Anda di halaman 1dari 64

A.

Tata Laksana Anestesia Dan Reanimasi Pada Pasien


Pediatrik
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi pra anestesia:
1.1. Anamnesis (aloanamnesis).
1.2. Pemeriksaan fisik.
1.3. Pemeriksaan laboratorium seperlunya disesuaikan dengan
jenis operasi:
(1) Bedah kecil: Hb, leukosit, waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.
(2) Bedah sedang dan besar disesuaikan.
2. Persiapan praanestesia
2.1. Puasa, dengan aturan sebagai berikut:

2.2. Premedikasi 3 jam


Bayi : umur <12 bulan, berikan atropin 0,01 - 0,02
mg/kgbb, dosis minimum 0,1 mg secara intra
vena.
Anak sehat : umur 1-3 tahun, berikan atropin 0,01 mg /kgbb,
dosis minimum 0,1 mg secara intra vena.
: umur > 3 tahun, berikan atropin 0,01 - 0,02
mg/kgbb, dosis minimum 0,1 mg secara intra
vena.
Anak tenang : Tidak memerlukan sedasi, akan tetapi kalau
diperlukan dapat diberikan:
(1) diazepam peroral 4 mg/kgbb, 90 menit prainduksi atau
dapat diberikan perrektal 02-0,4 mg/ kgbb, 30 menit
prainduksi.
(2) dapat juga diberikan midazolam dengan dosis 0,5-1
mg/kgbb perrektal.
(3) atau khloralhidrat dengan dosis 20 - 75 mg/ kgbb Peroral.
Anak dengan kelainan jantung bawaan, dapat diberikan
kombinasi obat:
(1) Atropin 0,01 - 0,02 mg/kgbb intra- muskular.
(2) Diazepam perrektal 0,02 - 0,04 mg/kgbb, 30 menit prainduksi.
(3) Morfin intramuskular 0,2 mg/kgbb, 45 menit prainduksi.
Kalau perlu analgetik narkotik pada anak besar (di atas 5 tahun),
dapat diberikan:
(1) Petidin 1,0 - 2,0 mg/kgBB IM.
(2) Morfin 0,1-0,2 mg/kgBBIM.
Hati-hati terhadap efek samping berupa depresi nafas,
mual-muntah dan disforia.
Selanjutnya pada kasus-kasus risiko tinggi, pemberian
premedikasi ditentukan oleh Dokter Spesialis/Konsultan
Anestesiologi yang bertugas pada saat itu.
2.3.Infus
Tempat pemasangan infus dilakukan pada:
(1) dorsum manus.
(2) pergelangan tangan.
(3) dekat mata kaki bagian dalam.
(4) kepala (scalp).
Jarum : Sedapat mungkin pergunakan kanul teflon No. 20, 22,
24.
Cairan : (1) bayi umur < 12 bulan berikan Dekstrosa 5 % dalam
NaCI 0,225% atau NaCI 0,45%.
(2) umur >12 bulan berikan Dekstrosa 5 % dalam NaCI
0,9% atau dalam ringer, atau bisa juga diberikan
ringer laktat/asetat.
(3) Pada kasus tertentu disesuaikan dengan masalah
yang dijumpai.
Jumlah : Tetesan disesuaikan dengan keperluan.
2.4. Suhu kamar operasi
(1) Bayi-bayi yang berumur >12 bulan atau berat badan <10
kg, suhu ideal 32e - 37" C.
(2) Pada anak-anak, suhu ideal 25° - 28"C.
(3) Bila suhu ruangan terlalu dingin pada waktu induksi
pasanglah selimut hangat atau "warm blanket” atau
lampu pemanas ("heating lamp").
2.5. Peralatan Anestesia pada bayi, harus memenuhi syarat:
(1) Seringan mungkin.
(2) Ruang rugi seminimal mungkin (kurang 5 ml).
(3) Resistensi rendah (kurang 30 cmH^O/l/detik).
(4) Pipa jalan nafasnya "non kinking" (tidak mudah tertekuk).
(5) Tidak memakai katup searah
(6) Pada pasien yang mempunyai berat badan <20 kg
gunakan alat Jackson Rees.
(7) Pada pasien yang mempunyai berat badan >20 kg
gunakan sistem Magill.
3. Induksi
3.1. Pada neonatus
Induksi dilakukan di kamar operasi dengan cara inhalasi
sebagai berikut: Induksi inhalasi dengan kombinasi obat
N^O: Ch = 4 : 2 (liter) dan obat inhalasi volatil, misalnya
halothan dimulai dengan dosis 0,5 Vol%, dinaikkan secara
bertahap 0,5 Vol% tiap 3-5 kali nafas sampai pasien
tertidur, kemudian dipasang infus.
3.2. Pada umur <3 tahun.
Induksi dilakukan di kamar khusus untuk induksi yang berada
di kamar terima atau kamar persiapan. Pada saat pro
sedur induksi dilaksanakan, orang tuanya (ayah atau ibunya)
boleh menemaninya, sambil ikut serta melaksanakan
prosedur induksi secara inhalasi seperti tersebut di atas.
Selanjutnya setelah pasien tidur, segera dipasang infus dan
dibawa ke kamar operasi untuk tindakan lebih lanjut.
3.3. Pada anak >3 tahun
(1) Anak yang tidak kooperatif, induksi dilakukan dengan
cara seperti pada butir 3.2.
(2) Pada anak yang kooperatif, pasien boleh ditemani oleh
orang tuanya di kamar terima dan segera dipasang
infusdengan fasilitas anestesi lokal, selanjutnya induksi
dapat dilakukan secara intravena melalui infus yang
terpasang dengan obat-obat induksi intravena seperti
pentothal, ketamin, midazolam atau propofol dengan
dosis disesuaikan.
4. Intubasi, dapat dilakukan dengan cara:
4.1.lntubasi dalam keadaan anestesia ("asleep"), dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
(1) Induksi dengan anestesia inhalasi.
(2) Setelah tidur cukup dalam berikan anestesia topikal lx
semprot Xylocaine 10%.
(3) Berikan anestesia inhalasi beberapa menit lagi sambil
menunggu khasiat analgesia topical.
(4) Lakukan laringoskopi dengan laringoskop daun lurus
dan kemudian lakukan intubasi.
(5) Pada beberapa kasus setelah pasien terinduksi,
intubasi dapat dilakukan dengan bantuan/fasilitas obat
pelumpuh otot suksinilkholin.
4.2. Intubasi dalam keadaan sadar (awake), dilakukan pada
pasien neonatus yang berusia di bawah 10 hari, pada
pasien dengan keadaan umum jelek, hernia diafragmatika,
fistula trakea-bronkoessofagus, ileus obstruktif dan pada
kasus yang diperkirakan sulit untuk intubasi.
Tata laksananya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan 0, 100 % beberapa menit.
(2) Buat posisi kepala dalam posisi cium ("Sniffing") dan
ekstensi sendi atlas.
(3) Berikan analgesia topikal 1* semprot xylokain 10%.
(4) Tunggu 2-3 menit (menunggu obat mulai bekerja)
(5) Lakukan laringoskopi dengan laringoskop daun lurus dan
segera lakukan intubasi.
4.3. Pipa endotrakea
Pipa endotrakea yang digunakan untuk anak yang berumur <8
tahun, adalah pipa endotrakea tanpa kaf (balon) dan yang
terbuat dari plastik atau polivinil dan usahakan ukuran pipa
agak sedikit longgar.
Ukuran diameter pipa untuk anak di atas 1 tahun ditentukan
dengan formula = 1/n + 4.5 (n dalam tahun).
Pada neonatus, besarnya diameter PETyang ditentukan
sebagai berikut:

4.4. Intubasi sulit biasanya pada kasus-kasus:


(1) Kelainan tulang leher - Klippel-feil Syndrome
5. Pemeliharaan
5.1. Pada umumnya dilakukan anastesia umum inhalasi melalui
pipa endotrakea.
5.2. Pada opersi kecil dengan keadaan umum baik, lokasi di
permukaan tubuh tetapi bukan di daerah kepala-leher, posisi
terlentang dan durasinya singkat kurang dari 30 menit
dilakukan melalui sungkup muka.
5.3. Pada operasi di daerah anorektal, genetalia eksterna dan
inguinal dapat dilakukan analgesia regional subarakhnoid
atau epidural kaudal, sebagai bagian dari anestesia balans.
5.4. Aliran gas dan uap anestetika
(1) Aliran gas total untuk alat Jackson Rees: 2-3 kali isi
semenit (TV = 10 ml/kgbb).
(2) Aliran gas total untuk alat Magill pada anak >20 kg,
minimum sama dengan isi semenit.
(3) Campuran gas :
Neonatus N20 : 02 = 50 : 50
Bayi N20 : 02 = 60 : 40
Anak N,0 : 02 = 70 : 30
(4) Kalau tersedia, obat pilihan adalah Isofluran atau
Sevofluran 1-2 vol% (nafas spontan) atau 0,25-1,00 vol%
(nafas dibantu atau kendali).
Apabila obat tersebut tidak ada, dapat diberikan enfluran
atau halotan.
5.5. Pola nafas
(1) Spontan, dilakukan pada kasus operasi kecil, keadaan
umum pasien baik, lokasi dipermukaan tubuh kecuali di
daerah kepala - leher, posisi terlentang dan durasi
kurang dari 30 menit. Hati-hati terhadap obstruksi jalan
nafas dan depresi nafas.
(2) Nafas bantu dan atau nafas kendali, dilakukan pada
operasi besar dan lama.
Nafas kendali yang diberikan sebaiknya dilakukan
dengan tangan (manual).
Hati-hati pada penderita kista paru (bisa terjadi pneumo
toraks) dan pada fistel trakeo-osofagus.
5.6. Pelumpuh otot
(1) Perhatian;otot lurik bayi bersifat "myasthenic response",
sensitif terhadap pelumpuh otot non depo- larisasi tetapi
resisten terhadap depolarisasi.
(2) Obat pelumpuh otot
Suksinilkholin, dosis 1-2 mg/kgbb untuk fasiitas intu- basi
Pankorunium, dosis 0,04 - 0,06 mg/kgbb atau
Atrakurium, dosis 0,3 - 0,6 mg/kgbb.dan lain-lain sesuai
dosis.
(3) Penawar, setiap mempergunakan obat pelumpuh otot
non depolarisasi harus diberikan penawarnya yaitu
neostigmin, dosis 0,05 mg/kgbb, dikombinasikan dengan
atropin 0,025 kgbb.
Mekanisme kerja obat penawar pelumpuh otot ini bisa
terganggu pada keadaan asidosis, hipoglikemi dan hipokalsemi.
6. Terapi cairan selama operasi
6.1. Pilihan cairan: untuk pemeliharaan: Dekstrosa 5% dalam
0,225 NaCI, sedangkan untuk pengganti kehilangan cairan
selama operasi adalah; ringer laktat atau ringer asetat.
6.2. Kebutuhan cairan
(1) Pemeliharaan (dalam 24 jam).
Berat <10 kg = 100 ml/kgbb.
Berat 10-20 kg = 1000 ml + 50 x nl ml/kgbb.
Berat 20-30 kg = 1500 ml + 20 * n2 ml/kgbb.
Catatan: nl = tambahan berat >10 - <20 kg.
n2 = tambahan berat >20 - <30 kg.
(2) Untuk koreksi transloksi cairan selama operasi diperhitungkan
sebagai berikut:
Trauma ringan rata-rata 2 ml/kgbb/jam.
Trauma sedang rata-rata 4 ml/kgbb/jam.
Trauma berat rata-rata 6 ml/kgbb/jam.
(3) Pedoman koreksi defisit puasa adalah:
Hitung jumlah defisit puasa berdasarkan lama puasa,
selanjutnya koreksi sesuai dengan pedoman berikut ini:
Jam I 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam.
Jam II 25% defisit + cairan pemeliharaan/jam.
Jam III 25% defisit + cairan pemeliharaan/jam.
Selanjutnya diberikan cairan pemeliharaan/jam ditambah
cairan koreksi akibat translokasi luka operasi dan
koreksi akibat perdarahan.
Transfusi
7.1. Pemberian transfusi darah pada neonatus/bayi, harus
didasari oleh indikasi yang jelas, mempergunakan nilai batas
toleransi hematokrit yang optimal sesuai dengan umur
pasien.
Hendaknya nilai hematokrit diperiksa sebelum operasi
dan selanjutnya periksa ulang secara periodik selama operasi
berlangsung, sesuai dengan indikasi.
7.2. Nilai hematokrit normal dan batas toleransinya

7.3.Secara praktis dilapangan, pedoman pemberian transfusi


adalah sebagai berikut:
(1) Perdarahan kurang 10% dari perkiraan volume darah,
diganti dengan cairan elektrolit.
(2) Perdarahan lebih 10% dari perkiraan volume darah, dan
perdarahan masih berlangsung selama operasi, segera
berikan transfusi.
8. Pemulihan anestesia
8.1. Segera setelah selesai pembedahan, hentikan aliran gas/ uap
obat anestesia.
8.2. Berikan 02 100% selama 5 -15 menit.
8.3. Pada pasien tanpa intubasi, apabila pernafasan adekuat
(dengan udara kamar), luka operasi baik, pindahkan ke ruang
pulih diikuti oleh asisten dan diserahkan kepada
penanggung-jawab ruang pulih.
8.4. Pada pasien yang diintubasi dan menggunakan obat
pelumpuh otot, harus dipulihkan dengan neostigmin- atropin,
selanjutnya dipantau sampai pasien bernafas spontan dan
adekuat, pergerakan ekstremitas optimal, timbul refleks
batuk dan lain-lainnya, segera dilakukan ekstubasi.
8.5. Ekstubasi, bisa dilakukan dalam keadaan pasien sadaratau
tidur.
(1) Ekstubasi sadar, dilakukan apabila pasien telah bernafas
spontan dan adekuat.
Cara ini dilakukan pada pasien yang mengalami kesulitan
intubasi.
(2) Ekstubasi tidur bisa dilakukan pada anak-anak pada
operasi selain pada daerah kepala, mulut atau leher,
dengan posisi terlentang.
9. Pemantauan
9.1. Sirkulasi : EKG, tekanan darah dan stetoskop prekordial.
9.2. Respirasi : Suara nafas dengan stetoskop prekordial,
analisis gas darah (AGD) sesuai indikasi dan
oksimeter denyut ("pulse oxymeter").
9.3. Suhu tubuh : Termometer rektal atau esofagus kontinyu.
9.4. Ginjal : Produksi urin (untuk operasi besar).
9.5. Hematologi : Hb dan Ht (untuk operasi besar).
10. Pasca anestesia
Perawatan pasca anestesia di ruang pulih, disesuaikan dengan
tata laksana pasca anestesia.
Pemantauan yang seksama ditujukan pada parameter:
(1) Kesadaran, diawasi sampai sadar baik dan menangis.
(2) Pernafasan, diupayakan agar segera bernafas spontan dan
adekuat, bebas dari pengaruh efek sisa obat pelumpuh otot.
(3) Denyut nadi dan tekanan darah.
(4) Warna kulit.
(5) Aktivitas, diawasi dan dijaga dengan baik agar tidak jatuh,
kalau perlu ikut sertakan orang tuanya.
(6) Suhu tubuh.

Pasien boleh kembali ke ruangan apabila nilai Aldretenya sudah


mencapai 10 dan tidak ada faktor penyulit lain.
Pada kasus risiko tinggi, pasien langsung dibawa ke ruang terapi
intensif untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
B. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA SEKSIO
SESARIA
Batasan
Anestesia pada seksio sesaria adalah tindakan anestesia yang
dilakukan pada pasien yang menjalani proses persalinan melalui
tindakan bedah sesar.
Masalah
1. Perubahan anatomi dan fisiologik pada wanita hamil.
2. Kenyamanan/keamanan ibu dalam proses persalinan.
3. Kesejahteraan janin dalam rahim.
4. Kontraksi rahim.
5. Pada umumnya seksio sesaria merupakan kasus darurat.
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi pra anestesia:
1.1. Dicari masalah-masalah yang berkaitan dengan faktor
risiko atau penyulit anestesia yang ada pada ibu
termasuk kontraksi rahim dan kondisi janin di dalam
rahim.
1.2. Langkah-langkah evaluasi yang dilakukan untuk melengkapi
pemeriksaan, sesuai dengan tata laksana evaluasi
terdahulu.
1.3. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah
(1) Darah : Hb, Ht, leukosit, trombosit, waktu
perdarahan dan pembekuan.
(2) Kimia darah : Sesuai indikasi meliputi fungsi hati,
ginjal metabolik dan kalau perlu periksa
elektrolit.
(3) Urin : Reduksi dan protein.
2. Persiapan praanestesia
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus.
(1) Koreksi keadaan patologis yang dijumpai, disesuaikan
dengan kesempatan yang tesedia.
(2) Berikan obat antagonis reseptor H , secara intravena
5-10 menit atau secara intramuskular satu jam prainduksi.
(3) Berikan antasid peroral 45 menit pra induksi.
(4) Berikan ondansetron 4 - 8 mg intravena
(5) Posisi tidur diatur miring ke kiri untuk mencegah
"supine hypotensive syndrome".
2.3. Premedikasi
(1) Berikan atropin 0,01/kgbb (im) 30-45 menit atau
setengah dosis (iv) 5-10 menit pra induksi.
(2) Tidak dianjurkan untuk memberikan sedatif atau narkotik.
2.4. Terapi cairan prabedah.
Pasien dengan status fisik normal; berikan cairan pemeliharaan
yaitu dekstrosa 5 % dalam ringer atau NaCI
0, 9%. Kasus lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Pilihan anestesia
3.1. Operasi berencana
(1) Analgesia regional subarakhnoid/epidural, atau
(2) Anestesia umum melalui pipa endotrakea dan nafas
kendali (biasanya atas permintaan pasien).
3.2. Operasi darurat
(1) Analgesia regional subarakhnoid/epidural, untuk kasus
distosia atau kelainan letak.
(2) Anestesia umum melalui pipa endotrakea dan nafas
kendali, untuk kasus gawat janin dan perdarahan.
Analgesia subarakhnoid/epidural
(1) Persiapan rutin : sesuai dengan tata laksana.
(2) Persiapan khusus : sesuai dengan persiapan tindakan
(4) Pilihan obat
(3) Posisi tidur
analgesia subarakhnoid.
posisi tidur miring ke kiri dan
diusahakan agar tulang belakang
horizontal.
disesuaikan dengan kebutuhan
Anestesia umum
(1) Persiapan rutin
(2) Persiapan khusus
(3) Premedikasi
(4) Induksi
sesuai dengan tata laksana,
dianggap lambung pasien
seperti tersebut di atas,
teknik induksi cepat (Rapid Sequence
Induction) dengan manuver
Sellick's untuk mencegah regurgitasi
isi lambung.
Tata laksana induksi
- Lakukan prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot
non depolarisasi seperempat dari dosis lazim, untuk
mencegah fasikulasi otot rangka dan peningkatan
tekanan intragastrik.
- Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5
menit.
- Induksi dengan cara "head up crash intubation"
(posisi kepala lebih tinggi" mempergunakan obat
ketamin atau hipnotik intravena, sesuai dengan
indikasi.
- Setelah pasien terinduksi, lakukan manuver, "Sellick"
dengan menekan tulang krikoid ke posterior
untuk mencegah regurgitasi sampai terpasang PET
dan balonnya sudah dikembangkan.
- Berikan suksinilkholin 1-2 mg/kgbb intravena cepat.
- Lanjutkan oksigenasi sampai pasien henti nafas dan
tidak boleh melakukan ventilasi tekanan positif.
- Lakukan laringoskopi dan intubasi trakea.
- Balon/kaf PET segera dikembangkan dan lepaskan
manuver Sellick's.
- Hubungan PET yang telah terpasang dengan mesin
anestesia dan berikan nafas buatan.
(5) Pemeliharaan
Sebelum bayi lahir, memanfaatkan khasiat ketamin dan
suksinilkholin yang diberikan sebagai induksi ditambah
N,O: O, = 50: 50, nafas kendali.
Apabila terjadi kesulitan dalam melahirkan bayi
sehingga efek ketamin dan suksinilkholin habis, bisa
diberikan tambahan ketamin setengah dosis awal atau
obat inhalasi enfluran atau isofluran 0,25 - 0,5 vol% dan
obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Setelah bayi lahir, perbandingan N20: 02 diubah
menjadi 60%: 40%, berikan tambahan analgetik narkotik,
sedatif/hipnotik dan pelumpuh otot non depolarisasi
sesuai dengan tata laksana anestesia balans, selanjutnya
pernafasan pasien dikendalikan.
Tidak dianjurkan mempergunakan obat anestesia
inhalasi halotan, karena bisa menimbulkan atonia uteri
yang mengakibatkan perdarahan.
(6) Pemulihan
- Sesuai dengan tata laksana pemulihan anestesia
umum inhalasi PET nafas kendali.
- Ektubasi PET, apabila pasien sudah sadar, nafas
spontan dan adekuat serta jalan nafas bersih.
- Waspada terhadap kejadian regurgitasi/muntah.
4. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid,
tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan transfusi darah.
5. Pasca anestesia
5.1. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana
pasien pasca anestesia.
5.2. Perhatian ditujukan pada kemungkinan terjadinya
muntah atau regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi.
5.3. Pasca analgesia subaraknoid, perhatian ditujukan pada
perangai hemodinamik.
5.4. Pasien boleh dikembalikan/dikirim ke ruangan apabila
sudah memenuhi kriteria pemulihan.
5.5. Pasien yang menderita "EPH gestosis" apalagi yang disertai
kejang dan ancaman gagal nafas, dirawat di ruang terapi
intensif untuk terapi lebih lanjut.
C. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA OPERASI
KRANiOTOMI
Batasan
Anestesia pada kraniotomi adalah tindakan anestesia yang
dilakukan pada pasien yang menjalani pembedahan intrakranial
baik karena cedera kepala, tumor otak, perdarahan dan lainlainnya.
Sasaran yang diutamakan dalam penatalaksanaan anestesia
pada tindakan ini, disamaping untuk menciptakan suasana
lapangan operasi yang memadai, juga mengupayakan agar
homeostasis intra dan ekstrakranial memadai sehingga kondisi
"human mentation" nya optimal.
Masalah
1. Perubahan tingkat kesadaran.
2. Pengendalian tekanan intrakranium (TIK)
3. Pengendalian kejang.
4. Ancaman gagal nafas.
5. Kegoncangan sirkulasi.
6. Trauma ganda (pada kasus trauma kepala).
7. Pembe'ian terapi cairan dan nutrisi.
8. Perdarahan luka operasi.
9. Lama operasi.
Penatalaksanaan
1. Evaluasi prabedah
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan prabedah
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus. Apabila diperlukan, dilakukan di Ruang
Terapi Intensif, antara lain:
(1) Usaha menurunkan tekanan intrakranial, dengan bantuan
hiperventilasi, pemberian steroid dan diuretik serta
kalau sarana tersedia dilakukan drainase likuor.
(2) Usaha untuk mengatasi kejang, dapat diberikan pentothal
atau diazepam secara intravena.
(3) Terapi oksigen, kalau perlu dengan ventilasi mekanik.
(4) Usaha mengatasi kegoncangan hemodinamik untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata sesuai dengan
batas autoregulasi aliran darah otak.
(5) Koreksi terhadap segala bentuk keadaan patologis ekstrakranial
yang lain yang mengancam.
3. Premedikasi
Dalam keadaan akut, tidak perlu diberikan premedikasi, kecuali
terdapat bradikardi, dapat diberikan atropin dengan dosis
0,01 mg/kgbb secara intravena. Apabila pasien gelisah atau
kejang dapat diberikan diazepam 5 - 10 mg secara intravena.
Fentanil dapat dipertimbangkan untuk menekan respons nyeri.
Pada operasi berencana, pemberian premedikasi disesuaikan
dengan status fisik pasien.
4. Induksi dan Intubasi
Induksi merupakan tahap yang kritis, tidak jarang terjadi
kenaikan tekanan intrakaranium karena teknik yang salah.
Beberapa faktor penting yang bisa menyebabkan kenaikan
tekanan intrakaranium pada saat intubasi adalah:
4.1. Anestesia dan relaksasi otot kurang adekuat.
4.2. Peningkatan PaC02 karena henti nafas.
4.3. Hipoksia, karena oksigenasi yang kurang memadai.
4.4. Posisi kepala yang salah sehingga menyebabkan gangguan
drainase likuor.
Teknik induksi dan intubasi
(1) Prekurarisasi dan oksigenasi.
(2) Berikan lidokain 1,0 - 1,5 mg/kgbb (iv), untuk menekan rangsang
simpatis pada saat intubasi.
(3) Induksi dengan barbiturat atau profopol atau dexmetomidin
intravena dengan dosis disesuaikan.
(4) Laringoskopidan berikan analgesia lokal dengan semprotan
lidokain. Hati-hati kemungkinan adanya trauma tulang
servikal (kasus trauma kepala).
(5) Intubasi, sebaiknya digunakan PET non kingking untuk mencegah
sumbatan jalan nafas, selanjutnya fiksasi adekuat
untuk mencegah terlepasnya pipa.
5. Pemeliharaan anestesia
5.1. Sebaiknya digunakan teknik anestesia imbang, karena cara ini
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap tekanan
intrakranium.
Racikan atau kombinasi obat yang digunakan adalah:
(1) N,0: 02 = 60%: 40%.
(2) Fentanil atau sufentanil dosis disesuaikan
(3) Dehidrobenzperidol.
(4) Obat pelumpuh otot non depolarisasi pilihan adalah
esmeron atau vekuronium, tetapi kalau tidak ada bisa
diberikan yang lain.
Dosis masing-masing obat yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan.
5.2. Pilihan lain adalah dengan obat anestetika inhalasi N,0 : 02 =
60% : 40%, disertai isofluran atau desfluran atau kalau ada
sevofluran dan pelumpuh otot seperti tersebut di atas.
5.3. Lakukan hiperventilasi agar tekanan PaC02 berkisar antara
25-30 mm Hg untuk menurunkan tekanan intrakranium.
Dianjurkan mempergunakan alat bantu nafas mekanik untuk
nafas kendali selama anestesia.
5.4. Usaha lain yang bertujuan untuk menurunkan TIK antara lain
adalah; pemberian osmotik diuretik dan pemberian steroid,
walaupun tindakan ini masih dianggap kontroversi sampai
saat ini.
5.5. Pada kasus yang diduga mengalami banyak perdarahan,
dapat dilakukan teknik "hipotensi kendali" mempergunakan
obat vasodilator yang masa kerjanya singkat, seperti misalnya
"sodium nitropruside" atau nitrogliserin. Diupayakan agar
tekanan darah arteri rata-rata tidak lebih rendah dari batas
autoregulasi aliran darah otak.
6. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah
pasien, berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi
apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume darah
pasien, berikan transfusi darah.
Untuk memantau terapi cairan dianjurkan memasang kateter
vena sentral untuk mengukur tekanan vena sentral.
7. Pemantauan selama anestesia
Pemantauan selama anestesia dan pembedahan dilakukan
terutama terhadap parameter ekstrakranial dan juga TIK.
7.1. Pemantauan respirasi, meliputi parameter:
(1) Mekanik, meliputi: volume tidal, frekuensi nafas dan
tahanan jalan nafas. Apabila mempergunakan alat bantu
nafas mekakik, semua parameter tersebut dapat
diatur/ditentukan dan dipantau pada alat tersebut.
Dianjurkan nafas kendali pada tata laksana anestesia
bedah saraf khususnya kraniotomi mempergunakan alat
bantu nafas mekanik.
(2) Kimiawi, yaitu CO; udara ekspirasi dengan kapnograf,
"pulse oxymeter" dan analisis gas darah. Diusahakan agar
pH darah normal, PaCO berkisar antara 25 - 30 mmHg dan
PaO, di atas 100 mmHg.
7.2. Kardiovaskular
Dilakukan pemantauan bunyi jantung dengan stetoskop
prekordial, pemantauan EKG, tekanan darah dan tekanan
vena sentral. Disamping itu, juga dilakukan pemantuan kadar
hemoglobin dan hematokrit.
7.3. Fungsi ginjal
Produksi urin ditampung dan diukur, terutama pada pemberian
diuretik dan kasus yang diduga akan terjadi diabetes
insipidus.
7.4. Keseimbangan elektrolit, asam basa dan osmolaritas Periksa
analisis gas darah dan elektrolit serta osmolaritas serum
secara periodik dan segera koreksi kelainan atau gangguan
keseimbangan yang dijumpai.
7.5. Suhu tubuh
Pantau suhu tubuh secara kontinyu melalui rektum atau
sublingual, cegah hipotermi atau hipertermi yang ekstrim
dengan memasang selimut pengatur suhu.
7.6. Tekanan intrakranial (TIK)
Pemantauan TIK dilakukan oleh Dokter Spesialis Bedah Saraf
yang melakukan pembedahan (apabila diperlukan).
8. Pemulihan anestesia
8.1. Pada akhir pembedahan, pasien yang diperkirakan akan
mengalami udema, kejang atau kenaikan tekanan intrakranium
lebih dari 30 mm Hg, pipa endotrakea tetap dipertahankan
untuk tindakan lebih lanjut.
8.2. Sebaliknya pada pasien yang tidak diperkirakan akan
mengalami keadaan seperti tersebut di atas, segera
dipulihkan dan pipa endotrakea diekstubasi setelah pasien
bernafas spontan dan adekuat serta jalan nafas bersih.
9. Pasca anestesia/bedah
9.1. Pasien dengan risiko tinggi seperti pada butir 8.1. di atas,
segera dibawa ke Ruang Terapi Intensif untuk terapi lebih
lanjut.
9.2. Pasien tanpa risiko untuk sementara dirawat di ruang pulih,
sesuai dengan tata laksana pasca anestesia.
9.3. Pasien pada butir 9.2. dapat dikembalikan keruangan apabila
telah memenuhi kriteria pemulihan.
D. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI MATA
Batasan
Tindakan anestesia-analgesia yang dilakukan pada operasi mata
baik operasi intraokuler maupun ekstraokuler.
Masalah anestesi
1. Pengendalian tekanan intraokuler pada operasi intraokuler.
2. Ancaman resfleks okulokardiak pada manipulasi bola mata.
3. Ancaman sumbatan jaJan nafas.
4. Perdarahan luka operasi.
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status pasien.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi, khususnya
pasien pediatrik atau geriatrik.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus: apabila dijumpai kelainan fungsi organ,
dapat dilakukan koreksi terlebih dahulu.
3. Tata laksana anestesinya.
3.1. Premedikasi, sesuai dengan kebutuhan dengan catatan
obat atropin tidak boleh diberikan pada penderita
glaukoma sudut sempit.
3.2. Pilihan anestesia:
3.1.1. Pada operasi kecil ektraokuler dan rawat jalan,
pilihan anestesinya sesuai dengan tata laksana
anestesia-analgesia pasien rawat jalan.
3.2.2. Pada operasi ekstra okuler yang besar dan lama,
seperti koreksi strabismus, ablasio retina dan
rekonstruksi kelopak mata dan yang lainnya:
diberikan anestesia umum inhalasi atau balans
PET nafas kendali. Waspadai kemungkinan terjadinya
refleks okuloardiak selama operasi.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah
refleks okulokardiak adalah:
(1) Anestesia harus adekuat.
(2) Oksigenasi dan ventilasi harus terjamin.
(3) Berikan atropin 0,5 - 1 mg intravena prabedah.
(4) Blok retrobulber.
3.2.3. Pada operasi intra okuler, misalnya katarak, diberikan
anestesia umum inhalasi atau balans PET
nafas kendali dengan perhatian khusus pada
tekanan intra okuler, dengan tata laksana
anestesia sebagai berikut:
(1) Prekurarisasi untuk mencegah peningkatan
tekanan intra okuler.
(2) Induksi dengan penthotal atau propofol.
(3) Berikan suksinil kholin untuk fasilitas intubasi.
(4) Laringoskopi dan semprotkan lidokain 4%
sebanyak 2-3 ml ke dalam laring-faring dan
trakea untuk menekan refleks batuk pada
saat intubasi, dilanjutkan dengan intubasi
endo trakea.
(5) Pemeliharaan anestesia dengan inhalasi atau
balans PET nafas kendali. Pola nafas spontan
dilakukan khususnya pada pasien geriatrik.
(6) Buat posisi Fowler 10 - 15 derajat untuk
menurunkan tekanan darah vena.
(7) Apabila dianggap perlu, dapat dilakukan blok
retrobulber untuk mencegah refleks okulo
kardiak dan juga dapat membantu
menurunkan tekanan intra-okuler.
(8) Pemulihan anestesi, sesuai dengan tata
laksana pemulihan anestesia yang diberikan.
(9) Diusahakan untuk mencegah batuk berlebihan
pasca ekstubasi.
3.2.4. Pada beberapa kasus katarak, dapat dilakukan
analgesia regional blok retrobulber ditambah
dengan pemberian anestesia neurolept.
4. Pemantauan selama anestesia
Sesuai dengan standar pemantauan intra operatif.
5. Terapi cairan selama operasi, berikan cairan kristaloid.
6. Pasca bedah
6.1.Sementara pasien belum sadar baik dirawat di ruang pulih,
sesuai dengan tata laksana pasca anestesia.
6.2. Perhatian khusus pada periode pasca bedah pada operasi
katarak adalah usaha pencegahan batuk.
6.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
E. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI TONSILEKTOMI
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi tonsilektomi.
Masalah anestesi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Perdarahan.
3. Ancaman refleks vagal.
4. Penderita pada umumnya anak usia sekolah.
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang
yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit pra
induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 0,50 - 1.00 mg/kgBB atau Fentanil 1-2 ug/kgbb
Atropin : 0,01 - 0,02 mg/kgBB
4. Induksi
4.1. Induksi dengan pentothal (dosis 3-5 mg/kgbb atau propofol
(dosis 2-3 mg/kgbb intravena).
4.2. Berikan suksinilkholin (dosis 1-2 mg/kgbb intravena) untuk
fasilitas intubasi.
4.3. Laringoskopi dan intubasi endotrakea.
5. Pemeliharaan anestesia
5.1. Buat posisi ekstensi kepala-leher untuk memudahkan manipulasi
operator di dalam rongga mulut.
5.2. Pemeliharaan dengan N,0: O, = 60%: 40% dan halotan atau
isofluran atau enfluran dengan dosis antara 1-2 vol%,
selanjutnya disesuaikan.
5.3. Pola nafas spontan dan atau dibantu.
6. Pemantauan selama anestesia
Sesuai dengan standar pemantauan intra operatif.
7. Terapi cairan: berikan cairan pemeliharaan.
8. Pemulihan anestesia
8.1. Pada akhir operasi, bersihkan rongga mulut dari bekuan
darah luka operasi, selanjutnya apabila diperlukan isap lendir
yang ada di dalam pipa endotrakea.
8.2. Ekstubasi PET dilakukan pada stadium anestesia, selanjutnya
hentikan aliran obat anestesia dan berikan 0-100% selama
3-5 menit melalui sungkup muka nafas spontan.
9. Pasca bedah
9.1. Pasien dirawat di ruang pulih untuk menunggu proses pemulihan
anestesia sesuai dengan tata laksana pasca anestesi.
9.2. Perhatian khusus pada periode ini adalah pencegahan batuk
dan risiko perdarahan ulang luka operasi, karena perdarahan
ulang luka operasi dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas,
mengakibatkan anemia dan syok.
9.3. Anemia dan syok disebabkan karena perdarahan yang terjadi
ditelan oleh pasien sehingga jumlah perdarahan absolut sulit
dipantau.
9.4. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria
pemulihan.
10. Operasi ulang pasca tonsilektomi
10.1. Indikasi
Dilakukan apabila masih terdapat perdarahan aktif pada
luka operasi.
10.2. Masalah
(1) Anemia.
(2) Hipotensi sampai syok.
(3) Lambung penuh berisi bekuan darah atau minuman.
(4) Psikologis pasien dan keluarga.
(5) Dianggap kasus gawat darurat.
10.3. Evaluasi
Perhatian ditujukan pada masalah tersebut di atas.
10.4. Persiapan
Apabila tersedia cukup waktu, lakukan koreksi terhadap
masalah-masalah yang dijumpai seperti tersebut di atas,
antara lain:
(1) Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya,
bahwa terjadi penyulit yang harus segera ditangani.
(2) Terapi cairan dan transfusi darah.
(3) Pasang pipa nasogastrik untuk mengeluarkan isi lambung.
(4) Kalau dianggap perlu berikan premedikasi untuk menenangkan
pasien.
(5) Oksigenasi adekuat.
(6) Siapkan alat isap yang siap pakai.
10.5. Tata laksana anestesia
(1) Pasang alat pantau yang diperlukan.
(2) Induksi dilakukan dengan teknik induksi cepat, dilanjutkan
dengan pemasangan pipa endotrakea.
(3) Waspadai kemungkinan terjadinya aspirasi dan refleks
vagal pada saat induksi.
(4) Pemeliharaan dilakukan dengan obat anestesia inhalasi
dan kalau perlu berikan obat pelumpuh otot,
selanjutnya lakukan nafas kendali.
(5) Setelah perdarahan berhasil dihentikan dan tindakan
operasi dianggap selesai, pemberian anestesia diakhiri.
(6) Ekstubasi PET dilakukan setelah pasien bernafas
spontan adekuat, sadar dan jalan nafas bersih.
(7) Pasca anestesia, dilakukan perawatan sesuai dengan
tata laksana seperti tersebut di atas.
F. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI BEDAH MULUT, SINUS PARANASALIS
DAN MAKSILO FASIAL
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi bedah mulut
antara lain operasi labio-palato-gnato-plasti, cabut gigi, tumor
rahang, rekonstruksi patah tulang rahang dan muka, operasi pada
sinus paranasalis serta rekonstruksi luka terbuka pada muka.
Masalah anestesi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Perdarahan.
3. Ancaman refleks vagal.
4. Waspadai penyulit intubasi.
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap penyulit intubasi trakea.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus; pada kasus tumor rahang atau cedera
berat di daerah maksilo-fasial yang diantisipasi akan
terjadi kesulitan intubasi, bisa dilakukan trakeostomi.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit pra
induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 0,50 - 1.00 mg/kgBB atau Fentanil 1-2 pg/ kgbb (iv)
Midazolam: 0 , 0 4 - 0 , 1 0 mg/kgBB
Atropin : 0,01 - 0,02 mg/kgBB
4. Induksi
1.1. Pada kasus normal (tanpa kesulitan intubasi), induksi dan
intubasi dilakukan secara konvensional, yaitu:
(1) Induksi dengan pentothal (dosis 3-5 mg/kgbb atau
propofol (dosis 2-3 mg/kgbb intravena).
6.
(2) Berikan suksinil kholin (dosis 1-2 mg/kgbb intravena)
untuk fasilitas intubasi.
(3) Laringoskopi dan intubasi trakea melalui nasal,
kecuali pada operasi celah bibir-palatum.
1.2. Pada kasus yang diduga akan mengalami kesulitan intubasi
trakea, dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
(1) Induksi dilakukan dengan obat-obat neroleptik,
yaitu dehidrobenzperidol dan petidin atau fentanil
sesuai dosis diberikan secara intravena.
(2) Lakukan analgesia topikal dengan lidokain semprot
pada rongga hidung/mulut sampai trakea.
(3) Tunggu sampai efek analgesia optimal, selanjutnya
lakukan laringoskopi pasang PET nasal.
5. Pemeliharaan anestesia
5.1. Buat posisi ekstensi kepala-leher untuk memudahkan
manipulasi operator.
5.2. Pemeliharaan dengan N^O : O = 60%: 40% dan halotan
atau isofluran atau enfluran dengan dosis antara 1-2
vol%, selanjutnya disesuaikan. Hindari pemakaian
halotan apabila operator memberikan infiltrasi lokal
adrenalin untuk mengurangi perdarahan.
5.3. Pola nafas kendali dengan fasilitas obat pelumpuh otot
non depolarisasi.
5.4. Pada beberapa kasus, dapat diberikan analgesia lokal
infiltrasi, untuk mencegah gangguan irama jantung.
Pemantauan selama anestesia, sesuai dengan standar pemantauan
intra operatif.
7. Terapi cairan dan transfusi darah
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah
pasien, berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi
apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
perdarahan pasien, berikan transfusi darah.
8 . Pemulihan anestesia
8.1.Setelah operasi berakhir, hentikan aliran obat inhalasi
anestesia dan berikan oksigen 100%, selanjutnya berikan
obat penawar pelumpuh otot sesuai dosis.
8.2. Bersihkan rongga mulut dari bekuan darah dan lendir,
apabila diperlukan isap pula lendir di dalam PET.
8.3. Ekstubasi PET dilakukan setelah pasien sadar baik, nafas
spontan adekuat dan jalan nafas sudah bersih.
9. Pasca bedah
9.1. Pasien dirawat di ruang pulih, sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
9.2. Perhatian khusus ditujukan pada perdarahan luka operasi
yang dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas.
9.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria
pemulihan.
G. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
ENDOSKOPI JALAN NAFAS
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada tindakan endoskopi
khususnya pada laringoskopi, trakeoskopi dan bronskoskopi.
Masalah anestesi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Ancaman refleks vagal.
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap penyulit jalan nafas.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus; pada kasus yang sangat istimewa
(dengan risiko tinggi sumbatan jalan nafas atas), bisa
dilakukan trakeostomi.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30-45 menit
pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 1,00 - 2,00 mg/kgBB
Midazolam : 0,04 - 0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Pilihan anestesi untuk endoskopi jalan nafas adalah:
4.1. Anestesia neurolept, dilakukan pada pasien:
(1) Dewasa dan kooperatif.
(2) Tidak ada indikasi kontra pemberian narkotik dan
obat nuroleptik khususnya dehidrobezperidol.
Tata laksananya:
(1) Berikan Fentanil 1-2 }.ig/kgBB intravena, selanjutnya
diikuti dengan dehidrobenzperidol 0,2-0,4 mg/kgBB
intravena. atau midazolam 2-5 mg (IV)
(2) Tunggu 5-10 menit sambil memantau frekuensi
nafas, tekanan darah dan denyut nadi.
(3) Lakukan laringoskopi untuk memberikan analgesia
topikal dengan lidokain semprot disekitar rongga
mulut, laring dan trakea.
(4) Tunggu 5-10 menit untuk memberikan kesempatan
obat analgetik lokal bekerja pada mukosa.
(5) Endoskopi yang dimaksud segera bisa dikerjakan.
(6) Apabila dilakukan bronkoskopi dengan bronkoskop
serat optik, analgesia topikal dapat dilanjutkan
dengan memberikan larutan lidokain 1-2% melalui
lubang yang ada pada bronskoskop.
(7) Selama tindakan, berikan suplemen oksigen 4-6
liter/menit melalui kanul ke dalam trakea.
4.2. Anestesia umum, dilakukan pada pasien pediatrik dan
pasien tidak kooperatif.
Tata laksananya
(1) Pada pasien pediatrik
Tata laksana anestesianya sesuai dengan tata laksana
anestesia pediatrik seperti tersebut di atas. Akan
tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan
kerjasama dengan operator, oleh karena pemeliharaan
anestesianya, dilakukan secara inhalasi
melalui "side arm" bronkoskop yang digunakannya.
(2) Pada anak yang lebih besar dan dewasa
Tata laksana anestesianya sama dengan tata laksana
anestesia umum PET nafas spontan atau kendali,
namun PET yang digunakan diameternya lebih kecil
dari ukuran PET yang lazim digunakan sesuai dengan
usia pasien agar bronkoskop yang digunakan bisa
masuk.
5. Pemantauan selama anestesia
Sesuai dengan standar pemantauan selama operasi.
6. Terapi cairan, berikan cairan pemeliharaan.
7. Pemulihan anestesia
7.1. Sesuai dengan tata laksana anestesia yang dipilih.
7.2. Bersihkan dan isap lendir atau kemungkinan adanya
bekuan darah yang ada di rongga mulut.
8. Pasca anestesia
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih, menunggu pemulihan
anestesia sesuai dengan tata laksana pasca anestesia.
8.2. Perhatian khusus pada periode ini ditujukan pada risiko
sumbatan jalan nafas akibat odema laring akibat
manipulasi dan depresi pusat nafas akibat narkotik.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
H. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI
PADA OPERASI LIANG TELINGA
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi-operasi: mastoidektomi,
rekonstruksi liang telinga termasuk timpanoplasti.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas selama operasi.
2. Perdarahan luka operasi.
3. Operasi berlangsung lama.
4. Perubahan tekanan pada liang telinga tengah khususnya
pada operasi timpanoplasti.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif: persiapan rutin.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit
pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 1,0 - 2,0 mg/kgBB
Midazoam : 0,04 - 0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Pilihan anestesinya
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan
pipa endotrakea dan nafas kendali. Hindari pemakaian N20
pada operasi timpanoplasti, karena NO akan mempengaruhi
tekanan pada liang tengah.
5. Pemantauan selama anestesia, sesuai dengan standar pemantauan
dasar intra operatif.
6. Terapi cairan dan transfusi darah
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan
yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien dan
apabila >20%, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesinya, sesuai dengan tata laksana anestesi
yang dipilih.
8. Pasca anestesia, sesuai dengan tata laksana pasien pasca
anestesia dengan perhatian khusus terhadap penanggulangan
nyeri pasca bedah.
I. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI DI DAERAH LEHER
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi kelenjar tiroid
dan kelenjar limpa yang mengalami pembesaran, deseksi leher
radikal dan operasi laringektomi.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Kemungkinan sulit intubasi.
3. Ancaman refleks vagal.
4. Perdarahan luka operasi.
5. Operasi berlangsung lama.
8. Kemungkikan terjadi "badai tiroid" pada tirotoksikosis.
9. Kelumpuhan pita suara pada operasi kelenjar tiroid.
10. Trakeomalase bisa terjadi pada keganasan kelenjar tiroid.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi praoperatif
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap jalan nafas, khususnya posisi
traktea untuk menilai kemungkinan penyulit pemasangan
PET.
2. Persiapan praoperatif
1.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
(1) Pada penderita dengan tirotoksikosis dipastikan
terlebih dahulu bahwa tirotoksikosisnya telah terkendali
(eutiroid).
(2) Trakeostomi berencana pada pasien yang diduga
sulit atau tidak mungkin untuk memasang PET.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit pra
induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 1,0 - 2,0 mg/kgBB Midazolam : 0,04 - 0,10
mg/kgBB Atropin : 0,01 mg/kgBB (tidak diberikan pada
penderita tirotoksikosis)
4. Pilihan anestesinya
Anestesi umum inhalasi atau balans dengan pemasangan PET
dan nafas kendali.
5. Pemantauan selama anestesia dan reanimasi
5.1. Rutin.
5.2. Khusus: sesuai dengan kebutuhan.
6. Terapi cairan dan transfusi darah selam operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume
darah pasien berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid,
tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesi
7.1. Segera setelah selesai operasi, hentikan aliran obat
anestesia, berikan oksigen 100%.
7.2. Berikan obat penawar pelumpuh otot.
7.3. Bersihkan jalan nafas.
7.4. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan
adekuat, serta jalan nafas sudah bersih.
8. Pasca bedah
8.1. Dirawat di ruang pulih menunggu pemulihan anestesia.
8.2. Awasi kemungkinan terjadi perdarahan luka operasi
dan sumbatan jalan nafas akibat perdarahan, kelumpuhan
pita suara dan malase pada trakea.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
J. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI MASTEKTOMI
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi pengangkatan
total payudara akibat keganasan.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Ancaman depresi nafas akibat manipulasi dada.
2. Perdarahan luka operasi.
3. Operasi berlangsung lama.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus: donor.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit
pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 1,0 - 2,0 mg/kgBB
Midazolam : 0,04-0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Pilihan anestesinya
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa
endotrakea dan nafas kendali.
5. Pemantauan selama anestesia dan reanimasi
Sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
6. Terapi cairan dan transfusi darah
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan
yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah dan apabila
>20%, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesia
7.1. Segera setelah selesai operasi, hentikan aliran obat
anestesia, berikan oksigen 100%.
7.2. Berikan obat penawar pelumpuh otot.
7.3. Bersihkan jalan nafas.
7.4. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan
adekuat serta jalan nafas sudah bersih.
8. Pasca bedah/aneestesia
8.1. Dirawat di ruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca
anestesia.
8.2. Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman
depresi nafas akibat nyeri dan kompresi luka operasi.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pengeluaran.
K. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI TORAKOTOMI
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi di dalam rongga
dada dengan pendekatan sternotomi atau insisi interkosta,
misalnya: pada operasi di daerah mediastinum, seperti; kelenjar
tiroid substernal, kelenjar timus, kelainan esofagus, tumor
mediastinum, bedah jantung, operasi pada paru dan operasi
tulang vertebra torakalis.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Ancaman depresi jalan nafas.
3. Ancaman refleks vagal.
4. Perdarahan luka operasi.
5. Pergeseran mediastinum.
6. Pada beberapa kasus perlu anestesia satu paru.
7. Operasi berlangsung lama.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap fungsi paru.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
(1) Fisioterapi dada dan latihan nafas.
(2) Sarana/alat drainase toraks.
(3) Persiapan khusus di kamar operasi untuk sarana
pemantauan invasif intra operatif.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit
pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 1,0 - 2,0 mg/kgBB Midazolam : 0,04- 0,10
mg/kgBB Atropin : 0,01 mg/kgBB
Premedikasi khusus untuk bedah jantung diatur tersendiri.
4. Pilihan anestesi dan reanimasi
4.1. Pada operasi di daerah mediastinum, diberikan anestesia
umum inhalasi/balans PET dan nafas kendali.
4.2. Pada operasi paru dan beberapa kasus non paru misalnya
abses tulang belakang torakal dan PDA, dilakukan
anestesia satu paru mempergunakan PET khusus.
Tata laksana anestesia satu paru:
(1) Induksi dengan obat hipnotik.
(2) Berikan suksinilkholin untuk fasilitas intubasi endo
bronkeal dengan PET lumen ganda.
- untuk paru kanan mempergunakan pipa White.
- untuk paru kiri mempergunakan pipa Curlens.
(3) Hubungkan dengan mesin anestesia mempergunakan
konektor ganda.
(4) Pada tahap awal operasi, dilakukan ventilasi pada ke
dua paru dengan resimen obat anestesia inhalasi
atau anestesia imbang nafas kendali.
(5) Pada saat manipulasi khusus sesuai dengan sasaran
operasi, dilakukan anestesia satu paru dengan cara
melepaskan konektor lumen pipa yang menuju paru
yang akan dikempeskan.
(6) Para meter ventilasi diatur sesuai dengan kebutuhan
ventilasi satu paru dan disesuaikan dengan kondisi
pasien.
(7) Perbandingan antara N20 : 02 diubah menjadi 50 : 50
atau hanya dengan dengan oksigen 100%,
tergantung dari saturasi 02pada saat itu.
(8) Pada saat-saat tertentu bagian paru yang kolaps
dikembangkan dengan tekanan yang ringan.
(9) Apabila operasi yang dimaksud sudah selesai, paru
yang kolaps dikembangkan bersama-sama dengan
menghubungkan kembali dengan konektor yang
tersedia.
(10) Parameter ventilasi dan perbandingan N;0: O, ditata
kembali sesuai dengan parameter ventilasi normal
kedua paru.
(11) Dapat diberikan tambahan obat anestesi intravena
seperti misalnya fentanil dengan dosis disesuaikan
dengan kenutuhan.
4.3. Anestesia bedah jantung akan dibahas tersendiri.
5. Pemantauan selama anestesia dan reanimasi
5.1. Rutin : sesuai dengan standar pemantauan dasar
intra operatif.
5.2. Khusus : (1) Tekanan vena sentral.
(2) Tekanan darah arteri langsung.
(3) Kapnograf untuk memantau CO ekspirasi.
(4) "Pulse Oxymeter".
(5) Analisis gas darah secara periodik.
6. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume
darah pasien berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid,
tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan
volume pasien, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesia
7.1. Sebelum dilakukan prosedur pemulihan, bersihkan dan
isap cairan, lendir atau bekuan darah yang ada dalam
PET.
7.2. Ganti pipa lumen ganda dengan PET yang biasa.
7.3. Prosedur pemulihan selanjutnya sesuai dengan tatalaksana
pemulihan anestesia umum.
7.4. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan
adekuat, serta jalan nafas sudah bersih.
7.5. Pada kasus yang diduga akan terjadi depresi nafas pasca
bedah, tidak dilakukan ekstubasi PET dan pasien
langsung di kirim ke ruang terapi intensif untuk tindakan
perawatan dan terapi lebih lanjut.
8. Pasca bedah
8.1. Pasien tanpa risiko depresi nafas.
(1) Pasien dirawat di ruang pulih untuk menunggu
proses pemulihan anestesia sesuai dengan tata
laksana pasca anestesia.
(2) Perhatian khusus ditujukan pada:
- perdarahan luka operasi yang tertampung pada alat
drainase toraks.
- pengembangan kedua paru dengan pemeriksaan
foto toraks.
- nyeri pasca bedah yang menimbulkan gangguan
pengembangan paru.
(3) Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
8.2. Pada pasien dengan risiko tinggi depresi nafas dan goncangan
hemodinamik pasca bedah, pasien langsung
dikirim ke ruang terapi intensif untuk tindakan terapi
lebih lanjut.
L. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI LAPAROTOMI
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan untuk menunjang tindakan
operasi eksplorasi rongga abdomen pada kasus bedah digestif
atau kasus ginekologi.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Manipulasi organ viseral, risiko refleks vagal.
2. Perdarahan luka operasi.
3. Operasi berlangsung lama.
4. Posisi tertentu sesuai dengan kebutuhan operasi.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
(1) Kanulasi vena sentral (khusus bedah digestif dengan
reseksi usus).
(2) Persiapan donor.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit
pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 1,0 - 2,0 mg/kgBB
Midazolam : 0,04 - 0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Pilihan anestesinya
Anestesia umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan
pipa endotrakea dan nafas kendali.
5. Pemeliharaan selama anestesia dan reanimasi
5.1. Rutin : sesuai dengan standar pemantauan dasar.
5.2. Khusus: (1) Waspadai kemungkinan terjadinya refleks
vagal akibat manipulasi organ viseral.
(2) Kalau perlu dilakukan pemantauantekanan
vena sentral.
6. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume
darah pasien berikan, cairan pengganti kristaloid atau koloid,
tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
pasien, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesia
7.1. Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat
anestesia, berikan oksigen 100%.
7.2. Berikan obat penawar pelumpuh otot.
7.3. Bersihkan jalan nafas.
7.4. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan
adekuat serta jalan nafas bersih.
8. Pasca bedah
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih, sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
8.2. Pada pasien yang akan diantisipasi akan mengalami depresi
nafas, langsung dikirim ke ruang terapi intensif.
8.3. Masalah pasca bedah, khususnya kasus bedah digestif
adalah nyeri abdomen dan nutrisi.
8.4. Nyeri pasca laparotomi tinggi akan mengganggu mekanisme
batuk dan menurunkan kapasitas vital paru
diatasi dengan cara:
(1) Pada pasien tanpa problem pernafasan praope- ratif,
berikan analgesia epidural dengan morfin atau
dengan analgesia balans melalui infus tetes
kontinyu.
(2) Pada kasus dengan problem pernafasan praoperatif,
diberikan ventilasi mekanik disertai obat sedatif dan
analgetik yang adekuat.
8.5. Nutrisi diberikan secara parenteral sesuai dengan pedoman
nutrisi parenteral di Unit Terapi Intensif.
M. TATA LAKSANA ANESTESIA-ANALGESIA
PADA OPERASI TULANG KOLUMNA VERTEBRALIS
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi terbuka kolumna
vertebralis akibat dislokasi, fraktur atau hernia nukleus pulposus
(HNP) dan abses "dingin" akibat tuberkulosis.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Posisi tengkurap (pada pendekatan posterior)
2. Manipulasi kolumna vertebralis.
3. Perdarahan luka operasi.
4. Operasi berlangsung lama.
5. Ancaman gangguan fungsi respirasi dan sirkulasi berkaitan
dengan ketinggian lesi (syok spinal)
6. Penderita dengan tirah baring yang lama.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap fungsi saraf otot di daerah
tungkai, perut dan dada serta fungsi vegetatif.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
(1) Bantuan nafas dan tunjangan sirkulasi (pada lesi di
servikal- torakal).
(2) Stabilisasi sementara dari kolumna vertebralis.
(3) Persiapan donor untuk keperluan operasi.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit pra
induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Morfin : 0,1 - 0,2 mg/kgBB
Midazolam : 0,04 - 0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Induksi
4.1. Dilakukan prekurarisasi.
4.2. Induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang
lainnya.
4.3. Berikan suksinil kholin untuk fasilitas intubasi.
4.4. Laringoskopi dan semprotkan lidokain 4% sebanyak 3-5
kali semprot ke dalam laring-faring dan trakea untuk
menekan refleks batuk pada saat intubasi. Hati- hati pada
kasus dislokasi/fraktur tulang servikal.
4.5. Intubasi endotrakea dengan pipa yang sesuai.
4.6. Posisi diatur tengkurap atau sesuai dengan kebutuhan
operasi.
4.7. Pada saat mengatur posisi tengkurap, perhatikan dada
dan perut pasien harus bebas agar ekspansinya pada saat
ventilasi memadai.
5. Pemeliharaan selama anestesia dan reanimasi
5.1. Pemeliharaannya dengan N20 : O = 60% : 40% dan halotan
atau enfluran atau isofluran dengan dosis 0,5 - 1,0 vol%
disertai obat pelumpuh otot atau dengan anestesia
imbang.
5.2. Berikan nafas kendali, (sebaiknya dengan alat bantu nafas
mekanik).
5.3. Pada beberapa kasus diperlukan hipotensi kendali.
6. Pemantauan selama anestesia
Sesuai dengan pemantauan dasar intra operatif.
7. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan
volume darah pasien berikan, cairan pengganti kristaloid
atau koloid, tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari
perkiraan volume pasien, berikan transfusi darah.
8. Pemulihan anestesia
8.1.Segera setelah selesai operasi, hentikan aliran obat
anestesia, berikan oksigen 100%.
8.2. Berikan obat penawar pelumpuh otot.
8.3. Bersihkan jalan nafas.
8.4. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan
adekuat.
8.5. Apabila pemulihan nafas spontan memanjang akibat lesi
servikal atau torakal, pasien dirawat di Ruang Terapi
Intensif.
9. Pasca anestesia
9.1. Pasien dirawat di ruang pulih, sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
9.2. Pada pasien yang mengalami pemanjangan pemulihan
nafas spontan atau pada fraktur servikal, pasca anestesia
langsung dikirim ke Ruang Terapi Intensif untuk
perawatan/terapi lebih lanjut.
9.3. Masalah dini pasca anestesia adalah rasa nyeri yang
hebat yang harus segera diatasi dengan teknik analgesia
imbang yang diberikan secara infus tetes kontinyu.
9.4. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
N. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
PEMBEDAHAN BATU GINJAL DAN ATAU URETER
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi eksplorasi batu
ginjal dan atau ureter.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Manipulasi rongga retro peritoneal.
2. Perdarahan luka operasi.
3. Operasi berlangsung lama.
4. Ancaman gagal ginjal akut.
5. Posisi miring ekstensi.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap fungsi ginjal dan penyulit lain
apabila disertai dengan gagal ginjal kronis.
2. Persiapan
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
(1) Pada kasus dengan fungsi ginjal terbatas, dilakukan
dianalisis praoperatif.
(2) Kanulasi vena sentral.
(3) Koreksi keadaan patologis yang mengancam, misalnya:
gangguan keseimbangan asam-basa-elektrolit.
(4) Persiapan donor.
3. Premedikasi, diberikan secara intramuskular 30 - 45 menit pra
induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
Petidin : 0,5 - 1,0 mg/kgBB
Midazolam : 0,04 - 0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Induksi
4.1. Dilakukan prekurarisasi.
4.2. Induksi dengan pentothal (dosis 3-5 mg/kgbb intravena)
atau propofol (dosis 2-3 mg/kgbb intravena).
4.3. Pada pasien dengan kadar kalium plasma normal, berikan
suksinil kholin (dosis 1-2 mg/kgbb intravena) untuk
fasilitas intubasi, sedangkan pada pasien yang kadar
kalium plasmanya tinggi, digunakan atrakurium.
4.4. Laringoskopi dan semprotkan lidokain 4% sebanyak 3-5
kali semprot ke dalam laring-faring dan trakea untuk
menekan refleks batuk pada saat intubasi.
4.5. Intubasi endotrakea dengan pipa yang sesuai.
4.6. Posisi diatur miring ekstensi sesuai dengan kebutuhan
operasi.
5. Pemeliharaan selama anestesia dan reanimasi
5.1. Pemeliharaannya dengan N;0 : O = 60%: 40% dan enfluran
atau isofluran dengan dosis 0,5 - 1.0 vol % disertai obat
pelumpuh otot atau dengan anestesia imbang (hindari
pemakaian morfin).
5.2. Pola nafas kendali.
6. Pemantauan selama anestesia dan reanimasi
6.1. Rutin : sesuai dengan standar pemantauan dasar.
6.2. Khusus : (1) tekanan vena sentral.
(2) produksi urin.
(3) Elektrolit dan analisis gas darah, pada kasus
gagal ginjal.
7. Terapi cairan dan transfusi darah
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan
volume darah pasien, berikan cairan pengganti kristaloid
atau koloid, tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari
perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah.
8. Pemulihan anestesia
8.1. Segera setelah selesai operasi, hentikan aliran obat
anestesia, berikan oksigen 100%.
8.2. Berikan obat penawar pelumpuh otot.
8.3. Bersihkan jalan nafas.
8.4. Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan
adekuat.
5.2. Khusus: terhadap kasus reseksi trans-uretrae disertai
dengan risiko tinggi payah jantung, dilakukan
pemantauan:
(1) Tekanan vena sentral.
(2) Pemeriksaan kadar natrium plasma.
(3) Pemeriksaan serial Hb dan Ht.
6. Terapi cairan dan transfusi darah
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume
darah pasien berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid,
tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesi: sesuai dengan pilihan anestesi.
8. Pasca bedah
8.1. Pasien tanpa risiko
(1) Dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
(2) Perhatian terhadap usaha penanggulangan nyeri luka
operasi dan nyeri akibat tarikan fiksasi kateter urin.
(3) Perhatian juga ditujukan pada kelancaran aliran
cairan irigasi buli-buli untuk mencegah sumbatan
pada keteter akibat bekuan darah.
(4) Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
8.2. Pasien dengan risiko tinggi, dirawat di ruang terapi intensif
untuk perawatan dan terapi lebih lanjut sesuai dengan
masalah yang dijumpai dan tata laksana seperti pada butir
8.1. (2) dan (3).
R TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMAS!
PADA TINDAKAN ENDOSKOPI SALURAN KEMIH
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada tindakan endoskopi
saluran kemih yang meliputi tindakan: diagnostik, dilatasi atau
sakse uretra dan litotripsi pada pasien yang menderita batu
saluran kemih bagian bawah.
Masalah anestesi dan reanimasi: posisi litotomi.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif: Persiapan rutin.
3. Premedikasi, tidak diberikan premedikasi.
4. Pilihan anestesinya
4.1. Pasien dewasa : Analgesia regional blok spinal sub
arakhnoid.
4.2. Anak-anak : Anestesia umum inhalasi sungkup
muka atau intravena ketamin.
4.3. Rawat jalan : Anestesia umum inhalasi sungkup
muka atau intravena ketamin.
5. Pemantauan selama anestesia sesuai dengan standar.
6. Terapi cairan: sesuai dengan kebutuhan.
7. Pemulihan anestesia: sesuai dengan pilihan anestesinya.
8. Pasca anestesia
8.1. Sesuai dengan tata laksana pasien pasca anestesia.
8.2. Perhatian khusus pada penanggulangan nyeri.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan atau pulang, setelah
memenuhi kriteria pemulihan.
Q. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI HISTEREKTOMITRANS-VAGINAL
... .• . .V ... ... . . • -. jp
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada tindakan operasi
histerektomi trans-vaginal pada penderita prolapsus uteri.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Kasus pada umumnya usia tua.
2. Posisi litotomi.
3. Operasi berlangsung lama.
4. Manipulasi rongga pelvis dengan risiko banyak perdarahan.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Evaluasi khusus terhadap masalah usia tua.
2. Persiapan praoperatif: persiapan rutin dan donor.
3. Premedikasi, tidak diberikan premedikasi.
4. Pilihan anestesinya
4.1. Anelgesia blok subarakhnoid/epidural.
4.2. Pada kasus yang tidak mungkin dilakukan tindakan blok
subarakhnoid/epidural, diberikan anestesia umum
inhalasi PET (balans) nafas kendali.
5. Pemantauan selama anestesia sesuai dengan standar.
6. Terapi cairan dan transfusi darah Pada perdarahan yang
terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien berikan
cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila terjadi
perdarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien,
berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesi: sesuai dengan pilihan anestesi.
8. Pasca bedah
8.1. Sesuai dengan tata laksana pasca anestesia.
8.2. Perhatian khusus pada penanggulangan nyeri.
8.3. Pasien kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria
pemulihan.
R. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI
PADA OPERASI DISLOKASI ATAU PATAH TULANG LENGAN
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada reposisi atau operasi
fiksasi eksternal atau internal dan reduksi terbuka dislokasi atau
patah tulang lengan dan klavikula.
Masalah anestesi dan reanimasi: Posisi miring (pada operasi di
daerah lengan atas).
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
1.3. Waspadai kemungkinan adanya cedera di tempat lain.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus: penanggulangan nyeri.
3. Premedikasi, sesuai dengan kebutuhan.
4. Pilihan anestesinya
4.1. Reposisi tertutup dan rawat jalan, sesuai dengan tata laksana
anestesia rawat jalan.
4.2. Operasi terbuka pada lengan atas dan klavikula, berikan
anestesia umum inhalasi (imbang) PET dan nafas kendali.
4.3. Operasi terbuka pada lengan bawah:
(1) Anak-anak : anestesia umum inhalasi PET nafas
kendali.
(2) Dewasa : blok fleksus atau regional intravena
atau inhalasi sungkup muka atau
intravena diazepam-ketamin.
5. Pemantauan selama anestesia
Sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
6. Terapi cairan:
Jarang terjadi perdarahan, akan tetapi kalau terjadi perdarahan
<20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan
cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila terjadi
perdarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien,
berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesi, sesuai dengan pilihan anestesi.
8. Pasca anestesia
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
8.2. Perhatian khusus ditujukan pada upaya untuk menanggulangi
nyeri pasca bedah.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan atau pulang, apabila
memenuhi kriteria pemulihan.
S. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI
PADA REPOSISI/OPERASI DISLOKASI DAN PATAH
TULANG TUNGKAI
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada reposisi atau operasi
fiksasi eksternal atau internal dan reduksi terbuka dislokasi, patah
tulang paha, lutut, kruris dan tulang-tulang pada kaki.
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Posisi miring pada tulang paha.
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multipel).
3. Operasi berlangsung lama (pada patah tulang multipel).
4. Kerusakan jaringan lunak.
5. Nyeri yang hebat.
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat.
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi serta waspadai
trauma pada regio yang lain. 2
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
(1) Koreksi gangguan fungsi organ yang mengancam.
(2) Penanggulangan nyeri.
(3) Donor.
Premedikasi, sesuai dengan kebutuhan.
3.
4. Pilihan anestesinya
4.1. Pasien dewasa/orang tua tanpa gangguan fungsi organ
vital: diberikan analgesia subarakhnoid atau epidural
kontinyu.
4.2. Pada pasien dewasa/orang tua yang disertai dengan
kelainan/gangguan fungsi organ vital: dilakukan
anestesia umum inhalasi (imbang) PET nafas kendali.
4.3. Pasien dewasa dan diperkirakan operasi kurang dari 1
(satu) jam: anestesia umum inhalasi sungkup muka atau
anestesia umum intravena diazepam-ketamin.
4.4. Pada bayi/anak: Anestesia umum, sesuai dengan tata
laksana anestesia pediatri.
4.5. Pasien rawat jalan: sesuai dengan tata laksana
anestesia-analgesia rawat jalan.
5. Pemantauan selama anestesia
Sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
6. Terapi cairan:
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid,
tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume
darah pasien, berikan transfusi darah.
7. Pemulihan anestesia, sesuai dengan pilihan anestesi yang
diberikan.
8. Pasca anestesia
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
8.2. Perhatian khusus ditujukan pada upaya penanggulangan
nyeri pasca bedah.
8.3. Pasien dikirim kembali ke ruangan, setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
8.4. Pada kasus trauma multipel, pasien langsung dikirim ke
ruang terapi intensif untuk perawatan dan terapi lebih
lanjut.
T. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI DI DAERAH ABDOMINAL BAWAH, INGUINAL
DAN TUNGKAI
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi di daerah:
1. Abdominal bawah, antara lain: varikokel, appendektomi,
tubektomi, batu buli-buli dan batu ureter distal.
2. Inguinal, antara lain: hernia, hidrokel, reposisi testis pada
"undecensus testis", torsi testis dan deseksi kelenjar
inguinal.
B. Tungkai, antara lain: ruptur tendon, varises, tumor jaringan
lunak dan jaringan granulasi.
Masalah anestesi dan reanimasi: tergantung status fisik ASA.
Penatalaksanaan anestesi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif
2.1. Persiapan rutin.
2.2. Persiapan khusus:
3. Premedikasi, disesuaikan dengan kebutuhan.
4. Pilihan anestesinya
4.1. Pasien dewasa dan diperkirakan operasi lebih dari 1
(satu) jam: Analgesia spinal subarakhnoid rendah.
4.2. Pada pasien dewasa dan diperkirakan operasi kurang
dari 1 (satu) jam: anestesia umum inhalasi sungkup muka
atau anestesia umum intravena diazepam- ketamin.
4.3. Pada bayi/anak: Anestesia umum, sesuai dengan tatalaksana
anestesia pediatrik.
4.4. Pasien rawat jalan: sesuai dengan tata laksana
anestesia-analgesia rawat jalan.
5. Pemantauan selama anestesia, sesuai dengan standar pemantauan
dasar intra operatif.
6. Terapi cairan, disesuaikan dengan kebutuhan.
7. Pemulihan anestesia, sesuai dengan pilihan anestesinya.
8. Pasca anestesia
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata
laksana pasca anestesia-analgesia.
8.2. Pasien kembali ke ruangan, setelah memenuhi kriteria
pemulihan.
U. TATA LAKSANA ANESTESIA REANIMASI
PADA OPERASI DI DAERAH GENETALIA EKSTERNA
Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi di daerah genetalia
eksterna dan ano-rektal.
Masalah anestesi dan reanimasi:
1. Posisi pada umumnya litotomi, tetapi pada kasus atresia ani
dengan pendekatan posterior, posisinya tengkurap.
2. Refleks vagal.
3. Nyeri hebat pasca bedah.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
DAN ANO-REKTAL
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
2. Persiapan praoperatif: persiapan rutin.
3. Premedikasi, disesuaikan dengan kebutuhan.
4. Pilihan anestesinya
4.1. Pada pasien dewasa
Analgesia regional subarakhnoid rendah (blok-sadel)
atau analgesia epidural kaudal.
Pada wanita, perlu diberikan sedatif.
4.2. Pada bayi/anak: Anestesia umum PET nafas kendali.
4.3. Pasien rawat jalan: sesuai dengan tata laksana
anestesia-analgesia rawat jalan.
5. Pemantauan selama anestesia: sesuai dengan standar
6. Terapi cairan: disesuaikan dengan kebutuhan.
7. Pemulihan anestesia, sesuai dengan pilihan anestesi.
8. Pasca anestesia
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
8.2. Pasien dikirim kembali ke ruangan, setelah memenuhi
kriteria pemulihan.
8.3. Penanggulangan nyeri di ruangan dengan analgesia
regional morfin atau analgesia balans.
V. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
PASIEN RAWAT JALAN
Batasan
Anestesia pasien rawat jalan adalah tindakan anestesia yang
dilakukan pada kasus bedah tanpa harus menginap di rumah
sakit.
Pemilihan pasien
1. Berdasarkan jenis pembedahan:
1.1. Kasus bedah umum, seperti misalnya: biopsi kelenjar,
eksisi fibroadenoma payudara, eksterpasi (ganglion,
lipoma dll), eksisi, menjahit luka, herniotomi tanpa
penyulit dan endoskopi.
1.2. Kasus bedah tulang, seperti misalnya: tindakan reposisi
patah tulang tertutup, cabut fiksasi kawat dan cabut plat
dan skrup.
1.3. Kasus bedah plastik, seperti misalnya: pembedahan bibir
sumbing, mamoplasti, pengangkatan jaringan parut
lipektomi.
1.4. Kasus bedah urologi, seperti misalnya: pembedahan
varikokel, sitoskopi, RPG, biopsi kandung kemih dan Extra
Corporal Shock Wave Lytotripsy (ESWL).
1.5. Kasus bedah mulut, seperti misalnya: odontektomi,
ekstraksi gigi dan reduksi/fiksasi patah tulang mandibula
dan zigoma tanpa penyulit.
1.6. Kasus bedah THT, seperti misalnya: tindakan endoskopi
(laringoskopi), SMR, pemasangan pipa miringo dan
eksterpasi polip hidung.
1.7. Kasus bedah mata, seperti misalnya: ekstraksi katarak,
eksterpasi tumor kelopak mata dan pengobatan sinar
laser.
1.8. Kasus genekologi, seperti misalnya: dilatasi/kuretase,
biopsi konus/konisasi, laparoskopi, tubektomi dan
eksterpasi tumor labia/vagina.
1.9. Kasus radiologi, seperti misalnya: angiografi dan prosedur
diagnostik pada anak-anak yang tidak kooperatif.
2. Berdasarkan status fisik
Pasien yang termasuk dalam status fisik ASA 1 - 2 .
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Persiapan psikis tidak memadai.
2. Kemungkinan pasien melanggar (tidak disiplin) terhadap
aturan yang telah disepakati, misalnya puasa.
3. Pilihan anestesia yang sesuai, yaitu memadai, masa pulih
cepat dan penyulit minimal atau tidak ada.
4. Penyulit pasca anestesia.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi.
1. Evaluasi
1.1. Penilaian status presen.
1.2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi.
Evaluasi dilakukan di poliklinik selanjutnya evaluasi ulang
dilakukan di kamar terima IBS.
2. Persiapan praoperatif: persiapan rutin.
3. Premedikasi, disesuaikan dengan kebutuhan.
4. Pilihan anestesinya, disesuaikan dengan: jenis operasinya.
Prinsipnya: (1) memadai untuk tindakan yang direncanakan.
(2) mulai kerja obatnya cepat.
(3) efek samping minimal
(4) pemulihannya cepat.
Pilihannya adalah:
4.1. Anestesia umum intravena dengan obat hipnotikum
seperti misalnya pentothal atau propofol.
4.2. Anestesia umum inhalasi sungkup muka.
4.3. Anestesia umum intravena diazepam-ketamin
4.4. Anestesia umum inhalasi PET pada kasus-kasus khusus,
misalnya posisi miring atau tengkurap dan pada operasi
di daerah kepala-leher.
5. Pemantauan selama anestesia: sesuai dengan standar
pemantauan intra operatif.
6. Terapi cairan: disesuaikan dengan kebutuhan.
7. Pemulihan anestesia: sesuai dengan pilihan anestesi.
8. Pasca anestesia
8.1. Pasien dirawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana
pasca anestesia.
8.2. Pasien boleh pulang apabila nilai Aldretenya 10 dan tidak
ada penyulit yang lain.
8.3. Berikan informasi kepada pasien, perihal:
(1) Tidak boleh pulang sendirian, harus ditemani.
(2) Tidak boleh mengemudikan kendaraan.
(3) Tidak mengadakan transaksi.
(4) Harus beristirahat selama 24 jam.
W. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
KASUS BEDAH DARURAT
Batasan
Anestesia pada kasus bedah darurat adalah tindakan anestesiaanalgesia
yang diberikan kepada pasien yang menjalani
pembedahan darurat akibat penyakit bedah yang dideritanya
secara mendadak.
Berdasarkan ancaman kegawatan yang diderita pasien, kasus
penyakit bedah darurat dibagi menjadi 2 (dua);
1. Bedah darurat absolut adalah: kasus bedah darurat yang
mengancam keselamatan jiwa atau anggota badan akibat
kelainan/gangguan anatomi dan atau fungsi organ vital, yang
segera harus dikerjakan dalam kurun waktu kurang dari 1
(satu) jam setelah diagnosis ditegakkan. Penundaan
pembedahan akan membahayakan jiwa atau menyebabkan
kehilangan anggota badan. 2
2. Bedah darurat relatif adalah: kasus bedah darurat yang tidak
mengancam nyawa atau keselamatan anggota badan akibat
kelainan/gangguan anatomi dan atau fungsi organ,
yang harus dikerjakan dalam kurun waktu kurang dari 6
(enam) jam setelah diagnosis ditegakkan.
Kasus penyakit bedah darurat, dipertimbangkan untuk ditunda
tindakan pembedahannya apabila disertai dengan penyakit
sistemik yang mengancam jiwa pasien, yaitu: status asmatikus,
dekompensasi kordis dan stadium terminal dari penyakit sistemik
yang dideritanya.
Masalah anestesia dan reanimasi
1. Waktu yang tersedia untuk melakukan evaluasi dan persiapan
pra anestesia/bedah sangat terbatas.
2. Masalah yang dijumpai tidak menentu dan setiap saat bisa
berubah.
3. Koreksi yang dilakukan praoperatif tidak adekuat karena
keterbatasan faktor penunjang baik medis maupun non
medis.
4. Pengosongan lambung terlambat.
5. Psikologis pasien dan keluarganya tidak siap.
6. Diagnosis dan tindakan bedah sering tidak menentu akibat
dari faktor-faktor butri 1,2 dan 3 di atas.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
1.1. Dicari masalah-masalah yang berkaitan dengan faktor
risiko atau penyulit anestesia terutama pada sistem
organ vital (respirasi, sirkulasi dan serebral).
1.2. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan:
1.2.1. Pada operasi besar:
(1) Darah rutin; Hb; Ht, leokosit, trombosit, waktu
perdarahan dan pembekuan.
(2) Kimia darah; gula darah, ureum dan kreatinin
serum, protein dan kalau mungkin periksa
elektrolit dan analisis gas darah.
(B) Reduksi dan protein urin.
(4) Pemeriksaan lain terkait dengan penunjang
diagnosis penyakit dalam/bedah.
1.1.2. Pada operasi sedang dilakukan pemeriksaan:
(1) Darah rutin
(2) Reduksi urin
(3) Pemeriksaan lain terkait dengan penunjang
diagnostik bidang Penyakit Dalam atau Bedah.
1.1.3. Pada operasi ringan dan rawat jala n: Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan sesuai dengan indikasi
bidang Penyakit Dalam atau Bedah.
1.2. Pemeriksaan Radiologis: sesuai dengan indikasi.
1.3. Konsultasi kepada diasiplin atau bidang penyakit lain
yang terkait dengan masalah yang dijumpai.
2. Persiapan praanestesia.
2.1. Persiapan Rutin.
2.2. Persiapan Khusus:
1.1.1. Koreksi keadaan patologis yang dijumpai,
disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia,
terutama koreksi terhadap masalah-masalah
oksigenasi dan stabilisasi hemodinamik.
2.2.2. Pencegahan bahaya aspirasi asam lambung:
(1) Berikan obat antagonis reseptor H, secara
intravena 5 - 1 0 menit atau intramuskular 30
- 45 sebelum induksi.
(2) Berikan antasid peroral 30 - 45 menit pra
induksi.
2.2.3. Upaya pengosongan lambung dengan memasang
pipa nasogastrik dan dihisap secara berkala.
2.3. Premedikasi, sesuai dengan kebutuhan
2.3.1. Pasien koma, tidak perlu premedikasi.
2.3.2. Pasien stress dan kesakitan, berikan sedatif dan
analgetik narkotik intravena atau intramuskular
dengan dosis disesuaikan.
2.3.3. Antikholinergik diberikan apabila tidak ada indikasi
kontra, seperti demam dan takikardi.
2.3.4. Pasien rawat jalan, tidak perlu premedikasi.
2.4. Infus
2.4.1. Pada pasien dengan status fisik 1-2 yang direncanakan
operasi ringan sampai sedang, berikan
cairan kristaloid.
2.4.2. Pada pasien yang menderita dehidrasi atau
goncangan hemodinamik, berikan cairan koreksi
sesuai dengan kebutuhan. Kalau perlu dipasang
kateter yang sentral untuk memantau terapi
cairan yang diberikan.
2.4.3. Pada pasien rawat jalan, tidak perlu dipasang.
3. Pilihan anestesia dan reanimasi
3.1. Analgesia regional, disesuaikan dengan indikasi.
3.2. Anestesia umum
3.2.1. Intravena hipnotik, untuk reposisi dan dilatasikuretase.
3.2.1 Intravena deazepam-ketamin, diberikan sesuai
dengan indikasi, asalkan puasanya cukup memadai
3.2.3. Inhalasi (balans) PET nafas kendali, dengan pertimbangan
lambung penuh, terutama pada operasi
di daerah kepala-leher, dada dan perut atau
dengan posisi khusus (miring atau tengkurap) dan
durasi operasi yang lama.
Tata laksananya:
(1) Lakukan prekurarisasi dengan obat pe- lumput
otot non depolarisasi seperempat dari dosis
lazim, untuk mencegah fasikulasi
1
otot rangka dan peningkatan tekanan intragastrik.
(2) Preoksigenasi dengan oksigen 100%selama
3-5 menit.
(3) Induksi dengan teknik "head up crash
intubation" (posisi kepala lebih tinggi)
mempergunakan obat hipnotik intravena
atau ketamin, sesuai dengan indikasi.
(4) Setelah pasien tertidur, lakukan manuver
"Sellick" dengan menekan tulang krikoid ke
posterior untuk mencegah regurgitasi
sampai terpasang PET dan balonnya sudah
dikembangkan dengan udara.
(5) Berikan suksinilkholin 1-2 mg/kgbb intra
vena secara cepat.
(6) Lanjutkan oksigenasi sampai pasien henti
nafas dan tidak boleh melakukan ventilasi
tekanan positif.
(7) Lakukan laringoskopi, dilanjutkan dengan
intubasi PET.
(8) Balon/kaf PET segera dikembangkan dan
lepaskan manuver Sellick's.
(9) Hubungkan PET yang telah terpasang dengan
mesin anestesia dan berikan nafas buatan.
(10) Pemeliharaan anestesia dilakukan dengan
inhalasi atau balans dan nafas kendali.
(11) Pemulihan dilakukan sesuai dengan tata
laksana pemulihan anestesia umum PET
nafas kendali.
(12) Ekstubasi PET dilakukan bila pasien sudah
sadar, bernafas spontan adekuat dan jalan
nafas bersih.
(13) Waspadai terhadap kemungkinan terjadinya
regurgitasi atau muntah pasca ekstu- basi.
(14) Pada kasus-kasus risiko tinggi, tidak dilakukan
ekstubasi PET dan pasien langsung
dikirim ke ruang terapi intensif untuk terapi
lebih lanjut.
3.4. Pemantauan selama operasi
3.4.1. Sesuai dengan standar pemantauan dasar
intraoperatif.
3.4.2. Apabila dianggap perlu dipasang kateter vena
sentral untuk memantau terapi cairan dan status
hemodinamik.
3.5. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
3.5.1. Pada pasien dengan status fisik ASA 1-2 yang tidak
disertai dengan perdarahan praoperatif:
(1) Berikan cairan kristaloid atau kombinasi
dengan koloid, apabila terjadi perdarahan
<20% dari perkiraan volume darah pasien.
(2) Berikan transfusi darah bila perdarahan yang
terjadi >20% dari perkiraan volume darah
pasien, apalagi perdarahan masih tetap
berlangsung.
3.5.2. Pada pasien risiko tinggi yang disertai dehidrasi,
goncangan hemodinamik, perdarahan dan anemia
prabedah, program terapi cairan dan transfusi
yang telah dikerjakan, dilanjutkan dengan
pemantauan tekanan vena sentral selama
pembedahan.
4. Pasca anestesia
4.1. Pasien dengan status fisik ASA 1-2, dirawat di ruang
pulih sesuai dengan tata laksana pasca anestesia.
4.2. Perhatian ditujukan pada kemungkinan terjadinya
muntah atau regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi.
4.3. Pasca blok subarakhnoid, perhatian ditujukan pada
perangai hemodinamik.
4.4. Pasien boleh dikembalikan/dikirm keruangan apabila
sudah memenuhi kriteria pemulihan.
4.5. Pasien risiko tinggi yang disertai dengan koma, goncangan
hemodinamik dan ancaman gagal nafas, dirawat
di ruang terapi intensif untuk perawatan dan terapi lebih
lanjut.

Anda mungkin juga menyukai