Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasian merupakan rujukan dari RS. Tanah Bumbu dengan riwayat operasi pullthrough
hirscprung kurang lebih sejak 6 bulan yang lalu. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Ulin
Banjarmasin pada tanggal 11 Juli 2016 dikarenakan keluhan pasien berupa nyeri perut diseluruh
region disertai dengan muntah dan diare berwarna kekuningan yang tidak kunjung membaik.
Saat di RS Tanah Bumbu pasien sempat mengeluhkan demam 38.8C yang kemudian
diikuti dengan kejang selama 30 menit satu minggu sebelum pasien MRS RSUD Ulin
Banjarmasin. Pada tanggal 12 Juli pasien dikonsulkan ke bagian neurologi anak RSUD Ulin
kemudian didiagnosis dengan kejang demam kompleks (KDK) dd imbalance elektrolit.
Kejang merupakan suatu manifestasi klinik dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan
dari sel-sel neuron otak yang terganggu fungsinya. Sedangkan kejang demam merupakan kejang
yang terjadi akibat kenaikan suhu rectal 38C adanya kelainan primer intracranial. Pada kasus
ini, pasien didiagnosis KDK karena telah memenuhi salah satu criteria diagnosis KDK yaitu: 1)
kejang lama >15 menit, 2) kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial, c) berulang atau lebih dari 1 kali selama 24 jam. Pasien memenuhi criteria kejang demam
yang pertama, yaitu durasi kejang >15 menit.17
Tatalaksana untuk pasien dengan kejang adalah sebagai berikut:
1 Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah untuk menilai
dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang

tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder
terhadap hipoksia dan atau iskemia.17 Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian
patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas tidak
bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head tilt- chin
lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask
jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang
dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan
napas telah bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret oleh
suction.17
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari

laju pernapasan, suara

napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit.
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry.
Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen
melalui perangkat bag-valve - mask.17
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi.
Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang
dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan
pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh,
pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute
bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda
syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan

untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena
setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat normal
saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa tekanan darah
segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan
tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat
hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang
hipoglikemi tersebut.17
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai
dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan.
Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari
keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik

atau peningkatan tekanan

intrakranial.17 Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau


setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau
deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan
bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini kadang
dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan
fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda tanda
meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau berulangulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran.17
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.17
2. Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran kembali

ke normal

atau setelah setiap pemberian dosis obat anti epilepsi. Jika

memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.17


3. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi. Dahulu
di tahun 1960an obat antiepilepsiyang digunakan dalam pengelolaan kejang telah
berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena. Sekarang obat anti kejang
yang menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin. Hal ini dikarenakan
benzodiazepin dapat dengan cepat mengkontrol kejang dengan efek samping yang
minimal. Selain itu benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat
diberikan kembali dalam waktu singkat.17
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus
kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara sinergis tanpa efek
samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan kejang. Pilihan
obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan fenobarbital.17
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang paling
cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya yang
minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula meliputi
kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran. Pengobatan dini
sangat penting,karena setelah kejangditetapkan selama lebih dari 15 menit,
penangannanya akan lebih sulit. Protokol penanganan kejang berbasis lini ini
digunakan di tiga rumah sakit anak-anakdi New South Wales. Protokol inipun telah
di akui oleh Advance Paediatric Life Support (APLS) di Inggris pada tahun 2000.17
1. Terapi lini pertama:
1. Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian intravena
menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80% pasien. Setelah
pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat dalam lima menit dan

kontrol kejang yang cepat terjadi pada hingga 80%. Sementara mungkin ada
manfaat dari diazepam intravena berikutnya di pasien yang tidak responsif
terhadap terapi, kejang menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang
resisten) maka pasien tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua 17
2. Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat pilihan
pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute pemberian yang
lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti diazepam yang melalui rektal.
Midazolam sangat efektif sebagai lini pertama antikonvulsan karena
menghentikan sebagian besar kejang dalam satu menit setelah injeksi
intravena dari 0,1-0,3 mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10
menit. Dosis tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti
3.

meminimalisir risiko depresi pernapasan.17


Paraldehyde
Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituria untuk pengobatan
kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang diberikan secara rektal
Administrasi dubur dapat ditoleransi dengan baik dan menghasilkan onset
kontrol kejang yang cepat dan efek depresi pernafasan yang kurang

minimal.17
2. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
1. Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama. Dalam
dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang terkontrol dengan baik di
60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan
yang lebih kecil daripada fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan
pertama anti konvulsan lini kedua oleh British Working Party.17
2. Fenobarbital

Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun 1912 dan
digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan anti konvulsan yang
lainnya,

fenobarbital dianggap lebih murah dan sangat efektif. Setelah

pemberian intravena terdapat distribusi bifasik dan sangat menyebar melalui


seluruh pembuluh darah termasuk pembuluih darah otak. Meskipun
penetrasi ke otak telah dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian,
penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karenapeningkatan
aliran darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan lini kedua
pada periode neonatal. Dosis pemberian adalah 5-10 mg/kg.17

Gambar 1. Assesment and Initial Management of Seizures in Children2

Pasien memiliki riwayat operasi hirschprung pada bulan februari 2015, saat pasien berusia
4 tahun. Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki,
sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini
(ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).14
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
mulai terlihat :
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat
(lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973)
mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat
angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius
bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,
namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi
klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.12
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis
dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika
dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi

semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur,
sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan
mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari. 12

Tatalaksana pada hirschprung adalah dengan pembedahan. Ada berbagai macam teknik
pembedahan yang dilakukan untuk menghilangkan bagian anganglionik di bagian usus yang
terkena. Pasien sudah dilakukan operasi pertama pada bulan februari 2015 dengan colostomy.
Kemudian dilakukan pullthrough atau penyambungan usus kembali pada bulan desember 2015.
Kemudian di bulan juli 2016 mulai timbul keluhan post operasi. Pasien mulai
mengeluhkan nyeri perut, muntah serta diare diikuti dengan demam. Salah satu komplikasi yang
memberikan gejala seperti pasien adalah enterocolitis. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan
oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik.
Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah
hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan
merupakan komplikasi paling parah karena terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit
pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang
ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.12
Setelah dilakukan BNO 3 posisi pada pasien, didapatkan gambar fecal material (+)
sampai dengan pelvis yang mengarahkan pada diagnosis konstipasi post hirschprung.
Tatalaksana yang diberikan untuk melunakkan fecal material antara lain memberikan zat laksatif.
Pasien diberi flat enema pada tanggal 13 Juli sebanyak 2 x botol sampai dengan bab lancar.
Kemudian dilakukan pemasangan rectal tube pada tanggal 14 Juli karena pasien mengeluhkan
kembung dan diameter perut bertambah besar.

Pada tanggal 16 Juli 2016, pasien mendapatkan terapi wash out dengan cairan fisiologis
NaCl 0.9% hangat, 20-30 cc/kgbb untuk membantu mengeluarkan fecal material yang masih
tertinggal.Diameter perut yang bertambah besar salah satu causanya karena Fecal material yang
menumpuk. Hal ini timbul dicuragai karena masih adanya bagian kolon anganglionik yang
spastic sehingga gerakan peristaltic tidak lancar.
Pasien dengan hirschprung memiliki gerakan peristaltic usus yang tidak lancar. Hal ini
menimbulkan gejala berupa distensi perut yang diikuti dengan muntah. Untuk mengurangi
gejala, maka dilakukan dekompresi dengan bantuan pemsangan selang NGT serta pasien
dipuasakan sementara.
Perut kembung, distensi perut,

nyeri pada semua region, muntah serta diare. Pada

pemeriksaan colok dubur didapatkan tonus sfingter ani normal, ampula recti tidak kolaps dan
didapatkan feses yang berbau tanpa lendir darah. Hal ini memberikan gambaran diagnosis HAEC
dengan differential diagnosis ileus paralitik. HAEC ditegakkan karena pasien memenuhi score 10
sesuai dengan criteria berikut:

Komponen
Anamnesis:
Diare cair yang bersifat eksplosif
Diare dengan feses berbau busuk
Diare berdarah
Riwayat adanya enterokolitis
Pemeriksaan Fisik:
Keluarnya gas dan feses pada saat
pemeriksaan rektal
Distensi abdomen
Penurunan perfusi perifer
Letargis
Demam
Pemeriksaan Radiologis:
Multiple air fluid level
Dilatasi usus
Gambaran gergaji pada mukosa ireguler
Cut of sign rectosigmoid
with absence of distal air
Pneumatosis
Laboratorium:
Leukositosis
Shift to the left

Nilai

Total

20

2
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Score 10 didapatkan dari poin :


1. Diare cair yang bersifat eksplosif
2. Diare dengan feses berbau busuk
3. Keluarnya gas dan feses pada saat pemeriksaan rektal
4. Distensi abdomen
5. Demam
6. Dilatasi usus
7. Shift to the left (granulosit 80% (lab 12 Juli 2016))
Tatalaksana pada pasien HAEC antara lain:15
1. Resusitasi untuk mencegah shock
2. Dekompresi pada traktus gastrointestinal
3. Antibiotik untuk gram negative dan anaerobic.

Pada pasien cairan yang digunakan untuk resusitasi adalah Ringer laktat, sedangkan
antibiotic yang digunakan adalah cefotaxime dan metronidazole. Dekompresi dilakukan dengan
pemasangan rectal tube dan NGT.
Pada tanggal 19 Juli 2016 pukul 23.26 pasien dilaporkan meninggal. Sebelum meninggal
pasien demam disertai dengan peningkatan heart rate dan frekuensi napas. NGT menghasilkan
residu berwarna kehitaman. Kemudian pukul 22.46 pasien kejang selama 1 menit dan dilakukan
RJP. Angka mortalitas yang disebabkan oleh HAEC bervariasi yaitu antara 6-30%.
Penyebab kematian diduga karena HAEC itu sendiri yang disertai dengan septis dd
perdarahan gastrointestinal. Diagnosa sepsis ditegakkan berdasarkan criteria 1) Demam suhu
>38C, 2) Heart rate >140 kali/menit, 3) Respiratory rate >20 kali/menit, 4) peningkatan
granulosit, 5) focus infeksi yang diduga berasal dari bekas operasi (gold standar dilakukan
biopsy)
Sedangkan differential diagnosis perdarahan gastrointestinal ditegakkan berdasarkan
produksi cairan NGT yang berwarna kehitaman, mengindikasikan adanya perdarahan
gastrointestinal.
Tatalaksana umum pada kasus shock yaitu:16
1. Perawatan umum
2. Bebaskan jalan napas
3. Pengelolaan cairan
- Larutan kristaloid (ringer laktat, garam fisiologis) dapat dipakai sebagai pertolongan
-

pertama pada syok hipovolemik


Larutan koloid (plasma atau plasma expander : albumin, dextran) bila tidak ada

perbaikan dengan kristaloid.


Darah segar atau PRC bila sebabnya oleh karena perdarahan (misalnya ht <30% atau

terjadi perdarahan cepat).


4. Koreksi gangguan asam-basa. Dosis : 0.3xBExBB. Koreksi gangguan elektrolit (jika ada)
5. Berantas etiologi

6. Obat-obatan
a. Epineprine (agonis adrenergic alfa dan beta)
- Indikasi : asistole, heart block, vasodilatasi (pooling darah pada anafilaksis)
- Dosis : - 0.01 mg/kgbb larutan 1.1000 IV
- 0.05 1 mch/kgbb/ menit infus isoproterenol
- Indikasi : bradikardi yang tidak membaik dengan pemberian atropine
- Dosis : 0.1 0.5 mcg/kgbb/menit
- Pemberian harus pengawasan seksama
b. Dopamine (tergantung pada dosisnya obat ini dapat menimbulkan efek alfa, beta)
- Dosis <10mcg/kgbb/menit : vasodilatasi renal dan splanik, efek inotropik positif
- Dosis >10mcg/kgbb/menit : efek inotropik dan vasokonstriksi
- Indikasi : meningkatkan kontraksi jantung dan vol semenit jantung
- Dosis 5-20 mcg/kgbb/menit
c. Dobutamine
- Indikasi agonist adrenergic beta 1-selektif
- Dosis 10-20 mcg/kgbb/menit
d. Terhadap komplikasi pulmonal
- Kortikosteroid (kortison 2-10 mg/kg/IV, dexamethasone 2mg/kg/hr
- Furosemide 1-2 mg/kgbb untuk mencegah nekrosis tubular akut.
Tatalaksana syok hipovolemik
1. Airway
2. Cairan elektrolit (RL, NaCl 20 cc/kgbb/jam)
3. Bila tidak membaik ulangi 1x lagi bila belum ada perbaikan berikan : (plasma, albumin
5% atau plasma expander)
4. Bila cairan telah cukup tetapi tensi masih rendah berikan obat vasopresor.
Tatalaksan syok septic
a. Fase hiperdinamik (fase awal)
- Cardiac output tinggi, tahanan perifer rendah
- Takipneu, Kussmaul
- Kulit hangat
b. Fase lanjut (sulit dibedakan dengan syok hipovolemik)
Tatalaksana Antibiotik
-

Ampiciline 100 mg/kgbb/hr dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamycine 5

mg/kgbb/hr atau amikasin 15 mg/kg/bb/hr atau cloramphenicol 50-100 mg/kg/hr)


Sefalosporine (cefotaxime 100 mg/kgbb/hr atau ceftriaxone 50 mg/kh/hr)
Untuk kuma anaerob bisa ditambah dengan metronidazole 7.5 mg/kgbb/hr

Anda mungkin juga menyukai