Anda di halaman 1dari 6

Laporan

”Etika dan pEmbEntukan karaktEr kristiani”

Oleh :
Kelompok 1

Anggota :
 Jamsi yulius lukas nim. 1318001
 Sriserni banja uru nim. 1318002
 Eka setiani nim. 1318003
 Lenian gede wadu nim. 2718001

Mata kuliah :
Pendidikan agama dan etika kristen

UNIVERSITAS KRISTEN WIRA WACANA SUMBA


2018
Etika dan pembentukan karakter kristiani

1. Perbedaan antara teori teleologis dan deontologis

a. Teori Teleologi

Teleologi berasal dari akar kata Yunani telos, yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos,
perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju
pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman
abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan
keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-
hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah
studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah.
Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan
“kebijaksanaan” objektif di luar manusia.

Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu
tindakan dilakukan , Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu
bukan ukuran yang terakhir.Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat.Betapapun salahnya
sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu
dinilai baik.Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan
demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut
hukum.Perbincangan “baik” dan “jahat” harus diimbangi dengan “benar” dan “salah”. Lebih
mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme, ketika “yang baik” itu
dipersempit menjadi “yang baik bagi diri sendiri.

 Egoisme Etis

Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk
mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri.

Contoh : (mungkin masih ada) para petinggi politik yang saling berebut kursi “kekuasaan” dengan
melakukan berbagai cara yang bertujuan bahwa dia harus mendapatkannya.

 Utilitarianisme

berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.

Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Contoh : melakukan kerja bakti yang di adakan di lingkungan sekitar, sebagai upaya untuk
kebersihan lingkungan dan membuat tempat tersebut juga jadi nyaman dan sehat untuk
masyarakatnya.
CONTOH KASUS

1. Seorang anak mencuri untuk membeli obat ibunya yang sedang sakit. Tindakan ini baik untuk
moral dan kemanusiaan tetapi dari aspek hukum tindakan ini melanggar hukum sehingga etika
teleologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibatnya suatu tindakan bisa sangat
bergantung pada situasi khusus tertentu.
2. PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung
pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan
listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan
listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan
investor menjadi enggan untuk berinvestasi, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung
dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada
negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka
PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.
3. Febri merupakan seorang yang berasal dari golongan sangat mampu. Febri mempunyai teman
bernama Asep. Asep seorang anak pertama dan berasal dari keluarga tidak mampu, pekerjaan
orang tuanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan perut. Belum lagi saudara Asep banyak
berjumlah 8 saudara. Walaupun begitu Asep mempunyai cita-cita tinggi yaitu ingin melanjutkan
kuliah di perguruan tinggi ternama di luar negeri. Tetapi sayang, cita-citanya mesti terhalang oleh
tingginya biaya yang mesti dikeluarkan. Febri tau hal ini dan ingin memberikan bantuan pada
Asep. Tetapi Febri sadar keinginan tersebut terhalang oleh orang tuanya yang tidak bersedia
meminjamkan karena keluarganya walaupun sangat mampu tapi sangat pelit. Alhasil, Febri
berbohong pada orang tuanya dengan alasan yang Febri buat. Akhirnya Febri diberikan uang. Lalu
ia memberi uang tersebut kepada Asep. Asep sangat berterimakasih karena berkat bantuan yang
diberikan cita-cita Asep dapat tercapai. Berbohong merupakan perbuatan yang buruk. Tetapi,
akibatnya adalah kebaikan, kenapa dikatakan sebagai kebaikan karena berbohong untuk
membantu orang yang tidak mampu.

b. Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban.

Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban.

Teori Deontologis pada prinsipnya berpendapat bahwa suatu tindakan itu baikbila memenuhi
kewajiban moral (deon=kewajiban).

Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu
teori etika yang terpenting.

Contoh : kewajiban seseorang yang memiliki dan mempecayai agamanya, maka orang tersebut
harus beribadah, menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya.

CONTOH KASUS

1. Jika seseorang diberi tugas dan melaksanakannya sesuai dengan tugas maka itu dianggap benar, sedang
dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas.
2. Suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontology bukan karena tindakan itu
mendatangkan akibat baik bagi pelakunya melainkan karena tindakan itu sejalan dengan
kewajiban si pelaku untuk misalnya menberikan pelayanan terbaik untuk semua konsumennya,
untuk mengembalikan hutangnya sesuai dengan perjanjian , untuk menawarkan barang dan jasa
dengan mutu sebanding dengan harganya.
3. PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung
pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan
listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan
listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan
investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT.
PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika
deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.

2. HUBUNGAN KARAKTER, IMAN DAN ETIKA KRISTEN

Hubungan di antara ketiganya sangat erat dan bahkan menyatu. Iman Kristiani, bilamana
dipahami dengan betul, tidak hanya menyangkut kepercayaan dalam arti kognitif, sebagai
pengakuan intelektual kita mengenai kebenaran dari yang kita percayai. Iman Kristiani juga
mencakup pengertian mempercayakan diri kepada yang dipercayai dan membangun sikap dalam
hubungan dan komitmen dengan yang dipercayai. Pada akhirnya, pengetahuan dan sikap saja
tidak cukup untuk mewujudkan iman Kristiani itu. Kita perlu melakukan apa yang kita percayai
dan kita ketahui bahwa hal itu baik.
Intinya jelas bahwa karakter Kristen tidak hanya terbatas pada tahu apa yang baik, tetapi
juga mempunyai kecintaan, dan keinginan melakukannya, serta melakukannya dalam tindakan
nyata. Berkali-kali Alkitab mempertegas hal ini, misalnya dalam Yakobus 2:26 yang mengatakan
bahwa “sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikianpun iman tanpa perbuatan adalah
mati.” Disini seolah-olah iman dan perbuatan dipisahkan, mungkin saja iman dalam arti tahu apa
yang baik.
Membicarakan agama dalam kohesi sosial atau kajian fungsional atas agama yaitu
hubungan antara agama dengan sub sistem yang lain, ada tujuh hal yang disebut oleh O’Dea
mengenai fungsi agama yaitu; “Pertama: agama merujuk suatu apa yang ada di luar, ia dapat
menjadi semangat atau suport, memberi hiburan (pengharapan) dan rekonsiliasi. Manusia
memerlukan suport dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti, memberikan pengharapan
untuk berjalan dengan iman, atau hiburan ketika menghadapi kekecewaan, dan rekonsiliasi
dengan masyarakat bila mengalami keterpencilan dari tujuan dan norma sosial. Kedua; agama
memberikan hubungan transendental melalui upacara-upacara persembayangan sehingga
memberikan rasa aman dan identitas yang kokoh dalam menghadapi perubahan. Ketiga; agama
mensakralkan norma dan nilai dalam masyarakat, menjaga kelestarian dominasi tujuan dan
disiplin kelompok atas keinginan dan dorongan-dorongan individual (sebagai sosial kontrol).
Keempat: agama sebagai kritik sosial, dimana norma-norma yang sudah melembaga ditinjau
ulang, sesuai dengan fungsi kenabiannya (prophetic agama). Kelima; agama memberikan identitas
dan menyadarkan tentang “siapa” mereka dan “apa” mereka. Keenam: agama berfungsi dalam
hubungannya dengan kematangan seseorang individu dalam masyarakat. Ketujuh; agama
berfungsi dalam membentuk social solidarity (solidaritas sosial) dan terakhir agama dapat
berperan dalam pemerataan pendapatan (Kuntowijoyo, 1977: 7).

3. ETIKA TEOLOGIS DAN ETIKA FILSAFATI


1) Etika Teologis
Etika teologis adalah sistem etika yang sumber normanya dipercayai berasal dari Tuhan
atau setidak-tidaknya lahir dari asumsi-asumsi teologis baik tentang Tuhan dan manusia yang
sumber utamanya dari kitab suci masing-masing agama. Pernyataan- pernyataan dari kitab suci
masing-masing agama itu masih perlu ditafsirkan dalam konteks dan sejarahnya agar menemukan
arti serta nilai-nilai yang bisa dijadikan norma perilaku dan motivasi manusia. Etika Kristen, etika
Islam, etika Hindu, etika Buddha, dll. termasuk dalam kategori etika teologis. Memang cara orang
percaya menggunakan kitab suci untuk menyimpulkan nilai moral sebagai norma etis berbeda
antara satu orang/kelompok dengan orang/kelompok lain. Walaupun demikian, tidak dapat
disangkal bahwa dari berbagai etika teologis itu banyak sekali nilai-nilai yang tumpang tindih atau
sama
Bagi sistem etika Kristen, acuan utamanya adalah pada tokoh dan teladan Kristus sendiri,
melalui ajaran-ajaran-Nya terutama melalui contoh kehidupan-Nya. Karakter yang ideal sesuai
kehendak Allah terwujud dan tercermin dalam keseluruhan hidup-Nya. Jadi, apa yang sudah
dijelaskan di atas, tidak ada etika Kristen dan karakter Kristen kalau tidak dikaitkan dengan Yesus
Kristus baik melalui ajaran-Nya dan teladan-Nya.
Contoh Kasus Etika Teleologi

Monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945,
dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam
serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat
dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika
teleologi.
2) Etika Filsafati
Etika filsafati adalah etika yang dibangun atas dasar pemikiran filsafati manusia maupun
berdasarkan kontrak sosial. Etika filsafat ini sudah ada sejak dulu, bahkan setiap kebudayaan
melahirkan sistem nilai yang menjadi norma perilaku dan motivasi yang baik.
Yang masuk dalam kategori etika filsafati adalah positivisme, hedonisme, utilitarianisme dan lain-
lain. Sebagai suatu sistem, dibutuhkan koherensi dan penalaran sehingga pasti butuh penalaran
filsafati juga walaupun etika Kristen tidak bisa dikatakan sebagai produk penalaran manusia saja.
Bila produk penalaran manusia saja, etika Kristen kekurangan daya pendorong untuk dilakukan.

CONTOH KASUS
Gaya hedonisme seorang yang membeli segala macam barang mahal. Hal ini tidak salah
sebenarnya, cuman kurang tepat dilakukan pada kondisi daerah yang belum tercipta pemerataan
kesejahteraan.

4. kesimpulan mempelajari etika

Agama tanpa dimensi etis, moral, dan karakter, hampir tidak ada fungsi yang signifikan bagi
kemanusiaan dan dunia ciptaan Tuhan. Agama mungkin hanya berfungsi memberi penghiburan di
kala duka, dan pengharapan di kala putus asa sambil menggiring orang masuk surga. Walau etika
sebagai ilmu mempelajari prinsip-prinsip dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibangun, etika
juga kurang berguna bila suatu sistem etika tidak memberi seperangkat penuntun untuk bertindak
konkret. Etika Kristen sebagai suatu sistem memang menjadi seperangkat penuntun untuk
bertindak secara moral di tengah-tengah nilai-nilai yang bertabrakan di sana sini yang membuat
manusia bingung. Sudah tentu etika Kristen bukan satu-satunya penuntun yang berlaku di
masyarakat karena masing-masing sistem etika menawarkan penuntun. Meski sumber penuntun
moral itu adalah Alkitab, dan tersebar di mana-mana, ada prinsip utama yang menjadi Kaidah
Kencananya, yakni yang terdapat dalam Hukum Kasih: kasih kepada Allah melalui kasih kepada
sesama dan alam ciptaan Tuhan. Bisa juga sumber penuntun moral diambil dari kata-kata Tuhan
Yesus: sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian
kepada mereka. Pada akhirnya etika dan moralitas harus menunjukkan kebajikan-kebajikan
(virtues) yang kemudian melalui pendidikan membangun karakter kebajikan-kebajikan tersebut
terjalin dengan pengalaman keseharian kita. Itulah karakter yang baik, sehingga tujuan pendidikan
semula untuk menjadi naradidik “smart and good” menjadi suatu kenyataan yang pada gilirannya
menyumbang untuk menjadikan bangsa dan masyarakat ini berkarakter.

Anda mungkin juga menyukai