Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ETIKA PROFESI

ETIKA DALAM KELUARGA

DI SUSUN OLEH:

WIWIS PRAYUDI (1504014)

NURFAJRI RAMADHAN (1504006)

NOPALITA (1504026)

DOSEN PENGAJAR : SEPRIADI, S.T.,M.T

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN BATUBARA

POLITEKNIK AKAMIGAS PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2017/2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Menurut bahasa Yunani Kuno, etika berasal dari kata ethikos yang berarti
“timbul dari kebiasaan”. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari
nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab.
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu
ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama
dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam
satu periuk.
Pentingnya etika dalam sebuah keluarga dilihatdari berbagai aspek. Meski
setiap keluarga memiliki etika atau aturan yang berbeda-beda. Itu semua terjadi
karena adanya perbedaan pandangan dan pendapat yang terbentuk oleh
lingkungan. Untuk lebih jelasnya akan kita bahas di Bab II.

2. Rumusan Masalah
1) Jelaskan pengertian dari keluarga!
2) Apa itu etika-etika dalam keluarga?
3) Contoh kasus dari etika keluarga!

3. Tujuan Penulisan
1) Mengetahui pengertian dari keluarga
2) Mengetahui etika-etika dalam keluarga
3) Mengetahui contoh kasus dan dapat menganalisisnya

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “Ethikos” yang berati timbul
dari kebiasaan, adalah cabang utama dari filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan
tanggung jawab.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu meta - etika (studi konsep
etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi
penggunaan nilai-nilai etika). Sedangkan menurut ( Sonny Keraf : 1998) : etika,
etika berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha) yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. (Sonny Keraf : 1998) Etika
biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari
bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik
(kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih
kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan,
yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan
etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Kata etika seringkali disebut pula dengan kata etik, atau ethics (bahasa
Inggris), mengandung banyak pengertian. Dari segi etimologi (asal kata), istilah
etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian
menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan
kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika
adalah suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku
manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.

3
Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-
ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu;
1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).
2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Berikut ini merupakan dua sifat etika, yaitu :
 Non-empiris filsafat digolongkan sebagai ilmu non empiris. Ilmu empiris
adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun
filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret
dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret.
Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang
kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
 Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”.
Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika
tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus
dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis
karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti
menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan
reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti
hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan sebagainya, sambil melihat
teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya.
Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

4
Perbedaan antara Etika dengan Etiket yaitu, Etika menyangkut cara
dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri.
Contohnya : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena
mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri.
“Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan
apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Sedangkan
Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain
di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata,
maka etiket tidak berlaku. Contohnya : Saya sedang makan bersama bersama
teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap
melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain),
maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.

Etika adalah bentuk perilaku manusia yang dinilai baik di mata manusia
yang menjadi tolak ukur baik atau tidak nya seseorang pada lingkungannya.
Etika dalam keluarga adalah sesuatu yang sangat mendasari kehidupan individu
dalam bermasyarakat, karena semua baik- buruk perilaku manusia pada dasarnya
tercipta pada lingkungan keluarga karena seorang individu lahir dan menjalani
kehidupan pertama-tama adalah dalam lingkungan keluarga tersebut.
Maka keluarga menjadi pemeran utama seorang individu untuk memiliki etika
yang baik.

2. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu
ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama
dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam
satu periuk.
Keluarga adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih
memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari
sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban,
tanggung jawab di antara individu tersebut. Keluarga adalah unit terkecil dari

5
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul
dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan. Setiap anggota keluarga harus saling mengetahui peranan dan hak
serta kewajibannya masing-masing, dengan mengetahui tugas dan tanggung jawab
masing-masing anggota keluarga.
Terdapat beberapa definisi keluarga dari beberapa sumber, yaitu:
1) Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan
adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap
anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986).
2) Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga
karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya,1978 ).
3) Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di
bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan
RI, 1988).

Suatu keluarga setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


1) Terdiri dari orang-orang yang memiliki ikatan darah atau adopsi.
2) Anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan
mereka membentuk satu rumah tangga.
3) Memiliki satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling
berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak
dan saudara.

3. Etika Dalam Keluarga


Dalam sebuah keluarga biasanya terdiri dari beberapa anggota yaitu, ayah,
ibu, dan anak. Masing-masing anggota dalam keluarga memiliki etika masing-
masing yang bisa dijadikan pedoman. Dengan etika yang baik antara orang tua

6
dan anak maka akan terjalin keluarga yang harmonis dengan menerapkan prinsip
etika komunikasi, misalnya berbicara dengan perkataan yang baik baik dari orang
tua ke anak, anak ke orang tua, kaka ke adik dan adik ke kaka. Dengan
membiasakan diri dalam keluarga dengan Bahasa yang baik makan itu akan
menberi dampak yang baik juga untuk diri anak ke lingkungan luar keluarga.
Perkataan yang efektif dan keterbukaan antara anggota keluarga dapat menjalin
ikatan yang baik diantara anggota keluarga, ini juga dapat meningkatkan
kepercayaan lebih didalam keluarga serta kenyamanan sehingga dapat
mengurangi dampak ketidak harmonisan antara anggota keluarga. Selain itu juga
etika komunikasi yang lain ada seperti setiap anggota keluarga menggunakan
perkataan yang lemah lembut dalam menyampaikan maksud dari setiap anggota
keluarga serta menggunakan perkataan yang pantas diucapan.
Pada saat makan pun kita harus memiliki etika yang baik, dan etika yang
baik yang dimiliki seseorang juga tercermin dari kebiasaan yang dibiasakan dalam
keluarga. Seperti makan tidak menganggat kaki, pada saat makan tidak
mengeluarkan bunyi, tidak bersendawa lepas pada saat sedang makan, dan
bersikap yang pantas pada saat makan. Baik atau tidaknya sikap seseorang dalam
beretika dilingkungan luar tercipta dan bermula dari lingkungan terdekatnya
seperti keluarga karena baik atau tidak nya seseorang berawal dari kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan dalam kelurga. Diantaranya:

1) Etika suami Istri


Hak-hak ini, sebagian sama di antara suami-istri dan sebagiannya tidak
sama. Hak-hak yang sama di antara suarni-istri adalah sebagian berikut:
a) Masing-masing suami-istri harus bersikap amanah terhadap pasangannya,
dan tidak mengkhianatinya sedikit atau banyak, karena suami istri adalah
laksana dua mitra di mana pada keduanya harus ada sifat amanah, saling
menasihati, jujur, dan ikhlas dalam semua urusan pribadi keduanya, dan
urusan umum keduanya.
b) Masing-masing suami-istri harus memberikan cinta kasih yang tulus kepada
pasangannya sepanjang hidupnya.

7
c) Masing-masing suami-istri harus mempercayai pasangannya, dan tidak
boleh meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya.

Adapun hak-hak khusus, dan etika-etika yang harus dikerjakan masing-masing


suami-istri terhadap pasangannya adalah sebagai berikut:

A. Hak-hak Istri atas Suami


Terhadap istrinya, seorang suami harus menjalankan etika-etika berikut ini:
a) Memperlakukannya dengan baik. Artinya Ia memberi istrinya makan jika ia
makan, memberinya pakaian jika ia berpakaian, dan mendidiknya jika ia
khawatir istrinya membangkang dengan menasihatinya tanpa mencaci-maki
atau menjelek-jelekkannya.
b) Memberikan perlindungan yang memadai kepadanya dengan tidak
mengizinkannya merusak akhlak atau agamanya, dan tidak membuka
kesempatan baginya untuk menjadi wanita fasik terhadap perintah Tuhan.
c) Tidak membuka rahasia istrinya dan, sebab ia orang yang diberi kepercayaan
terhadapnya, dituntut menjaga, dan melindunginya.

B. Hak-hak Suami atas Istri


Terhadap suaminya, seorang istri harus menjalankan etika-etika yaitu,
menjaga kehormatan suaminya, kemuliaanya, hartanya, anak-anaknya, dan urusan
rumah tangga lainnya.

2) Etika Anak Terhadap orang Tua


Seorang anak harus menghormati orang tua, berbakti kepada orang tua dan
taat pada orang tua. Karena orang tua kita telah melahirkan, membesarkan kita
dari kecil hngga dewasa yang penuh kasih sayang. Bahkan orang tua kita sudah
memberikan segala-galanya tanpa pamrih kepada ank-anaknya tanpa
mengharapkan imbalan dari anaknya. Orang tua menyayangi anaknya melebihi
dirinya.

8
Kewajiban seorang anak hanya membalasnya dengan tingkah dan sikap
anak yang baik terhadap orang tua, membahagiakan atau membanggakan orang
tua melalui prestasi dan keberhasilan anak. Orang tua bukan berarti hanya kedua
orang tua yang melahirkan kita. Tetapi orang tua yang dimaksud disini adalah
orang yang lebih tua dari kita haruslah bersikap baik dengannya. Selain
kewajiban anak terhadap orang tua, anak juga mempunyai hak terhadap orang tua,
yaitu: mendapatkan kasih sayang, perhatian, bimbingan dan kehidupan yang
layak.

Contoh Etika yang harus ada dalam sebuah Keluarga :


 Pamitan dan mencium tangan orang tua sebelum pergi ke luar rumah.
 Meminta maaf pada orang tua bila melakukan kesalahan.
 Membantu ibu dalam melakukan pekerjaan rumah.
 Bertutur kata dengan lembut dan sopan pada orang tua.
 Tidak membantah perintah orang tua.
 Tidak menyebutkan nama pada saat memanggil ayah, ibu dan kakak.
 Tidak pulang larut malam dan tepat waktu.
 Saling menghormati dan menghargai.
 Tidak berbohong pada orang tua.
 Mendengarkan nasehat orang tua.
 Tidak berbicara pada saat makan bersama.
 Tidak membuang angin pada saat makan bersama.
 Tidak mengeluarkan suara (menyiplak) saat mengunyah makanan.

Contoh lain etika dalam keluarga misalnya antara orangtua, Ayah, Ibu dan
anak, kakak dan adik terjadi hubungan yang harmonis dan menjalankan peran hak
serta kewajibannya dengan baik sesuai dengan perannya masing- masing, jika
tidak terjadi demikian keluarga tersebut terjadi suatu disfungsional keluarga yang
menyebabkan anggota keluarga tidak harmonis. dan etika harus ditata dalam
keluarga agar tiap-tiap individu mengerti berperilaku yang baik sesuai dengan

9
peran nya sebagai Ayah, Ibu, Anak, Adik , Kakak sehingga tercipta keluarga yang
harmonis dalam kehidupan sehari-hari.

4. Studi Kasus Tentang Keluarga

a) Tindak Kekerasan dalam Rumah-Tangga

Hidup berkeluarga adalah dambaan bagi setiap orang. Dengan berkeluarga


setiap orang pasti merasa bahwa hidupnya akan menjadi lebih sempurna, apalagi
mempunyai keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun terkadang hal iti hanya
impian belaka. Seperti saat ini masih banyak konflik internal yang terjadi dalam
kehidupan rumah tangga. Sampai saat ini , kekerasan dalam rumah tangga masih
menjadi momok yang menakutkan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi
karena adanya masalah-masalah dalam kelurga tersebut misalnya dari segi faktor
ekonomi.

Kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi dalam kalangan orang


yang status sosialnya rendah. Hal tersebut terjadi dikarenakan berbagai faktor
seperti ekonomi. Faktor ekonomi ini adalah faktor penunjang terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga. Misalnya kita ambil contoh seorang istri yang meminta uang
belanja pada suaminya yang tidak bekerja, sedangkan istri tersebut sangat
membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagai seorang
kepala keluarga hal ini adalah beban yang harus ditanggung, sedangkan dia hanya
seorang pengangguran yang tidak berpenghasilan. Sehingga memungkinkan
seseorang suami tersebut melakukan tindak kekerasan terhadap anak dan istri
bahkan sampai membunuhnya karena merasa dituntut untuk mencukupi
kebutuhan, padahal ia hanya seorang penganguran. Sebenarnya tindakan yang
dilakukan seorang istri itu benar, karena sebagai seorang suami harus mampu
memenuhi segala macam kebutuhan yang ada didalam kehidupan rumah
tangganya.

10
Seharusnya hal ini tidak harus terjadi jika suami tersebut mampu
mengendalikan emosinya. Sebagai suami, dia harus menyadari bahwa sebagai
kepala keluarga, dia harus mampu memberikan hak istri. Dan sebagai istrinya
pula, seharusnya harus bisa lebih mengerti akan keadaan suaminya. Jika memang
sang istri bisa membantu sang suami untuk mencari nafkah alangkah baiknya jika
hal itu dilakukan.

b) Penyebab Tindak Kekerasan Dalam Keluarga

Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi karena banyak


faktor. Faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya-Red), di mana
perempuan cenderung dipersepsi sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan
dengan cara apa saja atau, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu
muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap
sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun anak harus menuruti apa pun
kehendak orangtua.

Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang
diperoleh dari masa lalu. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orangtua,
tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun.Kemudian, ketika ada informasi
baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain,
misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat
kita sulit menerima.Jadi, persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan
direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja
mendebat suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul.

5. Etika Dalam Keluarga Menurut Agama


Salah satu pengertian etika adalah bersifat normatif sehingga etika tidak
bisa dipisahkan dari peranan-peranan norma yang berlaku di kehidupan
bermasyarakat, dalam hal ini norma kesusilaan dan norma agama. Untuk etika
dalam keluarga peranan norma agama sangat penting sebagaimana yang kita

11
ketahui bahwa agama merupakan pedoman bagi manusia untuk menjalankan
kehidupannya.
Ada sebuah hadits yang derajatnya hasan dalam pandangan Abu Isa
namun shahih menurut al-Bani yang menjelaskan tentang nasihat Rasulullah
Muhammad saw kepada Uqbah mengenai tata cara meraih sukses dalam berumah
tangga :
‫ار ِك َع ْن يَحْ يَى ب ِْن‬ َ َ‫ص ٍر أَ ْخبَ َرنَا ا ْبنُ ْال ُمب‬ ُ ‫ار ِك َو َحدَّثَنَا‬
ْ َ‫س َو ْيدُ ْبنُ ن‬ َ َ‫صا ِل ُح ْبنُ َع ْب ِد هللاِ َحدَّثَنَا َع ْبد ُ هللاِ ْبنُ ْال ُمب‬
َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫سو َل‬ ُ ‫ام ٍر قَا َل قُ ْلتُ يَا َر‬
ِ ‫ع ْقبَةَ ب ِْن َع‬ُ ‫ع ْن أَبِى أ ُ َما َمةَ َع ْن‬
َ ‫عبَ ْي ِد هللاِ ب ِْن زَ حْ ٍر َع ْن َع ِل ِى ب ِْن يَ ِزيدَ َع ِن ْالقَا ِس ِم‬ َ ‫أَي‬
ُ ‫ُّوب َع ْن‬
َ َ‫ِك َعلَيْكَ ِل َسانَكَ َو ْلي‬
ِ ‫سعْكَ بَ ْيتُكَ َواب ِْك َعلَى خ‬
}‫َطيئَتِكَ » {رواه الترمذى‬ ْ ‫هللاِ َما النَّ َجاة ُ قَا َل «أ َ ْمس‬
Artinya : “Disampaikan kepada kami oleh Shalih bin Abdullah, disampaikan
kepada kami oleh Abdullah bin al-Mubarak, disampaikan kepada kami oleh
Suwaid bin Nashr, diberitahukan kepada kami oleh ibnu al-Mubarak dari Yahya
bin Ayyub dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Yazid dari al-Qasim dari Abi
Umamah dari Uqbah bin Amir berkata; (Uqbah) aku berkata wahai Rasulullah
apa yang disebut dengan sukses (dalam rumah tanggga) ? Rasul menjawab;
jagalah lisanmu maka rumahmu akan terasa luas, dan menangislah ketika engkau
berbuat salah.” [HR. al-Turmudzi]
Hadits di atas menjadi pijakan awal dalam kajian tentang etika berkeluarga
dalam perspektif al-Qur’an, karena tidaklah mungkin ada ungkapan dari sang
penyampai wahyu Allah kecuali semuanya bersumber dari Allah itu sendiri. Hal
ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Aisyah ketika ditanya oleh Sa’ad
bin Hisyam tentang bagaimana melihat akhlak (etika) Rasulullah, maka Aisyah
menjawab bahwa “akhlaknya adalah al-Qur’an”.

Etika Hubungan Suami-Istri.

Islam sangat memperhatikan masalah hubungan suami-istri yang diangap


sebagai urat nadi kehidupan berkeluarga sekaligus penyebab keberhasilan dan
kegagalan dalam berumah tangga. Untuk itu, pada pembahasan awal ini akan
dibahas terlibih dahulu tentang status suami dalam perspektif Qur’an. Allah swt
berfirman :

12
ٍ ‫َو ِم ْن آَيَاتِ ِه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا ِلت َ ْس ُكنُوا إِلَ ْي َها َو َجعَ َل َب ْي َن ُك ْم َم َودَّةً َو َرحْ َمةً ِإ َّن فِي ذَلِكَ ََلَيَا‬
‫ت ِلقَ ْو ٍم‬
}21 : ‫يَتَ َف َّك ُرونَ {الروم‬

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” [QS. Ar-Ruum : 21]

Melalui ayat ini, sesungguhnya tidak ditemukan sedikitpun dikotomi


kekuasaan antara suami dan istri, karena pasangan pada ayat di atas merupakan
bagian dari diri ini sendiri. Artinya, jika seseorang merasa bahwa pasangannya
adalah bagian dari dirinya, maka tidak akan ada pemaksaan dan penindasan pada
pasangannya, karena ketika itu terjadi maka sasungguhnya ia telah menyakiti
dirinya sendiri. Prinsip al-musawah (kesamaan derajat) inilah yang dapat
menciptakan visi sakinah, mawaddah dan rahmah dalam berkeluarga.

Lalu apakah sesungguhnya fungsi suami bagi pasangannya jikalau prinsip etik
hubungan suami-istri adalah al-musawah ? Untuk menjawab hal ini, dapat dilihat
dari keterkaitan ayat di atas dengan ayat yang lain (al-munasabah). Allah swt
berfirman :

}34 : ‫ض َوبِ َما أ َ ْنفَقُوا ِم ْن أَ ْم َوا ِل ِه ْم…{النساء‬


ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َّ ‫اء بِ َما َف‬
َ ‫ض َل هللاُ بَ ْع‬ ِ ‫س‬َ ِ‫الر َجا ُل قَ َّوا ُمونَ َعلَى الن‬
ِ

Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka…” [QS. An-Nisa’ : 34]

Kata qawwam di dalam al-Qur’an terjemahan Departemen Agama selalu


bermakna “pemimpin” sehingga ayat ini kemudian menjadi legetemasi umum
bagi para suami untuk merendahkan istrinya. Padahal ayat di atas tidak berhenti
hanya pada kalimat qawwamuna ‘ala an-nisa’, akan tetapi ada ayat lain yang
terlupakan yakni bima anfaqu min amwalihim. Artinya, seorang suami di dalam

13
rumah tangga adalah penjaga kebutuhan materi dan immateri bagi keluarganya,
bukan boss yang dapat mengatur segalanya atas kehendaknya. Oleh karenanya,
agar terjalin rumah tangga yang baik maka dibutuhkan kerja sama dan pembagian
tugas antara suami dan istri. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Said
Agil Husin al-Munawar mengenai konteks kalimat al-rijal qawwmuna ‘ala al-
nisa’, bahwa kalimat ini menyajikan tentang pembagian tugas antara suami-istri.

Adapun tugas dan posisi istri di dalam keluarga adalah sebagai pengelola
kegiatan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan bayan kalam Allah melalui hadits
Rasulullah saw ;

[}‫…والمرأة راعية في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها…{رواه البخاري‬

Artinya : “…wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan diminta


pertanggung jawabannya…” [HR. al-Bukhari]

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa job description antara suami-
istri merupakan prinsip etik yang harus dikedepankan demi sebuah kebersamaan.
Suami menjadi pengada sekaligus penjaga kebutuhan rumah tangga, sedangkan
istri mengatur keluar-masuk segala kebutuhan rumah tangga.

Adapun prinsip etik yang selanjutnya adalah mengenai kewajiban memperlakukan


pasangan (saling bergaul) dengan baik. Dalam hal ini, etika dapat dilihat dari dua
kewajiban pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri. Yang pertama adalah etika
pemenuhan hak suami-istri :

1) Menjaga kehormatan pasangan. Dalam hal ini, Rasulullah saw sebagai


penyampai risalahAllah menjelaskan ;

}‫أيما امرأة وضعت ثيابها في غير بيت زوجها فقد هتكت ستر ما بينها وبين هللا {رواه ابن ماجه‬

Artinya : “Manakala wanita membuka pakaiannya di rumah selain rumah


suaminya, maka dia sungguh telah menghancurkan tabir antara dia dan Allah
swt.” [HR. Ibnu Majah]

14
2) Terjadi timbalik balik saling membutuhkan ketika salah satu mengajak
untuk melakukan hubungan suami-istri (al-wath`u / jima’). Standar tidak
berlakunya hadits Rasulullah yang menjelaskan wanita mendapatkan laknat
malaikat hingga subuh karena menolak hubungan suami-istri adalah karena haidh,
serta keadaan yang tidak memungkinkan secara alamiah, seperti sakit, terlalu
lelah, dll. Untuk keadaan yang kedua ini, Allah menggunakan kata hartsun (tanah
temapat bercocok tanam). Sifat alamiah tanah tidak bisa dilakukan penanaman
secara normal adalah pada masa-masa sulit seperti kemarau, bencana alam, dll.
Lalu apakah ketika pada masa-masa itu kita harus memaksakan diri untuk
bercocok tanam ? tentu tidak, begitu pula yang harus dilakukan oleh suami kepada
istri, dan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Allah swt di
ِ ‫( بِ ْال َم ْع ُر‬dan bergaullah dengan mereka secara patut)
dalam al-Qur’an, ‫وف َو َعا ِش ُروهُن‬

3) Menjaga rumah dan perasaan pasangan. Dalam hal ini, etika yang sangat
dibutuhkan adalah keterbukaan dan komunikasi. Hadits yang menjelaskan tentang
jangan berpuasa kecuali mendapat izin suami, pada dasarnya merupakan perintah
untuk membangun komunikasi yang baik antara suami-istri.

4) Memberikan kebutuhan jasmani dari rizki yang halal. Hal ini di jelaskan
oleh Allah seperti di dalam surat QS. al-A’raf ;

َ ِ‫ت َويُ َح ِر ُم َعلَ ْي ِه ُم ْال َخ َبائ‬


}157 : ‫ث…{األعراف‬ َّ ‫… َوي ُِح ُّل لَ ُه ُم ال‬
ِ ‫ط ِي َبا‬

Artinya : “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk…” [QS. al-A’raf : 157]

Etika Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Sebaliknya.

Etika seorang anak terhadap orang tua dijelaskan oleh Allah swt melalui
kisah Luqman yang memberikan nasehat kepada anaknya, dan dari delapan
nasehat Luqman tersebut, terdapat dua bagian penting yang menyangkut masalah
etika hubungan antara anak dengan orang tua, yakni ayat 14-15. Dalam hal ini,
Allah swt berfirman :

15
* ‫ير‬ ُ ‫ص‬ِ ‫ي ْال َم‬
َّ َ‫صالُهُ فِي َعا َمي ِْن أ َ ِن ا ْش ُك ْر ِلي َو ِل َوا ِلدَيْكَ إِل‬ َ ِ‫سانَ بِ َوا ِلدَ ْي ِه َح َم َلتْهُ أ ُ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَى َو ْه ٍن َوف‬
َ ‫ص ْينَا اْ ِإل ْن‬
َّ ‫َو َو‬
َ ‫اح ْب ُه َما فِي الدُّ ْنيَا َم ْع ُروفًا َواتَّبِ ْع‬
‫سبِي َل َم ْن‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ْس لَكَ بِ ِه ِع ْل ٌم فَالَ ت ُ ِط ْع ُه َما َو‬
َ ‫َوإِ ْن َجا َهدَاكَ َعلَى أ َ ْن ت ُ ْش ِركَ بِي َما لَي‬
}14-15 : ‫ي َم ْر ِجعُ ُك ْم فَأ ُنَبِئ ُ ُك ْم ِب َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َملُونَ {لقمان‬
َّ َ‫ي ث ُ َّم إِل‬ َ ‫أَن‬
َّ َ‫َاب إِل‬

Artinya : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [15]” [QS. Luqman : 14-15]

Melalui ayat di atas, dapat dirangkum perintah Luqman kepada anaknya mengenai
etika anak kepada orang tua; (1) selalu bersyukur, (2) taat dalam kebaikan, (3)
berani mengambil sikap menolak dengan cara yang baik dalam hal kemaksiatan.
Dari ketiga prinsip ini, maka sesungguhnya yang menjadi standar atau alat ukur
dalam melaksanakannya adalah kesabaran, baik dari segi ucapan ataupun
perbuatan.

Adapun ketika orang tua sudah meninggal maka seorang anak juga tidak boleh
menanggalkan etika ketaatan terhadap keduanya. Dalam hal ini, Rasulullah
Muhammad saw menjelaskan ; “Salah seorang dan kaum Anshar datang kepada
Rasulullah saw, kemudian berkata, Wahai Rasulullah, apakah aku masih
mempunyai kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah
kematian keduanya? Rasulullah saw. bersabda, Ya ada, yaitu empat hal:
mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji
keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambung sanak famili di
mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur
keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada keduanya setelah kematian
keduanya.” [HR Abu Daud]

16
Berdasarkan ayat-ayat dalam surat Luqman dan hadits di atas, Abu Bakr Jabir al-
Jaziri menyebutkan bahwa setelah seorang muslim mengetahui hak kedua orang
tua atas dirinya, dan menunaikannya dengan sempurna karena mentaati Allah swt,
dan merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika berikut ini terhadap
kedua orang tuanya ; (1) Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan
larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah
dan pelanggaran terhadap syariat-Nya. Karena, manusia tidak berkewajiban taat
kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, berdasarkan firman
Allah, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman:
15). Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya ketaatan itu hanya ada dalam
kebaikan.” (Muttafaq ‘Alaih). Sabda Rasulullah saw., “Tidak ada kewajiban
ketaatan bagi manusia dalam maksiat kepada Allah.” (2) Hormat dan menghargai
kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan
perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara
di atas suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan
istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun
memanggil keduanya dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak bepergian kecuali
dengan izin dan kerelaan keduanya. (3) Berbakti kepada keduanya dengan apa
saja yang mampu ia kerjakan, dan sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi
makan pakaian kepada keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan
madzarat dari keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya. (4)
Menyambung hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunyai hubungan
kekerabatan kecuali dan jalur kedua orang tuanya, mendoakan dan memintakan
ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman
keduanya.

Sedangkan etika yang baik yang harus dibangun oleh orang tua terhadap anakanya
adalah; (1) memberikan pilihan nama yang baik, (2) menunaikan penyembelihan
hewan ‘aqiqah, (3) mengkhitankannya, (4) memberikan nafkah yang halal dan

17
baik, pembinaan mental dan prilaku yang baik, (5) pengenalan dan penanaman
ilmu-ilmu keislaman. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt QS. al-Baqarah
ayat 233 dan al-Tahrim ayat 6.

Etika Penyelesaian Problem Keluarga.

Ada dua permasalahan penting yang harus dituangkan prinsip etik di dalam
penyelesaian problem keluarga, yakni masalah cemburu, dan masalah perceraian.
Kedua permaslahan ini, sering kali diselesaikan oleh suami dan istri dengan
mendahulukan nafsu amarah sehingga menghilangkan nilai-nilai logis sebagai
manusia. Bukan kemaslahatan dan rahmat Allah yang muncul, akan tetapi murka
dan azab Allah yang akan datang.

18
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Keluarga adalah salah satu contoh dari bentuk kelompok kecil. Dalam
sebuah kelompok terdapat beberapa aturan atau etika yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh anggota kelompok. Adanya etika dalam setiap keluarga
kemungkinan berbeda-beda. Ini disebabkan adanya perbedaan pandangan individu
yang dipengaruhi oleh faktor budaya atau lingkungan sekitar. Etika sebuah
keluarga yang kental dengan agama tentu akan berbeda dengan etika sebuah
kelurga yang cukup modern.
Etika keluarga pun harus bisa dijaga sebaik mugkin, jangan sampai terjadi
penyimpangan-penyimpangan etika yang dapat menghilangkan moral dan
martabat keluarga. Anak benar-benar dididik oleh kedua orang tuanya dengan
menanamkan etika sejak dini, bagaiman si anak harus bersikap terhadap
lingkungan sekitarnya.

2. Saran
Kami berharap yang terbaik untuk para pembaca semoga makalah ini
dapat membantu. Jika terdapat perbedaan atau kesalahan dalam cara pandang
ataupun penulisan, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, dan berharap
para pembaca sudi untuk memperbaikinya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo,Budaya dan Masyarakat,Yogyakarta 1987


Luis, Ma’luf., al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 2003
Magnis-Suseno Franz,Etika Umum,Yogyakarta 1984
Sudjoko,dkk. 2008. Pendidikan lingkungan hidup. Jakarta: Universitas Terbuka
Sahabuddin…[et.al]., Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosakata, Jakarta:
Lentera Hati, 2007
Sattar, Al-Syaikh Abdul Aziz Abdus., al-Wa’yu al-Islami, Kuwait: Kementrian
Wakaf, 1972
Shihab, Muhammad Quraish., Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
Walpole,R.E.(1992).pengantar Statistika,Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
http://rizkasm.blogspot.com/2013/03/etika-etika-yang-berlaku-di
indonesia_12.html
http://tuunii.wordpress.com/2013/05/30/pengertian-etika/
http://semangatluarbiasa93.blogspot.com/2013/10/nilai-dan-norma-etika-yang-
berlaku.html
http://rizkasm.blogspot.com/2013/03/etika-etika-yang-berlaku-di-
indonesia_12.html
http://tuunii.wordpress.com/2013/05/30/pengertian-etika/
http://semangatluarbiasa93.blogspot.com/2013/10/nilai-dan-norma-etika-yang-
berlaku.html

20

Anda mungkin juga menyukai