Anda di halaman 1dari 38

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tiga negara penghasil biji kakao terbesar di dunia yaitu Pantai Gading,
Brasil dan Indonesia. Semakin lama produksi kakao semakin meningkat. Hal ini
dikarenakan adanya program peremajaan tanaman kakao dan perluasan kebun
yang teratur. Biji kakao dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis
tinggi. Produk olahan dari kakao banyak ditemui di pasaran misalnya permen,
kakao bubuk, kakao pasta, coklat dan lain sebagainya.
Salah satu produk hilir kakao yaitu coklat. Coklat merupakan makanan yang
sangat digemari baik dari berbagai kalangan karena memiliki rasa yang manis.
Pada umumnya kakao diproduksi dalam tiga bentuk antara lain cocoa butter,
cocoa liquor dan cocoa powder. Umumnya coklat dikonsumsi dalam bentuk
coklat batangan, namun coklat juga dapat digunakan sebagai bahan minuman
hangat dan dingin. Salah satu karakteristik coklat yaitu mudah leleh pada suhu
kamar. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik lemak kakao yang digunakan.
Pembuatan produk coklat dari biji kakao membutuhkan proses yang cuku
lama. Proses tersebut antara lain yaitu pembersihan biji, penyangraian, pemisahan
kulit, pemastaan dan pembuatan coklat yang meliputi tahap pencampuran,
conching, tempering dan pencetakan
Salah satu faktor yang penting dalam produk pangan adalah mutu atau
kualitas. Cara untuk meningkatkan kualitas produk coklat yaitu dengan cara
tempering. Tempering merupakan proses yang melibatkan serangkaian tahapan
pemanasan, pendinginan dan pengadukan dengan kecepatan rendah. Fungsi dari
proses tempering yaitu meningkatkan titik leleh. Oleh karena itu, praktikum ini
dilakukan untuk mengetahui proses pembuatan coklat dan pengaruh tempering
yang berbeda pada coklat yang dihasilkan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain:
1. Memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian.
2. Mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji.
3. Mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan dibandingkan dengan
pasta komersial.
4. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan.
5. Mengetahui sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering yang
berbeda.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kakao (Theobroma cacao)
Theobroma cacao L adalah nama biologis yang diberikan pada pohon kakao
oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di
bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan
teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya
sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).
Menurut Poedjiwidodo (1996), sistematika tanaman kakao adalah sebagai
berikut.
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao, L.
Menurut Susanto (1994), jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi
coklat hanya 3 jenis, yaitu :
1. Jenis Criollo
Jenis Criollo terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika Selatan.
Jenis ini menghasilkan biji coklat yang mutunya sangat baik dan dikenal sebagai
coklat mulia. Buahnya berwarna merah atau hijau, kulit buahnya tipis dan
berbintil – bintil kasar dan lunak. Biji buahnya berbentuk bulat telur dan
berukuran besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu basah.
2. Jenis Forastero
Jenis ini menghasilkan biji coklat yang memiliki mutu sedang atau dikenal juga
sebagai Ordinary cocoa. Buahnya berwarna hijau, kulitnya tebal, biji buahnya
tipis atau gepeng dan kotiledon berwarna ungu pada waktu basah.
3. Jenis Trinitario
Merupakan campuran dari jenis Criollo dengan jenis Forastero. Coklat
Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cocoa dan ada yang
termasuk bulk cocoa. Buahnya berwarna hijau atau merah dan bentuknya
bermacam – macam. Biji buahnya juga bermacam – macam dengan kotiledon
berwarna ungu muda sampai ungu tua pada waktu basah.
Biji kakao mengandung berbagai macam komponen kimia, zat gizi, dan
senyawa bioaktif di dalamnya. Komposisi kimia ini bervariasi setelah mengalami
proses pengolahan menjadi produk. Komposisi kimia bubuk kakao berbeda
dengan mentega kakao dan pasta coklat. Komposisi kimia bubuk kakao (natural)
per 100 gram adalah mengandung kalori 228,49 Kkal, lemak 13,5 g, karbohidrat
53,35 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang
meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99 mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg,
seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Komponen senyawa
bioaktif dalam bubuk kakao adalah senyawa polifenol yang berfungsi sebagai
antioksidan. Kandungan polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi
dibandingkan dalam anggur maupun teh. Kelompok senyawa polifenol yang
banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid yaitu senyawa yang mengandung 15
atom karbon yang terdiri dari dua cincin benzene yang dihubungkan oleh rantai
karbon (Wahyudi et al. 2008).

2.2 Coklat
Ada beberapa jenis coklat yang dikenal secara umum antara lain; coklat
susu (milk chocolate), coklat putih (white chocolate) dan coklat hitam (dark
chocolate). Berbagai jenis coklat yang beredar di pasar ini memiliki keragaman
dayaguna, sebagai contoh, coklat susu merupakan adonan dari coklat manis, cocoa
powder, gula dan susu. Coklat putih memiliki rasa yang lebih manis dan berwarna
putih yang dapat dicampur dengan berbagai ragam bahan tambahan yang akan
memberikan penampilan dan keindahan lain. Sedangkan coklat hitam merupakan
coklat murni yang mengandung 43% padatan coklat dengan rasa agak pahit,
dengan warna coklat tua kehitaman (Wulandari, 2006).
Untuk menghasilkan produk dengan citarasa yang tinggi, maka diperlukan
jenis coklat yang berkualitas tinggi pula. Untuk itu menurut Regawati (2002),
coklat batangan merupakan jenis coklat yang baik digunakan untuk beberapa jenis
permen coklat karena memiliki tekstur yang lembut, enak dan mudah dicetak.
Dengan memberikan tambahan bahan-bahan lain, seperti mengkombinasikannya
dengan berbagai jenis kacang-kacangan atau bahan lain akan memberikan citarasa
yang khas.
Cokelat mengandung alkaloid-alkaloid sepertiteobromin, fenetilamina, dan
anandamida, yang memiliki efek fisiologis untuk tubuh. Kandungan-kandungan
ini banyak dihubungkan dengan tingkat serotonin dalam otak. Menurut ilmuwan
cokelat yang dimakan dalam jumlah normal secara teratur dapat menurunkan
tekanan darah.
Cokelat hitam akhir-akhir ini banyak mendapatkan promosi karena
menguntungkan kesehatan bila dikonsumsi dalam jumlah sedang, termasuk
kandungan antioksidannya yang dapat mengurangi pembentukan radikal bebas
dalam tubuh. Biji coklat memiliki kandungan alkanoid yang menyebabkan
rasanya menjadi pahit. Selain itu biji coklat juga mengandung protein 9%,
karbohidrat 14%, dan lemak 31%. 9% Protein yang terkandung dalam biji coklat
itu memiliki kandungan fenilalanin, tyrosin, asam amino triptofan dalam jumlah
besar. komposisi yang terdapat dalam coklat: asam stearat (35%) dan asam
palmitat (25%), asam oleat (35%) dan asam linoleat (3%), gula (sukrosa),
theobromine, polyphenol, phenyletylamine, katekin (Afoakwa, 2008).

2.3 Fungsi Bahan


2.3.1 Pasta Kakao
Pasta kakao merupakan campuran lemak kakao yang berbentuk cair dan
partikel non-lemak yang mempunyai bentuk padat. Keduanya dapat dipisahkan
dengan alat kempa (hidrolik) di dalam silinder yang dilengkapi dengan saringan
(Subaedah, 2008).
Pasta coklat atau cocoa mass atau cocoa pasta atau cocoa paste dibuat dari
biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semua
padat menjadi bentuk cair atau semi cair. Pasta coklat dapat diproses lebih lanjut
menjadi lemak dan bubuk coklat yang merupaka bahan baku pembuatan produk
makanan dan minuman (Subaedah, 2008).
Pecahan-pecahan inti biji hasil penyangraian didinginkan dan dilumatkan
(dihaluskan). Proses pelumatan dilakukan dua atau tingkat tingkst, diawali dengan
mennggunakan mesin pelumat tipe silinder atau pemasta kasar, kemudian diikuti
dengan pelumatan lanjut dengan silinder berputar sampai diperoleh pasta coklat
dengan kehalusan tertentu. Selama proses pelumatan, suhu pasta dikontrol
sedemikian rupa sehingga proses sangrai lebih lanjut fase cair tidak berlangsung.
Setelah proses pelumatan selesai, pasta yang terbentuk disimpan dalam wadah
yang higienis (Subaedah, 2008).

2.3.2 Lemak Kakao


Lemak kakao dibuat dari biji kakao dengan beberapa tahap proses yaitu
fermentasi, perendaman, pengeringan, penggosengan, penghalusan dan
pengepresan (Shukla, 2003). Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor,
berdasarkan data International Cacao and Coffee Organization (ICCK) saat ini
kakao yang dihasilkan diperkirakan sebesar 3.3 juta ton. Komposisi lemak kakao
dapat dilihat pada Tabel 1 dengan asam lemak jenuh stearat (33.2 %), palmitat
(25.4%) dan asam lemak tak jenuh oleat (32.6%) yang tertinggi.
Tabel 1. Sifat-sifat Lemak Kakao
Sifat – Sifat Nilai Pengukuran
Bilangan iod 33-42
Bilangan penyabunan 188-198
Titik leleh 32-35oC
Komposisi asam lemak 0.1
Asam miristat (14:10) 25.4
Asam palmitat (16:0) 0.2
Asam palmitoleat (16:1) 33.2
Asam stearat (18:0) 32.6
Asam oleat (18:1) 2.8
Asam linoleat (18:2) 0.1
Sumber : O`, Brien (2008)
Menurut usahanya perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam 3
(tiga) kelompok yaitu; Perkebunan Rakyat 887.735 Ha, Perkebunan Negara
49.976 Ha dan Perkebunan Swasta 54.737 Ha. Pada periode 2000-2005, ekspor
biji kakao dunia, Indonesia berada pada urutan ketiga penghasil kakao terbesar di
dunia setelah Pantai Gading dan Ghana pada posisi 1 dan 2 dengan kapasitas
produksi setiap tahunnya masingmasing mencapai 1.276 juta ton dan 586 ribu ton
dan Indonesia 456 ribu ton (Dermoredjo dan Setyanto, 2008).
Lemak kakao merupakan lemak nabati yang sangat penting pada industry
coklat dan permen karena memiliki karakteristik fisik yang unik dari komposisi
trigliserida (TG) yang tersusun terutama dari POS 55%, POP 5%, dan SOS 20%,
dan memiliki kisaran titik leleh sekitar 32oC-35oC (Liu, et.al., 2007), berhubung
harga lemak kakao sangat mahal, karena itu selalu dilakukan usaha untuk
meningkatkan kemungkinan metode produksi yang lebih baik yaitu dengan
membuat pengganti lemak kakao dari lemak nabati ataupun hewani (Kurniven,
et.al., 2002, Osborn and Akoh, 2002).
2.3.3 Susu Bubuk
Susu bubuk yang banyak digunakan dalam pembuatan permen cokelat
adalah susu skim dan susu full cream. Dengan kedua susu ini lemak susu akan
tertambah dalam tahapan pembuatan permen cokelat jadi kedua susu ini dapat
digunakan dalam permen cokelat. Kedua susu ini memiliki perbedaan aroma,
tekstur, dan aliran cair yang berbeda (Beckett, 2008).
Protein susu menambahkan rasa creamy pada permen cokelat dimana terdiri
dari 80% kasein dan 20% whey protein. Kasein akan bertindak sebagai surfaktan
dan akan menurunkan viskositas sedangkan whey protein bertindak sebaliknya
akan menaikkan viskositas (Haylock & Dodds, 1999). Protein tidak hanya
menambah kandungan gizi dari cokelat, protein juga penting dalam menentukan
rasa, tekstur dan stabilitas (Beckett, 2008). Berdasarkan sifat fisik, susu memiliki
titik leleh 23-330C dan titik beku -55-0,610C dan fungsi penambahan susu pada
pembuatan permen cokelat adalah sebagai bahan pengisi untuk memadatkan
permen (Bajeng, 2012).
2.3.4 Fine Sugar
2.3.5 Lesitin
Lesitin merupakan sebutan untuk emulsifier utama dari alam dari agen
permukaan yang aktif. Sejak dikenalkan secara komersil sekitar lima puluh tahun,
lesitin telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam industri pangan
khususnya pada industri coklat. Lesitin terbentuk secara alami dalam makhluk
hidup, hewani dan nabati dengan kandungan tertinggi pada kuning telur (8-10)%
basis basah dan mentega mengandung 0,5-1,2% (Minifie, 1999).
Emulsi merupakan suatu campuran yang tidak stabil dari dua cairan yang
pada dasarnya tidak saling bercampur, pada umumnya untuk membuat kedua
cairan tersebut dapat bercampur diperlukan zat pengemulsi (emulsifying agent)
sehingga sediaan emulsi dapat stabil. Zat pengemulsi diantaranya adalah lesitin
(Ansel,1989).
Emulsifier dapat membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air.
Terdapat beberapa bahan pangan yang dapat difungsikan sebagai emulsifier, yaitu
kuning telur, lesitin kedelai dan kasein. Emulsifier ini digunakan untuk
menurunkan viskositas dan dapat mengikat atau menyimpan lemak pada cokelat
sehingga tidak menimbulkan bunga pada cokelat (Minifie, 1999).
Emulsifier atau zat pengemulsi adalah zat untuk membantu menjaga
kestabilan emulsi minyak dan air. Umumnya emulsifier merupakan senyawa
organik yang memiliki dua gugus, baik yang polar maupun nonpolar sehingga
kedua zat tersebut dapat bercampur. Gugus non polar emulsifier akan mengikat
minyak (partikel minyak dikelilingi) sedangkan air akan terikat kuat oleh gugus
polar pengemulsi tersebut. Bagian polar kemudian akan terionisasi menjadi
bermuatan negatif, hal ini menyebabkan minyak juga menjadi bermuatan negatif.
Partikel minyak kemudian akan tolak-menolak sehingga dua zat yang pada
awalnya tidak dapat larut tersebut kemudian menjadi stabil (Ketaren, 1986).
Lesitin adalah phospolipid yang merupakan komponen essensial dari
membran sel dan pada prinsipnya terdapat pada berbagai varietas makhluk hidup.
Pada kenyataannya, lesitin banyak ditemukan dalam tanaman-tanaman seperti
kedelai, kacang tanah, biji kapas, bunga matahari, dan jagung. Lesitin banyak
digunakan dalam industri pangan sebagai zat pendispersi, pengemulsi dan
penstabil (stabilizing agent) (Wade, 1994).
Lesitin (phospatidil kolin) dengan komponen utamanya kolin, adalah zat
gizi penting yang ditemukan secara luas pada berbagai pangan dan tersedia
sebagai suplemen. Kolin telah lama dikenal sebagai zat gizi esensial bagi
sejumlah spesies hewan dan akhir-akhir ini terbukti esensial juga pada manusia
(Minifie, 1999).
Lesitin mengandung sekitar 13 % kolin berdasar berat. Lesitin juga zwiter
ion, mempunyai muatan positif pada atom N kolin dan muatan negatif pada atom
O dari grup phospat. Lesitin dapat bersifat polar (bagian kolin) dan non polar
(bagian asam lemak) sehingga sangat efektif sebagai emulsifier (Swarbrick, 1995).
Lesitin dan phospolipid lain mengandung komponen hidrofobik dan
hidrofilik yang digunakan sebagai sifat fungsional dalam pengolahan pangan.
Lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier, fat replacer, mixing/blending aid,
release agent (Minifie, 1999)

2.3.6 Vanili
Vanili bubuk sebagai salah satu penguat aroma dari kue milu yang
dihasilkan. Vanili (Vanilla planifolia) adalah tanaman penghasil bubuk vanili
yang biasa dijadikan pengharum makanan. Bubuk ini dihasilkan dari buahnya
yang berbentuk polong. arna buah mula-mula hijau muda, kemudian hijau tua
disertai dengan garis-garis kuning menjelang masak. Buah yang telah masak
berwarna coklat tua. Jika dibiarkan masak di pohon, buah akan pecah menjadi dua
bagian, dan menyebarkan aroma vanili (Ruhnayat, 2003).

2.3.7 Soda Kue


Teknik lain untuk menghasilkan lemak cokelat adalah dengan pemberian
soda kue sebelum proses penyangraian dengan tujuan untuk menurunkan
keasaman cokelat bubuk, sekaligus mempermudah pemisahan massa cokelat dari
lemaknya (Winarno, 1995).
Natrium bikarbonat merupakan bahan pengembang yang banyak dipakai
untuk pembuatan cake dan cookies. Pada saat pemanasan bahan ini dapat
menghasilkan gas CO2. Gas ini diperoleh dari garam karbonat atau garam
bikarbonat. NaHCO3 apabila mengalami pemanasan akan menghasilkan natrium
karbonat, karbondioksida, dan air. Reaksinya adalah sebagai berikut:
2NaHCO3 NaCO3 (s) + H20 (g) + CO2 (g). Gas CO2 yang dihasilkan akan
membentuk gelembung dalam tekstur adonan (Winarno, 1995).

2.4 Proses Pembuatan Coklat


Coklat (chocolate) dibuat dengan menggunakan pasta coklat, yang
ditambahkan dengan sukrosa, lemak coklat, dengan atau tanpa susu dan bahan-
bahan lain (flavoring agent, kacang-kacangan, pasta kopi, dan sebagainya).
Bahan-bahan ini dicampur dalam sebuah mixer atau paster, sehingga dihasilkan
pasta coklat yang kental yang selanjutnya mengalami proses pelembutan
(refining) dengan mesin tipe roll sampai diperoleh massa coklat dengan tekstur
yang halus (ukuran partikel kurang dari 20 µm).
Massa coklat hasil dari refining berbentuk bubuk dan kering pada suhu
ruang dengan flavor yang asam. Untuk memperbaiki konsistensi tekstur dan
flavornya, maka massa coklat kadang-kadang diperam selama 24 jam pada suhu
hangat (45 – 50oC) sebelum masuk ketahapan proses penghalusan (conching).
Proses pemeraman ini dikenal dengan sistem dutch, kadang dilakukan untuk
membuat coklat bubuk.
Proses penghalusan (conching) adalah proses pencampuran untuk
menghasilkan coklat dengan flavor yang baik dan tekstur yang halus. Biasanya
dilakukan dua tahap, proses dilakukan pada suhu 80oC selama 24 – 96 jam.
Adonan coklat dihaluskan terus-menerus dan lesitin ditambahkan pada akhir
conching untuk mengurangi kekentalan coklat. Pada tahapan ini, air dan senyawa
pengganggu flavor menguap, lemak kakao akan menyelimuti partikel coklat, gula
dan susu secara sempurna sehingga memberikan sensasi tekstur yang halus.
Lemak coklat memiliki beberapa bentuk polimorfik dan proses pendinginan
yang dilakukan akan sangat mempengaruhi bentuk kristalnya. Jika pemadatan
(kristalisasi) coklat cair dilakukan dengan proses pendinginan yang tidak
terkontrol, akan dihasilkan coklat padat dengan tekstur yang bergranula dan spot-
spot warna kelabu dipermukaan.
Tempering merupakan tahapan proses berikutnya, yang dilakukan untuk
memperoleh coklat yang stabil, karena akan menghasilkan kristal-kristal lemak
berukuran kecil dengan titik leleh yang tinggi. Adonan lemak cair didinginkan
dari 50oC menjadi 18oC dalam waktu 10 menit dengan pengadukan konstan.
Adonan lalu didiamkan di suhu dingin selama sekitar 10 menit untuk membentuk
lemak coklat dengan kristal tipe ẞ yang bersifat stabil. Suhu selanjutnya
dinaikkan menjadi 29 – 31oC, dalam waktu 5 menit. Proses ini bisa bervariasi,
tergantung komposisi bahan yang digunakan.
Sebelum pencetakan, suhu coklat cair dijaga pada 30 – 32oC untuk dibawa
ke wadah-wadah pencetakan. Selanjutnya, dilakukan pendinginan lambat untuk
memadatkan coklat dan coklat dikeluarkan dari cetakan setelah suhu mencapai
10oC. proses pendinginan terkontrol akan menghasilkan coklat padat dengan
kristal lemak yang halus dan struktur yang stabil terhadap panas, terlihat dari sifat
lelehnya yang baik dan permukaan yang mengkilap (Afoakwa, 2007).

2.5 SNI Pasta Kakao


Menurut SNI 3749:2009 menyatakan bahwa syarat mutu pasta kakao
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Syarat Mutu Pasta Kakao
Parameter Satuan Syarat Mutu
Keadaan
- Bau - Khas kakao massa
- Rasa - Khas kakao massa
- Warna - Coklat
Kadar lemak Min 48
Kadar air Maks. 2
Kehalusan (lolos ayakan 200 Min. 99,0
mesh)
Kadar abu dari bahan kering Maks. 14
tanpa lemak (b/b)
Kulit (shell) dihitung dari Maks. 1,75
alkali free nibs (b/b)
Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks 1,0
- Timah (Sn) mg/kg Maks 40
-Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2009)
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Roaster
2. Neraca analitik
3. Pisau
4. Gelas arloji
5. Wadah sampel
6. Mesin winnowing
7. Pinset
8. Alat pemasta
9. Thickness meter
10. Ball mill refiner
11. Mesin conching
12. Wadah stainless steel
13. Pengaduk
14. Cetakan
15. Termometer
16. Sendok

3.1.2 Bahan
1. Biji kakao
2. Biji kakao sangrai
3. Nib
4. Pasta komersial
5. Lemak kakao
6. Susu bubuk full cream
7. Fine sugar
8. Lesitin
9. Vanili
10. Soda kue
11. Tissu

3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


3.2.1 Penyangraian

biji kakao

Penimbangan sebanyak 100 g

Penyangraian (110-115oC, 10’)

Pengeluaran biji dari mesin

Pendinginan

Penimbangan

Pengamatan warna, aroma dan tekstur

Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan proses penyangraian


adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Proses penyangraian
pada biji kakao berfungsi untuk mengurangi kadar air, mengembangkan flavor
dan mengendorkan kulit sehingga lebih memudahkan pada proses pemisahan kulit
dan nib. Selanjutnya, proses penyangraian biji kakao diawali dengan proses
penimbangan biji kakao sebanyak 100 gram menggunakan neraca analitik.
Penimbangan berfungsi untuk mengetahui berat awal biji kakao. Biji kakao yang
telah ditimbang kemudian dimasukkan kedalam mesin roaster dan disangrai pada
suhu 110-115oC selama sekitar 10 menit agar peresapan panas merata pada biji
kakao tanpa membakar kulit. Setelah proses penyangraian selesai, biji kakao
dikeluarkan dari mesin roaster kemudian didinginkan. Fungsi dari proses
pendinginan adalah untuk menghindari over roasting. Selanjutnya biji kakao
sangrai ditimbang. Hal ini berfungsi untuk mengetahui berat biji kakao setelah
penyangraian karena kadar air pada bahan menguap pada saat penyangraian dan
mempengaruhi berat akhir biji kakao. Kemudian amati perubahan yang terjadi
pada biji kakao akibat penyangraian. Variable pengamatan yang dilakukan
meliputi warna, aroma dan tekstur biji kakao utuh, serta warna biji kakao sangrai
yang dibelah. Hasil pengamatan yang diperoleh dibandingkan dengan biji kakao
yang tidak disangrai.

3.2.2 Pemisahan Kulit Biji

Biji Kakao Sangrai

Penimbangan 100 gram

Pemasukan kedalam mesin winowwing

Nib Kulit

Penimbangan Penimbangan

Penimbangan 50 gram

Pemisahan kulit terikut

Penimbangan kulit

Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan proses pemisahan


kulit biji adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Proses
pemisahan kuli biji berfungsi untuk mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji
dengan menggunakan mesin winowwing dan mempermudah proses pemastaan
karena memperluas permukaan nib. Proses pemisahan kulit diawali dengan proses
penimbangan biji kakao sangrai hasil penyangraian pada acara pertama sebanyak
100 gram menggunakan neraca analitik. Penimbangan berfungsi untuk
mengetahui berat biji awal sehingga dapat dihitung efisiensi pemisahan kulit. Biji
kakao sangrai yang telah ditimbang dimasukkan kedalam mesin winowwing
sehingga nib dan kulit terpisah. Prinsip penggunaan mesin winowwing pada biji
kakao yaitu memisahkan kulit dan nib berdasarkan densitasnya. Setelah proses
pemisahan kulit dilakukan, nib dan kulit yang diperoleh ditimbang sehingga
diketahui berat setelah pemisahan. Kemudian timbang 50 gram nib dan pisahkan
kulit yang terikut. Fungsi nib yang digunakan adalah untuk melakukan proses
pemastaan. Kulit yang terikut kemudian ditimbang. Pemisahan kulit dikatakan
baik bila kulit yang terikut maksimal 1,75%.

3.2.3 Pemastaan

Nib

Penimbangan 100 gram

Pemasukan dalam mesin pemasta

Pemastaan

Pasta

Pengukuran Partikel

Pembandingan ukuran partikel

Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan proses pemastaan


adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Prinsip proses
pemastaan yaitu merusak dinding sel dengan cara penggilingan sehingga ukuran
partikel diperkecil dan dilakukan pemanasan. Dengan adanya pemanasan, lemak
akan mencair dan proses memperkecil ukuran partikel akan mempercepat proses
pemastaan. Proses pemastaan diawali dengan proses penimbangan nib sebanyak
100 gram menggunakan neraca analitik. Proses penimbangan berfungsi untuk
mengetahui berat awal sebelum pemastaan. Nib yang telah ditimbang kemudian
dimasukkan kedalam mesin pemasta. Proses pemastaan berfungsi untuk
memperoleh pasta atau liquor dengan penggilingan dan pemanasan. Pasta yang
diperoleh kemudian ditimbang menggunakan neraca analitik untuk diketahui berat
akhirnya. Setelah itu dilakukan pengukuran besarnya partikel pasta yang diperoleh
menggunakan thickness meter. prinsip penggunaan alat ini adalah dengan
menjepitkan alat ke material yang diukur, semakin besar nilai yang tertera, maka
semakin besar ukuran partikel yang dihasilkan. Pasta yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan ukuran partikel pasta komersial. Hasil pengukuran, data
kemudian dianalisa.
3.2.4 Pembuatan Coklat

Pasta kakao 25%, lemak kakao 27,5%, susu


bubuk full cream 22,5%, fine sugar 25%,
lesitin 0,3%, vanili 0,1% dan soda kue 0,3%

Penimbangan

Pemasukan pasta kakao dan lemak kakao ke dalam panci

+susu full Pemanasan hingga pasta dan


cream dan fine lemak kakao mencair
sugar
Pencampuran dan pengadukan

Pelembutan (refiner) 60oC, 6 jam

+lesitin, vanili dan


Conching 60oC-70oC, 4 jam
soda kue

Tempering

T= 28oC dengan T= 28oC dan dinaikkan T= 28oC tanpa


pengadukan lagi hingga T= 33oC pengadukan
dengan pengadukan

Pencetakan

cetakanPendiaman 24
jam
Pengeluaran dari

Penyimpanan selama seminggu

Perbandingan kenampakan, tekstur dan


kecepatan leleh
Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan proses pembuatan
coklat adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Proses pembuatan
coklat diawali dengan menimbang bahan-bahan yang digunakan. Bahan-bahan
dalam pengolahan coklat antara lain pasta kakao 25% sebagai bahan utama
pembuatan coklat, lemak kakao 27,5% berfungsi sebagai bahan utama pembuatan
coklat dan menentukan tekstur akhir coklat yang dihasilkan, susu bubuk full
cream 22,5% berfungsi sebagai cita rasa dan flavor coklat, fine sugar 25%
berfungsi untuk memperbaiki tekstur, gula yang digunakan adalah gula yang
bermutu tinggi, kering dan bebas gula invert. Bahan yang digunakan selanjutnya
adalah lesitin sebanyak 0,3% yang berfungsi untuk mengurangi kekentalan
sehingga lemak kakao bisa lebih meresap, vanili 0,1% berfungsi sebagai
penambah flavor coklat yang dihasilkan dan soda kue 0,3% berfungsi untuk
memperbaiki tekstur coklat yang dihasilkan. Setelah itu, dilakukan pemanasan
atau pencairan pasta kakao dan lemak kakao. Pemanasan ini bertujuan untuk
memperkecil ukuran partikel dan mencairka lemak kakao sehingga memudahkan
pada proses pelembutan (refining). Kemudian dilakukan proses pelembutan
(refining) dengan cara memasukkan bahan-bahan seperti lemak kakao, pasta
kakao, susu bubuk full cream dan fine sugar kedalam ball mill refiner. Ball mill
yang digunakan memiliki rasio perbandingan 2:1 terhadap berat adonan. Ball mill
refiner dioperasikan pada suhu 60oC selama 6 jam. Proses pelembutan berfungsi
untuk menghasilkan tekstur yang lembut pada coklat. Setelah proses pelembutan,
adonan coklat dipindahkan kedalam mesin conching. Conching merupakan
pencampuran tahap akhir yang berperan penting dalam pengembangan flavor dan
tekstur. adonan coklat diconching selama 4 jam pada suhu 60-70oC. lesitin, vanili
dan soda kue dimasukkan 0,5 jam sebelum conching berakhir. Penambahan lesitin
berfungsi sebagai emulsifier sehingga dapat menurunkan kekentalan, vanili
sebagai flavoring coklat dan soda kue berfungsi untuk memperbaiki tekstur coklat.
Pada tahapan ini, air dan senyawa pengganggu flavor menguap, lemak kakao akan
menyelimuti partikel coklat, gula dan susu secara sempurna sehingga memberikan
sensasi tekstur yang halus. Setelah proses conching, dilakukan proses tempering.
Tempering berfungsi agar coklat dapat membentuk kristal-kristal lemak berukuran
kecil dengan titik leleh yang tinggi dan menghindari bloom. Prinsip tempering
adalah dengan melakukan pendinginan dan proses pengadukan. Tempering
dilakukan dengan cara mendinginkan adonan coklat sambil diaduk sampai suhu
28 oC (perlakuan 1), dari suhu 28 oC dinaikkan kembali sampai suhu 33 oC
(perlakuan 2) dan perlakuan terakhir yaitu mendinginakn adonan coklat tanpa
diaduk sampai suhu 28 oC (perlakuan 3). Perbedaan variabel suhu tempering
digunakan untuk mengetahui sifat coklat yang dihasilkan. Setelah proses
tempering, adonan coklat dicetak dan didiamkan satu hari dalam ruangan dingin
fungsinya adalah untuk membentuk padatan coklat yang stabil yakni pada
polimorfisme β. Kemudian coklat dikeluarkan dari cetakan dan coklat disimpan
dalam wadah kedap udara selama satu minggu. Setelah itu bandingkan
kenampakan, tekstur dan kecepatan leleh dimulut pada ketiga coklat.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Tabel Hasil Penyangraian
Berat awal Berat Akhir
Ulangan I Ulangan II
100 gram 96,36 gram 94,53 gram

Biji Pembeda Kakao Sangrai Kakao Tidak Sangrai


Utuh Warna Gelap Lebih terang
Aroma Aroma berkurang Normal biji kakao kering
Tekstur Rapuh (tersegmentasi) Sulit dipatahkan
Dibelah Warna Lebih cerah Lebih gelap
Tekstur Rapuh (tersegmentasi) Keras (liat)

4.2.2 Tabel Hasil Pemisahan Kulit Biji


Ulangan Berat Awal Berat Akhir
(gram) Kulit Biji (gram) Nib (gram)
1 75 16,22 40,53
2 94,53 25,81 61,31

Berat Awal Kulit Biji yang


Ulangan Efisiensi (%)
(gram) Terikut (gram)
1 40,53 0,32 0,7895
2 50,03 0,09 0,1799

4.2.3 Tabel Hasil Pemastaan


Ukuran partikel
Pemisahan Berat pasta
Ukuran partikel (µ) pasta komersial
ke- (gram)
(µ)
1 92,02 88
2 95,86 68,5 11
4.2.4 Tabel Hasil Uji Organoleptik
a. Parameter Tekstur
Parameter Tekstur
No. Nama Panelis
179 247 513 681 191 715 916 427 831

1 Nur Yanti 2 5 7 3 6 1 4 8 9

2 Citra Wahyu 8 2 7 6 5 3 4 1 9

3 Lailatul N 3 9 1 4 5 2 6 7 8

4 Nofal Ilhami 4 6 1 6 7 5 9 8 3

5 Nurul Ummah 3 7 4 2 1 5 8 9 2

6 Fiska Fibi 3 7 4 1 5 1 6 8 9

7 Hasna Amalia 6 7 4 9 3 8 5 9 2

8 Dwi Tari W 5 8 6 2 3 1 2 4 7

9 Rina Dias 7 4 6 8 5 1 3 8 9

10 Hujjah 5 7 6 2 3 1 2 4 9

11 Esthi 7 6 8 2 4 1 3 5 9

12 Sri Dewi 8 9 4 1 7 1 3 6 5

13 Dwi Putri W 3 6 5 7 8 2 5 4 7

14 Rahmawati Indah 3 2 4 2 8 9 5 6 1

15 Novila Tri Hardini 6 3 5 2 1 8 9 7 4

16 Maisaroh 5 4 3 7 1 9 8 6 7

17 Dewi Ruhael 7 4 1 3 3 9 5 2 8

18 Oriza Krisnata W 4 1 9 8 8 6 5 7 2

19 Angga Setiawan 3 4 6 2 5 7 1 8 9

20 M. Dwi Nur Cahyo 4 5 2 9 6 8 1 3 7

21 Hernindo 1 4 2 9 3 8 7 6 5

Rata - rata 4,61 5,24 4,52 4,2 4,62 4,57 4,8 6 6,24
b. Parameter Kenampakan
Parameter Kenampakan
No. Nama Panelis
179 247 513 681 191 715 916 427 831

1 Nur Yanti 1 6 3 2 5 9 8 7 4

2 Citra Wahyu 8 3 2 1 4 9 6 7 5

3 Lailatul N 7 5 3 1 2 9 8 6 4

4 Nofal Ilhami 5 7 3 1 2 8 9 4 6

5 Nurul Ummah 7 3 5 2 6 9 8 4 1

6 Fiska Fibi 8 3 2 1 5 9 6 4 7

7 Hasna Amalia 6 2 3 4 8 5 7 9 1

8 Dwi Tari W 5 2 3 1 7 9 8 6 4

9 Rina Dias 4 7 6 1 8 9 2 5 3

10 Hujjah 4 3 2 1 7 9 8 6 5

11 Esthi 3 4 2 1 6 9 7 5 8

12 Sri Dewi 8 9 4 2 7 1 3 6 5

13 Dwi Putri W 3 5 2 1 7 8 6 4 6

14 Rahmawati Indah 3 5 2 1 7 8 6 4 6

15 Novila Tri Hardini 5 4 1 2 9 7 8 3 6

16 Maisaroh 5 4 3 8 2 9 6 1 7

17 Dewi Ruhael 6 4 1 7 3 9 5 2 8

18 Oriza Krisnata W 6 3 7 1 4 9 8 2 5

19 Angga Setiawan 2 1 7 4 6 8 9 5 3

20 M. Dwi Nur Cahyo 1 4 5 2 9 7 8 3 6

21 Hernindo 1 7 2 6 8 9 4 3 5

Rata - rata 4,71 4,38 3,19 2,4 5,62 8,1 6,76 4,62 5,01
c. Parameter Kecepatan Leleh
Parameter Kecepatan Leleh (Sekon)
No. Nama Panelis
179 247 513 681 191 715 916 427 831

1 Nur Yanti 15 20 13 10 11 5 12 22 8

2 Citra Wahyu 4 3 7 4 6 2 5 3 5

3 Lailatul N 14 13 9 8 6 5 10 12 16

4 Nofal Ilhami 8 9,5 6 7 8 4 6 7 11

5 Nurul Ummah 15 13 10 5 7 3 8 9 20

6 Fiska Fibi 12 15 9 6 8 5 10 10 18

7 Hasna Amalia 23 20 23 20 30 20 25 50 16

8 Dwi Tari W 17 24 22 11 15 8 17 12 15

9 Rina Dias 21 24 15 5 12 7 20 12 20

10 Hujjah 17 24 25 5 14 7 17 16 23

11 Esthi 17 22 17 13 16 7 17 20 15

12 Sri Dewi 19 18 15 9 20 4 21 12 16

13 Dwi Putri W 28 31 33 34 28 12 43 34 26

14 Rahmawati Indah 14 18 9 7 13 6 16 12 13

15 Novila Tri Hardini 14 16 15 11 12 6 18 13 17

16 Maisaroh 27 30 25 10 41 5 20 23 12

17 Dewi Ruhael 21 17 12 17 14 10 15 14 17

18 Oriza Krisnata W 36 29 45 9 40 8 30 56 34

19 Angga Setiawan 92 101 95 19 105 30 79 133 103

20 M. Dwi Nur Cahyo 80 133 119 36 122 9 81 14 114

21 Hernindo 58 73 76 24 83 16 72 90 75

Rata - rata 26,3 31,11 28,6 13 29,1 8,54 25,8 27,4 28,3
Keterangan kode :

427 : suhu tempering 28°C tanpa pengadukan (refiner 6 jam)

916 : suhu tempering 28°C dengan pengadukan (refiner 6 jam)

715 : suhu tempering 28°C terus dinaikkan suhu 33°C (refiner 6 jam)

191 : suhu tempering 28°C dengan pengadukan (refiner 8 jam)

681 : suhu tempering 28°C terus dinaikkan suhu 33°C (refiner 8 jam)

513 : suhu tempering 28°C tanpa pengadukan (refiner 8 jam)

247 : suhu tempering 28°C tanpa pengadukan (refiner 10 jam)

179 : suhu tempering 28°C dengan pengadukan (refiner 10 jam)

831 : suhu tempering 28°C terus dinaikkan suhu 33°C (refiner 10 jam)

4.2 Pembahasan
4.2.1 Penyangraian
Penyangraian merupakan proses pendahuluan dalam pengolahan produk
sekunder biji kakao. Proses penyangraian pada biji kakao berfungsi untuk
mengurangi kadar air, mengembangkan flavor dan mengendorkan kulit sehingga
lebih memudahkan pada proses pemisahan kulit dan nib. Pada praktikum yang
telah dilakukan, berat awal biji kakao yang digunakan adalah sebanyak 100 gram.
Setelah proses penyangraian berat biji kakao mengalami penyusutan. Pada
ulangan I diperoleh berat biji kakao akhir sebanyak 96,36% sedangkan pada
ulangan II diperoleh berat akhir sebanyak 94,53 gram. Perbedaan berat yang
dihasilkan dikarenakan waktu penyangraian yang berbeda pula. Meskipun selisih
waktu pada saat mengeluarkan biji kakao hanya sedikit namun akan berpengaruh
terhadap berat biji kakao akhir yang dihasilkan. Penyusutan berat biji kakao
disebabkan karena kadar air dan senyawa-senyawa volatile yang terkandung
dalam bahan menguap. Adanya energi panas pada saat penyangraian
menyebabkan air yang pada saat itu dalam fase cair akan berubah menjadi fase
gas dan menguap melewati pori-pori pada biji kakao. Semakin tinggi panas yang
terserap oleh bahan, maka semakin banyak pula air yang diuapkan. Hal ini sesuai
dengan lietaratur menurut Wahyudi (2008) yang menyatakan bahwa penyangraian
bertujuan untuk mengembangkan rasa, aroma, warna dan mengurangi kadar air.
Pengamatan selanjutnya yaitu perbandingan organoleptik antara biji kakao
yang disangrai dan tidak disangrai. Pengamatan dilakukan pada biji kakao utuh
dan biji kakao yang telah dibelah. Pada biji kakao utuh, parameter yang diamatai
meliputi warna, aroma dan tekstur. Dalam segi warna, biji kakao sangrai memiliki
warna lebih gelap dari pada biji kakao yang tidak disangrai. Warna coklat pada
biji kakao sangrai disebabkan karena reaksi maillard. Reaksi maillard terjadi
karena adanya pemanasan gugus amina pada kakao sehingga warna biji kakao
menjadi coklat. Menurut Winarno (1995), reaksi maillard adalah reaksi yang
terjadi antara gugus amina primer pada rantai protein dengan gula reduksi
sehingga terbentuk senyawa mellanoidin (pigmen coklat). Oleh sebab itu, dengan
adanya browning (pencoklatan) dengan suhu yang tinggi yang menyebabkan
warna biji yang dihasilkan menjadi coklat akibat terbentuknya senyawa
mellanoidin
Selanjutnya pada biji kakao utuh yang disangrai aromanya berkurang,
sedangkan biji kakao yang itdak disangrai memiliki aroma normal biji kakao
kering. Berdasrkan hasil pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa dengan
adanya proses pemanasan dapat menyebabkan aroma biji kakao berkurang. Pada
saat proses penyangraian terjadi penguapan senyawa volatil. Selain itu juga terjadi
proses degradasi asam amino yang menyebabkan timbulnya aroma coklat pada
biji kakao. Menurut Mulato, dkk (2004), menyatakan bahwa dengan adanya
penyangraian akan menyebabkan terjadinya degradasi asam amino primer pada
rantai protein tetapi tidak terjadi perubahan total nitrogen sehingga menentukan
flavor dan aroma yang dihasilkan.
Pengamatan yang terakhir pada biji kakao utuh yaitu tekstur. Tekstur biji
kakao yang disangrai lebih rapuh dari pada tekstur biji kakao yang tidak disangrai.
Menurut Wahyudi (2008) menyatakan bahwa penyangraian biji kakao
menyebabkan penguapan kadar air dan senyawa-senyawa volatile (senyawa yang
mudah menguap). Berdasarkan literature diatas dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya pemansan pada proses penyangraian akan menyebabkan berkurang kadar
air pada bahan. Terjadinya proses penguapan air menyebabkan tekstur biji kakao
menjadi rapuh disebabkan karena adanya pengendoran kulit biji yang turut
membantu pelunakan biji. Dengan berkurangnya kadar air pada bahan tekstur biji
kakao akan lebih berongga dan menyebabkan tekstur biji kakao menjadi rapuh.
Pengamatan pada biji kakao yang dibelah meliputi warna dan tekstur. Dari
segi warna, biji kakao sangrai memiliki warna lebih cerah dari pada biji kakao
yang tidak disangrai. Perbedaan warna tersebut dikarenakan pada saat proses
penyangraian, panas yang diterima oleh bahan tidak merata dan tidak terserap
sampai kedalam sehingga warna yang dihasilkan gelap pada permukaannya saja,
namun dibagian dalam masih berwarna cerah. Dari segi tekstur, biji kakao sangrai
memiliki tekstur lebih rapuh dari pada kako tidak disangrai. Hal ini dikarenakan
pada saat proses penyangraian terjadi pengurangan kadar air pada bahan sehingga
tekstur biji kakao akan lebih berongga dan menyebabkan tekstur biji kakao
menjadi lebih rapuh.

4.2.2 Pemisahan Kulit Biji


Proses memisahkan kulit biji kakao menggunakan mesin winowwing.
Prinsip penggunaan mesin winowwing pada biji kakao yaitu memisahkan kulit dan
nib berdasarkan densitasnya. Berat biji kakao sangrai yang digunakan untuk
proses pemisahan kulit adalah 75 gram dan 94,53 gram. Pada biji kakao 75 gram
yag telah dilakukan proses pemisahan kulit dihasilkan kulit biji sebanyak 16,22
gram dan nib sebanyak 40,53 gram, sedangkan biji kakao 94,53 gram yag telah
dilakukan proses pemisahan kulit dihasilkan kulit biji sebanyak 25,81 gram dan
nib sebanyak 61,31 gram. Nib yang dihasilkan dari proses pemisahan kulit sudah
sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa jumlah Nib yang diperoleh
sesuai dengan literatur bahwa proses winnowing menghasilkan rata-rata nib 78-
80%, kulit biiji 10-12% dengan sejumlah kecil lembaga, dan 4% partikel non
kakao sebagai pengotor (Belitz and Grosc, 1999). Kulit biji kakao harus
dipisahkan dari nib karena akan mengganggu produk coklat yang dihasilkan
sehingga akan diperoleh coklek yang berkualitas rendah.
Nib yang dipeoleh dari proses winowwing ditimbang sebanyak 50 gram.
Setelah itu dihitung berapa banyak kulit biji yang terikut untuk memperoleh nilai
efisiensi. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa
kulit biji yang terikut sebanyak0,09 gram dan nilai efisiensi pemisahan kulit yaitu
0,1799%. Jika dibandingkan dengan literature, efisiensi pemisahan tidak sesuai
karena menurut SNI 3749:2009 bahwa kadar kulit yang terikut maksimal 1,75 %
(b/b). penyimpangan ini terjadi karena pada saat proses winowwing kadar air biji
kakao masih tinggi. Tingginya kadar air kakao disebabkan karena proses
penyangraian yang tidak sempurna sehingga kulit biji yang terikut banyak.
Semakin tinggi kadar air pada bahan, maka akan semakin susah kulit untuk
terpisah dari biji

4.2.3 Pemastaan
Pasta kakao merupakan hasil dari pengolahan nib kakao yang dihaluskan
menjadi pasta. Nib dari proses pemisahan kulit digunakan untuk proses pemastaan
dan kemudian dilakukan perbandingan ukuran partikel pasta hasil pemastaan
dengan pasta komersial. Pengukuran partikel pasta menggunakan alat thickness
meter. Prinsip thickness meter adalah mengukur partikel dengan kecepatan
tekanan. Semakin besar ukuran partikel, maka kemampuan untuk menekannya
semakin kecil. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, pada bahn
pertama dengan berat pasta sebanyak 92,02 gram memiliki ukuran partikel 88 mµ,
sedangkan pada bahan kedua dengan berat pasta sebanyak 95,86 gram memiliki
ukuran partikel 68,5 mµ. Berat pasta yang diperoleh dari kedua bahan tersebut
sudah sesuai dengan literatur yang ada. Berat pasta yang diperoleh sudah melebihi
separuh dari berat bahan awal karena setengah berat nib adalah lemak. Menurut
Dand (1993), menyatakan bahwa lebih dari setengah berat nib adalah lemak, efek
dari penghalusan (pemastaan), bersama dengan panas yang terbentuk dari proses
penghalusan, menyebabkan nib yang padat menjadi cair, dan akan memadat jika
temperatur turun dibawah titik lelehnya.
Ukuran partikel pada masing-masing bahan yaitu 88 mµ dan 68,5 mµ,
sedangkan ukuran partikel pada pasta kakao komersil adalah 11 mµ. Berdasrakan
hasil pengamatan tersebut, ukuran partikel pasta kakao komersil lebih kecil dari
pada pasta kakao hasil praktikum. Pasta kakao komersil memiliki ukuran partikel
yang sesuai dengan literatur menurut Mulato, dkk (2005) yang menyatakan bahwa
untuk dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib yang
semula berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan samapai ukuran tertentu
(<20mµ) dan menjadi bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau
penghalusan nib kakao umumnya dilakukan dengan cara penghancuran untuk
merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan kehalusan butiran 40 mµ dengan
menggunakan mesin silinder. Ukuran partikel yang besar pada pasta hasil
praktikum dapat disebabkan karena adanya kulit yang terikut pada nib dan
tingginya kadar air. Menurut Beckett (2000), adanya kadar kulit dan kadar air biji
kakao akan mempengaruhi tingkat kesulitan dalam penghancuran nib menjadi
pasta kakao.

4.2.4 Uji Organoleptik


a. Parameter Tekstur
Pada uji organoleptik pada tekstur menggunakan 21 panelis agak
terlatih. Panelis menguji 9 sampel coklat yang telah disajikan dengan
masing-masing perlakuan yang berbeda. Pengujian yang digunakan yaitu uji
kesukaan ranking. Uji kesukaan ranking yaitu panelis menilai suatu bahan
produk yang telah disajikan dengan cara mengurutkan mulai dari produk
yang paling disukai hingga produk yang paling tidak disukai.
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa dari kesembilan sampel yang telah dilakukan pengujian, sampel
dengan nilai rata-rata tertinggi terdapat pada sampel 831 yaitu sampel coklat
yang dilakukan tempering dengan cara menurunkan suhu hingga 28oC
kemudian dinaikkan lagi hingga suhu 33oC dengan pengadukan dan
dilakukan refiner selama 10 jam, dengan nilai rata-rata yaitu 6,24.
Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada sampel 681 yaitu sampel
coklat yang dilakukan tempering dengan cara menurunkan suhu hingga
28oC kemudian dinaikkan lagi hingga suhu 33oC dengan pengadukan dan
dilakukan refiner selama 8 jam, dengan nilai rata-rata yaitu 6,24. Dapat
disimpulkan bahwa sampel 681 merupakan sampel yang paling disukai
karena memiliki nilai terendah, sedangkan sampel 831 merupakan sampel
yang paling tidak disuka. Nilai terendah pada uji kesukaan secara ranking
merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Hal ini dikarenakan
tekstur pada sampel 681 rapuh dan mudah untuk dipatahkan. Salah satu
karakteristik coklat yang disukai oleh konsumen maupun panelis adalah
teksturnya yang rapuh. Hal ini sesuai dengan literature menurut Lip &
Anklam (1998), menyatakan bahwa produk hasil olahan kakao memiliki
sifat yang spesial dari pangan lainnya, bukanlah karena rasa dan nutrisinya
yang baik, tetapi lebih karena sifatnya yang tidak dimiliki oleh pangan lain
yaitu bersifat padat di suhu ruang, rapuh saat dipatahkan dan meleleh
sempurna pada suhu tubuh. Tekstur rapuh pada sampel 681 dikarenakan
proses tempering yang dilakukan dengan cara menurunkan suhu menjadi
28oC dan menaikkan lagi hingga suhu 33oC Hal ini menyebabkan proses
tempering memberikan kesempatan pada lemak kakao menjadi bentuk β
sehingga tekstur yang terbentuk menjadi lebih kompak dan rapuh.
Sedangkan sampel 831 merupakan sampel yang paling tidak disukai oleh
panelis karena proses pelembutan terlalu lama, yaitu 10 jam. Proses
pelembutan yang terlalu lama menyebabkan tekstur coklat terlalu rapuh.

b. Parameter Kenampakan
Pada uji organoleptik pada kenampakan menggunakan 21 panelis agak
terlatih. Panelis menguji 9 sampel coklat yang telah disajikan dengan
masing-masing perlakuan yang berbeda. Pengujian yang digunakan yaitu uji
kesukaan ranking. Uji kesukaan ranking yaitu panelis menilai suatu bahan
produk yang telah disajikan dengan cara mengurutkan mulai dari produk
yang paling disukai hingga produk yang paling tidak disukai.
Kenampakan merupakan salah satu parameter organoleptik yang
penting karena merupakan faktor yang pertama dilihat oleh konsumen saat
melihat makanan dan umumnya konsumen cenderung memilih makanan
yang memiliki kenampakan menarik (Carpenter, 2008). Berdasarkan hasil
pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa dari kesembilan
sampel yang telah dilakukan pengujian, sampel dengan nilai rata-rata
tertinggi terdapat pada sampel 191 yaitu sampel coklat yang dilakukan
tempering dengan cara menurunkan suhu hingga 28oC dengan adanya
pengadukan dan dilakukan refiner selama 8 jam, dengan nilai rata-rata yaitu
5,62. Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada sampel 681 yaitu
sampel coklat yang dilakukan tempering dengan cara menurunkan suhu
hingga 28oC kemudian dinaikkan lagi hingga suhu 33oC dengan pengadukan
dan dilakukan refiner selama 8 jam, dengan nilai rata-rata yaitu 2,4. Dapat
disimpulkan bahwa sampel 681 merupakan sampel yang paling disukai
karena memiliki nilai terendah, sedangkan sampel 191 merupakan sampel
yang paling tidak disuka. Nilai terendah pada uji kesukaan secara ranking
merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Hal ini dikarenakan
pada saat tempering dengan cara mendinginkan adonan coklat hingga suhu
28 oC dan menaikkan kembali sampai suhu 33 oC akan menghasilkan
produk coklat yang mengkilat. Hal ini disebabkan karena pada sampel 681
menggunakan suhu tempering yang tepat dan adanya pengadukan. Menurut
Faridah (2008), Melalui proses tempering akan dihasilkan produk cokelat
yang glossy dan brittle. Disamping itu, produk tanpa proses tempering akan
menyebabkan cokelat mengalami blooming. Blooming merupakan
terbentuknya lapisan berwarna putih dan berbentuk seperti jamur pada
permukaan coklat. Maka, jika coklat mengalami blooming maka akan
memiliki kenampakan yang tidak mengkilat. Sedangkan pada sampel 191
merupakan sampel yang paling tidak disukai. Hal ini dikarenakan suhu
tempering tempering yang digunakan tidak sesuai dan tanpa pengadukan.
Pengadukan akan mempengaruhi inti kristal yang terbentuk dan
menghasilkan coklat yang memiliki kenampakan mengkilat. Menurut
Becket (2000), menyatakan bahwa pengadukan lambat pada proses
tempering menimbulkan gaya geser pada pembentukan inti kristal sehingga
mempercepat transformasi kristal dari α β’ β. Kristal β menghasilkan
permukaan cokelat batang yang licin, mengkilap, mencegah blooming

c. Parameter Kecepatan Leleh


Kecepatan leleh dimulut merupakan salah satu parameter penting
tingkat penerimaan konsumen terhadap coklat. Panelis yang digunakan
sebanyak 21 panelis agak terlatih. Coklat yang diujikan kepada panelis
merupakan coklat yang dihasilkan dari perlakuan suhu akhir tempering yang
berbeda.
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa dari kesembilan sampel yang telah dilakukan pengujian, sampel
dengan kecepatan leleh paling lambat terdapat pada sampel 247 yaitu
sampel coklat yang dilakukan tempering dengan cara menurunkan suhu
hingga 28oC tanpa pengadukan dan dilakukan refiner selama 10 jam,
dengan kecepatan leleh dimulut 31,11 detik. Sedangkan sampel coklat yang
memiliki kecepatan leleh paling cepat terdapat pada sampel 715 yaitu
sampel coklat yang dilakukan tempering dengan cara menurunkan suhu
hingga 28oC kemudian dinaikkan lagi hingga suhu 33oC dengan pengadukan
dan dilakukan refiner selama 6 jam, dengan kecepatan leleh dimulut 8,54
detik. Dapat disimpulkan bahwa sampel 715 merupakan sampel coklat yang
paling cepat leleh daripada sampel 247. Kecepatan leleh yang disukai oleh
konsumen umumnya yang lebih cepat leleh dimulut ketika dimakan atau
dapat disebut dengan lumer, namun konsumen lebih menyukai coklat yang
tidak mudah leleh di suhu ruang dan memiliki struktur yang kompak dan
kokoh. Kecepatan leleh coklat dimulut dipengaruhi oleh cara tempering dan
lamanya proses refining. Proses Tempering merupakan suatu proses tahapan
yang bertujuan untuk memperoleh struktur coklat yang stabil. Penggunaan
suhu yang sesuai akan menghasilkan coklat yang stabil. Kristaal-kristal
lemak yang dihasilkan berukuran kecil dan memiliki titik leleh yng tinggi.
Proses tempering dengan cara menurunkan suhu hingga 28oC dan dinaikkan
kembali hingga suhu 33oC akan membentuk lemak coklat dengan kristal
tipe β. Lemak pada tipe β ini memiliki karakteristik titik leleh yang tinggi
pada suhu ruang, namun akan cepat meleleh atau lumer ketika dimakan. Hal
ini sesuai dengan literatur menurut Talbot (1999), yang menyatakan bahwa
proses tempering merupakan proses untuk pengaturan ikatan kristal pada
lemak kakao. Setelah pemanasan lemak struktur ikatan masing-masing
terlepas sesuai dengan jenis kristal lemak dan akan membentuk ikatan
polimorphis α, β dan β’. Bentuk β adalah bentuk yang paling diinginkan
oleh industri kakao karena memiliki titik leleh 29,5-36oC dan paling stabil
pada suhu ruang.
BAB 5. PENUTUP
5.1 kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Selama proses penyangraian terjadi pengurangan berat biji kakao, pada biji
kakao sangrai memiliki warna gelap, aroma berkurang dan tekstur rapuh,
sedangkan biji kakao yang tidak disangrai memiliki warna lebih terang,
beraroma normal biji kakao dan teksturnya sulit dipatakan.
2. Pada proses winowwing menghasilkan nilai efisiensi sebesar 1,799%. Hal
ini tidak sesuai dengan literature dan mengalami penyimpangan karena pada
saat proses winowwing kadar air biji kakao masih tinggi yang disebabkan
karena proses penyangraian yang tidak sempurna sehingga kulit biji yang
terikut lebih banyak.
3. Ukuran partikel pada proses pemastaan yaitu 88 mµ dan 68,5 mµ,
sedangkan ukuran partikel pada pasta kakao komersil adalah 11 mµ. Ukuran
partikel pasta kakao komersil lebih kecil dari pada pasta kakao hasil
praktikum. Ukuran partikel pasta kakao hasil praktikum tidak sesuai dengan
literatur karena adanya kulit yang terikut pada nib dan tingginya kadar air
akanmempengaruhi tingkat kesulitan dalam penghancuran nib menjadi pasta
kakao.
4.
5.

5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya dilakukan per acara yaitu dipisah
antara praktikum brittle dan pembuatan coklat sehingga praktikan lebih fokus dan
memahami proses pembuatan coklat dengan baik.
1. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan.
Mengetahui sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Afoakwa, E. O., Paterson, A., Fowler, M., & Ryan, A. 2008. Flavor Formation
and Character in Cocoa and Chocolate: A Critical Review. Critical
Reviews in Food Science and Nutrition, 48, 840-857.

Afoakwa, Emmanuel. 2010. Chocolate Science and Technology, First edition.


UK: Wiley-Blackwell Pub, West Sussex.

Ansel, H.C. 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standart Nasional Indonesia 3749:2009.


Jakarta: BSN.
Bajeng NR KR. 2012. Studi Pengaruh Penambahan Semi Refined Carrageenan
(Eucheuma cottonii) dan Bubuk Bungkil Kacang Tanah Terhadap Mutu
Permen Cokelat (Chocolate). Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi
Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Makassar.

Beckett, T. S. 2008. The Science of Chocolate, Second Edition. New York:


Formerly Nestle Product Technology Center.

Belitz, H.D. dan W. Grosch, 1999. Food Chemistry Second Edition. Berlin:
Springer.

Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in
Food Product Development and Quality Control. Mayland : Aspen
Publisher, Inc. Gaithersburg.

Dermoredjo, S.K dan A.Setyanto. 2008. Analysis Perdagangan Kakao Indonesia


ke Spanyol. Jakarta: Pustaka Utama.

Faridah, A., Kasmita, S.P., Yulastri, A., Yusuf, L. 2008. Patiseri Jilid 3.
Makassar: Universitas Hasanuddin.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan


Pertama. Jakarta : UI-Press

Kurniven, J. P., O. Sjovall, R. Tahvonen, E. Anklam and H. Kallio. 2002. Rapid


MS Method for Analysis of Cocoa Butter. TAG , JAOCS, 79 (7): 621-626.

Lipp, M dan E. Anklam. 1998. Review of Cocoa Butter and Alternative Fats for
Use in Chocolate-Part A. Compositional Data. Journal of Food Chemistry,
Vol. 62, No. I, pp. 73-97

Minife, B.W. 1999. Chocolate Cacao and Confectionary Science and Technology.
The Avi Publishing Co. Westport. Connecticut.
Mulato, S, S. Widyotomo dan Handaka. 2004. Desain Teknologi Pengolahan
Pasta, Lemak, dan Bubuk Cokelat untuk Kelompok Tani. Jakarta: Badan
Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

O’Brien, R.D. 2008. Fats and Oil , Formulating and Processing For Aplication.
Second Edition, USA: Inc.USA.

Poedjiwidodo, M. S., 1996. Sambung Samping Kakao. Solo: Trubus Agriwidya.

Regawati Y. 2002. Praktis dan Cantik Membuat Kreasi Cokelat. Jakarta: Puspa
Swara.

Ruhnayat, A. 2003. Bertanam Vanili. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Shukla, V.K.S. 2003. Chocolate the Chemistry of Pleasure. School of Chemical


and Physical Science Liverpool John Moores University Liverpool, 66-94

Spillane, J.J., 1995. Komoditi Kakao Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia.


Yogyakarta: Kanisius.

Subaedah, R. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Kering Menjadi Produk


Olahan Setengah Jadi. Sulteng: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Susanto. 1994. Tanaman Kakao. Yogyakarta: Kanisius.

Swarbrick, J. 1995. Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of Pharmaceutical


Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York, 413-445.

Talbot, G. 1999. Chocolate temper in S.T. Becket (Ed) Industrial chocolate


manufacture and use (3rd ed.) Oxford; Blackwell Science.

Wade, Ainley. 1994. Handbookof Pharmaceutical Recipients, second edition.


Washington: American Pharmaceutical Association.

Wahyudi, T, PangabeandanPujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wulandari, R. 2006. Aneka Kreasi Coklat. Jakarta: Kawan Pustaka.

(Haylock & Dodds, 1999).

Dand (1993),

Anda mungkin juga menyukai