Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS INDONESIA

BARANG PUBLIK DAN BARANG PRIVAT SERTA FONDASI


INSTITUSIONAL SISTEM PASAR: PRIVATE PROPERTY RIGHT

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan

oleh:
Dimas Hardy Purnomo
Fona Lengkana
Gabrisia Anindiatri
Josa Septian

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
JAKARTA
2016
BARANG PUBLIK DAN BARANG PRIVAT

JENIS BARANG
Dalam ekonomi, penggolongan barang dapat dibagi berdasarkan sifatnya, yaitu rival
dan non-rival serta excludable dan non-excludable. Suatu barang dikatakan barang privat
apabila memiliki sifat rival dan excludable dimana konsumsi oleh satu konsumen akan
mengurangi atau menghilangkan kesempatan pihak lain untuk melakukan hal serupa (rival),
serta konsumsi suatu barang dapat dibatasi hanya pada mereka yang memenuhi persyaratan
tertentu (biasanya harga), dan mereka yang tidak membayar atau tidak memenuhi syarat
dapat dikecualikan dari akses untuk mendapatkan barang tersebut (excludable). Sedangkan
suatu barang disebut barang publik apabila memiliki sifat non-rival dan non-excludable
dimana penggunaan satu konsumen terhadap suatu barang tidak akan mengurangi
kesempatan konsumen lain untuk juga mengkonsumsi barang tersebut (non-rival) serta tidak
ada yang dapat menghalangi siapapun untuk memperoleh manfaat dari barang tersebut (non-
excludable). Selain kedua jenis barang tersebut, terdapat pula jenis barang lain yang
merupakan perpaduan keduanya.
Salah satu cara untuk membedakan jenis-jenis barang publik dan privat, termasuk
diantaranya adalah dengan membuat matrik, yang menggunakan unsur excludibility dan
rivalry. Tabel ini didasarkan pada apakah ada kompensasi dalam mendapatkan barang
tersebut atau apakah mungkin mengecualikan orang untuk konsumsi barang tersebut.
Pembagian barang dan jasa Excludable Non-excludable
dalam ekonomi
Rival Barang privat Barang umum (Common
Contoh: makanan, pakaian, goods)
mobil Contoh: air, ikan, kayu
Non-rival Barang kelompok (Club Barang publik
goods) Contoh: udara, keamanan,
Contoh: TV kabel, internet tv non-kabel
a. Barang kolektif
Barang kolektif atau barang sosial adalah barang yang dibiayai oleh anggaran negara
seperti pajak, tapi dapat dibuat dan disalurkan oleh pihak swasta selain oleh negara.
Barang kolektif dalam definisi yang lebih luas menggambarkan barang dari masyarakat
secara umum pada suatu komunitas tertentu.
b. Barang privat
Barang privat merupakan kebalikan dari barang publik dimana cara memperolehnya
dilakukan dengan bersaing dan bisa dikecualikan sebagai individu.
c. Common pool resource (CPRS)
CPRS adalah sistem sumberdaya yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia.
Dilihat dari sisi ukuran dan karakteristiknya menjadikan CPRS begitu mahal sehingga
tidak mungkin untuk mengecualikan potensi penerima manfaat dari pemanfaatan
barang tersebut. Berbeda dengan barang publik murni, CPRS ini menghadapi masalah
kongesti atau pemanfaatan yang sangat berlebihan. Contoh dari CPRS adalah sistem
irigasi, perairan untuk perikanan, hutan, padang rumput, dan sebagainya.
d. Common Property Regime (CPRG)
Sejumlah CPRS diorganisasikan oleh common property regime (CPRG). Organisasi
pengelola CPRS ini adalah manajemen mandiri dari masyarakat setempat, yang
berbeda dibandingkan dengan pengelolaan secara privat. Pengelola hak milik (CPRG)
muncul dalam situasi dimana pengelola bertindak secara independen dalam hubungan
dengan pembangkitan dan pengembangan CPRS, yang juga dianggap ada ciri
kelangkaan.
e. Barang Umum (Common good)
Dalam ekonomi, common good digunakan untuk mengacu pada barang yang bisa
dikonsumsi secara kompetisi tetapi tidak dapat dikecualikan
f. Barang kelompok (club goods)
Barang kelompok adalah tipe barang yang dikategorikan sebagai barang publik dalam
arti luas. Barang ini bersifat non-rivalry, tetapi bisa dikecualikan sampai akhirnya ada
kongesti kepadatan yang tinggi dalam pemakaian. Contor barang kelompok adalah
kelompok golf dan tv kabel.
HAK MILIK
Hak milik merupakan aturan hukum yang menyatakan apa yang dapat dilakukan
individu atau perusahaan atas harta benda mereka. Hak milik merupakan institusi paling
fundamental di dalam sistem ekonomi maupun sistem sosial karena tindakan individu atau
perusahaan untuk masuk pasar harus berlandaskan atas dasar keabsahan atau legalitas
hak milik tersebut.
Hak milik sangat berkaitan dengan eksternalitas, dimana kegiatan ekonomi
seseorang dapat memberi efek positif ataupun negatif terhadap hak milik orang lain. Dengan
adanya hak milik yang jelas, maka biaya eksternalitas dapat dirundingkan antara pihak-
pihak yang terkait atau dengan kata lain dapat di “internalisasikan” ke dalam pasar. Tanpa
adanya hak milik yang jelas maka perhitungan biaya eksternalitas menjadi sulit dan
transaction cost untuk melakukan perundingan menjadi mahal.
Teorema Coase menyatakan bahwa ketika terdapat kejelasan akan hak milik dan
berbagai pihak dapat melakukan tawar-menawar tanpa biaya, maka hasil yang dicapai akan
efisien. Beberapa kasus eksternalitas negatif mungkin dapat diselesaikan dengan cara
memberikan pajak atau membatasi jumlah produksi yang diperbolehkan, namun hal tersebut
menghambat adanya inovasi dalam efisiensi ekonomi. Misalkan terdapat dua usaha yang
berdampingan letaknya, yaitu dokter dan pabrik roti. Dokter memerlukan ketenangan agar
dapat menarik pasien dan memperoleh keuntungan, sebaliknya pabrik roti tidak dapat
berproduksi tanpa mengeluarkan suara bising. Pemerintah tentu dapat mengenakan pajak
ataupun melarang pabrik kue untuk tidak berproduksi agar tidak menghasilkan eksternalitas
negatif sehingga hanya dokter yang dapat berproduksi, namun hasil dari kebijakan ini
tidaklah efisien. Apabila terdapat hak milik yang jelas antara dokter dan pabrik roti, mereka
dapat merundingkan bagaimana cara agar diperoleh hasil paling efisien, misalkan saja
dengan membeli alat peredam suara oleh dokter atau pabrik roti.
BIAYA TRANSAKSI DAN INFORMASI ASIMETRIS
Biaya transaksi timbul karena adanya hubungan dan transaksi. Salah satu
permasalahan dalam biaya transaksi adalah informasi asimetris. Informasi asimetris terjadi
jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi yang lebih banyak atau lebih baik
dibandingkan pihak lainnya. Dalam dunia ekonomi dan juga politik, informasi asimetris dapat
mengarahkan kepada kondisi seperti adverse selection dan juga moral hazard. Menurut
Rachbini, 2015 ada bukunya yang berjudul “Ekonomi Kelembagaan”. kondisi informasi yang
asimetris pertama kali dijelaskan oleh Kenneth J. Arrow pada tahun 1963 dalam artikelnya di
bidang penanganan kesehatan yang berjudul “Uncertainty and the Welfare Economics of
Medical Care”. Kemudian George Akerlof menggunakan istilah informasi asimetris dalam
karyanya pada tahun 1970 yang berjudul “The Market for Lemmons”. Fenomena ini
digambarkan oleh George Akerlof pada pasar mobil bekas. Hal ini terjadi karena pihak penjual
memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pembelinya, sehingga banyak pembeli yang
menolak untuk bertransaksi ataupun menolak untuk mengeluarkan uang besar karena untuk
menghindari penipuan. Sebagai akibatnya, penjual yang benar-benar memiliki barang dengan
kualitas yang bagus menjadi tidak laku karena dinilai murah oleh pembeli dan kemudian yang
tersisa adalah penjual dengan kualitas yang buruk. Kondisi tersebut secara khusus dijelaskan
oleh George Akerlof anti-seleksi (adverse selection) yang disebabkan oleh informasi yang
asimetris. Penjual dengan kualitas barang yang rendah akan mendesak keluar setiap orang
dari pasar, sehingga yang tersisa adalah pelaku pasar yang buruk dan yang tersisa adalah
barang dengan kualitas rendah namun dengan harga yang jauh lebih tinggi. Pemilik informasi
yang disembunyikan berada pada posisi yang selalu diuntungkan dari pada pelaku pasar lain
sehingga menciptakan pasar yang tidak adil.
Selain George Akerlof, Joseph Stiglitz dan Rothschild memperlihatkan kondisi ini pada
pihak agen perusahaan asuransi dimana agen yang kurang informatif terkadang dapat
menangkap informasi dari agen yang lebih informatif melalui penyaringan (screening). Agen
asuransi menyediakan pilihan-pilihan dari menu kontrak dan dari piihan tersebut perusahaan
asuransi dapat membedakan kliennya berdasarkan kelas-kelas yang dikehendaki sehingga
kebijakan khusus dapat diberlakukan berdasarkan hasil screening tersebut. Joseph Stiglitz
menyarankan perusahaan asuransi untuk menggunakan metode screening untuk dapat
mengatasi permasalahan informasi asimetris dan mengurangi resiko klien yang
memanfaatkan ketidaktahuan perusahaan asuransi.
Masalah lain yang timbul adalah penyimpangan moral (moral hazard). Moral hazard
adalah kecenderungan alami yang terjadi jika ada peluang untuk melakukan oportunistin
behaviour. Jika tidak ada insentif yang memadai, maka perilaku moral hazard dapat terjadi
lebih intensif. Sebagai contohnya adalah pada Kredit Usaha Tani (KUT), dimana penyaluran
KUT tersebut menjadi tidak tepat sasaran karena terdapat kebocoran informasi pada setiap
tingkat transaksi birokrasi yang kemudian mempengaruhi sistem kelembagaan pemerintah
dan juga kebijakan pembangunan yang diterapkan. Bentuk kelembagaan baru yang inovatif
yaitu Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) yang merupakan inovasi untuk menyiasati program
kredit untuk kalangan bawah. Program kredit dilakukan dengan basis permintaan pasar di
lapisan bawah (demand following).
Adanya adverse selection dan moral hazard tersebut mengakibatkan adanya biaya
transaksi yaitu perlunya penambahan biaya untuk rekrutmen, negosiasi, monitoring,
enforcement, dan juga insentif untuk pengawasan. Oleh karena itu, maka diperlukan solusi
terhadap permasalahan informasi asimetris ini yaitu dengan signalling, sceening, dan
bundling. Spence mengusulkan bahwa untuk mengatasi kondisi informasi asimetris yaitu
dengan signalling. Signalling yaitu pemberian signal individu kepada agen yang kurang
memiliki informasi. Sebagai contoh yaitu pemberian tambahan pajak pada suatu produk untuk
memberi sinyal bahwa produk tersebut memiliki profitabilitas yang tinggi. Contoh lainnya yaitu
pada pasar tenaga kerja. Para pemberi kerja melihat latar belakang pendidikan sebagai sinyal
yang kredibel untuk dapat mengatasi adverse selection mengenai keterampilan pencari kerja.
Solusi kedua yaitu screening yaitu pihak yang kurang memiliki informasi dapat meminta pihak
lain untuk membuka informasi untuknya, yaitu seperti pada kasus asuransi tersebut di atas.
Solusi lainnya yaitu bundling seperti pada kasus jual beli informasi dimana tidak ada biaya
yang dikeluarkan untuk duplikasi informasi yang telah dibeli sebelumnya. Hal ini dapat
disiasati dengan konsep bundling, dimana kelompok item yang sama dijual secara kelompok.
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY SEBAGAI PRIVATE GOVERNANCE
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) merupakan topik
yang sangat menarik pada literatur bisnis, dan telah mengecilkan peran dari institusi. Teori
institusional sangat berpotensi untuk membahas Corporate Social Responsibility (CSR)
sebagai bentuk dari kepemerintahan yang dikelola oleh swasta. Pembahasan ini mengenai
CSR sebagai bentuk kegiatan sukarela dari perusahaan, dan juga membahas mengenai
sejarah dan juga politik penentu pada saat kapan dan bentuk perusahaan yang seperti apa
yang melakukan tanggung jawab sosial. Sejarahnya, CSR merupakan suatu bentuk kegiatan
yang terbentuk dari solidaritas sosial yang diatur pada pasar ekonomi liberal. Sebelumnya,
CSR ini dilakukan oleh institusi formal beserta pihak lain yang terkait. Seiring dengan
perkembangan jaman dimana perekonomian banyak dikuasai oleh bisnis swasta, kegiatan
CSR pun mulai berkembang secara riset dan prakteknya. Teori institusional kemudian
dikembangkan untuk dapat mengatur dan menganalisis lebih lanjut batasan-batasan yang
berbeda antara swasta dengan masyarakat sekitar.

Riset CSR dan kelebihannya


Beberapa tahun terakhir, perbincangan mengenai CSR semakin berkembang dengan
pendekatan yang terbatas untuk dapat mengetahui tanggung jawab sosial dari suatu bisnis.
Yang pertama yang harus dilakukan yaitu terkait dengan nilai yang terbatas dari pendekatan
kegiatan usaha terhadap riset mengenai CSR. Hasil dari pendekatan tersebut sulit untuk
dapat disimpulkan karena masih terdapat banyak perbedaan mengenai keterkaitan CSR
dalam meningkatkan performa usahanya. Yang kedua yaitu adanya globalisasi dan pengaruh
dari adanya penelitian bisnis. Jika CSR merupakan salah satu cara untuk dapat meningkatkan
profit usaha, maka yang menjadi pertanyaan adalah adanya perbedaan bentuk-bentuk
pelaksanaan dari CSR pada setiap negara atau wilayah. Aspek yang ketiga yaitu perlu adanya
penelitian yang lebih detail mengenai peran perusahaan terhadap publik, yaitu perusahaan
bukan hanya berjalan dengan berfokus pada orientasi keuntungan pada perekonomian dalam
suatu komunitas. Bahwa perusahaan bukan hanya sebagai aktor pasif dalam perekonomian,
namun juga harus dapat memberikan dampak sosial. Perusahaan dapat memberikan dampak
yang pasti terhadap outcome dalam bidang tenaga kerja, konsumsi, kualitas lingkungan,
kesenjangan sosial, dan juga isu-isu lainnya.
CSR sebagai penghubung antara bisnis dengan masyarakat
Pada teori institusional, CSR dipandang lebih luas dan mendalam dalam ekonomi
kepemerintahan yang terbentuk dari berbagai model, termasuk pasar, regulasi pemerintah,
dan lainnya. Teori institusional melihat CSR sebagai pasar yang tidak dapat dipisahkan
dengan sosial seperti jaringan sosial, asosiasi bisnis dan juga politik. Oleh karena itu, CSR
dalam bidang-bidang ilmu menjadi berkembang pada disiplin ilmu lainnya yaitu politik (Moon,
2002; Crouch, 2009 dalam Brammer et,al. 2012), ekonomi (Oosterhout & Heugens, 2008
dalam Brammer et,al. 2012), sosiologi (Brooks, 2010 dalam Brammer et,al. 2012), dan juga
hukum (Mullerat, 2005 dalam Brammer et,al. 2012). Teori institusional membagi menjadi dua
aspek agar dapat lebih mudah dipelajari yaitu keragaman dan dinamika CSR (Tempel &
Walgenbach, 2007 dalam Brammer et.al 2012). Keragaman CSR yaitu dapat dilihat pada
perbandingan CSR antar negara atau antar wilayah. Perbedaan tersebut tidak hanya
disebabkan oleh formal institusi yaitu seperti undang-undang, asosiasi atau komunitas,
namun juga dipengaruhi oleh informal institusi seperti norma agama atau tradisi masyarakat
setempat. Sedangkan dinamika CSR dapat dipengaruhi oleh adanya imitasi dan adaptasi dari
dunia luar.
Dinamika institusional CSR
Pionir pelaksanaan CSR yaitu negara Amerika dan Inggris dimana sistem
perekonomiannya adalah liberal. Di negara Inggris, pelaksanaan CSR sangat terikat dengan
kebijakan ekonomi neo liberal yang pada saat pemerintahan Margaret Thatcher tahun 1980-
an. Pada saat tersebut, kebijakan deregulasi dan privatisasi diterapkan sehingga kegiatan
usaha memiliki tanggung jawab sosial yang baru yaitu serikat buruh dalam menyikapi program
CSR. Banyak yang memperdebatkan bahwa adanya CSR di Inggris dipengaruhi oleh
Amerika. Pada kenyataannya bahwa asal muasal CSR dan juga hambatan-hambatan
politiknya telah ada beberapa dekade sebelumnya yaitu tahun 1920-an. Pada praktek
manajemennya, CSR telah meluas secara global lebih jauh lagi dari negara-negara pionirnya
yaitu Amerika dan Inggris. Meluasnya CSR tersebut diikuti dengan inovasi-inovasi baru yang
terintegrasi terdifusi dengan kebiasaan, budaya ataupun sistem ekonomi atau pemerintahan
negara atau wilayah setempat. Sebagai contoh yaitu wilayah atau daerah dengan serikat
buruh yang kuat dapat mengarahkan perusahaan kepada standar ketenagakerjaan yang lebih
baik yang diadopsi dari wilayah lain. Contoh lainnya yaitu adopsi program-program
perusahaan dari wilayah lain.
Secara lebih lanjut dilteliti bahwa CSR dipengaruhi oleh kepemerintahan korporasi
berdasar logika kesamaan atau perbedaan, yaitu dapat berbentuk paksaan atau pun bentuk
kompensasi (Campbell, 2011 dalam Brammer, 2012). Berdasarkan Geppert et.al, 2006 dalam
Brammer, 2012, CSR dikategorikan menjadi 3 berdasarkan institusi transnasional/global,
yaitu privat, semiprivat serta regulasi publik, dan standar. Sebagai contoh yaitu adanya
institusi seperti UN Global Compact dan ISO yang merupakan kerangka kerja untuk
menginstitusi CSR secara global. Karena regulasi nasional sangat kurang dan minim dalam
mengatur mengenai CSR, maka pihak-pihak privat kemudian bersatu membuat badan-badan
untuk membentuk aturan-aturan sendiri atas permasalahan/program tertentu yang mengikat
perusahaan-perusahaan. Kerangka kerja ataupun aturan-aturan terkait dapat dikeluarkan
oleh pemerintah, badan publik (UNGC, OECD), asosiasi industri (Responsible Care
Programme), perusahaan sendiri, kerjasama swasta dengan organisasi non pemerintah.
KASUS
I. Profil PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk
PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk, perusahaan yang diresmikan di Gresik pada
tanggal 7 Agustus 1957 ini memiliki kapasitas terpasang mencapai 31,8 juta ton/tahun.
Perusahaan yang semula bernama PT Semen Gresik (Persero) Tbk, sahamnya dimiliki
oleh Pemerintah Indonesia 51,0% dan publik 48,9%. Produk utama yang dihasilkan oleh
Perseroan adalah semen, yaitu jenis semen Portland Tipe II-V (Non-OPC). Di samping
itu, juga memproduksi berbagai tipe khusus dan semen campur (mixed cement), untuk
penggunaan yang terbatas.
Lokasi pabrik PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk sangat strategis di Sumatera,
Jawa, Sulawesi dan Vietnam.
1. Sumatera berlokasi di Indarung, Sumatera Barat, dengan lokasi pengantongan di
Teluk Bayur, Belawan, Batam, Tanjung Priok dan Ciwandan;
2. Jawa berlokasi di Desa Sumberarum, Kec Kerek, Tuban, Jawa Timur. Memiliki 2
pelabuhan, yaitu : Pelabuhan khusus Semen Gresik di Tuban dan Gresik;
3. Sulawesi berlokasi di Pangkep, Sulawesi Selatan. Dengan lokasi pengantongan
semen di Biringkasi, Makassar, Samarinda, Banjarmasin, Pontianak, Bitung, Palu,
Ambon, Bali;
4. Vietnam berlokasi di Quang Ninh, Vietnam, Thang Long Cement Company dan
memiliki 3 (tiga) lokasi pengantongan semen.

II. Eksternalitas Yang Dihasilkan


Pembangunan industri akan berdampak langsung pada lingkungan, yaitu terjadi
kenaikan kepadatan penduduk, penurunan produksi pertanian, penggusuran penduduk,
dan peningkatan konstruksi prasarana dan kompleks industri. Akibat dari penggusuran
penduduk, akan meningkatkan tekanan penduduk yang berujung pada munculnya
masalah lingkungan dan masalah sosial yaitu urbanisasi. Urbanisasi akan meningkatkan
penduduk kota yang berakibat pada peningkatan produksi limbah, terutama limbah rumah
tangga.
Industri sangat terkait dengan keberadaan perusahaan. Selama ini, perusahaan
dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat,
seperti: memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang yang dibutuhkan
masyarakat untuk konsumsi, membayar pajak, memberi sumbangan, dan lain-lain.
Namun dibalik itu semua, keberadaan perusahaan ternyata juga banyak menimbulkan
berbagai persoalan sosial dan lingkungan, seperti: polusi udara, keracunan, kebisingan,
diskriminasi, pemaksaan, kesewenang-wenangan, produksi makanan haram serta bentuk
eksternalitas negatif lain (Harahap, dalam Hadi: 2011)i.
Dalam industri semen, dampak eksternalitas negatif terjadi pada lingkungan hidup
dan kesehatan:
1. Dampak Negatif Bagi Lingkungan Hidup
a. Kualitas Udara Yang Menurun
Pengambilan material di lokasi bahan baku semen (gamping) dengan
menggunakan buldoser dan dinamit akan menghasilkan debu yang menyebar
ke sekitar lokasi penambangan. Begitu juga dengan proses pengangkutan dan
pengolahan, debu akan menyebar di jalanan menuju pabrik pengolahan dan di
sekitar lokasi pabrik.
Berdasarkan penelitian, kandungan udara di sekitar Pabrik semen memiliki
kandungan Partikulat, Sulfur dioksida dan nitrogen oksida yang tinggi dan
menghasilkan awan yang keluar terus menerus yang akhirnya menempel,
menetap di vegetasi, tanah dan mempengaruhi biotik di sekitar selamanya,
akibatnya seluruh ekosistem di sekitar pabrik semen mengalami stres yang
luar biasa.
Selain debu, pabrik semen juga memicu kenaikan suhu udara. Sumber utama
peningkatan suhu udara adalah akibat peningkatan kadar karbon dioksida
(CO2) secara terus menerus pada atmosfer bumi, penyebabnya adalah
meningkatnya laju aktivitas industri (termasuk industri semen), dalam
mengkonsumsi energi (pembakaran bahan bakar fosil), penebangan dan
pembakaran hutan, serta penggunaan bahan-bahan CFC (Chloro Fluoro
Carbon) sebagai pendingin dan pemantul panas.

Gambar 1. Polusi Udara Pabrik Semen


b. Kualitas Air Yang menurun
Selain polutan gas dan partikulat ada juga kadar logam berat beracun di
lingkungan pabrik semen seperti kobalt, kromium, nikel, merkuri yang sangat
potensial mengandung bahaya untuk semua organisme hidup. Peningkatan
konsentrasi polutan di atas menyebabkan penurunan progresif dalam
kemampuan fotosintesis daun, terutama penurunan pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Polutan logam berat yang stabil di lingkungan akan
sangat beracun bagi organisme biologis. Di antara logam berat, Mercury,
timbal, nikel, kromium adalah logam berat yang paling berbahaya yang
dikeluarkan oleh pabrik semen dan menyebabkan berbagai perubahan
biokimia.ii
Gambar 2. Truk Semen Melintasi Jalan
c. Meningkatnya Kebisingan Suara
Suara yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang beroperasi dalam pabrik pun
menimbulkan kebisingan. Udara yang bising dan berlangsung dalam waktu
yang relatif lama dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti kerusakan
saraf pendengaran, tuli, stres, sulit tidur dan ketegangan jiwa. Kebisingan
diatas 50 dB sudah dapat dianggap kebisingan yang perlu mendapatkan
perhatian, karena sudah menggangu kenyamanan pendengaran.
d. Berkurangnya Keanekaragaman Flora dan Fauna
Berkurangnya keanekaragaman flora karena berubahnya pola vegetasi dan
jenis endemik, dan pembentukkan klorofil serta proses fotosintesis, Sedangkan
berkurangnya keanekaragaman fauna (burung, hewan tanah dan hewan
langka) disebabkan karena berubahnya habitat air dan habitat tanah tempat
hidup hewan-hewan tersebut.
Debu semen dalam jumlah yang cukup bisa merusak jaringan daun tumbuhan,
mengurangi pertumbuhan, mengurangi klorofil, menyumbat stomata daun,
mengganggu metabolisme sel, mengganggu penyerapan cahaya dan difusi
gas, menurunkan pembentukan saripati, mengurangi vertilitas tanaman,
mempercepat gugurnya daun tanaman dan menghambat pertumbuhan, juga
mengarah pada pernapasan dan hematologi penyakit, kanker, cacat mata dan
masalah genetik.
2. Dampak Negatif Bagi Kesehatan
a. Iritasi pada kulit, hal ini dapat terjadi akibat sifat semen yang abrasif kontak
dengan kulit. Prosesnya pun bisa secara langsung maupun tidak langsung
(terlindung maupun oleh keringat).
b. Alergi, hal ini dapat terjadi bergantung pada tingkat kesensitifan seseorang,
alergi yang dapat timbul akibat debu semen diantaranya: bersin-bersin, susah
bernafas bagi penderita asma, gatal-gatal.
c. Iritasi pada mata, hal ini dapat terjadi tergantung pada banyaknya paparan
debu, iritasi yang timbul mulai gangguan mata merah sampai cidera mata
serius.
d. Gangguan pernafasan, hal-hal yang bisa menjadi faktor penyebab diantaranya
saat mengosongkan kantong semen sehingga debu semen terhirup. Saat
mengaduk, menghaluskan atau memotong material campuran semen juga
dapat melepaskan sejumlah debu semen. Untuk jangka pendek dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, sedangkan untuk jangka
panjang dapat menyebabkan gangguan pernafasan.

III. Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Semen Indonesia (Persero)
Tbk.
Sesuai dengan Misi utama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk, yaitu mewujudkan
perusahaan berstandar internasional dengan keunggulan daya saing dan sinergi untuk
meningkatkan nilai tambah secara berkesinambungan, mewujudkan tanggung jawab
sosial serta ramah lingkungan, dan memberikan nilai terbaik kepada para pemangku
kepentingan (stakeholders), maka PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk berupaya untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
berkelanjutan . Konsep ini dikenal dengan istilah “Triple Bottom Line (3BL)” yang
dikenalkan oleh John Elkingstons, meliputi : kesejahteraan atau kemakmuran ekonomi
(economic prosperity), peningkatan kualitas lingkungan (environmental quality), keadilan
sosial (social justice). Dalam konsep ini suatu perusahaan ketika menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan “Triple P”, yaitu profit, planet and
people. Bila dikaitkan antara 3BL dengan Triple P dapat di simpulkan bahwa “profit”
sebagai wujud aspek ekonomi, “planet” sebagai wujud aspek lingkungan dan “people”
sebagai wujud aspek sosial.iii

Gambar 3. “the triple bottom line”

CSR PT Semen Indonesia mengadopsi tripple bottom line dengan membentuk unit
kerja khusus yang diberi nama Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
PKBL di PT Semen Indonesia (Persero) Tbk mengacu kepada Peraturan Menteri
BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 tanggal 3 Juli 2015 tentang Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan Badan Usaha Milik Negara dan Surat Keputusan Direksi PT Semen
Indonesia (Persero) Tbk No. 055/Kpts/Dir/2014 tanggal 20 Nopember 2014 tentang
Struktur Organisasi. Program utama PKBL adalah memastikan bahwa keseimbangan
lingkungan tetap sama seperti sebelum adanya penambangan. Tak hanya lingkungan
alam secara harafiah tetapi juga kondisi masyarakat harus lebih baik daripada
sebelumnya. Ada 8 program PKBL yaitu:
1. Bencana alam;
2. Peningkatan pendidikan dan pelatihan;
3. Peningkatan kesehatan;
4. Pengembangan prasarana dan sarana umum;
5. Sarana ibadah;
6. Pelestarian alam;
7. Sosial kemasyarakatan dalam rangka pengentasan kemiskinan;
8. Bantuan pendidikan, pemagangan, pemasaran. Promosi, dan bentuk lain terkait
upaya peningkatan kapasitas mitra binaan.
Salah satu satu program utama PKBL adalah Program kemitraan dan Bina
Lingkungan.
1. Program Kemitraan
Program Kemitraan fokus pada bagaimana mitra binaan mendapat manfaat di
bidang ekonomi yang berdampak pada peningkatan taraf hidup mereka.
Sedangkan Bina Lingkungan difokuskan pada pelaksanaan tanggung jawab
bidang sosial dan lingkungan yang telah dapat dirasakan dengan terjalinnya
hubungan harmonis antara perusahaan dan masyarakat sekitar.
Pada tahun 2015 Program Kemitraan memiliki dana tersedia sebesar Rp. 81,81
miliar yang terdiri atas sisa dana tahun lalu, pengembalian pokok pinjaman, dan
pendapatan jasa administrasi pinjaman. Jumlah ini bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya mengalami penurunan yaitu sebesar Rp. 96,82 miliar karena
dalam dua tahun terakhir sejak tahun 2013 sesuai keputusan RUPS-T PT Semen
Indonesia (Persero) Tbk., PKBL tidak lagi mendapat dropping dana dari BUMN
Pembina.
Tabel 1. Dana Tersedia
(dalam jutaan rupiah)

Sumber: Lap. Tahunan PKBL Tahun 2015iv

Pemberdayaan potensi usaha masyarakatpun membawa dampak yang signifikan,


yaitu jumlah mitra binaan pada tahun 2015 menjadi 33.804 unit atau naik sebesar
5,87% dari tahun 2014 yang mencapai 31.930 unit. Tenaga kerja yang terserap
pada tahun 2015 menjadi 63.512 orang atau meningkat sebesar 3,85% dari tahun
2014 yang mencapai 61.156 orang. Pencapaian omzet pada tahun 2015 sebesar
Rp.1,78 triliun atau meningkat sebesar 4,16% dari tahun 2014 yang mencapai
Rp.1,70 triliun

Tabel 2. Perkembangan Mitra Binaan


Sumber: Lap. Tahunan PKBL Tahun 2015

Dengan Kesuksesan para mitra binaan dalam mengelola usaha yang di gelutinya
menjadi bukti kesungguhan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dalam membina
para pengusaha kecil. Dengan banyaknya mitra binaan yang sukses, dapat
membuka peluang lapangan kerja. Dari sinilah diharapkan akan terjalin hubungan
yang erat antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, yang pada akhirnya
akan meningkatkan citra perusahaan.
2. Program Bina Lingkungan
Program CSR di bidang lingkungan ini melalui
a. Program penghijauan, menyasar kepada warga di lingkungan sekitar pabrik
utamanya berada di ring 1, ring 2 dan ring 3. Tujuan dari program ini untuk
mengedukasi warga untuk semakin paham dan mengerti akan fungsi dan
manfaat penghijauan. Sehingga pengetahuan tentang penghijauan bertambah
dan menimbulkan perilaku positif terhadap program tersebut. Disamping itu,
untuk mencegah adanya polusi udara, menjaga keindahan, dan kerindangan
pohon, agar daerah sekitar pabrik menjadi tidak terlalu panas;
b. Pembuatan embung dari hasil reklamasi lahan yang sudah ditambang.
Embung tersebut menjadi mata air dan tempat pembiakkan ikan. Dengan
menampung air hujan, maka embung tersebut digunakan untuk keperluan
irigasi sawah milik warga sekitar dan keperluan Industri Semen Indonesia.

IV. Permasalahan Dalam Pelaksanaan CSR PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Dalam pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan beberapa masalah yang
dihadapi antara lain:
1. Mitra binaan dalam melakukan pembayaran angsuran masih menggunakan cara lama
dengan mengisi slip setoran bank sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahan
memasukkan kode mitra atau bahkan tidak mencantumkan kode mitra.
2. Pembayaran angsuran yang dilakukan melalui rekening virtual belum berjalan lancar,
karena:
a. Ketidakpahaman petugas baru teler bank yang sering mengalami penggantian
tidak dibarengi dengan konfirmasi ke cabang koordinator;
b. Beberapa kantor unit bank tidak melayani pembayaran lewat program rekening
virtual.
3. Keterlambatan pembayaran dari tanggal jatuh tempo menimbulkan peningkatan
piutang macet, sehingga perusahaan harus ekstra dalam melakukan penagihan dan
monitoring terhadap mitra binaan.
DAFTAR PUSTAKA

Agik, Ns. 2014. Partikulat Semen itu Mengancamnya...


http://www.kompasiana.com/agikns/partikulat-semen-itu-
mengancamnya_54f5fecca33311ab168b460d. Kompas, Jakarta
Brammer, Stephen et.al. 2012. Corporate Social Responsibility and Institutional Theory: New
Perspectives on Private Governance. Socio-Economic Review: Vol 10 page 3-28.
Coase, Ronald H. 1960. The Problem of Social Cost, Journal of Law and Economics.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga: Jakarta .
Demsetz, Harold. 1967. Toward a Theory of Property Right, American Economic Review.
Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hindle, Tim. 2009. Triple bottom line It consists of three Ps: profit, people and planet.
http://www.economist.com/node/14301663
PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. 2016. Laporan Tahunan 2015 Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan 2016. Gresik; Jawa Timur.
Rachbini, Didik. J. 2015. Ekonomi Kelembagaan. INDEF: Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA

Agik, Ns. 2014. Partikulat Semen itu Mengancamnya...


http://www.kompasiana.com/agikns/partikulat-semen-itu-
mengancamnya_54f5fecca33311ab168b460d. Kompas, Jakarta

Brammer, Stephen et.al. 2012. Corporate Social Responsibility and Institutional Theory: New
Perspectives on Private Governance. Socio-Economic Review: Vol 10 page 3-28.

Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga: Jakarta .

Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hindle, Tim. 2009. Triple bottom line It consists of three Ps: profit, people and planet.
http://www.economist.com/node/14301663

PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. 2016. Laporan Tahunan 2015 Program Kemitraan
dan Bina Lingkungan 2016. Gresik; Jawa Timur.

Rachbini, Didik. J. 2015. Ekonomi Kelembagaan. INDEF: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai