Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ferry Arifin

Nim : 030644504

Jurusan : Manajemen

1. Apa yang dimaksud dengan eksternalitas yang harus diinternalisasi ?

Jawaban

A. EKSTERNALITAS

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti

prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi,

eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip

alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya

publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan

dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak

terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan

ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan

dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.

Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber

daya sebagai akibat dari adanya faktor diatas diuraikan satu per satu berikut ini.

1. Keberadaan Barang Publik

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu

tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya,
barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus

disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.

Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada

persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public goods,

common property resources). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang

ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply)

dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua

adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya

diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang

berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air

bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.

Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai

moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang)

sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau

memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi

masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang

publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan

berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau

konsumen cenderung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang

publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagain masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai
Contoh

jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak

mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan

disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut

dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B

berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya

karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang

tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum.

Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau

rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang

publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk

membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung

memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).

2. Sumber Daya Bersama

Keberadaan sumber daya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap

sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.

Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak

ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin

memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya

milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan

mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan
sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa

banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas

terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang

dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons).

B. Pengendalian dan Penanggulangan Eksternalitas

Tindakan penangulangan eksternalitas yang di lakukan oleh pemerintah pada

kasus biaya maupun manfaat eksternal merupakan upaya menginternalisasikan

semua biaya maupun manfaat eksternal. Misalnya dalam kasus berupa biaya

eksternal produsen di kenakan peraturan dan atau pajak khusus..

2. Pendekatan apa yang dapat digunakan untuk mengurangi/melemahkan kekuatan

monopoli ?

jawaban

Cara lain untuk mendeteksi ada atau tidaknya kartel adalah dengan menggunakan analisis

ekonomi. Secara umum, analisis ekonomi dapat dibagi menjadi dua metodologi, yakni

pendekatan struktural dan pendekatan perilaku. Pendekatan struktural meliputi

identifikasi pasar dengan karakteristik yang kondusif untuk melakukan tindakan kolusif.

Beberapa studi atau literatur ekonomi dapat diidentifikasikan beberapa faktor terkait

dengan struktur pasar dan kekuatan pasar yang mendorong atau memfasilitasi

terbentuknya perilaku kartel. Faktor-faktor ini dapat dijadikan sebagai indikasi

terbentuknya suatu kartel. Sebagai contoh misalnya terbentuknya kartel dalam suatu
pasar akan mudah terjadi jika pasar terdiri atas beberapa pelaku usaha, dengan produk

yang homogen, dan permintaan yang stabil (A.M. Tri Anggraini, 2010 : 36).

Pendekatan lain yaitu pendekatan perilaku, yang lebih menekankan pada sebuah

output berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel. Pendekatan

ini berfokus pada dampak terhadap pasar atas koordinasi tersebut. Hal-hal yang perlu

dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama atau identik diantara

pesaing, pergerakan harga yang paralel atau kenaikan harga yang unjustified, atau

pemasok yang berbeda menaikkan harga dengan margin yang sama dalam waktu yang

bersamaan. Namun demikian, peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk

adanya pasar yang bersaing secara ketat (A.M. Tri Anggraini, 2010 : 37).

Dalam hal mengungkap kasus kartel, terdapat dua jenis alat bukti yaitu alat bukti
langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti langsung adalah alat bukti yang jelas
mengidentifikasikan komunikasi membentuk perjanjian, sedangkan alat bukti tidak langsung
adalah bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Dalam memperoleh alat bukti tersebut, KPPU
menggunakan kewenangannya berupa permintaan dokumen, menghadirkan saksi, dan
melakukan investigasi ke lapangan. Bila perlu, dilakukan kerjasama dengan pihak berwajib
untuk mengatasi hambatan dalam memperoleh alat bukti tersebut. Pada kasus tertentu, KPPU
dapat memperoleh bukti melalui perusahaan yang terlibat kartel dengan kompensasi tertentu.

            Setelah diperoleh bukti yang cukup, langkah selanjutnya adalah melakukan pembuktian
apakah kartel tersebut benar terjadi dan dapat dipersalahkan antara para pelaku usaha. Sesuai
dengan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason, maka dalam
membuktikan perlu dilakukan pemeriksaan mengenai alasan pelaku usaha melakukan kartel.
Penegak hukum persaingan usaha harus memeriksa apakah alasan melakukan kartel tersebut
dapat diterima atau tidak. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa macam
sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggar hukum persaingan usaha yaitu berupa tindakan
administratif, pidana pokok, dan pidana tamba
Sumber :

Alfarisi, D.A. (2010). Metode untuk Mendeteksi Kolusi. Jurnal Persaingan Usaha Komisi

Pengawas Persaingan Usaha. 3( ), 30-31.

Anggraini, A.M.T. (2011). Program Leniency dalam Mengungkap Kartel menurut Hukum

Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha. 6 ( ), 114-115.

Hanantijo, Djoko. (2013). Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Diperoleh 6 Juni 2015, dari

Anda mungkin juga menyukai