Anda di halaman 1dari 16

108 manajemen Budaya Keselamatan, Keamanan, dan Pelayaran Maritim

Operasi dan Kondisi Kapal serta Pelabuhan (Ship and Port


Operations and Conditions)
Dilaporkan data kepada IMO bahwa telah terjadi beberapa kecelakaan antara tahun 2000 dan
tahun 2001 yang ditinci pada Tabel 13.1.

Table 3-1 Data Kejadian Akibat Aktivitas Kriminal di Kapal


TAHUN 2000 TAHUN 2001
471 insiden 370 kejadian
72 kru terbunuh 17 kru terbunuh
129 kru terluka 5 kru 42 kru terluka
hilang 5 kru hilang 15 kapal
2 kapal dibajak dibajak
1 kapal hilang 2 kapal hilang
2 kapal hancur 1 kapal hancur

KEBIJAKAN KEAMANAN MARITIM (MARITIME SECURITY POLICY)


Pada tanggal 6 Oktober 2002, kapal tanker minyak dari Perancis MT. Limburg dihantam oleh
kapal kecil yang memuat bom berdaya ledak tinggi. Satu orang kru asal Bulgaria tewas dan
terjadi tumpahan minyak yang meluas di perairan Yaman (Gambar 13.3).

Gambar 13-2 MT. Limborg sebelum diledakkan oleh teroris.


International Maritime Organization (IMO) kemudian mengadopsi International Ship
and Port Facility Security (ISPS) Code baru yang ditetapkan dalam suatu di London bulan
Desember 2002. Dalam sidang tersebut, ditentukan langkah-langkah serius untuk
pengamanan maritim, pencegahan, dan peraturan yang tegas tentang
Budaya, Keamanan Pelabuhan dan kapal 109

Gambar 13-3 MT. Limburg setelah ledakan.


terorisme terhadap kapal. Hal ini disusul dengan penetapan (ISPS) Code yang diberlakukan
d1 Juli 2004.

International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code


SPS Code adalah suatu ketentuan atau peraturan yang berisi tentang tindakan khusus
Untuk meningkatkan keamanan kapal, perusahaan, dan fasilitas pelabuhan. Tujuannya
adalah:
1. Menetapkan suatu kerangka kerja sama di antara negara anggota badan pemerintah,
administrasi Lokal, industri pelayaran, dan pelabuhan untuk mendeteksi ancaman
keamanan dan cara mengatasinya.
2. Menetapkan tanggung jawab dan peran masing-masing pihak yang terkait (sesuai
butir 1) untuk meningkatkan keamanan maritim.
Gambar 13-4 Sidang IMO di London bulan Desember 2002.
110 Manajemen Budaya Keselamatan, Keamanan, dan Pelayanan Maritim
3. Menciptakan metodologi penilaian keamanan untuk menghasilkan rangangan dan prosedur
dalam mengambil langkah-langkah perubahan tingkat keamanan.
4. Memastikan pengumpulan dan pertukaran informasi yang terkait dengan keamanan
Memastikan kepercayaan bahwa ketentuan keamanan maritim lebih awal
5. Memastikan kepercayaan bahwa ketentuan maritim cukup dan profesional di tempatnya.

KONVENSI, KODE, DAN REKOMENDASI INTERNASIONAL


(RELEVANT INTERNATIONAL CONVENTIONS, CODES
AND RECOMMENDATIONS)
Hukum Internasional
1. ISPS Code 2002
2 SOLAS 1974 dan Amandemen 2 (1948, 1960, 1974, 1995, 2010) 3. Circular Letter IMO
tentang Maritime Security
4. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN YANG


RELEVAN (RELEVANT GOVERNMENT LEGISLATION
AND REGULATIONS)

Hukum Nasional
1. UU RI No. 17/2008 tentang Pelayaran.
2. UU RI No. 15/2003 tentang Penerapan Peraturan Peruerintah Pengganti Undang-
Undang No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
3. UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
4. PP. No. 69 tahun 2000 tentang Kepelabuhanan.
5. PP. No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan. 6. PP. No. 51 tahun 2002 tentang
Perkapalan.
6. Keppres No. 65/1980 tentang Ratifikasi SOLAS 1974. 8. Kep Men. Koordinator
Bidang Polkam RI.
7. 9. No. Kep, 05/Menko/Polkam/2/2003 tentang Pembentukan Pokja.
8. 10. Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut.
9. 11. Kep Men, Perhubungan No. 63 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Pelabuhan.
10. 12. Kep. Menhub No. 33/2003 tentang Pemberlakuan ISPS Code.
11. 13. Kep. Menhub No. 3/2004 tentang Penetapan Designated Authority.
12. Surat Dirjen Hubla No KL. 933/17/15/DV-04 tahun 2004 tentang Implementasi ISPS
Code, Pengawasan oleh PSC/PSO.
13. Surat Dirjen Hubla No. KL. 933/3/7/DV-04 tahun 2004 tentang Pedoman Pemberlakuan ISPS
Code, Prosedur Dos.
14. Keputusan Dirjen Hubla No. UM. 480/12/3/20/DV-04 tahun 2004 tentang petunjuk
Pelaksanaan Penerapan Keamanan Kapal dan Pelabuhan.
15. Surat Dirjen Hubla No. UM. 933/3/20/DV-04 tahun 2004 tentang Pedoman Pemberlakuan
ISPS Code, Penerapan Pemberitahuan Kedatangan Kapal (Pre Arrival Notification).
16. Surat Dirjen Hubla No. KL. 933/7/8/DV-04 Tahun 2004 tentang Persiapan Verifikasi
Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan.
17. Mapel Dirjen Hubla No. 327/Phbl-04 Tahun 2004 tentang Penetapan Penggunaan Frekuensi
Jaring Komunikasi untuk ISPS Code.
18. Surat Dirjen Hubla No. KL. 933/718/DV-04 Tahun 2004 tentang Tindak Lanjut Hasil
Verifikasi Penerapan ISPS Code pada Kapal.
19. Surat Dirjen Hubla No. KL. 933/2/1/DV-O5 Tahun 2005 tentang Pemeliharaan dan
Peningkatan Penerapan ISPS Code bagi Fasilitas Pelabuhan yang telah memperoleh SoCPE.
20. Surat Dirjen Hubla No. KL. 933/1/16/DV-05 Tahun 2005 tentang Pembenahan Penerapan
ISPS Code bagi Fasilitas Pelabuhan yang telah memiliki SoCPE.

KEWAJIBAN PEMERINTAH SEBAGAI REGULATOR

1. Bahwa negara peserta wajib menetapkan tingkat keamanan dan memberikan bimbingan
untuk berlindung dari insiden keamanan (A/4.1)
2. Apabila negara peserta telah menctapkan keamanan tingkat 3, maka wajib mengeluarkan
instruksi dan informasi kepada kapal (A/4.2)
3. Negara peserta dapat mendelegasikan tugas-tugas tertentu menyangkut keamanan kepada
orang yang telah diakui, kecuali dalam hal-hal khusus (A/4.3)
4. Negara peserta wajib melakukan pengujian sepanjang dianggap perlu terhadap rancangan
keamanan, baik kapal (SSP) maupun fasilitas pelabuhan (PFSP) (A/4.4).

DEFINISI ISPS CODE

Ship Securitry Officer (SSO) adalah pejabat keamanan di kapal, yakni seorang perwira kapal yang
bertanggung jawab terhadap koordinasi keamanan di kapal, pelabuhan darat atau terminal
khusus di lepas pantai. Port Facility Security Officer (PFSO) adalah pejabat fasilitas pelabuhan,
yakni orang yang bertanggung jawab terhadap koordinasi keamanan di pelabuhan, pelabuhan
darat atau terminal khusus di lepas pantai dan laut.

Definisi dalam ISPS Code:

1. Company Securiry Officer (CSO)


2. Ship Security Officer (SSO)
3. Ship Security Plan (SSP)
4. Port Facility Security Officer (PFSO)
5. Port Facility Security Plan (PFSP)
6. Port Security Commitee (PSC)
7. Port Security Committee Officer (PSCO)
8. Ship and Port Interface
9. Ship to Ship Activity
10. Securiy Incident
11. Security Level
12. Designated Authority (DA)
13. Declaration of Security (DoS)
14. Recognized Securiry Organization (RSO).

PENERAPAN KEAMANAN OLEH AWAK KAPAL


Prosedur Keamanan dalam Rangka Pengawasan Keamanan Pelabuhan (Security procedure in
order to monitor port facility security)
Daftar Prosedur Diambil dari Contoh "Level -3":
List of Procedure:
L3-P601 Petugas dan Patroli Keamanan di atas kapal Level 3
13-P60I Officer and Security Patrol on kapal Level 3
L3-P602 Petugas dan Patroli Perairan Level 3
L3-P602 Officer and Waters Patrol Level 3
L3-P603 Penerangan Level 3
L3-P603 Lighting Level 3
L3-P604 Penggunaan CCTV Level 3
L2-P604 CCTV Implementation Level 2
L3-P605 Prosedur Evakuasi
L2-P605 Evacuation Procedure

"Kekuatan bukan berasal dari kapasitas fisik. Kekuatan datang dari keteguhan
kehendak"
Mahatma Ghandi (Mantan Presiden India)
PETUGAS DAN PATROLI KEAMANAN DI KAPAL DAN PELABUHAN

L3
Petugas dan Patroli Keamanan di Kapal dan Pelabuhan
P601
No Item Keterangan
1 Tujuan Menjamin pengawasan keamanan di atas kapal dan perairan
sekitar Pelabuhan
2 Lokasi Kapal, perairan sekitar pelabuhan
3 Alat HT, Borgol, Senter, Infra-red binocular, Senjata
4 Petugas SSO dan PFSO
Petugas dan Keamanan kapal dan Pelabuhan
Ship’s Master
5 Pelaksanaan
1 Menambah jumlah petugas keamanan yang siaga
2 Melaksanakan patrol keamanan di atas kapal secara terus-
menerus
3 Menambah jumlah petugas keamanan

L3
Officer and Security Patrol on Ship and Port
P601
No Item Remarks
1 Objective Menjamin pengawasan keamanan di atas kapal dan perairan
sekitar Pelabuhan
2 Location Kapal, perairan sekitar pelabuhan
3 Instrument HT, Borgol, Senter, Infra-red binocular, Senjata
s
4 Performer SSO
Security Personnel Ship or Port
Ship’s Master
5 Implementation
1 Addition on standby Security Personnel numbers
2 Performs security patrol on Ship continuosly
3 Addition on Security Personnel numbers
KETENTUAN PSC DALAM KONVENSI IMO
Konvensi IMO yang berhubungan dengan kapal menempatkan tanggung jawab untuk
keselamatan dan perlindungan lingkungan laut pada negara bendera. Namun, hal ini diakui
bahwa suatu negara pelabuhan dapat memberikan kontribusi yang berguna untuk rujuan
dimaksud dan beberapa konvensi (SOLAS 74/78, MARPOL 73/78, Load Line 66, SCTW 78/95,
dan ILO No. 147) memuat ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan kepada
negara pelabuhan untuk melakukan pengawasan terhadap diterap kannya persyaratan
konvensi di bidang keselamatan, keamanan, dan pencegahan pencemaran laut.

1. Kapal Berbendera Negara Bukan Peserta


Pengawasan dilakukan oleh negara pelabuhan didasarkan pada prinsip bahwa negara
pelabuhan mengakui sertifikat internasional yang diterbitkan oleh atau atas nama negara
bendera. Hal ini perlu dimengerti bahwa pengakuan dimaksud adalah suatu hak istimewa
yang hanya diberikan kepada negara peserta konvensi. Negara bukan peserta konvensi
tidak boleh menerbitkan sertifikat dimaksud. Namun, negara ini dapat menerbitkan
tersebut atas kewenangan yang diberikan oleh suatu negara peserta konvensi sesuai
ketentuan konvensi yang terkait. Sumber langsung yang memberikan kewenangan untuk
melaksanakan program adalah Undang-Undang Nasionalnya. Oleh sebab itu, penting bagi
negara pelabuhan untuk menjadi peserta dari konvensi dan memiliki legalisasi yang
diperlukan untuk melakukan pengawasan (Post State Control). Ratifikasi konvensi adalah
suatu proses yang berkesinambungan dan negara pelabuhan harus mengikuti
perkembangan terhadap negara lain yang telah meratifikasi konvensi-konvensi terkait
dalam rangka pemeriksaan. Informasi ini dikeluarkan oleh Sekretariat IMO melalui surat
edarannya (circulars). Circulars yang berhubungan dengan konvensi untuk Port State
Control adalah sebagai berikut.
a. Cir. SLS 12 tentang SOLAS 1974
b. Circ. PMP.2 tentang MARPOL 73/78
c. Circ. LL tentang LL 1966
d. Circ. STCW tentang STCW 1978 (Amendment 2010)
e. Circ. COLREG tentang COLREG 1972.

2. Kapal-kapal di Bawah Ukuran Konvensi


Konvensi maritim pada umumnya mempunyai batas-batas pemberlakuan untuk setiap
kategori dari ukuran kapal. Hal ini dapat berhubungan dengan tonase, panjang kapal, atau
parameter lainnya terhadap kapal, dan dalam konvensi tertentu terhadap umur dan kapal
daerah pelayaran. Batas aplikasi dimaksud tidak hanya menyangkut terhadap sertifikat,
tetapi kapal beserta perlengkapannya, dengan kata lain dalam sejumlah kasus,
diisyaratkan tidak perlu sertifikat, sedangkan dalam kasus-kasus lain sebuah kapal
dibebaskan dari desain atau persyaratan perlengkapan. Hal ini tidak mengubah faktanya
bahwa kapal dimaksud hanya boleh diizinkan berlayar, jika keselamatan dan perlindungan
terhadap lingkungan laut terjamin. Hal lazim adalah bahwa kapal tersebut harus
memenuhi persyaratan dari negara bendera, yang mungkin tidak diketahui oleh para
inspektur dari negara pelabuhan. Oleh sebab itu, PSCO (Post State Control Officer) harus
memakai kebijaksanaannya dalam mempertimbangkan kondisi kapal tersebut dan mereka
dapat dibantu dengan beberapa bentuk sertifikat yang diterbitkan oleh atau atas nama
Negara bendera yang terkait.

3. Identifikasi Kapal di Bawah Standar atau Risiko Pencemaran


Identifikasi kapal di bawah standar atau kapal yang dapat menimbulkan risiko
pencemaran adalah jelas suatu hal yang memerlukan pertimbangan secara profesional.
Pengalaman yang lampau memperlihatkan bahwa interpretasi dapat berbeda-beda di
antara negara. Kesulitan dalam menetapkan kapal demikian direfleksikan dalam pedoman
tentang pengawasan negara pelabuhan (Guidelines On Port State Control), yang hanya
diberikan secara umum. Suatu prinsip yang perlu diingat adalah perlengkapan yang
diisyaratkan oleh konvensi harus ada dan telah diservis, kedua-duanya. Jika tidak, kapal
tidak sesuai dengan sertifikat dan tindakan perbaikan harus segera diambil. Walaupun
demikian, hal yang nyata bahwa suatu perbedaan antara kegagalan dari suatu
perlengkapan yang tidak ada pendukungnya, misalnya “Oily Water Separator” dan
rusaknya salah satu bagian dari mesin pencuci tangki.

4. Pengawasan Secara Regional (Kawasan)


Kerja sama pengawasan dalam suatu kawasan dituangkan dalam memorandum, yang
disebut dengan “Memorandum of Understanding”. Sejumlah kawasan di dunia yang
telah melakukan kerja sama adalah:
a. The Paris Memorandum of Understanding on Port State Control (Paris MOU),
adopted on Paris on 1 July 1982.
b. The Acuerdo de Vina del Mar (Vina de Mar or Latin America Agreement), signed in
Vina del Mar (Chile) on 5 November 1992.
c. The Memorandum of Understanding on Port State Control in the Asia-Pacific
Region (Tokyo MOU), signed in Tokyo (Japan) on 1 December 1993
d. The memorandum of Understanding on Port State Control on the Caribbean
Region (Caribbean MOU), signed in Christchurch (Barbados) on 9 February 1996.
e. The Memorandum of Understanding on Post State Control in the Mediterranean
Region (Mediterranean MOU), signed in Malta on 11 Juli 1997.
f. The Indian Ocean Memorandum Understanding on Post State Control (Indian
Ocean MOU), signed in Pretoria (SOUTH Africa) on 5 June 1998.
g. The Memorandum of Understanding on Port State Control in the west and Central
African Region (Abuja MOU), signed in Abuja on 22 October 1999
h. The memorandum of Understanding on Port State Control in the Persian Gulf
Region (...........MOU), signed in....... On......... (2000).
5. Pengawasan Melalui Pemonitoran (Monitoring Control)
Pengawasan dilakukan dengan suatu tujuan atau maksud yang bertujuan memperbaiki
pemenuhan dengan sejumlah konvensi, yang harus direfleksikan dalam pengurangan
kecelakaan dan pencemaran. Statistik kecelakaan dikomplikasikan oleh sejumlah
lembaga, antara lain Lloyd's (casualty statistic by Lloyd's), tetapi catatan

122 Manajemen Budaya Keselamatan, Keamanan, dan Pelayanan Maritim

yang akurat dan statistik yang dibuat oleh negara pelabuhan harus menunjukkan
apakah kekurangan (deficiences) dan laporan pencemaran menurun. Hal yang penting
adalah bahwa informasi tersebut dikumpulkan pada suatu kawasan dan atas dasar
dunia luas. Terkait dengan hal ini, IMO memegang peranan penting dalam
memelihara catatan dan statistik tentang hasil pengawasan olch negara pelabuhan.

PENERAPAN PORT STATE CONTROL

Istilah "Port State" (Negara Pelabuhan) dipakai untuk menjelaskan bahwa suatu negara yang
memiliki pelabuhan laut. Konvensi international tentang keselamatan maritim dan pencegahan
pencemaran mengizinkan suatu negara untuk memeriksa kapal asing dalam salah satu pelabuhannya
untuk memastikan bahwa kapal tersebut secara substansi memenuhi standar untuk sertifikat
internasional yang diisyaratkan untuk dibawa atau berada di kapal.
Secara internasional, prosedur disetujui berdasarkan pada asumsi bahwa sebuah kapal akan
memenuhi semua persyaratan konvensi. Apabila sertifikat kapal masih berlaku dan kesan umum serta
hasil pengamatan menunjukkan adanya standar pemeliharaan yang baik, pejabat pemeriksa di
pelabuhan tau disebut inspektur/inspector, hanya akan memeriksa kekurangan atau "deficiencies"
yang dilaporkan. Apabila inspektur meyakini secara pasti bahwa dasar-dasar yang kuat (clear
grounds), bahwa sebuah kapal mungkin di bawah standar (substandards ship), suatu pemeriksaan
yang lebih rinci dapat dilakukan. Penting untuk mengakui bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh
negara pelabuhan (Post State Control Inspections) adalah suatu langkah tindakan kedua yang didesain
untuk menambah atau suplemen pengaturan pengawasan negara bendera.
Sift pemeriksaan PSC, terutama berhubungan dengan perlengkapan keselamatan kapal, tidak
mengizinkan untuk melakukan pengujian struktural sesungguhnya. Pemeriksaan PC tidak didesain
untuk mendeteksi kesalahan struktural utama. Apabila dijumpai adanya kerusakan, negara pelabuhan
hanya bertanggung jawab untuk memastikan agar kerusakan tersebut diperbaiki. Kerusakan tersebut
mungkin diminta untuk diperbaiki sebelum kapal berlayar. Keharusan untuk perbaikan didasarkan
pada kerusakan yang serius. Kapal dapat ditahan hingga perbaikan telah dilakukan atau harus
dikerjakan dalam kurun waktu tertentu atau mungkin dapat diperbaiki di pelabuhan yang akan
dikunjungi berikutnya.

INTERNATIONAL MARITIME DANGEROUS GOODS (IMDG)


1. STCW 1978/95 (Standard on Training Certification and Watchkeeping Seafarer)
adalah standar minimum untuk pelatihan Cerrificate sera yang melaksanakan jaga laut
untuk pelaut. Pertama kali, diterbitkan 7 Juli 1978 dan mulai berlaku 28 April 1984.
Amandemen 1991 berhubungan dengan GMDSS dan beberapa hal yang telah
ditetapkan dalam resolusi MSC 21 (59).
2. Amandemen 1291: Amandemen tentang persyaratan training khusus orang yang
bekerja di atas kapal tentang yang ditetapkan dengan resolusi MSC. 33 (63) dan
Budaya, Pemeriksaan & Pelayanan Standar Internasional
123
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996. Amandemen 1991: Menetapkan resolusi
"THE SEAFARES TRAINING CERTIFICATION WATCHKEEPING(STCW)".
3. IMDG CODE (International Maritime Dangerous Goods) secara ringkas IMDG
Code dapat disesuaikan sebagai berikut:
a. Pengangkutan barang berbahaya melalui laut terus berkembang sejak Perang
Dunia kc-2 sejalan dengan kebutuhan pemakaian bahan atau at tersebut. Peraturan
tentang pengangkutan diperlukan untuk mencegah kecelakaan terhadap manusia
atau kerusakan terhadap kapal.
b. International Conference on SOLAS 1929 menyadari kebutuhan peraturan yang
dapat berpengaruh secara internasional SOLAS Conference 1948 mengadopsi
klasifikasi barang berbahaya.
4. ECOSOC (U.N. Economic and Social Council) menerbitkan resolusi pembentukan
U.N. Committee of Experts on the Transport of the Dangerous Goods.
5. SOLAS Conference 1960 membuat kerangka ketentuan CHAPTER VII SOLAS.
6. IMDG CODE merupakan salah satu instrumen yang sangat penting di bidang
keselamatan maritim yang dibuat oleh IMO pada tahun 1965 dan telah mengalami
perubahan serta perubahan sesuai dengan perkembangan angkutan barang berbahaya
dan jenis-jenisnya. IMDG CODE pertama terdiri atas 5 volume ditambah supplement.
a. Dalam konvensi internasional SOLAS 1974 BAB VII dan Amandemennya
b. Diatur tentang “Carriage of Dangerous Goods” yang dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu:
1) Bagian A: Carriage of Dangerous Goods in Packed from or in Solid from in
Bulk. Rosa flies ne
2) Bagian B: Construction and Equipment of Ship Carrier Dangerous Liquid
Chemical in Bulk.
3) Bagian C: Construction and Equipment of Ship Carring Liquefied Gases and
Bulk.
4) Bagian D: Special Equipment for the Carriage Immediated Nuclear Fueh,
Plutonium and High-Level Radioactive Wastes on Board Ships.
Materi bagian B menjadi acuan dalam "International Bulk Chemical (IBC) Code,
sedangkan bagian C menjadi acuan Gas Carriage (IGC) Code dan bagian D.
7. Klasifikasi dan pengepakan:
Barang berbahaya dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
Kelas 1 : EXPLOSSIVES
Zat-zat yang memiliki sifat mudah meledak.
Divisi I : Zat-zat dan barang-barang yang memiliki bahaya eksplosif.
Divisi III : Zat-zat dan barang-barang yang memiliki sifat khusus.
Divisi IV : Zat-zat dan barang-barang yang tidak menimbulkan bahaya besar.
Divisi V : Dr; 'Zat-zat yang tidak dianggap memiliki bahaya eksplosif.
Divisi VI : Barang-barang yang sama sekali tidak memiliki bahaya eksplosif.
Kelas 2 :GASES COMPRESSED LIQUIFIED OR DISSOLVED UNDER
PRESSURE GAS

124 Manajemen Budaya Keselamatan, Keamanan, dan Pelayanan Maritim


Gas bertekanan dicairkan di bawah tekanan.
Kelas 3 : FLAMMABLE LIQUID
Zat-zat yang mudah menyala.
Kelas 4-1 : Flammable solid (zat-2at yang mudah menyala).
Kelas 4-2 : Zat-zat yang kemungkinan bear dapat terbakar secara spontan
Kelas 4-3 : Zat-zat yang jika kontal dengan air, dapat memancarkan gas-gas yang
mudah menyala.
Kelas 5-1 : Zat-zat yang dapat beroksidasi.
Kelas 5-2 : Organic peroxidesl peroksida organik.
Kelas 6-1 : Toxic subtances (zat-zat yang beracun).
Kelas G-2 : Zat-zat menular.
Kelas 7 : Bahan-bahan radioaktif.
Kelas 8 : Corrosive (bahan korosif yang merusak)
Kelas 9 : Bermacam-macam zat berbahaya, yaitu zat-zat lain yang menurut
pengalaman telah memperlihatkan sift sehingga ketentuan-ketentuan
tentang barang berbahaya harus diterapkan other regulated materials
(ORM).
GLOBAL MARITIME DISTRESS AND SAFETY SYSTEM (GMDSS)
Sistem Komunikasi Bahaya dan Keselamatan Maritim Global
Kelebihan GMDSS antara lain:
1. Panggilan bahaya dapat dilakukan lebih cepat dan lebih muda.
2. Operasi SAR lebih efektif.
3. Adanya pencegahan kesalahan dan pancaran bahaya
4. Panggilan bahaya langsung ke RCC.
5. Peralatan di kapal sesuai dengan wilayah kapal berlayar.
6. Ada sembilan fungsi komunikasi dalam GMDSS, yaitu:
a. Mengirim berita bahaya.
b. Mengirim dan menerima berita bahaya dari kapal ke kapal.
c. Mengirim berita bahaya dari stasiun radio pantai.
d. Mengirim dan menerima komunikasi SAR.
e. Mengirim dan menerima komunikasi di tempt musibah.
f. Mengirim dan menerima tanda penentu posisi.
g. Mengirim berita maritim keselamatan.
h. Mengirim dan menerima komunikasi umum dari origin komunikasi di darat.
i. Mengirim dan menerima komunikasi bridge to bridge.
7. Ketentuan mengenai GMDSS mulai diberlakukan pertama kali melalui SOLAS 1974
Amandemen 1992 pada bulan Februari 1992. Sistem in mempunyai perubahan-
perubahan sebagai berikut.
a. Alerting dapat dilakukan segera (Immediate Alerting System)
Budaya, Pemeriksaan & Pelayanan Standar Internasional 125

b. Penyusunan dan pengiriman "Alerting" diproses secara cepat.


c. Penyampaian "Distress Alert" dengan cepat dan efektif.
d. Komunikasi SAR dapat berjalan secara efektif dan efisien.
e. Peralatan dalam GMDSS diharuskan memiliki kriteria khusus agar berita
bahaya terjamin dapat dilaksanakan dengan bail, dan GMDSS
mengisyaratkan adanya duplikasi alat untuk wilayah pelayaran tertentu.
8. Kapal-kapal dalam keadaan darurat harus mengirimkan berita bahaya pada stasiun
radio pantai dan pusat koordinasi SAR (Rescue Coordinating Center/REC). Stasiun-
stasiun ini kemudian menyampaikan berita bahaya di terima pada kapal-kapal yang
ada di sekitar tempt kejadian musibah.
9. Persyaratan minimal alat-alat yang harus dibawa oleh kapal bergantung pada wilayah
kapal tersebut akan berlayar/beroperasi.
10. Pembagian wilayah perairan (sea area) dalam GMDSS meliputi:
a. Sea area A1: Daerah pantai yang dapat dijangkau oleh stasiun radio pantai yang
dilengkapi dengan sedikitnya 1 set VHF Transceiver + DC Alerting secara terus-
menerus.
b. Sea area A2: Daerah pelayaran tidak termasuk sea area Al yang dapat dapat
dijangkau oleh stasiun radio pantai dengan pesawat radio MF yang dilengkapi
dengan DC yang mampu menyediakan Alerting secara terus-menerus.
c. Sea area A3: Darah pelayaran yang tidak termasuk sea area A1, A2 yang masuk
dalam jangkauan komunikasi Inmarsat dan mampu menyediakan Alerting secara
terus-menerus.
d. Sea area A4: Semua wilayah pelayaran, slain sea area A1, A2, dan A3 (termasuk
daerah pelayaran dekat kutub).
DEFINISI ISTILAH
1. Alerting
Pengiriman berita bahaya dari satu kapal yang menerima musibah di laut (keadaan
darurat) kepada kapal lain atau RCC, kemudian mengoordinasikan dan memimpin
operasi pertolongan (SAR).
Alerting dapat dilakukan dengan:
a. VHF pada Channel 70 (Freq 156,525 MHz)
b. MF pada frekuensi 2187,5 KHz
c. HF pada frekuensi tertentu, misalnya 8414,5 KHz.
2. Distress Communication:
a. Komunikasi bahaya dengan radio antara kapal dan keadaan darurat dengan stasiun
radio lain yang terlibat dalam operasi SAR.
b. Frekuensi yang digunakan untuk "DISTRESS COMMUNICATION" antara lain:
1) Kapal dengan kapal
2) MF = 2182 KHz
3) VHF = Channel (Ch) 16 (frek. 156,8 MHz)

126 Manajemen Budaya Keselamatan, Keamanan, dan Pelayanan Maritim


4) Kapal dengan pesawat
5) MF = 3023 KHz
6) HF = 4125 KHz dan S680 KHz
3. Di Nogara-negara terentu, dibolehkan mensyaratkan helikopter dan pesawar terbang
menggunakan VHF Ch, 16 dan MP 2182 KHtz. untuk komunikasi darural ini
(misalnya Norwegia).
4. Ship in Distress:
a. Kapal atau orang dalam keadaan bahaya/darurat schingea Safery Massage to Ship
b. Berita tentang keselamatan pelayaran yang disampaikan ke kapal biasanya
dilakukan olch stasian pantai (coast station) yang termasuk Safety Massage ANI.
c. Navigational warning, Meteorological warning, Wheater forecast, dan berita
umum lainnya yang dapat dianggap penting. Berita-berita maritime safety
information (MS1) disampaikan melalui NAVTEX atau HF-TEIFX.
5. Communication in General.
Komunikasi umum, vaitu komunikasi antara kapal dengan stasiun pantai, baik dengan
menggunakan VHF, MF, HF maupun Inmarsat yang dilakukan melalui telepon, telex
atau transmisi data.
6. Persyaratan Minimum Alat-Alat di Sea Area Al harus Memiliki:
Kapal-kapal yang berlayar di sea area Al harus memiliki:
a. VHF Transceiver
b. VHF DSC Controller Receiver
c. Watch Keeping Receiver Ch. (frek. 156,825 MHz) dan Freq. 2182 KHz (hanya
sampai 1 Januari 1999).
d. Pesawat penerima NAVFTEX (frek. 518 KHz)
e. EPIRB Cospas sarsat atau inmarsat.
f. Portable VHF untuk kapal dengan GRT 500m 3 atau lebih = 3 buah untuk kapal
dengan GRT antara 300m* = 2 buah
g. SART untuk kapal dengan GT 500m3 atau lebih = 2 buah untuk kapal dengan
GRT antara 300-500m3 = 1 bulan
7. Kapal-Kapal yang Berlayar di Sea Area Al dan A2 harus Memiliki:
a. Semua peralatan yang dimiliki pada sea area Al
b. MF Transceiver
c. DSC Controller receiver frekuensi 2187,5 KHz
d. Watchkeeping receiver frequency
8. Kapal-kapal yang berlayar di sea area Al, A2 dan A3 ditambah semua peralatan yang
dimiliki pada sea area Al dan A2 ditambah:
a. Stasiun bumi kapal inmarsat-A atau inmarsat-C
b. Pesawat penerima EGC (Enhance Group Call)
9. Kapal-kapal yang berlayar di sea area Al, A2, A3, dan A4 harus memiliki semua
peralatan yang ada pada sea area A1, A2 dan A3, ditambah:
a. MFIHF Transceiver
Budaya, Pemeriksaan & Pelayanan Standar Internasional 127
b. HF- DSC controller receiver pada frekuensi yang relah diverapkan sesuni
radio regulation.
c. EPIRB (Emergency Position Indicating Radio Beacon).
Pada tahun 1980, terjadi suatu; perjanjian Cospas/ Sarsal® yang membahas
tentang peria sama dalam hal sistem SAR dengan menggunakan alar bantu sarelit
yang dirandarangani oleh Kanada, Perancis, USA, dan Rusia, kemudian pada
tahun berikuenya, dikuri olch Ingeris, Norwegia, Swedia, Finlandia, Brasil, dan
Australia. Pada avalinya, kapal harus dilengkapi dengan rambu radio posisi
penentu dalam Acadaan darurat (Emergency Position Indicating Radio Beacon
EPIRB) yang bekerja pada Channel 70 (VH-IF), tetapi dengan sistem satelit
khusus untuk SAR, digunakan Frekuensi 121,5 MHz dan 406 MHz. Tanggal 1
Agustus 1993, radio kapal harus dilengkapi dengan EPIRB yang secara otomatis
terapung saat beroperasi (memancar) ketika kapal tenggelam, baik cospas/sarsat
EPIRB maupun inmarsat L-DAND EPIRB (1,6 GHz). Jenis-jenis EPIRB yang
disetujui IMO antara lain:
a. Caspas sarsat EPIRB 121,5/406 MHz menggunakan satelit orbit kutub.
b. Inmarsat-E EPIRB (1,6 GHz) menggunakan satelit Inmarsat.
c. VHF EPIRB 121,5 MHz dimonitor oleh satelit orbit kutub dan pesawat
terbang.
d. VHF EPIRB Channel 70 menggunakan VHF-DSC Channel 70. Keempat
EPIRB yang disetujui IMO dalam GMDSS tersebut paling disarankan karena
memiliki banyak kelebihan dan kepastian.
10. Search and Rescue/Radar Transponder (SART)
Radar yang digunakan untuk melokalisasi tempat kejadian kecelakaan yang dapat
dideteksi oleh radar yang bekerja pada frekuensi tertentu (radar 3 cm). Sesuai dengan
peraturan, jika SART dalam kondisi "STAND BY", baterai harus tahan sedikitnya 96
jam, sedangkan pada keadaan aktif, baterai harus dapat bertahan paling sedikit & jam
secara terus-menerus untuk memenuhi apakah SART yang telah ditangkap oleh
sebuah radar, dapar didengar melalui sinyal dan dapat dilihat lampu hijau yang
berkedip-kedip, yang boleh jadi menandakan adanya kapal yang mendekat dan akan
memberikan pertolongan. Ada 3 macam jenis SARI, yaitu:
a. SART yang dipasang tetap pada rakit penolong atau sekoci penolong.
b. Portable SART,; yait SART yang disimpan di kapal dan dapar dibawa ke rakit/
sekoci
c. SART yang dipasang pada EPIRB.
“Anda semua terlahir untuk menang, tetapi untuk menjadi seorang pemenang. Anda
harus merencanakan kemenangan, mempersiapkan dan mengharapkan kemenangan”
Zig Ziglar (Penulis Buku Motivasi)

Anda mungkin juga menyukai