Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN

TANGGUNG JAWAB AKIBAT TUBRUKAN KAPAL YANG MEMBAWA


KERUGIAN (STUDI KASUS: TUBRUKAN ANTARA KMP BAHUGA
JAYA DAN MT NORGAS CATHINKA)

ABIGAIL F C CHIQUITA
1306451660

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM SARJANA PARALEL
DEPOK
2016
DAFTAR ISI

Bab I . PENDAHULUAN 1

Bab II . PEMBAHASAN 4

Bab III . PENUTUP 14

DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki beribu-ribu pulau
dengan area teritori laut yang sangat luas. Daratan Indonesia seluas 1.904.569
km2 dan lautannya seluas 3.288.683 km2 yang membentang sepanjang
khatulistiwa dan terletak di antara benua Asia dan Australia serta di antara
Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia.1 Oleh sebab itu sarana perhubungan
laut menjadi hal yang sangat penting karena untuk menghubungkan antar kota
yang satu dengan kota lainnya terlebih pulau satu dengan pulau lainnya,
diperlukan suatu sistem pengangkutan untuk mencapai tujuan tersebut.

Angkutan adalah angkutan barang dari suatu tempat diterimanya barang


tersebut ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang yang
bersangkutan. 2 Sedangkan pengangkutan adalah kegiatan memindahkan barang
atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan selamat sampai tujuan.
Dengan demikian, maka kedua-duanya merupakan suatu proses, dimana
perpindahan itu dimulai dan dimana perpindahan itu diakhiri. Dalam arti sudah
dipastikan tempat penerimaan barang dan penyerahannya.

Dibandingkan dengan pengangkutan udara, keberadaan pengangkutan laut


memiliki harga yang relatif lebih murah sehingga pengangkutan laut selalu
diminati oleh masyarakat dan memiliki peranan yang penting sekali dalam
konteks pengangkutan nasional. Salah satu faktor penting dalam pelayaran adalah
kapal. Karena semua pelayaran pengangkutan, baik pengangkutan barang ataupun
penumpang pasti membutuhkan kapal sebagai pendukungnya. Selain dikarenakan
daya muat yang lebih besar dibandingkan dengan perahu tradisional, kapal juga
memiliki perlengkapan dan peralatan yang jauh lebih baik daripada perahu
tradisional. Sehingga keamanan dan kenyamanan pelayaran lebih terjamin.

Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun juga. Kecuali apabila
ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal ini dianggap meliputi segala alat
perlengkapannya. Sedangkan yang dimaksud dengan alat perlengkapan kapal
adalah segala benda yang bukan suatu bagian daripada kapal itu sendiri, namun
diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu. 3 Sedangkan

1
H. M. Iwan Gayo, Buku Pintar, seri senior, (Jakarta: Pustaka Warga Negara, 2002), hlm.
7.
2
Indonesia, UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 70 Tahun 2008, TBN No. 4297, Pasal 1
angka (10).
3
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel]. Diterjemahkan
oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnya Paramita, 2002, Pasal 309.

1
rumusan Pasal 1 angka (36) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
menegaskan, definisi kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu
yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik dan energi lainnya, ditarik
atau ditunda, termasuk kendaraarn yang berdaya dukung dinamis, kendaraan
dibawah permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak
berpindah.

Berdasarkan kebutuhan yang semakin besar akan sarana pengangkutan laut,


maka saat ini banyak sekali perusahaan milik negara maupun milik swasta yang
berpartisipasi dalam penyelenggaraan angkutan laut. Dengan banyaknya
perusahaan baik milik negara maupun swasta, persaingan untuk memperebutkan
pemakai jasa angkutan laut turut meningkat. Peningkatan aktifitas transportasi
secara nasional ini dapat berdampak semakin meningkatnya insiden dan
kecelakaan transportasi. Tahun 2014 lalu setidaknya ada 450 insiden dan
kecelakaan yang terjadi di lautan yang dinyatakan oleh Menteri Perhubungan
Ignatius Jonan dilansir pada detik.com.4

Dari Laporan Akhir (Final Report) Pekerjaan Kajian Analisis Trend


Kecelakaan Transportasi Laut Tahun 2003 - 2008, dapat diketahui jumlah
kecelakaan di Indonesia termasuk tinggi.5 Apabila terjadi kecelakaan kapal dapat
berakibat terhadap penumpang dan barang sehingga perlu diberikan pertolongan
dan penyelamatan dan selanjutnya akan menimbulkan kerugian bagi para pihak.

Salah satu penyebab terjadinya kecelakaan kapal ialah karena adanya


tubrukan kapal. Tubrukan kapal adalah benturan, sentuhan, dan menabrak dua
kapal atau lebih satu sama lain. 6 Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk
membahas terkait tanggung jawab akibat tubrukan kapal yang membawa kerugian
melalui studi kasus yang diangkat oleh penulis.

1.2 Perumusan Masalah


Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah:
1. Bagaimana pertanggungjawaban dalam kasus tubrukan antara
KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka?
2. Bagaimana penyelesaian tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan
MT Norgas Cathinka?

4
Angling Adhitya Purbaya, “Menhub: 450 Insiden dan Kecelakaan Terjadi di Laut
Indonesia Tahun 2014,“ http://news.detik.com/berita/2940502/menhub-450-insiden-dan-
kecelakaan-terjadi-di-laut-indonesia-tahun-2014, diunduh pada 29 April 2016.
5
http://kemhubri.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/Laut/Publications/Laporan%20Analisis%20Tren
d%20Kecelakaan%20Laut%202003-2008.pdf, diunduh pada 29 April 2016.
6
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel]. Diterjemahkan
oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnya Paramita, 2002, Pasal 534 ayat (2).

2
3. Bagaimana penyelesaian ganti rugi korban tubrukan antara KMP
Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pertanggungjawaban dalam kasus tubrukan antara
KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka.
2. Mengetahui penyelesaian tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan
MT Norgas Cathinka.
3. Mengetahui penyelesaian ganti rugi korban tubrukan antara KMP
Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathink

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam-macam Tubrukan Kapal


Penubrukan ialah tubrukan atau penyentuhan antara kapal-kapal satu sama
lain. Terdapat dua macam penubrukan kapal:
1. Tubrukan kapal yang sesungguhnya (eigenlijke aanvaring)
Ialah suatu tubrukan atau persentuhan kapal yang terjadi antara kapal yang
satu dengan kapal yang lain (Pasal 534 ayat (2) KUHD). Yang dimaksud
dengan kapal haruslah diartikan seperti rumusan Pasal 309 KUHD ayat (1)
– secara luas.
2. Tubrukan kapal yang tidak sesungguhnya (coneigenlijke aanvaring)
Ialah tubrukan kapal atau persentuhan kapal yang terjadi antara kapal yang
satu tapi yang lainnya bukan kapal melainkan jembatan.

2.2 Kecelakaan Kapal


Pengertian antara kapal karam dan kapal terdampar tidak diberikan dalam
KUHD, tetapi diatur dalam satu bagian (title VII). Kapal karam, kapal pecah, dan
kapal terdampar meskipun secara yuridis memiliki akibat hukum yang sama, yaitu
dalam pertolongan, penyelamatan, dan penemuan barang-barang di laut.
Dalam KUHD hanya dibedakan dalam hal tempat kejadian di tanah pantai
atau di bagian luar (lepas pantai, di laut). Dengan terjadinya peristiwa tubrukan,
karam, pecah, dan terdampar perlu diambil tindakan-tindakan pertolongan terhadap
penumpang dan penyelamatan barang-barang. Pertolongan orang dan
penyelamatan barang diatur dalam KUHD dan Konvensi Internasional di Bruseel
pada tanggal 27 Mei 1967, yaitu International Convention for The Unification od
Certain Rules of Law Relating to Asstance and Salvage at Sea.
Kecelakaan kapal dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yaitu
pemilik kapal, penumpang dan pemilik barang. Oleh karena itu perlu diatur
kerugian macam apa yang timbul dan siapa yang memikul tanggung jawab.
Menurut KUHD kerugian yang muncul dari pelayaran ada dua macam yaitu
pertama, kerugian umum (avarey grosse) ialah kerugian laut yang bermanfaat bagi
kapal dan muatan. Kedua, kerugian khusus ialah kerugian yang hanya meliputi
kapal itu sendiri atau barang-barang muatan itu sendiri (Pasal 698-Pasal 701
KUHD).

2.3 Tanggung Jawab untuk Mengganti Kerugian


Tanggung jawab untuk mengganti kerugian:
1. Apabila timbulnya tubrukan kapal karena:
a. Kebetulan (toeval)
b. Overmacht (keadaan memaksa)

4
c. Adanya sifat keragu-raguan tentang terjadinya tabrakan (atau
yang menyebabkan terjadinya tubrukan)
Maka dalam ketiga hal tersebut di atas tidak ada pihak yang salah.
Dan oleh karena tidak ada yang salah, maka dengan ini dipikul
mereka yang menderitanya (Pasal 535 KUHD).
2. Apabila timbulnya tubrukan disebabkan karena adanya kesalahan
pada salah satu pihak atau adanya kesalahan pada kapal lain, maka
pihak pengusaha kapal yang berbuat salah satu itu harus bertanggung
jawab untuk seluruh kerugian (Pasal 536 KUHD).
3. Apabila terjadinya tubrukan kapal itu karena adanya kesalahan dari
kedua belah pihak (schuld van wederjide), maka para pengusaha
kapal dari masing-masing kapal yang bertabrakan itu harus
bertanggung jawab, maisng-masing seimbang dengan beratnya
kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh kedua belah pihak (Pasal
537 KUHD).

2.4 Kasus Posisi


KMP Bahuga Jaya berangkat dari dermaga 3 Pelabuhan Merak Pada 26
September 2012 menuju Bakauheni. Pada saat yang bersamaan, MT Norgas
Cathinka juga sedang dalam perjalanannya melintasi Selat Sunda menuju
Singapura. Pada hari tersebut Nahkoda MT Norgas Cathinka, Ernesto,
melimpahkan tanggung jawabnya kepada Mualim yang bernama Jibing. Lalu,
Ernesto izin pamit untuk istirahat.

Saat mengendalikan kapal, Jibing memilih menggunakan kemudi otomatis


karena ia tahu kalau perairan Selat Sunda terhitung luas dan jarang kapal yang
melintas. Selain itu, kemudi otomatis lebih akurat ketimbang manual. Jibing juga
memilih mematikan alarm atau sensor pendeteksi tubrukan supaya suaranya tidak
mengganggu. Jibing juga mengandalkan pengamatan visualnya untuk melihat
sekeliling. Hal itu dilakukan karena kondisi cuaca saat itu cerah.

Awalnya tak ada masalah. Ketika pada jarak 3,5 nautical mile, Jibing
mengetahui keberadaan Bahuga Jaya. Satu nautical mile setara dengan 1,852
kilometer atau sekitar 18 kali panjang lapangan sepak bola. Saat itu ia belum
mengetahui risiko tubrukan sehingga ia tidak melakukan tindakan apa pun.

Ketika jarak Norgas dan Bahuga tinggal 1,5 nautical mile, baru Jibing
mengubah arah kapal ke kanan sekitar lima derajat karena melihat ada risiko
tubrukan. Tapi, ia tetap tak melepas kemudi otomatis.

KMP Bahuga Jaya yang sudah mengetahui ada risiko tubrukan coba
mengontak MT Norgas. Akan tetapi, Dua kali mengontak tak ada tanggapan.
KMP Bahuga Jaya lalu berinisiatif memutar kemudi ke arah kiri 20 derajat. Saat

5
jarak tersisa 0,5 nautical mile dan risiko tubrukan makin tinggi, Ji bing mematikan
kendali otomatis dan mengubah arah kapal ke kanan hingga lebih dari 15 derajat.
Namun terlambat, KMP Norgas terlanjur bertubrukan dengan KMP Bahuga Jaya.
Setelah tubrukan, Ji bing baru memerintahkan awak lain untuk memanggil
nakhoda Ernesto.

Ernesto yang diberitahu MT Norgas baru tertabrak, lantas mengecek kondisi


MT Norgas dan awak serta muatannya. Ernesto memutuskan tidak membantu
KMP Bahuga Jaya karena ia melihat sudah banyak kapal lain yang menolong
KMP Bahuga Jaya. Pertimbangan lain, Ernesto juga tak mau ambil risiko
membahayakan kapalnya sendiri dan kapal-kapal lain karena muatan MT Norgas
adalah barang berbahaya.

2.5 Pertanggungjawaban dalam Kasus Tubrukan antara KMP Bahuga


Jaya dan MT Norgas Cathinka
Di atas kapal, terdapat beberapa jabatan, diantaranya, Nahkoda (Kapten
Kapal, Mualim (Perwira Deck), Masinis (Perwira Mesin), Bosun (Juru
Serang/Mandor Deck), Juru Mudi, Juru Minyak, Koki dan Pelayan. Adalah
seorang Nahkoda/Kapten Kapal yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan
kapal, crew, lingkungan dan cargo yang dibawanya. Dan seorang Nahkoda
memiliki otoritas penuh untuk mengambil segala macam tindakan untuk tetap
aman. Hal ini karena hierarki di kapal sudah baku, walaupun pada saat kejadian
Nahkoda tidak berada di anjungan, hanya ada Mualim Jaga dan Juru Mudi.

Tabrakan antara KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka merupakan


tubrukan yang sesungguhnya yaitu suatu tubrukan atau persentuhan kapal yang
terjadi antara kapal yang satu dengan kapal yang lain sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 534 ayat (2) KUHD.

Penulis akan mencoba menganalisa kasus tubrukan yang terjadi di Selat


Sunda, berdasarkan Collision Regulation (International Regulations for
Preventing Collisions at Sea) atau yang di kenal di Indonesia dengan sebutan
P2TL (Peraturan tentang Pencegahan Tubrukan di Laut) antara KM (Kapal
Motoor) Bahuga Jaya dengan MT (Motoor Tanker) Norgas Cathinka.

Tabrakan yang terjadi antara MT Norgas Cathinka dan KMP Bahuga Jaya
disebabkan oleh kesalahan manusia (human error). Dugaan tersebut terindikasi
dari tindakan yang dilakukan mualim kapal. Dalam Peraturan Pencegahan
Tubrukan di Laut (P2TL) 1972, atau Collision Regulation 1972 International
Maritime Organization (IMO), kapal yang melihat di sisi kanannya ada kapal lain
wajib menghindar. Dalam sebuah kapal lampu sisi kiri merah, kanan hijau, artinya
pelaut pantang belok ke kiri. Dalam posisi kecelakaan tersebut, MT Norgas dinilai

6
bergerak benar ke kanan tetapi kemudian menabrak lambung kanan KMP Bahuga
Jaya yang berbelok ke kiri. Menurut Collisison Regulation 1972, seharusnya kapal
di manuverkan ke kanan sehingga banyak tudingan kesalahan prosedur dan
operasional yang dilakukan KMP Bahuga Jaya yang malah melaju ke kiri. Sahad
Maruli Tua Manurung, nahkoda kapal Bahuga, mengatakan di samping kanan ada
kapal lain begitu juga di belakang sedangkan di depan ada kapal tanker MT
Norgas, menurut aturan internasional keputusan itu diperbolehkan untuk
menghindari tabrakan.

Mualim I MT Norgas Chantika, Su Jibing, telah lalai tidak mengikuti aturan


16 juncto aturan 8 huruf a, b, d Collision Regulation 1972. Aturan 16. Collision
Regulation 1972 berbunyi:
Every vessel which is directed to keep out of the way of another vessel shall,
so far as possible, take early and substantial action to keep well clear.
Intinya, lakukan tindakan sedini mungkin dan tegas dengan mengubah
haluan yang besar agar terpantau melakukan perpindahan haluan.

Jibing tidak melakukan tindakan sedini mungkin dan tidak tegas. Ia baru
mengubah arah kapal ke kanan sekitar lima derajat ketika jarak Norgas dan
Bahuga tinggal 1,5 nautical mile karena melihat ada risiko tubrukan. Tapi, ia tetap
tak melepas kemudi otomatis. MT Norgas telah dihubungi oleh Bahuga Jaya
sebanyak dua kali akan tetapi tidak menjawab. Bahuga Jaya lalu berinisiatif
memutar kemudi ke arah kiri 20 derajat. Saat jarak tersisa 0,5 nautical mile dan
risiko tubrukan makin tinggi, Jibing mematikan kendali otomatis dan mengubah
arah kapal ke kanan hingga lebih dari 15 derajat. Namun terlambat, MT Norgas
terlanjur bertubrukan dengan Bahuga Jaya.

Kemudian aturan 8 Collision Regulation 1972 berbunyi:


“(a) Setiap tindakan yang diambil untuk menghindari tubrukan, harus
dilakukan sesuai dengan aturan ini, jika keadaan mengizinkan harus
dilaksanakan dengan tegas, dilakukan dalam waktu yang cukup dan benar-
benar memperhatikan dengan seksama akan syarat-syarat kepelautan yang
baik.

(b) Setiap perubahan haluan dan atau kecepatan untuk menghindari


tubrukan, jika keadaan mengizinkan harus jelas dan nyata terhadap kapal
lain yang sedang melakukan pengamatan dengan penglihatan atau dengan
radar, sedangkan perubahan-perubahan kecil dari haluan dan/atau kecepatan
harus dihindari.

(d) Tindakan yang dilakukan untuk menghindari tubrukan dengan kapal lain
harus sedemikian rupa sehingga dapat dilewati pada jarak yang aman.
Ketepatan dari tindakan itu harus dikaji dengan seksama sampai kapal yang

7
lain dapat terlewati dengan bebas dan aman.

(e) Jika diperlukan untuk menghindari tubrukan atau untuk memberikan


lebih banyak waktu dalam menilai keadaan, kapal harus mengurangi
kecepatannya atau menghilangkan seluruh kecpatannya dengan
memberhentikan atau meletakkan mesinnya dalam kedudukan mundur.”
Ernesto selaku nakhoda MT Norgas Cathinka yang bertabrakan dengan
KMP Bahuga Jaya juga dapat dipersalahkan karena tidak berupaya memberikan
pertolongan terhadap para korban penumpang KMP Bahuga Jaya yang tenggelam.
Tindakan tersebut melanggar Pasal 332 UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Di
mana dijelaskan, setiap nakhoda kapal yang berlayar wajib melakukan upaya
pertolongan terhadap korban di laut. Padahal, MT Norgas Cathinka yang
bertabrakan dengan KMP Bahuga Jaya, dilengkapi berbagai alat keselamatan.

Setelah tubrukan terjadi, nakhoda kapal MT Norgas Ernesto,


memerintahkan anak buah kapalnya memeriksa kondisi kapal. Namun, Ernesto
justru tidak memerintahkan awak kapalnya untuk menolong korban penumpang
KMP Bahuga Jaya yang tabrukan dengan MT Norgas Cathinka.

Ernesto juga tidak berupaya memberikan informasi tentang tabrukan yang


terjadi antara MT Norgas Cathinka dengan KMP Bahuga Jaya kepada otoritas
Pelabuhan Merak maupun otoritas Pelabuhan Bakauheni, serta kepada kapal lain
yang saat itu sedang berlayar di perairan Selat Sunda.

2.6 Penyelesaian Kasus Tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan MT


Norgas Cathinka
Pertanggung jawaban atas tenggelamnya kapal atau terjadinya kecelakaan
kapal lainnya memerlukan penanganan melalui peraturan perundang-undangan
atau lembaga-lembaga yang agak lebih istimewa jika dibandingkan dengan
kecelakaan transportasi darat. Lembaga yang berkompeten menangani kecelakaan
kapal atau pelayaran Indonesia adalah Mahkamah Pelayaran.

Keberadaan Mahkamah Pelayaran di Indonesia bermula dari pembentukan


Raad van Tucht atau ”Dewan Tata Tertib” yang ditetapkan dengan Ordonanntie
Nomor 119 Tahun 1873. op den Raad Voor de Scheepvaart, Staatsblad 215
Tahun 1934, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 April 1938 (Staatsblad
Nomor 2 Tahun 1938). Kedudukan Raad Voor de Scheepvaart berdasarkan
ordonansi 1938 tersebut adalah sebagai lembaga pemeriksa kecelakaan pelayaran
dan sekaligus juga sebagai sebuah pengadilan khusus pelayaran.

Pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi Mahkamah Pelayaran hingga


saat ini masih tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan nasional

8
Indonesia. Beberapa peraturan yang memuat pengaturan tentang Mahkamah
Pelayaran dapat disebutkan, antara lain:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan


Kecelakaan Kapal;
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998
Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal;
c. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan;
d. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pasal 1 angka (58) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
mengemukakan bahwa Mahkamah Pelayaran adalah panel ahli yang berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang bertugas untuk melakukan
pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui
sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal dan/atau menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang
dilakukan oleh Nakhoda atau pimpinan kapal dan/atau Perwira Kapal dalam
kaitan terjadinya kecelakaan kapal. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian akan
dipakai sebagai pedoman langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kapal dengan sebab-sebab kecelakaan yang sama. Di
samping itu, pemeriksaan dimaksudkan sebagai suatu bentuk pembinaan dan
pengawasan bagi tenaga profesi kepelautan.

Jika melihat kepada aturan-aturan yang melandasi Mahkamah Pelayaran,


Mahkamah Pelayaran saat ini bukan merupakan badan peradilan (yudikatif), akan
tetapi merupakan bagian dari badan eksekutif atau pemerintah yaitu Kementrian
Perhubungan. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 250 UU No. 17 Tahun
2008 Mahkamah Pelayaran dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Menteri.
Menteri di sini ialah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pelayaran (Pasal 1 angka (58)).

Dengan demikian, sekalipun Mahkamah Pelayaran menyandang nama


“Mahkamah“ yang kurang lebih berarti “peradilan“ (tribunal), lembaga ini tidak
memiliki yurisdiksi untuk memutus perkara yang berkaitan dengan aspek
keperdataan (seperti tanggung jawab pengangkut, ganti rugi atau kompensasi
ekonomi) atau aspek pidana, sekalipun timbul dalam kaitan dengan kecelakaan
kapal, karena masalah-masalah ini merupakan yurisdiksi Peradilan Umum.

Pemeriksaan Mahkamah Pelayaran dapat digunakan oleh seseorang atau


badan Hukum Perdata yang tidak puas terhadap keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara (beschiking), dalam hal ini keadaan atau kondisi dalam bidang
pelayaran.

Bila hal ini dikaitkan dengan Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang

9
Hukum Acara Pidana, putusan oleh Mahkamah Pelayaran merupakan suatu alat
bukti yang sah. Karena dapat dimasukkan dalam kategori alat bukti, yaitu alat
bukti surat (Pasal 184 KUHAP), sehingga dapat dipergunakan di muka
pengadilan. Di dalam kecelakaan kapal, jika didalam penyelidikan ditemukan
adanya dugaan kelalaian atau eskalahan yang bersifat prosedural/administratif
menyangkut perizinan kapal dan ad mniistratif lainnya, maka pihak yang dapat
dimintai pertanggung jawaban adalah pengusaha kapal atau perusahaan pelayaran
(vicarious liability), dimana suatu pihak dimintai pertanggung jawaban atas
kesalahan yang bukan secara langsung dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan jika
ditemukan dugaan adanya kelalaian pada saat beroperasinya kapal tersebut
sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan, maka pihak yang dapat
dipertanggung jawabkan atas kecelakaan tersebut adalah Nakhoda kapal dan/atau
awak kapal (strict liability) karena terdawa langsung dimintai pertanggung
jawaban atas kesalahan yang diperbuat.

Di dalam kasus ini, Chief Officer MT Norgas Chantika Su Ji bing dalam


keputusan Departemen Perhubungan Mahkamah Pelayaran Nomor
HK.2010/34/XII/MT.12 tentang kecelakaan kapal antara MT Norgas Chantika
dengan KMP Bahuga di perairan Selat Sunda pada 26 September 2012 secara
tegas dinilai telah lalai. Isi keputusan tersebut memutuskan Mualim I MT Norgas
Chantika telah lalai tidak mengikuti aturan 16 juncto aturan 8 huruf a, b, d dan e
peraturan pencegahan tubrukan di laut (P2TL/COLREG) tahun 1972. Juga
diterangkan dalam putusan tersebut bahwa Chief Officer Su Jibing dengan nomor
sertifikat Chief Mate JGA112201008611 tahun 2010 yang dikeluarkan Peoples
Republic Of China agar dihukum sesuai dengan hukum negara yang
menandatangani sertifikat tersebut melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta.
Sedangkan nahkoda kedua kapal dinyatakan tidak bersalah karena sudah
menyerahkan tanggung jawabnya kepada Mualim I masing-masing kapal.

Selanjutnya, upaya hukum tetap dilakukan dengan melimpahkan perkara


kepada Kejaksaan Tinggi Lampung. Kejaksaan Tinggi Lampung telah menerima
putusan sidang tabrakan KMP Bahuga dengan MT Norgas Chantika, dari
Mahkamah Pelayaran pada 26 Desember 2012. Jaksa Penuntut Umum dari
Kejaksaan Tinggi Lampung mendakwa Ernesto Silvania Lat Jr dengan Pasal 359
KUHP, Pasal 330 dan Pasal 332 Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran.

Dijelaskan dalam Pasal 332 UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran bahwa


setiap nakhoda kapal yang berlayar wajib melakukan upaya pertolongan terhadap
korban di laut. Padahal, menurut Jaksa Penuntut Umum, MT Norgas Cathinka
yang bertabrakan dengan KMP Bahuga Jaya, dilengkapi berbagai alat
keselamatan.

10
Lalu, Jaksa Penuntut Umum juga menuntut Ernesto Silvania Lat Jr,
nakhoda kapal MT Norgas Cathinka, tujuh bulan penjara dan denda Rp 5 juta
subsider 3 bulan penjara, dipotong masa tahanan. Su Ji Bing juga dituntut pidana
selama satu tahun.

Hakim Pengadilan Negeri Kalianda pada 8 Mei 2013 dalam putusannya


menilai Ernesto tidak terbukti bersalah dalam kecelakaan yang merenggut 7 jiwa
pada 26 September 2012 lalu. "Menyatakan terdakwa Lat Ernesto Junior Silvania
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan
itu bukan merupakan suatu tindak pidana, sebagaimana dalam dakwaan jaksa,"
kata Ketua Majelis Hakim, Afit Rofiudin.

Menurut majelis hakim dakwaan jaksa yang disusun secara alternatif tidak
terbukti di persidangan. Jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan tindak
pidana dalam Pasal 359 KUHP, Pasal 330 dan Pasal 332 Undang-undang Nomor
17 tahun 2008 tentang Pelayaran. "Unsur kelalaian tidak bisa dibuktikan karena
terdakwa yang pada saat peristiwa terjadi sudah mendelegasikan kepada mualim
satu yaitu Su Ji bing dan ada upaya untuk menghindari tabrakan," katanya.
Terdakwa Su Ji Bing juga dibebaskan dari seluruh dakwaan Jaksa Penuntut
Umum.

2.7 Penyelesaian Ganti Rugi Korban Tubrukan antara KMP Bahuga


Jaya dan MT Norgas Cathinka

Akibat terjadi kecelakaan-kecelakaan tersebut sudah tentu adalah


timbulnya kerugian material, fisik, hilangnya mata pencaharian, hingga
kehilangan jiwa. Bila menurut hukum pengangkut bertanggung jawab atas
kecelakaan tersebut, maka pengangkut harus membayar ganti rugi kepada
penumpang maupun non- penumpang yang mengalami kecelakaan. Namun
apabila kecelakaan angkutan laut tersebut disebabkan oleh hal-hal teknis yang
tidak disengaja atau bukan kelalaian serta tidak mungkin dihindarkan oleh pihak
penyelenggara pengangkutan, maka penyelenggara pengangkutan dapat bebas dari
tanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada penumpang yang menjadi
korban kecelakaan.7

Dari segi kemanusiaan dan perikemanusiaan, para penumpang yang


menjadi korban itu perlu dibantu biaya pengobatan serta santunan terhadap yang
meninggal diberikan kepada ahli warisnya. Maka dari itu, dalam rangka untuk
memberikan perlindungan dan meringankan penderitaan para korban kecelakaan

7
Radiks Purba, Asuransi Angkutan Laut, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm.330.

11
alat angkutan penumpang umum termasuk juga di dalamnya korban kecelakaan
angkutan laut, pemerintah telah membuat Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964
tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (selanjutnya disebut
UU No. 33 Tahun 1964). Sesuai konsiderannya, Undang-undang ini dibuat
dengan tujuan untuk memberikan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
yang menggunakan alat transportasi umum. Jaminan sosial merupakan suatu
penerapan perjanjian asuransi yang diberikan sebagai upaya untuk meringankan
resiko yang dialami oleh masyarakat dan bersifat mutlak hak warga negara.

Dalam bukunya General Insurance, John M. Magee mengemukakan


bahwa jaminan sosial merupakan asuransi wajib yang dimiliki oleh setiap
penduduk di suatu negara.8 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
berhak memiliki perlindungan diri ketika mengalami resiko yang tidak diinginkan
termasuk didalamnya resiko kecelakaan.

Dalam ketentuan pelaksanaan UU No. 33 Tahun 1964, lebih lanjut diatur


dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1965 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan (selanjutnya
disebut PP No. 17 Tahun 1965). Pada Pasal 8 PP No. 17 Tahun 1965, pengelolaan
dan pengaturan dana pertanggungan wajib kecelakaan dilakukan oleh perusahaan
negara yang ditunjuk oleh Menteri yang berwenang. Menteri yang berwenang ini
adalah Menteri Keuangan yang selanjutnya mengeluarkan Surat Keputusan No.
337 / KMK.011 / 1981 Tentang Penunjukan Perum. Jasa Raharja Untuk
Mengelola Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Dan Lalu Lintas
Jalan. Perum Jasa Raharja saat ini telah berbentuk PT Jasa Raharja (Persero), dan
misi pokoknya dalam menjalankan peraturan menteri keuangan tersebut ialah
mengelola dana-dana yang dipungut dari para penumpang (iuran) dan sumbangan
dari para pemilik kendaraan dalam mewujudkan pemberian jaminan sosial kepada
masyarakat yang menjadi korban dari kecelakan, khususnya sebagai penumpang
angkutan laut yang mengalami kecelakaan.

Menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun


1964 serta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, ditetapkan bahwa setiap
penumpang kendaraan angkutan umum, termasuk di dalamnya adalah angkutan
laut, untuk setiap perjalanannya diwajibkan membayar suatu iuran, yang disebut
Iuran Wajib, yang dimaksudkan sebagai suatu pertanggungan kecelakaan selama
dalam perjalanan. Dengan membayar iuran wajib tersebut di atas, maka
penumpang alat angkutan umum termasuk juga penumpang angkutan laut
sebenarnya telah menutup perjanjian pertanggungan kecelakaan. Dengan

8
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Resiko, (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006),
hlm. 22.

12
demikian bila penumpang mengalami kecelakaan maka korban atau ahli warisnya
berhak untuk mendapatkan santunan dari PT Jasa Raharja (Persero). PT Jasa
Raharja (Persero) seperti telah diuraikan diatas, merupakan perusahaan asuransi
yang diberi tanggung jawab pemerintah untuk menyalurkan santunan melalui
mekanisme asuransi kepada korban kecelakaan lalu lintas dan angkutan umum.

Dalam kasus tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas


Cathinka, Komisi V DPR RI mendesak pihak asuransi termasuk PT. Jasa Raharja
untuk segera memberikan uang santunan dan ganti rugi bagi para korban
kecelakaan KMP Bahuga Jaya di dalam Rapat Kerja Pada 3 Oktober 2012.

Pemberian asuransi kendaraan, didasarkan kepada golongan kendaraan


masing-masing. Untuk kendaraan golongan II atau roda dua, akan mendapatkan
penggantian maksimum Rp 15 juta. Nilai pasar kendaraan itu juga menentukan
nilai ganti ruginya. Misalnya sepeda motor yang bernilai Rp 20 juta maka nilai
asuransinya maksimum Rp 15 juta. Hal serupa juga berlaku untuk kendaraan roda
empat. Nilai ganti rugi untuk kendaraan golongan IV atau mobil adalah
maksimum Rp 120 juta, sedangkan untuk truk (golongan V-IX) berkisar Rp 140
juta sampai Rp 240 juta.

Setiap kendaraan yang diangkut kapal feri yang tenggelam itu, otomatis
mendapatkan asuransi. Nilai premi asuransi itu dibayarkan pemilik kapal.
Nilainya untuk sepeda motor Rp 400 sekali jalan, roda empat (mobil pribadi) Rp
1.700/ sekali jalan, sedangkan untuk truk mencapai Rp 13 ribu untuk sekali jalan.

Kepada ahli waris korban tewas akan diberikan santunan sebesar Rp25
juta. Penumpang kapal feri yang menderita luka-luka juga mendapatkan santunan
pengobatan, nilainya maksimum Rp 10 juta per orang. Klaim pengobatan itu bisa
disampaikan kepada PT Jasa Raharja, meski para korban berobat di daerahnya
masing-masing.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam kasus tubrukan antara KM Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka,
pihak yang patut bertanggung jawab ialah pihak MT Norgas Cathinka dimana
Mualim I Kapal Su Ji Bing telah lalai tidak mengikuti aturan 16 juncto aturan 8
huruf a, b, d dan e peraturan pencegahan tubrukan di laut (P2TL/COLREG) tahun
1972. Ji bing tidak melakukan tindakan sedini mungkin dan tidak tegas. Ia baru
mengubah arah kapal ke kanan sekitar lima derajat ketika jarak Norgas dan
Bahuga tinggal 1,5 nautical mile karena melihat ada risiko tubrukan. Tapi, ia tetap
tak melepas kemudi otomatis. MT Norgas telah dihubungi oleh Bahuga Jaya
sebanyak dua kali akan tetapi tidak menjawab. Bahuga Jaya lalu berinisiatif
memutar kemudi ke arah kiri 20 derajat. Saat jarak tersisa 0,5 nautical mile dan
risiko tubrukan makin tinggi, Jibing mematikan kendali otomatis dan mengubah
arah kapal ke kanan hingga lebih dari 15 derajat. Namun terlambat, MT Norgas
terlanjur bertubrukan dengan Bahuga Jaya. Ernesto selaku nakhoda MT Norgas
Cathinka yang bertabrakan dengan KMP Bahuga Jaya juga dapat dipersalahkan
karena tidak berupaya memberikan pertolongan terhadap para korban penumpang
KMP Bahuga Jaya yang tenggelam. Tindakan tersebut melanggar Pasal 332 UU
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Pertanggung jawaban atas tenggelamnya kapal atau terjadinya kecelakaan


kapal lainnya memerlukan penanganan melalui peraturan perundang-undangan
atau lembaga-lembaga yang agak lebih istimewa jika dibandingkan dengan
kecelakaan transportasi darat. Lembaga yang berkompeten menangani kecelakaan
kapal atau pelayaran Indonesia adalah Mahkamah Pelayaran. Pemeriksaan
Mahkamah Pelayaran dapat digunakan oleh seseorang atau badan Hukum Perdata
yang tidak puas terhadap keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(beschiking), dalam hal ini keadaan atau kondisi dalam bidang pelayaran. Dalam
Hukum Acara Pidana, putusan oleh Mahkamah Pelayaran merupakan suatu alat
bukti yang sah. Karena dapat dimasukkan dalam kategori alat bukti, yaitu alat
bukti surat (Pasal 184 KUHAP), sehingga dapat dipergunakan di muka
pengadilan.

Kasus tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas Cathinka


pertama-tama dibawa ke Mahkamah Pelayaran yang pada akhirnya ditetapkan
dalam Keputusan Nomor HK.2010/34/XII/MT.12, Chief Officer MT Norgas
Chantika Su Ji bing secara tegas dinilai telah lalai. Sedangkan nahkoda kedua
kapal dinyatakan tidak bersalah karena sudah menyerahkan tanggung jawabnya
kepada Mualim I masing-masing kapal.

14
Selanjutnya, upaya hukum tetap dilakukan dengan melimpahkan perkara
kepada Kejaksaan Tinggi Lampung. Akhirnya, Hakim Pengadilan Negeri
Kalianda pada 8 Mei 2013 dalam putusannya menilai Ernesto tidak terbukti
bersalah dalam kecelakaan yang merenggut 7 jiwa pada 26 September 2012 lalu.
Terdakwa Su Ji Bing juga dibebaskan dari seluruh dakwaan Jaksa Penuntut
Umum.

Akibat terjadi kecelakaan-kecelakaan tersebut sudah tentu adalah


timbulnya kerugian material, fisik, hilangnya mata pencaharian, hingga
kehilangan jiwa. Bila menurut hukum pengangkut bertanggung jawab atas
kecelakaan tersebut, maka pengangkut harus membayar ganti rugi kepada
penumpang maupun non- penumpang yang mengalami kecelakaan. Namun
apabila kecelakaan angkutan laut tersebut disebabkan oleh hal-hal teknis yang
tidak disengaja atau bukan kelalaian serta tidak mungkin dihindarkan oleh pihak
penyelenggara pengangkutan, maka penyelenggara pengangkutan dapat bebas dari
tanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada penumpang yang menjadi
korban kecelakaan.

Dari segi kemanusiaan dan perikemanusiaan, para penumpang yang


menjadi korban itu perlu dibantu biaya pengobatan serta santunan terhadap yang
meninggal diberikan kepada ahli warisnya. Maka dari itu, dalam rangka untuk
memberikan perlindungan dan meringankan penderitaan para korban kecelakaan
alat angkutan penumpang umum termasuk juga di dalamnya korban kecelakaan
angkutan laut, pemerintah telah membuat Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964
tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (selanjutnya disebut
UU No. 33 Tahun 1964).

Dalam ketentuan pelaksanaan UU No. 33 Tahun 1964, lebih lanjut diatur


dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1965 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan (selanjutnya
disebut PP No. 17 Tahun 1965). Pada Pasal 8 PP No. 17 Tahun 1965, pengelolaan
dan pengaturan dana pertanggungan wajib kecelakaan dilakukan oleh perusahaan
negara yang ditunjuk oleh Menteri yang berwenang. Menteri yang berwenang ini
adalah Menteri Keuangan yang selanjutnya mengeluarkan Surat Keputusan No.
337 / KMK.011 / 1981 Tentang Penunjukan Perum. Jasa Raharja Untuk
Mengelola Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Dan Lalu Lintas
Jalan. Perum Jasa Raharja saat ini telah berbentuk PT Jasa Raharja (Persero), dan
misi pokoknya dalam menjalankan peraturan menteri keuangan tersebut ialah
mengelola dana-dana yang dipungut dari para penumpang (iuran) dan sumbangan
dari para pemilik kendaraan dalam mewujudkan pemberian jaminan sosial kepada
masyarakat yang menjadi korban dari kecelakan, khususnya sebagai penumpang
angkutan laut yang mengalami kecelakaan.

15
Dalam kasus tubrukan antara KMP Bahuga Jaya dan MT Norgas
Cathinka, Komisi V DPR RI mendesak pihak asuransi termasuk PT. Jasa Raharja
untuk segera memberikan uang santunan dan ganti rugi bagi para korban
kecelakaan KMP Bahuga Jaya di dalam Rapat Kerja Pada 3 Oktober 2012.

3.2 Saran
Mengingat bahwa intensitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia
diperkirakan akan lebih meningkat, yang bukan saja melibatkan kapal-kapal
berbendera Indonesia akan tetapi juga kapal-kapal asing, maka potensi terjadinya
insiden-insiden pelayaran diperkirakan juga akan lebih meningkat. Oleh karena
itu, perlu dipikirkan mengenai keberadaan sebuah lembaga pengadilan maritim
yang memiliki yurisdiksi dan kompetensi yang luas, lebih profesional dan
didukung oleh sumberdaya manusia yang benar-benar menguasai persoalan-
persoalan khusus, seperti Mahkamah Maritim (Maritime Court atau Admiralty
Court) di negara-negara lain.

Lembaga peradilan maritim ini perlu memiliki yurisdiksi yang mencakup


semua aspek hukum yang ditimbulkan dari kegiatan pelayaran, tetapi tidak
terbatas hanya persoalan yang sifatnya administratif profesi kepelautan dan teknis
pelayaran melainkan juga bisa menangani masalah-masalah keperdataan,
ekonomi, pidana, lingkungan dan juga administrasi. Dasar pertimbangannya
adalah karena penanganan kasus-kasus kemaritiman selama ini dinilai tidak
berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana instansi-instansi
yang terkait dengan penegakan hukum di bidang pelayaran atau maritim pada
umumnya belum berjalan secara sinergis.

16
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Laporan Akhir Tim Analisis Evaluasi

Peraturan Perundang-Undangan Tentang Yurisdiksi dan Kompetensi


Mahkamah Pelayaran. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2005.
Gayo, H. M. Iwan. Buku Pintar, seri senior. Jakarta: Pustaka Warga Negara,

2002.
Purba, Radiks. Asuransi Angkutan Laut. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Salim, Abbas. Asuransi dan Manajemen Resiko. Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran

Negara No. 70 tahun 2008, Tambahan Berita Negara No. 4297.


International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel].

Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya


Paramita, 2002.

INTERNET
http://kemhubri.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/Laut/Publications/Laporan%20
Analisis%20Trend%20Kecelakaan%20Laut%202003-2008.pdf. Diunduh 29 April
2016.

Anonim. “Terdakwa Kasus Tabrakan KMP Bahuga Jaya Divonis Bebas.”


http://www.beritasatu.com/hukum/112743-terdakwa-kasus-tabrakan-kmp-bahuga-
jaya-divonis-bebas.html. Diunduh 14 Mei 2016.

Anonim, “Norgas Kecewa Putusan Mahkamah Pelayaran.”


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c749d76b77f/norgas-kecewa-
putusan-mahkamah-pelayaran. Diunduh 3 Mei 2016.

17
Arrazie, Nurochman. “Nahkoda Kapal Norgas Cathinka Divonis Bebas.”
https://m.tempo.co/read/news/2013/05/09/058479048/nahkoda-kapal-norgas-
cathinka-divonis-bebas. Diunduh 14 Mei 2016.

Purbaya, Angling Adhitya. “Menhub: 450 Insiden dan Kecelakaan Terjadi di Laut
Indonesia Tahun 2014.” http://news.detik.com/berita/2940502/menhub-450-
insiden-dan-kecelakaan-terjadi-di-laut-indonesia-tahun-2014. Diunduh 29 April
2016.

Bambini, Amri Asnil. “Ini Kronologis Tabrakan Bahuga Jaya Vs Norgas.”


http://industri.kontan.co.id/news/ini-kronologis-tabrakan-bahuga-jaya-vs-norgas.
Diunduh 9 Mei 2016.

Barutu, Piere. “Bagaimanakah Status Hukum Tabrakan Kapal Bahuga dan Norgas
?” http://www.kompasiana.com/piereberutu/bagaimanakah-status-hukum-
tabrakan-kapal-bahuga-dan-norgas_5519dc07a333119d1cb65950. Diunduh 3 Mei
2016.

Martinus, Yaspen. “Nakhoda MT Norgas Cathinka Dituntut Tujuh Bulan


Penjara.” http://www.tribunnews.com/regional/2013/04/19/nakhoda-mt-norgas-
cathinka-dituntut-tujuh-bulan-penjara. Diunduh 3 Mei 2016.

Muhammad, Djibril. “Kendaraan dalam Feri yang Tenggelam Dilindungi


Asuransi.” http://www.republika.co.id/berita/nasional/nusantara-
nasional/12/09/27/mb07h3-kendaraan-dalam-feri-yang-tenggelan-dilindungi-
asuransi. Diunduh 14 Mei 2016.

Wibisono, B. Kunto. “Kejati Lampung terima putusan sidang KMP Bahuga.”


http://www.antaranews.com/berita/352161/kejati-lampung-terima-putusan-sidang-
kmp-bahuga. Diunduh 3 Mei 2016.

18

Anda mungkin juga menyukai