Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH K3 KELAUTAN PELAYARAN”

“KECELAKAAN TRANSPORTASI LAUT”

DISUSUN OLEH
1. Wahyudi Rahmat Ryan D.

MATA KULIAH : K3 KELAUTAN PELAYARAN

SEKOLAH TINGGI ILMU PELAYARAN JAKARTA

PRODI KETATALAKSANAAN ANGKUTAN LAUT DAN KEPELABUHANAN

TAHUN 2018/2019
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................................5
1.4 Metode Penulisan........................................................................................................................6
1.5 Manfaat Penulisan.......................................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................7
2.1 Kecekalaan KM Zahro Express.....................................................................................................7
2.2 Izin pengoperasian kegiatan angkutan laut.................................................................................8
2.3 Tanggung jawab nakhoda, perusahaan pengangkut dan syahbandar terhadap kerugian
kecelakaan.........................................................................................................................................9
2.4 Peran Mahkamah Pelayaran.....................................................................................................12
2.5 Upaya yang dilakukan oleh KNKT dan masyarakat agar pelaksanaan tanggungjawab nakhoda,
perusahaan pengangkut dan syahbandar dapat direalisasikan...................................................13
BAB III..................................................................................................................................................14
PENUTUP.............................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................14
3.2 Saran..........................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kita, sehingga tugas makalah K3 kelautan pelayaran tentang “Kecelakaan
Transportasi Laut” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini juga sebagai tugas
yang harus dikerjakan untuk sarana pembelajaran bagi kita.  

 Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini,
maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada…. selaku dosen pembimbing kami,
yang memberikan dorongan, masukan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari rekan – rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah
ini.

Surabaya, 7 Juli 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan dimana terhampar beribu-ribu pulau dan
lautan yang luas. Daratan Indonesia seluas 1.904.569 km2 dan lautannya seluas
3.288.683 km2. Indonesia terletak diantara dua benua yakni benua Asia dan benua
Australia serta dua samudera yakni Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Hal
inilah yang menyebabkan perhubungan laut di Indonesia sangat dibutuhkan mengingat
Indonesia adalah negara kepulauan dimana untuk menempuh jarak dari satu pulau
dengan pulau lainnya diperlukan sarana pengangkutan laut yang memadai. Sarana
pengangkutan laut ini harus dikelola, dirawat, dan diawasi pelaksanaannya secara rutin
mengingat betapa pentingnya sarana pengangkutan laut di Indonesia.
Ketika peak days atau hari-hari padat penumpang tersebut terjadi ketimpangan
permintaan (demand) dengan pasokan (supply) kapal, sehingga operator kapal cenderung
memuat penumpang melebihi batas toleransi yang diizinkan. Mengangkut penumpang
melebihi batas toleransi ini berisiko terhadap keselamatan pelayaran. Saat terjadi
musibah seperti kapal tenggelam, kandas atau terbakar, maka semakin besar risiko
terhadap keselamatan jiwa penumpang. Tingginya permintaan terhadap sarana dan
prasarana dalam mengangkut penumpang seharusnya menjadi prioritas utama.
Penambahan kapal saat musim liburan tiba yang dilengkapi fasilitas seperti pelampung
keselamatan dan kelayakan kapal tentu sangat diperlukan. Hal ini untuk menghindari
timbulnya resiko yang diakibatkan selama musim liburan berlangsung.
Pelayaran adalah high regulated sector dimana adanya pengaturan yang jelas
terhadap peran dari setiap pihak terkait dari pelayaran tersebut. Adanya peraturan
mengenai keselamaan pelayaran yang menitikberatkan pada pengaturan pihak ketiga
menjadi akibat banyaknya kecelakaan kapal yang disebabkan oleh human error. Pada
level operasional, syahbandar, pemilik kapal dan nakhoda bisa dibilang trisula
keselamatan pelayaran. Ketiganya masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab
sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pelayaran tidak hanya menyangkut mengenai pengangkutan laut saja namun lebih
luas lagi mencakup mengenai sarana dan prasarana yang ada serta jaminan atas
keselamatan, keamanan, serta perlindungan selama berada di lingkungan maritim
Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan dalam pelayaran dibutuhkan berbagai
penunjang, pengawasan, serta perawatan yang rutin. Hal inilah yang menyebabkan
diperlukannya jaminan keliaiklautan dank keselamatan kapal sebagai jaminan terhadap
keselamatan,keamanan, serta perlindungan di lingkungan maritim. Dalam angkutan laut
membutuhkan banyak fasilitas yang diadakan pemerintah, berupa pelabuhan-pelabuhan,
dermaga, gudang-gudang laut, pandu laut, alat bongkat muat, kapal-kapal tunda, dan
kapal penolong. Disamping itu fasilitas yang harus disediakan pemerintah pengamanan
alur pelabuhan, rambu penerangan laut, tanda-tanda tempat dangkal, jalur masuk
pelabuhan disamping kapal-kapal patrol pelayaran.
Dikutip dari Liputan6.com, peristiwa terbakarnya kapal Zahro Express di perairan
Teluk Jakarta terjadi pada Minggu, 1 Januari 2017. Beberapa warga mendatangi
Command Center Muara Angke, untuk melaporkan kebakaran Kapal Zahro Expres itu
pada pukul 08.46 WIB. Kapal itu diduga mengangkut ratusan orang dari Muara Angke
menuju Pulau Tidung. Usai warga melapor ke Command Center di Pelabuhan Muara
Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, satu unit kapal medium
dan satu unit kapal pemadam meluncur, dan tiba di lokasi kebakaran pada pukul 08.50
WIB. Ada juga yang menyebut jumlah korban meninggal lebih dari 20 orang. Begitu
juga penyebab kebakaran.
Menentukan jumlah penumpang yang sesuai menjadi kendala, lantaran tidak ada
manifesnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, awalnya
korban meninggal satu orang hingga bertambah terus hingga 23 orang. Data terakhir dari
BNPB menyebutkan, korban meninggal 23 orang. Sedangkan korban hilang 17 orang,
luka-luka 17 orang, dan 194 orang selamat. Serta 31 orang dirawat di Rumah Sakit
Atmajaya, Jakarta Utara2 . Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya lantaran tidak adanya
kejelasan mengenai jumlah korban kecelakaan kapal KM Zahro Express akibat tidak
adanya manifes yang menjadi bukti jumlah penumpang yang diangkut. Selain itu
banyaknya jumlah korban yang tidak terselamatkan menjadi bukti bahwa kurangnya
evakuasi dalam penyelamatan kecelakaan kapal KM Zahro Express.
Terjadinya kecelakaan kapal menjadi tanggungjawab seluruh pihak baik
pemerintah, syahbandar, marin inspector, pandu laut, ketua administrasi pelabuhan,
pemilik kapal, bahkan nakhoda kapal. Lalu, jika tidak adanya kejelasan mengenai jumlah
korban tentu dapat dipertanyakan mengenai implementasi tanggungjawab para pihak
dalam hal ini nakhoda, perusahaan pengangkut, dan syahbandar sebagaimana yang telah
diatur didalam KUHD dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
1.2 Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah tanggung jawab nakhoda, perusahaan pengangkut dan syahbandar
terhadap kerugian kecelakaan kapal KM Zahro Express?
2. Bagaimanakah KUHD dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran mengatur mengenai tanggung jawab nakhoda, perusahaan pengangkut
dan syahbandar terhadap kecelakaan kapal?
3. Apakah upaya yang harus dilakukan oleh KNKT dan masyarakat agar
pelaksanaan tanggungjawab nakhoda, perusahaan pengangkut dan syahbandar
dapat direalisasikan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam menangani kecelakaan
transportasi laut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis tanggungjawab nakhoda,
perusahaan pengangkut dan syahbandar terhadap kerugian kecelakaan kapal
KM Zahro Express menurut dengan KUHD dan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran.
2) Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis KUHD dan UndangUndang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur mengenai tanggung jawab
nakhoda, perusahaan pengangkut dan syahbandar terhadap kecelakaan kapal.
3) Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis upaya yang harus dilakukan
oleh KNKT dan masyarakat agar pelaksanaan tanggungjawab nakhoda,
perusahaan pengangkut dan syahbandar dapat direalisasikan.
1.4 Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penyusun menggunakan metode studi pustaka dengan
mengambil dari browsing  internet.
1.5 Manfaat Penulisan
Dalam setiap pembahasan suatu masalah yang dilakukan penulis diharapkan dapat
memberi manfaat dan berguna bagi pihak-pihak:
1. Bagi mahasiswa
Makalah ini diharapka untuk menambah wawasan terkait dengan kecelakaan
transportasi laut dan upaya dalam menanganinya.
2. Bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah khususnya terkait
pelaksanaan, pengawasan, dan pengelolaan kapal di bidang pelayaran sehingga
kecelakaan kapal dapat diminimalisir di kemudian hari.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kecekalaan KM Zahro Express


Berdasarkan investigasi Liputan6.com, awalnya KM Zahro Express sudah terlebih
dulu bersandar di dermaga pelabuhan Kali Adem, Muara Angke pada 31 Desember 2016
pada pukul 13.15 WIB.
Kemudian keesokan harinya pada 1 Januari 2017, sekitar pukul 04.00 WIB, Kepala
Kamar Mesin (KKM) menghidupkan mesin penggerak generator listrik. Setelah listrik
meyala, KKM pun menghidupkan sejumlah peralatan untuk operasional kapal. "Sejak pukul
05.00 WIB sampai menjelang keberangkatan, para penumpang mulai berdatangan dan
menaiki kapal dengan menempati akomodasi geladak utama dan atas," tutur Bambang Safari
Alwi saat ditemui di Pelabuhan Kaliadem, Jumat (14/7/2017).
Kemudian pada pukul 06.30 WIB Nahkoda KM Zahro Express mengajukan
permohonan keberangkatan kapal kepada kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
(KSOP) untuk tujuan Pulau Tidung. "Pada saat melakukan permohonan tercatat 100 orang
penumpang dan lima orang awak kapal," ucap Bambang Safari.
Setelah Kepala KSOP Muara Angke menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
pada pukul 07.00 WIB, sekitar 30 menit kemudian tepatnya 07.30 KKM menghidupkan
mesin induk. Lalu pada pukul 08.15 WIB, KM Zahro Express lepas tali dan berlayar
meninggalkan Pelabuhan Kali Adem dengan kecepatan normal sekitar 10 Knot, tidak lama
kapal pun terbakar. "Sekitar 15 menit kemudian, terlihat asap dan api yang kemudian
membesar sehingga hampir seluruh bagian kapal terbakar," ungkap Bambang Safari Alwi.
Hasil investasi KNKT menunjukkan, kebarakaran berawal dari generator yang
selanjutnya menyabat konstruksi kayu. Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian terhadap
generator yang mengalami masalah, terdapat tanda goresan yang menunjukkan adanya
gesekan antara stator dengan rotor sehigga menimbulkan lompatan bunga api atau electric
spark."Kebakaran dipercepat dengan adanya kandungan bahan bakar solar yang menempel
pada konstruksi serta terbakarnya material FRP sebagia pelapis geladak” Hal ini yang
menyebabkan faktor dari kebakaran pada kapal. Lokasi kejadian berada di Teluk Jakarta
sejauh 3 mil laut dari Muara Angke.

