PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tiga negara penghasil biji kakao terbesar di dunia yaitu Pantai Gading,
Brasil dan Indonesia. Semakin lama produksi kakao semakin meningkat. Hal ini
dikarenakan adanya program peremajaan tanaman kakao dan perluasan kebun
yang teratur. Biji kakao dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis
tinggi. Produk olahan dari kakao banyak ditemui di pasaran misalnya permen,
kakao bubuk, kakao pasta, coklat dan lain sebagainya.
Salah satu produk hilir kakao yaitu coklat. Coklat merupakan makanan yang
sangat digemari baik dari berbagai kalangan karena memiliki rasa yang manis.
Pada umumnya kakao diproduksi dalam tiga bentuk antara lain cocoa butter,
cocoa liquor dan cocoa powder. Umumnya coklat dikonsumsi dalam bentuk
coklat batangan, namun coklat juga dapat digunakan sebagai bahan minuman
hangat dan dingin. Salah satu karakteristik coklat yaitu mudah leleh pada suhu
kamar. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik lemak kakao yang digunakan.
Pembuatan produk coklat dari biji kakao membutuhkan proses yang cuku
lama. Proses tersebut antara lain yaitu pembersihan biji, penyangraian, pemisahan
kulit, pemastaan dan pembuatan coklat yang meliputi tahap pencampuran,
conching, tempering dan pencetakan
Salah satu faktor yang penting dalam produk pangan adalah mutu atau
kualitas. Cara untuk meningkatkan kualitas produk coklat yaitu dengan cara
tempering. Tempering merupakan proses yang melibatkan serangkaian tahapan
pemanasan, pendinginan dan pengadukan dengan kecepatan rendah. Fungsi dari
proses tempering yaitu meningkatkan titik leleh. Oleh karena itu, praktikum ini
dilakukan untuk mengetahui proses pembuatan coklat dan pengaruh tempering
yang berbeda pada coklat yang dihasilkan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain:
1. Memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian.
2. Mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji.
3. Mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan dibandingkan dengan
pasta komersial.
4. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan.
5. Mengetahui sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering yang
berbeda.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kakao (Theobroma cacao)
Theobroma cacao L adalah nama biologis yang diberikan pada pohon kakao
oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di
bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan
teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya
sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).
Menurut Poedjiwidodo (1996), sistematika tanaman kakao adalah sebagai
berikut.
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao, L.
Menurut Susanto (1994), jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi
coklat hanya 3 jenis, yaitu :
1. Jenis Criollo
Jenis Criollo terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika Selatan.
Jenis ini menghasilkan biji coklat yang mutunya sangat baik dan dikenal sebagai
coklat mulia. Buahnya berwarna merah atau hijau, kulit buahnya tipis dan
berbintil – bintil kasar dan lunak. Biji buahnya berbentuk bulat telur dan
berukuran besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu basah.
2. Jenis Forastero
Jenis ini menghasilkan biji coklat yang memiliki mutu sedang atau dikenal juga
sebagai Ordinary cocoa. Buahnya berwarna hijau, kulitnya tebal, biji buahnya
tipis atau gepeng dan kotiledon berwarna ungu pada waktu basah.
3. Jenis Trinitario
Merupakan campuran dari jenis Criollo dengan jenis Forastero. Coklat
Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cocoa dan ada yang
termasuk bulk cocoa. Buahnya berwarna hijau atau merah dan bentuknya
bermacam – macam. Biji buahnya juga bermacam – macam dengan kotiledon
berwarna ungu muda sampai ungu tua pada waktu basah.
Biji kakao mengandung berbagai macam komponen kimia, zat gizi, dan
senyawa bioaktif di dalamnya. Komposisi kimia ini bervariasi setelah mengalami
proses pengolahan menjadi produk. Komposisi kimia bubuk kakao berbeda
dengan mentega kakao dan pasta coklat. Komposisi kimia bubuk kakao (natural)
per 100 gram adalah mengandung kalori 228,49 Kkal, lemak 13,5 g, karbohidrat
53,35 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang
meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99 mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg,
seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Komponen senyawa
bioaktif dalam bubuk kakao adalah senyawa polifenol yang berfungsi sebagai
antioksidan. Kandungan polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi
dibandingkan dalam anggur maupun teh. Kelompok senyawa polifenol yang
banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid yaitu senyawa yang mengandung 15
atom karbon yang terdiri dari dua cincin benzene yang dihubungkan oleh rantai
karbon (Wahyudi et al. 2008).
2.2 Coklat
Ada beberapa jenis coklat yang dikenal secara umum antara lain; coklat
susu (milk chocolate), coklat putih (white chocolate) dan coklat hitam (dark
chocolate). Berbagai jenis coklat yang beredar di pasar ini memiliki keragaman
dayaguna, sebagai contoh, coklat susu merupakan adonan dari coklat manis, cocoa
powder, gula dan susu. Coklat putih memiliki rasa yang lebih manis dan berwarna
putih yang dapat dicampur dengan berbagai ragam bahan tambahan yang akan
memberikan penampilan dan keindahan lain. Sedangkan coklat hitam merupakan
coklat murni yang mengandung 43% padatan coklat dengan rasa agak pahit,
dengan warna coklat tua kehitaman (Wulandari, 2006).
Untuk menghasilkan produk dengan citarasa yang tinggi, maka diperlukan
jenis coklat yang berkualitas tinggi pula. Untuk itu menurut Regawati (2002),
coklat batangan merupakan jenis coklat yang baik digunakan untuk beberapa jenis
permen coklat karena memiliki tekstur yang lembut, enak dan mudah dicetak.
Dengan memberikan tambahan bahan-bahan lain, seperti mengkombinasikannya
dengan berbagai jenis kacang-kacangan atau bahan lain akan memberikan citarasa
yang khas.
Cokelat mengandung alkaloid-alkaloid sepertiteobromin, fenetilamina, dan
anandamida, yang memiliki efek fisiologis untuk tubuh. Kandungan-kandungan
ini banyak dihubungkan dengan tingkat serotonin dalam otak. Menurut ilmuwan
cokelat yang dimakan dalam jumlah normal secara teratur dapat menurunkan
tekanan darah.
Cokelat hitam akhir-akhir ini banyak mendapatkan promosi karena
menguntungkan kesehatan bila dikonsumsi dalam jumlah sedang, termasuk
kandungan antioksidannya yang dapat mengurangi pembentukan radikal bebas
dalam tubuh. Biji coklat memiliki kandungan alkanoid yang menyebabkan
rasanya menjadi pahit. Selain itu biji coklat juga mengandung protein 9%,
karbohidrat 14%, dan lemak 31%. 9% Protein yang terkandung dalam biji coklat
itu memiliki kandungan fenilalanin, tyrosin, asam amino triptofan dalam jumlah
besar. komposisi yang terdapat dalam coklat: asam stearat (35%) dan asam
palmitat (25%), asam oleat (35%) dan asam linoleat (3%), gula (sukrosa),
theobromine, polyphenol, phenyletylamine, katekin (Afoakwa, 2008).
2.3.6 Vanili
Vanili bubuk sebagai salah satu penguat aroma dari kue milu yang
dihasilkan. Vanili (Vanilla planifolia) adalah tanaman penghasil bubuk vanili
yang biasa dijadikan pengharum makanan. Bubuk ini dihasilkan dari buahnya
yang berbentuk polong. arna buah mula-mula hijau muda, kemudian hijau tua
disertai dengan garis-garis kuning menjelang masak. Buah yang telah masak
berwarna coklat tua. Jika dibiarkan masak di pohon, buah akan pecah menjadi dua
bagian, dan menyebarkan aroma vanili (Ruhnayat, 2003).
3.1.2 Bahan
1. Biji kakao
2. Biji kakao sangrai
3. Nib
4. Pasta komersial
5. Lemak kakao
6. Susu bubuk full cream
7. Fine sugar
8. Lesitin
9. Vanili
10. Soda kue
11. Tissu
biji kakao
Pendinginan
Penimbangan
Nib Kulit
Penimbangan Penimbangan
Penimbangan 50 gram
Penimbangan kulit
3.2.3 Pemastaan
Nib
Pemastaan
Pasta
Pengukuran Partikel
Penimbangan
Tempering
Pencetakan
cetakanPendiaman 24
jam
Pengeluaran dari
1 Nur Yanti 2 5 7 3 6 1 4 8 9
2 Citra Wahyu 8 2 7 6 5 3 4 1 9
3 Lailatul N 3 9 1 4 5 2 6 7 8
4 Nofal Ilhami 4 6 1 6 7 5 9 8 3
5 Nurul Ummah 3 7 4 2 1 5 8 9 2
6 Fiska Fibi 3 7 4 1 5 1 6 8 9
7 Hasna Amalia 6 7 4 9 3 8 5 9 2
8 Dwi Tari W 5 8 6 2 3 1 2 4 7
9 Rina Dias 7 4 6 8 5 1 3 8 9
10 Hujjah 5 7 6 2 3 1 2 4 9
11 Esthi 7 6 8 2 4 1 3 5 9
12 Sri Dewi 8 9 4 1 7 1 3 6 5
13 Dwi Putri W 3 6 5 7 8 2 5 4 7
14 Rahmawati Indah 3 2 4 2 8 9 5 6 1
16 Maisaroh 5 4 3 7 1 9 8 6 7
17 Dewi Ruhael 7 4 1 3 3 9 5 2 8
18 Oriza Krisnata W 4 1 9 8 8 6 5 7 2
19 Angga Setiawan 3 4 6 2 5 7 1 8 9
21 Hernindo 1 4 2 9 3 8 7 6 5
Rata - rata 4,61 5,24 4,52 4,2 4,62 4,57 4,8 6 6,24
b. Parameter Kenampakan
Parameter Kenampakan
No. Nama Panelis
179 247 513 681 191 715 916 427 831
1 Nur Yanti 1 6 3 2 5 9 8 7 4
2 Citra Wahyu 8 3 2 1 4 9 6 7 5
3 Lailatul N 7 5 3 1 2 9 8 6 4
4 Nofal Ilhami 5 7 3 1 2 8 9 4 6
5 Nurul Ummah 7 3 5 2 6 9 8 4 1
6 Fiska Fibi 8 3 2 1 5 9 6 4 7
7 Hasna Amalia 6 2 3 4 8 5 7 9 1
8 Dwi Tari W 5 2 3 1 7 9 8 6 4
9 Rina Dias 4 7 6 1 8 9 2 5 3
10 Hujjah 4 3 2 1 7 9 8 6 5
11 Esthi 3 4 2 1 6 9 7 5 8
12 Sri Dewi 8 9 4 2 7 1 3 6 5
13 Dwi Putri W 3 5 2 1 7 8 6 4 6
14 Rahmawati Indah 3 5 2 1 7 8 6 4 6
16 Maisaroh 5 4 3 8 2 9 6 1 7
17 Dewi Ruhael 6 4 1 7 3 9 5 2 8
18 Oriza Krisnata W 6 3 7 1 4 9 8 2 5
19 Angga Setiawan 2 1 7 4 6 8 9 5 3
21 Hernindo 1 7 2 6 8 9 4 3 5
Rata - rata 4,71 4,38 3,19 2,4 5,62 8,1 6,76 4,62 5,01
c. Parameter Kecepatan Leleh
Parameter Kecepatan Leleh (Sekon)
No. Nama Panelis
179 247 513 681 191 715 916 427 831
1 Nur Yanti 15 20 13 10 11 5 12 22 8
2 Citra Wahyu 4 3 7 4 6 2 5 3 5
3 Lailatul N 14 13 9 8 6 5 10 12 16
5 Nurul Ummah 15 13 10 5 7 3 8 9 20
6 Fiska Fibi 12 15 9 6 8 5 10 10 18
7 Hasna Amalia 23 20 23 20 30 20 25 50 16
8 Dwi Tari W 17 24 22 11 15 8 17 12 15
9 Rina Dias 21 24 15 5 12 7 20 12 20
10 Hujjah 17 24 25 5 14 7 17 16 23
11 Esthi 17 22 17 13 16 7 17 20 15
12 Sri Dewi 19 18 15 9 20 4 21 12 16
13 Dwi Putri W 28 31 33 34 28 12 43 34 26
14 Rahmawati Indah 14 18 9 7 13 6 16 12 13
16 Maisaroh 27 30 25 10 41 5 20 23 12
17 Dewi Ruhael 21 17 12 17 14 10 15 14 17
18 Oriza Krisnata W 36 29 45 9 40 8 30 56 34
21 Hernindo 58 73 76 24 83 16 72 90 75
Rata - rata 26,3 31,11 28,6 13 29,1 8,54 25,8 27,4 28,3
Keterangan kode :
715 : suhu tempering 28°C terus dinaikkan suhu 33°C (refiner 6 jam)
681 : suhu tempering 28°C terus dinaikkan suhu 33°C (refiner 8 jam)
831 : suhu tempering 28°C terus dinaikkan suhu 33°C (refiner 10 jam)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penyangraian
Penyangraian merupakan proses pendahuluan dalam pengolahan produk
sekunder biji kakao. Proses penyangraian pada biji kakao berfungsi untuk
mengurangi kadar air, mengembangkan flavor dan mengendorkan kulit sehingga
lebih memudahkan pada proses pemisahan kulit dan nib. Pada praktikum yang
telah dilakukan, berat awal biji kakao yang digunakan adalah sebanyak 100 gram.
Setelah proses penyangraian berat biji kakao mengalami penyusutan. Pada
ulangan I diperoleh berat biji kakao akhir sebanyak 96,36% sedangkan pada
ulangan II diperoleh berat akhir sebanyak 94,53 gram. Perbedaan berat yang
dihasilkan dikarenakan waktu penyangraian yang berbeda pula. Meskipun selisih
waktu pada saat mengeluarkan biji kakao hanya sedikit namun akan berpengaruh
terhadap berat biji kakao akhir yang dihasilkan. Penyusutan berat biji kakao
disebabkan karena kadar air dan senyawa-senyawa volatile yang terkandung
dalam bahan menguap. Adanya energi panas pada saat penyangraian
menyebabkan air yang pada saat itu dalam fase cair akan berubah menjadi fase
gas dan menguap melewati pori-pori pada biji kakao. Semakin tinggi panas yang
terserap oleh bahan, maka semakin banyak pula air yang diuapkan. Hal ini sesuai
dengan lietaratur menurut Wahyudi (2008) yang menyatakan bahwa penyangraian
bertujuan untuk mengembangkan rasa, aroma, warna dan mengurangi kadar air.
Pengamatan selanjutnya yaitu perbandingan organoleptik antara biji kakao
yang disangrai dan tidak disangrai. Pengamatan dilakukan pada biji kakao utuh
dan biji kakao yang telah dibelah. Pada biji kakao utuh, parameter yang diamatai
meliputi warna, aroma dan tekstur. Dalam segi warna, biji kakao sangrai memiliki
warna lebih gelap dari pada biji kakao yang tidak disangrai. Warna coklat pada
biji kakao sangrai disebabkan karena reaksi maillard. Reaksi maillard terjadi
karena adanya pemanasan gugus amina pada kakao sehingga warna biji kakao
menjadi coklat. Menurut Winarno (1995), reaksi maillard adalah reaksi yang
terjadi antara gugus amina primer pada rantai protein dengan gula reduksi
sehingga terbentuk senyawa mellanoidin (pigmen coklat). Oleh sebab itu, dengan
adanya browning (pencoklatan) dengan suhu yang tinggi yang menyebabkan
warna biji yang dihasilkan menjadi coklat akibat terbentuknya senyawa
mellanoidin
Selanjutnya pada biji kakao utuh yang disangrai aromanya berkurang,
sedangkan biji kakao yang itdak disangrai memiliki aroma normal biji kakao
kering. Berdasrkan hasil pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa dengan
adanya proses pemanasan dapat menyebabkan aroma biji kakao berkurang. Pada
saat proses penyangraian terjadi penguapan senyawa volatil. Selain itu juga terjadi
proses degradasi asam amino yang menyebabkan timbulnya aroma coklat pada
biji kakao. Menurut Mulato, dkk (2004), menyatakan bahwa dengan adanya
penyangraian akan menyebabkan terjadinya degradasi asam amino primer pada
rantai protein tetapi tidak terjadi perubahan total nitrogen sehingga menentukan
flavor dan aroma yang dihasilkan.
Pengamatan yang terakhir pada biji kakao utuh yaitu tekstur. Tekstur biji
kakao yang disangrai lebih rapuh dari pada tekstur biji kakao yang tidak disangrai.
Menurut Wahyudi (2008) menyatakan bahwa penyangraian biji kakao
menyebabkan penguapan kadar air dan senyawa-senyawa volatile (senyawa yang
mudah menguap). Berdasarkan literature diatas dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya pemansan pada proses penyangraian akan menyebabkan berkurang kadar
air pada bahan. Terjadinya proses penguapan air menyebabkan tekstur biji kakao
menjadi rapuh disebabkan karena adanya pengendoran kulit biji yang turut
membantu pelunakan biji. Dengan berkurangnya kadar air pada bahan tekstur biji
kakao akan lebih berongga dan menyebabkan tekstur biji kakao menjadi rapuh.
Pengamatan pada biji kakao yang dibelah meliputi warna dan tekstur. Dari
segi warna, biji kakao sangrai memiliki warna lebih cerah dari pada biji kakao
yang tidak disangrai. Perbedaan warna tersebut dikarenakan pada saat proses
penyangraian, panas yang diterima oleh bahan tidak merata dan tidak terserap
sampai kedalam sehingga warna yang dihasilkan gelap pada permukaannya saja,
namun dibagian dalam masih berwarna cerah. Dari segi tekstur, biji kakao sangrai
memiliki tekstur lebih rapuh dari pada kako tidak disangrai. Hal ini dikarenakan
pada saat proses penyangraian terjadi pengurangan kadar air pada bahan sehingga
tekstur biji kakao akan lebih berongga dan menyebabkan tekstur biji kakao
menjadi lebih rapuh.
4.2.3 Pemastaan
Pasta kakao merupakan hasil dari pengolahan nib kakao yang dihaluskan
menjadi pasta. Nib dari proses pemisahan kulit digunakan untuk proses pemastaan
dan kemudian dilakukan perbandingan ukuran partikel pasta hasil pemastaan
dengan pasta komersial. Pengukuran partikel pasta menggunakan alat thickness
meter. Prinsip thickness meter adalah mengukur partikel dengan kecepatan
tekanan. Semakin besar ukuran partikel, maka kemampuan untuk menekannya
semakin kecil. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, pada bahn
pertama dengan berat pasta sebanyak 92,02 gram memiliki ukuran partikel 88 mµ,
sedangkan pada bahan kedua dengan berat pasta sebanyak 95,86 gram memiliki
ukuran partikel 68,5 mµ. Berat pasta yang diperoleh dari kedua bahan tersebut
sudah sesuai dengan literatur yang ada. Berat pasta yang diperoleh sudah melebihi
separuh dari berat bahan awal karena setengah berat nib adalah lemak. Menurut
Dand (1993), menyatakan bahwa lebih dari setengah berat nib adalah lemak, efek
dari penghalusan (pemastaan), bersama dengan panas yang terbentuk dari proses
penghalusan, menyebabkan nib yang padat menjadi cair, dan akan memadat jika
temperatur turun dibawah titik lelehnya.
Ukuran partikel pada masing-masing bahan yaitu 88 mµ dan 68,5 mµ,
sedangkan ukuran partikel pada pasta kakao komersil adalah 11 mµ. Berdasrakan
hasil pengamatan tersebut, ukuran partikel pasta kakao komersil lebih kecil dari
pada pasta kakao hasil praktikum. Pasta kakao komersil memiliki ukuran partikel
yang sesuai dengan literatur menurut Mulato, dkk (2005) yang menyatakan bahwa
untuk dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib yang
semula berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan samapai ukuran tertentu
(<20mµ) dan menjadi bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau
penghalusan nib kakao umumnya dilakukan dengan cara penghancuran untuk
merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan kehalusan butiran 40 mµ dengan
menggunakan mesin silinder. Ukuran partikel yang besar pada pasta hasil
praktikum dapat disebabkan karena adanya kulit yang terikut pada nib dan
tingginya kadar air. Menurut Beckett (2000), adanya kadar kulit dan kadar air biji
kakao akan mempengaruhi tingkat kesulitan dalam penghancuran nib menjadi
pasta kakao.
b. Parameter Kenampakan
Pada uji organoleptik pada kenampakan menggunakan 21 panelis agak
terlatih. Panelis menguji 9 sampel coklat yang telah disajikan dengan
masing-masing perlakuan yang berbeda. Pengujian yang digunakan yaitu uji
kesukaan ranking. Uji kesukaan ranking yaitu panelis menilai suatu bahan
produk yang telah disajikan dengan cara mengurutkan mulai dari produk
yang paling disukai hingga produk yang paling tidak disukai.
Kenampakan merupakan salah satu parameter organoleptik yang
penting karena merupakan faktor yang pertama dilihat oleh konsumen saat
melihat makanan dan umumnya konsumen cenderung memilih makanan
yang memiliki kenampakan menarik (Carpenter, 2008). Berdasarkan hasil
pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa dari kesembilan
sampel yang telah dilakukan pengujian, sampel dengan nilai rata-rata
tertinggi terdapat pada sampel 191 yaitu sampel coklat yang dilakukan
tempering dengan cara menurunkan suhu hingga 28oC dengan adanya
pengadukan dan dilakukan refiner selama 8 jam, dengan nilai rata-rata yaitu
5,62. Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada sampel 681 yaitu
sampel coklat yang dilakukan tempering dengan cara menurunkan suhu
hingga 28oC kemudian dinaikkan lagi hingga suhu 33oC dengan pengadukan
dan dilakukan refiner selama 8 jam, dengan nilai rata-rata yaitu 2,4. Dapat
disimpulkan bahwa sampel 681 merupakan sampel yang paling disukai
karena memiliki nilai terendah, sedangkan sampel 191 merupakan sampel
yang paling tidak disuka. Nilai terendah pada uji kesukaan secara ranking
merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Hal ini dikarenakan
pada saat tempering dengan cara mendinginkan adonan coklat hingga suhu
28 oC dan menaikkan kembali sampai suhu 33 oC akan menghasilkan
produk coklat yang mengkilat. Hal ini disebabkan karena pada sampel 681
menggunakan suhu tempering yang tepat dan adanya pengadukan. Menurut
Faridah (2008), Melalui proses tempering akan dihasilkan produk cokelat
yang glossy dan brittle. Disamping itu, produk tanpa proses tempering akan
menyebabkan cokelat mengalami blooming. Blooming merupakan
terbentuknya lapisan berwarna putih dan berbentuk seperti jamur pada
permukaan coklat. Maka, jika coklat mengalami blooming maka akan
memiliki kenampakan yang tidak mengkilat. Sedangkan pada sampel 191
merupakan sampel yang paling tidak disukai. Hal ini dikarenakan suhu
tempering tempering yang digunakan tidak sesuai dan tanpa pengadukan.
Pengadukan akan mempengaruhi inti kristal yang terbentuk dan
menghasilkan coklat yang memiliki kenampakan mengkilat. Menurut
Becket (2000), menyatakan bahwa pengadukan lambat pada proses
tempering menimbulkan gaya geser pada pembentukan inti kristal sehingga
mempercepat transformasi kristal dari α β’ β. Kristal β menghasilkan
permukaan cokelat batang yang licin, mengkilap, mencegah blooming
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya dilakukan per acara yaitu dipisah
antara praktikum brittle dan pembuatan coklat sehingga praktikan lebih fokus dan
memahami proses pembuatan coklat dengan baik.
1. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan.
Mengetahui sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Afoakwa, E. O., Paterson, A., Fowler, M., & Ryan, A. 2008. Flavor Formation
and Character in Cocoa and Chocolate: A Critical Review. Critical
Reviews in Food Science and Nutrition, 48, 840-857.
Ansel, H.C. 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Belitz, H.D. dan W. Grosch, 1999. Food Chemistry Second Edition. Berlin:
Springer.
Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in
Food Product Development and Quality Control. Mayland : Aspen
Publisher, Inc. Gaithersburg.
Faridah, A., Kasmita, S.P., Yulastri, A., Yusuf, L. 2008. Patiseri Jilid 3.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
Lipp, M dan E. Anklam. 1998. Review of Cocoa Butter and Alternative Fats for
Use in Chocolate-Part A. Compositional Data. Journal of Food Chemistry,
Vol. 62, No. I, pp. 73-97
Minife, B.W. 1999. Chocolate Cacao and Confectionary Science and Technology.
The Avi Publishing Co. Westport. Connecticut.
Mulato, S, S. Widyotomo dan Handaka. 2004. Desain Teknologi Pengolahan
Pasta, Lemak, dan Bubuk Cokelat untuk Kelompok Tani. Jakarta: Badan
Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
O’Brien, R.D. 2008. Fats and Oil , Formulating and Processing For Aplication.
Second Edition, USA: Inc.USA.
Regawati Y. 2002. Praktis dan Cantik Membuat Kreasi Cokelat. Jakarta: Puspa
Swara.
Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wulandari, R. 2006. Aneka Kreasi Coklat. Jakarta: Kawan Pustaka.
Dand (1993),