Anda di halaman 1dari 13

1

Penatalaksanaan kejang pada anak


Hardiono D. Pusponegoro
Divisi Saraf Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/
RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Outline

1. Anak dengan kejang tanpa demam pertama kali


2. Bagaimana mengatasi kejang dan status epileptikus
3. Bagaimana mengobati epilepsi
4. Misdiagnosis epilepsi

Pendahuluan

Berbicara mengenai kejang dalam waktu 20 menit pasti tidak cukup. Dalam
makalah ini dibahas mengenai hal praktis yang sering djumpai sehari-hari,
sebenarnya mudah, namun sering dilaksanakan secara tidak tepat. Bagaimana
bila menghadapi seorang anak yang mengalami kejang spontan untuk pertama
kalinya, bagaimana mengatasi kejang, bagaimana mengobati epilepsi yang tidak
perlu dirujuk, dan beberapa contoh misdiagnosis epilepsi.

First unprovoked seizure

First unprovoked seizure (FUS) adalah kejang spontan pertama kali pada
seseorang berumur lebih dari 1 bulan. 1Jenis kejang yang tercakup adalah kejang
fokal, kejang umum tonik-klonik dan tonik, sedangkan kejang demam dan kejang
neonatus tidak tercakup dalam definisi ini. Kejang absens, mioklonik dan atonik
selalu sudah terjadi berulangkali sebelum ke dokter. 1,2First unprovoked
seizuredapat berupa kejang tunggal, kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24
jam, atau status epileptikus.1,2
2

Apa pemeriksaan yang harus dilakukan pada anak yang mengalami FUS?
Pemeriksaan darah tepi, elektrolit, tidak diindikasikan kecuali ada riwayat
muntah, diare, dehidrasi atau anak tetap tidak sadar. 3 Pemeriksaan gula darah
dapat dilakukan, terutama pada anak berumur kurang dari 6 bulan.Pungsi
lumbal hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap meningitis atau
ensefalitis.4

Pemeriksaan EEG harus dilakukan, karena dapat memberi informasi jenis


bangkitan kejang, kemungkinan adanya sindrom epilepsi dan risiko berulangnya
kejang.2,4,5

Pemeriksaan pencitraan hanya memberi hasil yang bermakna terhadap


penatalaksanaan pada 2% kasus, terutama kasus yang mengalami kejang fokal
atau adanya gejala neurologis lain.4,5 Pencitraan segera dilakukan bila digurigai
ada penyebab yang memerlukan intervensi segera misalnya Todd’s paresis atau
hemiparesis yang tidak pulih dalam beberapa jam. 6 Pencitraan dilakukan tetapi
tidak perlu segera bila dicurigai ada keadaan yang menentukan prognosis dan
penatalaksanaan jangka panjang misalnya gangguan kognitif dan gerak, kelainan
neurologis yang tidak dapat diterangkan, kejang parsial atau parsial menjadi
umum, atau anak berumur kurang dari 1 tahun. MRI lebih baik dibandingkan
dari CT scan karena MRI lebih memperlihatkan struktur otak dengan lebih rinci
dan tidak ada radiasi.4

Seberapa besar risiko kejang spontan berikutnya


Risiko kejang berikutnya pada anak tanpa kelainan organik adalah 30-50%,
sedangkan anak dengan kelainan organik adalah lebih dari 50%. 1Prediktor bagi
kemungkinan rekurensi adalah EEG epileptik.7,8

Sebanyak 70% rekurensi terjadi dalam waktu 6 bulan pertama. 2Bila FUS
merupakan status epileptikus, sebanyak 21-30% akan mengalami status
epileptikus kembali.1,9Bila kejang pertama hanya berlangsung singkat,
kemungkinan status epileptikus pada kejang berikut adalah 1%. 1

Bagaimana efektivitas terapi setelah FUS


Meta analisis terhadap 6 penelitian acak buta ganda menunjukkan bahwa
pemberian antikonvulsan dapat mengurangi kemungkinan kejang berikutnya
3

sebanyak 34% (IK95% 15-25).3Namun, peberian antikonvulsan setelah FUS


tidak mengurangi risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari. 2,3Pemberian obat
mempunyai beberapa risiko yaitu (1) obat tidak efektif dalam mencegah kejang
berikutnya, (2) pemberian obat menimbulkan berbagai risiko psikologis, sosial
dan hukum, dan (3) Obat menyebabkan risiko medis. 10

Pedoman yang digunakan sekarang adalah bahwa pemberian obat tidak


diberikan pada bangkitan kejang pertama, kecuali bila keuntungan mengurangi
risiko kejang berikut lebih besar dibandingkan risiko pemberian obat. 1,11

Penatalaksanaan kejang dan status epileptikus

Kejang umum tonik klonik jarang berlangsung lebih dari 2 menit. Bila masih
kejang selama 5 menit atau lebih, kemungkinan berhenti secara spontan menjadi
berkurang.12Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung 30 menit atau
lebih tanpa pulihnya kesadaran.13,14Status epileptikus refrakter adalah kejang
yang berlangsung 60 menit atau lebih. 15Mortalitas status epileptikus refrakter
adalah 30%.13,14

Pengobatan kejang di luar rumah sakit


Di luar negeri tersedia lorazepam dan midazolam dalam berbagai kemasan,
namun di Indonesia hanya tersedia diazepam rektal. Diazepam diberikan
sebanyak 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 10 kg. Diazepam memberi efek terbaik bila diberikan sedini
mungkin dalam waktu kurang dari 10 menit. Pengobatan setelah 10 menit sering
gagal atau memerlukan dosis lebih tinggi.12,15

Penelitian Prehospital Treatment of Status Epilepticus (PHSTE) menunjukkan


bahwa pasien yang sudah mendapat diazepam atau lorazepam di rumah lebih
mudah diatasi sesampai di gawat darurat. Kematian dan gejala sisa neurolgis
lebh banyak pada grup plasebo (30%) dibandingkan grup yang mendapat terapi
di rumah (27%). Pasien yang mendapat terapi di rumah lebih jarang masuk ICU
(32%) dibanding plasebo (73%).15
4

Terapi kejang di rumah sakit


Bila anak masih kejang sesampai di rumah sakit, lakukan ABC resusitasi. Dan
pasang cairan intravena. Karena sering terjadi hipoglikemia, pemeriksaan kadar
gula darah sangat penting. Bila kadar gula darah <80 mg/dL, atau pemeriksaan
tidak tersedia, berikan glukosa 25% sebanyak 2 ml/kg berat badan.

Walaupun di rumah sudah mendapat diazepam rektel 2x, terhadap pasien masih
boleh diberikan diazepam rektal satu kali lagi sambil menunggu pemasangan
infus intravena. Setelah infus intravena terpasang dapat diberikan diazepam
intravena sampai 0,5 mg/kgBB satu kali. Diazepam intermiten tidak digunakan
selama anak dirawat. Diazepam drip tidak digunakan.

Bila tidak berhasil, dapat dilanjutkan dengan fenobarbital atau fenitoin.


Bagaimana memilihnya?

1. Bila kejang disebabkan oleh kejang demam, lebih baik menggunakan


fenobarbital sehingga apabila kemudian diperlukan obat rumat dapat
diteruskan dengan fenobarbital. Fenitoin dapat mengatasi kejang yang
disebabkan demam, namun tidak mencegah berulangnya kejang demam
kembali.
2. Bila kejang disebabkan epilepsi atau kita memerlukan pemantauan
kesadaran, lebih baik digunakan fenitoin. Fenitoin juga digunakan sebagai
profilaksis kejang akibat trauma kapitis.16

Bila pasien masih tetap kejang, dapat diberikan midazolam di ruang gawat
darurat atau ruang rawat. Bila tetap kejang setelah pemberian midazolam, anak
dimasukkan ICU. Terapi di ICU tidak ada protokol, biasanya dipilih antara
tiopental, pentobarbital, atau propofol.17

Fenitoin
Diberikan bolus 20 mg/kgBB, maksimum 1 gram. Pemberian dicampur dengan
NaCl 0,9% sebanyak 50 ml. Di berikan dalam bentuk drip 1 mg/kgBB/menit,
maksimum 50 mg/menit. Dapat ditambah 10 mg/kg bila kejang belum
teratasi.Fenitoin dibuat dalam pH 12, yang bersifat toksik terhadap dinding
vaskuler. Ekstravasasi menyebabkan edema ringan sampai nekrosis jaringan
5

lunak disebut sebagai “purple glove syndrome.”14,18Untuk mencegah efek samping


fenitoin harus dipertimbangkan:

 Akses intravena tunggal untuk fenitoin menggunakan vena besar


 Kecepatan pemberian fenitoin <50 mg/menit
 Pembilasan periodik dengan NaCl setelah bolus
 Pemantauan ekstravasasi
 Fenitoin memperlambat dapat menyebabkan perpanjangan interval QT
dan aritmia. Sebenarnya harus dipasang monitor jantung bila
memberikan fenitoin intravena.

Fenobarbital
Fenobarbital intravena diberikan dalam bentuk bolus 20 mg/kgBB dengan
kecepatan 2 mg/kg/menit, max 50 mg/menit. Bila masih kejang dapat ditambah
10 mg/kg tiap 15-30 menit. Bila kejang berhenti, diberikan dosis rumat 12 jam
kemudian sebanyak 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.

Fenobarbital dapat menyebabkan depresi pernapasan dan hipotensi karena efek


vasodilatasi dan depresi jantung, terutama bila digunakan setelah diazepam. 14
Masa paruh yang panjang juga menyulitkan penatalaksanaan bila terjadi
komplikasi.14

Namun berbagai penelitian dan laporan kasus menunjukkan bahwa efek


samping depresi pernapasan dan hipotensi tidak sering terjadi walaupun pada
pemberian fenobarbital dosis tinggi, dan penatalaksanaannya tidak sulit. 17,19

Midazolam
Midazolam dipilih karena masa kerjanya pendek dan dapat di titrasi. Dosis awal
adalah 0,1-0.2 mg/kg, diikuti 1 sampai 2 mikrogram /kg/menit. Titrasi dilakukan
setiap 15 menit sampai dosis maksimal 8-10 mikrogram/kg/menit.

Pengobatan epilepsi

Untuk dokter anak dan dokter umum, ada beberapa jenis epilepsi yang tidak
perlu dirujuk, yaitu kejang tonik-klonik umum, absens, dan benign Rolandic
6

epilepsy. Obat yang dapat digunakan sebagai lini pertama adalah


fenobarbital,fenitoin, karbamazepin dan asam valproat.

Tabel 1. Obat anti epilepsi lini pertama

Obat Dosis Efek samping Komentar


Fenobarbital 3-8 Kesulitan belajar, Sangat efektif, tetapi efek samping
mg/kgBB/hari hiperaktif sangat mengganggu. Baik untuk
bayi < 1 tahun
Fenitoin 5-7 Kosmetik, hipertrofi Range dosis kecil, kadar dalam
mg/kgBB/hari ginggiva, wajah kasar darah sering tidak stabil
dan berbulu
Karbamazepin 10-30 Alergi Aman, kecuali di fase awal dapat
mg/kgBB/hari menyebabkan alergi
Asam valproat 20-40 Gangguan fungsi hati Mudah digunakan, range dosis
mg/kgBB/hari dan pankreas, terutama besar, efek samping sangat jarang
< 2 tahun

Kejang tonik klonik umum seringkali bersifat idiopatik, tidak ada penyebab yang
jelas. Dapat diberikan salah satu di antara obat anti epilepsi lini pertama. Pilihan
obat tergantung efek samping dan harga obat. Keberhasilan pengobatan dengan
salah satu obat lini pertama adalah 47%. Bila masih terjadi kejang, dosis obat
ditambah sampai maksimum. Apabila tidak mempan dengan satu obat,
sebaiknya dirujuk karena keberhasilan setelah obat kedua hanya 13%. 20

Kejang absens mudah didiagnosis secara klinis dengan hiperventilasi. EEG


sangat spesifik sehingga mudah dilihat. Obat terpilih adalah asam valproat dan
primidon.

Benign Rolandic Epilepsy bahkan seringkali tidak perlu diobati. Sebenarnya


Benign Rolandic Epilepsy merupakan jenis epilepsi terbanyak pada anak, namun
karena frekuensi serangan sangat jarang, biasanya tidak datang berobat pada
dokter.

Misdiagnosis epilepsi

Banyak keadaan yang disebut sebagai non-epileptic paroxysmal disorders, yang


sering menyebabkan misdiagnosis sebagai epilepsi. 21,22 Di antara 223 kasus yang
7

dirujuk ke pusat epilepsi di Denmark, ternyata 39% di antaranya bukan


merupakan epilepsi.23

Kesalahan diagnosis biasanya disebabkan anamnesis yang kurang teliti, salah


interpretasi bentuk serangan, adanya riwayat kejang demam sebelumnya,
adanya riwayat epilepsi pada keluarga, dan kesalahan pembacaan
elektroensefalografi. Kesalahan diagnosis epilepsi dapat akan mempengaruhi
kehidupan sehari-hari, kehidupan sekolah dan sosial anak, serta dapat
mengakibatkan efek samping obat anti epilepsi.

Penelitian di Inggris selama 6-30 bulan menunjukkan manfaat istilah


“kemungkinan epilepsi,” untuk kasus yang menunjukkan gejala epilepsi namun
belum cukup bukti untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Anak yang termasuk
dalam “kemungkinan epilepsi” mengalami pemeriksaan yang sama dengan kasus
epilepsi, tetapi hanya sedikit yang mendapat pengobatan. Pada akhir penelitian,
sebanyak 34% (31/90) anak dengan “kemungkinan epilepsi” ternyata benar
mengalami epilepsi.24

Tabel 2. Beberapa keadaan mirip epilepsi pada anak yang sering dijumpai

Keadaan mirip epilepsi pada anak beumur 1 bulan sampai 2 tahun 21,22
 Breath holding spells, terutama jenis sianotik
 Sindrom Sandifer
 Benign sleep myoclonus
 Benign myoclonus of early infancy
 Masturbasi infantil
Keadaan mirip epilepsi pada anak dan remaja21,25
 Bangkitan psikogenik atau pseudoepilepsi
 Sinkop
 Tic dan sindrom Tourette

Breath-Holding Spells (Serangan napas-terhenti sejenak)


Beberapa peneliti menganggap bahwa Breath holding spells (BHS) termasuk
dalam klasifikasi sinkop.21,26Breath Holding Spells ditemukan pada anak berumur
6 bulan – 6 tahun. Patogenesis tidak jelas, mungkin disebabkan disfungsi
8

susunan saraf otonom. Riwayat keluarga ditemukan pada 20-35% kasus dengan,
beberapa kasus mengalami penurunan secara otosom dominan. Defisiensi besi
lebih sering ditemukan pada anak dengan BHS. 27 Pemberian suplementasi besi
dan pirasetam mungkin dapat mengurangi serangan.27,28

Breath Holding Spellsdapat berupa jenis sianotik (cyanotic breath-holding spells)


dan jenis pucat (pallid breath-holding spells). BHS jenis pucat lebih jarang
ditemukan bila dibandingkan dengan jenis sianotik.

Sindrom Sandifer
Berupa serangan bangkitan opistotonus dan tonik yang disebabkan rasa nyeri
karena refluks gastroesofageal.27,29 Dapat terlihat apnea, bengong dan sentakan
ekstremitas. Anak terlihat iritabel dan menangis, mengalami tortikolis dan
postur distonik.30 Seringkali terjadi dalam 30 menit setelah mulai makan.
Pengobatan refluks akan mengurangi serangan.27

Benign sleep myoclonus


Selalu terjadi saat tidur. Berupa gerakan jari, pergelangan dan siku berulang dan
dapat multifokal. Serangan dapat berlangsung sampai 20-30 menit. Serangan
akan berhenti saat terbangun atau dengan menahan gerakan.

Benign myoclonus of infancy


Disebut juga sebagai benign nonepileptic infantile spasms. Manifestasi dapat
berupa mioklonus, spasme tonik, atau shuddering. Spasme muncul dalam bentuk
klaster, sering pada saat makan. Awitan umur 3-8 bulan, menjadi berat dalam
beberapa bulan, lalu berkurang, sampai akhirnya hilang pada umur 2-3 tahun.
Sering sulit membedakannya dengan spasme infantil dan epilepsi. Biasanya
terjadi pada saat anak sadar, dan anak tetap sadar. Perkembangan dan EEG
normal.27

Shuddering attacks
Merupakan tremor cepat dari kepala, bahu dan tubuh, seperti menggigil. Bila
sedang duduk, anak miring ke satu sisi atau terjatuh. Bangkitan dapat terjadi
beberapa detik, dan beberapa kali sehari. Sering terjadi waktu anak sedang
9

makan, tidak pernah waktu anak sedang tidur atau sedang digendong.
Perkembangan anak dan EEG normal.27

Masturbasi infantil
Masturbasi atau gangguan kepuasan (gratification disorder atau behavior)
merupakan bagian normal dari tingkah laku seksual manusia. Orang tua lebih
menyukai istilah gratification ketimbang masturbasi. Masturbasi atau
merangsang genital diri sendiri ditemukan sejak anak berumur 2 bulan. Tingkah
laku ini mencapai puncaknya pada umur 4 tahun sampai masa remaja.

Gejala tersering adalah anak berbaring kemudian merapatkan atau


menyilangkan pahanya, kedua pahanya digerak-gerakkan, sampai berkeringat.
Mata terpejam atau melotot, setelah itu tampak lemas, lalu tertidur atau bermain
kembali. Bentuk masturbasi yang lain bermacam-macam misalnya menekan-
nekankan kemaluan pada seseorang atau suatu benda misalnya guling atau meja,
tangan satu memegang kemaluannya, sedangkan tangan lain diangkat ke atas
atau berpegangan, sambil bergerak-gerak dan matanya melotot, berkeringat,
setelah itu tampak lemas dan selesai.Berbeda dengan epilepsi, penderita tetap
sadar dan marah atau menangis bila kegiatannya dihentikan.31,32

Kelainan ini tidak berbahaya, tidak perlu pengobatan, dan biasanya akan
berhenti sendiri.

Benign Paroxysmal Vertigo


Ditandai episode kehilangan keseimbangan berulang. Anak ketakutan,
bergoyang-goyang, berpegangan pada sesuatu. Dapat disertai nistagmus,
berkeringat, mual, muntah. Anak besar mengeluh merasa berputar. Serangan
berlangsung beberapa menit, dan anak tetap sadar. Bisa muncul beberapa kali
sehari, selama beberapa hari, lalu hilang, dan muncul kembali. 22 Keadaan ini
sembuh sebelum anak berumur umur 5 tahun. Penyebab tidak diketahui.

Sinkop kardiovaskuler atau sinkop vasovagal


Sinkop adalah kehilangan kesadaran dan tonus postural mendadak yang bersifat
sementara karena malfungsi serebral sementara yang difus. Sinkop terdiri dari
sinkop kardiovaskuler atau sinkop vasovagal dan sinkop non-kardiovaskuler.
10

Pada anak, sebagian besar sinkop adalah vasovagal. Pencetus adalah keadaan
yang mengganggu pengisian ventrikel atau peningkatan sekresi katekolamin,
misalnya melihat darah, nyeri, berdiri lama, lingkungan panas, mandi air panas,
atau tekanan emosi.33 Sinkop selalu terjadi pada saat anak berdiri. Anak
mengalami gejala prodromal berupa pucat, keringat dingin, kepala terasa ringan,
mual, dan pandangan gelap, lalu jatuh dan tidak sadar. Nadi menjadi kecil dan
bradikardi, yang kembali normal sebelum anak sadar kembali. Kadang dapat
terlihat kejang tonik sebentar.25

Pucat atau berkeringat selama atau sesudah serangan mengarah ke sinkop.


Gejala nausea mual tidak diskriminatif karena dapat ditemukan pada sinkop dan
epilepsi.

Ada tidaknya kelainan jantung harus dievaluasi mendetail. Dapat ditemukan


aritmia jantung pada anak. Suatu keadaan yang disebut sebagai long QT
syndrome dapat disertai sinkop dan dapat menyebabkan kematian
mendadak.34,35

Pseudoepilepsi
Pseudoepilepsi (pseudoepileptic seizures, pseudoseizures, nonepileptic seizures,
hysterical seizures, atau psychogenic seizures) biasanya terjadi pada anak
perempuanberumur 10 tahun atau lebih, walaupun dapat terjadi pada anak-anak
berumur antara 4-6 tahun. Serangan dapat terjadi pada penderita epilepsi
maupun bukan epilepsi. Manifestasi klinis sangat mirip serangan epilepsi tonik-
klonik, tonik atau parsial kompleks. Umumnya gerakan-gerakannya diatur,
serangan tidak mendadak, bertahap dan berulang-ulang. Biasanya didahului oleh
perasaan pusing, perasaan aneh, kelumpuhan sebelah atau kedua belah anggota
gerak dan tidak terdapat keadaan post-iktal serta dapat segera bangun. Pada
waktu serangan dapat menghindari rangsang sakit dan menolak apabila
matanya dibuka. Serangan tidak pernah terjadi pada waktu sedang tidur. Pada
dasarnya merupakan kelainan psikiatrik.

Tic dan sindrom Tourette


Tic adalah gerakan involunter dan suara-suara tidak terkontrol yang berulang.
Terdapat 2 jenis tic, yaitu sederhana dan kompleks. Tic sederhana merupakan
11

gerakan singkat mendadak yang melibatkan kelompok otot tertentu, dan terjadi
berulang-ulang. Gerakan dapat berupa gerakan kepala, mata berkedip-kedip,
menyeringai, mengendus, gerakan tangan, bahu atau tubuh yang berulang dan
penderita tetap sadar. Serangan lebih sering terjadi bila anak emosi. 36
Sebenarnya tic mudah dibedakan dengan serangan epilepsi, karena gerakan-
gerakan ini dapat dilakukan bila diminta dan dihentikan dengan memanggil
penderita.36

Pada tic kompleks atau sindrom Gilles de la Tourette, terlihat pola gerakan
beruntun yang melibatkan beberapa kelompak otot dan manifestasinya sangat
berat. Manifestasi tic kompleks dapat berupa melompat, mencium obyek,
menyentuh hidung, menyentuh orang lain secara berlebihan dan tidak pada
tempatnya, koprolalia (berkata tidak senonoh), ekolalia (mengulang kata-kata
orang lain) dan tingkah laku yang dapat membahayakan diri sendiri. 36 Tic motor
berat harus dibedakan dari Juvenille myoclonic epilepsy.

Tic motor ringan, tidak membutuhkan pengobatan. Tic motor kompleks dan
sindrom Tourette menyebabkan gangguan sosialisasi dan akademis sehingga
perlu pengobatan. Beberapa obat dapat mengurangi gejala misalnya
aripiprazole, haloperidol, klonasepam atau klonidin. 37

Kesimpulan

1. Kejang spontan untuk pertama kalinya seringkali belum memerlukan


pengobatan anti epilepsi. Terhadap anak harus dilakukan pemeriksaan EEG.
2. Bila penggunaan diazepam gagal untuk mengatasi kejang, boleh dipilih
fenobarbital atau fenitoin.
3. Pemberian midazolam dapat dilakukan di ruang rawat.
4. Adanya misdiagnosis epilepsi harus selalu dipertimbangkan.

Daftar pustaka

1. Hirtz D, Berg A, Bettis D, Camfield C, Camfield P, et al. Practice parameter:


Treatment of the child with a first unprovoked seizure: Report of the quality
standards subcommittee of the american academy of neurology and the practice
committee of the child neurology society. Neurology. 2003;60:166-75.
12

2. Camfield P, Camfield C. Special considerations for a first seizure in childhood and


adolescence. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:40-4.
3. Wiebe S, Téllez-Zenteno JF, Shapiro M. An evidence-based approach to the first
seizure. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:50-7.
4. Hirtz D, Ashwal S, Berg A, Bettis D, Camfield C, et al. Practice parameter: Evaluating
a first nonfebrile seizure in children report of the quality standards subcommittee
of the american academy of neurology, the child neurology society, and the
american epilepsy society. Neurology. 2000;55:616-23.
5. Pohlmann-Eden B, Newton M. First seizure: EEG and neuroimaging following an
epileptic seizure. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:19-25.
6. Buchhalter J. Status epilepticus presenting as new-onset seizures in children.
Epilepsy Currents. 2011;11:112.
7. Haut SR, Shinnar S. Considerations in the treatment of a first unprovoked seizure.
Semin Neurol. 2008;28:289-96.
8. Berg AT. Risk of recurrence after a first unprovoked seizure. Epilepsia. 2008;49
Suppl 1:13-8.
9. Camfield P, Camfield C. Unprovoked status epilepticus: The prognosis for otherwise
normal children with focal epilepsy. Pediatrics. 2012;130:e501-6.
10. Perucca E. The treatment of the first seizure: The risks. Epilepsia. 2008;49 Suppl
1:29-34.
11. Arts WF, Geerts AT. When to start drug treatment for childhood epilepsy: The
clinical-epidemiological evidence. Eur J Paediatr Neurol. 2009;13:93-101.
12. Michael GE, O'Connor RE. The diagnosis and management of seizures and status
epilepticus in the prehospital setting. Emerg Med Clin North Am. 2011;29:29-39.
13. Huff JS, Fountain NB. Pathophysiology and definitions of seizures and status
epilepticus. Emerg Med Clin North Am. 2011;29:1-13.
14. Shearer P, Riviello J. Generalized convulsive status epilepticus in adults and
children: Treatment guidelines and protocols. Emerg Med Clin North Am.
2011;29:51-64.
15. Millikan D, Rice B, Silbergleit R. Emergency treatment of status epilepticus: Current
thinking. Emerg Med Clin North Am. 2009;27:101-13, ix.
16. Gallop K. Review article: Phenytoin use and efficacy in the ED. Emerg Med
Australas. 2010;22:108-18.
17. Lee WK, Liu KT, Young BW. Very-high-dose phenobarbital for childhood refractory
status epilepticus. Pediatr Neurol. 2006;34:63-5.
18. Twardowschy CA, De Paola L, Germiniani FM, Werneck LC, Silvado C. Pearls & oy-
sters: Soft-tissue necrosis as a result of intravenous leakage of phenytoin.
Neurology. 2009;73:e94-5.
19. Wilmshurst JM, van der Walt JS, Ackermann S, Karlsson MO, Blockman M. Rescue
therapy with high-dose oral phenobarbitone loading for refractory status
epilepticus. J Paediatr Child Health. 2010;46:17-22.
20. Kwan P, Brodie MJ. Effectiveness of first antiepileptic drug. Epilepsia.
2001;42:1255-60.
21. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. A signs and symptoms approach. 6th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
22. Nguyen TT, Kaplan PW, Wilfong A. Nonepileptic paroxysmal disorders in children.
Dalam: Basow DS, editors. UpToDate. Waltham: UpToDate; 2012.
23. Chowdhury FA, Nashef L, Elwes RD. Misdiagnosis in epilepsy: A review and
recognition of diagnostic uncertainty. Eur J Neurol. 2008;15:1034-42.
13

24. Beach R, Reading R. The importance of acknowledging clinical uncertainty in the


diagnosis of epilepsy and non-epileptic events. Arch Dis Child. 2005;90:1219-22.
25. Nguyen TT, Kaplan PW. Nonepileptic paroxysmal disorders in adolescents and
adults. Dalam: Basow DS, editors. UpToDate. Waltham: UpToDate; 2012.
26. Stephenson JB. Clinical diagnosis of syncopes (including so-called breath-holding
spells) without electroencephalography or ocular compression. J Child Neurol.
2007;22:502-8.
27. Nguyen TT, Kaplan PW, Wilfong A. Nonepileptic paroxysmal disorders in infancy.
Dalam: Basow DS, editors. UpToDate. Waltham: UpToDate; 2012.
28. Sawires H, Botrous O. Double-blind, placebo-controlled trial on the effect of
piracetam on breath-holding spells. Eur J Pediatr. 2012;171:1063-7.
29. Lehwald N, Krausch M, Franke C, Assmann B, Adam R, Knoefel WT. Sandifer
syndrome--a multidisciplinary diagnostic and therapeutic challenge. Eur J Pediatr
Surg. 2007;17:203-6.
30. Kabakuş N, Kurt A. Sandifer syndrome: A continuing problem of misdiagnosis.
Pediatr Int. 2006;48:622-5.
31. Nechay A, Ross LM, Stephenson JB, O'Regan M. Gratification disorder ("infantile
masturbation"): A review. Arch Dis Child. 2004;89:225-6.
32. Yang ML, Fullwood E, Goldstein J, Mink JW. Masturbation in infancy and early
childhood presenting as a movement disorder: 12 cases and a review of the
literature. Pediatrics. 2005;116:1427-32.
33. Sabri MR, Mahmodian T, Sadri H. Usefulness of the head-up tilt test in
distinguishing neurally mediated syncope and epilepsy in children aged 5-20 years
old. Pediatr Cardiol. 2006;27:600-3.
34. Omichi C, Momose Y, Kitahara S. Congenital long QT syndrome presenting with a
history of epilepsy: Misdiagnosis or relationship between channelopathies of the
heart and brain? Epilepsia. 2010;51:289-92.
35. Coleman B, Salerno JC. Causes of syncope in children and adolescents. Dalam:
Basow DS, editors. UpToDate. Waltham: UpToDate; 2013.
36. Jankovic J, Kurlan R. Tourette syndrome: Evolving concepts. Mov Disord.
2011;26:1149-56.
37. Eddy CM, Rickards HE, Cavanna AE. Treatment strategies for tics in tourette
syndrome. Ther Adv Neurol Disord. 2011;4:25-45.

Anda mungkin juga menyukai