Kapal itu diduga mengangkut ratusan orang dari Muara Angke menuju Pulau Tidung.
Usai warga melapor ke Command Center di Pelabuhan Muara Angke, Kelurahan Pluit,
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, satu unit kapal medium dan satu unit kapal pemadam
meluncur, dan tiba di lokasi kebakaran pada pukul 08.50 WIB.
Menentukan jumlah penumpang yang sesuai menjadi kendala, lantaran tidak ada
manifesnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, awalnya
korban meninggal satu orang hingga bertambah terus hingga 23 orang. Data terakhir dari
BNPB menyebutkan, korban meninggal 23 orang. Sedangkan korban hilang 17 orang, luka-
luka 17 orang, dan 194 orang selamat. Serta 31 orang dirawat di Rumah Sakit Atmajaya,
Jakarta Utara2. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya lantaran tidak adanya kejelasan
mengenai jumlah korban kecelakaan kapal KM Zahro Express akibat tidak adanya manifes
yang menjadi bukti jumlah penumpang yang diangkut. Selain itu banyaknya jumlah korban
yang tidak terselamatkan menjadi bukti bahwa kurangnya evakuasi dalam penyelamatan
kecelakaan kapal KM Zahro Express.
2.2 Izin pengoperasian kegiatan angkutan laut
Kegiatan angkutan laut di Indonesia tentu memerlukan izin agar dapat beroperasional
di wilayah territorial laut Indonesia. Izin tersebut dikeluarkan 12 oleh pemerintah terkait
dengan subjek hukum yang memerlukan perizinan terhadap angkutan laut tersebut. Pasal 27
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa “Untuk
melakukan kegiatan angkutan di perairan orang perseorangan warga negara Indonesia atau
badan usaha wajib memiliki izin usaha.”
Adapun izin untuk menjalankan usaha angkutan laut diberikan oleh pemerintah terkait
dengan domisili wilyah pengoperasian angkutan laut tersebut. Hal ini diatur didalam Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yakni :
“Izin usaha angkutan laut diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah
kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah
provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi;
atau
c. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi
dan internasional.” Izin melakukan kegiatan pelayaran dengan menggunakan angkutan laut
tentu harus memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kalaiklautan kapal.
Keselamatan kapal didalam Pasal Pasal 117 ayat (2) yang meliputi keselamatan kapal,
pencegahan pencemaran dari kapal, pengawakan kapal, garis muat kapal dan pemuatan,
kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen
keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal dan, manajemen keamanan kapal.
Keselamatan pelayaran erat berkaitan dengan kelaiklautan kapal. Kelaiklautan kapal didalam
Pasal 124 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yakni pengadaan,
pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di
perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal. Persyaratan keselamatan
kapal meliputi material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata
susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio danelektronika
kapal Adanya syarat-syarat keselamatan kapal dan kelaiklautan kapal tentu untuk
menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kapal.
Kecelakaan kapal terjadi akibat berbagai macam faktor baik faktor internal maupun
eksternal. Didalam Undang-Undang 14 Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kecelakaan
kapal diatur didalam Pasal 245 – Pasal 249. Menurut Pasal 245 yang dimaksud dengan
kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam
keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa :
a. Kapal tenggelam
b. Kapal terbakar
c. Kapal tubrukan
d. Kapal kandas
Ketika terjadi kecelakaan kapal maka diperlukan tanggungjawab dari berbagai pihak
baik syahbandar, perusahaan pengangkut, maupun nakhoda. Tanggungjawab secara hukum
(yuridis) mempunyai dua aspek yang terkait satu dengan yang lainnya. Tanggung jawab
yuridis selalu terkait dengan hak dan kewajiban yang dapat diatur dalam suatu perjanjian
antara pihak-pihak yang bersangkutan ataupun mempunyai daya laku karena diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.Dalam pada waktu itu diperhatikan asas-asas
tanggung jawab ganti rugi untuk dapat menentukan apakah atau bagaimana sesuatu kerugian
yang menimbulkan tanggung jawab ganti rugi mempunyai batas.
Pada umumnya ada empat asas tanggung jawab ganti rugi, yaitu :
a. Asas tanggung jawab ganti rugi berdasarkan adanya unsur kesalahan (liability based on
fault).
b. Asas tanggung jawab berdasarkan praduga adanya unsur kesalahan (presumption of
liability) dimana seseorang dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul
karena perbuatannya kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan segala upaya
untuk mencegah kerugian tersebut namun masih terjadi sehingga hal tersbeut bukan karena
kesalahannya.
c. Asas tanggung jawab ganti rugi mutlak (absolut liability) yang tidak mempermasalahkan
ada-tidaknya kesalahan.
d. Asas tanggung jawab ganti tugi terbatas (limitation of liability) dimana tanggung jawab
ganti rugi dibatasi sampai sejumlah tertentu. Hal terakhir ini umpamanya terdapat dalam
pengangkutan laut dimana tanggung jawab ganti rugi pengangut dibatasi oleh undang-
undang.

2.3 Tanggung jawab nakhoda, perusahaan pengangkut dan syahbandar terhadap


kerugian kecelakaan
Pihak pihak yang bertanggung jawab terhadap kecekalaaan kapal antara lain:
A. Nahkoda
Setiap kapal yang berlayar selalu diawaki oleh Tim yang terdiri dari beberapa orang
(tergantung dari besar kecilnya kapal), yang didalam undangundang pelayaran tim tersebut
dinamakan awak kapal. Awak kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas
kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan
jabatannya yang tercantum dalam buku sijil. Yang termasuk Awak Kapal yaitu Nakhoda
Kapal, Anak Buah Kapal (ABK), Perwira dan Kelasi. Nakhoda Kapal adalah salah seorang
dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan
tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Nakhoda
wajib bertindak dengan kepandaian, ketelitian dan dengan kebijaksanaan yang cukup untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Nakhoda pada dasarnya merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap
semua hal yang terjadi di kapal. Dia dituntut untuk mengetahui dan memahami semua
karakteristik tiap-tiap unit di kapal yang bersangkutan, baik yang secara langsung berkaitan
dengan pengoperasian kapal maupun yang hanya bersifat membantu pelayaran. Disamping
itu Nakhoda harus paham benar mengenai jumlah penumpang maupun muatan kapal serta
barang-barang lain sebagai kelengkapan kapal. Nakhoda wajib mentaati dengan seksama
peraturan yang lazim dan ketentuan yang ada untuk menjamin kesanggupan berlayar dan
keamanan kapal, keamanan para penumpang dan pengangkutan muatannya.
Tentunya kalau ditinjau dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, bahwa perbuatan pidana yang mungkin dapat dilakukan oleh nakhoda kapal
diantaranya adalah :
1) mengemudikan kapal dan menyebabkan tubrukan dengan kapal laut lainnya
2) memberikan perintah kepada awak kapal untuk melakukan kejahatan
3) mengambil keputusan dalam kapal dengan putus asa sehingga kapal laut diabaikan
4) mengemudikan kapal laut, sedangkan sertifikat khusus untuk mengemudikan kapal tidak
punya
5) mengabaikan aturan sarana bantu navigasi
6) memaksakan kapal dijalankan ketika berlabuh tanpa persetujuan Syahbandar
7) Nakhoda mengabaikan dan meninggalkan kapal laut tanpa seijin pemilik kapal laut.
Pasal 342 dan 372 KUHD secara ekplisit menyatakan bahwa tanggung jawab atas
kapal hanya berada pada tangan nakhoda, tidak ada yang lain. Pasal 137 UndangUndang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga memberikan tanggungjawab terhadap nakhoda
saat berada diatas kapal.

B. Syahbandar
Keselamatan pelayaran tidak terlepas dari peran Syahbandar karena persoalan terbesar
terjadinya kecelakaan pelayaran diawali dari diabaikannya prosedur atau dengan kata lain
Syahbandar tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Keberadaan Syahbandar
merupakan manisfestasi dari bentuk kehadiran Pemerintah dalam lalu lintas laut sehingga
selain hubungan hukum privat maka hubungan hukum publik pun nyata ada dalam sistem
transportasi laut, sehingga seluruh aktifitas pelayaran diatur oleh pemerintah sebagaimana
diatur pada undang-undang Nomor 17 Tahun 2008.
Dalam Undang tersebut telah diatur secara tegas tugas dan tanggung jawab dari
Syahbandar. Syahbandar sebagai pejabat tertinggi dalam kepelabuhan tentunya memiliki
kewenangan yang besar yang diberikan oleh aturan hukum Indonesia, oleh Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memiliki tugas sebagai berikut :
1) mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan, dan ketertiban dipelabuhan
2) mengawasi tertib lalu lintas kapal diperairan pelabuhan dan alur pelayaran.
3) mengawasi kegiatan alih muat diperairan pelabuhan
4) mengawasi pemanduan mengawasi kegiatan penundaan kapal
5) mengawasi kegiatan pekerjaan bawah air dan salvage
6) mengawasi bongkar muat barang berbahaya
7) mengawasi pengisian bahanbakar
8) mengawasi pengerukan danrekalmasi
9) mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan.
Dalam melakukan tugas yang dipercayakan sebagai pemimpin tertinggi di pelabuhan
maka Syahbandar memiliki fungsi, yaitu:
1) melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan dalam pelayaran yang mencakup,
pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang angkutan perairan
2) Syahbandar membantu tugas pencarian dan penyelamatan dipelabuhan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan
3) Syahbandar diangkat oleh menteri setelah memenuhi persyaratan kompetensi dibidang
keselamatan dan keamanan serta kesyahbandaran.
Dalam melaksanakan fungsi dan tugas diatas maka Syahbandar memiliki kewenangan
sebagai berikut:
1) mengkoordinasi seluruh kegiatan pemerintahan dipelabuhan
2) memeriksa dan menyimpan surat,dokumen, dan warta kapal
3) menerbitkan persetujuan kegiatan kapal dipelabuhan melakukan pemeriksaan kapal
4) menerbitkan surat persetujuan berlayar
5) melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal
6) melaksanakan sijil awak kapal.
Secara teori, Syahbandar memiliki landasan hukum internasional dan nasional untuk
melakukan pengawasan dan penegakan Siapa yang Bertanggung jawab Menurut Hukum
dalam Kecelakaan Kapal agar tidak terjadi kecelakaan pelayaran. Dalam pemberian surat
persetujuan berlayar ini juga telah melibatkan sejumlah instansi terkait, Syahbandar sebelum
memberikan surat ijin berlayar (port clearance) perlu meneliti kelengkapan dokumen kapal
dan jika tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan peraturan, dan bersifat pelanggaran
atau adanya kekurangan pada kapal, surat persetujuan berlayar tidak diberikan, sampai
Nakhoda atau perusahaan pelayaran Melengkapi kekurangan

C. Tanggung Jawab Perusahaan


Pengawasan terhadap keselamatan (safety) dari Perusahaan Pelayaran terhadap kapal
yang berlayar telah diatur dalam International Safety Management Code (ISM Code) yaitu
merupakan aturan standar internasional tentang manajemen keselamatan dalam
pengoperasian kapal serta upaya pencegahan/ pengendalian pencemaran lingkungan. Sesuai
dengan kesadaran terhadap pentingnya faktor manusia dan perlunya peningkatan manajemen
operasional kapal dalam mencegah terjadinya kecelakaan kapal, manusia, muatan barang/
cargo dan harta benda serta mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut, maka IMO
mengeluarkan peraturan tentang manajemen keselamatan kapal & perlindungan lingkungan
laut yang dikenal dengan ISM Code yang juga dikonsolidasikan dalam SOLAS Convention.
Pada dasarnya ISM Code mengatur adanya manajemen terhadap keselamatan (safety)
baik Perusahaan Pelayaran maupun kapal termasuk SDM yang menanganinya. Untuk
Perusahaan Pelayaran, harus ditunjuk seorang setingkat Manajer yang disebut DPA
(Designated Person Ashore/Orang yang ditunjuk di darat). Ia bertanggung jawab dan
melakukan pengawasan terhadap keselamatan (safety) dari Perusahaan Pelayaran tersebut.
Manajer penanggung jawab ini harus bertanggung jawab dan mempunyai akses langsung
kepada Pimpinan tertinggi (Direktur Utama/Pemilik Kapal) dari Perusahaan Pelayaran
tersebut.
Tangungjawab perusahaan pengangkut dimuat didalam Pasal 321 KUHD dan Pasal
40 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 321 menyebutkan dua
macam tanggungjawab perusahaan pengangkut, yaitu :
(1) Pengusaha kapal terikat oleh perbuatan hukum, yang dilakukan oleh mereka yang bekerja
tetap atau sementara pada kapal itu, dalam jabatan mereka, dalam lingkungan wewenang
mereka.
(2) Ia bertanggung jawab untuk kerugian yang didatangkan kepada pihak ketiga oleh
perbuatan melawan hukum dari mereka yang bekerja tetap atau sementara pada kapal itu atau
bekerja di kapal untuk keperluan kapal itu atau muatannya, dalam jabatan mereka atau dalam
pelaksanaan pekerjaan mereka.”
Adanya tanggungjawab perusahaan pengangkut terhadap barang dan penumpang yang
diangkutnya berkaitan erat dengan adanya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata
yang dimaksud perjanjian ialah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu pokok persoalnya tertentu
d. Suatu sebab yang tidak terlarang”
Tanggungjawab perusahaan pengangkut dinyatakan pula dalam Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dimana perusahaan wajib
bertanggungjawab terhadap keselaamatan dan keamanan penumpang serta muatan kapal yang
diangkut sesuai dengan jenis dan jumlahnya, yakni :
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan
keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan
jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak
pengangkutan yang telah disepakati.

2.4 Peran Mahkamah Pelayaran


Mahkamah Pelayaran sebagai suatu badan peradilan khusus yang menangani
kecelakaan dan bencana di laut, akan memberikan penilaian yang obyektif atas ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan
oleh Nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal.
Mahkamah Pelayaran dapat pula melakukan pemeriksaan kecelakaan atau bencana kapal
berbendera asing selama kecelakaan atau bencana kapal tersebut berada di wilayah Republik
Indonesia. Hukum acara dalam tahapan pemeriksaan lanjutan (hukum acara) di Mahkamah
Pelayaran memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum acara di peradilan yang
sebenarnya.
Bila hal ini dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, Keputusan oleh Mahkamah Pelayaran merupakan suatu alat bukti yang sah.
Karena dapat dimasukkan dalam kategori alat bukti, yaitu alat bukti surat (Pasal 184
KUHAP), sehingga dapat dipergunakan di muka pengadilan. Di dalam kecelakaan kapal, jika
didalam penyelidikan ditemukan adanya dugaan kelalaian atau kesalahan yang bersifat
prosedural/administrative menyangkut perizinan kapal dan administratif lainnya, maka pihak
yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah pengusaha kapal atau perusahaan pelayaran
(vicarious liability), dimana suatu pihak dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang
bukan secara langsung dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan jika ditemukan dugaan adanya
kelalaian pada saat beroperasinya kapal tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya
kecelakaan, maka pihak yang dapat dipertanggung jawabkan atas kecelakaan tersebut adalah
Nakhoda kapal dan/atau awak kapal (strict liability) karena terdakwa langsung dimintai
pertanggung jawaban atas kesalahan yang diperbuat.
2.5 Upaya yang dilakukan oleh KNKT dan masyarakat agar pelaksanaan
tanggungjawab nakhoda, perusahaan pengangkut dan syahbandar dapat direalisasikan
Tidak luput dari peran Mahkamah pelayaran tersendiri iala merealisasikan
pelaksanaan dan tanggung jawab terhadap kecelakaan pada kapal.
Penggantian kerugian dapat berjalan setelah adanya laporan kecelakaan kapal, apabila
hasil pemeriksaan pendahuluam kecelakaan kapal ini dilaksanakan untuk mencari keterangan
atau bukti-bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal. Apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan kapal menteri berpendapat adanya dugaan kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standar profesi kepelautan yang dilakukan nahkoda atau pemimpin kapal atau
perwira kapal atasa kecelakaan kapal, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 hari
sejak diterimanya hasil pemeriksaan pandahuluan kapal, Menteri meminta Mahkamah
Pelayaran melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal. Selambat-lambatnya dalam
jangka 7 hari sejak diterimanya permintaan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal, ketua
Mahkamah Pelayaran Membentuk Majelis Mahkamah Pelayaran. Selambat-lambatnya 30
hari sejak dibentuknya, Majelis harus telah melaksanakan Sidang Majelis yang pertama,
sidang Majelis Pelayaran ini dilakukan untuk melihat apakah ada atau tidak adanya kesalahan
atau kelalaian yang dilakukan oleh nahkoda atau pemimpin kapal, atau perwira kapal dalam
tugas profesinya.
Jika terbukti adanya kesalahan maka pihak Mahkamah Pelayaran meminta perusahaan
pengangkutan untuk mengganti kerugian tersebut untuk biaya ganti kerugian akan
disesuaikan dengan nilai kerugian yang dialami baik itu rusak ataupun hilangnya barang
angkutan. Penggantian kerugian dapat di ajukan melalui jalur perdata yaitu melalui gugatan
wanprestasi, penggantian kerugian harus menunggu hingga adanya putusan pengadilan terkait
apakah memang kerugian tersebut disebabkan oleh perusahaan angkutan atau tidak serta
berapa biaya ganti kerugian yang akan diberikan akan disesuaikan pula dengan kerugian yang
dialami. Upaya hukum penggantian tersebut dapat dilakukan jika adanya perjanjian
didalam dokumen khusus dimana pengirim barang memintakan keamanan atau jaminan akan
barangnya dengan cara membayar asuransi suka rela yang ditawarkan oleh pihak
pengangkutan kapal, jika tidak adanya perjanjian khusus tersebut maka penggantian kerugian
tidak dapat dilakukan upaya hukum yang lain selain penggantian kerugian yang dilakukan
oleh asuransi dari jasa raharja atau asuransi yang telah berkerjasama dengan pihak
pengangkutan, karena penggantian kerugian yang dilakukan pihak pengangkutan telah
melakukan kewajibannya yaitu mengganti kerugian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam rangka mewujudkan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran serta
meminimalisir kecelekaan di laut maka penegakan hukum harus dilaksanakan secara
proporsional dan profesional serta menjunjung nilai-nilai keadilan. Namun demikian yang
lebih penting lagi adalah tindakan pencegahan agar kecelakaan di laut tidak terjadi. Untuk itu
diperlukan adanya sinergitas kinerja yang komprehensif diantara sesama stake holder yang
berkompeten terhadap keamanan dan keselamatan kapal, baik Pemilik/ pengusaha kapal,
Nakhoda Kapal maupun Pejabat Syahbandar, serta aparat penegak hukum lainnya. Sehingga
kedepan aspek keselamatan pelayaran akan menjadi perhatian utama baik sebelum mapun
selama pelayaran. Dengan demikian peristiwa terbakarnya KM Zahro di perairan Teluk
Jakarta pada beberapa waktu yang lalu merupakan peristiwa terakhir dalam dunia pelayaran
Indonesia.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

1. Andi, Hamzah, 1994. Laut Teritorial Perairan Indonesia, Jakarta Akademika Presindo.
2. Djoko, Prakoso. 1988. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, PT Prandnya Paramita.
3. Radiks, Purba. 1994. Angkutan muatan laut, Jakarta. Rineka Cipta.
4. Komite Nasional Kecelakaan Transportasi. 2007. Kajian analisa kasus kebakaran KM Levina
1 Kajian analisis trend kecelakaan transportasi laut (Artikel yang di akses pada tanggal 6 Juli
2019)
5. Melly Setyawati, Penal Code Reform “Tindak Pidana Pelayaran (Melihat UU berkaitan
dengan Pelayaran, KUHP dan RKUHP” Elsam 2013. (Artikel yang di akses pada tanggal 6
Juli 2019)

Anda mungkin juga menyukai