan
oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres
juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya mempertahankan
volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
1. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin), antihistamin (sudafed),
antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).
1. D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor
fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di
medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf
parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung
kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan,
akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena
usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi
antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008) yaitu:
1. F. Pemeriksaan penunjang
2. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
1. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan
mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
1. Cysometry
digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot
destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
1. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung
kemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot
pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar,baik yang keluar secara
normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,seperti hiperplasia
prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan
adalah :
- Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)dengan teknik relaksasi
dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
- Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
- Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
- Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.
- Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c Terapi farmakologi
- Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan
retensi urethra.
- Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti
prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapinon farmakologis dan
farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic(pada wanita).
e Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula
digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers,
kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
-disfungsi neurologi
terhambat
1. G. Pathway
-diluar keinginan
Inkontinensia fungsional
-disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor
-pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.
Inkontinensia Total
1. H. Askep
2. a. Pengkajian
1. 1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan
jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
1. 2. Riwayat kesehatan
1. 3. Pemeriksaan fisik
a Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia
b Pemeriksaan Sistem
- B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada,
adakah kelainan pada perkusi.
- B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
- B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
- B4 (bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas
mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
- B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan
perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
- B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada
persendian.
1. 4. Data penunjang
a Urinalisis
b Hematuria.
c Poliuria
d Bakteriuria.
1. 5. Pemeriksaan Radiografi
b VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya
obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
1. 6. Kultur Urine
a Steril.
c Organisme.
1. b. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut:
1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang
lain atau takut bau urine
5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik berhubungan dengan deficit pengetahuan
tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan
gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.
1. c. Rencana Asuhan keperawatan
1. 1. Diagnosa I: Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
Tujuan :
Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan.
3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien
membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus
dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat,
dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.
8. 2. Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan :
Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah
perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari
waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
1. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung
tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila
melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
2. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya
2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
3. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
1. Tingkatkan masukan sari buah berri.
2. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk
mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh
dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
4. 3. Diagnosa 3 : Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
Tujuan :
1. Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
2. Kulit periostomal tetap utuh.
3. Suhu 37° C.
4. Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering
sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine.
Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.
2. 4. Diagnosa 4 : Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
Intervensi :
1. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan pada saat
pertama.
R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat tentang situasi individu dan
Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak sembuh, infeksi)
1. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan marah, depresi,
dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang dapat terjadi
setelah pulang.
R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa
perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu / membantu. Pasien
perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat menerimanya secara efektif.
1. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada
asuhan.
R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat
menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan
orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena
kanker.
1. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh stoma, gunakan
kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.
R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma
dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam penerimaan ini.
Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara
nyata menunjukkan peristaltic normal.
1. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri.
1. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi menghina atau reaksi
mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.
R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan menerima akan diri sendiri. Marah paling
sering ditunjukkan pada situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga), bukan pada
pemberi asuhan.
R: Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien dapat mengatasinya, meningkatkan harga
diri.
1. Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif cara pemuasan seksual.
R: Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan seksual setelah pembedahan, biasanya
karena pengabaian, kurang pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih dan prostat (diangkat
dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik
terbaru ada yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.
1. 5. Diagnosa 5 : Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan
dengan defisit pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan
pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas
Tujuan :
Intervensi :
1. Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan dan harapannya.
Perbaiki konsep yang salah.
R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan nyaman dan mendukung
diberikan.
2. Berikan informasi tentang:
- Sifat penyakit.
Bila informasi harus diberikan selama episode nyeri, pertahankan intruksi dan penjelasan singkat dan
sederhana. Berikan informasi lebih detail bila nyeri terkontrol.
R: Pengetahuan apa yang akan dirasakan membantu mengurangi ansietas, nyeri mempengaruhi prose belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan inkontinensia urin
pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal 15 Mei 2021
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika