Anda di halaman 1dari 2

Patofisiologi Fimosis

Pertambahan usia akan menstimulasi kerja hormon dan faktor pertumbuhan yang juga
berfungsi dalam keratinisasi lapisan epitel. Desquamasi lapisan epitel khususnya pada preputium dan
hasil dari secret kelenjar sebaseae akan membentuk smegma yang akan memisahkan preputium dan
gland penis. Smegma dapat memudahkan preputium untuk diretraksi. Pada beberapa balita baru lahir
atau usia balita sering kali didapatkan kesakitan dan menangis ketika miksi dan juga disertai
penggelembungan ujung penis. Hal tersebut merupakan menifestasi dari fimosis. Fimosis dibagi
menajadi dua yaitu fimosis congenital dan fimosis didapat (Sjamsuhidajat, R , Wim de Jong,
2004).
Fimosis kongenital disebut juga fimosis fisiologis, fimosis palsu, dan pseudo phimosis
yang timbul sejak lahir. Fimosis ini bukan disebabkan oleh kelainan anatomi melainkan
karena adanya faktor perlengketan antara kulit pada penis bagian depan dengan glans penis
sehingga muara pada ujung kulit kemaluan seakan-akan terlihat sempit. Sebenarnya
merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Adhesi atau
perlekatan lapisan-lapisan epitel antara preputium bagian dalam dengan glans penis. Adhesi
secara spontan akan hilang pada saat ereksi dan retraksi preputium secara intermiten, jadi
seiring dengan bertambahnya usia (masa puber) phimosis fisiologis akan hilang. Higienitas
yang buruk pada daerah sekitar penis dan adanya balanitis atau balanophostitis berulang yang
mengarah terbentuknya scar pada orificium preputium, dapat mengakibatkan fimosis
patologis. Retraksi preputium secara paksa juga dapat mengakibatkan luka kecil pada orificio
preputium yang dapat mengarah ke scar. Pada orang dewasa yang belum berkhitan memiliki
resiko fimosis secara sekunder karena kehilangan elastisitas kulit (Santoso A, 2005).
Fimosis didapat disebut juga fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, dan true
phimosis yang timbul setelah lahir. Fimosis Patologis didefinisikan sebagai ketidakmampuan
untuk menarik preputim yang sebelumnya pernah dapat ditarik. Fimosis ini disebabkan oleh
sempitnya muara di ujung kulit kemaluan secara anatomis. Hal ini berkaitan dengan
kebersihan(higiene) yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium
(balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada
fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat
bagian kulit preputium yang membuka. Rickwood mendefinisikan fimosis patologis adalah
kulit distal penis (preputium) yang kaku dan tidak bisa ditarik, yang disebabkan oleh
Balanitis Xerotica Obliterans (BXO) ( W. Jack McAninch et all, 2013).
Fimosis kongenital dan fimosis didapat menyababkan perlekatan antara preputium
dan gland penis. Perlekatan preputium pada glands penis akan menutupi meathus uretra
eksterna sehingga menyebabkan saluran miksi terhambat. Selain itu, penutupan pada ujung
penis mengakibatkan retensi urin sehingga aliran urin tidak lancar atau hanya memancar
kecil. Retensi urin dapat akan menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme pada saluran
uretra karena urin mengandung glukosa. Glukosa yang tinggi pada penderita diabetes mellitus
meningkatkan resiko pertumbuhan bakteri untuk menginfeksi saluran uretra. Infeksi pada
saluran uretra akan menstimulasi reaksi inflamasi dimana tubuh akan menmproduksi
mediator-mediator kimia seperti prostaglandian dan bradikinin unruk menyebabkan demam
nyeri dan edema atau benjolan pada daerah sekitar ujung penis di saluran uretra.
Pertumbuhan mikroorganisme didukung dengan adanya smegma yang tidak dapat
dibersihkan karena preutium dan glands penis terlalu melekat dan tidak dapat diretraksi ( W.
Jack McAninch et all, 2013).

Daftar pustaka :
W. Jack McAninch et all. 2013. Smith & Tanagho’s General Urology 18 th edition. North
America:McGraw-Hill
Santoso A. 2005. Fimosis dan Parafimosis. Tim Penyusun Panduan Penatalaksanaan
Pediatric Urologi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia
Sjamsuhidajat, R , Wim de Jong. 2004. Saluran kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku-Ajar
Ilmu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC
.

Anda mungkin juga menyukai