Anda di halaman 1dari 16

Penelitian hukum dan hakikatnya sebagai penelitian ilmiah

Banyak perbincangan tentang apakah yang disebut dengan penelitian hukum itu
merupakan suatu penelitian ilmiah atau bukan. Apakah penelitian hukum itu
harus digolongkan sebagai suatu penelitian yang tak berbeda dengan apa yang
dikerjakan di berbagai cabang ilmu pengetahuan yang lain juga mendasarkan diri
pada metodologi penelitian yang dilazimkan di dunia sains ataukah tidak.
Perbincangan yang bahkan cenderung mengarah ke suatu perdebatan ini, tidak
hanya dilakukan oleh mereka yang berada di luar bidang Ilmu hukum, akan tetapi
juga dipertikaian di kalangan para sarjana yang tengah berkhidmat dalam kajian-
kajian hukum itu sendiri.

tulisan ini akan memaparkan beberapa penjelasan di sekitar dua ihwal utama.
Yang pertama ialah soal apakah yang harus dipahami bersama sebagai hukum
dalam kedudukannya sebagai objek penelitian itu, dan yang kedua adalah soal
apakah sesungguhnya yang harus dibilangkan sebagai penelitian ilmiah, berikut
metode-metodenya yang lazim di gunakan dalam tradisi kerja para ilmuan itu ?

1. Hukum sebagai Objek Penelitian

Hukum yang ditaruh sebagai objek penelitian itu adalah sesunguhnya suatu
realitas yang multi-interpretatif, yang oleh sebab itu juga akan menghasilkan
keragaman konseptual. Pada dasarnya hukum bisa diligat dari dua sisi dengan
menghasilkan dua pengertian yang dikaji dari perspektif epistemologis jelas-jelas
bersifat dualistis (kalaupun tidak selalu dikotomis). Di satu pihak hukum diartikan
sebagai norma, ialah pernyataan-pernyataan yang bersubstansi pengharusan
(sollen), dengan pencantuman sanksi-sanksi sebagai akbiat yang logis dari tidak
dipatuhinya sanksi-sanksi itu. Di lain pihak hukum juga diartikan sebagai nomo,
ialah pernyataan-pernyataan mengenai ada-tidaknya keajegan perilaku tertentu
dalam suatu kehidupan kolektif yang faktual. Dalam bahasa sehari-hari, hukum
bida diartikan dalam konsepnya yang normatif sebagai peraturan, dan, di lain
pihak, bisa juga diartikan dalam konsepnya yang faktual sebagai keteraturan.

Dikatakan bahwa pembedaan antara hukum dalam arti dan eksistensinya


sebagai norma dan hukum dalam arti dan eksistensinya sebagai fakta itu
sebagai suatu dualitas, dan bukan dikotomi, tak lain karena antara keduanya itu
secara konseptual bukannya merupakan dua realitas yang sama sekali terpisah.
Hukum sebagai norma, apabila oleh berbagai sebab amat dipatuhi oleh warga
masyarakat, maka hukum yang semula berkarakter normatif itu akan
tertransformasi dan manifest dalam wujud pola perilaku yang selalu secara ajeg
dalam rentang waktu yang panjang, akan serta-merta tersimak sebagai suatu
keteraturan, dan selanjutnya akan terpahami bersama secara kolektif. Sebagai
adat yan gharus diberlakukan dalam karakternya sebagai norma.

Sepanjang sejarah perkembangannya, hingga saat ini para teoritisi hukum telah
mencatat sekurang-kurangnya empat konsep yang mesti diperhatikan oleh setiap
pengkaji dan peneliti hukum sebelum mereka ini mengkomunikasikan usulan dan
hasil kerjanya.

Diketahui bahwa dalam kepustakaan hukum, dan juga dalam praktik penelitian
hukum, apa yang disebut hukum itu tidaklah berkonsep tunggal, melainkan telah
dikonsepkan ke dalam beberapa ragam pengertian yang definitive. Bagaikan
gajah yang sekalipun mewujud di dalam satu realitas tetapi telah terpresepsi
secara berbeda-beda oleh sekian banyak orang buta, demikian pulalah halnya
dengan realitas yang disebut hukum itu. Sebagai realitas, hukum telah dipersepsi
selama ini dari berbagai perspektif, dan kemudian daripada itu telah
menghasilkan pemahaman, definisi dan konsep yang tak bisa tunggal. Hukum
bukanlah lagi sebatas realitas. Alih-alih, hukum adalah sebuah konsep, dan taka
da konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu.

1.1 hukum yang Dikonsepkan sebagai Asas Keadilan dalam Sistem Moral,
yang Ilahi, dan/atau yang secara Kodrati berlaku Universal

Dalam konsep klasik hukum diartikan secara umum dan implisit sebagai asas
moralitas atau asas keadilan yang diklaim bernilai universal. A;iram hukum
modern atau yang dikanali sebagai ajaran hukum alam, the natural
jurisprudence, berparadigma bahwa hukum yang berfungsi sebagai determinan
tertib sosial itu merupakan bagian inheren sistem hukum alam.

Dari kedua pemikiran tersebut hukum sebagai pengontrol tertib kehidupan ini
bahkan tak jarang dipercaya juga sebagai bagian dari kaidah-kaidah yang
supranatural sifatnya.
Filasafat hukum misalnya menyakini bahwa seluruh tertib di alam semesta ini
adalah sesuatu yang telah tercipta dalam ide Illahi, atau “secara kodrati”, jauh
sebelum tertib itu sendiri terwujud di alam faktual yang indrawi, hal ini lah
disebgut sebagai Pre-established Order (tatanan yang tercipta sejak awal).

Konsep hukum tersebut pertama adalah konsep yang amat berwarna moral dan
filosofis, konsep ini mengalami masa kejayaan dimasa kekuasaan Gereja dnegan
hukum kanonik, atau ius novum, pada abah-abad, pra renaissance, pada era
sebelum lahirnya negara-negara nasional di negeri negeri barat. Bahwa
kehidupan seluruh makhluk (tatanan yang universal) tak mungkin lain dariapda
kehidupan yang identik dengan apa yang menjadi perintah Tuhan.

Paham ini tergerus dengan muncul dan berkembangnya era reinaissance,


dimana mulai hadirnya paham rasionalisme.

Selanjutnya pekembangan negeri negeri eropa barat yang bertransformasi


menjadi negara bangsa, Hukum alam ini memperoleh konsep yang lebih spesifik,
yaitu sebagai asas-asas moral yang boleh dipakai sebagai sumber materal
hukumn asional, lewat suatu proses legislasi yang dikenal sebagai proses
pembetukan hukum, dikenal juga sebagai proses positivisasi. Pada fase ini asas
moral yang dianggap sebagai kepribadian bangsa disebut sebagai ius
constituendum.

Konsep ius contituendum ini marak kembali dimasa kepenguasaan negara


negara nasional eropa menjumpai kehdupan masyarakat lokal di daerah- daerah
jajahannya yang tidak memiliki hukum tertulis. Dalam masyarakat adat di
Indonesia misalnya asas -asas moral yang hidup didalam masyarakat dianggap
sebagai bagian dari the living law. Asas ini dipungut dari dunia nilai yang
sekalipun tak selamanya dirumuskan secara tegas dan pasti oleh lemabaga-
lembaga kekuasaan negara- tetap saja selalu diakui oleh masyarakat sebagai
segugus pedoman normatif yang hidup untuk menuntun perilaku-perilaku yang
dipandang amat patut di dalam masyarakat.

Asas -asas moral ini umumnya terumus amat umum dan karena tidak tertulis lalu
bersifat implisit, terbuka untuk sebagarang tafsir oleh siapapun ketika akan
diperlukan untuk menghukum suatu perkara yang konkret. Norma norma tersebut
serikali berfungsi juga sebagai pedoman. Konkretisasinya sebagai suatu norma
yang dapat didayagunakan untuk mengontrol perilaku manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya akan masih ditetnukan dari kasus ke kasus.

Di Indonesia, normal nomral sosial bersubtansi “moral nan teradat” ini seringkali
diperlakukan sebagai ius constituendum yang menurut cita-citanya akan
dipositifkan sebagai hukum yang dibentuk secara resmi sebagai hukum negara,
baik melalui proses legislasi maupun melalui proses judisial.

1.2 Hukum modern yang diKonsepkan sebagai hukum Nasional yang


Positif: Hukum Undang-undang yang Hadir In Abstracto, dan Amar-amar
Putusan Hakim yang hadir di Concreto.

Kaum legis (lege= Undang-undang) yang juga disebut kaum positivis atau
formalis ini mengartikan “hukum” dalam arti khusus ialah sebagai undang-undang
yang merupakan produk badan legislative yang berlegitimasi nasional. Hukum
dalam arti yang lebih sempit sebagai hukum perundang-undangan nasional ini
memang terbilang beriwayat lebih kontemporer.

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bangsa yang


terpisahkan dari kekuasaan ereja di negeri-negeri Eropa Barat, yang dengan
demikian telah menyebabkan terjadinya proses sekularisasi kekuasaan negara di
egeri-negeri itu, terjadilah pula sekularisasi hukum-hukumnya. Kini hukum bukan
lagi asas-asas abstrak yang tak dapat ditunjukkan dimana dan bagaimana
rumusannya yang jelas dan tegas dan bagaimana pula ciri-cirinya yang
menengarai bahwa “hukum” itu memang benar-benar hukum.

Hukum dalam konsep hukum dalam konsep kaum positivis ini bukan lagi cuma
berupa Ius yang tersimpan di dalam relung-relung kesadaran dan ingatan para
subjek dalam konsep kaum positivis yang juga legis sini, hukum secara nyata
telah dibentuk (constitutum) dan tertampakkan secara objektif dialam indrawi,
sekalipun hanya dalam wujud huruf-huruf. Inilah hukum yang telah benar-benar
harus”diiyakan” sebagai hukum nasional dan tidak akan bisa dan tidak akan
boleh “ditiadakan” atau diingkari.
Kebutuhan professional untuk mengelola hukum positif sebagai hukum nasional
memang memerlukan koleksi yang tertata tertib dan selalu dimutakhirkan.
Kecuali bahan-bahan hukum yang primer yang berupa hukumperundang-
undangan dan bahan hukum sekunder, bahan-bahan hukum primer yang berasal
dari proses-proses judisial juga dipandang perlu dan penting untuk
diinventarisasi. Upaya dikerjakan sekuat mungkin untuk juga menghimpun dan
mengorganisasi secara sistematis informasi tentang hukum yang dibentuk
dan/atau diciptakan in concreto oleh para hakim dalam tugas-tugas judisialnya.
Amar-amar putusan hakim dalam proses judisial, yang menerapkan hukum
undang-undang untuk menghukum suatu perkara hukum tertentu, disebut hukum
in concreto. Disebut demikian karena putusan-putusan ini, dengan tetap
mendasarkan diri pada hukum yang in abstracto, diciptakan oleh hakim ketika
harus menyelesaikan in concreto.

Dalam tradisi common law system, hukum in concreto ini, apabila dipandang
lebih lagi merupakan putusan hakim pada tingkat yang tinggi, juga akan dapat
berlaku sebagai preseden bagi upaya menyelesaikan perkara-perkara serupa
berikutnya oleh hakim-hakim lain.

1.3 Hukum dalam Manifestasinya sebagi Pola Perilaku yang Teramati dalam
Kehidupan Bermasyarakat

Hukum dalam konsepnya yang normative akan dikaji oleh para penganut aliran
hukum kodrat (jurisprudence), yang tersebut pertama secara khusus oleh para
penganut aliran hukum kodrat (natural jurisprudence) , sedangkan yang tersebut
kedua secara khusus oleh mereka yang menganut aliran hukum positif (potivis
jurisprudence).

Berbeda dengan kajian yang dilakukan dari perspektif yuridis oleh para legis-
formalis, para pemerhati hukum dai masa pertengahan abas ke-19 seperti Marx,
Ehrich, Maine- ini mengkonsepkan hukum dari perspektif sosiologis. Dalam
konsepnya yang nonyuridis ini, hukum tidak dikonsepkan sebagai system norma
yang otonom, melainkan sebaai institusi social yang berfungsi (atau yang
kehilangan peran fungsionalnya) secara factual dan actual dalam kehidupan
bermasyarakat manusia.

Dari perspektif sosiologis akan mengkaji norma (juga norma hukum) itu dalam
wajudnya sebagai fakta social. Sebagai fakta social, norma (juga norma hukum)
itu akan tersimak sebagai „keteraturan perilaku orang dalam suatu masyarakat‟
(nomos, pattern of behavior), dan tidak pertama-tama sebagai aturan yang harus
dipatuhi tatkala harus berperilaku. Keteraturan dalam hal perilaku para warga
dalam suatu masyarakat itu dapat saja tejradi berkat kepatuhan mereka pada
suatu aturan dan/atau aturan hukum tertentu. Makin patuh para warga pada
aturan-aturan yang ada, akan tercatat secara nyata tingginya frekuensi perlaku
wara yang conform dengan apa yang terlah dinormakan itu. Kondisi seperti itu
dikatakan sebagai „kondisi norma yang punya signifikansi social yang tinggi.

1.4 Hukum sebagaimana Dimkanakan oleh Para Subjek Pemakainya dalam


Proses (Inter)Aksi (antar-) Mereka

Para subjek secara individual mendayagunakannya dalam suatu proses aksi-


interaksi guna memjukan kepentingan hukum mereka, kemudian lahir konsep
baru tentang apa yang harus juga didefinisikan sebagai hukum. Yang disebut
hokum disini bukan lagi asas-asas norma kebenaran (sebagaimana yang
didefinisikan para filsfof – moralis); bukan pula norma-norma yang telah
mengalami positiisasi (sebagaimana yang kemudian bias dibaca dari berbagai
kitab UU oleh para yuris – formalis); bukan pula keteraturan perilaku para subjek
hokum (sebagaimana yang dapat diobservasi dan didefinisikan oleh para
ilmuwan social penganut (aliran struktualisme); melainkan seluruh pengertian
dan pengertian yang dimiliki para subjek hokum tentang apa yang benar dan apa
yang salah (sebagaimana yang kemudian dapat diartikulasikan oleh parailmuwan
social penganut aliran interaksionisme-simboisme.

Maka, hukum dalam konsep seperti itu bukanlah norma positif yang formal
sebagaimana didefinisikan oleh para yuris; atau bukan pula yang factual-empiris
sebagaimana didefinisikan oleh para sosiolog penganut aliran structural. Hokum
adalah symbol-simbol atau isyarat-isyarat, yang menamak dalam rupa rambu-
rambu atau dalam rupa huruf-huruf atau suara-suara yang bermaksa sebagai
bahasa. Hokum hanya medapatkan kebermaknaan nya apabila ditafsir. Hanya
saja dalam konsep sosio-antropologis kaum interaksionis ini, tafsir ke arah
pengertian dan pengertian ini tidak harus merupakan kerja eksklusif para yuris
professional yang elit dan berotoritas itu.

2. Penelitian dan Metode Penelitian

Ada tiga pengertian yang harus dicermati dan dipahami terlebih dahulu apabila
orang hendak mempelajari secara tuntas apa yang disebut metode penelitian
hokum itu:

1. Orang harus paham terlebih dahulu mengenai apa yang harus diketahui
dan di pahami olehnya sebagai penelitian;
2. Apa yang harus diketahui serta dipahami sebagai ‟metode‟;
3. Apa yang harus diketahui serta dipahami sebagai hokum.

Penelitian adalah sebuah kata istilah dalam bahasa Indonesia yang dipakai
sebagai kata terjemahan dalam bahasa inggris disebut research. Bermakna
sebagai pencarian, „peneitian‟ adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan
serta pula berprosedur alias bermetode . pencarian ini bias berlangsung secara
spekulatif untuk memperoleh simpulan – simpulan dan bias pula bersiterus
sebagai pencarian di alam pengalaman alias alam empiris.
Prosedur pencarian inilah yang di dalam peristilahan ilmu pengetahuan disebut
„metode‟, berikut kiat-kiat penggunaannya disebut „metodologi‟. Sekalipun dalam
kenyataan sehari-hari orang bias saja menemukan pengetahuan atau jawaban
atas suatu masalah melalui prosedur-prosedur yang berbeda dari apa yang
ditradisikan dalam dunia sains.
Metode itu dalam arti harfiahnya berate „cara‟. Dengan demikian apa yang
disebut „metode penelitian‟ ini tak lain daripada cara mencari. Dalam kegiatan
keilmuan yang dibilangkan sebagai kegiatan sains ini, cara pencarian ini sangat
dikontrol ketat dan penuh disiplin.
Metode ada dua jenis:
1. Metode yang medisiplinkan cara penalaran melalui prosedur-prosedur
tertentu untuk memperoleh simpula pemikiran yang boleh dianggap
sebagai pengetahuan baru yang benar;
2. Metode untuk memperoleh informasi –informasi yang akurat dan yang
secara positif berketerandalan serta valid
Jenis metode pertama biasa disebut saja metode penalaran atau logika,
sedangkan yang kedua lazim disebut metode penelitian.

Dalam logika dikenal adanya dua model proses bernalar:


1. Proses bernalar yang bermula dari statement umum untuk tiba pada
suatu simpulan yang khusus tentang suatu hal tertentu;
2. Proses bernalar yang bermula dari statement-statement khusus untuk tiba
pada suatu simpulan yang berdaya laku umum.

Silogisma Deduksi dan Komponen Materialnya yang disebut Propososi

Silogisma dapat berfungsi sebagai proses pembuktian benar atau salahnya


suatu hipotesis atau pendapat mengenai masalah tertentu.
Contoh silogisma deduksi antara lain:

1. Berkenaan dengan jalannya penalaran logika keseharian orang awam


Contoh:
Semua manusia pada saatnya nanti akan mati; Saya adalah manusia hidup;
Maka saya ini pada saatnya nanti akan mati.

2. Berkenaan dengan jalannya penalaran seorang profesional di bidang hukum


Contoh:
Barangsiapa mengambil milik orang lain secara melawan hak akan dipidana
penjara karena pencurian setinggi-tingginya 5 tahun; Si Maling mengambil milik
orang lain secara melawan hak; Maka, Si Maling akan dipidana penjara karena
pencurian setinggi-tingginya 5 tahun.
Setiap silogisma terdapat tiga kalimat pernyataan yang disebut proposisi. Dua
propisisi utama merupakan proposisi antoseden alias pendahulu yang disebut
premis. Sedangkan proposisi ketiga disebut konklusi atau simpulan atau juga
konsekuen.
Silogisma dapat dideteksi dari struktur dan fungsinya sebagai suatu proses
pembuktian benar atau salahnya suatu pernyataan yang tengah dipertanyakan
kebenarannya dan/atau sedang dicari kebenarannya.

 Terma dan status/posisinya dalam Silogisma

Silogisma yang terdiri dari tiga kalimat proposisi (dua premis dan satu konklusi),
masing-masing proposisi tersebut terdiri dari unsur-unsurnya yang disebut terma.
Terma adalah suatu atau sekumpulan kata yang telah disepakati bersama
sebagai simbol yang merepresentasikan subjek atau objek baik itu objek benda
atau peristiwa.
Terma dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahlan dengan istilah pendapat
atau konsep, yang merupakan pembentuk alias the building bocks yang penting
bagi terjadinya suatu kalimat pernyataan yang dalam logika disebut proposisi.
Terma dalam setiap penalaran atau pembuktian deduksi tidak selamanya
berkenaan dengan gejala realitas yang bersifat konkret, individual atau khusus.
Lebih penting lagi untuk diketahui adalah pembedaan terma yang relevan
nantinya dengan posisinya dalam proposisinya dan juga serta merta di dalam
silogisma itu sendiri.
Berkenaan dengan posisinya terma dibedakan atas terma mayor, terma minor
dan terma tengah. Terma mayor lazimnya diberi kode T (t-besar) atau P
(predikat), terma minor diberi kode t (t-kecil) atau S (subjek). Sedangkan terma
tengah diberi kode M (medium).
▪Terma Mayor: Kata atau serangkaian kata yang berfungsi sebagai predikat,
mesti dijumpai di di premis mayor dan kalimat konklusi namun tidak di dalam
proposisi yang diidentifikasikan sebagai premis minor
▪Terma Minor: Subjek atau pokok kalimat yang terdapat di premis minor dan di
kalimat konklusi
▪Terma Tengah: Terma yang didapati sebagai subjek dalam premis mayor dan
premis minor, tapi tidak didapati di kalimat proposisi konklusi karena perannya
sebagai sarana penghubung antara premis mayor dan premis minor.
 Terma dan Hakikatnya Sebagai Kelas
Dalam perbincangan logika, terma secara kategorikal merupakan satuan
fenomen yang harus dianggap berkesamaan karakteristik yang dapat
membenarkan pernyataan bahwa fenomen itu memang terbilang satu kelas.
Manusia (terma M)
yang mesti mati (terma T/P)
Yang menjadi persoalan ialah kelas-kelas terma yang didapati di dalam silogisma
itu adalah kelas-kelas terma yang didapati salam silogisma itu harus beruang
lingkup sama besar atau sama luas, atau aakan selalu didapati beruang lingkup
lebih luas dari yang lain.

Terma T atau P lebih luas dari Terma M


Terma M lebih luas dari Terma t atau S

 Affirmatio dan Nego Yang Mensifati Proposisi dalam Silogisma

Affirmatio dan nego digunakan untuk menyatakan apakah dalam setiap premis
itu suatu terma M alias S itu memang benar terbilang ke dalam kelas terma T
atau P.
Contoh, Semua makhluk mesti mati merupakan proposisi kategorikal yang
menyatakan secara afirmatif
(affirmatio) bahwa M = T atau S = P. Maka pernyataan tersebut lazim diberi kode
A (affirmatio)
Apabila suatu premis mengemukakan pernyataan negative bahwa M bukan T
atau S bukan P, pernyataan tersebut lazim diberi kode E (huruf hidup pertama
dari nego). Contoh, suatu premis yang berbunyi „tidak semua makhluk hidup
manusia.

Suatu proposisi yang bermula dengan terma yang bersifat universal atau
menyiratkan jumlah total (ialah „semua‟ dan „tidak semua‟) disebut proposisi
universal yang diberi kode A kalau afimatif dank ode E bagi yang negatif. Adapun
proposisi yang bersifat partikular apabila didahului terma yang menyiratkan
jumlah yang tidak total (misalnya „sebagian dari‟ atau „beberapa‟) atau yang
bersifat singular atau fenomen apapun yang ditunjuk dengan kata „ini‟ atau „itu‟
(misal „aku‟, Presiden RI, „manusia ini‟).
Apabila proposisi afirmatif tersebut bersifat partikular, kode yang digunakan
adalah I (huruf hidup kedua dari affirmatio), sedangkan proposisi itu negative dan
bersifat partikular maka kode yang digunakan adalah O (huruf hidup kedua dari
nego).

Kebenaran Konklusi dalam Setiap Silogisma Deduksi Adalah Kebenaran


yang Bersifat Formal

Logika deduksi bisa juga disebut logika formal, artinya kebenaran konklusi akan
ditetukan semata-mata oleh kebenaran prosedural yang secara formal ditempuh
dalam penyusunan silogismanya. Jika suatu silogisma sudah tersusun dengan
memenuhi 3 (tiga) syarat berikut ini, yaitu terdiri dari tiga kalimat proposisi (dua
premis dan satu konklusi), memiliki tiga terma dengan masing-masing terma
berada di dua (tidak tiga) kalimat proposisi saja, dengan catatan bahwa terma
tengah tidak akan berada di kalimat yang memproposisikan konklusi maka
konklusi yang diperoleh, sudah pasti akan benar.

Dalam penalaran dedusi, kebenaran material setiap proposisi, baik yang


anteseden yang disebut dengan premis maupun yang poroposisi konsekuens
yang disebut dengan konklusi tidak akan dipersoalkan. Dalam dedeuksi, apabila
premis pendahulunya, baik yang mayor atau yang minor memproposisikan suatu
pernyataan yang per definisinya mengandung cacat material, maka konklusi
yang diperoleh secara prosedur deduksi formal itu harus tetap dianggap benar.
Contohnya adalah sebagai berikut :

Semua pihak yang berkepentingan boleh mengajukan PK;

Jaksa adalah pihak yang berkepentingan;

Maka jaksa boleh mengajukan PK.

Maka silang selisih pengetahuan yang secraa potensial bisa melahirkan


perdebatan dan perbantahan seringkali berawal dari premis-premis mayor atau
minor yang digunakan masing-masing pendebat untuk dasar pembenar konklusi-
konklusinya. Perdebatan antara para pihak penganut budaya atau agama atau
ideologi politik atau ajaran moral yang berbeda, sekalipun masing-masing pihak
menerapkan disiplin penalaran yang sama menurut hukum logika yang ada,
sering tidak berujung pada kesepakatan konklusi-konklusinya. Sebagai contoh
akibat perubahan premis mayor, semula premis mayornya berbunyi sebagai
berikut, “Semua yang tersimak secara indrawi adalah khayalan yang menipu
akal”, seandainya premis itu diubah menjadi, “Semua yang tersimak secara
indrawi bukan khayalan yang menipu akal”, maka konklusi pun akan tidak lagi
bersifat afirmatif melainkan negatif. Silogisma yang terbentukpun tidak lagi
ditandai oleh simbol AII, melainkan EIO.

Demikian pula debat di kalangan para ahli hukum yang hendak


menyimpulkan suatu amar putusan pada perkara tertentu, sering bermula dari
ketiadaan kesepakatan mengenai apa yang harus disahkan sebagai premis
mayor (yang biasa disebut dengan “dasar hukum”) atau premis minornya (biasa
disebut dengan “duduk perkaranya”). Perhatikan contoh yang telah disinggung di
atas, seandainya (pada silogisma yang pertama) proposisi yang ditempatkan
sebagai premis mayor (Dasar hukumnya) tidak berbunyi “Semua pihak yang
berkepentingan boleh mengajukan PK” melainkan “Hanya si terpidana atau
keluarganya saja yang boleh mengajukan PK”, dan premis minornya berbunyi
“Jaksa bukan pidana atau keluarganya”, maka konklusi yang akan dijadikan amar
putusan akan berubah bunyi menjadi, “Jaksa tidak boleh mengajukan PK”.
Sehingga silogisma yang terbentuk tidak lagi ditandai oleh simbol AII melainkan
AOO.

Sekalipun metode bernalar deduktif ini menduduki tempat yang penting


dalam upaya pencarian kebenaran lewat penalaran dan adu argumen (adu
bukti), namun hanya akan mampu menghasilkan kebenaran-kebenaran formal
belaka. Dalam hal ini kebenaran konklusi selalu ditentukan oleh keyakinan akan
benarnya proposisi yang dinyatakan sebagai premis mayor, yang tidak akan
dicek atau diuji, dan tidak akan ditentukan oleh kebenaran pembanding apapun
yang berada di luar premis mayor yang telah ditempatkan dalam silogisma.
Kebenaran proposisi yang ditempatkan sebagai premis mayor harus dianggap
sudah jelas dan benar dengan sendirinya, yang tidak memerlukan pembuktian
apapun lainnya.
Silogisma deuktif adalah silogisma tertutup, bertolak dari self-evident-nya
premis mayor. Inilah silogisma yang memiliki sifat demonstratif untuk
menunjukkan kebenaran suatu pendapat konklusif yang atas dasar suatu prinsip
atau norma telah diyakini sebagai sesuatu yang “sudah benar dengan
sendirinya”.

Silogisma Deduksi dan Masalah Kebenaran Material Proposisinya

Pada pemikiran para ilmuan modern, proses bernalar untuk menemukan


dan membuktikan suatu kebenaran tidaklah cukup bila berlangsung pada
silogisma yang bersifat self-contained seperti premis mayor yang sudah self-
evident seperti itu. Maka tidak heran apabila para ilmuan selalu meragukan atau
mempertanyakan dulu kebenaran proposisi sentral yang akan ditempatkan
sebagai premis mayor, sehingga mereka selalu akan memeriksa serta menguji
kebenaran proposisi tersebut. Pengecekan atau pengujian tersebut bertujuan
untuk meneguhkan keyakinan bahwa proposisi itu memang sudah “benar
sebenar-benarnya benar” berdasarkan realitas-realitas yang empiris. Perhatikan
contoh silogisma berikut ini :

Pengedar narkoba akan dikenai pidana mati;

Tuan Ganja adalah pengedar narkoba;

Tuan Ganja akan dipidana mati.

Dalam silogisma deduksi yang berada dalam ranah kajian para ilmuan, premis
mayor itu tidak akan terbaca secara harafiah yang dilandasi keyaknian dan/atau
keyakinan akan adanya kebenaran normatif bahwa “Pengedar narkoba niscaya
akan dikenai pidana mati”. Alih-alih, orangpun masih akan membaca hal tersebut
dengan penuh reserve, bahwa “Pengedar narkoba mungkin akan dikenai pidana
mati” atau mungkin saja (semua itu akan tergantung dari “bermainnya” berbagai
kekuatan dalam kehidupan) juga bisa tidak akan terkena hukuman mati”. Maka
apabila demikian itu bacaan premis mayornya, konsekuensi logis yang akan
terbaca dalam konklusipun akan reserve untuk menjadi terbaca sebagai berikut,
“Tuan Ganja mungkin aakan dipidana mati” (atau “mungkin pula tidak, semua
masih tergantung keadaan”).
Induksi

Apa yang disebut “mungkin” atau “kemungkinan” yang implisit namun


juga inheren dalam proposisi silogisma-silogisma deduksi ini akan merujuk ke
fakta di alam empiris yang menampakkan diri dalam wujud frekuensi kejadian,
yang besarannya sungguh relatif. Seberapa besar kemungkinan itu, atau
seberapa tinggi tingkat frekuensi tersebut, tidak perlu diamati dan diukur dengan
hasil-hasil yang mutlak seperti “pasti mungkin” (frekuensi 100%) atau “sama
sekali tak mungkin” (Frekuensi 0%).

Dalam kehidupan bermasyarakat, kemungkinan itu ketika


dikuantifikasikan akan berada di antara titik frekuensi 0% dan 100%. Maka tak
pelak lagi para ilmuan modern yang berparadigma empirisme ini akan selalu
menguji terlebih dahulu kebenaran proposisinya dengan fakta atau data yang
diperoleh sebagai hasil observasi dan pengukuran atas realitas empiris yang
ada. Sehingga silogisma deduksi para ilmuan modern ini akan selalu merupakan
silogisma yang bersifat terbuka. Ini berarti bahwa setiap silogisma deduksi yang
ada di lingkup kerja para ilmuan modern selalu didahului oleh pengujian atas
kebenaran empiris atas setiap proposisi yang akan ditempatkan sebagai premis
mayor.

Berangkat dari pentingnyakebenaran material ini, maka para ilmuan yang


percaya bahwa kebenaran material itu berasal dari hasil penyimakan indrawi
tanpa ragu memberiknan tempat utama pada silogisma induksi ini. Kebenaran
simpulan berdasarkan metode deduksi ini hanya akan diterima apabila premis
mayor yang digunakan sebagai dasar kebenaran konklusi harus terlebih dahulu
dapat dijamin kebenarannya secara material. Memenuhi tuntutan ini, maka
prosedur penalaran induksi dengan seluruh proposisi antesedennya yang lebih
bersifat empiris daripada imajinatif atau positif daripada metafisik terpanggil untuk
memenuhi fungsinya. Induksi, demi terjaminnya kebenaran premis mayor, harus
didahulukan, sedangkan prosedur penalaran deduksi harus dikemudiankan untuk
diletakkan di belakang. Kebenaran material premis mayor harus dapat dijamin
dahulu lewat oembuktian induktif sebelum dapat didayagunakan dalam proses
deduksi.
Metode berpikir Induktif dan Aplikasinya sebagai Sarana nanalisi dalam
Metode Ilmu Pengetahuan

Analisis adalah suatu proses menempatkan data ke dalam aktgeori kategori yan
gberjenis dua. Pencarian dan atau pengadaan data sebelum ditempatkan
kedalam kategori ketegori itulah yang merupakan kerja penelitian yang paling
utama,. Pada tahap ini, researching aalah searching for data yang akan
ditempatkan dalam kategori kategori tertentu.

Kategori kategori tersebut sejak awal mula sudah harus ditetapkan. Pada tahap
hipotesis, bahkan pada tahap penulisan masalah yang ditulis atas dasar
keraguan, kategor kategori itu harus sudah jelas.

Merujuk kembali ke asas-asas logika induksi yang difungsikan untuk


mempertontonkan ada tidaknya hubungan sebab akibat antar variabel, dalam
praktik analisis mneujuk kesimpulan, katgeori-kategori itu dikonstuksikan dalam
bentuk visual yang kana memudahkan orang untuk dapat melihat ada tidaknya
hubungan kausal tersebut.

Bentuk visual dapat juga dalam wujud grafik apabila data yang diperoleh adalah
data mengenai variabel yang secara inverval atau rasio berbeda.

Berikut contoh table kosong yang hendak menyilangkan dua variabel yang sma
sama bersifat nominal, yang menurut hipotesis sebuah penelitian di lobok barat
ada hubungan antara keduanya :

Jenis kejahatan Pelaku (Y)


Kejahatana Kejahatan
Terhadap harta Terhadap Raga
Kesukuan pelaku BALI ? ?
(X) SASAK ? ?

Berikut contoh tabel kosongay nag hendak menyilangkan dua variabel yang
sama sama bersifat ordinal , yang menurut hipotesis ada hubungan antara
keduanya :

Status sosial Pendapat Pelaku (Y)


Pelaku (X) Setuju Abstain Tidak Setuju
Atas
Menengah
Bawah

Berikut i ni adalah contoh grafik kosong yang hendak menyilangkan dua variabel
yang bersifat rasio, yang menurut hipotesis ada hubungan diantara keduanya :

Lama pendidikan (X) (dalam tahun)

Pengahsilan bersih (Y) (dalam juta rupiah/tahun)

Anda mungkin juga menyukai