Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN
Menurut model keseimbangan materiil, masalah SDA&L berkaitan langsung dengan
kegiatan pasar. Keputusan dasar pembeli dan perusahaan mempengaruhi baik ketersediaan
maupun kualitas sumber daya alam dan lingkungannya. Oleh karena itu kita per|u mengembangkan
pengertian yang mendalam mengenai cara kegiatan pasar bekerja yang sering menimbulkan
deplesi pada SDA dan menimbulkan limbah polusi dan mengapa kekuatan pasar itu sendiri tidak
mampu memecahkannya. Ditinjau dari perspektif ekonomi, masalah SDA&L sesungguhnya
dikenal sebagai kegagalan pasar (market failure). Atau dengan kata-kata lain, ESDA&L memakai
model kegagalan pasar untuk menganalisis masalah dan mencarikan pemecahannya. Namun
model ini sesungguhnya berbasis pada pemahaman yang mendalam mengenai proses pasar itu
sendiri.
Oleh karena itu, dalam bab ini ditinjau komponen pasar yang penting dan konsep-konsep
dasar analisis ekonomi mikro. Skedul dan model permintaan dan penawaran ditinjau ulang untuk
memahami lebih mendalam tingkah laku pasar, motivasi pembeli dan pengambilan keputusan
perusahaan dan penentuan harga. Melalui analisis pasar persaingan sempurna dalam keadaan
seimbang, kita akan membahas kriteria efisiensi, satu kriteria yang selalu dipergunakan dalam
studi ESDA&L untuk mengevaluasi reaksi publik dan swasta. Selanjutnya dikembangkan
pengukuran kesejahteraan, yang sangat berguna dalam menilai pengaruh satu kebijakan terhadap
masyarakat. Semua alat analisis dan model yang disajikan di sini merupakan dasar-dasar dari
kegagalan pasar yang akan dibahas pada bab berikutnya.
Menurut Model Aliran Melingkar yang dibicarakan pada Bab 1 dan teori pasar yang
dibahas pada Bab 2, para penjual bebas menyediakan barang dan jasa yang dikehendaki oleh
pembeli. Pasar itu sendiri, tanpa campur tangan pihak ketiga, memecahkan masalah kekurangan
dan kelebihan dan menghilangkan ketidakefisienan melalui mekanisme harga. Walaupun
konsumen dan produsen bukan dimotivasi oleh tujuan mulia, namun didorong oleh kepentingan
mereka sendiri, proses pasar itu sendiri memberikan hasil yang sangat menakjubkan, menuju ke
keseimbangan pasar yang memberikan kesejahteraan maksimum. lnilah sesungguhnya yang
dirumuskan oleh Adam Smith sebagai Invisible hand, yang seolaholah menuntun produsen dan
konsumen untuk mengambil keputusan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1
Kalau kita perhatikan aliran melingkar dalam konteks model Keseimbangan Materiil, kita
mestinya dapat memahami, misalnya, siapakah yang memiliki sumber daya alam yang diambil
oleh individu lalu masuk ke kegiatan ekonomi. Apakah dimiliki oleh individu itu sendiri sebagai
barang privat, ataukah dimiliki/dikuasai oleh pemerintah atau dalam bentuk kepemilikan lain dari
milik pribadi. Masuknya sumber daya alam ke sistem perekonomian selalu menimbulkan residu
produksi yang mengotori alam dan akhirnya mungkin bisa merusak sumber daya alam itu sendiri.
Di aspek konsumsi pun muncul masalah yang sama, yakni adanya residu konsumsi yang mengotori
alam dan mungkin dalam jangka panjang merusak sumber daya alam itu sendiri. Jadi model
Keseimbangan Materiil itu sendiri mengaparkan kepada kita bahwa residu produksi dan konsumsi
terus merupakan satu proses berkelanjutan dan pasar mungkin tidak mampu meresponsnya.
Keadaan yang demikian ini . masuknya sumber daya alam ke sistem ekonomi, ke proses produksi,
dan kemudian proses konsumsi itu sendiri memberikan residu konsumsi secara terus menerus,
nampaknya telah tenadi dan terus terjadi di semua aspek dari ekonomi terapan. Hal yang demikian
ini terjadi sebagai akibat dari apa yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai kegagalan pasar.
Kalau kita sadar akan implikasi dari pasar persaingan terhadap efisiensi dan kesejahteraan
masyarakat kita akan dapat mengetahui apa yang harus dikerjakan apabila sesuatu yang
menghalangi berlakunya sistem pasar telah terjadi, atau dengan kata lain, telah dilanggarnya satu
atau lebih dari asumsi yang mendasari berfungsinya pasar secara penuh. Dalam bab ini dibahas
adanya pelanggaran terhadap asumsi berlakunya sistem pasar atau dalam istilah yang keren adanya
kegagalan pasar. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan pelanggaran terhadap asumsi bahwa
salah satu peserta pasar dapat mempengaruhi harga Pembicaraan ini mengarahkan kepada kita
untuk membahas pasar monopoli, yang kemudian diikuti oleh kegagalan pasar dengan fokus
perhatian pada eksternalitas. Bab ini ditutUp dengan pembahasan mengenai akibat pemberian hak
milik kepada pembeli atau penjual dalam hal pasar untuk bukan barang privat, melainkan untuk
barang yang kepemilikannya kurang jelas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pasar
Dalam analisis ekonomi, pasar diberi arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian
sehari-hari. Secara tegas, satu pasar diartikan sebagai pertemuan antara konsumen (pembeli) dan
produsen (penjual) untuk tujuan jual beli satu barang/jasa tertentu Definisi ini bersifat sangat
umum dan abstrak, sebab satu pasar dalam arti ekonomi dimaksudkan untuk Menunjukkan proses
pertukaran dan kondisi yang menjadi dasar terjadinya pertukaran barang/jasa secara umum dalam
aktivitas ekonomi Sebagai contoh, definisi yang luas ini mencakup pembelian dan penjualan
tenaga kerja di pasar faktor, sama halnya dengan jual beli barang di sebuah toko swalayan Seperti
yang akan dibicarakan pada bab-bab mendatang, bahkan pasar ini juga berlaku pada analisis
pengawasan polusi pada pasar karbon dioksida.” Jadi salah satu tindakan yang penting dalam
analisis ekonomi adalah Merumuskan pasar barang atau jasa yang sedang dianalisisMemodel
pertukaran satu barang membutuhkan spesifikasi dan perspektif penjual atau produsen dan pembeli
atau konsumen. Keputusan penjual atau produsen dibuatkan model melalui fungsi penawaran,
sedangkan keputusan konsumen melalui fungsi permintaan. Masing-masing pihak dimotivasi oleh
tujuan yang berbeda, dan masing-masing pihak dipengaruhi dan menghadapi kendala yang
berbeda. Apabila digabungkan, hasilnya menjadi menjadi penawaran dan permintaan yang
menentukan keseimbangan (ekuilibrium) jumlah produk dan harga.
Tujuan utama dari model penawaran dan permintaan adalah untuk memudahkan analisis
pasar dan perubahan harga. Adanya perubahan harga dapat menunjukkan adanya kekurangan atau
kelebihan, adanya mis-alokasi sumber daya, dan implikasi ekonomis gagasan kebijakan
pemerintah. Dengan mempelajari perubahan yang terjadi di pasar, misalnya perubahan harga teh
Sosro atau air minum dalam botol, ahli ekonomi dapat menentukan bagaimana pola konsumsi
dipengaruhi, bagaimana beban pajak dibagi di antara konsumen dan produsen, dan bagaimana
pengaruhnya terhadap distribusi pendapatan
Model satu pasar terdiri dari model untuk permintaan dan model untuk penawaran satu
jenis barang tertentu. Untuk membuat satu model! pasar diperlukan beberapa asumsi. Pertama,
bahwa barang yang diperdagangkan adalah barang privat. Kedua, adanya pasar persaingan baik
untuk faktor produksi maupun untuk satu barang tertentu. Pada pasar persaingan diumpamakan:
(i) terdapat sejumlah besar pembeli dan penjual sehingga tak seorang pun mampu
mengontrol harga,
(ii) barang yang diperdagangkan terstandarisasi atau homogen,
(iii) tidak terdapat hambatan masuk industri,
(iv) adanya informasi yang sempurna, dan
(v) adanya mobilitas faktor produksi secara sempurna.

3
Barang privat dilawankan dengan barang publik dan diartikan sebagai barang yang mempunyai
dua sifat. Sifat pertama adalah bersaing (rivairy) yang berarti bahwa dalam mengonsumsi barang
tersebut oleh seseorang tidak mungkin juga dikonsumsi oleh orang lain dalam waktu yang sama.
Sifat kedua adalah penolakan (esxcludability) yang berarti bahwa manfaat dari mengonsumsi
barang tersebut hanya dinikmati oleh orang tersebut, bukan juga oleh orang lain.

1.1.Permintaan

Permintaan menunjukkan reaksi konsumen dengan menyesuaikan keputusannya untuk


membeli barang/jasa dengan tujuan memaksimumkan kepuasan. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi keputusan konsumen. Namun oleh karena tujuan utama dan analisis pasar adalah
penentuan harga, maka fungsi permintaan dinyatakan sebagai hubungan antara jumlah barang
yang diminta oleh konsumen dan harga, dengan menganggap semua faktor lain tetap tidak
berubah. Bahasa Lainnya adalah “ceteris paribus” disingkat dengan c.p. yang berarti semua faktor
lainnya tetap tidak berubah. Permintaan didefinisikan sebagai jumlah barang yang diminta di mana
konsumen bersedia (willing) dan mampu (able) membayarnya pada berbagai tingkat harga, c.p.
"Kemampuan membayar” (abilty to pay) dari para konsumen merupakan kendala penghasilan
dalam konsumen menentukan pilihannya. Kesediaan untuk membayar (willingness to pay)
menunjukkan nilai atau manfaat yang diterima konsumen dari barang yang dibelinya. Dalam
kenyataannya, kesediaan membayar atau harga permintaan dianggap sebagai ukuran manfaat
marjinal (marginal benefit = MB) mengonsumsikan satu barang.

1.2.Penawaran
Sisi lam dari pasar adalah penawaran Hubungan harga dengan jumlah yang ditawarkan
didasarkan pada keputusan produsen yang dimotivasi oleh laba. Model penawaran untuk setiap
produsen dibuat sebagai fungsi harga, meskipun sesungguhnya keputusan produsen dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Dalam kaitannya dengan ini, penawaran diartikan sebagai jumlah sejenis
barang di mana produsen bersedia dan mampu membawanya ke pasar pada berbagai tingkat harga
untuk kurun waktu tertentu, c.p. Seperti halnya dengan permintaan, perubahan tingkat harga hanya
menyebabkan perubahan jumlah yang ditawarkan pada kurva penawaran yang sama Sedangkan
kalau terjadi perubahan pada variabel yang (c.p.), ini akan menyebabkan pergeseran kurva
penawaran.
Hubungan antara Jumlah yang ditawarkan dengan harga adalah positif dan disebut sebagai
hukum penawaran, yang menyatakan bahwa kenaikan harga diikuti oleh kenaikan jumlahyang
ditawarkan dan sebaliknya. Ini sangat logis bagi produsen yang memaksimumkan tababahwa
harga yang lebih tinggi merupakan insentif untuk membawa ]ebih banyak produknyake pasar.
Atau dapat juga dikatakan bahwa ketika produsen memproduksikan tebih banyakbarang (Q), biaya
total (TC) meningkat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Ini berarti rasio perubahan TC (atau ∆𝑐)
dengan perubahan jumlah (∆Q) meningkat. Rasio ini disebut biayamarginal (MC), yakni biaya

4
tambahan untuk memproduksikan satu unit tambahan produk.Jadi selama MC meningkat dengan
meningkatnya Q, produsen akan memasang harga yanglebih tinggi untuk setiap unit tambahan
produksinya.
1.3.Keseimbangan pasar

Untuk melihat interaksi antara konsumen dan produsen di pasar kita perlu menggabungkan
analisis permintaan dan penawaran menjadi satu. Bahwa harga ditentukan Secara simultan oleh
penawaran dan permintaan adalah dasar teori ekonom yang sangat penting Kekuatan permintaan
dan penawaran menentukan harga keseimbangan Pe.) pada titik mana sistem pasar tdak
mempunyai tendensi untuk berubah. Harga keseimbangan didefinisikan sebagai satu tingkat harga
di mana jumlah yang diminta oleh konsumen (Qd) persis sama dengan jumlah yang ditawarkan
oleh produsen (Qs), atau (Qd) = (Qs). Hanya pada tingkat harga Pe akan terjadi jumlah
keseimbangan (Oe), yang akan memberikan keuntungan maksimum kepada perusahaan dan
kepuasan maksimum kepada konsumen.

