Anda di halaman 1dari 6

PENGUKURAN HUJAN LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG

SERTA MANFAATNYA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL


Dosen Pengampu : Nugroho Christanto, S.Si., M.Sc.

Disusun oleh :

1. Anugrah Jorgi Firmansyah (17/408905/GE/08448)


2. Rahma Aulia Zahra (17/412036/GE/08554)
3. Yofi Sabilia Rosyida (17/412042/GE/08560)

FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidometri adalah cabang ilmu (kegiatan) pengukuran air, atau pengumpulan dan
dasar bagi analisis hidrologi (Harto,1993). Dalam pengertian sehari-hari, kegiatan hidrometri
pada sungai diartikan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan data mengenai sungai atau
hujan, baik yang menyangkut tentang ketinggian muka air maupun debit sungai serta
sedimentasi atau unsur aliran lain. Menurut Chow (1988), pengukuran besaran-besaran
hidrologi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: pengukuran terus-menerus pada
tempat tertentu, seperti hanya pengukuran hujan distasiun tertentu, yang akan menghasilkan
data runtun waktu (time series) dan pengukuran yang sejalan dengan perkembangan teknologi,
dimungkinkan pengukuran sampel terdistribusi pada waktu spesifik, yang akan menghasilkan
data runtun ruang (space series).
Hujan adalah sebuah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang
cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di permukaan. Hujan biasanya terjadi karena
pendinginan suhu udara atau penambahan uap air ke udara. Hal tersebut tidak lepas dari
kemungkinan akan terjadi bersamaan. Turunnya hujan biasanya tidak lepas dari pengaruh
kelembaban udara yang memacu jumlah titik-titik air yang terdapat pada udara. Indonesia
memiliki daerah yang dilalui garis khatulistiwa dan sebagian besar daerah di Indonesia
merupakan daerah tropis, walaupun demikian beberapa daerah di Indonesia memiliki
intensitas hujan yang cukup besar (Wibowo, 2008).
Menurut Linsley (1996), jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya terdiri dari:
1) Hujan gerimis (drizzle), yang kadang-kadang disebut mist terdiri dari tetes-tetes air yang
tipis, biasanya dengan diameter antara 0,1 dan 0,5 mm (0,004 dan 0,002 inci) dengan
kecepatan jatuh yang demikian lambatnya sehingga keliahatan seolah-olah melayang. Gerimis
umumnya jatuh dari stratus yang rendah jarang melebihi 1 mm/jam (0,04 inci/jam).
2) Hujan (rain) terdiri dari tetes-tetes air yang mempunyai diameter lebih besar dari 0,5 mm
(0,02 inci).
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal.
Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang
datar tertampung air setinggi satu millimeter termpat yang datar tertampung air setinggi satu
milimeter atau tertampung air setinggi 1 liter. Sedangkan menurut Handoko (1994), curah
hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang
diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi,
runoff dan infiltrasi. Satuan curah hujan adalah millimeter atau inci.
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim selain suhu, kelembapan, radiasi
matahari, evaporasi, tekanan udara, dan kecepatan angin. Jumlah curah hujan diukur sebagai
volume air yang jatuh di atas permukaan bidang datar dalam periode tertentu, yaitu harian,
mingguan, bulanan, atau tahunan. Tinggi air ini umumnya dinyatakan dengan satuan
millimeter (Nawawi, 2001).
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengukuran Hujan Langsung dan Tidak Langsung


Curah hujan dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran dapat
dilakukan secara langsung dengan menampung air hujan yang jatuh, namun tidak dapat
dilakukan di seluruh wilayah tangkapan air, akan tetapi hanya dapat dilakukan pada titik-titik
yang ditetapkan dengan menggunakan alat pengukur hujan (Triatmodjo, 2008). Pengukuran
langsung merupakan pengukuran dengan alat atau instrumen. Instrumen pengukur hujan
(raingauge) menurut Sri Harto (1993) ada dua jenis yaitu penakar hujan biasa (manual
raingauge), dan penakar hujan otomatik (automatic raingauge).
Alat pengukur curah hujan merupakan alat untuk mengukur curah hujan yang terjadi
pada suatu daerah baik pedesaan, kecamatan, ataupun propinsi yang mengacu pada standar
WMO (World Metrological Organization). Curah hujan dapat diukur dengan alat penakar
curah hujan otomatis atau manual. Dengan menggunakan panakar hujan yang bekerja secara
manual, maka pengambilan data juga dilakukan secara manual. Data yang diperoleh
merupakan kumpulan curah hujan selama selang waktu tertentu dan dilakukan secara terus
menerus. Ini menyebabkan tidak diketahui jam berapa terjadinya hujan pada suatu hari karena
data yang didapat merupakan data rata – rata. (Manullang dkk, Tanpa Tahun). Panakar hujan
mengukur tinggi hujan seolah-olah air hujan yang jatuh ke tanah menumpuk ke atas
merupakan kolom air. Air yang tertampung volumenya dibagi dengan luas corong
penampung, hasilnya adalah tinggi atau tebal, satuan yang dipakai adalah milimeter (mm).
Alat penakar hujan otomatis akan mendata curah hujan secara otomatis dan berkala.
Data yang diperoleh merupakan data dalam selang waktu tertentu yang diketahui jam berapa
terjadinya hujan pada suatu hari. Salah satu alat penakar hujan otomatis yaitu tipe tipping
bucket. Prinsip dasar kerja penakar hujan otomatis tipe tipping bucket ini adalah mendeteksi
medan magnet yang ditempelkan pada tipping bucket akan mengeluarkan sensor yang
merupakan sinyal digital (High / Low) jika terkena salah satu kutub dari medan magnet
tersebut. Sinyal tersebut akan diolah agar periode sinyal seragam menggunakan pengolah
sinyal untuk kemudian diseragamkan sinyalnya dan di hubungkan laptop/pc. Tipping bucket
bekerja dengan cara menghitung pulsa persatuan waktu yang ditentukan dari banyaknya air
yang masuk ke dalam corong sensor tersebut. Sehingga dari pulsa-pulsa tersebut dapat
diketahui besarnya curah hujan persatuan luas persatuan waktu.
Pengukur hujan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan melihat citra
penginderaan jauh. Pengukuran hujan menggunakan penginderaan jauh biasanya digunakan
untuk mengetahui distribusi hujan dalam cakupan yang luas, misalnya distribusi hujan di
permukaan bumi. Obyek-obyek di permukaan bumi yang yang tergambar pada citra
penginderaan jauh pada dasarnya bisa terdeteksi oleh sensor dikarenakan karakteristik dari
obyek-obyek tersebut yaitu sebagai berikut: (i) pantulan gelobang pendek dari pancaran sinar
matahari; (ii) pancaran dari gelombang inframerah thermal yang mengindikasikan
temperature fisik dari obyek yang besangkutan atau (iii) pancaran dari gelombang mikro
(Carleton, 1991). Penginderaan jauh yang khusus diaplikasikan untuk estimasi hujan, fokus
utamanya terutama adalah pada interaksi antara obyek butiran hujan (hydrometeor) dengan
gelombang elektromagnetik dengan memperhatikan karakteristik pantulan atau pancaran dari
spectrum panjang gelombang seperti tersebut diatas.
2. Pemanfaatan Data Hujan dalam Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan upaya seluruh komponen bangsa dalam rangka
mencapai tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Bappenas,
2014). Proses pembangunan di Indonesia memerlukan adanya strategi dan perencanaan, salah
satunya ialah dengan memerhatikan kondisi iklim dan curah hujan. Secara langsung, korelasi
antara curah hujan di Indonesia tidak memberikan pengaruh yang jelas dalam jangka pendek,
namun berkaitan erat dengan kondisi secara jangka panjang. Aspek pertanian dalam
pembangunan merupakan aspek yang paling dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, dimana
keberhasilan panen yang mendukung adanya peningkatan pendapatan negara. Sementara itu,
dari segi manajemen bencana data curah hujan juga diperlukan dalam analisis mengenai
kerawanan suatu wilayah terhadap bencana seperti longsor dan banjir.
Pertanian
Data curah hujan dapat digunakan untuk memonitor kekeringan di Indonesia secara
harian dan mingguannya. Informasi ini penting dalam wilayah dimana perubahan cuaca sangat
berpengaruh terhadap kegiatan pertanian maupun kegiatan lainnya (Sugianto, 2012).
Pertanian merupakan sektor yang menjadi andalan Indonesia dimana Indonesia sebagai negara
yang berada pada wilayah ekuator selalu mendapatkan radiasi matahari yang baik untuk
pertumbuhan tanaman pertanian. Sementara itu, sektor pertanian secara umum memiliki
tingkat pembangunan sebesar 3,7%, dan menyumbang PDRB terbesar 15% (Bappenas, 2014).
Sebagai contoh dari korelasi antara curah hujan dan pertumbuhan dan PDRB ialah penelitian
yang dilakukan oleh Tampubolon dan Sihombing (2017) di Kota Medan. Dalam hal ini,
korelasi antara hubungan curah hujan dan hari hujan terhadap produksi pertanian di Kota
Medan sebesar 91,80%. Hubungan produksi pertanian terhadap PDRB atas harga berlaku
sebesar 51,70%. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya curah hujan mempengaruhi
produktivitas serta pendapatan regional dari sektor pertanian. Hal ini juga mendukung adanya
peranan PDRB regional dalam mendukung besarnya PDB nasional.
Manajemen Bencana
Besarnya curah hujan di suatu wilayah dapat digunakan untuk menganalisis besarnya
kapasitas di suatu DAS yang berkaitan erat dengan potensi terjadinya banjir. Banjir
merupakan masalah yang kompleks dan tidak bisa ditinjau dari satu segi saja. Jumlah curah
hujan yang sama mungkin menyebabkan banjir di tempat yang satu tetapi belum tentu di
tempat lain. Perkembangan kota misalnya tanpa ditunjang data iklim terutama curah hujan
dapat dilanda banjir jika jalan atau bangunan tidak dilengkapi dengan saluran yang memadai.
Jalan beraspal dan bangunan beton di suatu kota jika tidak diimbangi dengan lahan-lahan yang
disediakan untuk tanaman, maka daya resap tanah terhadap air hujan makin lama makin
berkurang dan ini menyebabkan pori-pori permukaan tidak mampu lagi meresapkan air hujan
yang mempunyai ukuran tetes lebih besar (Tjasyono, 2009).
Longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia. Data curah
hujan wilayah yang digabungkan dengan data kemiringan lereng dapat digunakan untuk
menganalisis potensi longsor yang berkaitan dengan kemampuan lahan di suatu wilayah.
Penelitian mengenai curah hujan salah satunya dilakukan di beberapa daerah rawan gerakan
tanah tinggi di Jawa Barat pada 2020 oleh Febrianti (2018) yang mengalami penurunan curah
hujan terjadi di Kabupaten Garut, Cianjur, dan Tasikmalaya dimana ketiga daerah rawan
bencana tanah longsor bila dilihat berdasarkan simulasi curah hujan. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan antara kerawanan longsor dengan curah hujan sangat erat kaitannya yang
dapat dilakukan untuk melakukan perencanaan manajemen bencana.
Pembangunan Infrastruktur dan Perikanan
Keadaan curah hujan di suatu wilayah berpengaruh terhadap ketahanan bangunan, untuk
itu, Seorang arsitek dapat menyiapkan rancang bangun dengan mengetahui faktor fundamental
seperti :(a) jenis bangunan yang dibutuhkan apakah rumah, mesjid, gereja, kantor, atau toko;
(b) lokasi bangunan dan (c) perkiraan biaya (Tjasyono, 2009). Sementara itu, curah hujan
wilayah juga berpengaruh terhadap sektor kelautan. Curah hujan dapat digunakan untuk
mengetahui waktu yang tepat untuk melaut yang berpengaruh terhadap efektivitas pekerjaan
nelayan, mengingat wilayah Indonesia yang memiliki wilayah laut menyumbang PDRB yang
besar terhadap pembangunan nasional.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Pengukuran hujan secara langsung dapat menggunakan bantuan alat penakar curah hujan
otomatis maupun manual dan pengukuran hujan secara tidak langsung dapat
menggunakan citra penginderaan jauh.
2. Curah hujan berpengaruh besar terhadap pembangunan nasional dari segi perencanaan,
manajemen bencana, serta pembangunan dari segi pertanian dan kelautan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional 2015-2019. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
BR, Sri Harto. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Carleton, A.M. 1991. Satellite Remote Sensing in Climatology. London: Belhaven.
Chow, V. T., Maidment, D. R. & Mays, L. W., 1988. Applied Hydrology. New York, USA:
McGraw-Hill.
Febrianti, Nur. 2018. Analisis Dampak Perubahan Curah Hujan Terhadap Perkiraan Tanah
Longsor Di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas Udara
2010-2014, LAPAN 28-29 Juli 2009.
Handoko. 1994. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsure-Unsur
Iklim. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.
Linsley, R. K., M. A. Kholer dan J. L. H. Paulhus. 1996. Hidrologi untuk Insinyur. Jakarta :
Erlangga.
Manullang, Valentina Sophia, Takdir Tamba. 2013. Modifikasi Penakar Hujan Otomatis Tipe
Tipping Bucket dengan Hall Effect Sensor Ats276. Jurnal Fisika.
Nawawi, G. 2001. Kualitas Air dan Keguanaannya. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Sugianto. 2012. Pemanfaatan Teknologi Geospasial untuk Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Sumberdaya Air dan Konstruksi. Program Pascasarjana Universitas Syiah
Kuala, Darussalam Banda Aceh.
Tampubolon, Koko dan Fransisca Natalia Sihombing. 2017. Pengaruh Curah Hujan dan Hari
Hujan Terhadap Produksi Pertanian serta Hubungannya Dengan PDRB Atas Harga
Berlaku di Kota Medan. Jurnal Pembangunan Perkotaan Volume 5 Nomor 1.
Tjasyono, Bagong. 2009. Meteorologi Indonesia Volume I: Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer.
Jakarta: BMKG.
Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta : Beta Offset
Wibowo, H. (2008). Desain Prototipe Alat Pengukur Curah Hujan Jarak Jauh Dengan
Pengendali Komputer. Jember : Skripsi Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai