Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK KE-2

STIGMA DAN DISKRIMINASI PENDERITA TUBERKULOSIS


(TB) MULTIDRUG RESISTANCE

Oleh

Akmal Dwiyana Kau 15/388053/PKU/15275


Damairia Hayu Parmasari 15/388086/PKU/15308
Ishana Balaputra 15/388131/PKU/15353
Taufiqurakhim A 15/388238/PKU/15460
Vena Jaladara 15/388247/PKU/15469

Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2015
A. KASUS
TANGGUH MELAWAN TB
Perempuan | Minggu, 13 April 2014 02:00:57
http://www.koran-jakarta.com/?9872-tangguh-melawan-tb

Tidak ada seorang pun yang dapat memahami bagaimana menderitanya orang yang
terkena serangan bakteri TB selain pasien itu sendiri. Pahit getir berjuang melawan
penyakit TB, termasuk menghadapi sikap diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya,
telah dirasakan Yulinda Santosa. Karena itu, dia ingin berbagi pengalaman dan membantu
sesama penderita TB untuk menjadi pejuang tangguh.
Multidrug resistance merupakan salah satu fase penyakit TB ketika bakteri TB telah
resisten terhadap beberapa obat sehingga penderitanya harus menjalani pengobatan rutin
setidaknya selama dua tahun. “Banyak sekali anggapan salah tentang TB di masyarakat,
dan saya ingin membagi pengalaman saya agar masyarakat memahami apa itu TB dan
bagaimana menanganinya,” kata Uli di Bogor, pekan lalu.
Menurut Uli, tidak ada seorang pun yang dapat memahami bagaimana menderitanya
orang yang terkena serangan bakteri TB selain pasien itu sendiri. Penderitaan akibat
penyakit TB itu nyatanya pernah pula dialaminya. Selama menjalani pengobatan, Uli
merasakan benar bagaimana susahnya berjuang melawan berbagai rasa sakit dan tekanan-
tekanan mental pada dirinya. Dikucilkan dan diperlakukan diskriminatif oleh teman-
teman, bahkan keluarga sendiri, dirasa Uli sebagai pukulan terberat. Karena penyakit
yang dideritanya itu, Uli bahkan pernah diusir dari rumah kos yang ditempatinya saat
menjalani pengobatan di RS Persahabatan. “Gelas dan piring saya sengaja dipisahkan.
Setiap berbicara dengan orang lain, mereka menutup hidung. Saya dianggap penyebar
penyakit,” ujar dia dengan air mata berurai.
Tekanan mental akibat dikucilkan itu menjadi beban lain yang harus dipikulnya.
Belum lagi dia harus berjuang melawan efek dari obat-obatan yang dikonsumsi. Uli
bahkan merasa seperti dibuat gila oleh obat-obatan itu. Bayangkan saja, dalam sehari, dia
harus meminum 15 jenis obat. Belum lagi dia juga harus menerima suntikan secara rutin
dalam delapan bulan pertama. Efek dari obat-obatan itu membuat kulitnya gosong,
rambut rontok, mual-mual, bahkan berhalusinasi. “Banyak teman yang harus
berkonsultasi dengan dokter jiwa karena kuman TB-nya menyerang saraf otak,” ujar Uli.
Di tengah perjuangan untuk bertahan dalam pengobatan yang panjang dan melelahkan,
Uli dihadapkan pada kenyataan getir, satu per satu teman-temannya yang juga menderita
TB meninggal dunia. Namun, kondisi itu tak lantas menghancurkan semangat hidupnya.
Uli justru memupuk harapan. “Kalau Tuhan mengizinkan saya sembuh, saya akan
membantu pasien agar mereka tidak sampai mengalami apa yang saya alami,” tuturnya.

B. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2011).
Faktor keluarga dan masyarakat bisa muncul sebagai dukungan sosial yang positif
tetapi bisa juga timbul sebagai stigma terhadap penyakit dan pasien tuberkulosis. Kipp,
dkk. (2011) mendefinisikan stigma yang berkaitan dengan masalah kesehatan/ penyakit
sebagai proses sosial atau pengalaman pribadi yang ditandai dengan pengucilan,
penolakan, celaan, atau devaluasi karena adanya anggapan sosial yang merugikan tentang
individu tersebut maupun kelompoknya berkaitan dengan masalah kesehatan tertentu.
Stigma yang berhubungan dengan penyakit berdampak negatif terhadap pencegahan,
prosedur pelayanan, dan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan pada penyakit
tersebut (Cramm and Nieboer, 2011). Stigma kerap kali melekat pada masalah-masalah
kesehatan, termasuk tuberkulosis. Alasan mengapa bisa muncul stigma pada TB
diantaranya, penularannya, pengetahuan yang kurang tepat akan penyebabnya,
perawatannya atau berhubungan dengan kelompok-kelompok marjinal seperti
kemiskinan, ras minoritas, pekerja seks, tahanan penjara, dan orang yang terinfeksi
HIV/AIDS ( Kipp, et. al., 2011).

C. PEMBAHASAN
1. Stigma Terhadap Penderita TB Paru
Istilah stigma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanda yang
disematkan pada tubuh untuk menunjukkan bahwa orang yang dimaksud telah
melakukan perbuatan imoral. Sedangkan diskriminasi adalah aksi atau tindakan
yang berasal dari munculnya stigma dan langsung ditujukan kepada orang yang
terstigma (Nurhayati dkk., 2013). Jenis profesi menjadi faktor penentu derajat
stigma di sebuah rumah sakit. Menurut Kipp dkk. (2011) stigma sering melekat
pada masalah-masalah kesehatan salah satunya tuberkulosis. Stigma terhadap
tuberkulosis (TBC) bisa terjadi dikarenakan oleh penularannya, pengetahuan
yang kurang tepat akan penyebabnya, perawatannya atau berhubungan dengan
kelompok-kelompok marjinal seperti kemiskinan, ras minoritas, pekerja seks,
tahanan penjara, dan orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Menurut hasil penelitian
Salmon, dkk. (2014) menunjukkan bahwa dari 97 petugas kesehatan terdapat
43,3% yang memiliki stigma rendah. Meskipun demikian, lebih dari setengah
(56,7%) petugas kesehatan memiliki stigma yang tinggi artinya mencerminkan
keberadaan stigma. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan kepada petugas kesehatan yang berada di Sudan Selatan tahun 2011.
Jane Alphonse Guma mengatakan bahwa informasi yang tidak benar, tingkat
pengetahuan yang kurang untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, takut
tertular penyakit, keyakinan sosial dan moral, stres dan beban kerja yang berat
semuanya telah menyatu sebagai penyebab yang mendasari petugas kesehatan
menunjukkan stigma dan diskriminasi pada pasien tuberkulosis ataupun pasien
HIV/AIDS. Penelitian Mathew dan Takalkar (2007) pada masyarakat India,
didapatkan bahwa pasien TB di India sering mendapatkan pengalaman adanya
penolakan dan isolasi sosial dari masyarakat. sehingga mitos dan stigma harus
dihilangkan untuk mengontrol penyakit Tuberkulosis.
Dari kasus Uli yang merupakan seorang penderita penyakit TBC MDR
(multidrug resistance) menunjukkan bahwa Uli terstigma dan terdiskriminasi.
Hal ini ditunjukkan dengan sikap dari keluarga dan teman-teman Uli. Uli diusir
dari tempat kosnya dan dikucilkan oleh teman-temannya. Teman-teman dan
keluarga Uli menutup hidung ketika berbicara dengan Uli karena keluarga dan
teman Uli menganggap Uli sebagai penyebar penyakit. Semua itu, membuat Uli
mengalami tekanan mental yang berat selama 8 tahun ia menderita TBC MDR
dan selama 8 tahun pula ia menjalani pengobatan. Hal ini juga sesuai Sallis dkk.
bahwa stigma dan diskriminasi terjadi pada berbagai tingkat lingkungan yaitu:
lingkungan individual, keluarga, komunitas, dan institusi. Menurut Rachmawati
dan Turniani (2006) sit. Gerdunas TBC (2002) mengatakan bahwa sampai saat
ini masih ada anggapan berkembang di masyarakat bahwa TBC adalah penyakit
keturunan yang berakibat tetap sulitnya dalam penanggulangan. Adanya stigma
dari masyarakat ini dapat mengakibatkan pasien penderita TBC tidak mau
berobat karena malu dan mengalami stres. Selain itu menurut Johnson, stigma
yang diterima menyebabkan penderita ketakutan terhadap isolasi sosial dan
menunda untuk mencari pengobatan (Ginting, dkk, 2008). Namun, dari kasus Uli
tadi, Uli menunjukkan sikap yang berbeda. Walaupun Uli mengalami tekanan
mental dan stres, ia tetap bersemangat untuk menjalani pengobatan dan optimis
untuk sembuh. Apa yang dilakukan Uli akhirnya membuahkan hasil setelah ia
menjalani pengobatan selama 8 tahun dan dinyatakan sembuh total.
2. Upaya Mengurangi Stigma Negatif pada Masyarakat
Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di masyarakat.
Sebagai contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB dalam mencari pelayanan
di Yogyakarta telah mengidentifikasi berbagai penyebab TB yang tidak infeksius,
misalnya merokok, alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur di lantai,
dan tidur larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan
meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB, mengurangi
mitos-mitos TB melalui kampanye pada kelompok tertentu dan membuat materi
penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat (Kemenkes RI, 2010).
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan (Suharno, 2010). Menurut Kemenkes RI
(2009), kebijakan program pengendalian penyakit tuberkulosis tercantum pada
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009, (Handayani,
2015) yaitu:
1. Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi yaitu
kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi:
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS.
3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap
program penanggulangan TB.
4. Pengembangan strategi DOTS untuk peningkatan mutu pelayanan,
kemudahan akses, penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan
rantai penularan dan mencegah terjadinya TB-MDR.
5. Penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh sarana pelayanan kesehatan,
meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Swasta, Rumah
Sakit Paru (RSP), Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Balai Pengobatan Penyakit Paru
Paru(BP4), dan Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktik Swasta (DPS).
6. Pengembangan pelaksanaan program penanggulangan TB di tempat kerja
(TB in workplaces), Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan (TB in
prison), TNI dan POLRI.
7. Program penanggulangan TB dengan pendekatan program DOTS Plus
(MDR), Kolaborasi TB-HIV, PAL (Practical Approach to Lung Health), dan
HDL (Hospital DOTS Linkages).
8. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja
sama/kemitraan dengan lintas program dan sektor terkait, pemerintah dan
swasta dalam wadah Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB
(Gerdunas TB).
9. Peningkatan kemampuan laboratorium TB di berbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
10. Menjamin ketersediaan Obat Anti TB (OAT) untuk penanggulangan TB dan
diberikan kepada pasien secara cuma- cuma.
11. Menjamin ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah
yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
12. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan terhadap TB.
13. Menghilangkan stigma masyarakat terhadap Pasien TB agar tidak dikucilkan
dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
14. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.

D. KESIMPULAN
1. Masyarakat masih mempunyai stigma terhadap penderita penyakit TB karena
kurangnya pemahaman mengenai pencegahan, penularan, perawatan, dan
pengobatan dari penyakit TB itu sendiri. Adanya stigma oleh masyarakat terhadap
penderita TB mengakibatkan mereka terdiskriminasi.
2. Upaya untuk mengurangi stigma masyarakat terhadap penderita penyakit TB
dilakukan melalui hal-hal yang tercantum pada kebijakan pemerintah yaitu
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
E. DAFTAR PUSTAKA
Ginting T. Tuahta, dkk. 2008. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Timbulnya
Gangguan Jiwa pada penderita Tuberkulosis Paru Dewasa

Handayani, W. (2015). Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit


Tuberkulosis di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun
2013.http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/25706

Kemenkes RI, (2008). Terobosan Akses Universal, Strategi Nasional Pengendalian TB.

Kipp A M, Pungrassami P, Nilmanat K, Sengupta S, Poole C, Strauss R P et al. 2011.


Socio-demographic and AIDS-related factors associated with tuberculosis stigma in
southern Thailand: a quantitative, cross-sectional study of stigma among patients
with TB and healthy community members. BMC Public Health: 11 :675. Available
online at http://search.proquest.com

Nurhayati, E., Sunjaya, D.K., and Afriandi, I., 2013, Stigma dan Diskriminasi Terhadap
ODHA di Kota Bandung, Universitas Padjajaran, Bandung, p. 5.

Rachmawati, T., and Turniani, 2006, Pengaruh Dukungan Sosial dan Pengetahuan
Tentang Penyakit TB Terhadap Motivasi Untuk Sembuh Penderita Tuberkulosis
Paru Yang Berobat di Puskesmas, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 3(9): 134-
141.

Salmon, D., Kandou, G. D., Palandeng, H. M., Porajow, Z. C., & Pakasi, T. A. (2014).
Hubungan Karakteristik, Pengetahuan dengan Stigma Petugas Kesehatan Tentang
Koinfeksi Tuberkulosis-Virus Human Immunodeficiency di Kota Manado. JURNAL
KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN TROPIK, 2(1).
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JKKT/article/viewFile/4041/3556

Sedjati, F. (2013). Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan
Kebermaknaan Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta. EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi, 2(1).
http://www.jogjapress.com/index.php/EMPATHY/article/view/1534

Anda mungkin juga menyukai