2. Efisiensi: Alokatif dan Teknis

Ada dua kriteria efisiensi yang sangat relevan dengan semua disiplin ekonomi terapan
termasuk ESDA&L. Yang pertama adalah efisiensi alokatif, yakni efisiensi yang berkaitan dengan
alokasi sumber daya di antara berbagai kegunaan. Yang ke dua adalah efisiensi teknis, yakni yang
berkaitan dengan efisiensi penggunaan sumber daya pada satu proses produksi.
Efisiensi Alokatif. Cara sistem pasar menggunakan sumber daya alam sangatlah penting,
baik dalam proses produksi maupun dalam konsumsi. Penilaian alokasi sumber daya alam ini
memberi arah kepada perusahaan mengenai keputusan yang diambil menuju kepada keseimbangan
di pasar persaingan dan pengejaran keuntungan maksimum.
Pengertian efisiensi alokatif tersebut harus ditinjau dari sudut pasar dan dari sudut
perusahaan individu. Dari sudut pasar, sebagaimana telah dibicarakan di atas, pada titik
keseimbangan di pasar persaingan kurva pemnintaan berpotongan dengan kurva penawaran.
Sepanjang kurva permintaan harga tidak lain dari pada manfaat marjinal, sehingga kurva
permintaan itu sendiri tidak lain dari manfaat tambahan (magjinal benefit = MB). Atau dengan
kata lain, setiap harga konsumen menunjukkan nilai yang diberikan oleh konsumen terhadap unit
tambahan berdasarkan manfaat yang diperoleh dari tambahan mengonsumsi barang tersebut. Di
sisi penawaran, harga menunjukkan biaya ekonomis. Oleh karena kurva penawaran pada pasar
persaingan merupakan penjumlahan horizontal biaya marjinal masing-masing perusahaan (MC),
setiap harga penawaran menunjukkan tambahan biaya dari sumber daya yang diperlukan untuk
memproduksi satu unit tambahan barang. Perlu diperhatikan di sini bahwa biaya ekonomi ini
meliputi biaya eksplisit (biaya yang keluar dari saku) dalam proses produksi, maupun biaya
implisit yang didasarkan atas kegunaan alternative tertinggi dari sumber daya. Atau dengan kata

5
lain, biaya ekonomi itu meliputi biaya langsung dan tidak langsung. Pada tingkat keseimbangan,
permintaan pasar sama dengan penawaran pasar. Ini berarti nilai yang diberikan oleh masyarakat
terhadap satu unit tambahan barang sama dengan nilai dari sumber daya yang dikorbankan untuk
memproduksikan barangtersebut, atau MB = MC.
Menyadari bahwa efisien alokatif terjadi kalau tambahan nilai yang diberikan oleh
masyarakat terhadap satu unit tambahan barang sama dengan nilai dari tambahan sumber daya
yang harus dikorbankan oleh masyarakat untuk memproduksikan barang tersebut. Hasil yang
demikian ini adalah bagian dari model pasar persaingan dan tidak terjadi pada bentuk pasar yang
lain. Untuk menjelaskan hal ini kita perlu meninjau proses pengambilan keputusanperusahaan di
pasar persaingan yang bertujuan memaksimumkan laba.
Motivasi satu perusahaan datam pengambilan keputusan adalah untuk mendapatcan
keuntungan maksimum. Semua perusahaan, terlepas dari sifat pasar, akan menentukan tingkat
produksi yang memaksimumkan taba. Keuntungan (µ) tidak lain dari penerimaan total (TR)
dikurangi dengan pengeluaran total (TC), di mana TR adalah nilai penjualan atau jumlah barang
yang diproduksikan / dijual (q) kali harganya (P), dan TC meliputi semua biaya ekonomis yang
berkaitan dengan memproduksikan barang tersebut.
Untuk memproduksikan sejumlah q unit barang yang memberikan keuntungan
maksimum satu perusahaan akan memperhatikan penerimaan dan biaya yang diperoleh dan
dikeluarkan untuk memproduksikan satu unit tambahan barang. Apabila dengan memproduksikan
satu unit tambahan barang TR meningkat lebih besar dari peningkatan TC, atau dengan kata lain
MR > MC, maka perusahaan akan melanjutkan peningkatan produksinya. Namun, sebalikya,
apabila TC yang bertambah lebih besar dari tambahan TR, maka produksi akan dikuranginya.
proses ini akan berlanjut sampai tidak ada insentif lagi, atau sampai pada tingkat di mana
perubahan TR (yakni ∆𝑇𝑅 atau MR) sama dengan perubahan TC( atau ∆𝑇𝐶 atau MC). pada titik
ini perubahan keuntungan (Aµ) dengan memproduksikan unit terakhir adalah nol, dan setiap
tambahan produksi selanjutnya akan mengakibatkan taba (µ) menurun. Jadi pada titik ini IT adalah
maksimum. Perhatikan dengan baik bahwa seluruh pengambilan keputusan produsen dan
konsumen tergantung pada perubahan. Oleh karena itu, analisis yang tergantung dari perubahan
ini disebut analisis marginal.

Secara singkat analisis marginal itu mengandung:


 penerimaan marginal (MR) adalah tambahan penerimaan total ( TR) dengan adanya satu
unit tambahan produksi, yakni MR=∆𝑇𝑅/∆𝑞
 Biaya marginal (MC) adalah tambahan biaya total ( TC) dengan adanya satu unit tambahan
∆𝑇𝐶
produksi, yakni MC = ∆𝑞
 Keuntungan marginal (Mµ) adalah tambahan keuntungan total (µ) dengan adanya satu unit
tambahan produksi. Yakni Mµ= ∆𝜋/∆𝑞
Jadi secara implisit perusahaan akan mengambil keputusan untuk memaksimumkan taba menurut
aturan berikut:
6
 Akan meningkatkan produksi selama MR>MC atau selama Mµ > 0.
 Akan mengurangi produksl selama MR < MC, atau selama Mµ < 0.
 Keuntungan maksimum akan dicapai pada tingkat produksi di mana MR = MC, atau ketika
Mµ=0

3. Kesejahteraan Masyarakat: Surplus Produsen dan Surplus Konsumen

Satu tujuan penting dari saru kebijakan adalah menilai manfaat dan kerugian terhadap
masyarakat dari satu kebijakan atau satu perubahan. Dalam ilmu ekonomi, model permintaan dan
penawaran menyediakan informasi yang diperlukan untuk mengadakan analisis semacam ini.
Dengan menggunakan konsep surplus konsumen dan surplusprodusen kesejahteraan masyarakat
diukur sebagai akibat dari satu perubahan atau kebijakan.

3.1.Surplus Konsumen.

Seorang konsumen air mineral botol pergi ke pasar atau swalayan dan dalam benaknya bersedia
dan mampu membayar satu unit air mineral botol, katakanlah Rp5,00, sedangkan harga yang
sesungguhnya terjadi di pasar hanyalah Rp2,50. Harga yang sesungguhnya dibayar ini adalah
harga pasar sebagai keseimbangan permintaan dan penjualan, seperti contoh kita di atas. Dalam
keadaan demikian ini kesediaan dan kemampuan membayar satu unit air mineral botol lebih dari
harga yang terjadi. Kelebihan ini (sebesar Rp2,50) disebut surplus konsumen untuk satu unit air
mineral botol. Kalau dia ingin membeli 10 unit misalnya maka surplus konsumennya adalah
Rp25,00. Konsumen lain, misalnya, yang hanya bersedia dan mampu membayar Rp2,50 untuk
satu unit air mineral botol dan harga pasar persis sebesar ini, ia ini mempunyai surplus konsumen
nol. Secara keseluruhan surplus konsumen itu diartikan sebagai satu ukuran untuk keuntungan
bersih yang diterima pembeli satu barang yang ditaksir melalui kelebihan kesediaan membayar di
atas apa yang sesungguhnya mereka bayar, dijumlahkan untuk seluruh unit barang yang dibelinya
di pasar. Serangkaian harga di mana konsumen bersedia dan mampu membayar untuk berbagai
jumlah barang adalah rangkaian harga pada kurva permintaan. Sebagaimana dibicarakan
sebelumnya, setiap harga permintaan menunjukkan manfaat marjinal (MB) karena
mengonsumsikan jumlah barang tertentu, atau sejenis harga psikis yang tergantung pada penilaian
konsumen terhadap satu jenis barang. Di lain pihak, harga pasar (P) timbul dari kekuatan
penawaran dan permintaan yang didorong baik oleh kekuatan produsen maupun konsumen. Sekali
harga pasar ditentukan, semua unit barang itu diperdagangkan pada harga tersebut juga terhadap
barang yang harga permintaannya lebih tinggi. Jadi konsumen menerima surplus dari setiap unit
yang dibelinya di mana harga permintaan lebih tinggi dari harga pasar.

7
Perhatikan Peraga 2. 5 yang menyajikan kasus kita mengenai air mineral botol. Pada peraga
ditunjukkan harga keseimbangan (Rp2,50), kurva permintaan pasar (D), dan jumlah keseimbangan
(900 unit). Perhatikan bahwa setiap tingkat produksi sampai jumlah 900 unit. harga permintaan
lebih tinggi dari harga pasar. Dalam hal ini setiap pembelian satu unit akan membenkan kepada
konsumen satu manfaat surplus di atas apa yang senyatanya dibayar oleh konsumen. Konsumen
menerima manfaat surplus neto untuk setiap unit yang dibelinya sampai jumlah keseimbangan
(900 unit), nilai ini harus dijumlahkan untuk semua barang yang dikonsumsinya untuk
memperoleh surpius konsumen. Secara grafis. ini adalah daerah segi tiga di atas garis harga dan di
bawah kurva permintaan, dan diberi tanda daerah wxy.
Nilai moneter surplus konsumen dapat dicari dengan menghitung luas segi tiga wxy.
Panjang segi tiga wxy adalah jarak horizontal dan sumbu verhikat sampai jumlah keseimbangan.
Yakni 900 Tinggi segi tiga tersebdut adalah titik potong kurva permintaan (11,50) dikurangi garis
harga keseumbangan (2,50), yakni 9.00. Jadi mulai surplus konsumen pada pasar ini adalah 1⁄2 .
900. Rp 9,00 = Rp4.050,- Perhatikanlah bahwa surplus korisurmen muncul! dari kenyataan bahwa
nilainya berkaitan dengan harga dan jumlah keseimbangan, yang berarti bahwa setiap gangguan
terhadap keseimbangan pasar akan mengubah nilai surplus konsumen Oleh karena surplus ini
mengukur manfaat bagi konsumen, setiap ada perubahan nilainya dapat dipergunakan untuk
mengukur manfaat atau kerugian yang ditimbulkan terhadap kesejahteraan konsumen.

3.2.Surplus Produsen

Pada sisi penawaran, ukuran kesejahteraan yang sebanding disebut surplus produsen Ini
adalah alat untuk mengukur keuntungan neto penjual yang dihitung melalui kelebihan harga pasar
(P) satu barang di atas biaya marjinal (MC) untuk memproduksikannya. dijumlahkan ke seluruh
unit barang yang dijual. Setiap perusahaan harus memasang harga barangnya yang dapat menutupi
MC. Kurva penawaran pasar persaingan adalah penjumiahan horizontal MC untuk semua
perusahaan. Oleh karena harga pasar merupakan perpotongan kurva penawaran dan permintaan,
8
maka pada keseimbangan pasar persaingan P = MC. Pada setiap tingkat produksi di bawah tingkat
keseimbangan, MC < P. Jadi perusahaan sesungguhnya bersedia menawarkan jumlah yang lebih
sedikit ini pada harga yang lebih rendah dari pada yang berlaku di pasar. Harga yang dapat diterima
untuk setiap tingkatproduksi adalah harga penawaran dan harga inilah yang merefleksikan kurva
MC Dengan demikian pada setiap jumlah yang lebih rendah dari jumlah keseimbangan.
perusahaan akan menerima keuntungan neto yang diukur dengan kelebihan P di atas MC.
Keuntungan neto ini adalah surplus produsen dan dilukiskan pada Peraga 2.5 oleh segi tiga xyz.

Untuk setiap unit barang yang ditawarkan sampai jumlah keseimbangan, 900 unit, produsen
menerima surplus sebesar kelebihan P di atas MC. Seperti pada sisi permintaan, surplus ini
dijumlahkan untuk seluruh unit yang dijual sampai pada jumlah keseimbangan agar diperoleh nilai
surplus produsen. Nilai surplus ini ditunjukkan oleh luas segi tiga xyz pada Peraga 2.5. Nilai
moneter surplus produsen ini dapat dicari dengan menghitung luas segi tiga xyz, yang mempunyai
panjang 900 dan tinggi 2,50 - 0,25 = 2,25. Jadi surplus produsen pada tingkat keseimbangan pasar
persaingan air mineral botol adalah 1⁄2 . 900. 2,25 = Rp 1.012,50. Sama seperti pada surplus
konsumen, setiap gangguan pasar akan mempengaruhi nilainya dan oleh karenanya dapat dipakai
untuk mengukur keuntungan atau kerugian terhadap kesejahteraan perusahaan.

3.3.Kesejahteraan Masyarakat

Jumlah surplus konsumen dan surplus produsen menunjukkan keuntungan yang terjadi pada kedua
sisi pasar (permintaan dan penawaran) atau kesejahteraan masyarakat Pada contoh kita mengenai
pasar persaingan air mineral botol masyarakat menikmati tambahan kesejahteraan sebesar Rp4.050
+ Rp1.012,50 = Rp5.062,50 Nilai ini adalah maksimum, oleh karena didasarkan pada
keseimbangan persaingan. Tidak ada cara untuk merelokasi sumber daya agar kesejahteraan
masyarakat meningkat. Setiap hasil pasar yang tidak efisien alokatif akan berakibat mengurangi
kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilaksanakan dengan membandingkan hasil penjumlahan
surplus konsumen dan produsen dengan jumlah yang seharusnya kalau efisien alokatif tercapai.

9
3.4.Perubahan Kesejahteraan Masyarakat
Sebagai contoh, katakanlah pemerintah mengambil kebijaksanaan harga pada pasar air
mineral botol dari Rp2,50 menjadi Rp 6,50. Kita ingin melihat bagaimana pengaruh kebijaksanaan
ini terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini digambarkan pada Peraga 2.6.

Pertama, perlu dihitung jumlah barang yang diminta pada harga baru. Ini dapat dihitung
dengan memasukkan P = 6,50 pada persamaan permintaan pasar yang telah dibahas sebelumnya.
Persamaan untuk permintaan pasar adalah QD =-100 P + 1150. Dengan memasukkan P 6,5
diperoleh QD= -(100.6,50) + 1150= 500. Nilai ini dicantumkan pada diagram. Kemudian kita
harus mencari harga produsen (atau MC), kalau barang yang diminta atau yang diproduksi hanya
500 unit. Untuk hal itu kita masukkan nilai Q = 500 pada persamaan untuk (Qs = 400 P - 100).
Kita akan memperoleh diperoleh 500 = 400 P – 100. Setelah diadakan manipulasi menjadi 500 +
100 = 400 P. Jadi P = 600 : 400 = 1,50. Harga Rp1,50 ini kemudian kita cantumkan pada skala
harga pada Peraga 2.6. Selanjutnya untuk memudahkan perhitungan kita perlu memberi notasi
pada surplus konsumen dan produsen sedemikian rupa sehingga semua segmen akan berbentuk
segi empat atau segi tiga. Dalam hal ini notasinya adalah A, B, C, D, E, dan F seperti pada Peraga
2.6.

Selanjutnya dari Peraga 2.6 dapat dilihat bahwa surplus konsumen sebelum ada
kebijaksanaan harga meliputi bidang A, B, dan C. Luas ketiga bidang ini adalah Rp4 .050,00.
Setelah dilaksanakan kebijakan harga ternyata surplus konsumen hanya meliputi bidang A saja,
yang luasnya Rp1,250,00. Ini berarti bahwa kebijakan menaikkan harga di atas harga
keseimbangan merugikan konsumen sebesar Rp2.800,00. Selanjutnya di pihak produsen, surplus
produsen sebelum ada kebijaksanaan harga meliputi bidang D, E, F, yang nilainya sebesar
Rp1.012,50. Setelah kebijakan harga, surplus produsen meliputi bidang B. D, dan F dengan nilai
Rp2.812,50. Kebijaksanaan harga tersebut telah menguntungkan produsen sebesar (Rp2.812,50 -
Rp1.012,50) = Rp1.800,00. Secara keseluruhan, kebijakan harga tersebut telah merugikan
10
konsumen sebesar Rp2.800,00 dan menguntungkan produsen hanya Rp1.800,00. Ini berarti
kesejahteraan masyarakat berkurang sebesar Rp1.000,00. Perhitungan secara rinci mengenai
akibat kebijakan harga terhadap kesejahteraan masyarakat disajikan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6
Kesejahteraan Masyarakat Sebelum dan Sesudah Kebijakan Harga
Sebelum Kebijakan Setelah Kebijakan
Komponen Nilai Komponen Nilai
(Rp000) (Rp000)
Surplus Konsumen Surplus Konsumen
Luas A : ½(11,50-6,50).500 1250,00 Luas A : ½ (11.50-6,50).500 1.250,00
Luas B : (6,60-2,50).500 2000,00
Luas C : ½ (6,50-2,50)(900-500) 800,00
Jumlah Surplus Konsumen 4.050,00 Jumlah Surplus Konsumen 1.250,00

Surplus Produsen Surplus Produsen


Luas D : (2,50-1,50)500 500,00 Luas B : (6,50-2,50).500 2000,00
Luas E : ½ (2,50-150)(900-500) 200,00 Luas D : (2,50-1,50).500 500,00
Luas F : ½ (1,50-0,25).500 312,50 Luas F : ½ (1.50-0,25).500 312,50

Jumlah Surplus Produsen 1.012,50 Jumlah Surplus Produsen 2812,50


Kesejahteraan Masyarakat 5.062,50 Kesejahteraan Masyarakat 4.062,50

4. Kegagalan Pasar
Satu keadaan pasar yang tidak efisien yang secara keseluruhan disebut kegagalan pasar
Frances M Bator dalam artikeinya berjudul the Anatomy of Ma.xet Failure pada the Ouarterly
Journal of EconemicS, Volume 72, No 3 (Agustus 19958). 351-379 membicarakan kegagalan
pasar ini secara rinci yang pada dasarnya kalau terjadi persaingan yang tidak sempurna baik pada
pasar barang jasa maupun pada pasar faktor, informasi pasar tidak sempurna. barang yang
diperdagangkan berupa barang publik, dan kalau terjadi eksternalitas negatif atau positif. Dasgupta
dan Pearce (dalam Nehen 1978:28) dalam bukunya yang terbit pada tahun 1972 merinci bahwa
pasar disebut gagal kalau terjadi:
1. Persaingan tidak sempurna pada pasar faktor
2. persaingan tidak sempurna pada pasar barang/jasa
3. PENgangguran pada sumber daya alam dan manusia
4. Skala usaha yang makin meningkat pada industri yang sedang dibahas

11
5. Sistem perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah
6. efek ganda pada masalah yang sedang dibicarakan
7. efek eksternal, dan
8. barang yang dibicarakan adalah barang publik (public goods).

Kalau kita telaah satu per satu dari delapan butir ini, maka dalam ekonomi praktis akan
selalu terjadi kegagalan pasar, termasuk dan lebih-lebdih pada ekonomi sumber daya alam dan
lingkungan. Misalnya dalam masalah sumber daya alam, asumsi yang dilanggarmnya antara
lain adalah:
 Barang yang diperdagangkan bukan barang privat, karena hampir semua sumber daya alam
seperti minyak bumi, kehutanan, air dan yang lainnya di Indonesia dikuasai oleh
pemerintah atau dimiliki bersama oleh masyarakat atau pemerintah dan sangat jarang kalau
tidak dapat dikatakan tidak ada sumber daya alam yang merupakan barang privat.
 Kalau sumber daya alam dikatakan sebagai faktor produksi, sudah pasti tidak terjadi
mobilitas pada pasar faktor. Atau dengan kata lain pasar faktor tidak bersifat persaingan.
 Sumber daya alam belum digunakan secara penuh, sehingga masih terjadi pengangguran
dalam sumber daya alam.
 Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, biasanya pernenintah memberikan hak
pengelolaan hanya kepada beberapa pengusaha saja Dalam hal ru bentuk pasar produknya
hanya terdiri dan beberapa perusahaan dan banyak perusahaan kecil-kecil Beberapa
perusahaan besar lu bisa dipimpin oleh satu perusahaan saja, yakni yang paling efisien,
atau bergabung sedangkan perusahaan lainnya mengikuti kebijakan harga perusahaan
besar teisebut Dalam hal ini pasar produknya dapat dikatakan bersital monopoli.

Dalam hal masalah lingkungan, asumsi pasar persaingan yang dilanggarmnya antara lain adalah:
 Asumsi mengenai barang privat. Limbah buangan dari produksi dan dari konsumsi, kalau
pasar limbah tersebut diadakan, bentuk pasarnya seperti pada perdagangan karbon pada
konferensi mengenai perubahan iklim beberapa tahun yang lalu di Nusa Dua. Dalam hal
ini karbon bukanlah barang privat.
 Limbah industri biasanya dianggap mempunyai efek eksternal yang tidak terdapat pada
asumsi pasar persaingan.
 Pajak (ingkungan) merupakan salah satu alat untuk memaksakan pengusaha agar bersedia
menanamkan modalnya untuk menangani masalah Ilmbah yang ditimbulkannya.

Dari asumsi-asumsi yang dilanggar dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan, hanya beberapa saja yang akan dibahas lebih lanjut Sisa dari bab ini akan membahas
pasar monopoli dan barang publik, eksternalitas lingkungan, serta pemberian hak milik pada

12
barang yang sedang dibahas dan akibatnya pada keseimbangan pasar. Kesemuanya ini merupakan
masalah penting dalam ESD&L.

5. Pasar Monopoli dalam Pengelolaan SDA

Di atas telah dikatakan bahwa pemerintah sering memberikan izin pengelolaan sumber
daya alam, katakanlah minyak bumi, batu bara, atau hutan, kepada beberapa perusahaan saja. Satu
atau gabungan dari beberapa perusahaan itu akan menjadi perusahaan penentu harga, sehingga
dalam banyak hal kita dapat mengatakan bahwa bentuk pasarnya adalah monopoli. Berikut ini kita
ambil contoh hipotetis perusahaan minyak bumi Pertamina dan beberapa perusahaan asing sebagai
subkontraktor. Harga ditentukan oleh Pertamina atau oleh pemerintah RI. Perhatikanlah Peraga
2.7 berikut ini sebagai contoh pasar monopoli pada sumber daya alam minyak bumi.
Peraga 2.7 Pasar Monopoli Minyak bumi indonesia

Pada Peraga 2.7 di atas diumpamakan Pemerintah lndonesia memberikan izin monopoli
untuk mengelola minyak bumi kepada Pertamina. la menghadapi kurva permintaan pasar yang
ditunjukkan oleh garis AA1 dengan kurva turunan marginal revenue (MR) AB sedangkan kurva
biaya rata rata dan biaya marjinalnya masing-masing AC dan MC. Bagi Pertamina yang bertujuan
memaksrmumkan laba akan menentukan tingkat produksinya di mana MR = MC, yakni pada titik
0. Pada tingkat produksi sebesar 0Q Pertamina sudah beroperasi dengan pemborosan skalatis
(diseconomies of scale), yang berarti dengan biaya rata-rata yang makin meningkat dan
memaksimumkan laba.
Pada tingkat produksi yang memaksimumkan laba bagi Pertamina ternyata tidak
memberikan keseimbangan permintaan dan penawaran. Permintaannya jauh lebih besar dari pada

13
penawarannya. yakni pada perpotongan antara kurva permintaan (D) dengan kurva penawaran (S)
atau kurva MC. Jumlah dan harga ekuilibrium terjadi pada jumlah Q1 dan P1 yang lebih tinggi dari
jumlah yang memberikan keuntungan maksimum dengan harga yang lebih rendah (P1).
Kebijaksanaan untuk meningkatkan jumlah dan menurunkan harga ini bisa dipaksakan oleh
pemerintah atau biaya dari kebijaksanaan tersebut dibantu oleh pemerintah dalam bentuk subsidi.
Dalam hal ini akan terjadi perpindahan surplus produsen dan Pertamina kepada konsumen minyak
bumi sebesar PP1 kali QQ1. Penentuan jumlah produksi yang bertujuan membuat jumlah
permintaan pasar sama dengan jumlah yang ditawarkan di pasar dikenal dengan istilah marginal
cost pricing. Perlu diperhatikan di sini bahwa pada keseimbangan pasar (MC = D) tidak terjadi
efisien alokatif karena:
 Nilai yang diberikan oleh konsumen (MB) bukan menunjukkan manfaat yang sebenarnya
yang dirasakan oleh produsen yang sama dengan biaya tambahan (MC) baginya.
 Harga yang diterima produsen tidak sama dengan biaya yang dikeluarkan oleh produsen.
Dalam hal ini kebijaksanaan alokasi sumber tidak yang paling efisien, di mana P = MC.
Pada pasar monopoli MC = P (1 + es), di mana es adalah elastisitas harga terhadap
penawaran.
Selanjutnya dengan perkembangan perekonomian sering terjadi kenaikan jumlah minyak bumi
yang diminta oleh masyarakat dengan harga yang tetap atau malah dengan harga yang lebih
rendah. Dalam hal ini pemerintah dapat memaksa pengusaha pemegang monopoli untuk
memproduksikan jumlah yang lebih besar. Keadaan yang mungkin dan sering dilaksanakan oleh
pemerintah dalam hal pasar bersifat monopoli adalah dengan kebijaksanaan yang dikenal dengan
istilah average cost pricing (AC pricing). Dalam hal ini pemerintah menekan Pertamina
(pemegang monopoli) agar menyamakan biaya rata-rata produksinya dengan jumlah yang diminta
konsumen (kurva permintaan). Hal ini terjadi pada jumlah produksi sebesar 0Q2 dan karena
produksi yang lebih besar tersebut Pertamina dapat diharapkan menurunkan harga menjadi pada
P2. Alternatifnya adalah pemerintah yang menanggung kerugian karena kebijaksanaan tersebut
dalam bentuk subsidi kepada Pertamina.

6. Barang Publik Kualitas Lingkungan


6.1. Arti Barang Publik

14
Para ahli ekonomi membedakan barang publik dengan barang privat menurut cirinya,
bukan karena barang tersebut disediakan oleh sektor publik atau sektor swasta. Satu barang publik,
atau istilah teknisnya barang publik murni, adalah setiap barang yang mempunyai dua ciri berikut:
i) Nonrivalness (tidak bersaing dalam konsumsi), dan
ii) Nonexcludability (tidak menolak orang lain untuk ikut menikmati manfaat dari
mengonsumsinya.
Pada ujung ekstrem lainnya adalah barang privat murni, yang didefinisikan sebagai semua
barang yang mempunyai sifat bersaing dan menolak kesempatan orang lain untuk ikut menikmati
manfaat dari mengonsumsinya. Ingat salah satu asumsi dari pasar persaingan yang kita bicarakan
pada Bab 2 adalah bahwa barang yang diperdagangkan adalah barang privat. Jadi yang disebut
barang publik dalam paper ini adalah setiap barang yang tidak bersaing dalam konsumsi dan
memberikan manfaat yang tidak menolak orang lain untuk ikut menikmatinya.

6.2. Ciri-ciri Barang publik


Meskipun sifat tidak bersaing (nonrivalness) dan tidak menolak (nonexcludability) tampaknya
sangat mirip, namun keduanya tidak persis sama. Cara membedakannya adalah sebagai berikut.
Tidak bersaing (nonrivalness) berarti pembagian barang tersebut tidak dikehendaki, sedangkan
tidak menolak (nonexcludability) berarti pembagian barang tersebut tidak layak. Satu barang
mungkin saja memiliki satu sifat dan tidak memiliki sifat lainnya. Perhatikan dengan baik masing-
masing sifat dari contoh yang diberikan di atas. Sementara penyiaran Piala Dunia Sepak Bola
merupakan barang yang bersifat tidak bersaing (nonrival), namun dapat dibuat bersifat menolak
(nonexcludable) melalui siaran kabel hanya untuk mereka yang telah membayar langganan dan
meniadakan kemungkinan untuk orang lain.Demikian juga halnya untuk lintasan jogging,
sementara dia bersifat tidak menolak (nonexcludable), ia tidak mempunyai sifat tidak bersaing
(nonrivalry). Pemakaian lintasan oleh makin banyak pejalan kaki akan menimbulkan kemacetan
yang akan mempengaruhi setiap pemakai lintasan jogging tersebut.
Ada dua barang publik yang selalu dirujuk dalam literatur, yakni mercu suar (light house) dan
keamanan nasional. Layanan yang diberikan oleh kedua barang tersebut memberi manfaat yang
tidak bersaing dan tidak menolak. Contoh yang lebih baru dan relevan untuk masalah kita dalam
buku ini mengenai barang publik adalah kualitas lingkungan. Seperti pada mercu suar, kota

15
Denpasar yang lebih bersih, pantai di Bali yang lebih bersih, atau udara yang lebih bersih
mempunyai sifat tidak menolak (nonexcludable) maupun tidak dapat dibagi (indivisible).
Bayangkan ketidakmungkinan untuk membatasi manfaat dari udara yang lebih bersih untuk satu
orang saja. Sama sekali tidak terbayangkan bahwa orang lain dapat dilarang untuk menghirup
udara yang lebih bersih hanya karena seseorang telah membayarnya. Lagi pula, sekali udara dibuat
lebih bersih untuk seseorang, setiap orang lainnya dapat dalam waktu yang sama menikmati
manfaat menghirup udara yang lebih bersih tersebut.
Dengan telah menerima konsep kualitas lingkungan sebagai barang publik, kita perlu
menjelaskan mengapa setiap barang publik merupakan kegagalan pasar. Untuk maksud inibkita
harus membicarakan model pasar (permintaan dan penawaran) barang publik terlebih dahulu.

6.3. Memodel Pasar Barang Publik Kualitas Lingkungan


Karena sifatnya yang tidak bersaing dan tidak menolak dari barang publik inilah yang
menyebabkan sistem pasar tidak dapat bekerja secara wajar. Untuk menunjukkan hal ini kita perlu
membuat model penawaran dan permintaan terhadap barang publik. Kita memakai kasus (contoh)
barang publik kualitas udara di kota Denpasar. Sama seperti pada pasar persaingan barang privat
yang telah dibicarakan pada Bab 2, keseimbangan pasar barang publik tergantung pada adanya
fungsi permintaan dan penawaran. Untuk memperoleh fungsi permintaan dan penawaran kualitas
udara, kita perlu mengadakan sedikit perubahan sehingga barang yang diperjualbelikan dapat di
kuantifikasi. Untuk kepentingan itu, kualitas udara dapat diartikan sebagai “tingkat pengurangan
polusi yang dapat diterima” yang dalam hal ini diumpamakan berupa persen pengurangan sulfur
dioksida (SO2) tertentu.
(i) Penawaran Pasar Kualitas Udara
Cara memperoleh fungsi penawaran barang publik hampir sama dengan cara yang telah
dibicarakan pada bab sebelumnya mengenai barang privat. Diumpamakan ada beberapa produsen,
masing-masing sanggup dan bersedia menyediakan berbagai keputusan pengurangan SO2 pada
tingkat harga yang berbeda, c.p. Jumlah semua keputusan dari beberapa produsen ini akan
membentuk penawaran pasar. (Persis sama seperti pada barang privat).
Tabel 2.7

16
Data Hipotetis Mengenai Penawaran Pasar Kualitas Udara di Denpasar Yang Dinyatakan
Sebagai Persentase Pengurangan SO2 Per Tahun
Jumlah Penawaran (Qs) Harga Penawaran Pasar
(% pengurangan SO2) P = 4 + 0,75Qs
(juta Rupiah)
0 4,00
5 7,75
10 11,50
15 15,25
20 19,00
25 22,75
30 26,50

Skedul penawaran beberapa produsen tersebut diumpamakan seperti pada Tabel 2.7. Harga
(P) dinyatakan dalam jutaan rupiah, jumlah yang ditawarkan (QS) dinyatakan dalam persentase
pengurangan SO2. Persamaan dari data pada tabel itu adalah
Penawaran Pasar: P = 4 + 0,75 QS

(ii) Permintaan Pasar Kualitas Udara


Model permintaan untuk barang publik sangat berbeda dengan untuk barang privat. Pada
barang privat, permintaan pasar diperoleh dengan penjumlahan horizontal dari permintaan masing-
masing konsumen. Seolah-olah masing-masing konsumen ditanya “berapa jumlah barang yang
akan dikonsumsi pada harga tertentu?” Pertanyaan yang demikian ini tidak cocok untuk barang
publik (yang dalam hal ini kualitas udara di Denpasar), karena begitu barang publik diproduksi
maka barang tersebut tersedia dalam jumlah yang sama untuk setiap konsumen. Ini berarti
jumlahnya bukan merupakan variabel. Lalu bagaimana pennintaan pasar untuk kualitas udara di
Denpasar ditentukan?
Karena harga barang publik yang menjadi variabel sedangkan jumlah tidak, maka pertanyaan
yang relevan dalam menentukan permintaan adalah “berapa harga yang sanggup dibayar
konsumen untuk masing-masing jumlah tertentu?" Secara teori, setiap konsumen harus
menyatakan kesanggupan membayar (WTP = willingness to pay) tertentu atas barang publik
berdasarkan manfaat yang diharapkan dari mengonsumsinya. Sama seperti pada barang privat,
permintaan pasar untuk barang publik adalah jumlah permintaan dari semua konsumen di pasar.
Ia diperoleh melalui penjumlahan permintaan semua individu secara vertikal untuk memperoleh
harga pasar (P = ∑p) pada setiap jumlah permintaan pasar (Q) tertentu, c.p.

17
Untuk memberikan gambaran mengenai permintaan pasar pengurangan SO2 , kita mulai
dengan dua orang konsumen saja. Caranya, seperti biasa, dengan mengadakan survei, tanyakan
kepada kedua konsumen tersebut berapa yang mereka sanggup bayar per tahun untuk berbagai
tingkat pengurangan SO2. c.p. Hasil survei hipotetis ini disajikan pada Tabel 3.2. Kolom jumlah
yang diminta menunjukkan berbagai tingkat pengurangan polusi yang disediakan untuk semua
konsumen. Harga permintaan atau WTP yang diberikan oleh responden diberi tanda p1 dan p2
masing-masing untuk konsumen satu dan konsumen dua. Jawaban konsumen ini didasarkan atas
persamaan berikut (kebalikan dari fungsi permintaan, harga sebagai variabel tergantung):
Konsumen 1: p1 = 10 - 0,1 Qd
Konsumen 2: p2 = 15 - 0,2 Qd

Tabel 2.8
Data Permintaan Hipotetis pada Pasar barang Publik Kualitas Udara (dalam % Pengurangan
Sulfur Dioksida (SO2) per Tahun di Kota Denpasar
Jumlah Qd WTP Konsumen 1 WTP Konsumen 2 Permintaan K1+K2
(% pengurangan SO2) P=10-0,1Qd (Rp) P=15-0,2Qd (Rp) P1+P2=25-0,3Qd (Rp)
0 10,00 15,00 25,00
5 9,50 14,00 23,50
10 9,00 13,00 22,00
15 8,50 12,00 20,50
20 8,00 11,00 19,00
25 7,50 10,00 17,50
30 7,00 9,00 16,00
WTP= willingness to pay (kesediaan membayar) K1 = konsumen 1, K2 = konsumen 2
Perhatikan bahwa respons masing-masing konsumen untuk jumlah (Qd) tertentu berbeda
satu sama lain. Sebagai contoh, untuk pengurangan SO2 sebesar 5%, Konsumen 1 sanggup
membayar Rp9,50, sedangkan konsumen 2 sanggup membayar Rp14,00 per tahun. Perbedaan
respons ini disebabkan oleh perbedaan penghasilan, kekayaan, preferensi dan lain-lain. Dalam
konteks ini, kita mungkin berharap bahwa dua konsumen ini mempunyai preferensi yang berbeda
terhadap kualitas udara dan malah pandangan yang berbeda tentang keuntungan yang

18
ditimbulkannya. Sebagai contoh, WTP konsumen 2 lebih tinggi karena ia adalah anggota
kelompok pemerhati lingkungan dan lebih sadar akan manfaat udara bersih.
Untuk memperoleh jumlah permintaan kedua konsumen, harga masing-masing individu
dijumlahkan pada setiap tingkat kuantitas. Kolom paling kanan pada Tabel 2.8 memberikan hasil
penjumlahan tersebut. Persamaan aljabarnya diperoleh dengan menjumlahkan setiap suku di
sebelah kanan persamaan:

𝐏𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐞𝐧 𝟏: 𝐩𝟏 = 𝟏𝟎 − 𝟎, 𝟏 𝐐𝐝
𝐏𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐞𝐧 𝟐: 𝐩𝟐 = 𝟏𝟓 − 𝟎, 𝟐 𝐐𝐝
+
𝐏𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐞𝐧 (𝟏 + 𝟐): 𝐩𝟏 + 𝐩𝟐 = 𝟐𝟓 − 𝟎, 𝟑 𝐐𝐝

Model grafis dari persamaan permintaan konsumen 1 dan 2 disajikan pada Peraga 2.8.
Untuk juniah tertentu pada kuwa permintaan gabungan (d1 dan d2), harganya diperoleh melalui
penjumlahan vertikal harga yang dinyatakan oleh masing-masing konsumen pada iumlah yang
sama pada kurva permintaan (d1 dan d2).

Peraga 2.8
Permintaan dari Dua Konsumen Terhadap Kualitas Udara di Denpasar
Rp(juta)
25,00

22,00
15,00

13,00

10,00 d1+d2
9,00
d1
Dengan prosedur umum ini, kita sekarang
d2 dapat membuat permintaan pasar dengan
mengumpamakan bahwa jumlah permintaan dari dua konsumen di atas merupakan keputusan bagi
0 10 Q (% pengurangan SO2)
satu juta konsumen. Perhatikan bahwa sekarang harga (P) adalah dalam jutaan Rupiah seperti yang
ditunjukkan pada skala fungsi penawaran pasar di atas. Fungsi permintaannya adalah:

Permintaan Pasar: P = 25 - 0,3 Qd

(iii) Keseimbangan Pasar Kualitas Udara

19
Untuk memperoleh keseimbangan pasar pengurangan SO2 kita harus menggabungkan data
penawaran dan permintaan pasar yang teIah kita peroleh dan penggabungan tersebut disajikan
pada Tabel 2.9.
Dapat dibaca dari Tabel 2.9 bahwa Qe adalah 20 persen, satu tingkat di mana harga
penawaran sama dengan harga permintaan Rp19 juta (Pe). Hasil ini dapat juga diperoleh dengan
pemecahan secara simultan persamaan untuk permintaan pasar dan penawaran pasar. Model
grafiknya disajikan pada Peraga 2.8 di mana tampak bahwa perpotongan kurva penawaran (S)
dengan kurva permintaan (D) pada Pe dan Qe
Tabel 2.9
Data Permintaan dan Penawaran Pasar Hipotetis Kualitas UDARA di Denpasar (dalam %
pengurangan SO2 per tahun)

Menentukan Pe dan Qe untuk setiap jenis pengurangan polusi merupakan hasil yang penting
dan hasil yang demikian inilah yang sesungguhnya dikehendaki oleh para ahli ekonomi. Perhatikan
Peraga 2.9 bahwa Qe menunjukkan tingkat pengurangan polusi yang efisien atau optimum,
diukur dari kiri ke kanan dan secara implisit berarti tingkat polusi yang optimum diukur dari
kanan ke kiri. Seperti tampak pada peraga, tingkat optimum pengurangan SO2 berada tidak pada
titik nol. Pengurangan polusi dari tingkat 100% sampai nol akan memerlukan biaya oportunitas
yang terlalu tinggi. Biaya oportunitas ini meliputi pengorbanan atas semua produksi dan konsumsi
untuk semua jenis barang, berapa pun jumlah polusi yang ditimbulkan. Dengan teknologi yang ada
sekarang ini, dunia dengan tingkat polusi nol berarti satu dunia tanpa listrik, tanpa sistem
transportasi modern, dan tanpa hampir semua barang manufaktur. Jadi tampaknya tidak masuk
akal untuk mengurangi semua pencemar udara di Denpasar.

20
Peraga 2.9
Permintaan dan Penawaran Pasar Kualitas Udara (% pengurangan SO2) di Denpasar

Rp juta

25,00 S

19,00

0
Qe=20 Q (% pengurangan SO2)

(iv) Kegagalan Pasar Barang Publik Kualitas Udara


Pencapaian hasil yang efisien alokatif pada barang publik, sama halnya seperti pasar barang
privat, tergantung pada adanya fungsi penawaran dan permintaan yang jelas. Meskipun kedua
fungsi pasar hipotetis kualitas udara di Denpasar telah dibuat, permintaan pasarnya hanya
teridentifikasi dengan satu asumsi bahwa konsumen menyatakan kesediaan membayar (WTP)
pengurangan SO2, Namun sifat tidak menolak untuk kualitas udara bersih di Denpasar atau setiap
barang publik lainnya akan sangat sulit atau sama sekali tidak mungkin untuk memperoleh
informasi kesedlaan membayar semacam ini. Kalau kesediaan membayar konsumen tidak
diketahui, permintaan pasar tidak dapat dirumuskan, dan sudah dengan sendirinya hasil yang
efisien tidak dapat diperoleh. Ketidakmampuan merumuskan WTP untuk barang publik inilah
sesungguhnya yang menimbulkan kegagalan pasar.
Untuk lebih jelas. perhatikanlah arti permintaan dalam konteks barang privat dilawankan
dengan permintaan terhadap barang publik. Pada umumnya permintaan pasar mampu
memasukkan seluruh nilai manfaat harapan dari konsumsi. Apabila pasarnya bersifat privat, yang
mempunyai sifat menolak (excludable), manfaatnya hanya dapat diperoleh melalui pembelian.
Kesediaan konsumen untuk membayar barang privat merupakan pendekatan (proxy) yang tepat
untuk manfaat marjinal dari mengonsumsi barang tersebut. Dalam hal barang publik, yakni yang
bersifat tidak menolak (nonexcludable), konsumen dapat memakai bersama meskipun orang lain

21
telah membelinya. Oleh karenanya tidak ada insentif bagi konsumen yang rasional untuk secara
sukarela bersedia membayar satu barang di mana tanpa membayar pun mereka dapat
mengonsumsinya. Secara formal, masalah ini dikenal sebagai preferensi yang nonrevelation, yang
pada gilirannya tergantung pada dilema yang lebih mendasar, yakni penumpang bebas (free
ridership). Konsumen yang rasional mengetahui dengan pasti bahwa manfaat dari satu barang
publik dapat diperoleh hanya dengan menyuruh orang lain membelinya. Jadi konsumen menjadi
penumpang bebas (freerider).
Preferensi individual terhadap barang publik tetap tidak diketahui, dan oleh karenanya
permintaan tidak dapat dirumuskan. Akibatnya bisa berupa kerusakan lingkungan yang parah.
Pasar untuk barang publik tidak dapat dirumuskan. Apabila barang publik tersebut berupa kualitas
lingkungan dan kita hilangkan asumsi yang konvensional mengenai informasi yang sempurna,
modelnya akan menjadi lebih realistik, identifikasi dari permintaan pasar malah menjadi lebih
kabur. Pada banyak barang publik, konsumen tidak sepenuhnya sadar akan manfaat dari
mengonsumsi barang publik tersebut. Ini merupakan kasus umum pada kualitas lingkungan.
Kebanyakan orang tidak mengetahui banyak tentang manfaat terhadap kesehatan, rekreasi, dan
keindahan yang diakibatkan oleh pengurangan polusi. Jadi meskipun konsumen didorong untuk
mengatakan kesediaan membayar lingkungan yang lebih bersih, kelihatannya mungkin sekali kita
akan mendapatkan harga permintaan yang terlalu rendah untuk menilai manfaat sebenarnya.
Kerumitan tambahan ini disebabkan oleh informasi yang tidak sempurna, yang kalau kita tinjau
kembali asumsi untuk pasar persaingan, informasi yang tidak sempurna ini merupakan kegagalan
pasar yang lain.

(v) Campur Tangan Pemerintah dalam hal Barang Publik


Kekuatan pasar saja tidak dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif atau tidak mampu mencapai
kesejahteraan maksimum dalam hal barang publik. Ini merupakan alasan penting untuk
membenarkan masuknya pihak ketiga, terutama campur tangan pemerintah. Namun sampai sejauh
mana pemerintah campur tangan dalam proses pasar dan tugas apa yang diemban pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat supaya mencapai maksimum, bukanlah hal yang mudah.
Teori yang mendasari campur tangan pemerintah ini adalah dengan mengetahui masalah barang
publik akan memberi petunjuk mengenai pemecahannya.
Dalam praktek, kebijakan umum yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi dilema
penumpang bebas dan preferensi yang nonrevelation, antara lain, adalah:

22
 Menyediakan sendiri barang publik secara langsung. Barang publik yang umum
disediakan oleh pemerintah misalnya pemadam (proteksi terhadap) kebakaran, taman
nasional, jalan raya, keamanan, penerangan di jalan, mercu suar, dan lain-lain.
 Melaksanakan dan menjaga kualitas lingkungan, misalnya dengan menyediakan
pasukan baju kuning untuk membersihkan kota.
 Mengundangkan peraturan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, misalnya
membuat aturan mengenai pedoman advertensi ekolabeling (yang berkaitan dengan
masalah lingkungan) sehingga advertensi dari perusahaan tidak menipu masyarakat.
Secara umum dikatakan mengeluarkan petunjuk mengenai pemasaran hijau (green
marketing) lihat Green marketing di Indonesia di internet.
 Melancarkan pendidikan dan penerangan kepada masyarakat mengenai pelestarian
lingkungan, misalnya memisahkan sampah organik dengan nonorganik, menyarankan
dan memelopori penanaman sejuta pohon, dan lain-lainnya.

7. Eksternalitas Lingkungan
Pada contoh di atas mengenai barang publik dikatakan bahwa banyak sampah dibuang secara
sembarang di pinggir jalan, di pantai dan di sungai atau secara ringkas di mana-mana, atau,
singkatnya telah terjadi masalah lingkungan di Denpasar dan di pantai di Bali. Kita tidak
mempermasalahkan siapa yang membuat kotor, dan merekalah seharusnya menanggung biaya
pemulihan kelestarian kota dan pantai. Dalam masalah eksternalitas lingkungan kita
mempertanyakan siapa yang mengotorinya.
Agar lebih jelas permasalahannya, perhatikanlah contoh berikut ini. Beberapa tahun yang lalu,
di sebelah selatan kota Denpasar, yakni di desa Kepaon berdiri banyak perusahaan garmen.
Perusahaan tersebut dengan sadar membuang limbah garmennya begitu saja di sungai. Akibat dari
limbah garmen tersebut adalah bahwa sungai menjadi tercemar. Masyarakat Kepaon yang
memakai sungai tersebut untuk aktivitas mandi, cuci dan lainlainmya mengajukan keberatan.
Mereka mengatakan bahwa mandi di sungai yang telah dicemari oleh zat pewarna untuk garmen
itu telah menyebabkan mereka gatal-gatal dan kalau hal ini berlaku untuk jangka waktu yang lama,
maka tidak mustahil kalau mereka akan menderita penyakit tertentu. Demikian juga halnya dengan
kesehatan ikan di sungai tersebut. Secara singkat kelestarian sungai harus dijaga oleh kita semua
termasuk pemilik perusahaan garmen.

23
Limbah yang dikeluarkan oleh perusahaan garmen tersebut adalah akibat eksternal dari
produksi garmen. Masyarakat menanggung beban biaya dari akibat eksternal tersebut dan
perusahaan garmen tidak memasukkannya ke dalam perhitungan biaya memproduksi garmen yang
pada akhirnya diperhitungkan dalam menentukan harga garmen. Istilah ekonominya adalah
perusahaan tidak menginternalisasi biaya eksternal yang ditimbulkan oleh produksi garmennya.
Atau telah terjadi eksternalitas, yang merupakan bahan bahasan kita pada sisa dari bab ini.

7.1.Teori Ekstemalitas
Eksternalitas diartikan sebagai setiap pengaruh samping dari produksi atau konsumsi yang
dirasakan oleh pihak ketiga di luar pasar. Menurut teori ekonomi mikro harga merupakan
mekanisme sinyal penting dalam proses pasar. Harga keseimbangan menunjukkan nilai marjinal
yang diberikan oleh konsumen dari pemakaian barang dan biaya marjinal yang harus ditanggung
oleh perusahaan dalam memproduksikan barang dimaksud. Dalam keadaan biasa, teori ini dapat
memprediksi realitas pasar dengan baik. Namun terdapat banyak keadaan di mana harga gagal
merefleksikan semua manfaat dan biaya yang terkait dengan transaksi pasar. Kegagalan pasar ini
muncul ketika pihak ketiga dipengaruhi oleh produksi atau konsumsi satu barang. Apabila
pengaruh kepada pihak ketiga ini mengakibatkan timbulnya biaya, maka pengaruh ini disebut
eksternalitas negatif. Sedangkan pengaruh kepada pihak ketiga yang bermanfaat disebut
eksternalitas positif.
Eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Walaupun kata eksternalitas tampaknya
tidak begitu jelas maknanya, namun istilah ini sudah sangat biasa secara konseptual. Misalnya
apabila seorang membeli piringan satelit yang tidak terlihat dan memasangnya di halaman
rumahnya, perbuatan tersebut menimbulkan biaya bagi tetangganya berupa penurunan nilai rumah
dan tanahnya, satu eksternalitas negatif yang tidak dimasukkan pada harga piringan satelit. Contoh
kita di atas mengenai perusahaan garmen yang membuang limbah pewarna produksi garmennya
adalah contoh lain dari satu eksternalitas negatif. Sebaliknya apabila satu perusahaan
melaksanakan penelitian yang meningkatkan proses produksi, akan timbul manfaat bagi seluruh
perusahaan pada industri terkait. Ini merupakan eksternalitas negatif yang tidak dimasukkan pada
biaya penelitian keputusan investasi. Satu perusahaan peternakan tawon mempunyai eksternalitas
positif kepada semua perkebunan tetangganya, karena tawonnya mengakibatkan perusahaan
perkebunan tetangganya mendapat hasil panen lebih. Aktivitas tawon ke perusahaan perkebunan
tetangganya tidak dimasukkan (dikurangkan) dalam harga produksi madunya.

24
Pada semua contoh di atas, bahwa pengaruh samping yang terjadi di luar transaksi pasar
tidak direfleksikan pada harga barang yang diperdagangkan. Apabila harga tidak merefleksikan
semua manfaat dan biaya Yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi, maka harga tersebut
tidak dapat dipercaya sebagai mekanisme yang memberi sinyal, dan oleh karenanya pasar
dikatakan gagal. Akibat terpenting adalah terjadi alokasi sumber daya yang salah (misallocation
of resources) Apabila konsumsi menimbulkan eksternalitas positif, harga pasar menilai barang
terlalu rendah, dan terlalu sedikit barang yang diproduksi. Apabila terjadi eksternalitas negatif,
harga pasar tidak merefleksikan baya eksternal, dan terlalu banyak barang yang diproduksi Satu
contoh khas mengenai eksternalitas negatif yang timbul di hampir semua kota besar (termasuk
Denpasar) di mana makin banyak perusahaan mempraktekkan jasa antaran sehingga
mengakibatkan kemacetan terjadi dl mana-mana, dan biaya tambahan yang diakibatkannya tidak
dimasukkan pada harga barang amarahnya. Hal ini dikenal dengan efek samping dari pemakaian
prinsip manajemen just in time (JIT).
Ekstemalitas Lingkungan. Eksternalitas yang terjadi pada produksi garmen di desa Kepaon
(Selatan Denpasar) adalah eksternalitas yang merusak sumber daya air (sungai) persediaan air dan
kualitas hidup. lni adalah kasus klasik yang berkaitan dengan proses produksi, Contoh lain adalah
transportasi udara yang menimbulkan polusi udara, merusak kualitas udara, dan menurunkan nilai
kekayaan penduduk di sekitarnya. Ia merupakan biaya riil dan tidak tercakup dalam biaya
perusahaan garmen atau perusahaan penerbangan untuk kasus yang kedua. Oleh karena biaya ini
ditanggung oleh pihak yang berada di luar transaksi pasar, maka ia tidak dimasukkan dalam
perhitungan biaya garmen dan harga tiket pesawat.
Di samping eksternalitas lingkungan yang berkaitan dengan produksi ada juga eksternalitas
lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi. Misalnya, perusahaan sabun Lux menjual hasil
produksinya yang berupa sabun mandi yang, sebagaimana anda ketahui, dibungkus. Pembungkus
sabun Lux itu dibuang oleh konsumen dan mengotori lingkungan. Ia adalah eksternalitas
lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi.
Contoh mengenai pesawat udara, perusahaan garmen dan perusahaan sabun Lux di atas
adalah eksternalitas negatif. Perlu diketahui bahwa ada juga eksternalitas positif yang membantu
menjelaskan mengapa masalah lingkungan tetap ada. Satu contoh adalah pasar peralatan untuk
mengurangi polusi udara, namanya scrubber. Scrubber adalah sistem yang canggih untuk
membersihkan udara dari cerobong asap produsen. Bila seorang produsen, misalnya, membeli dan

25
memasang scrubber, manfaat dari udara lebih bersih dinikmati oleh seluruh penduduk sekitarnya.
Oleh karena mereka bukanlah yang ikut serta dalam transaksi pasar, maka manfaat eksternal tidak
diperhitungkan dalam sistem penentuan harga scrubber. Sumber daya dialokasikan dengan salah
dan terlalu sedikit scrubber yang diperjualbelikan di pasan
Eksternalitas lingkungan adalah sesuatu yang mempengaruhi semua media lingkungan
udara, air, dan tanah yang kesemuanya mempunyai sifat sebagai barang publik. Artinya adalah
bahwa walaupun barang publik seperti yang dibicarakan sebelumnya dan eksternalitas lingkungan
bukan merupakan konsep yang sama, keduanya sangat terkait satu sama lainnya. Kenyataannya,
apabila eksternalitas mempengaruhi sebagian besar masyarakat dan apabila pengaruhnya bersifat
nonrival dan nonexcludable, maka eksternalitas itu adalah barang publik. Contoh yang dipakai
sebelumnya adalah kota Denpasar yang penuh dengan sampah hasil produksi dan konsumsi, dan
pantai di Bali yang kotor. Namun, apabila pengaruh eksternal dirasakan hanya oleh sebagian kecil
kelompok individu atau perusahaan, maka pengaruh tersebut lebih tepat disebut sebagai satu
eksternalitas. Contoh perusahaan garmen yang membuang limbah pewarnanya di sungai. Jadi,
sebagai ganti dari perumusan pasar kualitas lingkungan atau pengurangan polusi (SO2)
sebagaimana dibicarakan sebelumnya, sekarang ini pendekatan kita memakai pasar barang yang
relevan, yakni garmen, di mana produksinya menyebabkan kerusakan lingkungan di luar transaksi
pasar.

7.2.Memodel Kerusakan Lingkungan Sebagai Eksternalitas Negatif


Dengan telah dibahasnya konsep dasar eksternalitas, marilah kita sekarang membuat model
formal untuk eksternalitas lingkungan yang bersifat negatif. Kita akan memakai contoh kasus desa
Kepaon di mana banyak perusahaan garmen berdiri dan membuang limbah produksinya ke sungai.
Eksternalitas ini berkaitan dengan produksi dan eksternalitas semacam um membahas sumber dari
kebanyakan polusi lingkungan.
Langkah awal dari setiap model ekonomi adalah menentukan pasar yang relevan. Dalam
hal ini kita memilih pasar produk garmen. Usaha garmen sangat maju di Bali dan ia merupakan
salah satu sumber industri yang mencemari sumber persediaan air (sungai) melalui pembuangan
langsung bahan kimia (beracun) ke sungai. Biaya eksternal yang ditimbulkan limbah ini antara
lain risiko kesehatan bagi ikan dan juga bagi pemakai sungai.

26
Selanjutnya kita mengikuti prosedur pembicaraan pada Bab 2 dengan mengumpamakan
bahwa pasar privat untuk garmen adalah pasar persaingan. Persamaan penawaran dan permintaan
pasar hipotetis untuk garmen adalah:
Penawaran Pasar: P = 10,0 + 0,075 Q
Permintaan Pasar: P = 42,0 - 0,125 Q
di mana Q dinyatakan dalam ton per hari dan P adalah harga per ton garmen dalam jutaan rupiah.
Perlu diingat bahwa penawaran menunjukkan biaya marjinal produksi dan permintaan
menunjukkan manfaat marjinal konsumsi. Keduanya merupakan masalah pengambilan keputusan
privat atau internal. Di pasar seperti ini di mana timbul juga biaya eksternal produksi (limbah zat
pewarna kain garmen), maka sangat perlu untuk membedakan dengan tegas biaya internal atau
privat dari biaya eksternal. Jadi secara tegas menyatakan fungsi penawaran seperti tertulis di atas
sebagai fungsi produksi marjinal privat (MPC = marginal private cost). Untuk konsistensi, kita
juga menyebut fungsi permintaan di atas sebagai fungsi manfaat marjinal privat (MPB = marginal
private benefit). Kita mengumpamakan tidak ada manfaat eksternal yang disebabkan oleh produksi
ataupun konsumsi garmen. Dengan demikian kedua fungsi di atas dapat ditulis kembali sebagai:

MPC: P = 10,0 + 0,075 Q


MPB: P = 42,0 - 0,125 Q
Keseimbangan Kompetitif Tidak Efisien. Dengan mengingat asumsi umum yang melandasi
motivasi penawaran dan permintaan adalah MPB = MPC, atau Mπ atau (MPB-MPC) = 0. Dengan
menyelesaikan dua persamaan di atas secara simultan maka diperoleh harga keseimbangan pasar
persaingan, Pc, Rp22 per ton dan jumlah Qc = 160.000 ton. Penyajian secara grafis diberikan pada
Peraga 2.10, di mana keseimbangan terjadi pada perpotongan antara kurva MPB dan MPC.

27
Gambar 2.10
Keseimbangan Pasar Garmen di Bali

Tingkat keseimbangan ini tidak mempertimbangkan biaya eksternal yang ditanggung oleh
masyarakat karena produksi garmen mengakibatkan air sungai tercemar. Ingat bahwa kekuatan
pasar yang alami memotivasi perusahaan untuk memenuhi keinginannya, bukan untuk memenuhi
keinginan masyarakat. Biaya pencemaran air sungai berada di luar pasar dan oleh karenanya tidak
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan pasar. lni berimplikasi serius karena efisiensi
alokatif mensyaratkan manfaat marjinal sama dengan semua biaya produksi marjinal. Selama
biaya eksternal tidak dimasukkan dalam pengambilan keputusan privat, maka MPC lebih rendah
dari biaya oportunrtas produksi, dan jumlah output yang diproduksikan menjadi terlalu banyak.
Dari perspektif praktis, para ekonom ingin menentukan dan menghargai biaya eksternal ini
dalam ukuran moneter. Namun menentukan nilai moneter dari eksternalitas negatif tidaklah
mudah. Bayangkanlah usaha untuk memberi harga dalam bentuk uang terhadap kerusakan
kehidupan ikan dalam air sungai yang tercemar atau meningkatnya risiko kesehatan dari
mandi/berenang di sungai yang tercemar. Walaupun ada metode untuk menaksir biaya ini cara
tersebut tidaklah mudah. Untuk keperluan kita sekarang ini, kita cukup mengatakan bahwa biaya
itu muncul dan diumpamakan dapat di kuantifikasi.
Memodel Biaya Eksternal. Untuk melengkapi pembicaraan kita mengenal pasar garmen di
Bali, kita akan membuat model untuk fungsi biaya eksternal marjinal (MEC = marginal extemal
cost) yang diumpamakan seperti berikut:
MEC = 0,05 Q.
Arti ekonomis dari persamaan ini adalah bahwa MEC yang disebabkan oleh pencemaran air sungai
meningkat dengan kecepatan tetap sebesar 0,05 dari produksi garmen. Oleh karena Q diukur dalam

28
ribuan ton, ini berarti bahwa setiap ada tambahan seribu ton produksi garmen, biaya eksternal
marjinal dari pencemaran meningkat dengan Rp0,5 juta per ton produksi garmen.
Biaya Sosial Marjinal dan Manfaat Sosial Marjinal. Untuk mencapai efrsiensi alokatif,
biaya eksternal harus diperhitungkan dalam penentuan harga dan jumlah keseimbangan. Caranya
adalah dengan jalan menjumlahkan MEC pada MPC untuk memperoleh biaya sosial marjinal
(MSC = marginal social cost), atau ditulis dalam persamaan berikut:

MSC = MPC + MEC


= 10,0 + 0,075 Q +0,05 Q
= 10,0 + 0,125 Q.
MSC ini relevan dengan keputusan produksi, karena ia meliputi seluruh biaya dalam memproduksi
garmen, yakni meliputi biaya produksi privat dan biaya eksternal karena kerusakan lingkungan
yang ditanggung oleh masyarakat. Hal yang serupa pada sisi permintaan adalah manfaat sosial
marjinal (MSB = marginal social benefit), yang merupakan penjumlahan dari MPB dan manfaat
eksternal marjinal (MEB = marginaI external benefit). Namun kita telah mengumpamakan bahwa
tidak ada eksternalitas positif yang dihasilkan oleh perusahaan garmen, sehingga MEB = 0 dan
MSB = MPB.
Keseimbangan Sosial. Langkah selanjutnya adalah menyamakan fungsi MSB dengan
MSC, sehingga diperoleh harga dan jumlah keseimbangan sosial. Keseimbangan sosial ini adalah
keseimbangan yang efrslen. Dengan memecahkan kedua fungsi itu secara simultan maka kita akan
memperoleh tingkat produksi garmen yang eflsien sebesar 128.000 ton per hari (ditulis Qe =
128.000 ton) yang dijual pada harga pasar Rp26 juta per ton (ditulis Pe : Rp26). Jadi sekarang kita
mempunyai keseimbangan persaingan, yakni Pc = Rp22 dan Q = 160.000 ton, dan keseimbangan
sosial (efisien), yakni Pe = Rp26 dan Qe = 128.000 ton. Kedua keseimbangan ini disajikan dalam
satu diagram pada Peraga 2.11.
Sebagaimana dikatakan bahwa keseimbangan persaingan dalam keadaan adanya
eksternalitas negatif akan selalu mengakibatkan alokasi sumber yang berlebihan pada produksi.
Lagi pula, harga pasar persaingan adalah terlalu rendah, oleh karena MEC tidak dimasukkan dalam
transaksi pasar.
Oleh karena pada Peraga 2.11 biaya digambarkan pada sumbu vertikal, secara geometri,
kurva MSC diperoleh melalui penjumlahan vertikal kurva MEC dan kurva MPC. Perpotongan
kurva MSC dengan MSB menghasilkan keseimbangan yang efrsien pada P e= Rp26 dan Qe=

29
128.000 ton produksi garmen. Grafik pada Peraga 2.11 juga menunjukkan keseimbangan
persaingan pada Pc = Rp22 dan Qc =160.000 ton produksi garmen, yang merupakan titik potong
antara kurva MPC dan kurva MPB. Perhatikan bahwa pada Qc kurva MSB berada di bawah kurva
MSC. Ini berarti bahwa masyarakat mengorbankan terlalu banyak sumber daya untuk
memproduksi produk garmen dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari konsumsi produk
garmen tersebut. Untuk memulihkan agar MSB = MSC, yang berarti dicapai efisien alokatif,
produksi harus diturunkan menjadi 128.000 ton.
Peraga 2.11
Keseimbangan Privat dan Sosial pada Industri Garmen di Denpasar

Cara lain untuk memperoleh kedua keseimbangan tersebut adalah dengan melalui laba
marjinal (Mπ). Pada keseimbangan persaingan, kita tahu bahwa Mπ = 0, karena tingkat ini
ditentukan pada MPB = MPC, sedangkan tingkat keseimbangan yang efisien ditetapkan pada MSB
= MSC, yang dapat juga ditulis sebagai MSB - MSC = 0, atau ekuivalen dengan MPB - MPC =
MEC. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada tingkat keseimbangan efisien, Mπ = MEC. Cara
mencarinya adalah sebagai berikut:
Keseimbangan persaingan terjadi MPB = MPC
MPB - MPC = 0
Mπ = 0
Keseimbangan efisien terjadi MSB = MSC

30
MPB + MEB = MPC + MEC

MPB - MPC = MEC (karena MEB : 0)

Mπ = MEC.

Interpretasi dari temuan bahwa Mπ = MEC adalah sebagai berikut. Dalam keadaan di mana
terdapat eksternalitas negatif, efisiensi mensyaratkan bahwa perusahaan menentukan tingkat
produksinya sedemikian rupa sehingga harga dapat menutupi tidak hanya tambahan biaya privat
tetapi juga tambahan biaya eksternal. Dalam kasus kita mengenai pabrik garmen, biaya eksternal
adalah kerusakan lingkungan (pencemaran air sungai), dan biaya ini harus diperhitungkan oleh
produsen garmen dalam keputusannya.
Satu hal penting dari penjelasan di atas adalah bahwa efisiensi di pasar produksi garmen
dapat ditingkatkan apabila tingkat produksi dikurangi dengan 32.000 ton per hari (yakni dari
160.000 ton garmen per hari menjadi 128.000 ton). Penyesuaian tingkat produksi seperti ini akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk menggambarkan hal ini dengan lebih jelas, kurva
MPC, MSC, dan MPB disajikan lagi pada Peraga 2.12 dengan beberapa tambahan keterangan.
Peraga 2.12 menunjukkan pengaruh kesejahteraan secara terpisah terhadap perusahaan
garmen dan terhadap masyarakat dengan adanya pengurangan tingkat produksi menjadi 128.000
ton dari 160.000 ton per hari. Dari sudut perusahaan garmen telah terjadi penurunan keuntungan,
mereka kehilangan keuntungan sebesar kelebihan MPB di atas MPC per unit produksi dari 160.000
ton menjadi hanya 128.000 ton, atau ditunjukkan oleh luas segitiga wyz. Namun dari sudut
masyarakat luas, telah terjadi keuntungan yang disebabkan oleh penurunan MEC karena
berkurangnya tingkat produksi. Penurunan biaya eksternal disebabkan oleh karena kerusakan yang
lebih kecil pada kesehatan dan ekologi sungai. Secara geometri keuntungan bagi masyarakat luas
ini ditunjukkan oleh luas daerah wxyz. Jadi masih terjadi keuntungan neto bagi masyarakat sebesar
luas daerah wxy sebagai akibat dan pemulihan efisiensi.

31
Peraga 2.12
Keuntungan Neto Masyarakat dari Pemulihan ke Tingkat Efisiensi di Pasar Garmen di Denpasar

Sebagai kesimpulan, apabila produksi satu barang menimbulkan eksternalitas negatif,


pasar akan memberikan solusi yang tidak efisien dengan terlalu banyak sumber daya yang
dikorbankan untuk berproduksi. Apabila eksternalitas itu dapat diperhitungkan ke dalam pasar,
masyarakat masih untung. Masalah operasionalnya adalah bagaimana memperhitungkan
eksternalitas tersebut sehingga efisiensi dapat dipulihkan.
Analisis Kegagalan Pasar. Sangat penting memahami mengapa perusahaan tidak mau
memperhitungkan biaya eksternal pada proses pasar. Perusahaan garmen mempunyai motivasi
untuk mengejar keuntungan privat, bukan keuntungan sosial. Walaupun perusahaan garmen sadar
akan akibat pencemaran sungai dari produksinya, tidak ada dorongan (keinginan) untuk
menanggulangi biaya ini. Karena kalau biayanya mereka tanggung, keuntungannya menurun. Ini
seolah-olah perusahaan menanggung biaya tadi untuk kepentingan masyarakat. Sama sekali tidak
ada insentif pasar bagi perusahaan yang rasional untuk menanggung biaya yang lebih tinggi dari
yang seharusnya, meskipun untuk kepentingan masyarakat. Kalau kita mengharapkan agar
perusahaan garmen berlaku sebaliknya, ini berarti kita menyalahi sendi dasar proses pasar dan
sistem persaingan bebas.
Kenyataan yang demikian ini seharusnya tidak menghalangi usaha masyarakat untuk
memecahkan masalah kerusakan lingkungan. Model kegagalan pasar malah memberikan
pengertian yang lebih baik mengapa kita selalu menjumpai kerusakan lingkungan yang semakin
parah sementara produksi barang industri makin intensif di seluruh dunia. Teori juga memberikan
penjelasan munculnya masalah lingkungan yang terus menerus dan perlunya pengaturan

32
pemerintah ketika timbul masalah lingkungan. Memilih solusi kebijakan yang tepat tidaklah
mudah, namun prosesnya didukung oleh pengertian bagaimana dan mengapa terjadi kegagalan
pasar. Kalau kita cermati masalah sumber daya alam, barang publik maupun model eksternalitas
negatif yang telah kita bahas di depan, satu elemen bersama yang penting akan membawa kita
kepada sumber dari segala sumber permasalahan ESDA&L, adalah ketiadaan hak milik yang tegar
(the absense of property rights)

7.3.Ketiadaan Hak Milik pada Masalah Lingkungan


Dengan menggunakan elemen dasar teori ekonomi mikro, kita telah menelaah dengan
cermat bagaimana pasar gagal dalam sumber daya alam dan lingkungan. Kita malahan telah
mencoba menguantifikasi kegagalan pasar dalam jumlah produksi yang berlebihan. Walaupun
pada setiap kasus kita telah menelaahnya secara konseptual, namun kita belum memfokuskan
perhatian kita pada sesumber dari permasalahannya.
Perhatikan model pasar monopoli untuk hampir semua sumber daya alam. Sebagaimana
kita ketahui, semua sumber daya alam di Indonesia (mungkin di dunia) dikuasai dan bukan dimiliki
oleh negara. Pada contoh kita mengenai sampah yang berserakan di Denpasar dan kemudian
dilanjutkan dengan contoh membersihkan udara, pertanyaannya adalah siapa yang memiliki udara
yang bersih. Ia adalah barang publik yang mempunyai sifat nonrivalry dan nonexcludable.
Selanjutnya pada contoh mengenai eksternalitas negatif karena buangan zat pewarna yang
dilakukan oleh pabrik garmen di desa Kepaon, tidak jelas siapa yang memiliki sumber daya air
sungai. Apakah masyarakat Kepaon mempunyai hak akan sungai bersih atau apakah perusahaan
garmen mempunyai hak untuk mencemari air sungai. Sifat bersama apa yang dimiliki oleh ketiga
kasus yang telah dibicarakan (sumber daya alam, sampah di Denpasar, dan sungai yang tercemar
di Kepaon). Jawabannya adalah tidak adanya hak milik pribadi, dan oleh karenanya pasar barang
tersebut praktis tidak ada atau terjadi kegagalan pasar. Hak milik adalah serangkaian hak atas
barang atau sumber yang memberikan kewenangan untuk menggunakan barang atau sumber
tersebut, dan pemindahan hak milik dapat dilaksanakan melalui penjualan. Hak ini biasanya diatur
dalam undang-undang.
Hak milik sangat penting untuk berfungsinya sistem pasar dengan baik. Hak milik tidak
perlu dihilangkan seluruhnya untuk munculnya masalah pasar. Apabila hak milik terjadi dalam
bentuk yang tidak begitu tegar, hasilnya juga bersifat tidak efisien. Kasus seperti dikuasai oleh
negara termasuk pada hak milik yang tidak tegar. Hal ini hampir sama dengan kepemilikan

33
bersama, yang akan menjadi sumber eksternalitas lain dan oleh karenanya merupakan kegagalan
pasar. Sumber daya milik bersama berada di antara dua kutub ekstrem, antara barang publik murni
dan barang privat murni. Tidak seperti barang publik murni, sumber daya milik bersama tidak
dapat dicapai oleh setiap orang, yang artinya terdapat semacam sifat penolakan (excludability).
Namun, oleh karena hak milik oleh lebih dari satu orang, maka barang atau sumber daya ini
tidaklah tegas seperti halnya pada barang privat. Kenyataannya, seperti yang dikatakan oleh
Pemenang Nobel Pujangga Ronald Coase, pemberian hak milik itu sendiri akan memberikan solusi
yang efisien meskipun terjadi satu eksternalitas.

7.3.1. Teori Coase


Pemberian hak milik yang disampaikan oleh Coase dan relevansinya pada masalah
eksternalitas begitu menonjol sampai akhirnya dikenal sebagai Teori Coase. Teori ini menyatakan
bahwa pemberian hak milik yang tepat terhadap satu barang, meskipun ada eksternalitas, akan
menimbulkan tawar menawar antara pihak-pihak yang terkait sedemikian rupa sehingga dapat
dicapai solusi yang efisien, tanpa memandang kepada pihak mana hak tersebut diberikan, kepada
produsen atau konsumen.
Untuk memberikan ilustrasi mengenai Teori Coase, marilah kita kembali pada model pasar
produksi garmen di Kepaon untuk melihat bagaimana pemberian hak milik dan tawar menawar
dapat memulihkan efisiensi. Untuk menerapkan teori ini kita mengumpamakan (untuk lebih
sederhananya) bahwa hanya ada satu produsen garmen dan pencemaran air sungai bisa di
kuantifikasi. Dengan asumsi tersebut kita menguji hasil yang dicapai dengan mempelajari hasil
dari dua kasus pemberian hak milik terhadap satu sungai tertentu. Kasus pertama yang akan
dipelajari adalah hak milik atas sungai diberikan kepada perusahaan garmen untuk mencemar
limbah kimia pewarna kain ke sungai dan kasus ke dua hak milik diberikan kepada
individu/masyarakat Kepaon untuk keperluan mandi, mengail ikan dan rekreasi.
Hak Milik diberikan kepada Perusahaan Garmen. Pembicaraan dimulai dengan
mengumpamakan bahwa hak milik diberikan kepada perusahaan garmen. Ini berarti bahwa
perusahaan garmen mempunyai “hak mencemar" sungai sebagai bagian dari proses produksinya.
Walaupun pemberian hak ini tampaknya tidak wajar, namun berdasarkan teori Coase hal ini sama
sekali tidak mempengaruhi hasil yang dicapai. Lagi pula, percobaan semacam ini hanya untuk
melihat kebenaran teori itu.

34
Ingat bahwa perusahaan garmen ingin berproduksi sampai pada tingkat yang
memaksimumkan laba. Tujuan itu sendiri bukanlah tujuan yang tidak bisa diterima dalam sistem
pasar persaingan. Pencemaran terhadap air sungai yang dilakukannya merupakan hasil samping
yang mereka sendiri tidak menghendakinya. Waiaupun demikian masyarakat Kepaon merasa
dirugikan oleh pencemaran sungai tersebut, atau lebih formalnya, nilai utilitas (nilai guna) pemakai
sungai dipengaruhi secara negatif. Dengan mengetahui bahwa perusahaan garmen mempunyai hak
mencemar sungai dan mengingat tujuan masyarakat Kepaon yang memakai sungai ingin
memaksimumkan utilitasnya, maka mereka mempunyai insentif untuk mengadakan negosiasi.
Setiap satu unit pengurangan jumlah garmen yang dihasilkan, mereka bersedia membayar kepada
perusahaan garmen untuk mengurangi pencemarannya sampai sebesar yang sama dengan nilai
penurunan utilitasnya. Perusahaan garmen, di lain pihak, akan bersedia menerima pembayaran
untuk mengurangi pencemarannya dari masyarakat Kepaon asalkan pembayaran tersebut lebih
besar dari berkurangnya keuntungan karena mengurangi produksi.
Kondisi negosiasi lebih mudah dimengerti melalui Peraga 2.13, yang merupakan replikasi
dari model eksternalitas negatif pada Peraga 2.12. Seperti sebelumnya, Qc adalah tingkat
keseimbangan persaingan yang memaksimumkan laba (MPC = MPB), dan Qe adalah
keseimbangan yang efisien (MSC = MSB). Tawar menawar mulai dari keadaan Qc karena titik ini
yang akan dipilih oleh pemegang hak milik (perusahaan garmen). Posisi tawar menawar masing-
masing pihak diberikan di bawah ini dalam konteks kurva biaya dan manfaat yang disajikan dalam
diagram.

35
Peraga 2.13
Tawar menawar pada pasar garmen dengan pemberian hak milik

Perhatikan bahwa nilai (MSC-MPC) yang diukur secara vertikal tidak lain dari MEC, yakni nilai
dari kerusakan marjinal yang ditanggung oleh masyarakat Kepaon untuk setiap tambahan produksi

yang dilakukan oleh pabrik garmen. Jarak vertikal sebesar (MPB-MPC) adalah Mπ yang diterima
perusahaan garmen untuk setiap unit tambahan produksi. Secara teoritis, tawar menawar antara
kedua pihak akan berlanjut selama pembayaran lebih besar dari pengorbanan keuntungan
perusahaan garmen, namun lebih kecil dari kerusakan yang menimpa masyarakat Kepaon yang
memakai sungai. Dalam kasus ini, pembayaran sebesar p, akan dapat diterima oleh kedua pihak
selama memenuhi kondisi berikut:
(MSC-MPC) > p > (MPB-MPC) atau
MEC > p > Mn
Carilah jarak vertikal tersebut pada Peraga 2.12. Ingat bahwa pada keseimbangan
persaingan, Qc , besar keuntungan Mπ adalah nol, atau (MPB - MPC) = 0. Di lain pihak, nilai MEC
pada Qc adalah positif, atau (MSB - MPC) > 0, yang ditunjukkan oleh jarak xy. Jadi tawar menawar

36
di antara kedua pihak masih mungkin pada tingkat keseimbangan persaingan, oleh karena MEC >
Mπ pada Qe . Lagi pula, oleh karena kondisi ini masih berlaku untuk setiap perubahan tingkat
produksi dari Qc sampai Qe, maka tawar menawar terus berlangsung sampai mencapai titik Qe.
Alasannya? Karena pada titik Qe, (MSC - MPC) persis sama dengan (MPB - MPC) atau MEC =
Mπ, yang diukur dengan jarak wz. Pengurangan produksi garmen setelah titik itu akan mengurangi
keuntungan perusahaan garmen dengan jumlah yang lebih besar dari jumlah kesanggupan
membayar masyarakat Kepaon, atau Mπ > MEC, sehingga tidak terjadi tawar menawar lebih
lanjut.
Ini adalah hasil yang mengagumkan. Dengan asumsi yang dipergunakan dalam Model
Coase, pemberian hak milik pada perusahaan garmen memberikan hasil yang efisien tanpa campur
tangan pihak lain (pemerintah).
Hak Milik Diberikan kepada Masyarakat Kepaon. Sekarang perhatikan model di mana
hak milik diberikan kepada masyarakat Kepaon, pemakai sungai. Berdasarkan teori Coase,
penyelesaian yang efisien akan tercapai tanpa memandang kepada siapa hak milik itu diberikan.
Jadi kita berharap mendapatkan penyelesaian yang sama seperti sebelumnya. Tetapi titik awal
tawar menawar berbeda. Apabila masyarakat Kepaon yang memegang hak atas sungai, secara
teknis perusahaan garmen sama sekali tidak dapat berproduksi kecuali dia membayar (membeli)
hak mencemar. Jadi tawar menawar mulai pada titik Q = 0.
Pemakai sungai (masyarakat Kepaon) mempunyai hak atas sungai bersih, bukan hak untuk
melarang perusahaan garmen untuk berproduksi, dengan tujuan untuk memaksimumkan
utilitasnya. Namun demikian, tujuan mencapai keuntungan maksimum dari perusahaan garmen
terhalangi. Mereka akan mempunyai motivasi berbasis pasar untuk mulai memberikan penawaran
kepada masyarakat Kepaon agar mereka mau menerima pembayaran atas haknya terhadap sungai.
Kondisi tawar menawar sama seperti kasus sebelumnya, kecuali bahwa sekarang ini perusahaan
garmen yang mengajukan penawaran dan masyarakat Kepaon dalam posisi “penerima” tawaran.
Kembali ke Peraga 2.12 dan pikirkan posisi relatif kedua belah pihak pada Q = 0. Setiap
perubahan satu unit produksi, perusahaan garmen bersedia membayar hak polusi (yang berarti hak
untuk berproduksi) sampai sejumlah yang sama dengan Mπ akibat berproduksi, yang diukur dari
jarak vertikal antara MPB dan MPC. Masyarakat Kepaon akan bersedia mengurangi hak mereka
akan air bersih hanya kalau mereka dibayar lebih tinggi dari kerusakan yang ditanggung sebagai

37
akibat pencemaran sungai. Kerusakan ini adalah sebesar MEC, yang diukur dengan jarak antara
MSC dan MPC. Jadi posisi tawar menawar masing-masing pihak adalah:
Perusahaan Garmen: Mengusulkan pembayaran, p, asalkan p < (MPB - MPC)
Masyarakat Kepaon: Bersedia menerima pembayaran, p, asal p > (MSB - MPC)
Jadi tawar menawar mungkin berlangsung asalkan syarat berikut terpenuhi:
(MPB - MPG) > p > (MSC - MPC), atau
Mπ > p > MEC.
Model pada Peraga 2.12 menunjukkan bahwa syarat ini terpenuhi pada Q = 0 dan terus
terpenuhi untuk setiap tingkat produksi sampai Qe. Pada Qe tawar menawar terhenti, karena pada
tingkat produksi tersebut (MPB - MPC) persis sama dengan (MSC - MPC), atau Mπ = MEC, yang
ditunjukkan oleh jarak wz. Di atas Qe kerusakan marjinal karena peningkatan produksi garmen
lebih besar dari keuntungan marjinal yang diterima perusahaan garmen atau MEC > Mπ dan tawar
menawar berhenti. Jadi pemberian hak milik yang kali ini kepada masyarakat Kepaon,
memberikan solusi yang efisien tanpa campur tangan pihak ketiga (pemerintah).
Keterbatasan Teori Coase. Sebagaimana dibicarakan di atas teori Coase menawarkan
penyelesaian yang sangat manjur dan menekankan arti penting hak milik pada proses pasar, tanpa
memandang kepada siapa hak tersebut diberikan. Apabila hak milik diberikan kepada perusahaan
garmen tawar menawar mulai pada Qc berlanjut sampai ke Qe. Hal ini disebabkan oleh karena
pada semua tingkat produksi di antara dua titik tersebut pembayaran p memenuhi syarat MEC > p
> 0 yang dapat diterima oleh dua belah pihak. Apabila masyarakat Kepaon yang diberi hak milik,
maka tawar menawar akan mulai pada tingkat Q = 0 dan berlanjut sampai ke Qe. Ini disebabkan
oleh karena pada semua tingkat produksi di antara dua titik tersebut pembayaran p memenuhi
syarat Mπ > p > MEC, yang dapat diterima oleh kedua pihak.
Namun seperti telah dibicarakan di atas, solusi yang efisien yang ditawarkan oleh model
ini tergantung dari terpenuhinya dua asumsi, yakni tidak ada biaya transaksi dan kerusakan dapat
diketahui dan terukur. Jadi agar teori ini dapat diterapkan dalam praktek, kasusnya haruslah hanya
menyangkut sedikit individu pada salah satu sisi pasar.
Kenyataan pada pasar garmen, kalau tidak dapat dikatakan pada sebagian besar pasar,
selalu terdapat banyak pihak pada kedua sisi pasar. Dalam keadaan ini akan selalu terjadi biaya
yang tidak sedikit berkaitan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan di masingmasing pihak
mengenai kondisi tawar menawar bahkan sebelum negosiasi dimulai. Pasti diperlukan penasihat

38
hukum yang sekali lagi akan meningkatkan biaya transaksi. Akhirnya terdapat masalah yang
sangat sulit dalam mengidentifikasi sumber kerusakan dan penilaian kerusakan tersebut. Makin
banyak pihak yang terkait, masalahnya akan menjadi jauh lebih sulit.

7.3.2. Intervensi Pemerintah dalam hal Adanya Eksternalitas


Dari perspektif ekonomi, solusi umum terhadap eksternalitas, termasuk yang
mempengaruhi lingkungan, adalah menginternalisasi eksternalitas memaksa peserta pasar untuk
menanggung beban biaya eksternal atau menikmati manfaat eksternal. Salah satu cara
melaksanakannya adalah melalui pemberian hak milik. Dalam contoh kita, ketika perusahaan
garmen diberikan hak mencemar, masyarakat Kepaon melakukan internalisasi eksternalitas
dengan cara menawarkan satu pembayaran. Sebaliknya, ketika masyarakat Kepaon yang diberi
hak atas air sungai yang bersih, maka perusahaan garmen menginternalisasi biaya eksternal dengan
cara menawarkan pembayaran atas hak mencemar. Namun, sangat susah membayangkan
bagaimana hak ini dapat diberikan. Dalam praktek, pemerintah yang menentukannya dan
menerapkan berbagai aturan atas hak milik tersebut untuk kepentingan masyarakat luas.
Pendekatan lain untuk menginternalisasikan eksternalitas lingkungan adalah dengan
kebijakan mengubah harga efektif dari produksi sebesar nilai yang sama dengan biaya atau
manfaat eksternal yang diakibatkannya. Pada contoh kita, harga garmen per ton dapat dipaksa naik
dengan nilai MEC, mungkin dengan mengenakan pajak. Kebijakan yang lebih baru mengenai
internalisasi eksternalitas lingkungan adalah dengan menciptakan pasar dan harga pencemar.
Pendekatan ini semuanya berakar dari teori kegagalan pasar.

39
BAB III
KESIMPULAN

Sistem pasar merupakan basis untuk mempelajari ESDA&L dan semua ekonomi terapan
lainnya. Oleh karena itu dalam bab ini disajikan tinjauan dasar teori pasar yakni mekanisme
permintaan dan penawaran, mekanisme sinyal harga serta sekilas mengenai analisis marjinal,
kesemuanya dalam konteks pasar persaingan untuk barang privat. Pasar persaingan merupakan
tongkat pembanding yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam mengevaluasi akibat
kegagalan pasar dan gangguan pasar, di mana keduanya merupakan hal yang penting dalam
ekonomi terapan dan ekonomi sumber Daya Alam dan Lingkungan. Dari segi praktis, kita dapat
menilai akibat dari satu kebijakan baik mengenai pemakaian sumber daya alam maupun mengenai
polusi lingkungan dengan memakai kriteria efrsiensi alokatif dan efektif biaya. Akibat ini dapat
diukur melalui kuantifikasi dari perubahan pada kesejahteraan masyarakat (surplus konsumen dan
surplus produsen).
Model persaingan memberikan ilustrasi bagaimana sistem ekonomi bekerja dengan tanpa
adanya satu kondisi yang menghalangi kekuatan pasar bekerja secara alami. Menyadari
sepenuhnya bahwa sistem pasar sangat diperlukan untuk dapat mengerti persepsi ekonomi dari
penggunaan sumber daya alam dan lingkungan sebagai kegagalan pasar akan dibicarakan pada bab
berikut ini. Dengan menggunakan alat model yang telah dibicarakan dalam bab ini dan ditambah
dengan konsep manfaat dan biaya marjinal, kita telah mengembangkan model pasar yang lebih
luas yang secara nyata memasukkan saling ketergantungan alam dengan sistem ekonomi dan
lingkungannya. Model ini akan menunjukkan bagaimana dan mengapa sistem pasar gagal
melakukan koreksi terhadap pemakaian sumber daya alam dan lingkungan, yang akhirnya
mengarah kepada pendekatan untuk mencari gagasan kebijakan yang efektif.
Dari perspektif ekonomi praktis, masalah sumber daya alam dan lingkungan dijelaskan
karena adanya kegagalan pasar. Penguasaan akan sumber daya alam oleh pemerintah dan masalah
polusi yang ditimbulkannya akan menciptakan keadaan yang menghalangi bekerjanya sistem pasar
secara alami. Akibatnya adalah alokasi sumber daya alam yang salah dan menurunnya
kesejahteraan masyarakat. Campur tangan pihak pemerintah diperlukan untuk mengoreksi
kegagalan pasar dan mencapai keseimbangan yang efisien. Dalam hal sumber daya alam yang
mana di Indonesia dikuasai oleh negara, pemerintah bisa mengontrakkan pengelolaannya kepada

40
swasta dan menerapkan kebijakan ongkos rata-rata (average cost) produksi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dapat mempengaruhi pasar dalam hal masalah lingkungan
dianggap sebagai barang publik. Campur tangan pemerintah dapat berbagai bentuk dari
menyediakan langsung barang publik, mengatur pengelolaannya sampai memberikan pendidikan
secara berkelanjutan mengenai masalah pelestarian lingkungan.
Apabila kualitas lingkungan dianggap sebagai eksternalitas negatif maka juga timbul
keadaan yang menghalangi bekerjanya sistem pasar secara alami. Sumber dari masalah ini adalah
tidak adanya hak milik. Oleh karena tidak ada orang yang memiliki udara lepas, air tanah, dll tidak
akan ada dorongan pasar untuk membayar hak melindungi sumber daya ini atau hak untuk
mencemarnya. Campur tangan pemerintah diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan
mencapai keseimbangan yang efisien.
Namun seberapa kuat seharusnya pemerintah mempengaruhi pasar? Dan bagaimana
seharusnya pemerintah menangani tugas berat dalam mengembangkan kebijakan untuk
mendapatkan solusi yang efektif ? Walaupun model kegagalan pasar memberikan petunjuk
mengenai pendekatan yang harus dijalankan, masih banyak masalah praktis yang belum
terpecahkan. Dalam teori, kita dapat mengetahui bahwa nilai satu eksternalitas lingkungan harus
diinternalisasikan sedemikian rupa untuk mencapai solusi yang efisien. Namun bagaimana hal ini
dikerjakan dalam praktek dan apakah ini merupakan solusi yang praktis masih merupakan masalah
yang belum mendapatkan pemecahan yang memuaskan.

41

Anda mungkin juga menyukai