Label: Blog
Ini belum masuk pada kategori naturalisasi. Naturalisasi adalah jalan terakhir untuk
merekrut pemain asing, jika dia tidak punya darah keturunan lokal atau tdak lahir di
negara tersebut.
Sebelum Piala AFF 2010, tren 'pemain lintas negara' sudah terlihat perkembangannya
sejak Piala Dunia. Tidak sedikit yang bermain di negara yang bukan merupakan tanah
kelahirannya. Isu ini legal, namun menjadi pro-kontra yang agak mengusik.
(Baca juga: 10 Pemain Dunia yg Tdk Bermain utk Tanah Kelahirannya)
Di timnas Jerman, hampir separuh skuadnya terlahir di negara lain atau memiliki darah
campuran. Timnas Jerman tidak sepenuhnya diwakili oleh orang yang lahir di Jerman.
Lukas Podolski, Miroslav Klose dan Piotr Trochowski lahir di Polandia kemudian
bermigrasi ke Jerman saat mereka masih kecil. Claudemir Jeronimo Barreto (Cacau) lahir
di Brazil dan menjadi warga Jerman setelah tinggal di sana selama sepuluh tahun.
Dalam kasus sebaliknya, ada juga pemain yang tetap membela tanah kelahirannya meski
sudah menetap lama di negara lain. Didier Drogba lahir di Pantai Gading tapi
menghabiskan masa mudanya di Prancis. Lionel Messi juga tetap membela Argentina
meski telah tinggal di Spanyol sejak kecil.
Kisah paling unik barangkali menyangkut Boateng bersaudara, Kevin-Prince dan Jerome.
Mereka lahir di Jerman dari seorang ibu keturunan Ghana. Jerome pilih membela tanah
kelahirannya (Jerman), sementara Kevin-Prince lebih suka membela negara ibunya
(Ghana).
Pedoman utama FIFA berisi dua hal pokok: (1) Pemain boleh membela sebuah negara
yang sesuai dengan status kewarganegaraan-nya; (2) Jika pemain sudah pernah bermain
di tim senior sebuah negara, dia tidak boleh lagi bermain untuk negara lainnya.
Regulasi FIFA juga memperhatikan situasi-situasi yang mungkin terjadi berkaitan dengan
kewarganegaraan.
Selain itu, sedikitnya salah satu dari 4 syarat berikut harus terpenuhi:
1. Si pemain lahir di negara tersebut;
2. Ayah atau Ibu kandungnya lahir di negara tersebut;
3. Kakek atau Nenek kandungnya lahir di negara tersebut;
4. Si pemain telah menetap 2 tahun berturut-turut di negara tersebut.
Poin terakhir dari persyaratan di atas bertujuan untuk mengantisipasi kenakalan negara
tertentu yang berniat melakukan naturalisasi instan. Batasan usia 18 tahun dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya eksploitasi kepada pemain muda usia.
Contohnya adalah kasus Christian Gonzales. Dia tidak memenuhi persyaratan no.1
sampai no. 3. Namun kebetulan, aturan domisili FIFA sesuai dengan UU
kewarganegaraan Indonesia: Gonzalez harus 5 tahun berturut-turut menetap di Indonesia
untuk mendapat status WNI.
Dengan peraturan FIFA yang demikian, sebuah negara bisa mengisi skuad tim
nasionalnya dengan 'pemain asing' sebanyak yang mereka mau, sepanjang persyaratan-
persyaratannya terpenuhi.
Hal ini menciptakan situasi dimana sebuah negara sangat mungkin tidak benar-benar
diwakili oleh pemain-pemain asli dari negara tersebut. Paling buruk, kelemahan aturan
legal ini bisa dimanfaatkan seperti kasus Qatar yang memiliki 15 'pemain asing'. Lebih
menyedihkan, mereka dibayar untuk menjadi pemain naturalisasi.
Naturalisasi di Indonesia
Sejak Piala AFF 2010, Indonesia memang tampak demam naturalisasi. Jauh-jauh hari
PSSI bertekad meningkatkan kualitas timnas dengan mendatangkan 'pemain asing'.
Karena tidak mampu membina peman di negeri sendiri, mencuri pemain yang dibesarkan
di negeri lain dianggap sebagai solusi brilian.
Di Piala AFF 2010, Christian Gonzales sebagai pemain naturalisasi memang telah
memberi warna baru untuk tim nasional. Perdebatan tentang keberadaannya wajar.
Namun terlalu jahat pula jika memandang sinis Christian Gonzales. Usaha dan
kesabarannya untuk mendapat status WNI telah menunjukkan betapa dia memang ingin
menjadi bagian dari bangsa kita.
Kenapa kita harus menolak mereka yang ingin berjuang atas nama Garuda? Hanya saja,
jangan karena legalitas euforia naturalisasi, terus menjadikannya sebagia sebuah proyek
pembentukan tim nasional.
Kita boleh menjadi bangsa yang terbuka menerima saudara, tapi jangan lalu membabi
buta berburu pemain untuk dinaturaliasi.
Mungkin sidang pembaca yang budiman sudah bosan jika blog ini lagi-lagi
membahas masalah pemakaian kata ‘ubah’ yang sering menjadi ‘rubah’, jika
lagi-lagi “menangkap” bukti kesalahan penggunaan kata ‘ubah’. Tapi
memang itu harus dilakukan guna mengingatkan kita semua karena
kesalahan itu selalu terjadi berulang-ulang, bahkan dilakukan oleh pihak-
pihak yang seharusnya tidak boleh melakukan kesalahan tersebut.
Memang sih, sosial media apalagi Twitter bukanlah media pendidikan. Justru
sebaliknya orang menyukai Twitter karena di situlah mereka bisa menulis apa
saja tanpa hambatan. Mereka bisa bebas menulis dengan bahasa lisan. Tapi
tentu jadi lain cerita jika yang menulis adalah seorang figur publik yang
punya pengikut (follower) banyak. Selain harus menjaga materi yang akan di-
twit, kaidah berbahasa juga sebaiknya diperhatikan, karena itu merupakan
bagian dari kecintaan kita kepada bangsa ini, karena kalau bukan kita yang
mencintai bahasa nasional kita sendiri, lalu siapa lagi? Demikian.
Posted in Bahasa Indonesia baik dan benar, cinta Bahasa Indonesia, tata bahasa, ubah |
Tagged Add new tag, rubah, safirsenduk, twitter, ubah | 1 Comment »
NATURALISASI
Kata ‘naturalisasi’ sesungguhnya sudah lama ada, dan biasanya sering disebut-sebut di
dalam ranah keimigrasian. Karena jika kita nelihat di KBBI, maka arti dari istilah
tersebut: pemerolehan kewarganegaraan bagi penduduk asing; hal menjadikan warga
negara; pewarganegaraan yg diperoleh setelah memenuhi syarat sebagaimana yg
ditetapkan dl peraturan perundang-undangan; atau arti lainnya yang berhubungan
dengan biologi: gejala terjadinya penyesuaian diri tumbuhan yg didatangkan dr tempat
lain dan menjadi anggota biasa masyarakat tumbuhan di tempat yg baru itu.
Kata ini berdiri sendiri, bukanlah kata ‘natural’ yang diberi tambahan ‘isasi’, meski
memang secara makna bisa saja dihubung-hubungkan, apalagi jika berkaitan dengan
masalah arti biologinya. Mari kita lihat arti kata ‘natural’: 1 bersifat alam; alamiah; 2
bebas dr pengaruh; bukan buatan; asli; 3 dapat dipakai untuk warna apa saja (tt semir
dsb). Mungkin juga orang asing yang dinaturalisasi maksudnya orang itu dibuat atau
diproses jadi orang Indonesia asli dengan dibuatkan kewarganegaraan Indonesia, hehe…
Pada kenyataannya kata ini adalah hasil proses “naturalisasi” dari istilah english
‘naturalization‘ yang kata dasarnya ‘naturalize‘ yang menurut Cambridge Dictionaries
berarti: to make someone a legal citizen of a country that they were not born in.
Jadi, jelaslah sudah asal-muasal istilah naturalisasi yang sedang laris-manis dipakai oleh
banyak kalangan. Semoga orang-orang yang mengalami naturalisasi menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI) adalah insan yang benar-benar berguna bagi bangsa dan negara,
aamiin. Sekian.
A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Anda perlu tahu bahwa pengertian PKn (n) tidak sama dengan PKN (N). PKN (N)
adalah pendidikan kewargaan negara, sedangkan PKn (n) adalah
kewarganegaraan. Istilah KN merupakan terjemahan civis. Menurut Soemantri
(1967) Pendidikan Kewarganegaraan Negara (PKN) merupakan mata pelajaran
sosial yang bertujuan untuk membentuk atau membina warga negara yang baik,
yaitu warganegara yang tahu , mau dan mampu berbuat baik. Sedangkan PKn (n)
adalah pendidikan kewarganegaraan, yaitu pendidikan yang menyangkut status
formal warga negara yang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 2 th.
1949. Undang-Undang ini berisi tentang diri kewarganegaraan, dan peraturan
tentang naturalisasi atau pemerolehan status sebagai warga negara Indonesia
(Winataputra 1995). Undang-Undang ini telah diperbahuri dalam UU no.62 th.
1958. Dalam perkembangannya, UU ini dianggap cukup diskriminatif, sehingga
diperbarui lagi menjadi UU No.12 th. 2006 tentang kewarganegaraan, yang telah
diberlakukan mulai 1 Agustus 2006. UU ini telah disahkan oleh DPR dalam
sidang paripurna tanggal 11 juli 2006. Hal yang menarik dalam UU ini adalah
terdapatnya peraturan yang memberikan perlindungan pada kaum perumpuan
yang menikah dengan warga negara asing, dan nasib anak-anaknya (Harpen dan
Jehani 2006). Perubahan ini dibangun setelah menimbang UUD hasil amandemen
yang sarat dengan kebebasan, dan penuh dengan perlindungan HAM, serta hasil
konvensi intenasional yang anti diskriminasi.
UU NO. 12 th. 2006 ini berangkat dari adanya keinginan UU yang ideal yang
harus memenuhi tiga unsur : Unsur Filosofi, Yuridis, Sosiologis. Dalam UU yang
lama, ketiga unsur diatas kurang tampak, karena filosofis UU lama masih
mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak sejalan dengan pancasila. Sebagai
contohnya, adanya sifat diskriminasi karena kurang adanya perlindungan terhadap
perumpuan dan anak. Sedangkan secara Yuridis, pembentukan UU yang lama
masih masih mengacu pada UUDS th. 1950, dan secara sosiologis,UU tersebut
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat dunia. Dengan demikian, sudah jelas bahwa KN berbeda
dengan Kn karena KN merupakan program pendidikan tentang hak dan kewajiban
warga negara yang baik, sedangkan Kn merupakan status formal warga negara
yang diatur dalam UU No.2 1949 tentang naturalisasi, yang kemudian diperbahuri
lagi dalam UU No.12 th. 2006
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur
warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang
bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai
kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu
prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah
prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran,
sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu
negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat
kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk
menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang
dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh
karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara
di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan
anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara
Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali
penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan
sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula
terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di
rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau
dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan
persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang
berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status
dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak
berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’
yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang
berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara,
maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan
orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang
makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk
yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang
melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri.
Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara
asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan
perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status
kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan
atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara
pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja
yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’
sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung
mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata
menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status
kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui
proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi
yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan
permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi
warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga
dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut
tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi
bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-
daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup
ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu
jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena
Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal,
status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah
pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai
warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka
itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena
itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya,
keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’,
melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh
status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya
tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
BAB I
Wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang
dianut oleh negara yang bersangkutan.
1. Paham-paham kekuasaan
a. Machiavelli(abadXVII)
Dengan judul bukunya “The Prince” dikatakan sebuah negara itu akan bertahan apabila
menerapkan dalil-dalil:
3. Dalam dunia politik, yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
Perang di masa depan merupakan perang total, yaitu perang yang mengerahkan segala
daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus
didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi, yang didukung oleh sosial budaya
berupa ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa untuk membentuk kekuatan
pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya
dia bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia. Dia menulis sebuah buku tentang perang
yang berjudul “Vom Kriegen” (tentang perang). Menurut dia perang adalah kelanjutan
politik dengan cara lain. Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional
suatu bangsa.
Paham materialisme Fuerback dan teori sintesis Hegel menimbulkan aliran kapitalisme
dan komunisme. Pada waktu itu berkembang paham perdagangan bebas {merchantilism).
Menurut mereka ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar
surplus ekonominya, terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh
negara itu.
Memodifikasi teori Clausewitz dan teori ini diikuti oleh Mao Zhe Dong yaitu perang
adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Perang bahkan pertumpahan darah/
revolusi di negara lain di seluruh dunia adalah sah, yaitu dalam rangka mengomuniskan
bangsa di dunia.
Tahun 1972 dalam bukunya Political Cultural dan Political Development dinyatakan
bahwa kemantapan suatu sistem politikhanya dapat dicapai apabila berakar pada
kebudayaan politik bangsa yang bersangkutan. Kebudayaan politik akan menjadi
pandangan baku dalam melihat kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya. Dalam
memroyeksikan eksistensi kebudayaan politik tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi-
kondisi obyektif tetapi juga harus menghayati kondisi subyektif psikologis sehingga
dapat menempatkan kesadaran dalam kepribadian bangsa.
a. Federich Ratzel
2. Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati oleh kelompok politik dalam arti
kekuatan. Makin luas potensi ruang makin memungkinkan kelompok politik itu tumbuh
(teori ruang).
4. Semakin tinggi budaya bangsa semakin besar kebutuhan atau dukungan sumber daya
alam. Apabila tidak terpenuhi maka bangsa tsb akan mencari pemenuhan kebutuhan
kekayaan alam di luar wilayahnya (ekspansi). Apabila ruang hidup negara (wilayah)
sudah tidak mencukupi, maka dapat diperluas dengan mengubah batas negara baik secara
damai maupun dengan kekerasan/perang. Ajaran Ratzel menimbulkan dua aliran :
Ada kaitan antara struktur politik/kekuatan politik dengan geografi di satu pihak, dengan
tuntutan perkembangan atau pertumbuhan negara yang dianalogikan dengan organism
(kehidupan biologi) di lain pihak.
b. Rudolf Kjellen
1. Negara sebagai satuan biologi, suatu organisme hidup. Untuk mencapai tujuan
negara, hanya dimungkinkan dengan jalan memperoleh ruang (wilayah) yang cukup luas
agar memungkinkan pengembangan secara bebas kemampuan dan kekuatan rakyatnya.
3. Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar, tetapi harus mampu
swasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi untuk
meningkatkan kekuatan nasional.
Nama:
Street Address: Street Address:
City, State, Zip: Kota, State, Zip:
Telephone Number: Nomor Telepon:
If you need additional information, please feel free to contact me. Jika Anda memerlukan
informasi tambahan, jangan ragu untuk menghubungi saya. Your assistance in this matter
is greatly appreciated. bantuan Anda dalam hal ini sangat dihargai.
__________________________________ __________________________________
Child's Mother (Father) Anak Ibu (Bapa)
Enclosures Lampiran