Anda di halaman 1dari 7

Indonesia Value Investing

'Patience Makes Difference' -Teguh Hidayat, Avere Investama-


Apa Itu Kuasi Reorganisasi?
Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa perusahaan mengumumkan bahwa mereka akan
menggelar kuasi reorganisasi (quasi reorganization). Sebut saja Barito Pacific (BRPT), Garuda
Indonesia (GIAA), hingga Bakrie & Brothers (BNBR). Sementara yang sudah melakukannya
adalah Holcim Indonesia (SMCB). Bagi investor, hal terpenting untuk ditanyakan bukanlah apa
yang dimaksud dengan kuasi reorganisasi, melainkan: Bagaimana dampak dari pelaksanaan kuasi
reorganisasi terhadap saham perusahaan? Seberapa besar pengaruhnya, dan apakah pengaruh
tersebut bersifat positif atau negatif? Oke, kita akan membahasnya secara singkat.

Kuasi reorganisasi (selanjutnya kita sebut saja ‘kuasi’) secara simpelnya adalah tindakan secara
akuntansi/pembukuan untuk menghapus saldo laba minus (defisit) yang tercantum pada
ekuitas/modal, yang disebabkan oleh buruknya kinerja perusahaan di masa lalu (karena rugi
melulu). Caranya adalah dengan menilai kembali (revaluation, atau adjustment) aset-aset milik
perusahaan, dengan menggunakan patokan nilai wajar atau nilai pasar, atau nilai lainnya yang
tersedia, plus memasukkan tambahan modal disetor, jika perlu. Pada contoh SMCB, aset yang di-
revaluation adalah aset tetap (pabrik, dll) dimana setelah dinilai kembali, nilai aset tetap tersebut
meningkat menjadi 8.0 trilyun, dari sebelumnya 5.4 trilyun (terdapat peningkatan 2.7 trilyun).
Sehingga secara keseluruhan, total aset SMCB meningkat dari 7.5 trilyun sebelum kuasi, menjadi
10.2 trilyun setelah kuasi.

Karena aktiva (aset) meningkat, maka otomatis passiva (modal dan kewajiban) juga meningkat,
juga sebesar 2.7 trilyun. Peningkatan tersebut kemudian diletakkan di bagian modal. Sebelum
kuasi, pada neraca SMCB terdapat defisit sebesar 4.0 trilyun. Deifisit tersebut kemudian dihapus
dengan cara memasukan peningkatan 2.7 trilyun tadi, ditambah ‘potongan’ dari tambahan modal
disetor, sebesar 1.3 trilyun (2.7 + 1.3 = 4.0 trilyun). SMCB sendiri sebelum kuasi memang sudah
memiliki tambahan modal disetor sebesar 3.9 trilyun. Pasca kuasi, tambahan modal disetor
tersebut terpangkas 1.3 trilyun menjadi 2.6 trilyun, namun hasilnya defisit sebesar 4.0 trilyun tadi
terhapuskan. Alhasil kini catatan modal SMCB sudah bersih dari defisit, dan sudah mulai
mencatat saldo laba.

Analogi sederhananya begini: Anda punya uang 1 milyar, yang kemudian anda pakai untuk
membeli sebuah ruko seharga 600 juta untuk disewakan, plus menggaji beberapa karyawan untuk
mengelolanya dan membeli beberapa perlengkapan usaha, sehingga nilai total aset anda adalah 1
milyar. Kemudian karena satu dan lain hal, setelah satu tahun usaha anda bukannya mendapat
untung tetapi justru menderita kerugian, katakanlah sebesar 300 juta, yang menyebabkan neraca
keuangan usaha sewa ruko anda terkena defisit 300 juta, sehingga total aset anda menjadi tinggal
700 juta (1 milyar dikurangi 300 juta). Kemudian untuk mengembangkan usaha, anda mencoba
meminjam modal ke bank, namun bank ternyata menolak memberikan anda pinjaman karena
usaha ruko anda sendiri mengalami defisit. Bank baru akan bersedia ngasih kredit kalau usaha
anda gak defisit lagi. Jadi masalahnya disini adalah, gimana caranya menghilangkan defisit 300
juta tadi? Anda bisa melakukan dua cara:

Pertama, anda bisa menilai kembali aset ruko anda menggunakan jasa penilai publik. Siapa tahu
nilainya ternyata sudah lebih besar dari harga ketika anda membelinya, yaitu 600 juta? Kan harga
properti naik terus setiap tahun? Katakanlah setelah revaluation, ruko anda sekarang bernilai 800
juta, alias terdapat kenaikan 200 juta. Sehingga total aset anda menjadi 900 juta (700 + 200 juta).
Pada neraca keuangan, kenaikan 200 juta tadi digunakan untuk menutupi defisit, sehingga defisit
300 juta tadi berkurang menjadi 100 juta saja. Well, tapi tetap saja masih ada defisit dong? Maka
cara kedua: Anda bisa menghapus sisa defisit tersebut, dengan menyuntikkan modal dari kantong
anda sendiri, juga sebesar 100 juta. Alhasil, modal anda kini kembali lagi menjadi 1 milyar, dan
neraca keuangan anda bersih dari defisit, sehingga anda bisa datang ke bank untuk minta
pinjaman. Dan anda gak perlu menyuntikkan tambahan modal sebesar 300 juta untuk menutupi
defisit tadi, melainkan cukup 100 juta saja.

Kembali ke contoh SMCB tadi. Jadi peningkatan nilai aset tetap sebesar 2.7 trilyun tadi bukanlah
berasal dari manapun, melainkan dari penilaian kembali alias revaluation dari aset tetap. Penilaian
kembali ini nggak bisa dilakukan secara ‘suka-suka gue’, melainkan harus memenuhi berbagai
syarat dan prosedur. Namun tetap saja, peningkatan yang dihasilkan dari penilaian kembali
tersebut hanya bersifat pembukuan alias gak nyata, karena tidak ada uang yang disetorkan. Yang
nyata adalah potongan dari tambahan modal disetor sebesar 1.3 trilyun tadi. Maksud penulis
begini: Kalau revaluation tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa aset tetap milik SMCB
memang memiliki nilai baru yang lebih tinggi dari sebelumnya, maka kuasi-nya sukses. Tapi
bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya? Bagaimana kalau setelah revaluation, aset tetap
milik SMCB tersebut nilainya justru turun? Kalau pakai contoh usaha ruko milik anda tadi,
bagaimana kalau setelah revaluation, harga ruko anda bukannya naik menjadi 800 juta, melainkan
turun menjadi 500 juta? Sebab tidak ada yang bisa menjamin kalau harga properti bakal naik terus,
meskipun biasanya memang demikian. Dan kalau itu yang terjadi (nilai terbaru aset setelah
revaluation justru turun), maka kuasi-nya gagal, atau kuasi-nya gak jadi dilakukan, karena itu
justru akan membuat defisit yang terjadi semakin membesar.

Dan mungkin itulah yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh manajemen BNBR. Beberapa
waktu lalu, mereka mengumumkan bahwa mereka mengundur waktu pelaksanaan kuasi-nya.
Mungkin penilai publik yang mereka tunjuk belum dapat menemukan alasan bahwa nilai dari
beberapa aset BNBR lebih rendah dari yang seharusnya, sehingga nilai dari aset-aset tersebut
belum bisa dinaikkan.

Kembali ke pertanyaan diatas, bagaimana dampak dari pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap
saham perusahaan?

Bagi perusahaannya sendiri, kuasi akan menghasilkan neraca yang ‘bersih’ dari defisit, sehingga
perusahaan akan lebih mudah berekspansi untuk mengembangkan usaha, termasuk mengajukan
pinjaman ke bank. Sementara bagi para pemegang sahamnya (investor), mereka kini memiliki
kesempatan untuk memperoleh dividen dari si perusahaan (karena kalau sebuah perusahaan
mengalami defisit, Bapepam melarang mereka membagikan dividen), dan saham perusahaannya
sendiri diharapkan akan menjadi lebih likuid karena akan lebih banyak investor yang memperjual
belikannya.

Tapi itu belum menjawab pertanyaan pokoknya: Apakah harga saham sebuah perusahaan akan
naik pasca kuasi? Kalau perusahaan beneran membagi dividen, dan nilainya lumayan gede, maka
itu mungkin saja. Masalahnya, ketika perusahaan sudah bisa membagikan dividen, maka itu bukan
berarti mereka akan benar-benar membagikannya, alias masih belum tentu. Selain itu yang
terpenting sebenarnya bukan kuasinya, melainkan apa saja kegiatan yang akan dilakukan oleh
perusahaan pasca kuasi. Apakah mereka kemudian akan benar-benar berekspansi, atau malah diem
aja? Sebab pelaksanaan kuasi itu sendiri sebenarnya tidak berdampak apapun terhadap
fundamental perusahaan, kecuali hanya memberikan ‘fresh restart’. Jadi kalau anda megang
saham SMCB, maka anda sebagai investornya mungkin bisa bertanya ke manajemen SMCB:
After we restart, what’s next?

Sebelum SMCB, beberapa perusahaan sudah pernah melakukan kuasi. Kalo ga salah Bapepam
punya daftarnya, yaitu daftar emiten yang melakukan kuasi reorganisasi dari tahun 2003 hingga
2007. Sayangnya penulis gak bisa menemukan daftar tersebut. Padahal kalau ada datanya, kita
bisa mengecek bagaimana sih pergerakan saham sebuah emiten dalam long term, setelah dia
melaksanakan kuasi? Well, you better check it by yourself.

NB: Ebook analisis & rekomendasi saham untuk periode kuartal I 2011 udah selesai ditulis. Anda
bisa membelinya disini.
Tanggal: Selasa, Mei 24, 2011
Berbagi

12 komentar:

Anonim24 Mei, 2011


Mantaps bung Teguh...tetap teguh membahas emiten di BEI...:)

Balas

Alexander24 Mei, 2011


Kuasi.
'Akal - akalan akutansi' agar nampak 'bersih'.

Terimakasih banyak atas pembahasannya.

Balas

Alexander24 Mei, 2011


Pak Teguh, apakah jejak kuasi ini akan selalu terlihat apa nantinya akan terhapus?

Dengan kata lain, apakah perusahaan yang melakukan kuasi harus selalu mencantumkan dalam
laporan keuangan bahwa mereka pernah melakukan kuasi?

Balas

Anonim24 Mei, 2011


Pak Teguh, proses penilaian kembali asset itu apakah asset revaluation ? Oh ya pak gimana dgn
ebooknya apakah sudah bisa diorder ?

Balas

Anonim24 Mei, 2011


Terima kasih Pak Teguh atas komentarnya. Tapi kalo menurut saya kuasi ini malah membuat
perusahaan merugi double dikarenakan kenaikan aset yg direvaluasi tersebut akan dikenakan
Pajak. Dilain pihak penambahan itu hanya sebatas hitung-hitungan di atas kertas (karena hanya
merupakan revaluasi dari fixed asset, tidak menambah cash atau aset lancar lainnya). Jadi menurut
pendapat saya dengan kuasi justru perusahaan menjadi semakin tidak sehat. Bila memang
tujuannya untuk mendapat pinjaman dari bank tentunya bank melakukan penilaian harga pasar
dari aset dijaminkan, bukan berdasarkan pencatatan nilai aset dari si perusahaan. Sekali lagi terima
kasih untuk ulasannya Pak Teguh.

Balas

GaleriSaham.com25 Mei, 2011


Ulasan yang sangat bagus dan tepat sasaran pak. Btw bolehkah saya post artikel ini di blog saya
http://galerisaham.com ? terima kasih...

Balas

Junior26 Mei, 2011


Saya ingin menambahkan komentar saya untuk yang "Terima kasih Pak Teguh atas komentarnya.
Tapi kalo menurut saya kuasi ini malah membuat perusahaan merugi double dikarenakan kenaikan
aset yg direvaluasi tersebut akan dikenakan Pajak. Dilain pihak penambahan itu hanya sebatas
hitung-hitungan di atas kertas (karena hanya merupakan revaluasi dari fixed asset, tidak
menambah cash atau aset lancar lainnya). Jadi menurut pendapat saya dengan kuasi justru
perusahaan menjadi semakin tidak sehat. Bila memang tujuannya untuk mendapat pinjaman dari
bank tentunya bank melakukan penilaian harga pasar dari aset dijaminkan, bukan berdasarkan
pencatatan nilai aset dari si perusahaan. Sekali lagi terima kasih untuk ulasannya Pak Teguh."
Selisih kenaikan atas revaluasi akan dikanakan PPh Final 10%.

Balas
Ruben T29 Mei, 2011
saya pribadi gak suka ama perusahaan yang kuasi organisasi , masih banyak pilihan yang lebih
solid & prospek

Balas

Anonim30 Mei, 2011


BBCA juga pernah melakukan kuasi, bahkan perusahaan pertama yg melakukan hal tsb di
Indonesia (CMIIW).

Balas

al kindi syifa01 Juni, 2011


banyak yg berkomentar sebelumnya seolah2 kuasi adalah "dosa".

menurut saya, sebagaimana dsampaikan p teguh, kuasi ini justru adlh "peluang".

dgn peluang itu mau kita optimalkan atau tidak, kembali lagi ke manajemen.

bahwa salah satu langkah kuasi adlh asset revaluasion, iya! kena pajak? iya!

tapi dengan itu, jk asset naik signifikan, tentu akan berdampak pada perhitungan modal (yang
makin kuat).

tentu saja adalah analogi "refreshment" atau "restart" kinerja juga tdk dapat diabaikan, karena ini
adalah "keuntungan terbesar" dari kuasi reorganisasi. untuk "menghapus" beban rugi masa lalu...

sepanjang prosesnya benar, tentu saja ini baik bagi semua pihak.

ambil ilustrasi:
bapak/ibu baru mengambil alih sebuah perusahaan. ibu tahu betul bahwa going concern
perusahaan ini sangat bagus. tp karena akumulasi rugi tahun2 sebelumnya, lap keuangan
menunjukkan kumulatif rugi yang besar, padahal kinerja berjalan sudah memberikan laba positif.
untuk pengembangan perush, jika tdk ada modal sendiri, bapak/ibu perlu pinjaman bank, yang
tentu saja akan sulit bagi bank memberikan pinjaman dengan indikator2 keuangan yang ada.
padahal secara faktual sbg pemegang saham, bapak/ibu sudah untung.
tapi secara neraca "seolah-olah" keuntungan yg bapak ibu hasilkan untuk "membayar /
mengurangi kerugian" pemodal lama.

lantas pilihan mana yg diambil:

1. kalo ibu hanya ingin "tampil so-so" dengan modal sendiri, mending ndak usah kuasi, toh secara
faktual, keuntungan masuk di kantong bapak/ibu. dpt keringanan pajak pula...
2. kalo mau tumbuh berkembang tentu neraca, rugi-laba harus tampil baik, sehingga investor baru
atau kreditur dapat membatu permodalan.

demikian kira-kira. cmiiw

Balas

KEMBALILAH KE JALAN ILLAHI ROBBI14 November, 2011


Kalau menurut saya tidak begitu berpengaruh di pajak penghasilan karena selisih (laba) karena
peningkatan aset tetap.

Contoh diatas peningkatan 200jt, anggap saja terkena pajak 10%, jadi 10% x 200jt = 20 jt.

Namun anda harus ingat peningkatan ini merupakan beban yang dikapitalisasi ke aset tetap yang
nantinya akan menjadi beban depresiasi yang secara otomatis akan mengurangi income after tax
jadi malah menguntungkan.

Terima kasih

Balas

Anonim06 Desember, 2011


Saya kira harus hati-hati tentang perlakuan akuntansi atas aktiva tetap :
PSAK 16 mengatur bahwa penilaian aset dapat didasarkan pada hasil revaluasi, namun sekali
dipilih maka metode ini akan berlaku secara terus menerus (reguler). Pajak final atas revaluasi
tidak dapat dikapitalisasi dalam nilai aset tetap, karena penilaian aset + kapitalisasi pajak akan
menyimpang dari tujuan penetapan harga revaluasi yang telah melalui hasil uji apprisal
independen.
Selain itu apabila nilai buku aset setelah revaluasi lebih besar dari nilai buku tercatat maka akan
berdampak pada beban depresiasi tahun yang berikut lebih besar dari sebelumnya. Oleh karenanya
hati-hati dalam melakukan revaluasi aset karena adanya dampak pajak yang harus dibebankan
pada tahun dilakukan revaluasi dan dampak peningkatan depresiasi pada tahun-tahun yang akan
datang. Pertanyaannya adalah sudah siapkah manajemen emiten dengan beban-beban tersebut
apabila quasi reorganisasi hanya untuk sekedar mempercantik tampilan neraca tetapi tanpa diikuti
dengan peningkatan kinerja perusahaan / peluang usaha perusahaan, karena ongkos untuk itu
cukup besar yang malah akan menjadi beban ditahun yang akan datang. Sebaiknya memang harus
ada penilaian atas rencana manajemen kedepan untuk meyakinkan otoritas pengawas dan calon
kreditur / investor agar tidak semata-mata tujuannya untuk mempercantik neraca emiten tetapi
adanya keyakinan bahwa kedepan kinerja emiten setelah revaluasi akan lebih baik.

Balas

Terima kasih telah berkomentar dengan bahasa yang baik :) Admin berhak untuk menghapus
komentar yang dianggap tidak layak untuk ditampilkan. Dilarang memasang LINK apapun,
komentar dengan link ke website lain tidak akan ditampilkan.


Beranda
Lihat versi web
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai