Anda di halaman 1dari 124

HUBUNGAN EKONOMI BILATERAL INDONESIA-JEPANG

SERTA DAMPAKNYA TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

RESTY SOPIYONO
06.5186

JURUSAN : STATISTIKA
PEMINATAN : EKONOMI

SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK


JAKARTA
2010

1
HUBUNGAN EKONOMI BILATERAL INDONESIA-JEPANG

SERTA DAMPAKNYA TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Terapan Pada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik

Oleh:
RESTY SOPIYONO
06.5186

SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK


JAKARTA
2010

2
HUBUNGAN EKONOMI BILATERAL INDONESIA-JEPANG

SERTA DAMPAKNYA TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Oleh:
RESTY SOPIYONO
06.5186

Mengetahui/Menyetujui,

Pembantu Ketua I/Bidang Akademik Pembimbing

Muchlis Husin, S.E., M.A. Muchlis Husin, S.E., M.A.


NIP 19520515 197503 1 003 NIP 19520515 197503 1 003

Tim Penguji

Penguji I Penguji II

Dr. Budiasih Retnaningsih, S.Si., M.E.


NIP 19610219 198312 2 001 NIP 19700125 199803 2 001

3
PERNYATAAN

Skripsi dengan Judul

HUBUNGAN EKONOMI BILATERAL INDONESIA-JEPANG

SERTA DAMPAKNYA TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Oleh
RESTY SOPIYONO
06.5186

adalah benar-benar hasil dari penelitian dan bukan dari hasil plagiat atau hasil
karya orang lain. Jika di kemudian hari diketahui ternyata skripsi ini hasil plagiat
atau hasil karya orang lain, penulis bersedia skripsi ini dinyatakan tidak sah dan
gelar Sarjana Sains Terapan dicabut atau dibatalkan.

Jakarta, 20 Agustus 2010

Resty Sopiyono

4
KATA PENGANTAR

egala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya ke muka bumi ini. Hanya atas rahmat-Nyalah skripsi yang berjudul
“Hubungan Ekonomi Bilateral Indonesia-Jepang Serta Dampaknya
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” ini dapat terselesaikan. Pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr.Suryamin, M.Sc. selaku Ketua STIS.
2. Bapak Muchlis Husin, S.E., M.A. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi
ini yang telah meluangkan banyak waktu dan memberi banyak masukan.
3. Ibu Dr.Budiasih selaku penguji pertama dan Ibu Retnaningsih, S.Si., M.E.
selaku penguji kedua yang telah memberikan banyak masukan pula.
4. Ibu Titi Kanti untuk ilmunya, serta semua pegawai BPS yang telah membantu
penulis dalam penyediaan data yang diperlukan.
5. Mamah dan Ayah atas perhatian, pengorbanan, dan doanya selama ini.
6. Kakak ku Mas Dian, maaf sering merepotkan. You are really the best brother.
Terima kasih juga untuk adik ku Aji dan Fakhrul.
7. My Best Friend (BF): Ndari, Didi, Eva, dan Leni, juga untuk Fika dan Amar
serta Intan. Terima kasih atas dukungannya selama ini. Akhirnya kita lulus
bareng.
8. Teman-teman AZKA seperjuangan, Syifa, Anna, Fitri, Nure, Putri, Bilih,
Awet, Habib, dan Angga.
9. Teman-teman STIS angkatan 48, khususnya 1H, 2A, 3SE2, dan 4SE3. Terima
kasih atas bantuan, saran dan kritik selama ini.
10. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan skripsi ini.
Tak ada gading yag tak retak. Saran dan kritik pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
banyak pihak.
Jakarta, Agustus 2010

Penulis

i
ABSTRAK

RESTY SOPIYONO, ”Hubungan Ekonomi Bilateral Indonesia-Jepang Serta


Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.

vii + 112 halaman

Jepang merupakan mitra penting Indonesia dalam menjalin hubungan bilateral.


Kerjasama perjanjian bilateral kedua negara ini telah membuat sejarah penting
dengan ditandatanganinya IJ-EPA yang dimulai secara resmi pada 1 Juli 2008.
Tujuan dari penelitian ini yaitu memberikan gambaran umum mengenai
perkembangan hubungan ekonomi Indonesia-Jepang serta menganalisis pengaruh
nilai ekspor dan impor Indonesia-Jepang, serta realisasi PMA Jepang di Indonesia
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hingga saat ini Jepang adalah mitra
terbesar Indonesia dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 2009
saja total perdagangan Indonesia dengan Jepang mencapai 28,42 miliar Dollar AS
atau 13,32 persen dari total perdagangan luar negeri Indonesia. Nilai realisasi
PMA Jepang dari tahun 1990 hingga 2009 di Indonesia fluktuatif dan cenderung
mengalami penurunan. Perubahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi
secara positif oleh perubahan pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang melalui
pendekatan Vector Autoregression (VAR). Hasil analisis impulse response
menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan memberikan respon positif
terhadap shock yang terjadi pada pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang,
sedangkan shock yang terjadi pada pertumbuhan impor Indonesia dari Jepang dan
pertumbuhan realisasi PMA dari Jepang berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia.

Kata kunci : hubungan bilateral, Indonesia-Jepang, pertumbuhan ekonomi, VAR,


impulse response

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………… i
ABSTRAK……………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………… v
DAFTAR GRAFIK………………………………………………………. vi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………… 1
1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah…………………………………….. 7
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………… 9
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………….. 10
1.5 Sistematika Penulisan………………………………………………….. 10

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Tinjauan Pustaka……………………………………………………. 12
2.2 Kajian Teori………………………………………………………….. 43
2.3 Kerangka Pikir……………..………………………………………… 45
2.4 Definisi Peubah Operasional…………………………………………. 47
2.5 Hipotesis Penelitian………………………………………………….. 48

BAB III METODOLOGI


3.1 Sumber Data………………………………………………………… 49
3.2 Metode Analisis……………………………………………………… 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Perkembangan Perdagangan Internasional Indonesia-Jepang………… 65
4.2 Perkembangan Realisasi PMA Jepang di Indonesia……… ………… 74
4.3 Pengaruh Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang, Nilai Impor Riil

iii
Indonesia dari Jepang, dan Nilai Realisasi PMA Riil Jepang di
Indonesia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ……………. 79
4.4 Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan
(Shock) Ekspor Riil Indonesia ke Jepang, Impor Riil Indonesia dari
Jepang, dan Realisasi PMA Riil Jepang di Indonesia………………. 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan…………………………………………………………… 89
5.2. Saran………………………………………………………………… 90

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 91
LAMPIRAN……………………………………………………………… 94
RIWAYAT HIDUP……………………………………………….. ... … 112

iv
DAFTAR TABEL

1. Perdagangan Luar Negeri Indonesia dengan Mitra Dagang Utama


Tahun 2007-2008 (Juta Dollar AS) ……..…………….….……. 4
2. Ringkasan Pos Tarif perdagangan Dalam IJ-EPA……….………….. 42
3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Jepang Tahun 2005-2009
(Juta Dollar AS)…..…………………………………………..……… 65
4. Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang untuk Beberapa Komoditi
Primer Tahun 2007- 2008 (Juta Dollar AS) ……..………….…….…. 70
5. Share Impor Jepang dari Negara ASEAN Tahun 2009 (%)…….….... 70
6. Nilai Impor Riil Utama Indonesia dari Jepang Menurut Kelompok
Barang Tahun 2007-2008 (Juta Dollar AS) ………..……….……….. 74
7. Peringkat Indonesia untuk Pemasaran dan Produksi di Mata Pengusaha
Jepang Tahun 2006 ……………………………………….………... 78
8. Uji Kausalitas Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang, Nilai Impor Riil
Indonesia dari Jepang, dan Nilai Realisasi PMA Jepang di Indonesia
dengan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ……….………….………. 80
9. VAR model dengan DLNPDB sebagai variabel dependen (koefisien
dan t-statistik[ ]) …………………………..………………………... 82
10. Hasil Analisis Variance Decomposition Ekspor, Impor, dan PMA
Indonesia-Jepang Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesi……….. 87

v
DAFTAR GAMBAR

1. Ringkasan IJ-EPA ……………..……………………………………… 40


2. Kerangka Pikir Penelitian………………………..……………………. 46
3. Perkembangan Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang Tahun 1990-2009
(Juta Dollar AS) …………………………………………………………67
4. Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Negara Tujuan Utama Tahun 2009 (%) 68
5. Perkembangan Nilai Ekspor Riil Migas dan Non-Migas Indonesia ke
Jepang Tahun 2005-2009 (Juta Dollar AS……………………………. 69
6. Perkembangan Nilai Impor Riil Indonesia dari Jepang Tahun 1990-2009
(Juta Dollar AS) ………………………………………………….….. 71
7. Nilai Impor Indonesia dari Negara Utama Tahun 2009 (%) ………… 72
8. Perkembangan Nilai Impor Riil Migas dan Non-Migas Indonesia dari
Jepang Tahun 2005-2009 (Juta Dollar AS) ………………………….. 73
9. Nilai Realisasi PMA Riil Jepang di Indonesia Tahun 1990-2009 ( Juta
Dollar AS) ……………………………………………………………… 75
10. Lima Besar Negara Asal PMA Indonesia Tahun 2009 (%)…………… 76
11. Realisasi PMA Jepang di Indonesia Menurut Sektor Industri Tahun
2009 (%)……………………………………………………………….. 77
12. Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan (Shock)
Pada Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang….………………………. 83
13. Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan (Shock)
Pada Nilai Impor Riil Indonesia dari Jepang …….……………………. 84
14. Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan (Shock)
Pada Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang …………………………. 85

vi
DAFTAR LAMPIRAN

1. Data PDB Indonesia ADHK 2000=100, Ekspor Indonesia ke Jepang,


Impor Indonesia dari Jepang, dan PMA Indonesia dari Jepang……. 95
2. IHPB Umum, Ekspor, dan Impor tahun Dasar 2000=100……….. 97
3. Nilai PDB Konstan, Ekspor Konstan, Impor Konstan, dan PMA
Konstan Indonesia-Jepang………………………………….……. 99
4. Uji Stasioneritas…………………………………………………. 101
5. Tes kausalitas Granger…………………………………………… 106
6. Uji Lag Optimum…………………………………..……………. 108
7. Model VAR……………………………………………………... 109
8. Output Impulse Response…………………………………….…….. 111
9. Variance Decomposition (VD)……………………………… ... 112

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting dalam

menilai keberhasilan tingkat pembangunan suatu negara. Peningkatan

pertumbuhan ekonomi merupakan tema sentral dalam kehidupan ekonomi suatu

negara dewasa ini, terutama bagi negara-negara berkembang. Pemerintah di

negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun berdasarkan tinggi-rendahnya

tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya dalam catatan statistik nasional

(Todaro: 2004). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu

menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Perdagangan dan investasi memiliki peran yang semakin penting terhadap

pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan

mendorong perdagangan dan investasi, negara-negara berkembang dapat

meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan melalui transfer

teknologi dan praktek manajemen dapat memperkuat perusahaan-perusahaan

swasta domestik yang akhirnya akan membantu penciptaan dana yang dibutuhkan

untuk pembangunan ekonomi. Namun demikian, perekonomian dunia yang

berkembang pesat akibat keterbukaan ekonomi dan keterkaitan produksi yang

merupakan produk globalisasi telah mengakibatkan kompetisi yang semakin ketat

diantara negara-negara di dunia.

1
Menurut Aji (2009) globalisasi dalam berbagai aspeknya memberikan

kesempatan bagi tumbuhnya kompetisi antar bangsa. Pada sisi yang lain,

globalisasi juga bermanfaat untuk meningkatkan kerjasama internasional antar-

negara dalam berbagai bentuk, termasuk di bidang perdagangan dan investasi

dalam kerangka kerjasama yang saling menguntungkan. Dengan semakin

terintegrasinya perdagangan dunia tanpa batas negara, maka terbuka peluang bagi

produk dalam negeri yang kompetitif ke pasar internasional, dan juga sebaliknya

akan terbuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.

Menyadari pentingnya membangun suatu kerjasama internasional,

perkembangan ekonomi global selama satu dasawarsa terakhir mengalami

perubahan yang cukup pesat dengan munculnya berbagai kerjasama antara blok-

blok perdagangan maupun ekonomi baru yang bersifat bilateral, regional maupun

multilateral. Perekonomian dunia yang semakin dinamis menuntut

terselenggaranya kerja sama internasional untuk meningkatkan daya saing negara-

negara yang tergabung dalam kerjasama tersebut dan menjaga stabilitas keuangan

serta pencapaian pertumbuhan yang berkesinambungan.

Munculnya kelompok kerjasama multilateral seperti Uni Eropa (UE),

North America Free Trade Area (NAFTA), Asia Pacific Economic Cooperation

(APEC), dan Association of South East Asia Nation (ASEAN) menunjukkan

adanya peningkatan persaingan secara ketat baik di antara negara-negara maju

maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Perkembangan ini

memunculkan sisi positif di mana potensi suatu kawasan dapat dioptimalkan.

Dibandingkan kerjasama multirateral, lebih banyak hubungan

internasional dilakukan secara bilateral. Jalur bilateral yang ditempuh melalui

2
bilateral trade agreement atau Free Trade Area (FTA) bilateral dianggap lebih

efektif dibandingkan jalur regionalisme bagi sebagian negara.

Jepang merupakan mitra penting Indonesia dalam menjalin hubungan

bilateral. Walau sejarah mencatat kisah suram penjajahan Jepang di Indonesia,

saat ini kedua negara telah membina hubungan persahabatan yang sangat erat

berlandaskan hubungan kerjasama dan pertukaran di berbagai bidang seperti

politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hubungan kedua negara mulai pulih dengan

ditandatanganinya perjanjian hubungan diplomatik antara Republik Indonesia

dengan Jepang oleh kedua menteri luar negeri, Aiichiro Fujiyama dan Suhandrio

pada 20 Januari 1958 di Jakarta.

Jepang selalu disebut Saudara Tua atau The Big Brothers of Asia, sehingga

secara politik dan ekonomi, Jepang bukan saja penopang ekonomi Asia, namun

juga pemberi dana bantuan bagi pembangunan kesejahteraan negara-negara

berkembang. Bagi Indonesia pasca-Perang Dunia II, dan ketika membangun

ekonominya, Jepang adalah penyandang dana terkemuka. Baik di Intern-

Govermental Group on Indonesia (IGGI) maupun di Consultant Group of

Indonesia (CGI) Jepang adalah mitra pendukung dana pembangunan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) RI. Selama 51 tahun

hubungan Indonesia-Jepang, dalam keadaan baik maupun kurang baik, Jepang

memberikan bantuan dalam berbagai bentuk. Jepang tetap memberikan bantuan

dana dan teknologi demi terwujudnya kemajuan sosial-ekonomi Indonesia.

Jepang berperan penting bagi perdagangan Indonesia. Bagi Indonesia, Jepang

merupakan negara mitra dagang terbesar dalam hal ekspor-impor. Hubungan

perdagangan antara Indonesia dan Jepang didasarkan pada Treaty of Amity and

3
Commerce (Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan) yang ditandatangani di

Tokyo pada tanggal 1 Juli 1961.

Tabel 1. Perdagangan Luar Negeri Indonesia dengan Mitra Dagang Utama Tahun

2007-2008 (Juta Dollar AS)

Perdagangan Luar
Negara 2007 20081) Negeri
Ekspor Impor Ekspor Impor 2007 2008
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

ASIA
1.Jepang 23632,8 6526,7 27743,9 15128,0 30159,5 42871,9
2. Singapura 10501,5 9839,8 12862,0 21789,5 20341,3 34651,5
3. Cina 9675,5 8657,9 11636,5 15247,2 18233,4 26883,7
4. Korea Selatan 7582,7 3196,7 9116,8 6920,1 10779,4 16036,9
5.Malaysia 5096,1 6411,9 6432,6 8922,3 11508,0 15354,9
6. India 4943,9 1609,6 7163,3 2901,9 6553,5 10065,2
7.Thailand 3054,3 4287,1 3661,3 6334,3 7341,4 9995,6

AUSTRALIA DAN
OCEANIA
1. Australia 3394,6 3004,0 4111,0 3997,5 6398,6 8108,5
2. Selandia Baru 362,2 503,5 542,3 706,7 865,7 1249,0

AMERIKA
1. Amerika Serikat 11614,2 4787,2 13036,9 7880,1 16401,4 20917,0
2. Kanada 550,6 1055,6 645,5 1871,5 1606,2 2517,0

EROPA
1. Jerman 2316,0 1982,0 2465,2 3068,8 4298,0 5534,0
2. Perancis 802,9 1443,7 938,5 1689,7 2246,6 2628,2
3. Italia 1380,0 667,5 1900,7 999,3 2047,5 2900,0
4. Inggris 1454,2 654,0 1546,9 1067,6 2108,2 2614,5
5. Belanda 2749,5 504,0 3926,4 602,7 3253,5 4529,1
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Catatan: 1)Termasuk kawasan Berikat

4
Dalam hubungan perdagangan internasional, sejak empat dasawarsa lalu

hingga saat ini, Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. Dari

tabel terlihat bahwa Jepang menjadi primadona eksportir Indonesia untuk menjual

hasil produksinya. Seperti halnya ekspor, Jepang pun termasuk negara asal impor

Indonesia utama.

Pada tahun 2008 saja, total perdagangan luar negeri Indonesia dari Jepang

mencapai 42,87 miliar Dollar AS dengan nilai ekspor Indonesia ke Jepang

mencapai 27,74 miliar Dollar AS dan impor Indonesia dari Jepang sebesar 15,13

miliar Dollar AS. Jadi pada tahun 2008, Indonesia mengalami surplus

perdagangan dari Jepang sebesar 12,61 miliar Dollar AS.

Dalam bidang investasi, Penanaman Modal Asing (PMA) dari Jepang ke

Indonesia yang menurun sehubungan dengan stagflasi yang dialami perekonomian

Indonesia akibat krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, kini

belumlah pulih sepenuhnya. Namun Jepang tetap menempati kedudukan penting

di antara negara-negara yang berinvestasi di Indonesia. Dalam jumlah PMA di

Indonesia dari tahun 1990 hingga 2009, Jepang menduduki tempat pertama

dengan angka 18,05 persen dalam kesuluruhannya. Pada tahun 2008, Badan

Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat terdapat kurang lebih seribu

perusahaan Jepang beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut

memperkerjakan lebih dari 33 ribu pekerja Indonesia yang menjadikan Jepang

sebagai negara penyedia lapangan kerja nomor satu di Indonesia.

Kerjasama perjanjian bilateral kedua negara ini telah membuat sejarah

penting, yaitu dengan ditandatanganinya kemitraan ekonomi antara Indonesia dan

Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJ-EPA) pada

5
Agustus 2007. IJ-EPA yang dirintis sejak 2004 telah menempatkan Indonesia

sejajar dengan negara pesaing lainnya di pasar Jepang. Kerjasama kemitraan

ekonomi ini disahkan melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2008 tanggal 19

Mei 2008. Kemudian diikuti Exchange Diplomatic Notes IJ-EPA pada 1 Juni

2008.

EPA merupakan era baru bagi Indonesia dalam menjalin kerja sama

ekonomi bilateral. Bagi sebagian kalangan mungkin perjanjian ini dinilai terlalu

jauh. Namun, jika becermin pada pengalaman negara tetangga yang telah lebih

dulu melaksanakan EPA dengan Jepang (Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina,

dan Brunei Darussalam), Indonesia dapat belajar dari mereka, termasuk

bagaimana meredam dampak negatif yang tak dikehendaki. Hasil nyata yang

positif telah dinikmati negara-negara tetangga (Basri: 2007).

Implementasi IJ-EPA dimulai secara resmi pada 1 Juli 2008. Implementasi

ini merupakan momen bersejarah setelah 50 tahun hubungan diplomatik

Indonesia-Jepang dan akan menjadi landasan utama untuk memasuki era baru

dalam hubungan bilateral Indonesia-Jepang yang komprehensif di bidang

ekonomi.

Perjanjian IJ-EPA mencakup ruang lingkup yang luas dengan tujuan

mempererat kemitraan ekonomi di antara kedua negara, diantaranya melalui

peningkatan hubungan perdagangan dan investasi. Perjanjian ini melibatkan

berbagai sektor antara lain perdagangan barang dan jasa, investasi, movement of

natural persons termasuk tentang Hak Kekayaan Intelektual.

Potensi keuntungan dari kerjasama IJ-EPA adalah adanya pembebasan bea

masuk (BM) bagi Indonesia dan Jepang. Secara bertahap sekitar 93 persen pos

6
tarif Jepang untuk Indonesia akan diturunkan. Sedangkan untuk produk Indonesia,

90 persen pos tarif BM produk RI ke Jepang akan diturunkan.

Kerjasama ini juga diharapkan dapat meningkatkan investasi dari Jepang

dan sekaligus memperkuat upaya perbaikan kapasitas sumber daya manusia

Indonesia. Pencapaian tersebut dimungkinkan melalui program bantuan Jepang,

seperti bantuan teknis keterampilan dan teknologi di Indonesia.

Olek karena itu, bagi Indonesia, Jepang adalah mitra dagang dan salah satu

negara utama sumber investasi asing langsung.

1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah

Hubungan antara kerjasama ekonomi dan pertumbuhan ekonomi sudah

menjadi perhatian berbagai kalangan sejak beberapa dasawarsa terakhir.

Perdagangan internasional khususnya ekspor diyakini merupakan lokomotif

penggerak dalam pertumbuhan ekonomi termasuk Indonesia yang menganut

sistem ekonomi terbuka dalam perekonomiannya dimana lalu lintas ekonomi

internasional mengambil peranan penting dalam perekonomian Indonesia.

(Anugrahita: 2004).

Seperti salah satu misi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional (RPJPN) 2005-2025, yakni menuju bangsa yang berdaya saing. Untuk

itu, berkembangnya bidang perdagangan dan investasi secara optimal merupakan

kebutuhan guna meningkatkan daya saing bangsa.

Meskipun Jepang merupakan negara mitra utama Indonesia, hubungan

bilateral antara Indonesia dengan Jepang mengalami pasang surut sesuai dengan

perkembangan ekonomi dan politik dunia. Akibat krisis finansial tahun 1997,

7
ekspor Indonesia ke Jepang ataupun sebaliknya mengalami penurunan. Baru pada

tahun 2000 ekspor Indonesia ke Jepang mulai melewati nilai ekspor yang telah

dicapai tahun 1996. Situasi serupa juga dirasakan pada tahun 2009, nilai ekspor

Indonesia ke Jepang kembali mengalami penurunan akibat pengaruh krisis global.

Situasi yang mirip juga dapat ditemukan dalam investasi. Kecenderungan

pengaruh dampak krisis finansial tahun 1997 juga sangat terasa. Berdasarkan data

yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jika tahun 1996

Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang ke Indonesia tercatat 1,33 miliar Dollar

AS, pada tahun 2009 hanya mencapai angka sekitar 678,94 juta Dollar AS.

Dengan PMA, banyak hal positif yang didapat bagi perekonomian negara

bersangkutan seperti pendapatan atas pajak bagi pemerintah, penyediaan lapangan

kerja, serta transfer teknologi dan ilmu pengetahuan. Banyak bukti empiris di

beberapa negara seperti China, Malaysia, dan Korea Selatan yang menunjukkan

bahwa kehadiran PMA membawa banyak hal positif terhadap perekonomian

negara tuan rumah.

Pengesahan persetujuan kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang merupakan

dasar bagi kemitraan strategis antara Jepang dan Indonesia. Ini menjadi era baru

dalam membangun hubungan Indonesia dan Jepang. Diberlakukannya IJ-EPA

diharapkan dapat meningkatkan nilai perdagangan dan investasi Jepang untuk

Indonesia.

Oleh karena itu, pembahasan penelitian ini dibatasi hanya pada hubungan

bilateral ekonomi kedua negara, yaitu dalam bidang perdagangan (ekspor dan

impor) serta investasi (PMA). Hubungan bilateral dalam bentuk lain seperti

pendidikan, kebudayaan, ataupun politik tidak dibahas dalam skripsi ini.

8
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan hubungan ekonomi Indonesia-Jepang, dalam hal

ini perdagangan Indonesia Jepang serta nilai realisasi PMA Jepang untuk

Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor Indonesia

dari Jepang, serta nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia?

3. Bagaimana respon pertumbuhan ekonomi Indonesia apabila terjadi perubahan

(shock) pada nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor Indonesia dari

Jepang, dan nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memberikan gambaran umum mengenai perkembangan hubungan ekonomi

Indonesia-Jepang, dalam hal ini nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor

Indonesia dari Jepang, serta nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor

Indonesia dari Jepang, serta nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Menganalisis respon pertumbuhan ekonomi Indonesia apabila terjadi

perubahan (shock) pada nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor

Indonesia dari Jepang, dan nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia.

9
1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Sebagai bahan rujukan atau bahan perbandingan terhadap penelitian sebelum

ataupun penelitian selanjutnya.

2. Memberikan informasi tentang perkembangan hubungan internasional

Indonesia, khususnya hubungan bilateral antara Indonesia dengan Jepang.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang secara garis besar dirinci

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, identifikasi dan

batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta

sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisi tinjauan pustaka, landasan teori, peubah operasional,

kerangka pikir, serta hipotesis penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini menjelaskan sumber data dan metode analisis yang

digunakan dalam penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan uraian analisis dan pembahasan hasil

penelitian sesuai dengan tujuan dan hipotesis penelitian.

10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi intisari dan implikasi hasil penelitian serta saran-

saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

11
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pertumbuhan Ekonomi

Istilah pertumbuhan ekonomi menerangkan atau mengukur prestasi dari

perkembangan suatu ekonomi. Menurut Sukirno (2004), pertumbuhan ekonomi

dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang

menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah.

Boediono (1999) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai proses kenaikan

output perkapita dalam jangka panjang. Mengacu pada pengertian tersebut, maka

terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu

adanya proses pertumbuhan, output per kapita, dan jangka waktu yang panjang.

Dari kegiatan perekonomian yang sebenarnya, pertumbuhan ekonomi

berarti perkembangan fiskal produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu

negara, seperti pertambahan dan jumlah produksi barang produksi, perkembangan

infrastruktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan produksi sektor jasa, dan

pertambahan produksi barang modal. Tetapi dengan menggunakan berbagai jenis

data produksi, sangat sulit untuk memberi gambaran tentang pertumbuhan

ekonomi yang dicapai. Karena itu untuk memberikan suatu gambaran kasar

mengenai pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara, ukuran yang selalu

digunakan adalah tingkat pertumbuhan pendapatan nasional riil yang dicapai,

yaitu tingkat pertumbuhan PDB riil (PDB atas dasar harga konstan).

12
Produk Domestik Bruto (PDB)

PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh

seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai

barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas

dasar berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung

menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar

harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung

menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB

atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur

ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan

ekonomi dari tahun ke tahun. Menurut Sudanti, Ikhsan, dan Widyanti (2000),

tingkat pertumbuhan PDB dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk

mengukur pertumbuhan ekonomi (Wibowo, 2004). Beberapa alasannya yaitu:

1. PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas

produksi di dalam perekonomian. Hal ini berarti peningkatan PDB juga

mencerminkan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam

aktivitas produksi tersebut.

2. PDB dihitung atas dasar konsep aliran (flow concept), artinya perhitungan

PDB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu periode

tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang dihasilkan pada

periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep aliran guna menghitung PDB yakni

untuk membandingkan jumlah nilai tambah yang dihasilkan pada tahun ini

dengan tahun sebelumnya.

13
3. Batas wilayah perhitungan PDB adalah negara (wilayah domestik). Hal ini

memungkinkan kita untuk mengukur sejauh mana kebijakan-kebijakan

ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu mendorong aktivitas

perekonomian domestik.

Data PDB yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan

ekonomi adalah data PDB atas dasar harga konstan. Dengan menggunakan data

PDB atas dasar harga konstan, maka pertumbuhan PDB hanya mencerminkan

pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan perekonomian dalam periode tertentu

dengan referensi tahun tertentu. Penghitungan PDB dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik.

Pendekatan Penghitungan PDB

Penghitungan nilai PDB secara teori dilakukan dengan tiga macam

pendekatan yakni pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Namun,

Badan Pusat Statistik hanya melakukan penghitungan PDB berdasarkan

pendekatan produksi dan pengeluaran.

1. Pendekatan Produksi

Berdasarkan pendekatan produksi, PDB adalah jumlah nilai produk akhir

(barang dan jasa) yang dihasilkan berbagai unit produksi di wilayah suatu negara

dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Produk akhir sering pula

disebut sebagai nilai tambah, rumus penghitungannya adalah sebagai berikut:

Nilai tambah = Nilai produksi – Biaya antara

14
dimana nilai produksi adalah jumlah produk dikalikan dengan rata-rata harga

produk tersebut. Di samping itu, biaya antara adalah jumlah seluruh biaya

untuk barang-barang tidak tahan lama dan jasa yang digunakan/habis dalam

proses produksi.

Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dokelompokkan menjadi

sembilan lapangan usaha (sektor), yaitu:

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan,

2. Pertambangan dan Penggalian,

3. Industri Pengolahan,

4. Listrik, Gas, dan Air Bersih,

5. Bangunan,

6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran,

7. Pengangkutan dan Komunikasi,

8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan,

9. Jasa-Jasa temasuk jasa pelayanan pemerintah.

2. Pendekatan Pendapatan

Dengan pendekatan ini, definisi PDB adalah jumlah balas jasa yang

diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di

suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa yang

dimaksud meliputi upah dan gaji (balasa jasa tenaga kerja), sewa tanah, bunga

modal, dan keuntungan (balasa jasa kewirausahaan). Semuanya dihitung sebelum

dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini, PDB juga

mencakup penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto.

15
3. Pendekatan Pengeluaran

Menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah seluruh komponen

permintaan akhir yang meliputi:

1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang nirlaba,

2. Pengeluaran konsumsi pemerintah,

3. Pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok,

4. Ekspor neto (ekspor dikurangi impor), dalam kurun waktu tertentu.

Dengan pendekatan ini, PDB dapat diartikan sebagai jumlah nilai produk

yang digunakan oleh rumah tangga dan pemerintah untuk memenuhi

konsumsinya, serta oleh pengusaha untuk berinvestasi. Dengan perkataan lain,

penghitungan PDB menurut pendekatan pengeluaran menggambarkan bagaimana

penggunaan barang dan jasa yang diproduksi oleh berbagai golongan dalam

masyarakat.

Secara konsep tiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang

sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir

yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-

faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB atas

dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.

Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori Klasik

Menurut para ahli ekonomi klasik terdapat empat faktor yang

mempengaruhi perumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok

16
barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, serta tingkat teknologi yang

digunakan. Meskipun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada

banyak faktor, ahli-ahli ekonomi klasik terutama menitikberatkan perhatiannya

pada pengaruh pertambahan penduduk. Dalam teori pertumbuhan mereka,

dimisalkan luas tanah dan kekayaan alam adalah tetap jumlahnya dan tingkat

teknologi tidak mengalami perubahan. Berdasarkan kepada pemisalan ini

selanjutnya dianalisis bagaimana pengaruh pertambahan penduduk kepada tingkat

produksi nasional dan pendapatan.

Menurut pandangan ahli ekonomi klasik hukum hasil tambah yang

semakin berkurang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ini berarti

pertumbuhan ekonomi tidak akan terus menerus berlangsung. Pada permulaannya,

apabila penduduk sedikit dan kekayaan alam relatif berlebihan, tingkat

pengembalian modal dari investasi yang dibuat adalah tinggi. Maka para

pengusaha akan memperoleh keuntungan yang besar. Ini akan menimbulkan

investasi baru dan pertumbuhan terwujud. Keadaan seperti itu tidak akan terus

menerus berlangsung. Apabila penduduk sudah terlalu banyak, pertambahannya

akan menurunkan tingkat kegiatan ekonomi karena produktifitas marginal

penduduk telah menjadi negatif. Maka kemakmuran masyarakat menurun

kembali. Perekonomian akan mencapai tingkat perkembangan yang sangat

rendah. Apabila keadaan ini dicapai, ekonomi dikatakan telah mencapai keadaan

tidak berkembang (stationary state). Pada keadaan ini pendapatan pekerja hanya

mencapai tingkat cukup hidup (subsistence). Menurut pandangan ahli-ahli

ekonomi klasik, setiap masyarakat tidak akan mampu menghalangi terjadinya

17
keadaan tidak berkembang tersebut, tetapi hanya mampu mengundurkan keadaan

tersebut.

Teori Schumpeter

Joseph Schumpeter hidup di zaman modern (1883-1950). Berbeda dengan

para ekonom klasik, Schumpeter optimis bahwa dalam jangka panjang tingkat

hidup orang banyak bisa ditingkatkan terus sesuai dengan kemajuan teknologi

(dalam arti luas) yang bisa dicapai masyarakat. Dan sejalan dengan para ekonom

modern, Schumpeter tidak telalu menekankan pada aspek pertumbuhan penduduk

maupun aspek keterbatasan sumber alam dalam proses ekonomi. Bagi

Schumpeter, masalah penduduk tidak dianggap sebagai aspek sentral dari proses

pertumbuhan ekonomi.

Teori Schumpeter menekankan pentingnya pengusaha dalam menciptakan

pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ini ditunjukkan bahwa para pengusaha

merupakan golongan yang akan terus menerus membuat pembaharuan atau

inovasi dalam kegiatan ekonomi. Inovasi tersebut meliputi: memperkenalkan

barang-barang baru, meningkatkan efisiensi dalam memproduksi suatu barang,

memperluas pasar, mengembangkan sumber bahan mentah yang baru dan

mengadakan perubahan-perubahan dalam organisasi perusahaan dengan tujuan

meningkatkan efisiensinya.

Dalam mengemukakan teori pertumbuhannya, Schumpeter memulai

analisisnya dengan memisalkan bahwa perekonomian sedang dalam keadaan tidak

berkembang. Tetapi keadaan ini tidak akan berlangsung lama. Pada waktu

keadaan tersebut berlaku, segolongan pengusaha menyadari tantang berbagai

18
kemungkinan untuk mengadakan inovasi yang menguntungkan. Didorong oleh

keinginan untuk memperoleh keuntungan dari pembaharuan tersebut, mereka

akan meminjam modal dan akan melakukan penanaman modal. Investasi yang

baru ini akan meninggikan tingkat ekonomi kegiatan negara. Maka pendapatan

akan bertambah dan tingkat konsumsi akan bertambah tinggi. Kenaikan tersebut

akan mendorong perusahan-perusahaan lain untuk menghasilkan lebih banyak

barang dan melakukan penanaman modal baru.

Menurut Schumpeter, investasi boleh dibedakan menjadi dua golongan,

penanaman modal autonomi dan penanaman modal terpengaruh. Penanaman

modal autonomi adalah penanaman modal yang ditimbulkan oleh kegiatan

ekonomi yang timbul sebagai akibat kegiatan inovasi.

Menurut Schumpeter, makin tinggi tingkat kemajuan suatu perekonomian,

makin terbatas kemungkinan untuk mengadakan inovasi sehingga pertumbuhan

ekonomi akan semakin lambat jalannya. Pada akhirnya akan tercapai tingkat

“keadaan tidak berkembang” atau stationary state. Akan tetapi berbeda dengan

pandangan klasik, dalam pandangan Schumpeter tingkat keadaan tidak

berkembang itu dicapai pada tingkat pembangunan yang tinggi.

Teori Harrod-Domar

Dalam menganalisis pertumbuhan ekonomi, teori Harrod-Domar bertujuan

untuk menerangkan syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat

mencapai pertumbuhan yang teguh dalam jangka panjang. Dengan menggunakan

pemisalan-pemisalan: (1) barang modal telah mencapai kapasitas penuh, (2)

19
tabungan adalah proporsional dengan pendapatan nasional, (3) rasio modal-

produksi tetap, dan (4) perekonomian terdiri dari dua sektor.

Teori ini menjelaskan hubungan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat

investasi. Dasar pemikirannya adalah bahwa pada tingkat pendapatan nasional

tertentu yang cukup untuk menyerap seluruh tenaga kerja dengan tingkat upah di

satu periode tertentu, maka pada periode berikutnya tidak akan mencukupi lagi

untuk menyerap seluruh tenaga kerja yang ada. Hal ini terjadi karena adanya

tambahan kapasitas produksi pada periode awal dan tersedia pada periode

berikutnya. Karena itu diperlukan tambahan dana yang untuk mencapai tingkat

penyerapan tenaga kerja penuh pada periode berikutnya dengan menghitung

hubungan antara dana modal (capital stock =K) dan hasil produksinya (output =

Y) atau dengan capital output ratio (COR).

Teori ini menyimpulkan bahwa adanya hubungan ekonomi langsung

antara besarnya stok modal (K) dengan output (Y), yang diformulasikan dalam

rasio modal-output (capital/output ratio, COR). K di sini adalah nilai dari seluruh

barang modal yang ada berupa tanah, bangunan, peralatan dan bahan. Sedangkan

Y dapat diukur dengan Pendapatan Nasional Kotor atau dengan Produk Nasional

Kotor. Semakin tinggi peningkatan stok modal, semakin tinggi pula output yang

dihasilkan. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa sebagai akibat investasi yang telah

dilakukan, pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal dalam

perekonomian akan bertambah. Agar seluruh barang modal yang tersedia

digunakan sepenuhnya, permintaan agregat haruslah bertambah sebanyak

kenaikan kapasitas barang-barang modal yang terwujud sebagai akibat dari

investasi di masa lalu. Dari sini terlihat bahwa perlunya penanaman modal dalam

20
menciptakan pertumbuhan ekonomi atau untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap

cadangan/stok modal (capital stock). Dalam model ini, pertumbuhan

pembangunan didasarkan atas dua proposisi sebagai berikut:

1. Ada hubungan ekonomi yang langsung antar besarnya stok modal (K) dengan

jumlah produksi nasional (Y) yang dinyatakan dalam persamaan:

(1)

di mana (2)

yang disebut ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Persamaan ini

menunjukan bahwa pertambahan stok modal (ΔK) akan menimbulkan

pertambahan output (ΔY) dengan efektifitas faktor modal direfleksikan oleh

parameter v. Artinya jika menginginkan peningkatan output sebesar 2 unit

dengan parameter v = 3 maka investasi yang diperlukan sebesar 6.

2. Akumulasi modal tergantung kepada pendapatan atau output yang

diformulasikan dalam persamaan sebagai berikut :

S=sY (3)

dimana s = propensity tabungan. Faktor modal diakumulasikan melalui

tabungan domestik yang merupakan porsi tertentu (s) dari output (Y), artinya

investasi semata-mata dibiayai oleh tabungan domestik sehingga:

S = I = ΔK (4)

V ΔY = sY (5)

Tingkat pertumbuhan pendapatan atau output nasional menjadi,

(6)

21
Persamaan (6) di atas secara jelas menyatakan bahwa pertumbuhan GNP

(ΔY/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) serta

rasio modal output nasional (k). Secara lebih spesifik, persamaan itu menyatakan

bahwa tanpa adanya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan

nasional akan secara langsung atau secara positif berbanding lurus dengan rasio

tabungan (semakin banyak bagian GNP yang ditabung dan diinvestasikan, maka

akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP yang dihasilkannya) dan secara negatif

berbanding terbalik terhadap rasio modal-output perekonomian, semakin besar

rasio modal-output nasional, maka tingkat pertumbuhan GNP akan semakin

rendah (Todaro, 2004).

Teori Pertumbuhan Neo-Klasik

Menurut teori ini, yang dikembangkan oleh Abramovits dan Solow,

pertumbuhan ekonomi tergantung kepada perkembangan faktor-faktor produksi.

Teori pertumbuhan ini dikembangkan dengan persamaan sebagai berikut:

ΔY = f(ΔK, ΔL, ΔT) (7)

di mana:

ΔY : tingkat pertumbuhan ekonomi

ΔK : tingkat pertumbuhan modal

ΔL : tingkat pertumbuhan tenaga kerja

ΔT : tingkat perkembangan teknologi.

Analisis Solow selanjutnya membentuk formula matematis untuk

persamaan (7) dan menunjukkan kesimpulan berikut: faktor terpenting yang

menciptakan pertumbuhan ekonomi bukanlah pertambahan modal dan

22
pertambahan tenaga kerja, melainkan kemajuan teknologi dan pertambahan

kemahiran tenaga kerja.

Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang

dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan.

Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara

saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu

negara pun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain.

Para ahli ekonomi telah meyakini bahwa perdagangan luar negeri akan

memberikan sumbangan yang positif terhadap perekonomian suatu negara.

Kemakmuran yang lebih baik dapat diperoleh dari adanya perdagangan

internasional. Ahli ekonomi David Ricardo mengemukakan tentang keuntungan

yang dapat diperoleh dari melakukan spesialisasi dan perdagangan luar negeri.

Tidak mungkin suatu negara dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri

tanpa menggunakan bantuan dari negara lain. Berikut alasan mengapa suatu

negara melakukan perdagangan luar negeri:

1. Untuk memperoleh barang yang tidak diproduksi di dalam negeri. Tidak

semua negara mempunyai semua barang untuk memenuhi kebutuhan. Ada

beberapa produk pertanian tertentu yang tidak dapat tumbuh di suatu negara,

atau sumberdaya lain yang tidak dimiliki oleh negara tertentu, misalnya

minyak.

2. Mengimpor teknologi yang lebih modern dari negara lain. Bagi negara yang

sedang berkembang, jarang yang bisa meyisihkan biaya untuk melakukaan

23
penelitian untuk dapat memperoleh teknologi yang lebih efisien. Dengan

adanya perdagangan internasional negara berkembang dapat melakukan

impor teknologi dari negara maju yang mempunyai teknologi lebih canggih.

3. Memperluas pasar produk dalam negeri dengan menjadikan masyarakat

negara lain sebagai orientasi pasarnya. Bagi negara yang dapat memproduksi

barang dengan jumlah banyak melebihi permintaan dalam negeri maka pasar

luar negeri merupakan pilihan untuk memasarkan hasil produksinya.

4. Memperoleh keuntungan spesialisasi. Sebab utama dari kegiatan perdagangan

luar negeri adalah untuk memperoleh kuntungan dari spesialisasi yang

dikuasai oleh suatu negara. Walaupun ada banyak negara yang bisa

memproduksi barang yang sama, namun belum tentu mereka mengunakan

jumlah biaya yang sama. Negara yang memproduksi suatu barang dengan

biaya yang lebih mahal dari harga barang tersebut yang ditawarkan oleh

negara lain, akan lebih memilih mengimpor dari negara yang menawarkan

harga lebih murah. Dan negara tersebut akan lebih konsentrasi untuk

memproduksi barang yang lebih menguntungkan untuk dijual ke luar negeri

(Sukirno, 2004).

Perdagangan internasional mempunyai peranan sangat penting yaitu

sebagai motor penggerak bagi pembangunan ekonomi. Perdagangan internasional

juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Manfaat perdagangan internasional

terhadap pertumbuhan ekonomi akan diawali dengan terjadinya peningkatan

cadangan devisa, di mana peningkatan devisa secara langsung akan

mempengaruhi pertumbuhan output di dalam negeri. Pertumbuhan output ini

terjadi karena peningkatan produktivitas dari faktor-faktor produksi yang

24
digunakan seperti tenaga kerja dan barang modal atau peningkatan pemanfaatan

skala ekonomi.

Selain itu, masih cukup banyak kontribusi positif yang diberikan

perdagangan internasional bagi pembangunan ekonomi di negara-negara Dunia

Ketiga. Para ekonom seperti Hiberler telah mengemukakan keuntungan-

keuntungan positif yang diberikan oleh perdagangan internasional bagi

pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dewasa ini. Adapun

keuntungan-keuntungan itu antara lain adalah:

1. Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya

domestik di suatu negara berkembang.

2. Melalui peningkatan ukuran pasar, perdagangan internasional juga dapat

menciptakan pembagian kerja dan skala ekonomis yang lebih tinggi.

3. Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasan-

gagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial dan

bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis. Tanpa

adanya perdagangan internasional, maka para pengusaha di suatu negara akan

terus berkutat pada cara-cara lama yang kurang efisien.

4. Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya

arus modal internasional dari negara-maju ke negara berkembang. Jika

hubungan dagang telah terjalin dengan baik, maka perusahaan-perusahaan di

negara-negara maju akan terdorong untuk melakukan investasi langsung

berupa pembangunan pabrik-pabrik atau sarana produksi di negara

berkembang. Jika itu terjadi mengalirlah modal dan teknologi serta

25
ketrampilan produksi yang lebih baik dari negara maju itu ke negara

berkembang.

5. Adanya produk baru dari negara berkembang memberikan inspirasi dan

membuka lahan bisnis baru yang menguntungkan bagi para produsen

setempat.

6. Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk

mencegah monopoli karena perdagangan pada dasarnya merangsang

peningkatan efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi

persaingan dari negara lain (Salvatore, 1997).

1. Ekspor

Boediono (1992) mendefinisikan ekspor sebagai kegiatan yang

menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi suatu negara, tetapi untuk

dikonsumsikan di luar batas negara tersebut. Kegiatan produksi itu berbeda untuk

masing-masing negara, tergantung dari faktor-faktor produksi yang dimiliki.

Banyak sedikitnya sumber dana yang tersedia juga turut mempengaruhi

perkembangan ekspor dari suatu negara.

Kotler dalam Supranto (1994) membagi ekspor menjadi dua, yaitu ekspor

tidak langsung dan ekspor langsung. Ekspor tidak langsung artinya perusahaan

tidak menangani sendiri ekspornya, misalnya menyewa perantara pemasar

internasional. Sebaliknya, ekspor langsung artinya perusahaan menangani sendiri

ekspornya karena sudah cukup besar, berani menanggung resiko, dan keuntungan

yang diterima bisa lebih besar.

26
Perkembangan ekspor suatu negara ditentukan oleh komposisi tenaga kerja

yang digunakan, yaitu tenaga kerja terdidik (skilled workers) dan tenaga kerja

tidak terdidik (unskilled workers). Perbedaan teknologi juga berperan penting

dalam perkembangan tersebut, khususnya ekspor nonmigas. Hal itu juga

merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan internasional.

2. Impor

Impor dapat diartikan mendatangkan barang dan jasa produk maupun

modal dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Suatu negara

melakukan impor karena mengalami defisiensi (kekurangan dan kegagalan) dalam

menyelenggarakan produksi barang dan jasa bagi konsumsi penduduknya.

Ada dua macam defisiensi yang terjadi, yaitu defisiensi kuantitas dan

defisiensi kualitas. Melakukan impor untuk defisiensi kuantitas adalah impor yang

yang dilakukan karena kurangnya kuantitas barang yang biasanya disebabkan oleh

faktor-faktor alamiah. Sedangkan impor yang dilakukan karena defisiensi kualitas

adalah impor yang dilakukan karena kurangnya kualitas barang yang dihasilkan.

Dalam hal ini penyebab utamanya adalah faktor selera. Di samping faktor selera,

defisiensi kualitas juga disebabkan oleh faktor teknologi.

Sukirno (1994) menyatakan bahwa besarnya impor yang dilakukan oleh

suatu negara antara lain ditentukan oleh kemampuan barang yang dihasilkan di

negara itu untuk bersaing dengan barang yang dihasilkan oleh negara lain.

Apabila barang dari negara lain mutunya lebih baik atau harga-harganya lebih

murah daripada barang-barang yang sama yang dihasilkan di dalam negeri, maka

akan terdapat kecenderungan bahwa negara tersebut akan mengimpor lebih

27
banyak barang dari luar negeri. Namun, kondisi ini ditentukan oleh kesanggupan

penduduk suatu negara dalam membayar impor.

Teori Perdagangan Internasional

Teori Keunggulan Absolut

Adam Smith mengemukakan bahwa perdagangan antara dua negara

didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara

lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) daripada negara lain dalam

memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh

keuntungan dengan cara melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi

yang memilki keunggulan absolut, dan menukarnya dengan komoditi yang

memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara

dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang

diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam ouput ini akan mengukur

keuntungan spesialisasi produk untuk kedua negara yang melakukan perdagangan.

Teori Keunggulan Komparatif

Menurut teori keunggulan komparatif David Ricardo, meskipun sebuah

negara kurang efisien dibandingkan negara lain dalam memproduksi suatu

komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang

menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi

dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian yang

absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan

28
mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini

memiliki kerugian komparatif).

Teori Keunggulan Hecksher-Ohlin (H-O)

Perdagangan internasional terutama digunakan oleh perbedaan faktor-

faktor produksi antar negara. Teori ini dihubungkan oleh dua orang ekonom dari

Swedia, Eli Hecksher dan Bertil Ohlin. Menurut teori ini perdagangan antar

negara terjadi karena adanya perbedaan dalam ongkos alternatif (opportunity

costs). Perbedaan tersebut terjadi karena ada perbedaan jumlah faktor produksi

yang dimiliki negara-negara yang terlibat dalam perdagangan (Tambunan, 2000).

Perbedaan antara teori H-O dengan teori keunggulan absolut atau teori

keunggulan komparatif adalah dalam teori ini barang-barang yang

diperdagangkan antar negara tidak didasarkan atas keuntungan baik alamiah

maupun yang dikembangkan, akan tetapi atas dasar proporsi serta intensitas

faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang

tersebut. Jadi teori H-O menyatakan bahwa suatu negara akan atau sebaiknya

mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif

banyak. Hal ini berarti harga relatif faktor produksi tersebut murah sehingga

ongkos produksinya relatif murah dan pada akhirnya harga barang-barang yang

dihasilkan relatif murah juga.

29
Penanaman Modal Asing (PMA)

Istilah penanaman modal (investasi) merupakan terjemahan dari bahasa

Inggris, yaitu investment. Menurut Komaruddin dalam Panjaitan (2003),

pengertian investasi dibagi menjadi tiga arti yaitu:

a. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan

lainnya.

b. Suatu tindakan membeli barang-barang modal.

c. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di masa

yang akan datang.

Sedangkan penanaman modal asing menurut Panjaitan (2003), dapat

diartikan sebagai suatu kegiatan penanaman modal yang di dalamnya terdapat

unsur asing (foreign element), di mana unsur asing ini dapat ditentukan oleh

adanya kewarganegaraan yang berbeda, asal modal, dan sebagainya.

Pengertian modal asing dalam UU No.1 tahun 1967 diatur dalam pasal 2

yang meliputi:

1. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan

devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk

pembiayaan perusahaan di Indonesia.

2. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang

asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah

Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa

Indonesia.

30
3. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang-undang ini

diperkenankan transfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di

Indonesia.

Penjelasan pasal 2 mengemukakan bahwa modal asing dalam undang-

undang ini tidak hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat

perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia,

penemuan-penemuan milik orang/badan asing yang digunakan dalam perusahaan

di Indonesia dan keuntungan yang boleh ditransfer ke luar negeri, tetapi

dipergunakan kembali di Indonesia.

Dalam Bab III Pasal 6 disebutkan bahwa bidang-bidang usaha yang

tertutup untuk penanaman modal asing secara penuh ialah bidang-bidang yang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:

a. Pelabuhan-pelabuhan;

b. Produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum;

c. Telekomunikasi;

d. Pelayaran;

e. Penerbangan;

f. Air minum;

g. Kereta api umum;

h. Pembangkit tenaga atom;

i. Mass media;

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang Pemilikan

Saham Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, PMA dapat dilakukan dalam

bentuk:

31
1. Patungan antara modal asing yang dimiliki warga negara Indonesia dan atau

badan hukum Indonesia; atau

2. Langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan atau

badan hukum asing.

Dilihat dari caranya menanamkan modal, Hamdy Hady (2000) membagi

investasi asing menjadi:

a. Penanaman modal asing secara langsung (Foreign Direct Investment/FDI),

yaitu investasi riil dalam bentuk pendirian perusahaan, pembangunan pabrik,

pembelian barang modal, tanah, bahan baku, dan persediaan di mana investor

terlibat langsung dalam manajemen perusahaan dan mengontrol penanaman

modal tersebut. Di dalam konteks internasional, bentuk investasi ini biasanya

dilakukan oleh perusahaan multinasional atau Multi National Corporation

(MNC).

b. Portofolio, yaitu arus modal internasional dalam bentuk investasi aset-aset

financial, seperti saham (stock), obligasi (bond), dan commercial papers

lainnya. Arus portofolio saat ini paling banyak dan cepat mengalir ke seluruh

penjuru dunia melalui pasar uang dan pasar modal di seluruh dunia

(Notohamijoyo, 2004).

Teori Penanaman Modal Asing

Menurut Soetarto (1995), pada mulanya bentuk arus modal asing yang

masuk ke Indonesia merupakan bentuk khas dari arus modal ke negara

berkembang, yakni berupa paket bantuan luar negeri. Begitu perekonomian mulai

menguat, negara-negara berkembang, terutama Asia Timur dan Asia Tenggara

32
menjadi tempat yang menguntungkan dan menarik bagi arus modal komersial dan

telah mendorong masuknya PMA.

Ada beberapa teori dari arus modal asing langsung yang menjelaskan

proses serta alasan masuknya arus modal asing langsung ke dalam sebuah negara,

antara lain:

1. The electic theory of international production

John H. Dunning mengajukan kerangka teori untuk menelaah terjadinya

arus PMA dari suatu negara ke negara lain yang dikenal dengan electic theory.

Hingga saat ini teori tersebut masih cukup relevan.

Menurut teori ini terdapat tiga hal pokok yang menyebabkan terjadi aliran

modal dari negara ke negara lain. Pertama, harus ada keunggulan kepemilikan

(ownership advantage) dari perusahaan yang akan menanamkan modalnya.

Keunggulan ini bersifat sangat spesifik untuk tiap perusahaan dan diperlukan

sebagai kompensasi menjadi perusahaan asing di negara lain. Keunggulan

kepemilikan ini dapat berupa monopoli atas suatu produk atau merek tertentu,

proses produksi yang lebih efisien, keahlian manajemen, dan pengetahuan yang

lebih mengenai pasar atau tehnik pemasaran.

Selain itu terdapat pula faktor eksternal (di negara asal modal) seperti

tingginya tingkat upah, energi yang semakin mahal, terbatasnya sumber daya

alam, ketatnya peraturan mengenai lingkungan di dalam negeri di mana semua hal

tersebut akan mendorong suatu perusahaan untuk beroperasi di negara lain.

Kedua, negara tuan rumah harus mempunyai keunggulan-keunggulan

lokasional (locational advantage) untuk menarik calon investor asing

menanamkan modalnya. Keunggulan ini akan menjadi daya tarik bagi calon

33
investor untuk mengeksploitasi potensi-potensi yang ada demi kepentingan

bisnisnya.

Keunggulan lokasional ini dapat berupa potensi pasar domestik yang

besar, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, tenaga kerja

yang murah, melimpahnya sumber daya alam, ketersediaaan infrastruktur, intensif

yang menarik, dan longgarnya peraturan mengenai pengendalian polusi.

Apabila kondisi pertama dipenuhi tetapi syarat kedua tidak dipenuhi, maka

perusahaan atau investor asing yang biasanya merupakan perusahaan

multinasional akan memilih untuk melakukan ekspor ke negara yang

bersangkutan sebagai cara untuk memanfaatkan keunggulan kepemilikannya

(ownership advantage).

Ketiga, meskipun syarat pertama dan kedua dipenuhi, harus ada suatu

keungulan internalisasi (internalization advantage) yang mendorong perusahaan

atau investor asing untuk melakukan investasi langsung dan tidak memilih cara

lain seperti melalui lisensi, pembelian saham (portofolio investment) atau

waralaba (franchising).

Peranan kunci yang dimainkan oleh keunggulan-keunggulan khusus

tertentu telah mendorong para ahli untuk mengalihkan pandangan mereka dari

model-model persaingan sederhana ke sudut pandang yang mengaitkan FDI

dengan salah satu dari kekuatan pasar khusus yang lain.

a. Pandangan Hymer

Stephen Hymer melihat peranan keunggulan-keunggulan khusus tertentu

sebagai suatu cara untuk mengawinkan telaah mengenai investasi luar negeri

langsung dengan model-model klasik tentang persaingan tidak sempurna di

34
pasar-pasar hasil produksi. Menurut Hymer seorang investor luar negeri

langsung adalah seorang monopolis, atau lebih sering disebut seorang

oligopolis di pasar-pasar produk dan menginvestasikan modalnya di

perusahaan-perusahaan luar negeri untuk mematikan persaingan dan

melindungi kekuatan pasarnya sendiri. Di samping itu investor tersebut

mempertahankan kepentingan-kepentingannya dengan mengendalikan

perusahaan-perusahaan yang sama di luar negeri. Selanjutnya Hymer

menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar seringkali berusaha

menanamkan modalnya di luar negeri kelihatannya hanya untuk mengambil

keuntungan marjinal. Namun sebenarnya perusahaan-perusahaan tersebut

memiliki tujuan tersembunyi untuk memukul para pesaing utama mereka di

pasar-pasar dalam negeri dan perusahaan-perusahaan lokal negara tuan

rumah. Pola investasi demikian diesbut sebagai pola investasi detensif.

b. Teori Apropriabilitas (kemampu-layakan)

Teori ini dikemukakan oleh Stephen P.Magee, menjelaskan bahwa

keunggulan khusus tertentu tampaknya paling menonjol untuk membuat

PMA terjadi. Keunggulan-keunggulan seperti itulah yang akan memberikan

perusahaan yang bersangkutan memonopoli pasar. Keunggulan-keunggulan

tersebut antara lain manajemen perusahaan yang handal, informasi yang luas

tentang pasar atau pembeli, hak paten yang dimiliki, resep untuk menarik

konsumen, dan trik-trik dagang. Keunggulan-keunggulan khusus tertentu itu

yang mendorong perusahaan PMA terlibat dalam investasi langsung di luar

negeri.

35
Teori-teori yang dikemukakan oleh Hymer maupun teori apropriabilitas

(kemampulayakan) nampaknya memperkuat electic theory yang dikemukakan

oleh Dunning.

2. Pull and Push Factor (Faktor Penarik dan Pendorong)

Thee Kian Wie menyebutkan bahwa faktor pendorong dan penarik yang

mempengaruhi aktivitas penanaman modal adalah:

a. Faktor Penarik (Pull Factor):

Kebijaksanaan pemerintah yang menguntungkan investor adalah faktor

penarik yang mempengaruhi gelombang penanaman modal asing ke

Indonesia. Terutama dalam bentuk deregulasi yang bertujuan untuk

memperbaiki iklim penanaman modal asing sehingga memainkan peranan

yang lebih besar lagi.

b. Faktor Pendorong (Push Factor)

1. Faktor-faktor terdekat

Faktor-faktor terdekat utama yang mendorong perusahaan dari suatu

negara untuk memindahkan tempat operasi mereka ke luar negeri adalah

meningkatnya biaya-biaya lahan dan upah tenaga kerja di negara asal

(home) yang membuat banyaknya kegiatan usaha mengalami penurunan

daya saing.

2. Kebijaksanaan pemerintah negara asal investor.

Kebijaksanaan pemerintah negara asal investor (home government

policies) juga memainkan peranan penting dalam mendorong para

investor menanamkan modalnya di luar negeri. Sikap positif pemerintah

36
negara asal investor terhadap penanaman modalnya di luar negeri akhir-

akhir ini dapat dipahami karena adanya surplus dalam neraca berjalan

dan akan lebih produktif jika diinvestasikan di luar negeri

(Soetarto:1995).

Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)

Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) adalah angka indeks yang

menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga perdagangan

besar/harga grosir dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu

negara/daerah. Harga perdagangan besar dari suatu komoditas adalah harga

transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/

pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu

komoditas. Komoditas tersebut merupakan produksi dalam negeri yang

dipasarkan di dalam negeri ataupun di ekspor dan komoditas yang diimpor.

1. Pedagang besar pertama ialah pedagang besar sesudah produsen/ penghasil.

2. Pasar pertama ialah tempat bertemunya antara pedagang besar pertama

dengan pedagang besar berikutnya (bukan konsumen), dengan kata lain yaitu

pasar sesudah pasar produsen.

3. Jumlah besar atau grosir artinya tidak atau bukan eceran.

Penghitungan IHPB dikelompokkan menjadi lima sektor, yaitu: pertanian,

pertambangan dan penggalian, industri, impor, dan ekspor. IHPB disajikan dalam

tiga macam pengelompokan, yaitu:

a. Menurut komponen peyediaan/ penawaran barang atau menurut sektor.

b. Menurut penggunaan barang.

37
c. Menurut kelompok barang dalam proses produksi.

Data harga perdagangan besar dikumpulkan dari 33 propinsi yang berasal

dari ibukota propinsi dan kota besar lainnya yang potensial. Metode sampling

yang digunakan secara purposif, dengan pertimbangan tidak adanya daftar

pedagang yang lengkap sebagai kerangka sampel dan kelanjutan kegiatan tertentu

belum dapat diandalkan, sehingga terkadang perlu penggantian responden secara

purposif. Pencacahan dilakukan dengan wawancara langsung ke pedagang besar/

produsen. Penghitungan IHPB menggunakan formula Laspeyres yang

dikembangkan yaitu:

(8)

Di mana:

= Indeks bulan n (bulan penelitian)

= Harga pada bulan ke-n (bulan penelitian)

= Harga pada bulan ke n-1 (bulan sebelumnya)

= Nilai timbangan bulan n-1 (bulan sebelumnya)

= Nilai timbangan tahun dasar

Penimbang yang digunakan adalah nilai barang yang dipasarkan untuk

setiap komoditi cakupan IHPB. IHPB dihitung secara nasional, sedangkan IHPB

propinsi ataupun per kota belum dihitung.

Deret waktu IHPB yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga

saat ini menggunakan tahun dasar 1971=100, 1975=100, 1983=100, 1993=100,

2000=100, dan 2005=100.

38
Kemitraan Indonesia-Jepang Dalam IJ-EPA

Strategi perdagangan regional (Free Trade Area/FTA) diterjemahkan

Jepang dalam bentuk kerjasama kemitraan ekonomi (Economic Partnership

Agreement/EPA). Pemerintah Jepang dalam cetak biru diplomatiknya tidak

memisahkan batasan mengenai kesepakatan perdagangan bebas (FTA) dan EPA.

Jepang mendefinisikan EPA sebagai bentuk dari FTA, namun dengan pengaturan

yang lebih komprehensif. FTA secara umum dipandang sebagai kesepakatan yang

ditujukan untuk mengeliminir hambatan-hambatan dalam perdagangan barang dan

jasa di antara negara dan kawasan yang menjadi anggotanya. Sementara itu,

dalam White Paper on International Trade yang dikeluarkan Ministry of

International Trade and Industry (MITI) pada tahun 2001, EPA digambarkan

sebagai kesepakatan dagang yang melampaui batas-batas eliminasi tarif yang

dicakup oleh FTA tradisional tetapi dengan jangkauan yang lebih luas melalui

peningkatan investasi, kompetisi, digitalisasi prosedur dagang, dan sebagainya

serta meningkatkan kerjasama di bidang lainnya (Setyana : 2009).

Kerjasama kemitraan ekonomi ini (Indonesia-Japan Economic

Partnership/IJ-EPA) disahkan melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2008

tanggal 19 Mei 2008. Kemudian diikuti Exchange Diplomatic Notes IJ-EPA pada

1 Juni 2008. Implementasi IJ-EPA dimulai secara resmi pada 1 Juli 2008.

Implementasi ini merupakan momen bersejarah setelah 50 tahun hubungan

diplomatik Indonesia-Jepang dan akan menjadi landasan utama untuk memasuki

era baru dalam hubungan bilateral Indonesia-Jepang yang komprehensif di bidang

ekonomi.

39
Indonesia-Japan Economic Partnership (IJ-EPA)

Tujuan

Peningkatan Perdagangan dan


Investasi Indonesia dan Jepang +
Pasar Regional

Platform Perjanjian Kerjasama Ekonomi yang Komprehensif

1. Liberalisai 2. Fasilitasi 3. Capacity


Perdagangan dan Building
Perdagangan dan
Investasi: Mekanisme
Investasi: kerjasama kerjasama untuk
standardisasi, Bea meningkatkan
Tiga pilar menghilangkan/
Cukai, pelabuhan daya saing
mengurangi dan jasa produksi
perdagangan Indonesia
hambatan
upaya bersama
perdagangan dan dalam
investasi (Bea memperbaiki
iklim investasi
masuk (BM), dan meningkatkan
perbaikan kepercayaan
investor Jepang
kepastian hukum)
Sumber: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia

Gambar 1. Ringkasan IJ-EPA

Manfaat yang dapat dipetik Indonesia dengan terjalinnya kerjasama ini

yaitu:

1. Peningkatan akses pasar barang.

Ekspor ke Jepang dapat ditingkatkan lebih dari 20 persen dari total ekspor

Indonesia.

40
2. Peningkatan akses pasar jasa.

Misalnya melalui potensi pasar Jepang bagi tenaga kerja terlatih di Indonesia.

3. Peningkatan investor Jepang di Indonesia.

Melalui IJ-EPA, minat investor Jepang ke Indonesia akan makin

ditingkatkan.

4. Meningkatkan daya saing.

Kerjasama capacity building mendorong tumbuhnya industri pendukung,

termasuk UKM, yang akan bermanfaat bagi perkembangan industri di

Indonesia.

5. Peningkatan daya beli masyarakat Indonesia.

Meningkatnya ekspor dan investasi, terbukanya lapanga kerja,

berkembangnya industri pendukung, dan pertumbuhan ekonomi akan

meningkatkan daya beli masyarakat.

Dalam bidang perdagangan, potensi keuntungan dari kerjasama IJ-EPA

adalah adanya pembebasan bea masuk (BM) bagi Indonesia dan Jepang. Sekitar

93 persen pos tarif Jepang ke Indonesia dan 90 persen pos tarif ekspor Indonesia

ke Jepang masuk ke dalam IJ-EPA.

Khusus investasi, Jepang tidak menuntut terlalu banyak dari Indonesia.

Jepang hanya meminta Indonesia memperbaiki iklim usaha dan mendorong

kepercayaan bisnis melalui kepastian hukum bagi investor yang menanamkan

modalnya di Tanah Air.

41
Tabel 2. Ringkasan Pos Tarif perdagangan Dalam IJ-EPA

Konsesi Jepang Konsesi Indonesia

(1) (2)
Sekitar 90% pos tarif (99% dari nilai Sekitar 93% pos tarif (92% dari nilai
ekspor Indonesia ke Jepang) masuk ke ekspor Jepang ke Indonesia) masuk ke
dalam IJ-EPA dalam IJ-EPA

Sekitar 80% dari pos tarif menjadi = 0 Sekitar 35% dari pos tarif menjadi = 0
pada saat berlakunya IJ-EPA (fast pada saat berlakunya IJ-EPA (fast
track) track)

Sekitar 10% dari pos tarif secara Sekitar 58% dari pos tarif secara
bertahap akan= 0% (3-15 tahun sejak bertahap akan= 0% (3-15 tahun sejak
berlakunya IJ-EPA) berlakunya IJ-EPA)

Sekitar 10% dari pos tarif tidak masuk Sekitar 7% dari pos tarif tidak masuk
dalam IJ-EPA (exclusion list) dalam IJ-EPA (exclusion list)
Sumber: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia

Dalam kerangka EPA, Jakarta dan Tokyo menyiapkan kontrak

pembangunan sejumlah proyek bernilai 10 miliar US Dollar. Dari nilai ini, sekitar

4 miliar Dollar AS merupakan proyek energi. Proyek yang akan ditawarkan itu

antara lain PLTU Cirebon (600 MW) dan PLTP Sarulla (10 MW), selain

kesepakatan pengambil-alihan saham Donggi antara Medco dan Mitsubishi

(Herbawati: 2007).

Sementara itu, yang juga akan diterjuni investor Jepang antara lain

investasi di bidang energi, termasuk biofuel; di bidang prasarana; dan jasa dengan

aliran terbesar, seperti untuk sektor perdagangan, transportasi, real estate dan

42
asuransi; serta di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan (kemitraan dengan

UKM).

Dengan IJ-EPA diyakini dapat menjaga investasi Jepang tidak pindah ke

negara lain. Bahkan setelah ditandatanganinya kesepakatan itu diharapkan dapat

memacu investasi baru yang mendukung sektor penggerak di industri manufaktur

melalui Manufacturing Industry Development Center (MIDEC) dalam proses

teknologi, quality control dan standar mutu, dan informasi pasar.

2.2 Kajian Teori

Berdasarkan tinjuan pustaka di atas, penulis mendapatkan variabel-

variabel yang erat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang akan digunakan

dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut yaitu ekspor, impor, dan investasi.

Perdagangan internasional dianggap sebagai motor penggerak

pertumbuhan ekonomi dalam negeri, khususnya ekspor. Ekspor yang lebih besar

berarti terdapat peningkatan investasi, membuka lapangan kerja baru,

meningkatkan pendapatan, dan menghasilkan devisa. Kebalikannya, impor

dipandang sebagai kebocoran terhadap perekonomian karena dampak positifnya

jatuh ke pihak luar negeri. Tetapi pandangan ini tidak seluruhnya benar, karena

impor juga menumbuhkan kegiatan investasi dalam negeri, apabila yang diimpor

merupakan barang modal, barang mentah, atau barang setengah jadi untuk

keperluan industri.

Begitu pula dengan investasi, menurut Harrod Domar investasi berperan

penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bagi negara berkembang

seperti Indonesia, investasi asing diperlukan untuk membiayai investasi dalam

43
negeri karena terbatasnya modal yang dimiliki.Selain itu dalam teori pertumbuhan

Neo-Klasik disebutkan bahwa faktor penting yang dapat memacu pertumbuhan

ekonomi adalah kemajuan teknologi. Dengan masuknya investasi asing, maka

bukan saja tambahan modal yang diterima oleh suatu negara, tetapi juga transfer

teknologi dari perusahaan asing tersebut yang juga dapat mendorong tercipatanya

pertumbuhan ekonomi.

Sebelumnya, Jawas (2008) mengadakan penelitian tentang Pengaruh

Penanaman Modal Asing dan Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-

Negara Muslim: 2004-2005. Hasil dari penelitian tersebut bahwa Penanaman

Modal Asing (PMA) dan ekspor secara bersama-sama berpengaruh signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara muslim pada tahun 2004-2005.

Variabel ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-

negar muslim, sedangkan PMA memiliki pengaruh yang negatif terhadap

pertumbuhan ekonomi di negara-negara muslim pada tahun 2004-2005.

Wibowo (2004) dalam penelitiannya menganalisis Pengaruh Hutang Luar

Negeri Dan Penanaman Modal Asing Terhadap Produk Domestik Bruto

Triwulanan Tahun 1994-2003. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara

signifikan hutang luar negeri dan penanaman modal asing berpengaruh positif

terhadap PDB. Dengan demikian, naik turunnya hutang luar negeri dan

penanaman modal asing mempengaruhi naik turunnya PDB.

Selain itu, Ahci (2003) menganalisis hubungan kausalitas antara PMA,

ekspor, dan pertumbuhan ekonomi di Turki. Hasilnya terdapat hubungan searah

antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi, yaitu peningkatan ekspor mendorong

terciptanya pertumbuhan ekonomi Turki. Miankhel, Thangavelu, dan Kalirajan

44
(2009) juga menganalisis hubungan kausalitas antara investasi, ekspor, dan

pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang (India, Pakistan, Malaysia,

Thailand, Mexico, dan Chili). Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk India,

Pakistan dan Chili ekspor berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dan dari

enam negara tersebut hanya Chili yang hasilnya menunjukkan bahwa PMA

memiliki pengaruh terhadap PDB.

Dari teori dan penelitian di atas, studi tentang analisis antara ekspor

Indonesia ke Jepang, impor Indonesia dari Jepang, realisasi PMA dari Jepang,

serta pertumbuhan ekonomi Indonesia belum dijumpai. Peneliti memilih Jepang

karena dari statistik yang ada, Jepang merupakan mitra utama Indonesia dalam

bidang perdagangan dan investasi.

2.3 Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian ini yaitu diawali dengan adanya hubungan

diplomatik pada Indonesia dan Jepang membuat terjalinnya hubungan ekonomi di

antara kedua negara. Jepang merupakan mitra penting Indonesia dalam hubungan

ekonomi internasional. Hubungan ekonomi kedua negara ini tercermin dalam

bentuk investasi (PMA) dan perdagangan (ekspor dan impor). Tentunya

hubungan ekonomi ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi merupakan keinginan setiap negara.

Pertumbuhan ekonomi yang teguh dapat menimbulkan dua efek penting, yaitu

kemakmuran atau taraf hidup masyarakat makin meningkat dan dapat

menciptakan kesempatan kerja baru kepada penduduk yang terus bertambah

jumlahnya.

45
Selain itu, meningkatnya pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari

membaiknya kinerja dari indikator ekonomi makro. Keadaan perekonomian yang

membaik membuat daya beli masyarakat meningkat sehingga dapat memacu

meningkatnya pertumbuhan impor. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan salah

satu indikator yang dilihat oleh para investor untuk menanamkan modalnya di

suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang teguh dapat meningkatkan

iklim investasi di Indonesia sehingga mendorong para investor asing dari Jepang

untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Karena itu peneliti ingin menganalisis apakah hubungan ekonomi bilateral

Indonesia dengan Jepang dalam hal perdagangan dan investasi memberikan

dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hubungan ekonomi
Indonesia-Jepang

Perdagangan Investasi

Ekspor ke Impor dari PMA dari


Jepang
Jepang Jepang

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian

46
2.4 Definisi Peubah Operasional

Definisi operasional dari variabel yang digunakan yaitu:

Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian

yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat

bertambah. Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini menggunakan data PDB

riil atas dasar harga konstan 2000=100 yang dinyatakan dalam miliar Rupiah.

Ekspor Indonesia ke Jepang adalah semua total penerimaan ekspor Indonesia ke

Jepang yang dinyatakan dalam Ribu Dollar AS dan telah dikonversi dengan IHPB

ekspor atas dasar harga konstan 2000=100 sehingga menjadi nilai ekspor riil.

Yang dimaksud ekspor adalah total penerimaan Indonesia dari penjualan barang

ke luar negeri.

Impor Indonesia dari Jepang adalah semua total pengeluaran impor Indonesia

ke Jepang yang dinyatakan dalam Ribu Dollar AS dan telah dikonversi dengan

IHPB impor atas dasar harga konstan 2000=100 sehingga menjadi nilai impor riil.

Yang dimaksud impor adalah total pengeluaran Indonesia untuk pembelian barang

dari luar negeri.

PMA Indonesia dari Jepang adalah nilai realisasi PMA Jepang untuk Indonesia

yang dinyatakan dalam Ribu Dollar AS dan telah dikonversi dengan IHPB umum

atas dasar harga konstan 2000=100 sehingga menjadi nilai realisasi PMA riil.

Yang dimaksud dengan PMA adalah nilai modal yang ditanamkan oleh warga

negara asing baik perorangan maupun badan usaha berupa investasi asing

langsung di Indonesia.

47
2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tujuan dari skripsi ini maka dirumuskan hipotesis sebagai

berikut:

1. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan

ekonomi Indonesia

2. Nilai impor Indonesia dari Jepang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan

ekonomi Indonesia

3. Nilai realisasi Penanaman Modal Asing Jepang di Indonesia berpengaruh

positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

48
BAB III

METODOLOGI

3.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari beberapa sumber yang berasal dari publikasi beberapa instansi

terkait. Menurut sumbernya, data penelitian ini yaitu:

1. PDB atas dasar harga konstan berasal dari publikasi Produk Domestik Bruto

Triwulanan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

2. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang dan nilai impor Indonesia dari Jepang

berasal dari publikasi Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia yang

dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

3. Realisasi PMA Indonesia dari Jepang berasal dari Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM).

4. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) berasal dari publikasi Indeks Harga

Perdagangan Besar Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik

(BPS).

Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 tahun, yaitu

mulai tahun 1990 hingga tahun 2009. Data yang digunakan berupa data

triwulanan sehingga terdapat 80 unit observasi.

Software yang digunakan dalam penelitian ini yaitu microsoft excel 2007

dan eviews 5.1.

49
3.2 Metode analisis

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang mendeskripsikan atau

menggambarkan suatu data menjadi sebuah informasi yang jelas dan mudah

dipahami. Penyajian analisis ini dapat berupa tabel, diagram, ukuran-ukuran

statistik, dan lain sebagainya.

Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan

gambaran tentang hubungan bilateral Indonesia-Jepang, yaitu perkembangan

perdagangan internasional kedua negara dalam hal ini ekspor dan impor, serta

perkembangan PMA Jepang di Indonesia.

Analisis Time Series

Pada dasarnya setiap nilai dari hasil pengamatan (data), selalu dapat

dikaitkan dengan waktu pengamatannya. Hanya saja pada saat analisisnya, kaitan

variabel waktu dengan pengamatan sering tidak dipersoalkan. Ketika kaitan

variabel waktu dengan pengamatan diperhatikan sehingga data dianggap sebagai

fungsi atas waktu, maka data seperti ini dinamakan data deret waktu (time series).

Menurut Mulyana (2004), tujuan dalam analisis deret waktu adalah:

1. Deskripsi (description)

Tujuan ini digunakan jika ingin mempresentasikan karakter dari data yang

dimiliki, seperti kestasioneran, keberadaan komponen musiman, keberartian

autokorelasi (karena pada dasarnya setiap data deret waktu berautokorelasi

50
hanya saja autokorelasinya signifikan atau tidak), maka dengan cara

menggambarkan peta data dan korelogram yang tujuannya:

a. Gambar peta data atas waktu untuk menelaah kestasioneran dan

keberadaan komponen musiman (jika datanya bulanan), dan

b. Gambar korelogram untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan perlu

tidaknya transformasi data.

2. Menerangkan (explanation)

Jika variabel data deret waktu lebih dari satu, maka telaah dilakukan untuk

menentukan apakah salah satu variabel dapat menjelaskan variabel lain

sehingga bisa dibangun sebuah model regresi untuk keperluan analisis data

deret waktu lebih lanjut.

3. Perkiraan (prediction)

Jika memiliki sampel data deret waktu dan menginginkan perkiraan nilai data

berikutnya, maka proses peramalan harus dilakukan. Peramalan adalah

sasaran utama dari analisis data deret waktu, yang prosesnya bisa berdasarkan

karakter dari komponen data atau model regresi deret waktu.

4. Kontrol (control)

Proses kontrol dilakukan untuk menelaah apakah model yang ditentukan

cukup baik untuk digunakan. Dalam statistika, sebuah model baik digunakan

untuk peramalan jika modelnya cocok dan asumsinya juga terpenuhi.

Stasioneritas

Sebelum melakukan estimasi data time series perlu dilakukan pengujian

stasioneritas yang berguna untuk menghindari timbulnya regresi lancung

51
(spurious regression). Sebab untuk data yang tidak stasioner metode inferensia

klasik seperti OLS tidak dapat diterapkan (Gujarati, 1995).

Secara operasional, suatu data series dikatakan stasioner apabila data

tersebut tidak mengansung unsur trend. Di samping itu, suatu data hasil proses

random dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria, yaitu:

a. Rata-rata tetap (constant) tidak dipengaruhi oleh jalannya waktu (invariant

with respect of time).

b. Varians data tetap sepanjang waktu.

c. Covariance antar nilai dari waktu yang berbeda tergantung dari jarak nilai

(time lag), bukan pada posisi waktu di mana covariance tersebut dihitung.

Secara statistik dapat dinyatakan sebagai berikut:

Rata-rata : (9)

Variance : (10)

Covariance : (11)

Untuk mendeteksi apakah suatu series data stasioner atau tidak, dapat

dilihat secara visual dari plot/grafik data observasi terhadap waktu. Apabila

kecenderungan fluktuasinya disekitar rata-rata dengan amplitudo yang relatif tetap

atau tidak terlihat adanya kecenderungan (trend) naik atau turun, maka dapat

dikatakan stasioner. Namun pengunaan grafik sangat tergantung pada kejelian dan

pengalaman peneliti, untuk itu dapat dilakukan uji formal guna meyakinkan

peneliti.

52
Unit Root Test

Untuk menguji masalah stasioner data, dapat dilakukan dengan menguji

akar-akar unit (unit root test) dari setiap variabel. Salah satu metode uji unit root

yang dapat dilakukan yaitu Augmented Dickey-Fuller (ADF). Pada uji ini telah

memasukkan unsur autokorelasi dalam modelnya. Adapun formula uji ADF:

(12)

(13)

(14)

di mana:

: variabel yang diamati

: tren waktu

Perbedaan ketiga persamaan di atas yaitu dalam hal konstanta dan variabel

trend waktu. Asumsi yang digunakan pada persamaan (12) yaitu dalam pengujian

regresinya tanpa memperhitungkan tren dan konstanta, persamaan (13) hanya

memperhitungkan adanya konstanta, sedangkan pada persamaan (14)

memperhitungkan tren dan konstanta.

Untuk tiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam

bentuk logaritma natural (ln). Sesuai dengan pendapat Sims (1980), semua data

estimasi yang dipergunakan dalam VAR adalah dalam bentuk logaritma, kecuali

data yang sudah dalam bentuk persen. Salah satu alasannya adalah memudahkan

analisis, karena baik dalam impulse response maupun variance decomposition

pengaruh shock dilihat dalam persentase.

Data-data ekonomi Indonesia pada periode 1990 hingga 2009

menunjukkan ketidakstabilan kondisi perekonomian. Hal ini karena adanya

53
perubahan data akibat shock, di mana shock tersebut menyebabkan perubahan

data secara permanen. Untuk kasus seperti ini uji ADF dapat memberikan hasil

yang bias akibat tidak menolak adanya unit root. Peneliti menggunakan uji

Phillips-Perron untuk menguji stasioneritas pada data karena memiliki tingkat

pengujian yang lebih tepat ketika terdapat shock sebagai akibat adanya krisis

ekonomi tahun 1997. Asumsi yang digunakan dalam uji Phillips-Perron antara

lain:

(15)

(16)

(17)

T adalah trend.

Prosedur pengujian akar unit dengan menggunakan uji Phillips-Perron dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Misalkan terdapat suatu persamaan sebagai berikut:

(18)

Di mana adalah koefisien autoregressive, adalah white noise error term

yang mempunyai rata-rata yang sama dengan nol dan varians konstan serta

tidak mengandung autokorelasi. Jika = 1, maka dapat disimpulkan bahwa

variabel mempunyai akar unit. Series yang memiliki akar unit disebut juga

random walk, yaitu merupakan salah satu bentuk series yang nonstasioner.

Hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0: ρ= 1 atau data mengandung akar unit (tidak stasioner)

H1: ρ < 1 atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

54
Jika data asli dari suatu series sudah stasioner, maka data tersebut

dikatakan berintegrasi pada order 0 atau dilambangkan dengan I(0). Namun,

jika data asli tidak stasioner, pengujian lanjutan dilakukan sampai diperoleh

data yang stasioner pada order d atau dilambangkan dengan I(d).

2. Persamaan tersebut dapat juga dinyatakan dalam bentuk lain, yaitu:

(19)

(20)

Di mana -1) dan Δ adalah turunan pertama atau dapat dinyatakan

dalam bentuk (21)

Sehingga hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0: = 0 atau data mengandung akar unit (tidak stasioner)

H1: < 0 atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Jika = 0, maka persamaan (21) dapat ditulis menjadi:

(22)

Persamaan ini menunjukkan bahwa turunan pertama dari series yang random

walk ( adalah sebuah series stasioner dengan asumsi bahwa adalah benar-

benar random.

3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya unit root, dilakukan penghitungan nilai

statistik uji Phillips-Perron berdasarkan uji t-statistik yang dimodifikasi:

(23)

Dengan merupakan standar error dari koefisien dan s

merupakan standar error dari uji regresi. merupakan estimasi yang

konsisten dari varians error pada persamaan (20), dihitung dengan rumus:

55
(24)

Di mana k adalah banyaknya regressor dan T adalah banyaknya observasi.

diestimasi dari persamaan:

(25)

di mana merupakan sampel autokovarian ke-j dari residual yang

dirumuskan sebagai berikut:

(26)

merupakan residual dari persamaan (20) sedangkan merupakan koefisien

Newey-West bandwith1, K merupakan fungsi Kernel yang dapat dirumuskan

sebagai berikut:

(27)

Selanjutnya nilai statistik Phillips-Perron pada persamaan dibandingkan

dengan nilai kritis tabel Mackinnon. Jika nilai statistik uji Phillips-Perron lebih

negatif dari tabel nilai kritis tabel Mackinnon, maka H0 ditolak. Dapat

disimpulkan bahwa data time series tidak mengandung unit root atau telah

stasioner.

Uji Lag Optimal

Pengujian ini dilakukan untuk menentukan panjang lag optimal yang akan

digunakan dalam analisis selanjutnya. Karena salah satu kesulitan menggunakan

VAR adalah penetapan panjang lag yang optimal. Beberapa penelitian mutakhir

1
Newey-West bandwidth adalah metode pemilihan lag truncation pada Eviews

56
tentang VAR menggunakan multivariate Akaike Information Criteria (AIC)).

Penghitungan untuk AIC adalah sebagai berikut:

(28)

Di mana, p adalah panjang lag, σ2 dan T masing-masing merupakan varian

dari model dan jumlah observasi. Untuk menetapkan lag yang paling optimal,

model VAR harus diestimasi dengan lag yang berbeda-beda. Untuk memeriksa

panjang lag, mulai dengan lag terpanjang yang mungkin atau lag terpanjang yang

mempertimbangkan degress of freedom. Karena jika panjang lag terlalu panjang,

maka degress of freedom akan banyak terbuang (Enders, 2004). Selanjutnya

bandingkan nilai AIC masing-masing model dan nilai yang paling rendah yang

digunakan sebagai patokan lag yang paling optimal.

Selain menggunakan criteria AIC, lag optimum juga dapat dihasilkan

melalui beberapa uji berikut ini:

a. Likelihood Ratio (LR) test statistic

b. Final Prediction Error (FPE)

c. Schwarz Information Criterion (SIC)

d. Hannan-Quinn (HQ) information criterion

Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test)

Suatu variabel dapat dikatakan memiliki hubungan kausalitas dengan

variabel lainnya jika suatu variabel tersebut (misalnya y) dipengaruhi oleh

variabel lain (misalnya x) dengan menggunakan lag tertentu, maka dapat

dikatakan bahwa x cause y. Artinya variabel y akan dapat meramalkan secara

lebih akurat apabila menggunakan nilai-nilai variabel masa lalu variabel x.

57
Hubungan kausalitas tersebut adalah bahwa variabel x akan menyebabkan

perubahan pada variabel y. Dengan demikian, perubahan pada variabel x akan

menyebabkan perubahan variabel y.

Estimasi yang digunakan pada uji kausalitas Granger adalah sebagai

berikut:

(29)

di mana:

: nilai variabel y pada waktu t

: koefisien dari lag ke-i variabel y

: koefisien dari lag ke-j variabel x

: nilai variabel y pada lag ke-i

: nilai variabel x pada lag ke-j

: error dari masing-masing persamaan

Dengan restricted model :

(30)

Hipotesis awal yang akan diuji yaitu H0: = 0 atau nilai lag dari

variabel x tidak disertakan dalam model. Dengan kata lain variabel x tidak

mempengaruhi variabel y. Selanjutnya dengan menggunakan uji F sebagai

berikut:

(31)

di mana n merupakan jumlah observasi, ESSU adalah jumlah kuadrat error, dan

ESSR adalah jumlah kuadrat error untuk restricted model.

58
Jika hasil F-hitung berada di luar daerah ktiris tabel F pada tingkat

signifikansi tertentu, maka H0: = 0 ditolak. Untuk mengetahui hubungan

timbal balik (feedback causality) dari y ke x. lakukan prosedur yang sama dengan

cara menukar x sebagai variabel tak bebas dan y sebagai variabel bebas.

Hasil yang mungkin terjadi pada pengujian Granger Causality adalah

sebagai berikut:

1. x menyebabkan/ mempengaruhi y atau unidirectional causality running from

x to y (x→y).

2. y menyebabkan/ mempengaruhi x atau unidirectional causality running from

y to x (y→x).

3. x dan y saling mempengaruhi atau feedback/bidirectional causality (x↔y).

4. x dan y tidak saling mempengaruhi atau independent.

Pada penelitian ini dilakukan uji kausalitas antara variabel pertumbuhan

ekonomi Indonesia (LNGDP) dengan variabel nilai ekspor Indonesia ke Jepang

(LNEKSPOR), nilai impor Indonesia dari Jepang (LNIMPOR), dan nilai realisasi

PMA Jepang untuk Indonesia (LNPMA). Pengujian hubungan kausalitas

menggunakan metode Granger untuk dua variabel (Pairwise Granger Causality

Test) hingga lag optimal.

Vector Autoregression (VAR)

Vector Autoregression (VAR) dikemukakan pertama kali oleh Sims pada

tahun 1980. VAR biasanya digunakan untuk memproyeksikan sistem variabel-

variabel runtut watu dan menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang

terdapat dalam sistem variabel tersebut. Pendekatan ini merupakan modifikasi

59
atau kombinasi dari multivariate regresi dengan analisis time series. Perbedaan

utama antara multivariate regression dan multivariate time series adalah

pengujian lanjutan yang terkait dengan waktu di dalam atau di antara variabel-

variabelnya.

Pada dasarnya analisis VAR bisa dipadupadankan dengan suatu model

persamaan simultan karena dalam analisis ini mempertimbangkan beberapa

variabel endogen secara bersama-sama dalam suatu model. Masing-masing

variabel selain diterangkan oleh nilainya di masa lampau, juga dipengaruhi oleh

nilai masa lalu dari semua variabel endogen lainnya dalam model yang diamati.

Di samping itu, dalam analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen dalam

model tersebut.

Dari definisi di atas, vector autoregression dapat ditulis:

(32)

di mana:

= intercept setiap model

= koefisien parameter pada lag L

Pada penelitian ini model VAR yang akan dibentuk sebagai berikut:

(33)

60
di mana:

PDB = Nilai PDB Indonesia Riil (Miliar Rupiah)

EKSPOR = Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang (Ribu Dollar AS)

IMPOR = Nilai Impor Riil Indonesia dari Jepang (Ribu Dollar AS)

PMA = Nilai Realisasi PMA Riil Indonesia dari Jepang (Ribu Dollar AS)

Gujarati menyebutkan keunggulan dari analisis VAR antara lain adalah:

1. Metode ini sederhana, peneliti tidak perlu khawatir untuk membedakan

variabel endogen dan eksogen.

2. Estimasinya sederhana, di mana metode OLS biasa dapat diaplikasikan pada

tiap-tiap persamaan secara terpisah.

3. Hasil perkiraan (forecast) yang diperoleh dengan menggunakan metode ini

dalam banyak kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang diperoleh

dengan menggunakan model persamaan simultan yang kompleks sekalipun.

Selain itu, analisis VAR juga merupakan alat analisis yang sangat berguna

dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara

variabel-variabel ekonomi maupun dlam pembentukan model ekonomi

berstruktur.

Selain beberapa keunggulan yang disebutkan di atas, model VAR juga

tidak terlepas dari beberapa kelemahan yaitu:

1. Sulit menentukan panjang lag optimal yang akan digunakan.

2. Terlalu banyak parameter yang diestimasi. Jika terdapat p persamaan untuk p

variabel dan k lag untuk tiap variabel pada tiap persamaan, maka terdapat

(p+kp2) parameter yang harus diestimasi.

61
3. Jika model VAR dengan m-variabel, maka seluruh m-variabel haruslah

stasioner (secara bersama-sama), jika tidak data harus ditransformasi, namun

terkadang data hasil transformasi kurang memuaskan.

4. Koefisien individual dari VAR model kadang sulit diinterpretasikan.

Impulse Response Function (IRF)

Impulse Response Function (IRF) adalah metode yang digunakan untuk

melihat bagaimana respon suatu variabel endogen terhadap guncangan (shock)

variabel tertentu. Selain itu, IRF juga digunakan untuk mengetahui shock dari satu

variabel terhadap variabel yang lain dan berapa lama pengaruh tersebut terjadi.

Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan fungsi VAR dua variabel yang

dikemukakan oleh Sims dalam Enders (2004) sebagai berikut:

(34)

Persamaan (15) merupakan persamaan persamaan VAR dengan dua

variabel. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa yt dan zt adalah istilah untuk

{e1t} dan {e2t}. Berdasarkan model Sims, vektor dari error dapat dituliskan

sebagai berikut:

(35)

Kedua persamaan di atas dapat dikombinasikan dan ditulis secara ringkas

sebagai berikut:

(36)

di mana (37)

62
Koefisien dapat digunakan untuk men-generalisasi pengaruh guncangan

(shock) terhadap perubahan {yt} dan {zt} secara keseluruhan. Analisis

impulse response dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui respon

dinamis variabel pertumbuhan ekonomi Indonesia (LNGDP) terhadap guncangan

(shock) variabel nilai ekspor Indonesia ke Jepang (LNEKSPOR), nilai impor

Indonesia dari Jepang (LNIMPOR), dan nilai realisasi PMA Jepang untuk

Indonesia (LNPMA).

Variance Decomposition

The Cholensky Decomposition atau biasa disebut dengan Forecast Error

Variance Decomposition (FEVD) dan lebih sering dikenal dengan istilah

Variance Decomposition dapat memberikan informasi mengenai variabel inovasi

yang relatif lebih penting dalam VAR. Tes ini dilakukan untuk memberikan

informasi mengenai bagaimana hubungan dinamis antara variabel yang di analisis.

FEVD memberikan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing inovasi

acak (random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi

dari peranan variabel tertentu terhadap lainnya.

Analisis Variance Decomposition dalam penelitian ini digunakan untuk

melihat seberapa besar guncangan (shock) dari variabel pertumbuhan nilai ekspor

Indonesia ke Jepang (LNEKSPOR), pertumbuhan nilai impor Indonesia dari

Jepang (LNIMPOR), serta pertumbuhan nilai realisasi PMA Jepang untuk

Indonesia (LNPMA) dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia

(LNGDP) sebagai variabel endogen. Dengan demikian dari analisis ini dapat

diketahui peran relatif guncangan setiap variabel dalam menjelaskan suatu

63
variabel makro ekonomi dalam hal hubungan ekonomi bilateral Indonesia-Jepang

yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia

64
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Perdagangan Internasional Indonesia-Jepang

Hingga saat ini Jepang adalah mitra terbesar Indonesia dalam hubungan

perdagangan internasional. Pada tahun 2009 saja total perdagangan Indonesia

dengan Jepang mencapai 28,42 miliar Dollar AS atau 13,32 persen dari total

perdagangan luar negeri Indonesia.

Tabel 3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Jepang Tahun 2005-2009 (Miliar


Dollar AS)

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009


(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Total
24,96 27,25 30,16 42,87 28,41
Perdagangan
Ekspor 18,05 21,73 23,63 27,74 18,57
Impor 6,91 5,52 6,53 15,13 9,84
Neraca
11,14 16,22 17,10 12,61 8,73
Perdagangan
Sumber: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia

Dari tabel neraca perdagangan di atas dapat dilihat bahwa total

perdagangan luar negeri Indonesia dengan Jepang sejak tahun 2005 terus

mengalami peningkatan hingga tahun 2008. Nilai total perdagangan Indonesia

Jepang pada tahun 2008 mencapai 42,87 miliar Dollar AS yang terdiri dari nilai

ekspor Indonesia ke Jepang sebesar 27,74 miliar Dollar AS dan nilai impor

65
Indonesia dari Jepang sebesar 15,13 miliar Dollar AS. Jika dilihat dari nilai ekspor

dan impor ini, neraca perdagangan Indonesia ke Jepang mengalami surplus

sebesar 12,62 miliar Dollar AS. Surplus Indonesia terhadap Jepang ini

merupakan surplus terbesar Indonesia terhadap negara mitra perdagangan

internasionalnya.

Perkembangan Ekspor Riil Indonesia ke Jepang

Jika dilihat dari grafik berikut ini, nilai ekspor riil Indonesia ke Jepang

cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan nilai ekspor

Indonesia ke Jepang terjadi dari tahun 1990 hingga tahun 1995, tetapi kemudian

mengalami penurunan pada tahun 1996-1998 dan mulai merangkak naik sejak

tahun 1999 hingga tahun 2007.

Sebagai akibat krisis ekonomi yang melanda Asia membuat nilai ekspor

riil Indonesia ke Jepang tahun 1998 mengalami penurunan tertinggi sejak tahun

1990. Nilai ekspor riil ini turun 69,80 persen dibanding tahun sebelumnya

menjadi 11,59 miliar Dollar AS. Pemulihan dari krisis ekonomi membuat ekspor

riil Indonesia mulai merangkak naik sejak tahun 1999 dan terus mengalami

peningkatan hingga tahun 2007. Peningkatan ini selain karena memang

meningkatnya volume ekspor Indonesia ke Jepang, juga dipicu oleh kenaikan

harga komoditas primer seperti kelapa sawit, karet, dan barang tambang. Tetapi

tingginya depresiasi nilai rupiah ketika krisis moneter membuat nilai ekspor riil

Indonesia ke Jepang hingga saat ini belum mencapai nilai ekspor riil sebelum

krisis terjadi.

66
60000

Nilai Ekspor Riil (Juta Dollar AS)


50000

40000

30000

20000

10000

1999

2008
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

2009
Tahun

Sumber: BPS, diolah


Gambar 3. Perkembangan Nilai Ekspor Rill Indonesia ke Jepang Tahun 1990-
2009 (Juta Dollar AS)

Pada tahun 2008 nilai ekspor rill Indonesia ke Jepang kembali menurun

menjadi 13,24 miliar Dollar AS. Hal ini disebabkan adanya penurunan permintaan

barang ekspor sebagai dampak dari krisis global yang sangat berpengaruh

terhadap permintaan pasar internasional, termasuk Jepang. Krisis global yang

mengguncang hampir seluruh negara di belahan dunia memiliki pengaruh yang

sangat besar terhadap perdagangan internasional. Meskipun terjadi penurunan

nilai Rupiah yang seharusnya meningkatkan nilai ekspor Indonesia, hal ini tidak

terjadi karena permintaan dari negara tujuan ekspor dalam hal ini Jepang juga

menurun. Ini karena Jepang juga terkena dampak dari krisis global tersebut

sehingga daya beli masyarakat, terutama terhadap produk ekspor mengalami

penurunan.

Jepang hingga saat ini merupakan mitra utama Indonesia dalam hal ekspor.

Pada tahun 2009 saja Jepang menduduki peringkat pertama untuk tujuan ekspor

67
Indonesia dengan nilai riil 8,64 miliar Dollar AS atau mencapai 15,94 persen dari

total ekspor Indonesia.

15.94%
Jepang
9.87% China
49.08%
USA
Singapura
9.31% Korea Selatan
8.81% Lainnya
6.99%

Sumber: BPS, diolah

Gambar 4. Nilai Ekspor Indonesia ke Negara Tujuan Utama Tahun 2009 (%)

Grafik berikut ini menunjukkan share yang cenderung sama untuk nilai

ekspor Indonesia ke Jepang selama tahun 2005-2008 baik produk migas maupun

non-migas. Pada tahun 2009 nilai ekspor riil Indonesia ke Jepang mencapai 8,64

miliar Dollar AS dengan komposisi ekspor riil migas sebesar 3,07 miliar Dollar

AS (35,51 persen) dan ekspor riil nonmigas sebesar 5,57 miliar Dollar AS (64,49

persen). Ini mengalami pergeseran di mana pada tahun 2008 komposisi migas

lebih tinggi di banding non-migas, yaitu sebesar 6,66 miliar Dollar AS (50,28

persen) untuk ekspor riil migas dan 6,58 miliar Dollar AS (49,72 persen) untuk

ekspor riel non-migas. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya

bertumpu pada produk migas dan terus mengembangkan produk non-migasnya

sehingga dapat berdaya saing dengan produk dari negara lain dalam pasar Jepang.

68
Nilai Ekspor Riil (Juta Dollar AS)
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

non-migas migas

Sumber: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, diolah

Gambar 5. Perkembangan Nilai Ekspor Riil Migas dan Non-Migas Indonesia ke

Jepang Tahun 2005-2009 (Juta Dollar AS)

Bagi Jepang, Indonesia memiliki arti yang sangat penting sebagai pemasok

energi dan bahan baku lainnya. Jepang merupakan negara utama Indonesia untuk

tujuan ekspor gas dan minyak, baik minyak mentah maupun hasil olahannya.

Hampir separuh dari ekspor minyak dan gas Indonesia dikirim ke Jepang. Meski

begitu, Jepang juga berada di peringkat teratas sebagai negara tujuan ekspor non-

migas. Ekspor Indonesia ke Jepang didominasi komoditas primer, seperti kayu

dan produk olahannya serta nikel dan karet. Karena itu, tantangan selanjutnya

untuk Indonesia adalah bagaimana mengolah hasil komoditas primer tersebut

sebelum kemudian diekspor agar dapat menciptakan nilai tambah yang lebih

tinggi bagi perekonomian Indonesia.

69
Tabel 4. Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang untuk Beberapa Komoditi Primer
Tahun 2007-2008 (Juta Dollar AS)

Komoditi 2007 2008 Perubahan


(1) (2) (3) (4)
Gas Alam 3.450,89 3.802,08 351,19
Minyak bumi mentah 2.017,28 1.988,66 -28,64
Batubara, tidak diaglomerasi 772,12 991,75 219,63
Sisa-sisa hasil minyak bumi 437,49 790,26 352,77
Bijih nikel dan pekatannya 1388,83 740,65 -648,18
Sumber: BPS, diolah

Data Kepabeanan Jepang menunjukkan, impor terbesar Jepang dari negara

ASEAN berasal dari Indonesia. Akan tetapi, jika diperhitungkan dari total impor

Jepang secara global, produk Indonesia baru menguasai 4,00 persen pangsa pasar

di Jepang pada tahun 2009. Karena itu melalui implementasi IJ-EPA ini, untuk

kedepannya diharapkan Indonesia dapat meningkatkan pangsa pasarnya di

Jepang.

Tabel 5. Share Impor Jepang dari Negara ASEAN Tahun 2009 (%)

No. Negara Share Impor


(1) (2) (3)
1. Indonesia 4,00
2. Malaysia 3,00
3. Thailand 2,90
4. Vietnam 1,30
5. Philipina 1,20
6. Singapura 1,10
7. Brunei Darussalam 0,60
8. Myanmar 0,10
9. Kamboja 0,00
10. Laos 0,00
Sumber: Japan External Trade organization (JETRO)

70
Perkembangan Impor Riil Indonesia dari Jepang

Nilai impor riil Indonesia dari Jepang cenderung fluktuatif sejak tahun

1990 hingga tahun 2009. Sama seperti keadaan ekspor, terjadi penurunan impor

yang cukup tajam pada tahun 1998 hingga mencapai 76,48 persen dibanding

tahun 1997 menjadi 5,42 miliar Dollar AS. Jika diteliti, pertumbuhan impor yang

negatif ini berlanjut hingga tahun 1999. Baru mulai tahun 2000 nilainya mulai

meningkat dan mulai merangkak naik hingga tahun 2008.

30000
Nilai Impor Riil (Juta Dollar AS)

25000

20000

15000

10000

5000

0
1992

2000

2008
1990
1991

1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

2009

Tahun

Sumber: BPS, diolah

Gambar 6. Perkembangan Nilai Impor Riil Indonesia dari Jepang Tahun 1990-
2009 (Juta Dollar AS)

Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 membuat nila impor riil

Indonesia dari Jepang tidak langsung mengalami penurunan. Penurunan nilai

impor riil ini baru terjadi pada tahun 2009. Nilai impor riil Indonesia dari Jepang

menurun 28,92 persen menjadi 4,57 miliar Dollar AS pada tahun 2009.

71
Berbeda dengan negara tujuan ekspor, di mana Jepang menduduki

peringkat pertama, meskipun termasuk delapan negara asal impor, pada tahun

2009 Jepang hanya menduduki peringkat ketiga di bawah Singapura dan China

dengan nilai impor riil sebesar 4,57 miliar Dollar AS atau 10,17 persen dari total

impor Indonesia.

14.46%
16.06% Singapura
China
46.12%
Jepang
USA

10.17% Malaysia

5.87% 7.32% Lainnya

Sumber: BPS
Gambar 7. Nilai Impor Indonesia dari Negara Utama Tahun 2009 (%)

Jika dilihat dari komposisi migas dan non-migas, hampir 100 persen impor

Indonesia dari Jepang merupakan impor non-migas. Jepang merupakan negara

industri dan bukan negara penghasil migas, karena itu ekspor utama negara ini

pun bergerak pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2008, impor Indonesia

dari Jepang mencapai 6,42 miliar Dollar AS dengan komposisi impor migas

sebesar 111,78 juta Dollar AS (1,74 persen) dan impor nonmigas sebesar 6,31

miliar Dollar AS (98,26 persen). Sedangkan pada tahun 2009 mengalami

penurunan nilai impor menjadi 4,57 miliar Dollar AS, untuk migas sebesar 15,53

juta Dollar AS (0,34 persen) dan nonmigas sebesar 4,55 miliar Dollar AS (99,66

persen).

72
Nilai Impor Riil (Juta Dollar AS)
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Non-Migas Migas

Sumber: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, diolah

Gambar 8. Perkembangan Nilai Impor Riil Migas dan Non-Migas Indonesia dari

Jepang Tahun 2005-2009 (Juta Dollar AS)

Pada tahun 2008, jenis barang utama yang diimpor dari Jepang yaitu

bagian dan perlengkapan kendaraan bermotor dengan nilai riil sebesar 565,92 juta

Dollar AS atau naik 355,71 persen dari tahun sebelumnya. Peringkat kedua

diduduki oleh kendaraan bermotor untuk barang yang meningkat 147,83 persen

menjadi 370,64 juta Dollar AS. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa

banyaknya perusahaan kendaraan bermotor dan suku cadangnya di Indonesia.

Selanjutnya mesin bangunan dan konstruksi berada di urutan ketiga setelah pada

tahun sebelumnya berada di urutan pertama dengan nilai riil sebesar 345,31 juta

Dollar AS.

73
Tabel 6. Nilai Impor Riil Utama Indonesia dari Jepang Menurut Kelompok
Barang Tahun 2007-2008 (Juta Dollar AS)

Kelompok Barang 2007 2008 Perubahan


(1) (2) (3) (4)
Bagian dan perlengkapan
kendaraan 155,88 565,92 410,04
Kendaraan bermotor untuk
barang 187,73 370,64 182,91
Mesin bangunan dan konstruksi 229,38 345,31 115,93
Besi lembaran, tidak disepuh 191,48 329,04 137,56
Mesin piston pembakaran dalam
dan bagian 228,30 276,17 47,87
Sumber: BPS, diolah

4.2 Perkembangan Realisasi PMA Riil Jepang di Indonesia

Dari grafik berikut ini dapat dikatakan bahwa nilai realisasi PMA riil

Jepang dari tahun 1990 hingga 2009 di Indonesia fluktuatif dan cenderung

mengalami penurunan. Puncaknya pada tahun 1992 di mana nilai investasi riil

Jepang di Indonesia mencapai 4,68 miliar Dollar AS dengan jumlah Izin Usaha

Tetap yang dikeluarkan pemerintah berjumlah 55. Selanjutnya fluktuatif hingga

tahun 1999 kemudian mengalami penurunan hingga tahun 2009.

Meskipun pada tahun 2008 nilai realisasi PMA riil Jepang mengalami

peningkatan, tetapi pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan. Hal ini juga

disebabkan adanya krisis global yang terjadi. Jepang yang terkena dampak dari

krisis itu membuat kebijakan untuk membuat para investor yang ada di luar

negerinya kembali ke Jepang. Hal ini dilakukan untuk mendorong pemulihan

krisis ekonomi yang terjadi. Dampaknya kebijakan ini membuat realisasi PMA

Jepang di Indonesia mengalami penurunan yang cukup tinggi. Jika pada tahun

2008 realisasi PMA riil Jepang di Indonesia mencapai 564 juta Dollar AS, maka

74
pada tahun 2009 nilainya hanya mencapai 273,67 juta Dollar AS atau turun

sebesar 51,48 persen.

5000
Nilai Realisasi PMA Riil (Juta Dollar AS) 4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

2002

2004
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001

2003

2005
2006
2007
2008
2009
Tahun

Sumber: BKPM, diolah

Gambar 9. Nilai Realisasi PMA Riil Jepang di Indonesia Tahun 1990-2009 ( Juta
Dollar AS)

Pada tahun 2009, Jepang menduduki peringkat ketiga untuk negara yang

paling banyak menanamkan PMAnya di Indonesia dengan nilai riil 273,67 juta

Dollar AS atau mencapai 6,30 persen dari total realisasi PMA di Indonesia. Jika

dilihat dari peringkat negara, PMA terbesar Indonesia untuk total tahun 2000-

2009 ditempati oleh Singapura, disusul oleh Mauritius, baru kemudian Jepang.

Hal ini mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Jika sebelum tahun 2000

Jepang selalu mendominasi arus PMA di Indonesia, kini tidak demikian,

kepercayaan Jepang menanamkan investasinya di Indonesia mulai luntur. Situasi

ekonomi, politik, dan keamanan yang tidak terkendali di dalam negeri membuat

investor Jepang mulai meninggalkan Indonesia.

75
Singapura

31.30% 40.10% Belanda


Jepang
Korea Selatan
5.40% Inggris
5.80% Lainnya
6.30% 11.10%

Sumber: BKPM

Gambar 10. Lima Besar Negara Asal PMA Indonesia Tahun 2009 (%)

Tetapi jika dilihat dari jumlah tenaga kerja, berdasarkan data yang

dikeluarkan BKPM, investasi Jepang tetap menjadi yang terbesar untuk

penyerapan tenaga kerja. Dari tahun 2000 hingga 2009, total tenaga kerja yang

diserap Jepang mencapai 204.995 pekerja. Sedangkan Singapura yang berada di

urutan pertama dalam nilai investasi dan mencapai dua kali lipat nilai investasi

yang ditanamkan Jepang untuk Indonesia sejak tahun 2002 hingga tahun 2009,

untuk penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 187.526 pekerja. Hal ini

menunjukkan bahwa investor Jepang masih dapat menjadi andalan untuk

membuka lapangan pekerjaan di Indonesia.

Sektor yang paling diminati para investor Jepang di Indonesia yaitu

industri alat angkutan dan tranportasi lainnya. Sejak tahun 2004 sektor ini selalu

menjadi pilihan utama para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada tahun 2008 saja sektor ini menyumbang 56 persen dari total investasi

langsung di Indonesia yaitu sebesar 315,88 juta Dollar AS. Hal ini dapat dilihat

dari banyaknya perusahaan dan produk-produk otomotif Jepang yang ada di

Indonesia, seperi Honda, Mitsubishi, Yamaha, dan Toyota. Keunggulan produk-

76
produk Jepang ini memang telah mendunia dan terus membuka perusahaannya di

banyak negara. Ini tidak terlepas dari permintaan barang impor Indonesia yang

tinggi untuk kendaraan bermotor. Karena itu banyak perusahaan otomotif Jepang

yang melakukan ekspansi produksi di Indonesia.

alat angkutan dan


transportasi lainnya
21% logam dasar, barang
logam, mesin, dan
7% elektronika
56% industri makanan
16%

industri lain

Sumber: BKPM

Gambar 11. Realisasi PMA Jepang di Indonesia Menurut Sektor Industri Tahun
2008 (%)

Pada akhir 2006, JETRO menyebarkan kuesioner kepada 2.537

perusahaan anggotanya tentang lokasi yang diminati untuk mengembangkan

bisnis mereka dalam tiga tahun ke depan, terutama untuk pemasaran dan produksi

barang-barang berkualitas menengah ke bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa

untuk pemasaran, Indonesia peringkat 15 dan peringkat 7 untuk produksi barang-

barang dengan kualitas menengah dan rendah.

77
Tabel 7. Peringkat Indonesia untuk Pemasaran dan Produksi di Mata Pengusaha
Jepang Tahun 2006

Pemasaran Produksi di Mata Pengusaha Jepang

Peringkat Negara Peringkat Negara


(1) (2) (3) (4)
1 China 1 China
2 AS 2 Thailand
3 Eropa Barat 3 Vietnam
4 Thailand 4 AS
5 India 5 India
6 Korea 6 Eropa Barat
7 Taiwan 7 Indonesia
8 Vietnam 8 Korea
9 Rusia 9 Malaysia
10 Hongkong 10 Taiwan
11 Eropa Timur dan Tengah 11 Eropa Timur dan Tengah
12 Malaysia 12 Philipina
13 Singapura 13 Brasil
14 Brasil 14 Meksiko
15 Indonesia 15 Hongkong

Sumber: JETRO

Jika dilihat ironis memang, di satu sisi, EPA diharapkan bisa

meningkatkan investasi Jepang di Indonesia, namun, di sisi lain, hasil survei

JETRO ini memberi kesan bahwa Indonesia semakin tidak menarik bagi investor

Jepang. Padahal sebenarnya investasi Jepang sangat diperlukan Indonesia, karena

selama sebelas tahun sejak krisis ekonomi 1998, perusahaan-perusahaan Jepang

sebagai investor terbesar di Indonesia tidak melakukan lagi ekspansi investasi di

tanah air. Hal ini membuat Indonesia semakin tertinggal dalam jejaring produksi

regional atau globalisasi proses produksi dari perusahaan-perusahaan

multinasional Jepang.

78
4.3 Pengaruh Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang, Nilai Impor Riil
Indonesia dari Jepang, dan Nilai Realisasi PMA Riil Jepang di Indonesia
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sebelum melihat pengaruh nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor

Indonesia dari Jepang, dan nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia terhadap

pertumbuhan ekonomi, dilakukan uji kausalitas untuk mengetahui sebab akibat

(kausalitas) di antara variabel-variabel yang ingin di uji. Uji kausalitas pada

penelitian ini menggunakan Pairwise Granger Causality Tests pada lag 2 hingga

lag optimal 4. Apabila hasil pengujian kausalitas Granger antara dua variabel

signifikan secara statistik, maka artinya variabel tersebut dapat digunakan untuk

memprediksi (meramal) variabel lainnya.

Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua

arah antara variabel pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan nilai ekspor

Indonesia ke Jepang baik pada lag kedua, ketiga, dan keempat. Hasil ini

menunjukkan bahwa variabel ekspor Indonesia ke Jepang dapat digunakan untuk

memprediksi (forecasting) pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan baik.

Hubungan dua arah juga terdapat pada variabel pertumbuhan ekonomi

Indonesia dengan nilai impor Indonesia dari Jepang pada lag kedua, ketiga, dan

keempat. Ini menunjukkan bahwa variabel impor Indonesia ke Jepang dapat

digunakan untuk memprediksi (forecasting) pertumbuhan ekonomi Indonesia

dengan baik.

Untuk variabel pertumbuhan ekonomi Indonesia dan nilai realisasi PMA

Indonesia tidak terdapat hubungan kausalitas di antara keduanya.

79
Tabel 8. Uji Kausalitas Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang, Nilai Impor Riil
Indonesia dari Jepang, dan Nilai Realisasi PMA Jepang di Indonesia
dengan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Lag Hipotesis F-Statistic Probability


(1) (2) (3) (4)

EKSPOR →PDB 13,8882 7,9E-06***


PDB → EKSPOR 34,5814 3,0E-11***

Lag 2 IMPOR → PDB 4,1814 0,0191**


PDB → IMPOR 7,7679 0,0009***
PMA → PDB 0,8972 0,4122
PDB → PMA 0,3163 0,7298
EKSPOR → PDB 11,1280 4,8E-06***
PDB → EKSPOR 14,4475 2,1E-07***
IMPOR → PDB 4,8241 0,0042***
Lag 3
PDB → IMPOR 4,6373 0,0052***
PMA → PDB 1,0325 0,1962
PDB → PMA 0,2508 0,8605
EKSPOR → PDB 5,3837 0,0008***
PDB → EKSPOR 8,2336 1,9E-05***
IMPOR → PDB 2,1294 0,0869*
Lag 4
PDB → IMPOR 3,5695 0,0107**
PMA → PDB 0,6481 0,6302
PDB → PMA 1,9908 0,1061
Cat : ***signifikan pada α 1 persen
** signifikan pada α 5 persen
* signifikan pada α 10 persen

Pengaruh pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang terhadap ekonomi

Indonesia terjadi karena ekspor merupakan salah satu pengerak perekonomian.

Ekspor dianggap sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dalam negeri

karena meningkatnya ekspor berarti menciptakan peningkatan investasi, dapat

membuka lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan, dan menghasilkan

devisa bagi negara. Selain itu, meningkatnya pertumbuhan ekspor akan

80
menjadikan neraca perdagangan menjadi positif yang juga akan berdampak positif

terhadap pertumbuhan ekonomi.

Uji kausalitas di atas juga memberikan hasil bahwa impor Indonesia dari

Jepang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi

berbeda dengan ekspor, meningkatnya impor dipandang sebagai kebocoran

terhadap perekonomian karena dampak positifnya jatuh ke pihak luar negeri.

Namun pandangan ini tidak seluruhnya benar, karena impor juga menumbuhkan

kegiatan investasi dalam negeri, apabila yang diimpor adalah barang modal, bahan

mentah, barang setengah jadi untuk keperluan industri. Di samping itu impor

barang konsumsi juga menumbuhkan kegiatan perdagangan, pengangkutan dan

sebagainya yang pada akhirnya memberikan sumber pendapatan bagi banyak

penduduk.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap kedua variabel, yaitu ekspor Indonesia ke Jepang dan impor Indonesia

dari Jepang. Hal ini dikarenakan meningkatnya pertumbuhan ekonomi tidak

terlepas dari membaiknya kinerja dari indikator ekonomi makro. Keadaan

perekonomian yang membaik membuat kesejahteraan dan daya beli masyarakat

meningkat sehingga dapat memacu meningkatnya ekspor dan impor.

Dari model yang terbentuk, dapat diketahui bahwa perubahan

pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode t dipengaruhi secara signifikan

oleh perubahan pertumbuhan ekonomi itu sendiri pada periode sebelumnya (Yt-2

dan Yt-4) serta perubahan pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Jepang pada

periode Yt-1, Yt-2, dan Yt-3. Untuk variabel perubahan pertumbuhan nilai impor dan

81
nilai realisasi PMA tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi Indonesia.

Jika dilihat dari tanda koefisien yang terbentuk, dapat diketahui pula

bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode sebelumnya

(Yt-4) serta perubahan pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Jepang pada periode

Yt-1, Yt-2, dan Yt-3 berpengaruh positif terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi

Indonesia dengan tingkat keyakinan 90 persen. Dari koefisien determinasi (R2)

yang terbentuk, dapat dikatakan bahwa kemampuan variabel perubahan

pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Jepang, nilai impor Indonesia dari Jepang,

serta nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia dapat menjelaskan perubahan

pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 67,26 persen, sedangkan sisanya 32,74

persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

Tabel 9. VAR model dengan DLNPDB sebagai variabel dependen (koefisien dan
t-statistik [ ])
Lag
DLNPDB DLNEKSPOR DLNIMPOR DLNPMA
(triwulan)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 -0,1518 0,0427 0,0075 0,0011
[-1,3136] [2,5726]** [1,0721] [0,3414]

2 -0,3690 0,0328 0,0027 0,0024


[-3,1546]*** [1,9187]* [0,3030] [0,6214]

3 -0.2020 0,0368 0,0038 -0,0016


[-1,5763] [2,5465]** [0,4346] [-0,4198]

4 0,5763 0,0176 -0,0023 0,0007


[4,9071]*** [1,2117] [-0,3186] [-0,2187]
Intercept. 0,0154*
R2 0,6726
F-statistics 7,4462
Cat : ***signifikan pada α 1 persen
** signifikan pada α 5 persen
* signifikan pada α 10 persen

82
Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi

Indonesia dipengaruhi secara positif oleh perubahan pertumbuhan ekspor

Indonesia ke Jepang. Hal ini berarti bahwa jika perubahan pertumbuhan nilai

ekspor Indonesia ke Jepang meningkat pada triwulan sebelumnya akan

meningkatkan perubahan pertumbuhan ekonomi pada saat ini.

4.4 Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan (Shock)


Ekspor Riil Indonesia ke Jepang, Impor Riil Indonesia dari Jepang, dan
Realisasi PMA Riil Jepang di Indonesia

Gambar 12, 13, dan 14 menunjukkan respon yang akan terjadi pada

pertumbuhan ekonomi Indonesia 12 periode waktu (triwulanan) ke depan

terhadap guncangan (shock) pertumbuhan nilai ekspor impor Indonesia-Jepangdan

pertumbuhan nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia. Sumbu horizontal

menunjukkan rentang periode respon, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan

nilai koefisien respon masing-masing variabel terhadap pertumbuhan ekonomi

Indonesia.

.03

.02

.01

.00

-.01
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 12. Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan


(Shock) Pada Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang

83
Jika dilihat di antara ketiga variabel tersebut (di luar pertumbuhan

ekonomi), hanya ekspor yang memberikan efek yang positif untuk jangka

panjang. Shock yang terjadi pada nilai ekspor Indonesia ke Jepang memiliki efek

yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak periode pertama

hingga tiga tahun mendatang (triwulan ke-12). Besarnya pengaruh shock pada

nilai ekspor Indonesia ke Jepang terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia turun

naik sejak periode pertama. Shock nilai ekspor Indonesia ke Jepang memiliki

pengaruh tertinggi pada periode ke dua. Guncangan nilai ekspor Indonesia ke

Jepang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,0116

persen pada periode ke dua. Tingginya nilai ekspor akan berakibat pada

meningkatnya output domestik untuk diekspor sehingga akan meningkatkan

permintaan agregat yang nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

.03

.02

.01

.00

-.01
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 13. Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan


(Shock) Pada Nilai Impor Riil Indonesia dari Jepang

Berbeda dengan ekspor, shock yang terjadi pada pertumbuhan nilai impor

Indonesia dari Jepang direspon negatif oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tetapi jka dilihat, pada periode pertama hingga ketiga guncangan pada

84
pertumbuhan nilai impor memberikan respon positif terhadap pertumbuhan

ekonomi Indonesia. Hal ini karena masih banyaknya bahan baku dan penolong

industri Indonesia yang berasal dari impor Jepang. Meskipun hingga periode

ketiga shock yang terjadi pada nilai impor Indonesia dari Jepang memberikan

hasil yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun dari periode

empat hingga tiga tahun mendatang guncangan ini akan memberikan pengaruh

yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini karena peningkatan

nilai impor akan membuat konsumsi dalam negeri meningkat, tetapi tidak untuk

meningkatkan pendapatan dalam negeri melainkan luar negeri (Jepang).

.03

.02

.01

.00

-.01
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 14. Respon Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhadap Guncangan


(Shock) Pada Nilai Ekspor Riil Indonesia ke Jepang

Secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan merespon negatif

jika shock terjadi pada pertumbuhan nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia.

Pada periode awal, guncangan yang terjadi pada nilai realisasi PMA tidak akan

direspon oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi sejak periode ke

empat hingga akhir periode (triwulan ke-12) shock pada PMA terus memberikan

85
efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Shock nilai realisasi PMA Jepang di

Indonesia memiliki pengaruh tertinggi pada periode ke lima. Guncangan nilai

realisasi PMA Jepang di Indonesia akan menurunkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia sebesar 0,0069 persen pada periode ke lima. Hal ini terjadi karena

Indonesia belum mampu mengoptimalkan masuknya PMA Jepang. Nilai realisasi

PMA yang fluktuatif dan cenderung menurun setiap tahunnya membuat investasi

ini tidak mampu berbuat banyak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Analisis hubungan ekonomi bilateral Indonesia-Jepang terhadap

pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dapat dilihat melalui analisis Variance

Decomposition (VD). Analisis ini menjelaskan sejauh mana peran suatu variabel

ekonomi dalam menjelaskan variabel ekonomi lainnya. Analisis Variance

Decomposition dapat pula dipakai untuk melihat kekuatan dan kelemahan dari

masing-masing variabel mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang

panjang.

Hasil Variance Decomposition menunjukkan guncangan (shock) LNPDB

dan LNEKSPOR dominan mempengaruhi LNPDB. Dapat dikatakan bahwa

pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri dan pertumbuhan ekspor Indonesia ke

Jepang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi

Indonesia. Tetapi jika dilihat lebih lanjut, pengaruh pertumbuhan ekonomi

Indonesia terhadap dirinya sendiri terus mengalami penurunan hingga periode 12.

Sedangkan shock LNEKSPOR, LNIMPOR, dan LNPMA terus mengalami

peningkatan dari periode awal hingga periode 12 dalam mempengaruhi variasi

LNPDB.

86
Pada periode pertama, guncangan LNPDB memberikan pengaruh terhadap

dirinya sendiri sebesar 100 persen. Selanjutnya terus mengalami penurunan

hingga menjadi 77,45 persen pada periode 12. Shock LNEKSPOR memberikan

pengaruh terbesar kedua dalam memberikan pengaruh terhadap variasi LNPDB.

Pengaruh shock LNEKSPOR terhadap variasi LNPDB cenderung meningkat

hingga akhir periode peneitian (periode 12). Jika pada periode 2 shock

LNEKSPOR hanya mempengaruhi variasi LNPDB sebesar 7,76 persen, maka

pada periode 12 pengaruhnya meningkat menjadi 12,30 persen.

Tabel 10. Hasil Analisis Variance Decomposition Ekspor, Impor, dan PMA
Indonesia-Jepang Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Variance Decomposition of LNPDB:


Periode S.E. LNPDB LNEKSPOR LNIMPOR LNPMA
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 0.028249 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000


2 0.041766 91.44541 7.756839 0.797655 9.40E-05
3 0.047232 90.29616 9.074598 0.627982 0.001264
4 0.050634 86.07321 12.65262 0.581714 0.692459
5 0.057292 83.63791 11.49560 2.889850 1.976640
6 0.062506 82.57011 12.53400 2.735698 2.160195
7 0.066379 82.02241 11.96384 3.352974 2.660777
8 0.069401 80.14136 12.87613 3.507458 3.475048
9 0.073534 79.22022 12.39762 4.346085 4.036080
10 0.076734 78.56724 12.62631 4.428371 4.378074
11 0.079607 78.15282 12.11392 4.986007 4.747250
12 0.081968 77.45443 12.29894 5.094103 5.152523

Keadaan yang sama juga dialami oleh LNIMPOR dan LNPMA. Keduanya

menunjukkan pengaruh yang cenderung meningkat sejak awal periode sampai

87
dengan akhir periode penelitian. Dari periode kedua hingga periode keempat,

pengaruh shock LNIMPOR terhadap variasi LNPDB mengalami penurunan. Pada

periode keempat shock LNIMPOR mempengaruhi varians LNPDB sebesar 0,58

persen, tetapi kemudian meningkat pada periode ke lima menjadi 2,89 persen dan

terus meningkat sampai periode 12. Shock LNIMPOR memberikan pengaruh

sebesar 5,09 persen terhadap LNPDB pada periode 12. Untuk shock LNPMA

besarnya tidak jauh berbeda dengan shock LNIMPOR pada setiap periode dalam

mempengaruhi variasi LNPDB. Terus mengalami peningkatan sejak periode dua

hingga periode 12. Pada akhir periode (periode 12), shock LNPMA memberikan

pengaruh 5,15 persen dalam mempengaruhi variasi LNPDB.

Hasil Variance Decomposition ini memberikan pemahaman bahwa

variabel yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia selain

pertumbuhan ekonomi itu sendiri yaitu pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke

Jepang. Pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Jepang memberikan peran yang

lebih besar dibanding kedua variabel lainnya (impor dan PMA). Meningkatnya

nilai ekspor Indonesia ke Jepang tidak hanya membuat neraca perdagangan

menjadi surplus. Peningkatan ekspor ini juga dapat meningkatkan investasi dan

membuka lapangan kerja baru.

Pertumbuhan investasi (PMA) Jepang di Indonesia belum memiliki

pengaruh yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai realisasi PMA

yang cenderung menurun hingga saat ini membuat PMA belum berperan penting

dalam memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

88
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil pembahasan mengenai

hubungan bilateral Indonesia-Jepang serta dampaknya terhadap pertumbuhan

ekonomi Indonesia yaitu:

1. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang serta nilai impor Indonesia dari Jepang

cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 1990-1997, tetapi kemudian

mengalami penurunan yang tinggi pada tahun 1998 dan mulai merangkak naik

sejak tahun 1999 hingga tahun 2009, sedangkan nilai realisasi PMA Jepang di

Indonesia fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan dari tahun 1990

hingga 2009.

2. Perubahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi secara positif oleh

perubahan pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang.

3. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan memberikan respon positif terhadap

shock yang terjadi pada pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang, sedangkan

shock yang terjadi pada pertumbuhan nilai impor Indonesia dari Jepang dan

nilai realisasi PMA Jepang di Indonesia akan direspon negatif oleh

pertumbuhan ekonomi Indonesia.

89
5.2 Saran

Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan kesimpulan yang diperoleh

yaitu:

1. Melalui realisasi IJ-EPA, pemerintah hendaknya dapat meningkatkan nilai

ekspor Indonesia ke Jepang karena dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia

2. Pemerintah harus berupaya menjaga agar neraca perdagangan Indonesia

dengan Jepang tetap surplus karena guncangan pada nilai impor secara jangka

panjang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Untuk penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah periode waktu sebelum

tahun 1990. Karena Pada zaman Orde Baru peranan investasi asing sangat

besar dalam perekonomian Indonesia. Sehingga bila model ini diterapkan

dalam periode waktu yang lebih panjang hasilnya akan convergence menuju

sesuai dengan teori.

90
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Seno dkk. 2009. Perdagangan dan Investasi di Indonesia: Sebuah Catatan
Tentang Daya Saing dan Tantangan Ke Depan. Jakarta: BAPPENAS.

Anugrahita, Setadaru Jadun. 2005. Analisis Perdagangan Bilateral Antara


Indonesia Dengan Singapura Periode Tahun 1980-2003[Skripsi].
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS). 1990-2009. Indeks Harga Perdagangan Besar


Indonesia. Jakarta: BPS.

. 2000. Pedoman Praktis Penghitungan PDRB


Kabupaten/Kotamadya : Tata Cara Perhitungan Menurut Lapangan Usaha.
Jakarta: BPS.

. 2000. Pedoman Praktis Penghitungan PDRB


Kabupaten/Kotamadya : Tata Cara Perhitungan Menurut Penggunaan.
Jakarta: BPS.

. 2008. Statisik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Ekspor.


Jakarta: BPS.

. 2008. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Impor.


Jakarta: BPS.

Boediono. 1996. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Enders, Walter. 1995. Applied Economic Time Series. New York: John Wiley &
Sons, Inc.

Fakhrudin, Umar dan Irma Rahmawati. 2008. Kajian Kemungkinan Pembentukan


Kerjasama Perdagangan dan Investasi Asia Timur (Dampak Perkembangan
Kerjasama Ekonomi Kawasan Asia Timur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia). Jurnal Litbang Perdagangan Departemen Perdagangan, Vol.II
No.2, 125-155, 2008.

Basri, Faisal. 20 Agustus 2007. Analisis Ekonomi : Kemitraan Indonesia dan


Jepang. Kompas. 3 mei 2010. http://www.kompas.com.

Gujarati. 2004. Basic Econometrics. New York : Mc Graw Hill.

91
Herbawaty, Neneng. 20 Agustus 2007. EPA Indonesia-Jepang: Peningkatan
Kapasitas, PR besar Indonesia. Majalah Bisnis Indonesia. 3 Mei 2010.
http://www.bisnis.com.

Mankiw, Gregory. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.


Memon, dkk. Oktober 2008. Causal Relationship Between Exports and
Agricultural GDP in Pakistan. Munich Personal RePEc Archive (MPRA). 30
Mei 2010. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/11845/

Miankhel, Adil Khan, Shandre Mugan Thangavelu, dan Kaliappa Kalirayan.


Agustus 2009. Foreign Direct Investment, Export, and Economic Growth in
South Asia and Selected Emerging Countries : A Multivariate VAR Analysis.
CCAS Working Paper No.23. 30 Mei 2010. https://editorialexpress.com/cgi-
bin/conference/download.cgi?

Mulyana. 2004. Analisis Deret Waktu. Bandung: Universitas Padjajaran.

Notonamijoyo, Andre. 2004. Pengaruh Variabel-Variabel Makroekonomi


Terhadap Tingkat FDI Sektor Industri di Indonesia [Tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Nova Puspita. 2004. Analisis Pengaruh Fasilitas PMDN, PMA dan Non
PMA/PMDN Terhadap Produksi Industri Kayu Rotan dan Bambu Di
Indonesia Tahun 2002. [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

Panjaitan, Hulman. 2003. Hukum Penanaman Modal Asing. Jakarta: IND-HILL


CO.

Salvatore Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.

Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). 2009. Pedoman Penyusunan Skripsi


Jurusan Statistika Edisi Ketiga. Jakarta: STIS.

Setiana, Renny. 2009. Analisa Terhadap Kriteria Pencapaian kepentingan


Ekonomi: Studi Kasus Economic Partnership Agreements (EPA) Sebagai
Bentuk Diplomasi Bilateral Jepang di Tiga Kawasan di Dunia Tahun 2002-
2009 [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Soetarto. 1995. Faktor-Faktor Pendorong dan Penarik Penanaman Modal Asing


Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan di Indonesia [Tesis]. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Sukirno, Sadono. 2004. Maroekonomi: Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Tambunan, Tulus. 2000. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran.


Jakarta: Pustaka LP3ES.

92
Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Wibowo, Abadi. 2004. Pengaruh Hutang Luar negeri dan Penanaman Modal
Asing Terhadap Produk Domestik Bruto Triwulanan Tahun 1990-2003
[Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

http://www.jetro.go.jp/en/reports/statistics/

http://www.depdag.go.id/index.php?option=statistik&task=detil&itemid=06

93
Lampiran 1. Data PDB Indonesia ADHK 2000=100, Ekspor Indonesia ke Jepang,
Impor Indonesia dari Jepang, dan PMA Indonesia dari Jepang

PDB (miliar Ekspor (Ribu IMPOR (Ribu PMA (Ribu


Tahun Kuartal Rupiah) Dollar AS) Dollar AS) Dollar AS)
1990 Q1 227207.58 2452969.29 1065865.16 70648.37
Q2 228147.25 2192710.76 1142473.13 25537.16
Q3 249495.76 2658434.57 1470368.29 31251.33
Q4 244677.48 3619285.38 1621193.42 2005.49
1991 Q1 247076.56 2920139.49 1641107.66 27036.63
Q2 242627.56 2721540.85 1826707.53 74881.11
Q3 264701.33 2568434.99 1444438.83 67352.95
Q4 261031.66 2556684.67 1336145.98 271577.24
1992 Q1 259981.42 2459631.31 1736083.62 114805.76
Q2 258523.45 2469567.94 1463600.26 939097.86
Q3 283276.91 2764050.25 1482809.35 41202.53
Q4 279370.77 3067250.51 3057606.77 205266.13
1993 Q1 274051.94 2707795.12 1316843.93 140779.95
Q2 275562.95 2817481.38 1501811.21 35520.71
Q3 300307.51 2886127.00 1544497.08 145329.23
Q4 301637.08 2760800.37 1885277.12 365434.58
1994 Q1 298743.23 2476361.92 160742.04 345489.27
Q2 305096.74 2640393.87 3433783.14 675616.96
Q3 321050.81 2970246.26 1950100.11 130710.85
Q4 313454.01 2842038.93 2195485.80 130230.18
1995 Q1 323025.52 2836126.96 1711976.79 275795.60
Q2 327494.68 3016046.26 2705460.42 111959.55
Q3 346239.85 3109291.24 2550871.22 124778.65
Q4 343371.95 3326832.57 2248513.76 211869.52
1996 Q1 341562.23 3093271.33 2044561.02 573498.42
Q2 349344.83 3051032.51 2223113.09 186271.51
Q3 375364.93 3278874.60 1996598.46 447350.08
Q4 378653.84 1749025.42 2239732.33 119805.88
1997 Q1 367338.14 3286120.65 2121744.30 255576.27
Q2 367509.03 3075359.99 2103072.16 348373.31
Q3 395269.16 3190261.86 2146409.04 298224.87
Q4 382758.83 2933230.03 1881072.87 270954.90
1998 Q1 350848.20 2464859.30 1268022.68 175541.19
Q2 318474.90 1989307.39 1163852.93 450728.91
Q3 332024.45 2274168.22 251720.79 89915.59
Q4 312877.29 2387696.59 1608837.45 413837.68
1999 Q1 329335.06 2163261.31 643899.14 388055.02
Q2 324187.81 4103295.75 713592.86 2402969.08

94
Q3 341472.50 2837707.98 636079.74 176851.31
Q4 329645.48 3195430.79 919459.35 295599.60
2000 Q1 342852.40 3110286.18 975315.98 517792.30
Q2 340865.20 3488035.22 938690.81 837381.37
Q3 355289.50 3881418.40 1499963.85 228071.56
Q4 350762.80 3935417.56 1983284.29 539905.21
2001 Q1 356114.90 3675994.41 1534022.09 176099.77
Q2 360533.00 3338209.55 1237528.90 177204.09
Q3 367517.40 3389370.18 1015451.24 552745.64
Q4 356240.40 2606601.26 902468.10 199831.61
2002 Q1 368650.40 2642256.10 1021367.32 57998.20
Q2 375720.90 2723832.95 952987.59 71810.88
Q3 387919.60 3132790.13 1186843.50 82695.49
Q4 372925.50 3546236.29 1248114.34 221199.48
2003 Q1 386743.90 3480121.39 1076466.69 142278.36
Q2 394620.50 3287515.48 1056183.69 95382.15
Q3 405607.60 3315098.13 1088327.45 277124.16
Q4 390199.30 3520760.04 1007279.17 203137.26
2004 Q1 402597.30 3610930.38 1435905.22 222536.65
Q2 411935.50 3570954.10 1381652.18 210883.04
Q3 423852.30 4439423.75 1568163.43 370270.40
Q4 418131.70 4340801.35 1695886.87 237493.43
2005 Q1 426612.10 4215814.57 1748622.86 115676.41
Q2 436121.30 4477334.85 1890064.67 194287.64
Q3 448597.70 4737546.54 1798160.79 672360.09
Q4 439484.10 4618443.78 1469406.85 161701.47
2006 Q1 448485.30 4959770.70 1400272.29 538775.23
Q2 457636.80 5304085.45 1199684.63 114664.32
Q3 474903.50 5671409.41 1405607.91 130261.18
Q4 466101.10 5796857.43 1510208.85 119074.41
2007 Q1 475641.70 5047947.99 1425141.72 152780.26
Q2 488421.10 6535060.34 1566534.00 93983.21
Q3 506933.00 5957877.91 1695372.35 293312.49
Q4 493331.50 6091910.60 1839625.82 78083.86
2008 Q1 505198.40 6648945.54 3408901.42 314138.44
Q2 519169.80 7190050.01 3702808.53 568414.00
Q3 538599.00 8044086.08 3809381.69 219669.63
Q4 519348.70 5860774.53 4122381.84 275157.15
2009 Q1 528065.70 3751528.07 2130523.81 132640.22
Q2 540363.50 4103295.75 2206294.23 126191.28
Q3 561003.00 4932033.21 2532904.70 126676.79
Q4 547543.30 5787873.37 2974006.03 293436.27

95
Lampiran 2. IHPB Umum, Ekspor, dan Impor tahun Dasar 2000=100

TAHUN KUARTAL IHPB UMUM IHPB EKSPOR IHPB IMPOR


1990 Q1 26.33036 26.59990 29.25389
Q2 24.23460 19.46404 28.00536
Q3 23.77821 18.70758 27.00132
Q4 25.48470 23.94552 27.79833
1991 Q1 28.82892 30.68624 30.96393
Q2 26.25703 21.10589 29.97080
Q3 25.20206 18.57560 28.38395
Q4 24.88433 17.94743 28.45379
1992 Q1 29.86500 28.42967 32.35799
Q2 28.04643 23.30020 30.90829
Q3 26.80523 20.59529 29.29882
Q4 25.80192 18.25960 29.19090
1993 Q1 31.16487 29.73584 32.75049
Q2 29.44698 24.55431 31.54455
Q3 27.61489 19.45780 29.90420
Q4 26.53633 16.73109 29.73347
1994 Q1 32.03162 27.38184 33.18984
Q2 30.37333 23.03652 31.81595
Q3 29.44940 20.52972 30.36022
Q4 28.93309 18.33616 32.44631
1995 Q1 36.08558 33.41173 34.73851
Q2 34.52750 27.43569 34.02944
Q3 32.40021 21.40078 32.83149
Q4 31.67249 19.97170 33.07518
1996 Q1 39.16593 36.60487 37.29706
Q2 36.89084 29.62649 36.14749
Q3 34.84980 24.79799 34.44473
Q4 34.29121 24.59959 34.25316
1997 Q1 41.48794 41.33865 38.41835
Q2 38.04301 30.04185 36.92144
Q3 36.95465 26.91378 37.68998
Q4 41.25005 35.18543 41.58902
1998 Q1 74.57577 106.41341 79.18858
Q2 79.23570 94.39313 87.03085
Q3 87.09649 87.83396 95.39013
Q4 76.82132 52.15994 87.42668
1999 Q1 95.23327 92.45849 98.20827
Q2 90.76469 81.28853 93.53946
Q3 86.04967 74.06733 88.51311
Q4 84.34864 72.11417 86.70217

96
2000 Q1 100.00000 100.00000 100.00000
Q2 100.00000 100.00000 100.00000
Q3 100.00000 100.00000 100.00000
Q4 100.00000 100.00000 100.00000
2001 Q1 117.02520 128.02382 115.81682
Q2 119.65857 126.70121 117.94930
Q3 111.66233 103.17550 109.57702
Q4 109.04734 98.22526 108.00945
2002 Q1 125.74461 122.57615 118.70612
Q2 118.64240 109.86381 110.22766
Q3 113.39441 100.98126 105.25188
Q4 112.60232 100.60919 104.09365
2003 Q1 131.14292 133.29053 118.99911
Q2 120.65352 109.80457 109.98105
Q3 115.21837 100.37850 106.09354
Q4 113.31760 99.48669 104.93469
2004 Q1 133.09037 132.16230 120.84718
Q2 133.68718 130.29337 121.68627
Q3 130.90996 126.78414 119.61536
Q4 126.11143 124.33569 119.47850
2005 Q1 151.14860 166.93879 138.95606
Q2 150.23354 164.24640 137.68846
Q3 148.24541 159.54280 135.27874
Q4 154.96370 154.38500 137.96925
2006 Q1 164.66667 147.00000 155.66667
Q2 170.00000 155.00000 162.00000
Q3 175.33333 160.33333 164.66667
Q4 176.33333 152.33333 166.33333
2007 Q1 181.66667 152.00000 169.66667
Q2 191.00000 165.00000 182.66667
Q3 197.66667 169.66667 187.00000
Q4 210.66667 180.66667 205.66667
2008 Q1 225.66667 191.66667 217.33333
Q2 247.00000 214.33333 248.00000
Q3 260.33333 222.00000 249.33333
Q4 249.33333 209.33333 224.66667
2009 Q1 241.83776 226.48029 214.45552
Q2 242.87755 220.09017 213.87608
Q3 243.12248 213.25555 214.64227
Q4 255.69011 205.84667 218.45132

97
Lampiran 3. Nilai PDB Konstan, Ekspor Konstan, Impor Konstan, dan PMA
Konstan Indonesia-Jepang

Kuar
Tahun Ekspor Konstan PMA Konstan Impor Konstan PDB
tal
1990 Q1 9221724.99232 268315.21142 3643498.57807 227207.57815
Q2 11265442.61579 105374.76039 4079480.64567 228147.25043
Q3 14210465.28912 131428.48438 5445542.74033 249495.75861
Q4 15114665.75229 7869.38580 5831982.16038 244677.48106
1991 Q1 9516119.95851 93782.99428 5300062.39324 247076.56026
Q2 12894700.22169 285184.97427 6094957.03784 242627.56204
Q3 13826925.80467 267251.82393 5088927.56047 264701.32925
Q4 14245405.03940 1091358.49350 4695844.85592 261031.65847
1992 Q1 8651635.53262 384415.75466 5365239.40962 259981.41523
Q2 10598913.02960 3348368.31785 4735299.85185 258523.44634
Q3 13420786.79662 153710.76532 5060986.15545 283276.90513
Q4 16798013.94662 795546.07969 10474519.78402 279370.77336
1993 Q1 9106166.39857 451726.45528 4020837.10138 274051.94302
Q2 11474488.82471 120625.99327 4760921.28007 275562.95385
Q3 14832750.96081 526271.29718 5164817.39066 300307.51210
Q4 16501015.75041 1377110.43116 6340589.04584 301637.07639
1994 Q1 9043811.35836 1078588.22435 484310.91773 298743.23450
Q2 11461773.61788 2224375.91731 10792645.24886 305096.74292
Q3 14468034.39279 443848.99023 6423207.92506 321050.80629
Q4 15499642.77155 450108.06340 6766519.35523 313454.01063
1995 Q1 8488417.57421 764281.98022 4928181.52304 323025.52292
Q2 10993147.22184 324261.94635 7950352.03735 327494.68365
Q3 14528871.93345 385116.79708 7769586.05887 346239.84691
Q4 16657737.47705 668938.58282 6798189.65415 343371.94861
1996 Q1 8450436.16244 1464278.76076 5481828.91507 341562.22567
Q2 10298325.39467 504926.25825 6150117.47300 349344.83451
Q3 13222339.05322 1283651.62520 5796528.75708 375364.92831
Q4 7109978.84740 349377.77460 6538761.47201 378653.84347
1997 Q1 7949270.32530 616025.47515 5522737.29357 367338.14301
Q2 10236919.77867 915735.28891 5696072.97724 367509.03297
Q3 11853638.44862 807002.39373 5694907.01667 395269.16316
Q4 8336490.75439 656859.52636 4523003.33616 382758.82723
1998 Q1 2316305.06485 235386.37348 1601269.62421 350848.20047
Q2 2107470.46728 568845.73318 1337287.81811 318474.89639
Q3 2589167.48879 103236.74859 263885.58155 332024.44852
Q4 4577644.50805 538701.59767 1840213.30067 312877.28601
1999 Q1 2339710.73475 407478.42599 655646.56674 329335.05820
Q2 5047816.55623 2647471.32648 762878.97111 324187.81018

98
Q3 3831254.63760 205522.34875 718627.70536 341472.49629
Q4 4431072.11571 350449.75949 1060480.19509 329645.48471
2000 Q1 3110286.17600 517792.29934 975315.97800 342852.40000
Q2 3488035.21800 837381.37121 938690.80900 340865.20000
Q3 3881418.40000 228071.56200 1499963.85100 355289.50000
Q4 3935417.55800 539905.20882 1983284.28800 350762.80000
2001 Q1 2871336.40090 150480.20835 1324524.49673 356114.90000
Q2 2634710.00618 148091.42399 1049204.12642 360533.00000
Q3 3285053.36356 495015.31079 926700.91168 367517.40000
Q4 2653697.56764 183252.15880 835545.53602 356240.40000
2002 Q1 2155603.70647 46123.80535 860416.71998 368650.40000
Q2 2479281.28395 60527.16673 864562.99215 375720.90000
Q3 3102348.07886 72927.31284 1127622.12502 387919.60000
Q4 3524763.73011 196443.08258 1199030.24611 372925.50000
2003 Q1 2610929.25124 108491.07141 904600.62020 386743.90000
Q2 2993969.66623 79054.59925 960332.46380 394620.50000
Q3 3302597.64349 240520.80996 1025818.81858 405607.60000
Q4 3538925.77478 179263.65083 959910.59262 390199.30000
2004 Q1 2732193.87280 167207.18013 1188199.15408 402597.30000
Q2 2740702.80064 157743.65861 1135421.61996 411935.50000
Q3 3501560.89304 282843.56625 1311005.05273 423852.30000
Q4 3491194.84038 188320.30292 1419407.60776 418131.70000
2005 Q1 2525365.54031 76531.58096 1258399.82967 426612.10000
Q2 2725986.65352 129323.74549 1372710.98685 436121.30000
Q3 2969451.71474 453545.29198 1329226.44326 448597.70000
Q4 2991510.61877 104347.96719 1065024.86918 439484.10000
2006 Q1 3373993.67143 327191.43771 899532.51970 448485.30000
Q2 3421990.61032 67449.60151 740546.06975 457636.80000
Q3 3537261.58565 74293.44753 853608.04433 474903.50000
Q4 3805376.87133 67528.01973 907941.19178 466101.10000
2007 Q1 3321018.41316 84099.22346 839965.64971 475641.70000
Q2 3960642.62970 49205.87163 857591.60420 488421.10000
Q3 3511519.39921 148387.43010 906616.23209 506933.00000
Q4 3371906.23672 37065.12261 894469.60551 493331.50000
2008 Q1 3469015.06226 139204.62775 1568512.92285 505198.40000
Q2 3354611.19984 230127.12715 1493067.95645 519169.80000
Q3 3623462.19730 84380.13824 1527826.88021 538599.00000
Q4 2799733.05717 110357.14758 1834888.06113 519348.70000
2009 Q1 1656447.95664 54846.78000 993457.18403 528065.70000
Q2 1864370.28390 51956.74743 1031575.96052 540363.50000
Q3 2312733.82740 52104.10497 1180058.67135 561003.00000
Q4 2811740.07981 114762.46351 1361404.48917 547543.30000

99
Lampiran 4. Uji Stasioneritas

a. LNPDB

13.4

13.2

13.0

12.8

12.6

12.4

12.2
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08

LNPDB

Null Hypothesis: LNPDB has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Bandwidth: 13 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -2.756401 0.2178


Test critical values: 1% level -4.078420
5% level -3.467703
10% level -3.160627

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.001201


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.001350

Null Hypothesis: D(LNPDB) has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Bandwidth: 15 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -11.06258 0.0000

100
Test critical values: 1% level -4.080021
5% level -3.468459
10% level -3.161067

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.001258


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.001093

b. LNEKSPOR

16.8

16.4

16.0

15.6

15.2

14.8

14.4

14.0
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08

LNEKSPOR

Null Hypothesis: LNEKSPOR has a unit root


Exogenous: Constant
Bandwidth: 78 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -1.740386 0.4072


Test critical values: 1% level -3.515536
5% level -2.898623
10% level -2.586605

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.096015


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.066379

101
Null Hypothesis: D(LNEKSPOR) has a unit root
Exogenous: Constant
Bandwidth: 24 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -14.86065 0.0001


Test critical values: 1% level -3.516676
5% level -2.899115
10% level -2.586866

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.098498


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.023128

c. LNIMPOR

17

16

15

14

13

12
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08

LNIMPOR

Null Hypothesis: LNIMPOR has a unit root


Exogenous: Constant
Bandwidth: 1 (Newey-West using Bartlett kernel)

102
Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -2.732923 0.0730


Test critical values: 1% level -3.515536
5% level -2.898623
10% level -2.586605

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.326031


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.205819

Null Hypothesis: D(LNIMPOR) has a unit root


Exogenous: Constant
Bandwidth: 4 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -17.63082 0.0001


Test critical values: 1% level -3.516676
5% level -2.899115
10% level -2.586866

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.264503


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.190424

d. LNPMA
16

15

14

13

12

11

10

8
90 92 94 96 98 00 02 04 06 08

LNPMA

103
Null Hypothesis: LNPMA has a unit root
Exogenous: Constant
Bandwidth: 4 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -5.259009 0.0000


Test critical values: 1% level -3.515536
5% level -2.898623
10% level -2.586605

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.922196


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 1.060498

Null Hypothesis: D(LNPMA) has a unit root


Exogenous: Constant
Bandwidth: 12 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -24.46576 0.0001


Test critical values: 1% level -3.516676
5% level -2.899115
10% level -2.586866

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Residual variance (no correction) 0.876485


HAC corrected variance (Bartlett kernel) 0.258898

Phillips-Perron Test Equation


Dependent Variable: D(LNPMA,2)
Method: Least Squares
Date: 08/22/10 Time: 09:15
Sample (adjusted): 1990Q3 2009Q4
Included observations: 78 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(LNPMA(-1)) -1.537361 0.096587 -15.91687 0.0000

104
C -0.010197 0.107410 -0.094934 0.9246

R-squared 0.769240 Mean dependent var 0.022106


Adjusted R-squared 0.766204 S.D. dependent var 1.961526
S.E. of regression 0.948447 Akaike info criterion 2.757324
Sum squared resid 68.36587 Schwarz criterion 2.817752
Log likelihood -105.5356 F-statistic 253.3467
Durbin-Watson stat 2.164424 Prob(F-statistic) 0.000000

105
Lampiran 5. Uji Kausalitas Granger

Pairwise Granger Causality Tests


Date: 08/22/10 Time: 09:16
Sample: 1990Q1 2009Q4
Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

DLNIMPOR does not Granger Cause


DLNEKSPOR 77 2.73130 0.07189
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNIMPOR 1.73228 0.18417

DLNPDB does not Granger Cause


DLNEKSPOR 77 34.5814 3.0E-11
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNPDB 13.8882 7.9E-06

DLNPMA does not Granger Cause


DLNEKSPOR 77 3.00906 0.05558
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNPMA 0.41889 0.65937

DLNPDB does not Granger Cause DLNIMPOR 77 7.76792 0.00088


DLNIMPOR does not Granger Cause DLNPDB 4.18138 0.01914

DLNPMA does not Granger Cause


DLNIMPOR 77 1.68840 0.19205
DLNIMPOR does not Granger Cause DLNPMA 0.49256 0.61311

DLNPMA does not Granger Cause DLNPDB 77 0.89719 0.41222


DLNPDB does not Granger Cause DLNPMA 0.31632 0.72984

Pairwise Granger Causality Tests


Date: 08/22/10 Time: 09:16
Sample: 1990Q1 2009Q4
Lags: 3

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

DLNIMPOR does not Granger Cause


DLNEKSPOR 76 1.87863 0.14128
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNIMPOR 1.26943 0.29172

DLNPDB does not Granger Cause


DLNEKSPOR 76 14.4475 2.1E-07
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNPDB 11.1280 4.8E-06

DLNPMA does not Granger Cause


DLNEKSPOR 76 1.37408 0.25798
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNPMA 0.49767 0.68511

106
DLNPDB does not Granger Cause DLNIMPOR 76 4.63725 0.00518
DLNIMPOR does not Granger Cause DLNPDB 4.82411 0.00416

DLNPMA does not Granger Cause


DLNIMPOR 76 1.60456 0.19624
DLNIMPOR does not Granger Cause DLNPMA 0.25076 0.86053

DLNPMA does not Granger Cause DLNPDB 76 1.03252 0.38371


DLNPDB does not Granger Cause DLNPMA 1.40725 0.24807

Pairwise Granger Causality Tests


Date: 08/22/10 Time: 09:17
Sample: 1990Q1 2009Q4
Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

DLNIMPOR does not Granger Cause


DLNEKSPOR 75 1.35309 0.25979
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNIMPOR 2.03921 0.09897

DLNPDB does not Granger Cause


DLNEKSPOR 75 8.23360 1.9E-05
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNPDB 5.38369 0.00082

DLNPMA does not Granger Cause


DLNEKSPOR 75 1.91425 0.11840
DLNEKSPOR does not Granger Cause DLNPMA 0.63740 0.63765

DLNPDB does not Granger Cause DLNIMPOR 75 3.56946 0.01072


DLNIMPOR does not Granger Cause DLNPDB 2.12938 0.08692

DLNPMA does not Granger Cause


DLNIMPOR 75 1.33455 0.26642
DLNIMPOR does not Granger Cause DLNPMA 0.22988 0.92067

DLNPMA does not Granger Cause DLNPDB 75 0.64806 0.63024


DLNPDB does not Granger Cause DLNPMA 1.99082 0.10610

107
Lampiran 6. Uji Lag Optimal

VAR Lag Order Selection Criteria


Endogenous variables: DLNPDB DLNEKSPOR DLNIMPOR
DLNPMA
Exogenous variables: C
Date: 08/22/10 Time: 09:17
Sample: 1990Q1 2009Q4
Included observations: 75

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -39.33665 NA 3.73e-05 1.155644 1.279243 1.204996


1 7.900760 88.17649 1.62e-05 0.322646 0.940643 0.569406
2 46.40950 67.77538 8.94e-06 -0.277587 0.834808* 0.166580*
3 64.84633 30.48223 8.46e-06 -0.342569 1.264223 0.299005
4 89.28613 37.80022* 6.88e-06* -0.567630* 1.533559 0.271352

* indicates lag order selected by the criterion


LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion

108
Lampiran 7. Model VAR Berdasarkan Lag Optimum

Vector Autoregression Estimates


Date: 08/20/10 Time: 18:38
Sample (adjusted): 1991Q2 2009Q4
Included observations: 75 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

DLNPDB DLNEKSPOR DLNIMPOR DLNPMA

DLNPDB(-1) -0.151807 3.715718 4.869937 6.548440


(0.11556) (1.08402) (2.41812) (4.51273)
[-1.31363] [ 3.42771] [ 2.01394] [ 1.45110]

DLNPDB(-2) -0.369039 -3.016683 -0.541456 -0.519868


(0.11698) (1.09736) (2.44787) (4.56826)
[-3.15459] [-2.74903] [-0.22119] [-0.11380]

DLNPDB(-3) -0.201982 1.956882 3.186895 4.877140


(0.12814) (1.20196) (2.68118) (5.00367)
[-1.57632] [ 1.62808] [ 1.18861] [ 0.97471]

DLNPDB(-4) 0.576268 0.551370 2.833501 -5.237273


(0.11744) (1.10159) (2.45731) (4.58587)
[ 4.90709] [ 0.50052] [ 1.15309] [-1.14205]

DLNEKSPOR(-1) 0.042696 -0.003214 0.632127 0.437028


(0.01660) (0.15568) (0.34727) (0.64809)
[ 2.57262] [-0.02065] [ 1.82025] [ 0.67433]

DLNEKSPOR(-2) 0.032809 -0.417606 0.343079 -0.184251


(0.01710) (0.16040) (0.35779) (0.66772)
[ 1.91874] [-2.60359] [ 0.95887] [-0.27594]

DLNEKSPOR(-3) 0.036788 0.081689 0.198295 0.409986


(0.01445) (0.13551) (0.30229) (0.56414)
[ 2.54648] [ 0.60281] [ 0.65598] [ 0.72675]

DLNEKSPOR(-4) 0.017633 -0.010199 0.061294 -0.117952


(0.01455) (0.13650) (0.30449) (0.56825)
[ 1.21172] [-0.07471] [ 0.20130] [-0.20757]

DLNIMPOR(-1) 0.007475 -0.040572 -0.847400 -0.214496


(0.00697) (0.06540) (0.14589) (0.27225)
[ 1.07212] [-0.62037] [-5.80866] [-0.78785]

DLNIMPOR(-2) 0.002722 -0.035720 -0.486277 -0.200110


(0.00898) (0.08427) (0.18798) (0.35081)

109
[ 0.30301] [-0.42387] [-2.58683] [-0.57041]

DLNIMPOR(-3) 0.003836 -0.144659 -0.197970 -0.192429


(0.00883) (0.08281) (0.18472) (0.34473)
[ 0.43457] [-1.74691] [-1.07174] [-0.55821]

DLNIMPOR(-4) -0.002297 -0.024340 0.034322 -0.085207


(0.00721) (0.06762) (0.15084) (0.28151)
[-0.31863] [-0.35994] [ 0.22753] [-0.30268]

DLNPMA(-1) 0.001152 -0.023255 -0.109089 -0.622888


(0.00338) (0.03166) (0.07063) (0.13180)
[ 0.34139] [-0.73449] [-1.54459] [-4.72586]

DLNPMA(-2) 0.002367 -0.002984 -0.028019 -0.328916


(0.00381) (0.03573) (0.07970) (0.14874)
[ 0.62144] [-0.08352] [-0.35155] [-2.21136]

DLNPMA(-3) -0.001584 -0.071554 0.057660 -0.246115


(0.00377) (0.03539) (0.07894) (0.14732)
[-0.41980] [-2.02194] [ 0.73042] [-1.67061]

DLNPMA(-4) -0.000719 -0.042500 0.044066 -0.148543


(0.00329) (0.03084) (0.06879) (0.12837)
[-0.21866] [-1.37820] [ 0.64060] [-1.15712]

C 0.015427 -0.068901 -0.130989 -0.052378


(0.00482) (0.04519) (0.10081) (0.18814)
[ 3.20192] [-1.52456] [-1.29932] [-0.27840]

R-squared 0.672573 0.638277 0.524575 0.412759


Adj. R-squared 0.582249 0.538491 0.393423 0.250761
Sum sq. resids 0.031614 2.781761 13.84192 48.20811
S.E. equation 0.023347 0.219001 0.488522 0.911688
F-statistic 7.446184 6.396467 3.999751 2.547930
Log likelihood 185.0163 17.11976 -43.05339 -89.84686
Akaike AIC -4.480434 -0.003194 1.601424 2.849250
Schwarz SC -3.955137 0.522104 2.126721 3.374547
Mean dependent 0.010610 -0.016256 -0.018123 0.002692
S.D. dependent 0.036122 0.322371 0.627251 1.053261

Determinant resid covariance (dof adj.) 3.04E-06


Determinant resid covariance 1.09E-06
Log likelihood 89.28613
Akaike information criterion -0.567630
Schwarz criterion 1.533559

110
Lampiran 8. Output Impulse Response

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LNPDB to LNPDB Response of LNPDB to LNEKSPOR
.03 .03

.02 .02

.01 .01

.00 .00

-.01 -.01
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Response of LNPDB to LNPMA


Response of LNPDB to LNIMPOR
.03
.03

.02
.02

.01
.01

.00
.00

-.01
-.01
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Response of LNPDB:
Period LNPDB LNEKSPOR LNIMPOR LNPMA

1 0.028249 0.000000 0.000000 0.000000


(0.00229) (0.00000) (0.00000) (0.00000)
2 0.028234 0.011632 0.003730 -4.05E-05
(0.00431) (0.00357) (0.00362) (0.00305)
3 0.020475 0.008194 0.000309 -0.000163
(0.00528) (0.00496) (0.00526) (0.00437)
4 0.013868 0.011043 -0.000951 -0.004210
(0.00554) (0.00513) (0.00566) (0.00461)
5 0.023207 0.007276 -0.008941 -0.006865
(0.00530) (0.00465) (0.00586) (0.00440)
6 0.021925 0.010601 -0.003468 -0.004418
(0.00536) (0.00517) (0.00646) (0.00486)
7 0.019700 0.006120 -0.006392 -0.005731
(0.00576) (0.00581) (0.00678) (0.00501)
8 0.015683 0.009645 -0.004604 -0.007081
(0.00611) (0.00616) (0.00696) (0.00510)
9 0.020580 0.007084 -0.008128 -0.007132
(0.00630) (0.00607) (0.00700) (0.00524)
10 0.018508 0.008549 -0.005074 -0.006289
(0.00651) (0.00634) (0.00700) (0.00540)
11 0.018072 0.004923 -0.007432 -0.006562
(0.00679) (0.00674) (0.00691) (0.00541)
12 0.015851 0.007658 -0.005127 -0.006734
(0.00701) (0.00705) (0.00688) (0.00546)

111
Lampiran 9. Variance Decomposition (VD)

Variance Decomposition of LNPDB:


Period S.E. LNPDB LNEKSPOR LNIMPOR LNPMA

1 0.028249 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000


2 0.041766 91.44541 7.756839 0.797655 9.40E-05
3 0.047232 90.29616 9.074598 0.627982 0.001264
4 0.050634 86.07321 12.65262 0.581714 0.692459
5 0.057292 83.63791 11.49560 2.889850 1.976640
6 0.062506 82.57011 12.53400 2.735698 2.160195
7 0.066379 82.02241 11.96384 3.352974 2.660777
8 0.069401 80.14136 12.87613 3.507458 3.475048
9 0.073534 79.22022 12.39762 4.346085 4.036080
10 0.076734 78.56724 12.62631 4.428371 4.378074
11 0.079607 78.15282 12.11392 4.986007 4.747250
12 0.081968 77.45443 12.29894 5.094103 5.152523

112
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 1988 dari pasangan

Waryono dan Sopiah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN Baru 08

Pagi, kemudian pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan menengah pertama di

SMP Negeri 103 Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006, penulis lulus dari SMA

Islam Al Azhar Syifa Budi Kemang dan pada tahun yang sama mendapat

kesempatan mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

Akhirnya pada tahun keempat (2010), penulis berhasil menyelesaikan

pendidikan Program D IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

113

Anda mungkin juga menyukai