Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian proses penanganan Keselamatan dan Keamanan Kapal


Proses penanganan Keselamatan pelayaran adalah segala hal yang ada dan
dapat dikembangkan dalam kaitanya dengan tindakan pencegahan kecelakaan
pada saat pelaksanan kerja di bidang pelayaran.
Proses penanganan keselamatan pelayaran adalah dalam berbagai rujukan
didefinisikan sebagai suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan
dan keamanan kapal yang menyangkut angkutan di perairan dan
kepelabuhanan, Disebutkan terdapat banyak penyebab kecelakaan kapal laut;
karena tidak diindahkannya keharusan tiap kendaraan yang berada di atas
kapal untuk diikat (lashing), hingga pada persoalan penempatan barang yang
tidak memperhitungkan titik berat kapal dan gaya lengan stabil misalnya.
Artinya, penyebab kecelakaan sebuah kapal tidak dapat disebutkan secara
pasti, melainkan perlu dilakukan pengkajian. Dalam ketidak laikan kapal,
bahwa sejak kapal dipesan untuk dibangun hingga kapal beroperasi, selalu
ada aturan yang harus dipatuhi, dan di dalam semua proses pelaksanaannya
selalu ada badan independen yang menjadi pengawasnya. Pada saat kapal
dirancang kemudian pemilihan bahan, dan selama proses pembangunannya,
selain pemilik kapal, pihak galangan kapal, dan pihak pemerintah selaku
administrator ada pihak Klasifikasi. Di Indonesia dilakukan oleh Biro
Klasifikasi Indonesia yang melakukan pengawasan dan pemberian kelas bagi
kapal yang telah selesai dibuat, hingga nanti setelah kapal beroperasi mereka
juga akan melakukan survey dan audit atas pelaksanaan semua aturan
keselamatan yang harus dipenuhi.
Kecelakaan angkutan laut yang menelan banyak korban jiwa dan harta
benda terjadi silih berganti dalam beberapa tahun belakangan ini diantaranya
KM Bahuga. Ada beberapa penyebab yaitu faktor manusia merupakan faktor
yang paling besar yang antara lain meliputi kecerobohan di dalam
menjalankan kapal, kekurang mampuan awak kapal dalam menguasai

7
8

berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, secara


sadar memuat kapal secara berlebihan. Lalu ada faktor teknis biasanya terkait
dengan kekurang cermatan di dalam desain kapal, penelantaran perawatan
kapal sehingga mengakibatkan kerusakan kapal atau bagian-bagian kapal
yang menyebabkan kapal mengalami kecelakaan, terbakarnya kapal seperti
yang dialami Kapal Tampomas diperairan Masalembo, Kapal Livina ada
faktor alam, faktur cuaca buruk merupakan permasalahan yang seringkali
dianggap sebagai penyebab utama dalam kecelakaan laut. Permasalahan yang
biasanya dialami adalah badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh
musim/badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang
terbatas.
Jika menilik aturan international keselamatan pelayaran. Bahwa Untuk
mengendalikan keselamatan pelayaran secara internasional diatur dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut; International Convention for the Safety
of Life at Sea (SOLAS), 1974, sebagaimana telah disempurnakan: Aturan
internasional ini menyangkut ketentuan konstruksi (struktur, stabilitas,
permesinan dan instalasi listrik, perlindungan api, detoktor api dan pemadam
kebakaran). Terdapat komunikasi radio, keselamatan navigasi. Perangkat
penolong, seperti pelampung, keselamatan navigasi. Dan penerapan
ketentuan-ketentuan untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan
pelayaran termasuk di dalamnya penerapan of the International Safety
Management (ISM) Code dan International Ship and Port Facility Security
(ISPS) Code). Ada International Convention on Standards of Training,
Certification dan Watchkeeping for Seafarers, tahun 1978 dan terakhir diubah
pada tahun 1995. International Convention on Maritime Search and Rescue,
1979. International Aeronautical and Maritime Search and Rescue Manual
(IAMSAR) dalam 3 jilid. Perangkat keselamatan yang yang digunakan dalam
evakuasi kapal dalam hal terjadi kebakaran ataupun kapal tenggelam berupa
Baju pelampung, Perahu sekoci, Rakit penolong Perangkat komunikasi.
Perangkat yang penting dalam komunikasi adalah sistem komunikasi yang
9

meliputi Radio komunikasi antar kapal, kapal dengan pelabuhan, kapal


dengan radio pantai serta telepon satelit.
Jenis kecelakaan, Bocor, Hanyut, Kandas, Kerusakan Konstruksi,
Kerusakan Mesin Meledak, Menabrak Dermaga, Menabrak Tiang Jembatan,
Miring, Orang Jatuh ke Laut, Tenggelam, Terbakar, Terbalik, Tubrukan,
Keamanan Kapal, Penilaian Keamanan Kapal dilakukan untuk
mengidentifikasikan kelemahan/kekurangan yang mungkin terjadi pada
bagian pengamanan (Security) kapal dan kemungkinan untuk mengurangi
atau mitigasi kelemahan/kekurangan dimaksud.
Elemen-elemen yang terjadi substansi dari hasil penilaian keamanan kapal
sebagaimana dimaksud dalam ISPS Code Part A.8 dan Part B. 8.3. Penilaian
keamanan kapal (SSA) dapat dilaksanakan oleh Company Security Officer
(CSO) dan atau petugas yang ditunjuk oleh Perusahaan. Recognized Security
Organization (RSO) yang telah di tetapkan oleh Direktur Jenderal
Perhubungan Laut. Rancangan Keamanan Kapal (Ship Security Plan).
Rancangan keamanan kapal merupakan rencana keamanan yang di
kembangkan dari hasil penilaian keamanan untuk memastikan bahwa
penerapan langkah-langkah keamanan diatas kapal yang di rancang dapat di
terapkan untuk melindungi orang, muatan, peralatan angkut muatan, gudang
perbekalan kapal dari resiko suatu gangguan keamanan.
Keselamatan dan kemanan berlayar, tempat perpindahan intra atau
antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap
memperhatikan tata ruang wilayah.Pengaturan tentang hal tersebut diatur
dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang
kaitannya dengan kegiatan pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan
lingkungan maritim. Tujuannya adalah kegiatan kepelabuhanan terwujud
dengan system transportasi yang efektif dan effisien, serat
mengimolementasikan yang termaktub dalam Pancasila sebagai Ideologi
Negara dan UUD 1945. Peraturan perundang-undangan merupakan hukum
positif yang sangat penting untuk mengatur segala kegiatan di pelabuhan dan
10

pelayaran. Hukum itu berfungsi mengatur, menertibkan manusia sebagai


objek hukum di dalam pergaulan sehar-hari, serta mampu menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan social masyarakat. Secara
sistematis, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat. Lawrance M.
Friedman (1987).
2.2 Keselamatan keamanan kapal
Dalam UU Nomer 17 tahun 2008 tentang pelayaran dinyatakan bahwa:
1. Keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan
terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan kapal yang
menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan
maritim.
2. Keliklautan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal,
pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan
kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan
dan pencegahan pencemaran dari kapal untuk berlayar di perairan
tertentu.
3. Keselamatan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
material, kontruksi, bangunan permesinan dan perlistrikan, stabilitas,
tata susunan serta perlengkapan, alat penolong dan radio, elektronik
kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan
dan pengujian. Untuk mengendalikan keselamatan pelayaran secara
Internasional diatur dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. International Convention for Safetyof Live Sea (SOLAS), 1974,
sebagimana yang telah disempurnakan dan aturan internasional ini
menyangkut ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Kontruksi (struktur, stabilitas, permesinan dan instalasi listrik,
perlindungan api dan pemadam kebakaran).
2) Komunikasi radio, keselamatan navigasi.
3) Perangkat penolong, seperti pelampung, sekoci, rakit
penolong.
11

4) Penerapan ketentuan-ketentuan untuk meningkatkan


keselamatan dan keamanan pelayaran termasuk didalamnya
penerapan International Safety Management (ISM) Code,
Internasional Ship and Port Facility Security (ISPS) Code.
b. International Convention on Standart of Training, Certifaction and
Wacth keeping for Seafarers, tahun 1978 dan terakhir diubah tahun
1995.
c. International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979
d. International Aeronautical and maritime Search and Rescue
Manual (IAMSR), (Danny F. Dk, 2015).

Regulasi yang mengatur tentang pelayaran adalah:


1. Secara nasional, Indonesia mempunyai peraturan lambung timbul
pada tahun 1996, dan peraturan Schepen Verordening 1935 (SV
1935) dan peraturan pelaksanaanya yang bersumber dari produk
hukum tersebut. Saat ini, penjabaran dari SV diatur dalam Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dalam
penjelasaanya mengamatatkan bahwa peraturan bidang keselamatan
dan keamanan memuat ketentuan yang mengantisipasi teknologi
dengan mengacu pada konvesi internasional yang cenderung
menggunakan peralatan mutakir pada sarana dan prasarana
keselamatan pelayaran, disamping mengakomodasi ketentuan
mengenai sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam
International Ship and Port Fasiliti Scurity Code (ISPS Code).
2. Secara nasional, Indonesia mengikuti peraturan tentang SOLAS
1974 dan amandemennya. Pada 1980 yang mengesahkan
“International Convention for The Safety of Life at Sea, 1974”
sebagai hasil konfeksi Internasional Tentang Keselamatan Jiwa di
Laut 1974, yang telah ditandatangani oleh Delegasi Pemerintah
Republik Indonesia, di London, pada 1 November yang merupakan
pengganti “International Convention for The Safety of Life at Sea,
12

1960”. Peraturan ini berlaku untuk semua kapal baik kapal Indonesia
maupun kapal asing yang melakukan pelayaran di manapun di dunia.
Sesuai dengan peraturan tersebut, maka pemerintah dalam hal ini
Kementrian Perhubungan memberikan kewenangan pengawasan
kepada Direktorat Jendral Perhubungan Laut untuk melaksanakan
pengawasan dan menerapkan ketentuan tersebut terhadap kapal-
kapal Republik Indonesia yang terkena peraturan ini maupun kapal
asing yang memasuki pelabuhan Indonesia. Untuk mengetahui
ketentuan tersebut, maka seluruh unit kerja Direktorat Jendral
Perhubungan Laut melakukan pengawasan yang dimulai dari awal
pembangunan suatu kapal sampai tersebut tidak dapat dioprasikan
lagi atau discrap.
Pasal 126 ayat (1) menyebutkan bahwa kapal yang dinyatakan
memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberi sertifikat
keselamatan oleh menteri. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa
sertifikat keselamatan terdiri atas.
a. Sertifikat kapal penumpang.
b. Sertifikat keselamatan kapal barang.Sertifikat kelaikan dan
pengawakan kapal penangkapan ikan.
Sementara itu, keselamatan kapal yang ditentukan melalui
pemeriksaan dan pengujian pada ayat (3). Dalam ayat (4) disebutkan
terhadap kapal yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) dilakukan penilian terus menerus sampai
kapal tidak digunakan lagi.

2.3 Pengertian pihak-pihak yang terkait


Pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo
melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014, mendirikan Badan
Keamanan Laut (Bakamla) yang sebelumnya bernama Badan Koordinasi
Keamanan Laut (Bakorkamla). Hal ini menarik untuk dibahas, karena selama
ini di Indonesia menganut sistem multi-agen yang merupakan sistem
13

kelembagaan dimana terdapat lebih dari 1(satu) institusi/lembaga yang


berinteraksi secara bersama-sama untuk mencapai atau untuk menyelesaikan
masalah yang sama. Ferber dan Gutknecht berpendapat bahwa agen-agen
penegakan hukum di laut tersebut merupakan suatu entitas otonom yang
berperilaku individual. Sifat interaksi multi-agen tersebut timbul karena:
pertama, sistem organisasi yang heterogen.
Masing-masing institusi mempunyai struktur organisasi tersendiri. Kedua,
perbedaan budaya dan sistem kerja antar organisasi. Meski berada dalam satu
platform atau satu cakupan bidang, masing-masing organisasi dikembangkan
dengan gaya yang berbeda sesuai dengan visi masing-masing organisasi. Ego
dan kompetisi kepentingan sektoral juga nampak dalam koordinasi
peningkatan kemampuan pengawasan keamanan di wilayah laut, terutama
antara TNI dan Polri. Salah satu contoh adalah inistiaf TNI AL untuk
meminjamkan sejumlah senjata dan amunisinya terhadap Kementerian
Kelautan Dan Perikanan (KKP), petugas Bea Cukai dan Kesatuan Penjaga
Laut dan Pantai melalui Nota Kesepakatan antara KSAL TNI Laksamana TNI
dengan ketiga perwakilan instansi tersebut. Padahal, izin penggunaan senjata
dan bahan peledak oleh pihak sipil merupakan kewenangan Kepolisian RI
seperti diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Surat
Keputusan Kapolri No. SKEP/82/II/2004 pada tanggal 16 Februari 2004.
Persoalan koordinasi dan fungsi integratif semakin menajam dengan proses
transisi sistem pengawasan maritim sejak berlakunya UU Nomor 43 tahun
2008 tentang Wilayah Negara dan UU Nomor 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran. Secara teroritis, aktor utama yang memiliki kewenangan dalam
kemaritiman untuk melakukan kontrol atas arus lintas maritim adalah Polisi
Perairan (Polair), Petugas Imigrasi, dan Petugas Bea Cukai. Polair, tugas
utamanya adalah pencegahan dan penindakan terhadap aktifitas arus lintas
barang dan orang yang bersifat illegal, pendeteksian ancaman keamanan,
serta pengontrolan terhadap orang dan barang di titik awal hingga tujuan,
penyelidikan dan penyidikan tindak kejahatan ataupun peristiwa
kecelakaan/insiden. Petugas Imigrasi bertanggung jawab untuk melakukan
14

