Anda di halaman 1dari 11

Pengelolaan Limbah B3 Rumah Sakit

Menurut Departemen Kesehatan, limbah rumah sakit adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan Rumah
Sakit dalam bentuk padat, cair, pasta (gel) dan gas yang dapat mengandung mikroorganisme patogen
yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif. Dengan melihat deskripsi
tersebut, limbah yang berasal dari rumah itu bisa dikategorikan sebagai limbah B3 (limbah bahan
berbahaya dan beracun).
Limbah rumah sakit sendiri merupakan campuran yang heterogen sifat-sifatnya. Semua jenis sampah ini
dapat mengandung limbah bersama infeksi. Kadangkala, limbah residu insinerasi dapat dikategorikan
sebagai limbah berbahaya jika insinerator adalah rumah sakit tidak sesuai dengan kriteria, atau tidak dapat
dioperasikan sesuai dengan kriteria.

Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan Rumah Sakit dari pencemaran limbah yang
dihasilkannya Rumah Sakit harus memiliki fasilitas manajemen yang ditetapkan KepMenkes RI No. 1204 /
Menkes / SK / X / 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yaitu:

1. Fasilitas Pengelolaan Limbah Padat - Setiap Rumah sakit harus melakukan reduksi limbah mulai
dari dan untuk penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya, beracun dan setiap peralatan
yang digunakan dalam berbagai bahasa, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui sertifikasi
dari pihak yang ganti.
2. Fasilitas Pengolahan Limbah Cair - Limbah cair harus dalam wadah yang sesuai dengan bahan
kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpanannya. Rumah sakit harus
memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah sendiri.

Limbah dari pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dapat digunakan dalam berbagai kategori utama,
yaitu limbah umum, limbah patologis (jaringan tubuh), limbah radioaktif, limbah kimiawi, limbah terpadu
menular (menular), benda-benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, dan kontainer dalam. Dari sekian
banyak yang diperlukan, maka yang sangat diperlukan khusus adalah Limbah yang dapat menyebabkan
penyakit menular ( limbah infeksi ) atau limbah biomedis. Limbah ini hanya 10 - 15% dari seluruh volume
Limbah kegiatan pelayanan kesehatan. Jenis dari limbah ini secara spesifik adalah:

 Limbah anatomi manusia: jaringan tubuh manusia, organ, bagian-bagian tubuh, tetapi tidak
termasuk gigi, rambut dan muka.
 Limbah Tubuh hewan: jaringan-jaringan tubuh, organ, bangkai, darah, bagian terkontaminasi
dengan darah, dan sebagainya, tetapi tidak termasuk gigi, bulu, kuku.
 Limbah laboratorium mikrobiologi: jaringan tubuh, stok hewan atau mikroorganisme, vaksin, atau
bahan laboratorium yang berkontak dengan bahan- bahan tersebut.
 Limbah Darah dan cairan manusia atau bahan yang terkontaminasi dengannya. Tidak termasuk
dalam kategori ini adalah urin dan tinja.
 Limbah-limbah benda tajam seperti jarum suntik, gunting, pecahan kaca dan sebagainya.

Sasaran-lahan yang sulit dipahami adalah bagaimana mencari limbah berbahaya, memecahkan dan
memusnahkannya seekonomis mungkin, namun higienis dan tidak ada lingkungan. Untuk limbah yang
bersifat umum, penanganannya identik dengan lingkungan domestik yang lain. Daur ulang sedapat
mungkin diterapkan pada setiap kesempatan. Bahan-bahan yang tidak beracun harus dibungkus secara
baik dan tidak akan mencelakakan pekerja yang dapat digunakan seperti sampah umum, sementara
bahan-bahan yang digunakan sebagai limbah berbahaya.

Limbah Yang harus dibandingkan dari yang lain adalah limbah patologis dan infeksius. Limbah infeksius
beresiko tinggi perlu dilakukan sebelum autoclave sebelum menuju pengolahan selanjutnya atau sebelum
disingkirkan di landfill. Limbah Keluarga yang tidak bisa dimasukkan ke dalam saluran limbah kota dan
dibilas dengan udara, sedang yang menjadi sampah sebagai limbah berbahaya. Kontainer-kontainer di
bawah tekanan (aerosol dan sebagainya) tidak dapat dimasukkan ke dalam insinerator.

Limbah yang telah dilengkapi dengan kantong-kantong yang kuat (dari sampah luar sendiri dari limbahnya
sendiri) dan tahan udara atau dimasukkan dalam kontainer-kontainer logam. Kantong-kantong yang
dibedakan dengan warna yang seragam dan jelas, dan isi secukupnya agar dapat ditutup degan mudah
dan rapat. Disamping warna yang seragam, kantong tersebut diberi label atau simbol yang
sesuai. Kontainer harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Untuk membuat autoclave , maka kantong-
kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sterilisasi yang dapat berlangsung sempurna. Limbah radioaktif
juga harus memberi tanda-tanda yang standar dan dapat digunakan untuk masa aktifasi yang terlokalisasi
sebelum dikategorikan limbah biasa atau limbah berbahaya lainnya.

Secara umum jenis pengolahan cairan rumah sakit adalah:

1. Limbah umum; sejenis limbah domestik, bahan pengemas, makanan hewan tidak menular ,
limbah dari bahan pencuci kulit yang lain dan lingkungan. Pengolahan limbah ini tidak
membutuhkan pengolahan khusus, dan dapat disatukan dengan limbah domestik. Seluruh
MAKANAN Yang Telah Meninggalkan-dapur PADA Prinsipnya Adalah Limbah Bila TIDAK
dikonsumsi Dan Sisa MAKANAN Dari Bagian penyakit menular Perlu di autoclave terlebih PT
KARYA CIPTA PUTRA SEBELUM dibuang Ke TPA.
2. Limbah patologis; terdiri dari jaringan-jaringan, organ, bagian tubuh, plasenta, bangkai hewan,
darah dan cairan tubuh. Pengolahan limbah ini dilakukan dengan sterilisasi, insinerasi, lalu
dilanjutkan dengan landfilling. Insinerasi merupakan metode yang sangat dianjurkan, kantong-
kantong yang digunakan untuk membungkus limbah juga harus diinsinerasi.
3. Limbah radioaktif; dapat berfase padat, cair atau gas yang terkontaminasi dengan radionuklisida,
dan dihasilkan dari proses in-vitro terhadap jaringan tubuh dan cairan, atau analisis in vivo
terhadap organ tubuh dalam Sejuta atau lokalisasi tumor, atau dihasilkan dari prosedur
therapetis. Bahan radioaktif yang digunakan dalam kegiatan kesehatan / olahraga ini biasanya
tergolong memiliki daya radioaktivitas tingkat rendah, yaitu di bawah 1 megabecquerel
(MBq). Limbah radioaktif dari rumah sakit dapat dikatakan tidak mengandung bahaya yang
signifikan ketika melahirkan secara baik. Penanganan kotoran dapat dilakukan di dalam area
rumah sakit itu sendiri, dan untuk menghemat waktu yang telah habis, untuk kemudian
disingkirkan sebagai limbah non-radioaktif biasa.
4. Limbah kimia; dapat berupa padatan, cairan atau gas jika berasal dari pekerjaan atau prosedur,
pembersihan atau prosedur desinfeksi. Bagi limbah kimia yang tidak berbahaya, penanganannya
adalah identik dengan limbah yang tidak termasuk kategori berbahaya. Penanganan penanganan
penanganan penanganan penanganan penanganan penanganan penanganan dalam dalam
dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam Beberapa kemungkinan
daur ulang limbah kimiawi misalnya:
- Solven jenis toluena, xilena, aseton dan alkohol yang lain yang dapat diredistilasi
- Solven organik lain yang tidak toksik atau tidak mengeluarkan produk toksik bila dibakar dapat
digunakan sebagai bahan bakar
- Asam-asam khromik dapat digunakan untuk membersihkan peralatan gelas di laboratorium, atau
didaur ulang untuk mendapatkan khromnya
- Limbah logam - merkuri dari termometer, manometer dan sebagainya rece untuk didaur-
ulang; Limbah jenis ini digunakan untuk diinsinerasi karena akan menghasilkan gas toksik
- Larutan-zat pemerosesan dari radioaktif yang dapat ditemukan oleh elektrostatis
- baterai-baterai bekas untuk jenis-jenis seperti: merkuri, kadmium, nikel dan timbal.
Insinerator adalah sarana yang digunakan di tempat atau di luar lokasi; insinerator tersebut harus
dilengkapi dengan alat pencegah pencemaran udara, sedang residu yang mungkin saja logam-
logam yang berbahaya dibuang ke landfill yang sesuai. Solven yang tidak diredistilasi harus
terpisah antara solven yang berhalogen dan nonhalogen; solven berhalogen membutuhkan
penanganan khusus dan solven non-halogen dapat dibakar pada insinerator di
tempat. Limbah sitotoksik dan obat-obatan genotoksik atau limbah yang terkontaminasi harus
terpisah, dikemas dan diberi tanda dibakar pada insinerator; limbah jenis ini tidak
di autoclaveKarena disamping tidak mengurangi toksiknya juga dapat berbahaya bagi
operator. Beberapa jenis limbah kimia yang efektif juga dapat digunakan, misalnya: disinfektan, oli
dari trafo dan kapasitor atau dari mikroskop yang mengandung PCB dan sebagainya, sehingga
perlu dibuang sesuai jenisnya
5. Limbah terbatas menularkan penyakit ( menular ); Termasuk mikroorganisme patogen yang dilihat
dari konsentrasi dan kuantitasnya jika terpapar dengan manusia akan dapat menimbulkan
penyakit. Katagori yang termasuk limbah ini antara lain jaringan dan persediaan dari agen-agen
infeksi dari kegiatan laboratorium, dari ruang bedah atau dari pasien yang memiliki penyakit
menular, atau dari pasien yang diisolasi, atau yang berhubungan dengan pasien yang menjalani
hemodialisis (tabung, penyaring) , serbet, gaun, sarung tangan dan sebagainya) atau materi yang
berkontak dengan binatang yang sedang diinokulasi dengan penyakit menular atau sedang
berkembang penyakit menular. Pengolahan limbah ini untuk sterilisasi terlebih dahulu atau
langsung dilakukan pada insinerator. Autoclave tidak diperlukan bila limbah tersebut telah
diwadahi dan ditangani secara baik sebelum diinsinerasi.
6. Benda-benda tajam; berupa jarum suntik, syring, gunting, pisau, kaca pecah, gunting kuku dan
sebagainya yang dapat menyebabkan orang tertusuk (luka) dan terjadi infeksi. Benda-benda ini
mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi atau bahan
sitotoksik. Limbah ini harus dikemas dalam kemasan yang dapat digunakan dari bahaya tertusuk,
sebelum dibakar dalam insinerator.
7. Limbah Farmasi: meliputi produk-produk kefarmasian, obat-obatan dan bahan kimiawi yang
bermanfaat dari luar pasien isolasi, atau telah tertumpah, kadaluwarsa atau terkontaminasi atau
harus dibuang karena sudah tidak lagi. Obat-obatan yang kemudian dipakai dan masa
kadaluwarsanya masih lama untuk mengisi waktu yang tepat, sedangkan yang tidak terpakai dan
sudah digunakan atau di masa depan atau di landfilling atau dipindahkan ke pemasok.
8. Kontainer-kontainer di bawah; zat-zat yang mengandung gas dan aerosol yang dapat meledak bila
diinsinerasi atau ketika muntah karena kecelakaan (tertusuk dan sebagainya). Pengolahannya
dengan cara landfilling atau didaur-ulang.

Sumber: Pengelolaan Limbah B3 - Prof. Dr. Enri Damanhuri, dan berbagai sumber lainnya

Indonesia Environment Indonesia (IEC) akan mengadakan Training Manajemen Limbah B3,
Untuk mengetahui silabus training silakan klik disini

MENGENAL B3 DI RUMAH SAKIT

B3 adalah singkatan dari Bahan Berbahaya dan Beracun, merupakan suatu zat, bahan kimia dan biologi, baik
dalam bentuk tunggal maupun campuran, yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan secara
langsung maupun tidak langsung. B3 bersifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi.

Di rumah sakit, B3 dapat berupa bahan kimia, obat kanker (sitostatika), reagensia, antiseptik dan disinfektan,
limbah infeksius, bahan radioaktif, insektisida, pestisida, pembersih, detergen, gas medis dan gas non medis.
Keragaman jenis B3 yang ada di rumah sakit, membuat rumah sakit menjadi salah satu industri yang diwajibkan
mampu mengelola B3 dengan baik.

Pengelolaan B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup pengadaan, penerimaan, penyimpanan,


pengangkutan, penggunaan, pengolahan dan pembuangan limbah B3. Penerimaan B3, harus disertai dengan
Material Safety Data Sheet (MSDS). MSDS adalah lembar petunjuk yang berisi informasi B3 mengenai sifat
fisika B3, sifat kimia, cara penyimpanan, jenis bahaya, cara penanganan, tindakan khusus dalam keadaan
darurat, cara pengelolaan limbah B3 dan sebagainya.

Ancaman hukuman bagi orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa ijin dan atau menghasilkan limbah
B3, adalah pidana 1 sampai 3 tahun dan denda 1 sampai 3 milyar rupiah. Bagi pejabat yang berwenang yang
tidak melakukan pengawasan, juga diancam pidana 1 tahun dan denda 500 juta rupiah. Sedangkan bagi yang
berani mengimpor limbah B3, hukuman pidananya hingga 15 tahun dan denda hingga 15 miliar rupiah. Oleh
karena itu, sangatlah penting bagi petugas rumah sakit untuk mengenal jenis-jenis B3 yang terdapat di
lingkungan kerjanya.

B3 di rumah sakit terbagi atas dua bagian besar yaitu :

1. B3 Medis

B3 Medis berasal dari Instalasi Farmasi terdiri dari :

 Antiseptik dan Disinfektan

- Alkohol, H2O2, Microshield, Formalin, Natrium hipoklorida, Povidone Iodin


- Cidex , Presept Tablet, Phisohex

- Wash bensin, Lysol, Karbol

 Semua obat yang diperoleh dari Instalasi Farmasi.


 Obat- obat kanker
 Reagensia terdiri dari Reagensia untuk Laboratorium dan Farmasi, Aseton, Larutan amonia, dietil
eter, HCl pekat 35%, NaOH crystal, KOH crystal, H2SO4 (asam sulfat), Phenol crystal, asam asetat, asam
formiat, asam sitrat, methanol, xylol.
 Gas Medis yaitu O2, N2, CO2, Acetylen, N2O.

2. B3 Non Medis
B3 non medis berasal dari IPSRS, CSSD dan penggunaan rumah tangga, terdiri dari :

 Disinfektan yaitu disinfektan linen, Ultra clorox rain clean bleach, Chlor bleach, Cidezyme, Detergent
enzimatic, SOUR, Detergen.
 Pembersih yaitu softener, Foamy Hand Soap, Rugbee shampoo, Magic Glass, Forward, Floor Kleen,
Marble Kleen, Waxstrip, Hygenc.
 Gas non medis yaitu Elpiji.
 Insektisida, Peptisida Nuvet 200 EC, Protect safe 0,005 BB, Inseckil 50 EC
 Solar, Diesel Fuel, Freon (bahan pendingin), Chemical NAJCO (untuk boiler), Air Accu, Oil, Oil
Lubricant, Emulsifier.

PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT


(Materi 5 Pelatihan Wajib Bagi Karyawan Rumah Sakit tahun 2016)

RUWANTO,S.ST
Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja RSUP dr Sardjito – Yogyakarta

Latar Belakang
Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, tuntutan pengelolaan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit semakin tinggi. Tenaga kerja di
rumah sakit, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat disekitar rumah sakit ingin
mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik karena dampak kegiatan
pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana di rumah sakit yang tidak standar.
Agar dapat tercipta sistem manajemen K3 yang baik, dibutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai
kompetensi yang baik pula terutama untuk mendeteksi dan menangani risiko bahaya yang ada di lingkungan
rumah sakit. Untuk dapat mencapai hal tersebut karyawan rumah sakit harus mengetahui jenis-jenis resiko
bahaya di rumah sakit dan cara pengendaliannya, sehingga rumah sakit yang aman bagi tenaga kerja, pasien,
pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terwujud.

Tujuan
1. Peserta pelatihan mampu mengenal resiko bahaya yang ada di rumah sakit.
2. Peserta pelatihan mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada di satuan kerja masing-masing.
3. Peserta pelatihan mampu mengenal sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan di rumah sakit
khususnya di satuan kerja masing-masing.
4. Peserta pelatihan mampu mengikuti prosedur pengendalian resiko bahaya dan menerapkan kepada pengunjung,
keluarga pasien dan peserta didik yang ada di lingkungan rumah sakit.
Metode
Pelatihan ini menggunakan metode: ceramah dan tanya jawab.

Materi Pelatihan
1. PENDAHULUAN
Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik, kimia, fisiologi/ergonomi dan
psikologi dapat menyebabkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan
masyarakat disekitar lingkungan rumah sakit. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja yang lebih tinggi
dibanding pekerja industri lain sehingga resiko bahaya tersebut harus dikendalikan.
Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh pekerja rumah
sakit tentang resiko bahaya tersebut sehingga seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut.
Dengan mengenal resiko bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada disatuan
kerjanya dan mengetahui upaya pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga
dapat meningkatkan kepatuhan pekerja terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan.

2. RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT.


Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak dapat mengenalinya,
terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan micro organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko
bahaya fisik atau kimia. Akan tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan,
maka dapat berdampak serius baik terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung
serta masyarakat disekitar rumah sakit.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok sebagai berikut;
a. Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1) Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain.
Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum
suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena
dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat
bahaya akibat tertular penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk
jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
b) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di rumah sakit banyak digunakan kereta
dorong untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh
dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
c) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu
sering. Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan
tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
d) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-
lantai yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin
sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan
“awas licin”.
e) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan
pada pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan
dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada
ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis
pengaman dan anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
2) Resiko bahaya radiasi
Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang mampu menghasilkan ion langsung
atau tidak langsung. Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk ionisasi,
misal radiasi infra merah atau radiasi gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta didik, pengunjung dan pasien hamil.
Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara pengendaliannya.
Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya
radiasi merupakan hal yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus memakai
personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan
tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung dan pasien hamil
hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy radiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi,
bila hamil harus melapor kepada petugas”.
3) Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi
ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang
menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar
peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit,
seluruh area pelayanan pasien harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan yang tidak memenuhi persyaratan
di analisa dan dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
4) Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih.
Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah sakit juga telah dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya
kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti
setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat
pencahayaan pada area tersebut.
5) Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik. Pengendalian yang telah
dilakukan adalah melakukan preventif maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS.
Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya
kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa peserta didik dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada
seluruh peserta didik pada saat orientasi dan untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk
rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
6) Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan
kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja.
Pemantauan secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak memenuhi
peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur
Umum dan Operasional.
7) Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih
ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping /
rumah tangga yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).

b. Resiko Bahaya Biologi


1) Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di rumah sakit sudah dikendalikan oleh
bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi
Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2) Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus
didukung dengan housekeeping yang baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
c. Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1) Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit
seperti; mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci permukaan kulit pasien seperti
alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3) Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi
anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6) Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan pasien seperti
oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal
yang perludiperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking,
pemanfaatan dan pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS),
petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur
penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari
B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit
untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten untuk memjamin
kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang
diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan
pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan
sesuai prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang akan masuk ke Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3
(TPS B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
d. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi
Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi
duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui
sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.
e. Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan hubungan antar manusia didalam
rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

3. HIERARCHY PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA


Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy sebagai berikut;
a. Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain, tujuannya adalah untuk
menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan
pada desain. Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan
prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak
selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di eliminasi ketika hollow fiber tidak
perlu reuse lagi atau single use.

b. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang
berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal
melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi
pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan
pembersih kimia yang kurang berbahaya, mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan
baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.

c. Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja
serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang
dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada
ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan
shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.
d. Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan
pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi,
memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara
aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar
operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal
kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan lain-
lain.
e. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang paling tidak efektif dalam
pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko
bahaya dengan memperhatikan jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan
resiko bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga semakin singkat kontak dengan resiko
bahaya resiko yang didapat juga semakin kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja seperti kurang leluasa dalam
bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain, alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain. Beberpa
pekeerja yang kurang faham terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan
dalam penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan perawatan dan penyimpanan yang baik
sehingga kualitas perlindungan dari APD tersebut tetap optimal.
Hierarchy pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.


4. PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA.
Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh resiko bahaya tersebut
terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh sistem pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah
sakit adalah sebagai berikut:
1. Resiko bahaya fisik
a. Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan terpeleset atau menabrak dinding / pintu
kaca. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang
menutup kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan
rambu “awas licin”, pemasangan kaca film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan
penggunaan sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-
lain.
b. Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi, kedokteran nuklir, ruang cath lab dan
beberapa kamar operasi yang memiliki fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain:
pemasangan rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi,
pengecekan tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi pada petugas radiasi
dengan personal dosimetri pada patugas radiasi.
c. Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik dan ruang chiller. Pengendalian yang
telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih
rendah, penggunaan pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi
Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d. Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan teliti seperti di
kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan
secara berkala oleh ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut
ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
e. Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum. Pengendalian yang telah
dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) dan harus dipasang oleh bagian IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr
Sardjito secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh peralatan yang layak pakai akan
diberikan label layak pakai berupa stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan stiker
merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan
sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.
f. Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban ruang kerja.
Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban
mengacu pada keputusan menteri kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan
rumah sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi
gizi, karena belum memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan pemberian minum
yang cukup. Masalah kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman patogen sehingga
meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan
akan tetapi pada musim tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk menghambat
kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi
ruangan lebih sering dan pemantauan angka kuman secara berkala.
g. Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah yang telah dilakukan
unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi
akibat dari mesin bor gigi, tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang diijinkan.
2. Resiko bahaya biologi : resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman patogen dari pasien
yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh, dropet dan udara. Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh
Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit K3. Resiko
air borne dissease dikendalikan dengan rekayasa ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan
APD. Resiko penularan melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas, pengantar
pasien dan pasien yang batuk, serta sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko blood borne dissease dikendalikasn
dengan penggunaan alat-alat single use beserta persturan administratif dan APD. Selain itu untuk mencegah pe
nularan penyakit blood borne dissease khususnya Hepatitis B dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas
pada karyawan dengan kadar titer anti HBs < 0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif terhadap
pasien. Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya pada HIV dan Hepatitis B.
Bila pekerja atau peserta didik mengalami kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena
percikan darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena pada luka, maka wajib melaporkan
kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan setelah melakukan pertolongan pertama harus segera
periksa ke IGD agar dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk mengurangi resiko
tertular.
3. Resiko bahaya kimia: resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan beracun (B3).
Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan
standar, penyiapan MSDS, penyiapan P3K, APD dan safety shower serta pelatihan teknis bagi petugas
pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3
lainnya.
4. Resiko bahaya ergonomi: resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien maupun
barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut yang benar selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan
sarana dan prasarana rumah sakit juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi tersebut terutama peralatan
yang dibeli dari negara lain yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran badan.
5. Resiko bahaya psikologi: resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada meskipun kadarnya tidak
terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar
staff dan pimpinan dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-lain yang bertujuan agar
terjalun komunikasi yang baik sehingga secara psikologi menjadi lebih akrab denganharapan resiko bahaya
psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.

Referensi
Departemen Kesehatan RI, Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit danfasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. – Jakarta : Departemen, Kesehatan RI. Cetakan kedua, 2008.
Keputuan Menteri Kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan Ri no 1087 tahun 2010 tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit.
Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Anda mungkin juga menyukai