Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan
bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru
melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai
focus primer dari ghon.
Penularan tuberculosis terjadi karena penderita TBC membuang ludah dan
dahaknya sembarangan dengan cara dibatukkan atau dibersinkan keluar. Dalam
dahak dan ludah penderita terdapat basil TBC-nya, sehingga basil ini mengering lalu
diterbangkan angin kemana-mana. Kuman yang terbawa angin dan jatuh ketanah
maupun lantai rumah yang kemudian terhirup oleh manusia melalui paru-paru dan
bersarang serta berkembangbiak di paru-paru.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah lama dikenal oleh
manusia. Pada peninggalan mesir kuno ditemukan relief yang menggambarkan orang
dengan gibbus. Kuman Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab TB telah
ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882 lebih dari 100 tahun yang lalu.
Walaupun sudah sejak lama penyakit ini dikenal dan telah lama ditemukan obat obat
anti tuberkulosis yang poten tetapi hingga saat ini TB masih merupakan masalah
kesehatan utama di seluruh dunia.
Tuberkulosis tersebar pada seluruh dunia dan dapat terjadi pada semua
golongan umur termasuk dalam keadaan keadaan tertentu seperti pada saat
kehamilan. Walaupun pada umumnya penyakit ini tidak banyak mempengaruhi
kehamilan, kecuali penyakitnya tidak terkontrol, berat dan luas yang disertai dengan
sesak nafas dan hipoksia.
TB paru pada wanita hamil telah menjadi topik pembicaraan dan kontroversi
sejak jaman hipocrates. Sebelum ditemukannya pengobatan yang efektif, peranan
kehamilan sebagai penyebab reaktifasi dan progresi TB paru telah banyak
diperdebatkan. Pada awal abad 14, beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan
tekanan intra abdomen yang terjadi pada wanita hamil dipercaya dapat membantu

3
mengeluarkan cavitas, sehingga seorang dokter yang berasal dari Jerman
mengusulkan bahwa wanita muda dengan TB paru harus segera menikah dan segera
hamil untuk memperlambat progresi penyakit TB.
Pada tahun 1850, Grisolle menyatakan bahwa TB menyebabkan dampak
yang buruk pada kehamilan dan selanjutnya pada tahun 1950 beberapa ahli
mengusulkan dilakukannya abortus terapeutik pada wanita hamil dengan TB paru.
Pada tahun 1953, Hedvall pada salah satu penelitiannya menemukan jumlah
yang sama antara wanita dengan TB yang membaik dengan kehamilan maupun yang
memburuk. Schaefer pada tahun 1975 menunjukkan bahwa progresifitas TB tidak
berbeda secara signifikan baik pada wanita hamil maupun pada wanita yang tidak
hamil. Pada pertengahan abad ke dua puluh para ahli menduga bahwasanya
progresititas TB justru akan meningkat pada periode postpartum. Hal ini
berhubungan dengan penurunan diafragma yang berakibat pada perubahan tekanan
intratoraks yang disertai dengan fluktuasi hormonal, kehilangan nutrisi dan
penurunan imunitas.
Diagnosis TB dalam kehamilan sangat penting artinya baik bagi ibu hamil
maupun bagi janin yang di kandungnya, karena tanpa penanganan yang tepat
penyakit ini dapat menyebabkan resiko yang cukup besar bagi keduanya. TB masih
menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Sepertiga dari seluruh penduduk
dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Keadaan ini
menggambarkan bahwasanya insiden infeksi pada wanita hamil juga sama besarnya
dengan populasi normal.
Diagnosis klinis, pemeriksaan laboratorium dan terapi selama kehamilan
ataupun pada masa postpartum membutuhkan perhatian khusus, karena wanita hamil
dengan TB paru tanpa pengobatan yang adekuat dapat menjadi faktor penyebaran
infeksi pada bayinya. Diagnosis TB pada kehamilan, keamanan anti tuberkulosis dan
pemberian profilaksis harus dapat dipahami dengan baik oIeh dokter, sehingga
diharapkan kasus kasus TB dalam kehamilan dapat diketahui sehingga dapat
dilakukan penanganan yang tepat.
Penyakit ini perlu diperhatikan dalam kehamilan, karena penyakit ini masih
merupakan penyakit rakyat, sehingga sering kita jumpai dalam kehamilan. TBC paru

4
ini dapat menimbulkan masalah pada wanita itu sendiri, bayinya dan masyarakat
sekitarnya.
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan
penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering
ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit sekitar
dada.
Tingginya angka penderita TBC di Indonesia dikarenakan banyak faktor,
salah satunya adalah iklim dan lingkungan yang lembab serta tidak semua penderita
mengerti benar tentang perjalanan penyakitnya yang akan mengakibatkan kesalahan
dalam perawatan dirinya serta kurangnya informasi tentang proses penyakitnya dan
pelaksanaan perawatan dirumah kuman ini menyerang pada tubuh manusia yang
lemah dan para pekerja di lingkungan yang udaranya sudah tercemar asap, debu, atau
gas buangan.
Pada penderita yang dicurigai menderita TBC paru sebaiknya dilakukan
pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (purified protein derivate) 5u dan bila
hasilnya positif diteruskan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan
dilindungi janin dari pengaruh sinar X. Pada penderita dengan TBC paru aktif perlu
dilakukan pemeriksaan sputum, untuk membuat dianosis secara pasti sekaligus untuk
tes kepekaan. Pengaruh TBC paru pada ibu yang sedang hamil bila diobati dengan
baik tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Pada janin jarang dijumpai TBC
kongenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui oleh
ibunya.

BAB II
TB PARU DALAM KEHAMILAN

II.A Definisi
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan
bagian bawah karena sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru

5
melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai
focus primer dari ghon, sedangkan batuk darah (hemoptisis) adalah salah satu
manifestasi yang diakibatkannya. Darah atau dahak berdarah yang dibatukkan
berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari glottis kearah distal,
batuk darah akan berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darah tidak luas,
sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi.

II.B Epidemiologi
Data statistik mengenai insiden TB pada kehamilan belum banyak diperoleh.
Tetapi hal tersebut dapat dinilai dari prevalensi TB paru yang terjadi pada wanita
subur. Di Amerika Serikat insiden TB pada kehamilan antara tahun 1985-1990
adalah sekitar 12 kasus dalam 100.000 kelahiran, sedangkan antara tahun 1991-1992
adalah 94.8 per 100,000 kelahiran.
Terdapat perbedaan etnik antara kulit hitam dan kulit putih terhadap insiden
TB, dimana pada kulit hitam adalah sekitar 29.6 per 100.000 populasi sedangkan
pada kulit putih adalah sekitar 5.7 per 100.000 populasi. Meningkatnya jumlah
wanita hamil yang mengidap HIV juga berpengaruh besar terhadap terjadinya infeksi
TB selama kehamilan.
Di Indonesia prevalensi TB paru masih sangat tinggi sehingga dapat
diasumsikan bahwa frekuensi TB pada wanita hamil juga tinggi. Diperkirakan 1 %
wanita hamil menderita TB paru. Menurut Prawirohardjo dan Soemarto, frekuensi
wanita hamil yang menderita TB paru di Indonesia yaitu 1.6%. Di Negara miskin
dan berkembang frekuensi TB paru pada wanita hamil jauh lebih tinggi lagi.

II.C Etiologi
Sebagaimana telah diketahui, TBC paru disebabkan oleh basil TB
(Mycobacterium tuberculosis humanis).
· M. tuberculosis termasuk familie Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai
genus, satu di antaranya adalah Mycobacterium, yang salah satu speciesnya adalah
M. tuberculosis.

6
· M. tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type humanis
(kemungkinan infeksi type bovinus saat ini diabaikan, setelah higiene peternakan
makin ditingkatkan).
· Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini dimanfaatkan
oleh Robert Koch untuk mewarnai secara khusus. Oleh karena itu, kuman ini disebut
pula Basil Tahan Asam (BTA).
· Karena sebetulnya Mycobacterium pada umumnya tahan asam, secara teoritis BTA
belum tentu identik dengan basil TB. Tetapi karena dalam keadaan normal penyakit
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium lain (y.i. M. atipik) jarang sekali
ditemukan, dalam praktek BTA dianggap identik dengan basil TB. Di negara dengan
prevalensi AIDS/infeksi HIV yang tinggi, penyakit paru yang disebabkan M. atipic
(=Mycobacteriosis) makin sering ditemukan, sehingga dalam kondisi seperti ini,
perlu sekali diwaspadai bahwa BTA belum tentu harus identik dengan basil TB.
Malahan mungkin saja BTA belum tentu harus identik dengan basil TB, mungkin
saja BTA yang ditemukan adalah M. atipic yang menjadi penyebab Mycobacteriosis.
· Kalau untuk bakteri-bakteri lain hanya diperlukan beberapa menit sampai 20 menit
untuk mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini
memungkinkan pemberian obat secara intermiten (2 – 3 hari sekali).
· Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit
saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang cahaya
ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja
basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air
bersuhu 1000 C. basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena
alkohol 70%, atau lisol 5%.

II.D Anatomi dan Fisiologi


System pernafasan terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, sampai
dengan alveoli dan paru-paru.
Hidung merupakan saluran pernafasan yang pertama, mempunyai dua
lubang/cavum nasi. Didalam terdapat bulu yang berguna untuk menyaring udara,
debu dan kotoran yang masuk dalam lubang hidung. Hidung dapat menghangatkan
udara pernafasan oleh mukosa.

7
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan
makanan, faring terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan
mulut sebelah depan ruas tulang leher. faring dibagi atas tiga bagian yaitu sebelah
atas yang sejajar dengan koana yaitu nasofaring, bagian tengah dengan istimus
fausium disebut orofaring, dan dibagian bawah sekali dinamakan laringofaring.
Trakea merupakan cincin tulang rawan yang tidak lengkap (16-20cincin),
panjang 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot
polos dan lapisan mukosa. trakea dipisahkan oleh karina menjadi dua bronkus yaitu
bronkus kanan dan bronkus kiri.
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea yang membentuk bronkus utama
kanan dan kiri, bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri
cabang bronkus yang lebih kecil disebut bronkiolus yang pada ujung-ujungnya
terdapat gelembung paru atau gelembung alveoli.
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung-gelembung. Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru-paru kanan tiga
lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Paru-paru terletak pada rongga dada yang
diantaranya menghadap ke tengah rongga dada / kavum mediastinum. Paru-paru
mendapatkan darah dari arteri bronkialis yang kaya akan darah dibandingkan dengan
darah arteri pulmonalis yang berasal dari atrium kiri. Besar daya muat udara oleh
paru-paru ialah 4500 ml sampai 5000 ml udara. Hanya sebagian kecil udara ini, kira-
kira 1/10 nya atau 500 ml adalah udara pasang surut. sedangkan kapasitas paru-paru
adalah volume udara yang dapat di capai masuk dan keluar paru-paru yang dalam
keadaan normal kedua paru-paru dapat menampung sebanyak kuranglebih 5 liter.
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang
mengandung karbondioksida sisa oksidasi keluar tubuh (ekspirasi) yang terjadi
karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru .proses
pernafasan tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Ventilasi pulmoner
Ventilasi merupakan proses inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses
aktif dan pasif yang mana otot-otot interkosta interna berkontraksi dan mendorong

8
dinding dada sedikit ke arah luar, akibatnya diafragma turun dan otot diafragma
berkontraksi. Pada ekspirasi diafragma dan otot-otot interkosta eksterna relaksasi
dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara terdorong keluar.
2. Difusi Gas
Difusi Gas adalah bergeraknya gas CO2 dan CO3 atau partikel lain dari area
yang bertekanan tinggi kearah yang bertekanann rendah. Difusi gas melalui
membran pernafasan yang dipengaruhi oleh factor ketebalan membran, luas
permukaan membran, komposisi membran, koefisien difusi O2 dan CO2 serta
perbedaan tekanan gas O2 dan CO2. Dalam Difusi gas ini pernfasan yang berperan
penting yaitu alveoli dan darah.
3. Transportasi Gas
Transportasi gas adalah perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari
jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 kedalam sel
darah yang bergabung dengan hemoglobin yang kemudian membentuk
oksihemoglobin sebanyak 97% dan sisa 3% yang ditransportasikan ke dalam cairan
plasma dan sel.

II.E Patofisiologi
Mycobacterium tuberculosis dapat ditularkan melalui udara yang terjadi
>90% kasus yang pernah di laporkan. Droplet nuclei yang mengandung kuman akan
terbentuk ketika individu dengan TB aktif batuk, bersin, berbicara atau menyanyi.
Setelah terhisap basil TB akan turun ke cabang cabang bronchial dan menetap di
bronkiolus atau alveolus setelah sebelumnya berhasil melewati sistem mukosilier.
Basil TB selanjutnya akan mengadakan multiplikasi dan pada pasien akan
mengalami demam, batuk dan nyeri dada pleuritik. Selanjutnya basil TB akan
difagosit oleh m akrofag. Di dalam makrofag basil TB kembali melakukan
multiplikasi. Kemudian basil TB akan meninggalkan fokus primer di paru paru dan
menuju ke limfonoduli regional. Dari sini selanjutnya kuman akan menyebar ke
seluruh tubuh melalui penyebaran limfohematogen. Organ organ yang sering terkena
pada tahap ini adalah paru paru, lien, hati, meningens, tulang, dan sendi. Plasenta dan
organ organ genital juga dapat terinfeksi.

9
Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisa
muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah
bening atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar
getah bening dan menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan
lesi pada organ tubuh yang lain. Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan
alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan
adanya basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-paru
atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan.
Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag. Pada
alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala
pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui getah bening menuju
kelenjar getah bening regional, sehingga makrofag yang mengadakan infiltrasi akan
menjadi lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid
yang dikelilingi oleh limfosit, proses tersebut membutuhkan waktu 10-20 hari. Bila
terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut focus ghon dan bergabungnya
serangan Kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon.
Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang
sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Beberapa respon lain
yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam
bronkus dan menimbulkan kavitas. Pada proses ini akan dapat terulang kembali
dibagian selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga
tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa adanya pengobatan dan
dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus
dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan
rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan dan
lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak lepas. Keadaan ini dapat tidak

10
menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Batuk darah (hemptoe) adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan
trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada
batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam. Batuk darah pada penderita TB paru
disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding
kapitas.
Setelah 1-2 bulan, tubuh penderita akan membentuk cell mediated immunity
dan hipersensitivitas terhadap basil TB yang di tandai dengan test tuberculin positif.
Setelah imunitas terbentuk, fokus primer pada paru dan organ lainnya akan
mengalami resolusi, fibrosis dan kalsifikasi. Walaupun terjadi penyembuhan,
sebagian basil TB akan tetap hidup dalam beberapa tahun. Jika tubuh penderita
mengalami penurunah sistem Unun (misal infeksi HIV) basil ini dapat menjadi aktif
kembali dan menyebabkan terjadinya reaktivasi.
Beberapa penyakit seperti diabetes dan penggunaan obat obatan seperti
kortikosteroid dan obat-obat lain yang dapat meoyebabkan penurunan sistem imun
dapat mempercepat terjadinya proses reaktivasi tersebut. Pada pasien dengan HIV
dimana terjadi penurunan sistem imun yang parah gejala TB dapat menjadi lebih
hebat. Pada pasien tersebut sering berkembang manifestasi TB ektrapulmonal yang
berat.

11
II.F Diagnosis
II.F.1 Anamnesis
Banyak kasus tuberkulosis (sekitar 77% kasus) dapat didiagnosis hanya
dengan anamnesis. Anamnesis yang cermat dan hati-hati harus dilakukan pada kasus
kasus dengan resiko tinggi. Riwayat kontak dengan penderita TB dewasa aktif serta
gejala-gejala TB pada umumnya seperti batuk lama atau batuk berdarah, keringat
dingin pada malam hari, penurunan berat badan dan gejala-gejala lain harus
ditanyakan pada saat anamnesis.

12
Keluhan-keluhan seseorang penderita TB sangat bervariasi, mulai dari sama
sekali tidak ada keluhan sampai dengan adanya keluhan-keluhan yang serba lengkap.
Pada umumnya, keluhan-keluhan ini dapat di bagi menjadi :
· Keluhan umum
Malaise, anorexia, mengurus, cepat lelah.
· Keluhan karena infeksi kronik
Panas badan yang tak tinggi (subfebril) dan keringat malam (agar lebih tepat
lebih baik disebut berkeringat pada waktu subuh, pada jam-jam 02.30 – 05.00, yaitu
saat orang sehat tak akan berkeringat). Khusus tentang keluhan keringat malam,
walaupun di semua textbook hal ini disebut, untuk Indonesia perlu diperhatikan
bahwa keluhan ini baru ada nilai diagnostik, bila pada saat yang sama orang normal
pada lingkungan yang sama tidak mengalaminya. Dengan lain perkataan, kalau
penderita tinggal di rumah/kamar yang sempit dengan ventilasi yang tidak memenuhi
syarat, apalagi kalau ada beberapa orang lain yang tidur di kamar tersebut, pastilah
setiap malam semua penghuni kamar itu akan berkeringat. Sebaliknya, kalau
penderita tinggal di rumah/kamar dengan ventilasi cukup, apalagi kalau kamar itu
dilengkapi AC, tetapi tetap saja berkeringat malam hari, barulah keluhan ini
mempunyai nilai diagnostik yang berarti.
· Keluhan karena ada proses patologik di paru dan/atau pleura
Batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada.
Keluhan-keluhan ini dapat berdiri sendiri ataupun didapatkan bersama-sama.
Makin banyak keluhan-keluhan ini didapatkan, makin besar kemungkinan TB.
Departemen Kesehatan dalam pemberantasan TB di Indonesia menentukan
anamnesis ‘resmi’ lima keluhan utama, yaitu batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu),
batuk darah, sesak, panas badan, dan nyeri dada. Mengingat bahwa TB adalah
penyakit menahun, keluhan-keluhan ini akan sudah dirasakan selama beberapa
waktu dengan kecenderungan progresif walau agak lambat. Secara khusus,
barangkali ada baiknya meninjau sedikit dalam keluhan-keluhan yang berasal dari
paru-paru yang sakit.
Batuk-batuk pada TB dapat kering pada permulaan penyakit, karena sekret
masih sedikit, tapi biasanya tak lama kemudian sudah menjadi produktif. Batuk
adalah refleks paru untuk mengeluarkan sekret-sekret dan produk-produk proses

13
destruksi paru. Berhubung saat ini begitu banyak obat-obat batuk bebas dengan
dextro-metorphan HBr atau derivat codein, mungkin keluhan-keluhan ini tak begitu
ditonjolkan penderita, apalagi kalau penderita tersebut merokok, sehingga batuknya
dianggap sebagai batuk biasa para perokok. (Khususnya, kalau proses TB hanya
menyerang mukosa bronkus saja secara terbatas, y.i. endobronkitis TB, tak jarang
batuknya tetap batuk kering saja).
Berbeda sekali dengan batuk darah. Sejak dahulu batuk darah dianggap
identik dengan penyakit paru yang memaksa penderita datang ke
dokter/mantri/dukun untuk berobat. Darah yang dibatukkan keluar sangat bervariasi,
dapat berupa coretan merah (‘bloodstreep/bloodstreak’) pada sputum atau dapat pula
profus sampai bergelas-gelas sehingga dapat berakibat fatal karena shock ataupun
karena aspirasi dan asfiksi.
Sesak pada penderita TB disebabkan oleh kurangnya jaringan paru yang
berfungsi dengan baik (bisa karena destruksi, bisa juga karena atelektasis). Dengan
lain perkataan, sesak ini disebabkan oleh gangguan restriksi, sementara lumen
bronkeolus tetap terbuka normal. Dengan demikian, tak akan terdengar ‘wheezing’
(yang lazim ditemukan pada penderita asthma dan bronkitis kronis).
Walaupun keluhan-keluhan ini bersifat progresif, lajunya perlahan-lahan dan
dapat mencapai bertahun-tahun. Hal ini berbeda sekali dengan karsinoma paru, yang
dalam beberapa minggu saja sudah akan tampak kemunduran yang nyata dan
progresif.
Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit. Jika
daya tahan tubuhnya kuat, sistem imunitas tubuh akan mampu melawan kuman yang
masuk, Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pemeriksaan BTA
dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah dilakukan, murah dan cukup
reliable.

II.F.2 Gejala Klinis


Di sini juga tidak satu pun gejala yang patognomonis untuk TB. Variabilitas
gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini sangat besar. Bahkan tidak
jarang pada stadium permulaan belum dapat ditemukan hal-hal yang patologis

14
sementara gambaran radiologis dan pemeriksaan sputum sudah menunjukkan adanya
penyakit TB.
Pada orang dewasa, biasanya penyakit ini dimulai di daerah paru atas, kanan
atau kiri, yang disebut ‘fruh infiltrat’. Pada auskultasi, hanya akan ditemukan ronki
basah halus sebagai satu-satunya kelainan pemeriksaan jasmani. Bila proses
infiltratif ini makin meluas dan menebal, juga akan didapatkan fremitus yang
menguat, dengan redup pada perkusi, suara nafas bronkeal, serta bronkopi yang
menguat.
Bila sudah terjadi kavitas, akan ditemukan gejala-gejala kavitas, berupa
timpani pada perkusi yang disertai suara napas amforis. Sebaliknya bila terjadi
atelektasis, misalnya pada ‘destroyed lung’, suara napas setempat akan melemah
sampai hilang sama sekali.
Ronki basah pada umumnya selalu akan didapatkan, mengingat bahwa selalu
pula akan terbentuk sekret dan jaringan nekrotik. Makin banyak sekret itu berada,
makin kasarlah ronki yang didengar.
Melihat ini semua, makin nyatalah bahwa kelainan-kelainan yang dapat
ditemukan pada TB sangat variabel, baik jenis, intensitas, jumlah, maupun tempat
ditemukannya (pleiomorfi).
Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama
tambah hebat hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah:
penderita tampak pucat, badan lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau
malam hari mengeluarkan keringat. Kadang-kadang ada juga yang suaranya sampai
habis.

II.F.3 Pemeriksaan Laboratorium


Untuk dapat mendiagnosis tuberkulosis dalam kehamilan, para klinisi harus
mengenal dengan pasti gejala yang sarna antara TB dan gejala kehamilan normal
meliputi: takikardia, anemia, peningkatan LED, dan penurunan kadar albumin serum
atau gejala yang berbeda yaitu: peningkatan berat badan yang terjadi pada kehamilan
dan penurunan berat badan yang teIjadi pada infeksi TB, hipertensi yang umumnya
pada kehamilan dan hipotensi pada TB.