kontrol persyaratan dan pelarangan masuk barang dan orang, menjamin


legalitas dari dokumen perjalanan, mengidentifikasi dan menginvestigasi
tindak kejahatan, dan membantu orang-orang yang membutuhkan
pertolongan. Petugas bea cukai pada dasarnya bertugas untuk mengatur arus
barang dan jasa. Fungsinya adalah memfasilitasi perdagangan sesuai
persyaratan yang ditentukan tentang keluar masuk barang, memastikan
pelaksanaan bea dan pajak masuk, serta melindungi kesehatan arus lintas
manusia, hewan dan binatang. Namun, pada kenyataannya di Indonesia
terdapat 12 (dua belas) instansi yang melakukan penegakan hukum dan
peraturan tentang laut secara bersama-sama. Lembaga-lembaga tersebut
mempunyai landasan hukum masing-masing yang isinya hampir
bersinggungan. Meski bersinggungan, dalam menjalankan fungsinya sebagai
penegak hukum di wilayah laut Indonesia, sehingga pengamanan dan
penegakan hukum belum berjalan maksimal. Masing-masing
instansi/kementerian terkait mempunyai kebijakan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia yang berbeda-beda, berdasarkan tugas pokok dan
fungsinya yang telah ditentukan. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo,
mencoba merubah sistem kelembagaan multi agent menjadi single agent
untuk penegakan hukum di laut Indonesia. Bakorkamla, yang awalnya hanya
sebagai koordinator direvitalisasi pada tanggal 8 Desember 2014 menjadi
Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) dengan wewenang yang lebih
luas sampai dengan kewenangan untuk menindak segala bentuk kejahatan di
laut. Hal ini menimbulkan pro dan kontra, karena persoalan utama yang
terjadi adalah kurangnya koordinasi antar lembaga, bukan membuat lembaga
baru. Lembaga yang sudah ada memang dijalankan sesuai tupoksi masing-
masing dan ini mengindikasikan peran spesifik dari masing-masing lembaga
(spesialisasi). Peran spesialiasi inilah yang harus diperkuat melalui fungsi
koordinasi. Misalnya Kementerian Perhubungan, khususnya Ditjen
Perhubungan Laut (dulunya Jawatan Pelayaran). Tugasnya adalah
memelihara keamanan, keselamatan navigasi dan menjaga marine pollution.
Armada KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) Direktorat Jenderal
15

Perhubungan Laut bertugas sebagai penjaga pantai dan penegakan hukum di


laut. Ada dasar hukumnya dan diakui oleh hukum internasional. Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (P2) bertugas mengawasi lalu lintas barang masuk
dan keluar NKRI umumnya, pelanggaran khususnya, lebih khusus lagi adalah
tugas mendeteksi dan menangkap penyelundupan di wilayah perairan
Indonesia.

2.4 Perngertian peralatan-peralatan yang digunakan dalam proses


keselamaan
Menurut Suryo Guritno (2018), Menyatakan bahwa Ada kalannya
petolongan untuk kapal yang dalam situasi darurat melalui pesawat udara
SAR, mungkin dalam bentuk kontainer atau paket tersebut seharusnya diberi
petunjuk yang jelas setidaknya 3 bahasa, dengan simbol atau dengan pita
warna menurut kode, sbb:
Merah : Suplay media & perlengkapak P3K
Biru : Makanan dan air
Kuning : Selimut dan baju pelindung
Hitam : Perlengkapan campuran (kampak, kompas,alat masak)
Warna campuran : Berisi campuran (sesuai dengan kebutuhannya)
Perlengkapan campuran mungkin meliputi:
1. Rakit individual / beberapa rakit dihubungkan dengan tali apung.
2. Suar radio atau alat pemancar apung.
3. Isyarat warna, asap dan nyala yang mengapung.
4. Suar paarasut untuk penerangan
5. Pompa penyelamat
Sebelum berlayar sehubungan dengan keselamatan kapal.
1. Sebelum kapal berlayar sesuai dengan keselamatan kapal
a. Memastikan garis haluan kapal menyusuri tempat yang
dianggap/kemungkinan ombaknya kecil (coastal voyage).
16

b. Memberi saran/arahan kepada officer of the word (OOW) untuk


senantiasa berlayar dengan tidak memotong ombak, usahakan
usahakan arah ombak 3-4 surat dari arah kanan lambung kapal.
2. Sebelum berlayar sehubung dengan keselamatan kru / penumpang
a. Memastikan semua alat keselamatan berkerja dengan baik sesuai
fungsinya masing-masing.
b. Memberikan familiarisasi kepada kru / penumpang tentang alat-alat
keselamatan di kapal berdasarkan fungsi, tempat dan cara pemakian
yang benar.
c. Memberitahukan kepada kru / penumpang bahwa kapal berlayar
dalam cuaca buruk
d. Memerintahkan ABK agar tidak bekerja di lokasi pinggir kapal dan
penumpang untuk menjahui lokasi pinggir-pinggir kapal.
3. Sebelum berlayar sehubungan dengan Muatan
a. Memastikan semua muatan di lashing dengan kuat agar tidak
bergeser pada saat kapal terkena ombak.
b. Jika dirasa perlu diberi lashing tambahan.
c. Memerintahkan ABK untuk secara periodik memeriksa lashingan
muatan

2.5 Faktor-faktor keselamatan


Karna dalam mengontrol kegiatan faktor manusia berperan, maka tugas
dan kewajiban setiap individu harus digariskan dengan jelas dengan
mempertimbangkan elemen-elemen “control, communication, competence”.
Untuk maksud tersebut diperlukan prosedur tertulis:
1. Bagimana cara mencegah kecelakaan yang dapat menimbulkan
kecelakaan.
2. Bagimana mengontrol potensi yang dapat menimbulkan kecelakaan.
3. Bagimana menanggulangi bahaya dan kecelakaan yang terjadi untuk
mengurangi dampak negatifnya.
17

Pada tahap awal perencanaan, perusahaan perlu mempertimbangkan:


a. Sumber dana dan sarana, peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan
peraturan.
b. Persiapan sumber daya manusia, termasuk prosedur penerimaan, seleksi,
penempatan karyawan sesuai kualitas dan kesanggupan.
c. Sumber informasi mengenai peraturan keselamatan kerja dan lindungan
lingkungan yang relevan dan sumber pengetahuan yang dapat
mendukung pelaksanaanya.

Menyusul kemudian bgaimana mengontrol keselamatan operasi yang


berwawasan lingkungan, termasuk didalamnya:
1) Identifikasi bahaya yang mungkin timbul.
2) Mempertimbangkan resiko yang mungkin timbul akibat kecelakaan yang
terjadi dengan melakukan ”Quantitative Risk Analyisi (QRA)”.
3) Mengontrol kecelakaan yang terjadi untuk menghindari atau mengurangi
resiko kerugian yang lebih banyak.

Butir 6 ISM Code menyebutkan bahwa seorang nahkoda kapal, harus


sanggup memeberikan komando dan mengambil keputusan yang tepat.
Nahkoda harus mengerti dan mengetahui isi SMS perusahaan, dan
melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
Selain ABK harus bersertifikat, berkualitas dan sehat secara medis sesuai
persyaratan nasional dan internasional, berdasarkan peraturan konvensi
STCW-95 (Standard of Training, Certification and Watchkeeping) untuk para
pelaut.
Untukn ini perusahaan harus membuat prosedur penilian personil yang
ditempatkan pada suatu jabatan penting dalam perusahaan dan menjadi
bagian dari sistem maanajemen atau SMS perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai