Anda di halaman 1dari 4

Nama : Wahyudi Rahmat Ryan Dani

Kelas : KALK II D
NRP : 461189775
No. Absen : 30

KONDISI TANJUNG PRIOK

Kondisi keamanan pelabuhan Indonesia lumayan hangat dibicarakan belakangan. Isu


itu mencuat sejurus pemberitaan sebuah media yang menurunkan laporan terkait keamanan
pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, yang dinilai masih rawan. Kementerian Perhubungan dan
BUMN kepelabuhanan yang mengatur dan mengelola pelabuhan nasional lalu meluncurkan
serangkaian tangkisan.
Menurut Kemenhub dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), kondisi keamanan
pelabuhan nasional aman terkendali. Penerapan International Ship and Port Facility Security
(ISPS) Code, sebagai faktor kunci atas kondisi keamanan yang kondusif. Sejak diberlakukan
pada 2004, ada 348 pelabuhan yang sudah mengimplementasikan skema keamanan tersebut.
Dengan data ini klaim bahwa kondisi keamanan pelabuhan aman terkendali bisa saja benar.
Tapi siapa sangka, International Maritime Bureau (IMB) mendata, hingga September
2017 tercatat 23 penyerangan dan upaya penyerangan terjadi di perairan atau terminal
pelabuhan Tanjung Priok. Jumlah ini jelas jauh berkurang dibanding tahun 2015 yang
mencapai 85 insiden di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu. Sementara itu, pada 2016, terjadi
33 insiden. Tak salah media menyebut Tanjung Priok masih rawan.
Tidak hanya IMB, Joint War Committee, yang mewakili berbagai firma asuransi
berbasis di Inggris, juga mencantumkan pelabuhan Tanjung Priok sebagai zona rawan perang
(war risk zone) sejak 2015. Dulu, ketika Nangroe Aceh Darussalam masih bergolak pada
awal 2000-an, JWC memasukkan perairan dan pelabuhan provinsi tersebut sebagai zona
rawan perang. Tentu saja, pelabuhan Tanjung Priok juga tak luput dari daftar hitam mereka.
Langkah kedua lembaga internasional itu membuat citra pelabuhan Tanjung Priok
tidak hanya rawan, malah menjadi berdarah-darah. Bagi kedua lembaga tersebut seperti tak
ada artinya pelabuhan nasional, khususnya Tanjung Priok, yang sudah mengantongi sertifikat
ISPS Code. Dampak buruk penetapan sebuah pelabuhan sebagai war risk zone pengenaan
premi asuransi tambahan (war risk surcharge/WRS) bagi kapal-kapal yang berlayar. Inilah
yang dimaksud berdarah-darah.
Asuransi ini memiliki dua komponen. War risk liability yang meng-cover orang dan
properti di atas kapal dan dihitung berdasarkan jumlah kerugian. Kemudian, war risk hull
yang mengasuransi fisik kapal besar tanggungannya disesuaikan dengan nilai atau harga
kapal. Adapun besar premi untuk kedua jenis asuransi ini tergantung pada tingkat stabilitas
negara pelabuhan (port state). Jika stabil, preminya kecil dan sebaliknya. Ini digolongkan
sebagai asuransi khusus.
Maka WRS biasanya ditambahkan ke dalam paket perlindungan yang selama ini
sudah dimiliki shipowner, yaitu hull and machinery (H&M) dan kargo. Di tengah dunia yang
terus bergejolak akibat perang, kerusuhan dan lainnya yang bersifat non-navigational perils,
asuransi war risk sudah sama pentingnya dengan dua asuransi tadi bagi pelaku usaha
pelayaran global.

Komplikasi Kondisi Pelabuhan


Kebijakan JWC menetapkan war risk area bukan hanya memicu reaksi dari negara
yang terkena, namun juga menimbulkan komplikasi dengan ISPS Code. Betapa tidak. Semua
orang tahu Pelabuhan Tanjung Priok sudah mengantongi status ISPS Code, tetapi tetap saja
dimasukkan ke dalam zona rawan perang oleh JWC. Sikap JWC itu jelas memperlihatkan
begitu sulitnya menembus dinding praktik bisnis yang mereka bangun.
Tetapi, diabaikannya status sebuah pelabuhan yang sudah tesertifikasi ISPS Code oleh JWC
dapat dipahami. Sebab, penerapan ISPS Code di Indonesia masih menyisakan banyak
persoalan. Di Tanjung Priok, orang-orang yang tidak berkepentingan keluar masuk dengan
bebasnya. Ditambah lagi, instalasi militer dalam area pelabuhan, terdapat fasilitas
pergudangan milik TNI AD dan pangkalan kapal perang TNI AL. Bagi penjamin asuransi ini
semua menaikkan risiko. Bagaimana jika fasilitas itu meledak?
Persoalan diperparah dengan lemahnya drill oleh pengelola pelabuhan/terminal
termasuk regulator. Sehingga, menimbulkan keraguan di kalangan stakeholder. Bila situasi
darurat terjadi di pelabuhan, apakah skenario yang sudah dipersiapkan bisa diterapkan
sepenuhnya? Aspek keamanan merupakan kriteria utama suatu area dimasukkan ke dalam
zona rawan perang. Gangguan keamanan yang dinilai mulai dari ringan hingga berat.
Yang tergolong ringan, pencurian barang-barang berharga milik ABK ketika kapal
bersandar di pelabuhan. Atau, pencurian suku cadang kapal. Sementara itu, yang termasuk
kategori berat mencakup perampokan bersenjata (armed robbery), piracy, invasi,
pemberontakan hingga ancaman senjata pemusnah massal. Aaksi-aksi mogok, demonstrasi,
pungutan liar dan sejenisnya, yang diadakan di dalam atau luar pelabuhan, termasuk ancaman
keamanan yang juga diperhatikan Joint War Committee.
Sayang, penanganan kejahatan ringan oleh otoritas keamanan sering kali tidak
memadai jika tidak mau disebut diremehkan. Banyak kasus pencurian yang dilaporkan
ABK/nakhoda berujung di lorong gelap. Mungkin aparat keamanan beranggapan, tiap hari
banyak pencurian. Mengapa pencurian di area pelabuhan harus mendapat perhatian serius.
Fakta bahwa pelabuhan Tanjung Priok tidak pernah dikeluarkan dari daftar zona
rawan perang-nya JWC hingga sekarang jelas mengindikasikan, ada persoalan dengan
penanganan kasus-kasus pencurian di area pelabuhan. Barang yang dicuri memang tak terlalu
mahal, namun harus digarisbawahi ketika kasus tersebut dilaporkan oleh ABK/nakhoda
kepada pemilik kapal jumlah kerugian akan berlipat ganda.
Kerugian ini dipikul oleh perusahaan asuransi yang menjamin kapal. Dalam bahasa
lain, yang dicuri arloji, tetapi pihak asuransi membayar klaim seharga sebuah mobil. Asuransi
inilah yang tergabung ke dalam Joint War Committee. Jadi, ada banyak PR yang harus
dikerjakan sebelum mendesak dikeluarkannya wilayah perairan atau pelabuhan nasional dari
daftar hitam war risk area yang dikeluarkan oleh JWC.

Penyelesaian Masalah Oleh Pemerintah


Kementerian Perhubungan menyatakan tingkat keamanan kapal dan fasilitas
pelabuhan secara nasional berada pada tingkat keamanan 1 atau normal, berdasarkan Surat
Edaran Dirjen Perhubungan Laut No SE 2/2019.
  SE ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Laut Agus H. Purnomo pada 21 Januari 2019
itu diterbitkan guna memberikan kepastian mengenai situasi dan kondisi keamanan maritim
di Indonesia. 
Menurut dia, penetapan tingkat keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan di Indonesia
ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan International Ship and Port Facility Security (ISPS)
Code Part A.4 dan Part B.4.8-4.9 dan Peraturan Menteri Perhubungan No 134/2016 Pasal 4
Ayat 1 tentang Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan. 
“Aturan itu menunjuk Dirjen Perhubungan Laut sebagai Designated Authority (DA) yang
bertanggung jawab untuk menetapkan tingkat keamanan secara nasional untuk kapal dan
fasilitas pelabuhan di Indonesia,” jelasnya, Jumat (25/1/2019).
SE juga menginstruksikan seluruh pemangku kepentingan di wilayah Indonesia untuk
selalu meningkatkan kewaspadaan guna mengantisipasi segala kemungkinan ancaman
keamanan maritim di wilayah masing-masing.
  Adapun tingkat keamanan yang telah ditetapkan ini, lanjut Agus, dapat sewaktu-
waktu diubah sesuai dengan perkembangan keamanan maritim yang terjadi secara nasional
maupun setempat.
“Kami akan melakukan evaluasi setelah 6 bulan sejak Surat Edaran ditetapkan,” katanya.

Penyelesaian Masalah Menurut Saya


Bagi saya masalah keamanan di pelabuhan adalah masalah yang tidak bisa dianggap
sepele karena masalah keamanan merupakan tombak yang penting dalam menilai bagus atau
tidaknya pelabuhan tersebut di mata nasional maupun internasional, apalagi pelabuhan adalah
salah satu sumber penghasilan negara yang vital, sehingga jika pelabuhan Indonesia dianggap
tidak aman pastinya akan berpengaruh bagi pendapatan negara.
Menurut saya pengamanan pelabuhan harus ditingkatkan, karena selain akibatnya
akan menyusahkan pihak asuransi juga akan mengganggu berjalannya alur kegiatan di
pelabuhan, dan lebih lagi perhatian terhadap pihak asuransi agar memperhatikan ganti rugi
kompensasi bila terjadi hal yang bersangkutan dengan keamanan di pelabuhan agar nantinya
tidak terjadi kerugian bagi pihak asuransi karena ganti rugi yang di keluarkan lebih besar
dibandingkan persoalan masalahnya.
Keamanan di pelabuhan dapat ditingkatkan dengan menambah aparat-aparat
keamanan di tempat-tempat yang berpotensi besar terjadi pencurian sehingga kasus
kehilangan tidak sampai ke ABK yang nantinya akan memperumit berjalannya kegiatan di
pelabuhan dan jika prosesnya sampai naik ke ABK akan merugikan pihak asuransi
dkarenakan biaya ganti rugi yang pastinya akan lebih besar dibandingkan biaya barang yang
hilang.

Sumber Studi Kasus


http://www.koran-jakarta.com/masalah-keamanan-pelabuhan/
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190125/98/882564/keamanan-kapal-dan-fasilitas-pelabuhan-
nasional-dinyatakan-normal
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/permen/2016/PM_134_TAHUN_2016.pdf

Anda mungkin juga menyukai