15
II.F.4 Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum harus dilakukan sebagai bagian dari dasar diagnosis
pasti TB paru. Pemeriksaan menggunaan pewarnaan dengan metode Ziehl-Neelsen.
Hasil pemeriksaan dikatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga specimen SPS
BTA hasilnya positif. Jika 3 kali pemeriksaan sputum hasilnya negatiftetapi gejala
tetap ada setelah diberikan antibiotik selama 1-2 minggu maka pemeriksaan harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan rotgen torak.
Kelemahannya adalah baru positif kalau ada kuman5000/cc dahak.Jadi,
pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak misalnya, tidakakan terdeteksi dengan
pemeriksaan BTA (hasilnya jadi negatif)
Dengan demikian pada hakekatnya ada kemungkinan sebagai berikut :
· Mikroskopik akan menghasilkan BTA (Basil Tahan Asam) (+) atau (-)
· Perbenihan akan menunjukkan hasil hasil (+) atau (-)
Walaupun secara teoritis, BTA (+) masih mungkin bukan Mycobacterium TB,
melainkan dapat juga Mycobacterium atipik, karena kemungkinan ini sangat kecil,
dalam prakteknya dapat diabaikan, sehingga BTA (+) dapat dianggap sebagai
Mycobacterium TB (+).
Tentunya nilai tertinggi pemeriksaan sputum adalah hasil pembenihan yang
positif, artinya yang tumbuh ialah basil TB yang sesungguhnya. Namun sayang
sekali pembenihan ini tidak dapat dikerjakan di semua laboratorium di Indonesia. Di
samping itu, pemeriksaan ini cukup mahal dan memakan waktu 3 minggu.
Oleh karena itu, diambil praktisnya, sekali sputum BTA (+) sudah dianggap
cukup untuk menentukan dianosis TB dan sudah dapat dibenarkan pemberian
pengobatan spesifik dalam rangka penyembuhan penderita yang bersangkutan.

II.F.5 Pemeriksaan Tuberculin


Sebetulnya tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV), yang dianggap dapat mencerminkan potensi
sistem imunitas selular seseorang, khususnya terhadap basil TB. Pada seseorang
yang belum terinfeksi basil TB, tentunya sistem imunitas selulernya belum
terangsang untuk melawan basil TB. Dengan demikian tes tuberkulin akan negatif.
Sebaliknya bila seseorang pernah terinfeksi basil TB, dalam keadaan normal sistem
ini sudah akan terangsang secara efektif 3-8 minggu setelah infeksi primer dan tes

16
tuberkulin akan positif (yaitu bila didapatkan diameter indurasi 10-14 mm pada hari
ketiga atau keempat dengan dosis PPD 5 TU intrakutan).
Kalau seseorang penderita sedang menderita TB aktif, tes tuberkulinnya
dapat kelewat positif (artinya diameter indurasi yang ditimbulkannya dapat melebihi
14 mm). Tetapi kalau proses TB-nya hiperaktif, misalnya TB miliaris, seolah-olah
seluruh kemampuan potensi imunitas seluler sudah terkuras habis dan tes akan
menjadi negatif.
Selama TB masih endemik di Indonesia, yakni infeksi pada umumnya sudah
akan terjadi pada usia yang masih muda sekali, tes tuberkulin sebagai tes diagnostik
menjadi kurang berarti. Vaksinasi BCG secara masal juga akan lebih menghilangkan
arti tes tuberkulin sebagai sarana diagnostik. Mengingat juga ada begitu banyak
faktor bukan TB yang dapat mempengaruhi hasil tes tuberkulin, khususnya di
negara-negara seperti Indonesia, tes ini makin kehilangan arti sebagai tes diagnostik.
Faktor-faktor ini adalah penyimpanan bahan tes yang tak memenuhi syarat; gizi yang
rendah dengan semua etiologinya, seperti misalnya cacingan, memang kekurangan
gizi, dan lain-lain; pemakaian kortikosteroid yang lama; baru sembuh dari penyakit
infeksi berat, seperti morbili, dan sebagainya; AIDS; dan lain-lain. Semuanya dapat
memberikan hasil negatif palsu.
Tuberculin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat.(l) Tuberculin yang dianjurkan untuk pemeriksaan adalah
purified protein derivative (PPD) dengan kekuatan sedang yaitu 5 TU. Jika diberikan
secara intrakutan pada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks
primer dalam tubuhnya) akan memberikan reaksi berupa indurasi dilokasi suntikan.
Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, udem, endapan fibrin dan meningkatnya
sel radang lain didaerah suntikan. Okuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak
dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya suatu penyakit. Tuberculin yang
tersedia di indonesia saat ini adalah PPO RT-23 2TU (tuberculin unit) dan PPDS 5
TU.
Uji tuberculin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikan intrakutan 0.1 ml
PPO RT-23 TU atau PPD S5TU dibagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan
setelah 48-72 jam setelah penyuntikan. Yang diukur adalah indurasi yang terbentuk

17
bukanlah hiperemi. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi
indurasi, ditandai dengan bolpoint kemudian diukur dengan alat ukur diameter
transversal indurasi yang terjadi dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak
timbul indurasi sarna sekali maka hasil pemeriksaan dilaporkan dalam 0 mm atau uji
tuberculin negatif. Jika uji tuberculin positif maka hasilnya diinterpretasikan sesuai
dengan faktor resiko; yaitu:

 Pada pasien dengan resiko sangat tinggi; yaitu individu dengan HIV positif,
gambaran radiologi abnormal, atau individu dengan riwayat kontak dengan
penderita TB aktif, maka diameter 5 mm sudah dianggap positif
 Individu dengan resiko tinggi (orang asing, pemakai obat obat terlarang
intravena, masyarakat dengan tinggkat ekonomi lemah, serta individu dengan
penyakit kronis); diameter 10 mm dianggap positif.
 Pada individu tanpa faktor resiko seperti diatas, diameter 15 mm baru
dianggap positif.

Jika hasil test tuberculin ternyata positif dan pada pasien terdapat gejala gejala
yang khas, maka pada pasien tersebut harus dilakukan fota rotgen thorak dengan
memberikan perlindungan terhadap abdomennya. Jika test tuberculin positif tetapi
gejala tidak ditemukan, pemeriksaan rotgen thorak sebaiknya ditunda sampai umur
kehamilan 12 minggu.
Masih terjadi perbedaan pendapat mengenai sensitivitas test tuberculin yang
dilakukan terhadap wanita selama kehamilan, tetapi laporan terakhir mengatakan
bahwa sensitivitas tuberculin akan menurun selama kehamilan. Beberapa penelitian
telah membuktikan perbedaan yang tidak signifikan menyangkut sensitifitas
tuberculin baik pada saat kehamilan maupun pada individu pada umumnya.
Sampai saat ini tuberculin test masih merupakan pemeriksaan yang aman dan
cukup berguna untuk pemeriksaan penyaring terhadap infeksi tuberculosis yang
terjadi, baik pada wanita hamil maupun pada populasi secara keseluruhan.
Wanita hamil dengan penyakit diabetes atau dengan infeksi HIV, para perawat
atau dokter yang bekerja di rumah sakit, para lansia, tahanan dan individu dengan
tingkat sosial ekonomi yang rendah juga merupakan individu yang dianjurkan untuk

18
melakukan pemeriksaan tuberculin. Wanita dengan infeksi HIV mungkin akan
memberikan hasil pemeriksaan yang negativ atau sensitivitasnya terhadap
pemeriksaan ini berkurang. Dalam hal ini diameter indurasi yang terjadi pada
pemeriksaan tuberculin sudah dianggap positif jika lebih dari 5 mm. Tabel I
menunjukkan beberapa kelompok resiko tinggi yang dianjurkan menjalani penapisan
tuberculin oleh advisory committee for elimination of tuberculosis.

Di Indonesia, saat ini uji tuberculin tidak mempunyai arti dalam


mendiagnosis TB pada orang dewasa. Sebab sebagian besar masyarakat sudah
terinfeksi dengan M. tuberculosis karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji
tuberculin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar
dengan M. tuberculosis.
Jadi,pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun
jika hasil uji tuberkulinnya negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada
infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi alergi.
Di lain pihak, hasil uji dapat tuberculin negatif walaupun orang tersebut menderita
tuberculosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan morbili.

19
1. Orang yang terinfeksi oleh virus HIV
2. Riwayat kontak erat dengan individu yang diketahui atau dicurigai
menderita tuberculosis, tinggal di rumah yang sama atau lingkungan yang
sama
3. Individu dengan faktor resiko medis yang diketahui meningkatkan resiko
penyakit apabila telah terjadi infeksi
4. Orang asing yang lahir di daerah dengan prevalensi TB yang tinggi
5. Populasi berpenghasilan rendah yang kurang mendapat pelayanan medis,
termasuk populasi minoritas, etnik atau ras berisiko tinggi misalnya
keturunan afrika, spanyol dan indian
6. Pecandu alkohol dan obat obatan terlarang
7. Penghuni panti asuhan, penjara, rumah sakit jiwa, panti jompo, dan fasilitas
rawat inap jangka panjang lainnya
Dikutip dan center for disease Control (1990)

II.F.6 Pemeriksaan Serologik


Tes ini disebut TBPAP (uji Peroksidase-Anti Peroksidase untuk TB paru).
Berbeda dengan tes tuberkulin, yang dinilai adalah sistem imunitas humoral (SIH),
Khususnya kemampuan untuk memproduksi suatu antibodi dari kelas IgG terhadap
sebuah antigen dalam basil TB. Tentunya bila seorang belum pernah terinfeksi basil
TB, SIH-nya belum diaktifkan. Dengan demikian, tes ini akan negatif. Sebaliknya
bila sudah pernah terinfeksi, SIH-nya sudah akan membentuk IgG tertentu tadi
sehingga hasil tes akan menjadi positif. Handoyo (1998) mengemukakan bahwa
sensitivitas tes ini adalah 98% dan spesifitasnya 94%, namun sampai sekarang di luar
negeri tes ini tetap dianggap sebagai pemeriksaan pelengkap belaka, a.l. karena tak
dapat menunjukkan penyebabnya di satu pihak dan di pihak lain sensitivitas dan
spesifisitasnya dianggap belum baku (ada yang mengatakan hanya 85%.

II.F.7 Pemeriksaan Radiologis


TB mungkin akan lolos pada pemeriksaan jasmani, tetapi pada pemeriksaan
foto paru semua ‘fruh infiltrat’ pasti akan diketahui. Disinilah letaknya kepentingan
pemeriksaan foto paru untuk diagnosis dini TB.

20
Dalam rangka diagnosis diferensial, foto paru dapat memegang peranan yang
sangat penting, karena berdasarkan letak, bentuk, luas dan konsistensi kelainan,
dapat diduga adanya lesi TB. Juga hanya foto paru yang dapat menggambarkan
secara objektif kelainan anatomik paru dan luasnya kelainan. Pemeriksaan ini juga
meninggalkan dokumen otentik, yang sangat menentukan untuk evaluasi
penyembuhan.
Pemeriksaan rotgen thorak untuk pemeriksaan rutin tidak diindikasikan sebab
dapat menyebabkan gangguan pada janin. Sehingga pada pelaksanaannya harus
memberikan perlindungan terhadap abdomen ibu harnil. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada pasien dengan conversi tuberculin positif, dan pada pasien dengan
riwayat kontak atau pemeriksaan fisik sugestif TB tetapi uji kulitnya negatif.
Adapun roentgen memang bisa mendeteksi pasien yang BTA-nya negatif,
tapi kelemahannya sangattergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang
membaca foto rontgen. Selain itu, adanya organ-organ lain dalam rongga dada,
sehingga 20-25% paru akan terlindung oleh organ lain dan tak akan tampak pada
foto PA biasa. Dibeberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada tidaknya
infeksi TB, yaitu melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari tuberkulin
tes.
Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukursecara lebih jelas
bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinanjatuh sakit. Di luar negeri,
orang lebih percaya dengan tes interferon gammakarena ada angkanya. Sementara
itu, diagnosis TB pada wanita hamilantara lain dilakukan melalui pemeriksaan fisik
(sesuai luas lesi), pemeriksaanlaboratorium (apakah ditemukan BTA?), serta uji
tuberkulin.

II.G Efek Kehamilan Terhadap Progresifitas TB


Keyakinan bahwa peningkatan diafragma yang terjadi selama kehamilan
dapat membantu mempercepat pengeluaran kavitas masih dianut sampai dengan
abad 19. Selanjutnya abad ke dua puluh kemudian muncul suatu pendapat yang
mengusulkan untuk dilakukannya induced abortion pada wanita hamil dengan
infeksi tuberkulosis.

21
Saat ini, tuberkulosis dipercaya dapat memburuk dengan adanya kehamilan,
hal ini mungkin berhubungan dengan gangguan status nutrisi, defisiensi imun, atau
beberapa penyakit penyerta. Hilangnya beberapa jenis anti body selama menyusui
juga dianggap sebagai faktor resiko terjadinya infeksi TB pada masa post partum.
Walaupun begitu beberapa hal di atas hanya merupakan hipotesis yang masih banyak
membutuhkan penelitian lanjut untuk membuktikan kebenarannya.

II.H Efek TB Terhadap Kehamilan


Efek infeksi TB terhadap kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara
lain jenis, lokasi serta berat ringannya penyakit, umur kehamilan ketika therapi
diberikan, status nutrisi ibu, adanya penyakit penyerta, status imun dan infeksi mv,
fasilitas diagnosis dan terapi yang tersedia dan sebagainya. Sebelum ditemukannya
therapi yang poten untuk TB, kehamilan diduga berefek buruk bagi perjalanan TB.
Tetapi beberapa tahun terakhir setelah berhasil ditemukannya anti TB efek buruk
tersebut telah jarang dilaporkan.
Beberapa penelitian menemukan adanya peningkatan insidensi persalinan
prematur, BBLR, IUGR, serta peningkatan enam kali lipat angka kematian perinatal
pada ibu dengan infeksi TB. Efek buruk yang terjadi kemungkinan besar adalah
sebagai akibat keterlambatan dalam melakukan diagnosis, terapi yang tidak adekuat,
dan adanya lesi yang luas pada paru paru.
Komplikasi TB baik yang pulmoner ataupun yang nonpulmoner pada wanita
hamil tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil.

Suatu penelitian yang dilakukan pada 27 wanita hamil dengan kultur TB positif
mempunyai gambaran rotgen thorak yang abnormal pada semua pasien. Pengobatan
anti tuberkulosis yang diberikan dengan segera pada wanita hamil dengan TB akan
memberikan efek terapi yang sama dengan penderita TB pada umumnya, tetapi jika
diagnosis dan penatalaksanaan terlambat maka akan berdampak pada meningkatnya
morbiditas dan kelahiran prematur.
Keadaan kurang gizi, hypo-proteinemia, anemia dan kondisi-kondisi medis
lain yang berhubungan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. Infeksi
HIV telah diketahui dapat mempercepat progresifitas TB dan akan menyebabkan

22
immunosupresi sehingga akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya efek
yang kurang menguntungkan tethadap ibu maupun janin.

II.I Tuberkulosis Kongenital


Tuberculosis kongenital merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan dan
hanya terjadi pada kurang dari 300 kasus yang pemah dilaporkan dalam literatur.
Selama kehamilan TB dapat menginfeksi plasenta atau alat alat genital wanita.
Infeksi TB pada neonatus dapaf terjadi secara kongenital (pranatal), selama proses
kelahitan (natal) maupun transmisi pasca natal oleh ibu pengidap TB aktif. Oleh
karena itu transmisi pada neonatus ini disebut sebagai TB perinata1. Pada TB
kongenital transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui vena umbilikalis
atau aspirasi cairan amnion yang telah terkontaminasi basil TB. Pada TB natal
transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan sedangkan TB pasca natal terjadi
akibat penularan secara droplet. Penularan kongenital sampai saat ini masih
belumjelas,apakah betul si bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir?Selain
itu, jarang terjadi dan tingkat kematiannya tinggi (50 persen)
M. tuberculosis tidak dapat melalui sawar plasenta sehingga bakteri akan
menempel pada plasenta dan membentuk tuberke1. Apabila tuberkel pecah maka
akan terjadi penyebaran hematogen menyebabkan infeksi pada cairan amnion
melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran hematogen M. Tuberculosis
menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan kelenjar getah bening periportal
yang pada perkembangan selanjutnya akan menyebar ke paru. Selain cara diatas
penularan ke paru juga dapat terjadi melalui inhalasi atau tertelannya cairan amnion
yang mengandung M. Tuberculosis.
Inhalasi atau tertelannya cairan amnion yang terkontaminasi terjadi jika lesi
kaseosa pada plasenta mengalami ruptur dan masuk kedalam cairan amnion, pada
kasus seperti ini fokus multipel dapat terbentuk pada paru paru, usus, dan telinga
tengah. Sedangkan penularan pasca natal dapat terjadi melalui beberapa cara antara
lain melalui inhalasi droplet yang telah terinfeksi, tertelannya droplet, melalui ASI
yang telah terkontaminasi, atau melalui kontaminasi pada kulit yang luka atau
membran mukosa.

23
Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir tetapi
paling sering minggu ke 2-3 kehidupan. Gejala TB kongenital sulit dibedakan
dengan sepsis neonatal dan infeksi konginital lain seperti sifilis, toxoplasmosis dan
cytomegalovirus sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis. Gejala
yang sering timbul adalah distress pernafasan, hepatosplenomegali, dan demam.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah prematuritas, berat lahir rendah, sulit
minum, letargi dan kejang. Bisa didapatkan abortus dan IUFD, sekret dari telinga
dan lesi pada kulit.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah
pemeriksaan M. tuberculosis melalui umbilikus dan plasenta. Pada plasenta
sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan adanya
granuloma kaseosa dan basil tahan asam. Bila perlu dilakukan kuretase endometrium
untuk mencari endometritis TB.
Untuk menentukan TB kongenital adalah dengan ditemukannya basil tahan asam
atau M. Tuberculosis pada cultur umbilikus maupun plasenta. Beitzke memberikan
kriteria untuk TB kongenital yaitu: ditemukannya m. Tuberculosis dan memenuhi
salah satu kriteria sebagai berikut:

1. Lesi pada minggu pertama


2. Kompleks primer hati atau granuloma hati kaseosa
3. Infeksi TB pada placenta atau traktus genitalia
4. Kemungkinan adanya transmisi pasca natal telah disingkirkan

Kunci penting untuk diagnosis cepat TB kongenital adalah riwayat TB pada ibu
atau keluarga tetapi sering kali penyakit TB pada ibu ditemukan setelah penyakit
pada neonatus dicurigai. Uji tuberculin pada neonatus mulanya akan memberikan
hasil negatif tetapi akan menjadi positif setelah 1-3 bulan. Pewarnaan tahan asam
yang positif dari aspirat lambung yang diambil pada pagi hari akan memberikan hasil
yang positif. Sampel untuk pemeriksaan BTA juga dapat diperoleh dari cairan yang
berasal dari telinga tengah, sumsum tulang, aspirat trakea, atau biopsi jaringan (hati).

24
Kemungkinan terjadinya bentuk berat infeksi TB pada neonatus sangatlah tinggi
selain itu akibat diagnosis yang terlambat angka mortalitas terhadap TB kongenital
juga sangat tinggi sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang menyeluruh terutama pada
ibu hamil maupun pada bayi yang baru dilahirkannya dan mengganggap masalah ini
sebagai kegawat daruratan masyarakat.

II.J Penatalaksanaan
Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB
mengobatiTB-nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun, bagaimana jika sudah
telanjur hamil?Tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.
Jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap
janin.Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman
bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika
TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, yang mana wanita
tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab
kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir
TB paru yangtidak diobati bisa membuat penyakit makin memburuk, serta
komplikasi kehamilandan persalinan. Risiko ini meningkat pada wanita dengan
anemia, gizi kurang, kontraksi dini, perdarahan, setelah melahirkan dan sesak
sehingga tidak kuat mengedan. Sekitar satu juta wanita TB meninggal tiap tahun saat
kehamilan atau persalinan,
Risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya
pertumbuhan janin, kelahiran premature dan terjadinya penularan TB dari ibu ke
janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital).

II.J.1 Pada Wanita Hamil


Pada dasarnya prinsip penatalaksanaan TB pada wanita hamil tidak berbeda
dengan wanita yang tidak hamil. Therapi harus segera dilakukan tanpa menunda
lebih lama. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin.
Diperlukan penjelasan terhadap ibu bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkannya terhindar dari penularan TB.

25
Isoniazid (INH); Beberapa literature telah menuliskan bahwasanya INH aman
digunakan salama kehamilan. Walaupun INH mampu melalui barrier plasenta, tetapi
INH tidak akan memberikan efek teratogen selama diberikan pada trimester pertama.
Data terakhir menyatakan insiden abnormalitas bayi yang lahir dari ibu hamil dengan
terapi INH hanya sekitar 1 %.
Rijampisin; Kelainan kongenital yang terjadi pada bayi dengan ibu yang
mendapat terapi dengan rifampisin adalah sebesar 3.35%, meliputi kemunduran
fungsi organ, lesi pada SSP dan kelainan darah yang terjadi sebagai akibat dari
proses hambatan atau inhibisi enzim DNA dependent RNA polymerase. Walaupun
rifampisin mempunyai efek yang kurang menguntungkan terhadap janin, tetapi
insidensinya yang cukup rendah serta batas keamanan yang luas menyebabkan
rifampisin masih dianggap cukup aman untuk therapi TB pada wanita hamil, tetapi
penggunaannya harus dihindari pada trimester pertama.
Ethambutol; Merupakan obat yang sering digunakan pada TB dengan
kehamilan. Efek samping berupa kelainan kongenital terjadi kira kira 2%. Selain itu
etambutol juga dapat menyebabkan kelainan opthalmologis tetapi efek ini tidak akan
terjadi jika etambutol diberikan pada dosis 15-25 mg/Kg BB/hari.
Pirazinamid; Merupakan obat yang bersifat bakterisid yang digunakan
sebagai first line drug TB (pengobatan lini pertama).
Belum banyak penelitian yang melaporkan keamanan obat ini dalam
penggunaannya untuk wanita hamil, tetapi beberapa organisasi internasional telah
merekomendasikan penggunaannya, hal ini mungkin di dasarkan pada sedikitnya
laporan yang melaporkan efek teratogenik yang terjadi,
Streptomisin; Telah diketahui secara luas menyangkut efek samping
teratogeniknya yang berupa malformasi congenital dan paralysis nervus VIII yang
berakibat gangguan pendengaran dari gangguan pendengaran ringan sampai tuli
bilateral karena dapat menembus sawar plasenta
Beberapa aminoglikosida lain seperti halnya kanamisin, amikasin, dan
capreomisin juga telah diketahui dapat menyebabkan efek teratogenik, sehingga di
kontraindikasikan pada kehamilan.

26
Pada kasus kasus seperti pada multidrug resisten TB (MDR-TB), dan HIV
yang terjadi bersama TB, wanita hamil sewaktu waktu membutuhkan terapi dengan
pengobatan lini kedua ( second line drugs). Batas keamanan dan obat obat jenis ini
belum banyak diketahui. Para aminosalicylic acid (PAS) telah sering digunakan yang
dikombinasikan dengan INH sejak tahun 1950 dan 1960an dan telah terbukti tidak
menyebabkan malformasi pada janin tetapi dapat menyebabkan efek samping
gastrointestinal yang terkadang sulit ditoleransi oleh wanita hamil,
Obat obat lini kedua lainnya seperti cycloserin, ethionamide atau
flourokuinolon batas keamanannya pada wanita hamil juga belum banyak diketahui
secara luas. Belurn adanya standar therapy bagi wanita hamil dengan MDR TB
mengindikasikan dilakukannya abortus elektif sebagai cara terapi bagi kasus kasus
tersebut, ERH rnerupakan pengobatan yang cukup arnan. Pyrazinamid sebaiknya
dihindari dan streptomisin juga harus dihentikan jika pasien hamil. Therapeutik
abortion tidak diindikasikan kecuali pada kasus kasus MDR TB. Center for Disease
Control (1993) menganjurkan bahwa regimen peroral untuk wanita harnil harus
mencakup:

1. Isoniazid (INH), 5 mg/kg, jangan rnelebihi 300 mg/hari, bersama dengan


piridoksin 50 mg/hari
2. Rifampisin 10 mg/KgBB/hari, jangan melebihi 600 mg/hari
3. Etambutol 5-25 mg/KgBB/hari, jangan melebihi 2,5 g/hari

FIRST-LINE DRUGS

27
Isoniazid: (Pregnancy Category A). Recommended for use in pregnancy. As isoniazid may be
associated with an increased risk of hepatotoxicity in pregnant women, symptoms should
be assessed, and it is recommended by some that liver function tests be performed
fortnightly during the first two months of treatment, and monthly thereafter (Bothamley,
2001).

Isoniazid given for treatment of latent tuberculosis (chemoprophylaxis) is considered safe,


and is recommended especially where the risk of developing disease is higher, such as with
HIV co-infection or with a history of recent contact (Bothamley, 2001).

Pyridoxine: Pyridoxine supplementation is recommended for all pregnant women taking


isoniazid as deficiency is more likely in pregnant women than in the general population
(CDC 2003, 62; Bothamley 2001). The Queensland Tuberculosis Control Centre recommends
the routine use of pyridoxine in all patients taking isoniazid.

Rifampicin: (Pregnancy Category C). Bleeding attributed to hypoprothrominaemia has been


reported in infants and mothers following the use of rifampicin in late pregnancy. The use of
rifampicin is indicated in pregnant women with tuberculosis, with the recommendation that
vitamin K be given to both the mother and the infant postpartum if rifampicin is used in the
last few weeks of pregnancy (Bothamley 2001).

Ethambutol: (Pregnancy Category A). Recommended for use in pregnancy.

Pyrazinamide: (Pregnancy Category n/a – only available on SAS). There are no reports of
foetal malformations attributable to pyrazinamide, although there are additionally no
animal or epidemiological studies reported to support the safety of this drug in pregnancy.
The absence of such safety data is the reason that the CDC (USA) guidelines do not endorse
pyrazinamide in pregnancy. Its use is supported by other tuberculosis authorities, including
the IUATLD and the BTS. To date, there are no reports of significant adverse events from the
use of this drug in the treatment of TB in pregnant women despite the fact that the drug is
used as part of the standard regimen in many countries. However, additionally, insufficient
data are available about the number of pregnant women treated for TB in these many
settings. If the treating doctor elects not to use pyrazinamide, a nine-month regimen

28
containing isoniazid and rifampicin throughout (supplemented by ethambutol until drug
susceptibility results are available) is recommended.

SECOND- LINE DRUGS


Streptomycin: (Pregnancy Category n/a – only available on SAS). Streptomycin has a well
established association with foetal ototoxicity and IS NOT RECOMMENDED for the
treatment of tuberculosis in pregnant women.

Fluoroquinolones: (Pregnancy Category B3 for Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and


Norfloxacin). There is no evidence of increased incidence of abnormalities in babies of
mothers treated with fluoroquinolones. Animal studies of ciprofloxacin suggest that there is
a risk of damage to articular cartilage and subsequent juvenile arthritis with short courses of
treatment, and the possibility of joint damage with longer courses of treatment used for
tuberculosis must be seriously considered (Bothamley, 2001). Fluoroquinolones should only
be used in pregnant women with tuberculosis where the benefits of treatment are judged
to outweigh the potential risks and the decision to use such drugs in this setting should only
be made after discussion with clinicians experienced in the management of TB.

Amoxycillin/Clavulanic Acid (pregnancy category B1). There is no evidence of teratogenicity


in animal studies. Amoxycillin/clavulanic acid has been used in late pregnancy as prophylaxis
in women with prolonged rupture of membranes without any problems documented, but
there is limited experience with its use in the first trimester. There is only likely to be a
minor role for amoxycillin/clavulanic acid in the treatment of pregnant women with MDR-
TB where insufficient alternatives are available (Bothamley 2001). MDR-TB should only be
treated after close consultation with clinicians experienced in the management of TB.

Para-Aminosalicylic Acid (PAS) (Pregnancy Category n/a – only available on SAS). There is
insufficient animal and human safety data relating to the use of PAS in pregnancy. It has
been associated with a slightly higher incidence of limb and ear abnormalities in one report
involving 123 patients taking PAS with other anti-TB drugs (Bothamley, 2001). However, an
increased risk of congenital defects has not been found in other studies. PAS should not be
used to treat TB in pregnant women unless the benefit/risk ratio (after discussion with a

29
clinician experienced in the management of difficult TB cases) is favourable.

Amikacin (Pregnancy Category D). There is concern that all aminoglycosides are potentially
nephrotoxic and ototoxic to the foetus and their use IS NOT RECOMMENDED in tuberculosis
in pregnant women. Maternal drug levels do not appear to correlate with foetal safety
(MIMS 2003). Use of aminoglycosides in pregnancy should only be as a last resort after due
consideration of the risks and benefits (WHO 2003) and close discussion with experts in the
clinical management of TB.

Capreomycin (Pregnancy Category C). There is evidence of teratogenicity in studies where


capreomycin was given to pregnant rats. Capreomycin is generally contraindicated in
pregnancy and should only be used following consideration of its risks and benefits (MIMS
2003, WHO 2003) in consultation with an expert in the clinical management of TB.

Ethionamide and Prothionamide (Pregnancy category n/a – only available on SAS). These
drugs have been shown to be teratogenic in animal studies and their use IS NOT
RECOMMENDED in pregnancy (Ormerod 2001).

Cycloserine (Pregnancy Category n/a – only available on SAS). There is no evidence of


teratogenicity in rats, but there is insufficient study in humans to confirm the safety of
cycloserine in pregnancy. Its use should only be considered where the benefits outweigh
the potential risks (MIMS 2003) after discussion with an expert in the clinical management
of TB.

II.J.2 Pada Ibu Menyusui


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang

30
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya.
Keamanan dalam pemberian ASI merupakan hal yang sangat penting pada
penderita dengan infeksi TB. Beberapa penelitian melaporkan adanya kandungan
obat anti tuberkulosis dalam ASI. Konsentrasi INH pada ASI mencapai puncaknya 3
jam setelah pemberian dengan kadar 16.6 mg/L dengan dosis INH 300 mg.
Rifampisin mencapai kadar puncak dalam ASI dengan konsentrasi 10-30 mg/L
dengan dosis rifampisin 600 mg. Konsentrasi etambutol dalam ASI belum banyak
dilakukan penelitian. Streptomisin akan rnencapai kadar puncak dalam waktu 30
menit setelah pemberian dengan konsentrasi 1.3 mg/l dalam dosis streptomisin I gr.
Sampai saat belum ada konsensus yang menyatakan apakah pemberian ASI
pada pasien dengan therapi TB harus dikurangi atau tidak. Tetapi beberapa ahli
berpendapat bahwasanya konsentrasi obat dalam ASI dianggap masih cukup kecil
dan tidak memberikan efek terapeutik. Jika ibu dan anak keduanya mendapat therapi
dengan INH maka akan terjadi dosis yang berlebihan sehingga pada kasus kasus
seperti ini disarankan pemberian susu botol atau pengganti ASI. Suplemen piridoksin
harus diberikan pada bayi yang mendapat therapi INH atau yang mendapat ASI dari
ibu yang mendapat therapi INH sebab defisiensi piridoksin dapat menyebabkan efek
yang tidak menguntungkan pada neonatus.

31
II.K Therapi Profilaksis INH Pada Wanita Hamil
Pemberian INH sebagai terapi profilaksis diketahui cukup efektif dan tidak
berakibat efek teratogen selama diberikan sesuai dengan dosis standar (dosis
maksimal 300 mg/hari) selam 6-12 bulan. Tetapi yang harus menjadi perhatian
adalah efek hepatotoksisitas yang ditimbulkan oleh INH yang biasanya lebih sering
terjadi pada periode postpartum, oleh karena itu pemeriksaan fungsi hati harus

32
dilakukan sebelum pemberian profilaksi INH yang harus di ulang setiap bulan atau
pada saat gejala hepatitis terjadi. Biasanya 10-20% pasien akan mengalami
peningkatan enzim enzim hati, tetapi pengobatan baru akan dihentikaan jika
peningkatan lebih dan lima kali normal. Pemberian piridoksin juga harus dilakukan
untuk menghindari efek samping neuropati perifer yang sering disebabkan oleh INH.
Pemberian therapi profilaksis INH direkomendasikan pada wanita hamil dengan test
tuberculin positif, tetapi dapat di tunda sampai setelah kelahiran jika gambaran
rotgen thorak normal. Beberapa keaadaan yang merupakan indikasi pemberian
therapi profilaksis INH antara lain:

1. Kasus baru konversi positif tuberculin; merupakan individu dengan test


tuberculin positif dalam dua tahun terakhir. Hal ini berdasarkan fakta
bahwasanya conversi tuberculin positif akan berkembang menjadi TB aktif
pada dua tahun pertama.
2. Riwayat kontak dengan penderita TB aktif
3. Wanita dengan keadaan imunocompremaised. (HIV seropositif)

Pada daerah endemik tuberculosis, kasus tuberculin positif pada populasi normal
sangat tinggi. Di india kira kira 50% populasi dewasa test tuberculinnya positif. Oleh
karena itu pada daerah daerah endemik test tuberculin positif tidak dijadikan dasar
sebagai indikasi pemberian INH profilaksis. Tetapi jika test tuberculin positif dan
adanya riwayat kontak dengan penderita TB aktif atau pada keadaan imunosupresi
mernpakan indikasi untuk pemberian INH profilaksis. Dosis INH profilaksis adalah
5 mg/KgBB dengan dosis maksimal 300 mg/hari.
II.L Therapi Profilaksis INH Pada Bayi Yang Lahir Dari Ibu Dengan TB Aktif
Ibu dengan tuberculin test positif tanpa tuberkulosis aktif tidak berpotensi
sebagai resiko penularan bagi bayinya. Demikian juga wanita dengan TB aktif
dengan sputum BTA negatif selama 3 bulan terakhir kehamilan, resiko penularan
terhadap bayinya dapat diabaikan. Tetapi pemeriksaan rotgen thorak dan
pemeriksaan BTA dari sputum atau dari aspirat lambung harus dilakukan pada bayi
dari ibu dengan riwayat BTA tidak diketahui atau ibu dengan sputum BTA positif.

33
Jika tidak terdapat bukti adanya tuberculosis aktif, bayi harus segera
mendapat INH profilaksis selama tiga bulan sampai dengan sputum BTA ibu negatif
dan tuberculin test pada bayi negatif. Jika test tuberculin pada bayi positif tetapi
tidak terdapat gejala TB aktif maka INH profilaksis harus diberikan selama 6 bulan.
INH profilaksis tidak direkomendasikan untuk bayi dengan ibu yang
menderita MDR TB. Pada kasus seperti ini, pada bayi harus dilakukan vaksinasi
BCG. Vaksinasi BCG telah terbukti efek proteksinya, tetapi penggunaannya dikontra
indikasikan pada anak dengan HIV positif.

II.M Penderita TB Pengguna Kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang
penderita TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi
yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

KESIMPULAN
Tuberculosis secara umum tidak memberikan efek yang merugikan baik pada
saat kehamilan, nifas, ataupun pada janin jika di therapi dengan baik dengan
antituberculosis. Prognosis pada wanita hamil tidaklah jauh berbeda dengan pada
wanita yang tidak hamil. Therapeutik abortion bukanlah pilihan utama pada setiap
kasus TB pada kehamilan. Wanita hamil dengan TB aktif bukan hanya dapat
menularkan pada orang disekitarnya tetapi juga dapat menularkan pada janin yang
dikandungnya. Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
yang tepat TB dalam kehamilan dapat didiagnosis dengan cepat sehingga
keberhasilan terapi akan semakin besar.

34
Daftar pustaka

1. Nastiti N. Rahajoe. Tuberkulosis perinatal. Dalam: Pedoman nasional


tuberkulosis anak.Unit kerja koordinasi Pulmonologi PPIDAI. Jakarta: 2005.
61-4
2. Aru W. Sudoyo. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid II. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta:
2006; 988 94
3. F. Gary Cunningham, MD .et a!. Tuberculosis. Dalam Williams Obstetnc 22 nd
edition. Me Graw-Hill medical publising Division. New york; 1997. 1064-6
4. Rustam Mochtar , Prof. DR. Penyakit paru paru dalam kehamilan. Dalam
Sinopsis obstetri edisi kedua. EGC. Jakarta: 1998. 154-6
5. G.C. Khilnani. Tuberculosis and Pregnancy. Department of Medicine, All
India Institute of Medical Sciences, New Delhi, India
6. Hanifa Wiknjosastro. Penyakit saluran nafas. Dalam Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjdo. Jakarta: 2005.491-3
7. Kecia Gaither and Joseph J. Apuzzio. Tuberculosis in Pregnancy. Da1am:
Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology (C) 1996 Wiley-Liss,
Inc.Department of Obstetrics and Gynecology, UMDNJ-New Jersey Medical
School, Nearb, NJ.4:92-96 (1996)

35
8. V.K. Aroral and Rajnish GuptaZ.TUBERCULOSIS AND PREGNANCY.
Dalam Indian Journal of Tuberculosis. Department of TB and Respiraton,
Diseases, L.R.S. Institute ofTB & Allied Diseases, New Delhi
9. Sylvia A.Price. Tuberculosis paru. Dalam Patofisiologi konsep klinis proses
proses penyakit. EGC. Jakarta: 2002. 852-64
10. A.Samik Wahab, Sp.A. Tuberculosis. Dalam Nelson ilmu kesehatan anak jilid
II.EGC. Jakarta: 2000. 1028-42
11. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Proyek peningkatan upaya
Kesehatan pemberantasan penyakit menular (PPM) Jawa Barat; 2001
12. Alan H. Dechemey. Tuberculosis. Dalam Current Obstetric & Gynecologic
Diagnosis & Treatment 8 Edition. A Lange medical book USA;1994. 459-60
13. www.rumahfarmasi.com
14. www.okezone.com/resiko_membayangi_kehamilan_wanita_TB
15. http://berbagi-cerita-sehat.blogspot.com/tb_paru
16. http://keperawatan-gun.blogspot.com/
17. Queensland Tuberculosis Control Centre.pdf

36

Anda mungkin juga menyukai