Anda di halaman 1dari 15

ETIKA PROFESI ARBITER

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah Etika Profesi Hukum
Dosen Pengampu: H. Ahmad Khoirudin, Lc.,M.H.

Kelas HTN B/6


Disusun oleh: Kelompok 12
1. Sukma Pertiwi Lubis 1808206044
2. M. Bahaudin Hilmi 1808206059

JURUSAN HUKUM TATANEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2021
ETIKA PROFESI ARBITER
Sukma Pertiwi Lubis, M. Bahaudin Hilmi
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
Email: sukmapertiwilubis@gmail.com,

ABSTRAK
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok
profesi, yang mengarahkan anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus
menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Arbiter adalah orang yang
ditunjuk atau disepakati oleh dua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan
keputusan yang akan ditaati oleh kedua belah pihak. Setiap lembaga arbitrase telah
menetapkan kode etik arbiter yang berlaku secara internal. Sebagai orang yang
ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa arbiter harus mempunyai tanggung jawab yang
besar kepada masyarakat. Kualitas dari seorang arbiter sangat menentukan efektivitas
dari proses arbitrase itu sendiri. Penulisan artikel ini bermaksud untuk membahas
mengenai kode etik profesi arbiter. Dalam penulisan artikel ini dilakukan
menggunakan metode deskriptif yakni mengamati permasalahan sebagaimana adanya
saat penelitian dilaksanakan, memaparkan serta menggambarkan fakta-fakta dan sifat-
sifat dari objek permasalahan tersebut. Sebagai sebuah profesi arbiter diharapkan
mengemban tugas sesuai dengan kode etik profesi, karena pertanggungjawaban
seorang arbiter terhadap masyarakat, kliennya. Arbiter diharuskan tetap menjaga
integritas diri, mempertahankan kehormatan profesi arbiter serta memiliki, rasa adil,
profesional dan memiliki kredibilitas dalam bidangnya, dan bijaksana. Sebagai bagian
dari sistem hukum arbitrase turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia
guna menyelesaikan perselisihan atau sengketa perdata dengan prinsip yang
mengutamakan usaha perdamaian..
Kata Kunci: Kode etik, Profesi, Arbiter

PENGANTAR
Etika Adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk dikatakan baik atau buruk,
dengan kata lain aturan ataupun pola-pola dari tingkah laku yang dihasilkan oleh akal
manusia. Karena adanya etika pergaulan dalam masyarakat atau bermasyarakat akan
terlihat baik dan buruknya. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang didapatkan dari
hasil pendidikan tertentu sesuai dengan profesi yang ditekuni yang dilakukan dengan
penuh tanggung jawab dan profesional. Kode etik arbiter adalah pedoman etika perilaku
yang berlaku bagi dan terhadap profesi arbiter.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase diselesaikan oleh para arbiter. Arbiter
adalah orang yang ditunjuk atau dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui proses arbitrase. Kualitas arbiter akan menentukan efektif tidaknya prosedur
arbitrase itu sendiri. Tidak semua orang dapat bertindak sebagai arbiter. Menurut UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hakim,
jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya, tidak dapat diangkat atau diangkat
sebagai arbiter. Sebagai bagian dari sistem hukum, arbiter mempunyai tanggung jawab
yang besar kepada masyarakat dan kedua belah pihak yang bersengketa. Tanggung
jawab ini termasuk Kewajiban menaati kode etik profesi sebagai tatanan etika yang
disetujui. Semua Lembaga Arbitrase, telah menerbitkan Kode Etika dan Perilaku, yang
menetapkan pedoman standar untuk para arbiter yang umum berlaku dalam
menyelesaikan sengketa sesuai dengan bidangnya. Pedoman tersebut diterapkan dalam
seluruh proses di mana sengketa dimohonkan penyelesaiannya oleh satu atau lebih
arbiter yang ditunjuk sesuai dengan tata cara yang disepakati dalam perjanjian para
pihak, aturan arbitrase atau undang-undang. Dalam seluruh hal tersebut, orang-orang
yang diberi kewenangan untuk memutuskan wajib berpedoman pada standar dasar etika
dan perilaku.
Dari pemaparan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
pertama, apa pengertian, fungsi dan wewenang arbitrase? Kedua, apa itu Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)? Ketiga, apa itu Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS)? Keempat, apa perbedaan penyelesaian sengketa di
pengadilan dan di badan arbitrase? Kelima, bagaimana etika kepribadian arbiter?
Keenam, bagaimana etika dan perilaku arbiter terhadap lembaga dan profesi? Ketujuh,
bagaimana etika hubungan sesama rekan arbiter? Kedelapan, bagaimana etika perilaku
menjaga integritas diri? Kesembilan, bagaimana etika pengawasan arbiter? Kesepuluh,
bagaimana kode etik profesi arbiter (dalam pemeriksaan, persidangan, kewajiban dan
larangan)? Kesebelas, apa saja syarat dan prosedur menjadi arbiter? Kedua belas,
bagaimana pengangkatan arbiter? Ketiga belas, bagaimana pemberhentian profesi
arbiter?

LITERATURE REVIEW
Mengkaji mengenai etika profesi Arbiter,  pada penelitian ini terdapat beberapa
buku yang membahas mengenai etika profesi Arbiter. Pertama, Candra Irawan, S.H.,
M.Hum. yang berjudul "Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia". Dalam
buku ini banyak informasi tentang  penyelesaian sengketa di luar pengadilan serta apa
saja yang menjadi kode etik pada lembaga arbitrase.
Kedua, Dr. Serlika Aprita, S.H., M.H Dr. dan Khalisah Hayatuddin, S.H. M.Hum
dalam bukunya yang berjudul "Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum" dijelaskan
bahwa setiap subjek hukum wajib tunduk pada hukum. Apabila yang bersangkutan
dinyatakan telah melanggar hukum. Maka seluruh proses hukum harus dilakukan di
bawah yurisdiksi sistem yang berlaku. Dengan demikian konsekuensi etis dari ketiadaan
pilihan bagi para pesakitan hukum tersebut adalah suatu tuntutan ketaatan etika profesi
yang sangat tinggi bagi para penyandang profesi hukum.
Pada kedua literature ini juga ternyata belum mampu memberikan pembahasan
yang komprehensif mengenai etika profesi arbiter Oleh karena itu, artikel ini hadir
untuk meramu pembahasan dari berbagai sumber hingga hadir sebuah pemahaman yang
spesifik dan komprehensif. Persamaan dari kedua buku tersebut adalah sama-sama
menyinggung tentang kode etik profesi hukum. Terdapat perbedaan antara kedua
literature tersebut dengan artikel kami, dalam kedua literature tersebut tidak secara
khusus membahas tentang etika profesi arbiter. Hal ini yang membedakan pembahasan
makalah kali ini dengan kedua sumber literature di atas.

METODE PENELITIAN
Metode dari penulisan artikel ini adalah metode penelitiannya deskriptif analitis,
yakni mengamati permasalahan sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan,
memaparkan serta menggambarkan fakta-fakta dan sifat-sifat dari objek permasalahan
tersebut. Hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan cara pandang atau
kerangka berpikir (teori) tertentu untuk diambil kesimpulannya. Jenis penelitiannya
kualitatif dan berbentuk penelitian pustaka (library research).
HASIL PENELITIAN
Pengertian, Fungsi dan Wewenang Arbitrase
Menurut Priyatna Abdurrasyid arbitrase merupakan suatu tindakan hukum di
mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau
lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang atau beberapa ahli yang
disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat.1
Sementara itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (1) berbunyi:
“Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Arbitrase secara sederhana merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan
suatu bentuk tata cara menyelesaikan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu
hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Prasyarat utama terletak pada
kewajiban para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase dan
menyepakati hukum dan tata cara yang ditempuh untuk mengakhiri sengketa.
Fungsi Arbitrase adalah membantu menyelesaikan penyelesaian suatu sengketa di
luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang
bersengketa. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam
bentuk keputusan.
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka
arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para
pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.2
Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase berwenang
 Memutuskan untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu perjanjian pokok
dan/atau Perjanjian Arbitrase.
 Eksepsi kompetensi absolut
 Memiliki segala kewenangan yang diperlukan sehubungan dengan pemeriksaan
dan pengambilan keputusan, termasuk menetapkan jadwal sidang, tata tertib
sidang, acara pemeriksaan yang mungkin belum cukup diatur dalam Peraturan
dan Prosedur ini, dan hal-hal yang dianggap perlu untuk kelancaran pemeriksaan
Arbitrase
 Berhak mengenakan sanksi terhadap Pihak yang lalai atau menolak untuk
menaati apa yang telah ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase
1
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2003).
76.
2
Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
sebagaimana dimaksud ayat (3), dan/atau bersikap atau melakukan tindakan
yang menghina persidangan dan/atau yang dapat menghambat proses
pemeriksaan sengketa.3

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)


BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang
berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar
hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof. Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono
S.H., dan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan
Pengurus dan Dewan Penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor
bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di
Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan, dan
Batam.
Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak
secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan, BANI telah
mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu di mana Majelis
Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik
dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia.
Urgensi keberadaan BANI ialah:
a. Turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, menyelenggarakan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor
perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi,
Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise,
Konstruksi, Pelayaran/ maritim, Lingkungan Hidup, Pengindraan Jarak Jauh, dan
lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase atau bentuk bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan
Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para
pihak yang berkepentingan.
c. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/
pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.4

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)


Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari
Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan
tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan
3
Lihat di https://lapspi.org/wp-content/uploads/2019/09/Peraturan-dan-Prosedur-ARBITER.pdf, diakses
pada tanggal 9 Juni 2021.
4
Candra Irawan, Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2017),
92.
dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H.
Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu untuk
menyelesaikan perselisihan atau sengketa perdata dengan prinsip yang mengutamakan
usaha perdamaian, menyelesaikan sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan
syariat Islam sebagai dasarnya, serta memberikan penyelesaian yang adil dan cepat
dalam sengketa-sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, industri,
jasa, dan lain-lain.5
Kehadiran BASYARNAS sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan
saja karena dilatarbelakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan
syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan
dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu,
tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan
permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya
sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa
dan lain-lain di kalangan umat Islam.

Perbedaan Penyelesaian Sengketa di Pengadilan dan di Badan Arbitrase


Kehadiran lembaga arbitrase sebagai salah satu pranata hukum dalam
penyelesaian sengketa dipengaruhi oleh kekecewaan masyarakat terutama kalangan
pelaku bisnis terhadap kinerja pengadilan yang lambat, dan tidak menghasilkan win-win
solution. Banyak hal yang dijadikan pertimbangan kalangan pelaku bisnis untuk
memanfaatkan lembaga arbitrase.
Berikut beberapa hal yang menjadi perbedaan antara arbitrase dengan pengadilan yaitu: 
1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri dan untuk itu
tentunya akan dipilih mereka yang memiliki integritas, kejujuran, keahlian dan
profesionalisme di bidangnya masing-masing sedangkan mereka tidak dapat
memilih hakim di Pengadilan.
2. Pelaksanaan majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin
rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki. Proses persidangan di Pengadilan
pada umumnya bersifat terbuka untuk umum.
3. Putusan arbitrase sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan
putusan final dan mengikat para pihak terhadap sengketanya.
4. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu
terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan
dan damai (amicable) memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan
komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian
sengketa.
5. Para pihak dalam arbitrase boleh memilih tempat pemeriksaan perkara.
Pemeriksaan perkara di pengadilan ditentukan oleh hakim dan aturan hukum;
6. Para pihak dalam arbitrase boleh menentukan jangka waktu penyelesaian
perkara yang harus dipatuhi oleh arbiter. Di pengadilan, jangka waktu
penyelesaian perkara ditentukan oleh hakim dan peraturan perundang-
undangan.6

5
Anik Entriani, Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, IAIN Tulungagung Research Collections,
Vol. 03, No. 02, (2017), 287.
7. Putusan pengadilan jika telah berkekuatan hukum tetap pelaksanaan putusannya
merupakan kewenangan pengadilan sendiri untuk melakukan eksekusi jika pihak
mengajukannya. Adapun putusan arbitrase pelaksanaan putusannya harus
melalui fiat eksekusi dari pengadilan.7
Perbedaan Pengadilan dengan arbitrase:
1. Status proses
Proses arbitrase sebagai jalur penyelesaian masalah bersifat pribadi, hanya
meliputi kedua belah pihak yang bermasalah dan satu atau dua orang arbiter
sebagai pembuat keputusan. Proses ini pun bersifat informal dapat dilakukan di
mana saja. Berbeda dengan proses pengadilan yang bersifat formal, hakim
sebagai pembuat keputusan dan dilakukan di ruang sidang pengadilan.
2. Lama waktu penyelesaian
Dalam proses di pengadilan suatu masalah baru bisa diselesaikan apabila
pengadilan memproses kasus tersebut, menunjuk hakim serta melakukan
panggilan. Penyelesaian kasus akan lama. Proses penyelesaian arbitrase lebih
singkat jika kedua belah pihak sudah memilih arbiter. Permasalahan akan segera
diproses dan keputusan bisa segera diambil.
3. Biaya yang dikeluarkan
Proses arbitrase umumnya tidak panjang, oleh karena itu biaya yang dikeluarkan
pun tidak terlalu tinggi. biaya ini hanya meliputi pembayaran arbitrer yang
sesuai dengan keahliannya. Dalam proses pengadilan butuh waktu yang cukup
panjang mulai dari pendaftaran, berkas ke pengadilan, pembayaran pengacara,
dan biaya pengadilan. Biaya tersebut akan bertambah apabila pengajuan banding
dan kasasi. Biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak.
4. Penggunaan dan peran pengacara
Dalam proses arbitrase pihak-pihak yang berselisih diperbolehkan menggunakan
pengacara. namun peran pengacara dalam proses ini terbatas, semua keputusan
ada pada arbiter. Sementara itu peran pengacara dalam proses di pengadilan
luas, dari mengumpulkan bukti hingga mengajukan hasil riset dan kasus ke
jajaran hakim di pengadilan untuk melakukan pembelaan.
5. Batasan barang bukti
Aturan barang bukti ini tidak berlaku dalam proses arbitrase. Kalaupun
diberlakukan prosesnya terbatas dan dikendalikan oleh arbiter. Hal ini karena
tidak ada panggilan pengadilan atau integrator dalam proses arbitrase.
Sementara barang bukti adalah yang wajib ada dan ditunjukkan oleh kedua belah
pihak di dalam proses pengadilan barang bukti ini berguna untuk menguatkan
pembelaan dan argumen masing-masing pihak di hadapan majelis hakim saat
persidangan.

6
Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani dan R. Serfianto D. Purnomo, Penyelesaian Sengketa Bisnis Litigasi,
Negosiasi, Konsultasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Ajudikasi, Arbitrase, Dan Penyelesaian
Sengketa Daring, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018), 137-138.
7
Khoirul Anwar, Peran Pengadilan Dalam Arbitrase Syariah, (Jakarta: Kencana, 2018), 87-88.
6. Proses banding sebagai upaya hukum
Semua putusan hukum bersifat mengikat, tak terkecuali arbitrase. Meskipun
demikian, pihak-pihak yang terlibat tidak memiliki pilihan banding. Berbeda
dalam proses penyelesaian di pengadilan yang bisa mengajukan banding dan
kasasi setelah putusan dikeluarkan.8

Etika Kepribadian Arbiter


Arbitrase merupakan salah satu penyelesaian sengketa perdata yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sifat-sifat arbitrer tercermin dalam berbagai sifat dan perilaku sebagai berikut:
a. Memiliki keyakinan, percaya, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Jujur, memiliki integritas yang tinggi, rasa adil dan rasa kepatutan;
c. Berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela;
d. Profesional dan memiliki kredibilitas dalam bidangnya;
e. Bijaksana dan berwibawa.9

Etika dan Perilaku Arbiter Terhadap Lembaga dan Profesi


Arbiter senantiasa:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjunjung tinggi Negara Hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bersikap jujur, profesional, objektif, hati-hati dan bertanggungjawab dalam
melaksanakan tugasnya;
3. Berorientasi kepada penegakan keadilan;
4. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam
masyarakat;
5. Bersikap independen dan tidak memihak;
6. Mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan rasa
keadilan dan kepatutan;
7. Bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam
ucapan maupun perbuatan;
8. Menjaga kewibawaan dan ketenteraman persidangan;
9. Menghormati hak para pihak untuk di dengar keterangannya, menjaga
kerahasiaan data dan informasi yang diterima, diketahui, diperoleh dari atau
sehubungan dengan pemeriksaan sengketa atau beda pendapat yang diselesaikan
melalui arbitrase, menghindarkan diri dari adanya benturan kepentingan pada
saat melaksanakan tugasnya;
10. Berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan putusan dalam waktu yang
telah disepakati atau ditentukan.10

8
Lihat di https://blog.bplawyers.co.id/perbedaan-utama-penyelesaian-sengketa-dengan-jalur-arbitrase-
dan-litigasi/, diakses pada tanggal 29 Mei 2021.
9
Serlika Aprita dan Khalisah, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, (Pasuruan: Penerbit Qiara
Media, 2020), 128.
Etika Hubungan Sesama Rekan Arbiter
Terhadap sesama rekan arbiter harus:
a. Saling bekerja sama dan saling menghargai antar sesama rekan;
b. Memiliki loyalitas terhadap Korps Arbiter;
c. Menjaga nama baik dan martabat rekan;11

Etika Perilaku Menjaga Integritas Diri


Arbiter tidak:
1. Melakukan perbuatan yang dapat merugikan atau bertentangan dengan
kepentingan umum;
2. Melakukan perbuatan yang dapat membuat cacat hukum pada putusan yang
diambilnya;
3. Menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau golongan;
4. Menjalankan profesi atau pekerjaan yang bertentangan dengan harkat dan
martabat seorang arbiter;
5. Memangku sesuatu jabatan lain yang mengganggu kebebasan dan kemandiriannya
di dalam menjalankan tugas arbiter;
6. Menerima bantuan atau pemberian dalam bentuk apapun, baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang dimaksudkan atau di duga untuk atau dapat
mempengaruhi putusannya;
7. Mencari publisitas dari sengketa atau beda pendapat yang ditanganinya.12

Etika Pengawasan Arbiter


Dewan kehormatan menerima, memeriksa dan memutus pengaduan mengenai
dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Arbiter BASYARNAS-MUI
sebagai instansi pertama dan terakhir. Pengaduan dapat disampaikan oleh Pengurus
BASYARNAS-MUI, salah satu pihak yang bersengketa atau pihak lain yang
berkepentingan. Pemeriksaan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan melalui sidang
Etika perilaku dengan mendengar keterangan dari pihak pengadu dan pihak beradu.
Putusan diambil oleh Dewan Kehormatan berdasarkan musyawarah mufakat atau
voting suara terbanyak paling lama 30 hari kerja sejak persidangan dimulai. Putusan
harus memuat pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk Kode Etik yang
dilanggar. Segera setelah menerima salinan putusan Dewan Kehormatan, Pengurus
melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan kepada pengarah/penasihat
mengenai putusan tersebut dan tindakan yang telah dilakukan. Apabila Arbiter
diputuskan terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Arbiter, sanksi atau
hukuman dapat berupa:
1. Teguran, baik lisan maupun tertulis;
2. Peringatan secara tertulis;

10
Candra Irawan, Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2017),
124.
11
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, (Palembang: Refika, 2019).
12
Lihat di http://bapmi.org/pdf/Etika%20Perilaku%20(Code%20of%20Conduct).pdf, diakses pada
tanggal 3 Juni 2021.
3. Pemberhentian sementara sebagai Arbiter; atau pemberhentian selamanya
sebagai Arbiter.13

Kode Etik Profesi Arbiter (Dalam Pemeriksaan, Persidangan, Kewajiban dan


Larangan)
1. Sebelum Pemeriksaan
Membuat sebuah pengungkapan secara tertulis dan disampaikan kepada para pihak
dan Arbiter lainnya perihal fakta atau keadaan yang mungkin akan menimbulkan
keraguan.
2. Dalam Pemeriksaan dan Persidangan
a. Selalu menaati Peraturan Prosedur BANI, perundang-undangan, dan asas-asas
arbitrase yang baik;
b. Tidak boleh memihak, bersimpati ataupun antisipasi kepada para pihak yang
berperkara;
c. Selalu bersifat sopan, tegas, bijaksana dalam persidangan;
d. Selalu berpenampilan rapi, menjaga kewibawaan serta kekhidmatan
persidangan;
e. Bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan keadilan;
3. Setelah penyampaian dan pendaftaran putusan
Tidak diperbolehkan bersimpati atau menerima simpati, atau bersikap antipati
terhadap para pihak yang berperkara.
Kewajiban-kewajiban seorang arbiter:
a. Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak yang berperkara secara
berimbang dengan tidak memihak (impartial);
b. Sopan dan tutur dan bertindak;
c. Memeriksa secara arif, cermat, dan sabar;
d. Memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan serta keputusan;
e. Menjaga martabat, kedudukan, dan kehormatan arbiter;
f. Memberikan waktu dan perhatiannya yang penuh sebagaimana diharapkan oleh
para pihak dengan memperhatikan keadaan perkara yang sedang berlangsung
sampai putusan tersebut selesai dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa
secara final.14
Larangan-larangan bagi Arbiter:
a. Melakukan kolusi dengan siapa pun yang berkaitan dengan perkara yang akan,
sedang dan yang selesai ditangani;
b. Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara;
c. Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya di luar acara persidangan;
d. Mengeluarkan pendapat atau suatu kasus yang ditanganinya baik dalam
persidangan maupun di luar persidangan mendahului putusan;
e. Melecehkan sesama Arbiter, penasihat hukum, serta para pihak yang
berperkara, ataupun pihak lain;
f. Memberikan komentar terbuka atas putusan Arbiter lain, kecuali dilakukan
dalam rangka pengkajian ilmiah;
13
Lihat di https://basyarnas-mui.com/regulation/3/kode-etik-arbiter, diakses pada tanggal 24 Mei 2021.
14
Serlika Aprita dan Khalisah Hayatuddin, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, (Pasuruan:
Penerbit Qiara Media, 2020), 129-130.
g. Berhubungan baik, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan para
pihak yang perkaranya sedang ditanganinya, kecuali atas sepengetahuan para
pihak dan Majelis Arbiter terkait serta harus sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
h. Bertindak sebagai Arbiter dan Advokat/ Konsultan Hukum dalam jangka waktu
yang bersamaan.
i. Meminta atau menerima pemberian atau fasilitas apapun dari para pihak yang
berperkaranya sedang ditangani, baik sebelum persidangan, selama dan sesudah
persidangan.15
Syarat dan Prosedur Menjadi Arbiter
Tidak semua orang dapat menjadi arbiter karena harus memenuhi kriteria-kriteria
tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 12 ayat (1) menyatakan
orang yang ditunjuk dan diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum
2. Berumur paling rendah 35 tahun
3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa
4. Tidak memiliki kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbiter
5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15
tahun.
Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau
diangkat sebagai arbiter.
Dari bunyi pasal Di atas dapat diketahui bahwa sepanjang seseorang memenuhi
syarat-syarat di atas maka dia dapat menjadi arbiter. Ketentuan ini juga tidak
mensyaratkan bahwa ia harus menempuh pendidikan khusus untuk menjadi arbiter.
Pada praktiknya, arbiter yang bekerja pada suatu badan/instansi tertentu juga
harus memenuhi persyaratan tambahan yang ditentukan oleh badan/instansi yang
bersangkutan. Sebagai contoh, arbiter pada Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
(BAPMI) mempunyai syarat khusus yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Lampiran
Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor Kep-03/BAPMI/11.2002
tentang Arbiter BAPMI “Keputusan BAPMI 03/BAPMI/11.2002”, yakni seseorang
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia


b. Cakap melakukan tindakan hukum
c. Berumur paling rendah 35 tahun
d. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidangnya paling sedikit 15
tahun
e. Tidak pernah dihukum karena suatu tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan yang telah mempunyai kekuatan pasti
f. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
15
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, (Palembang: Refika, 2019).
g. Bukan merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menjadi arbiter oleh
ketentuan perundang-undangan yang berlaku
h. Terdaftar sebagak anggota dari asosiasi, himpunan, ikatan dan/atau bentuk
organisasi lain yang telah menjadi anggota BAPMI
i. Berpendidikan minimum sarjana atau setara
j. Telah memperoleh izin orang-perorangan profesi pasar modal dari BAPEPAM
atau terdaftar sebagai profesi penunjang pasar modal BAPEPAM
k. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela dan atau daftar orang yang tidak
boleh melakukan tindakan tertentu di bidang pasar modal sesuai dengan daftar
yang dikeluarkan oleh BAPEPAM dan/ atau tidak pernah dihukum karena suatu
tindakan pidana yang terkait dengan masalah ekonomi dan/ atau keuangan
l. Memahami ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal dan bidang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia.
m. Memahami peraturan dan acara BAPMI
n. Bukan merupakan pejabat di bidang pengawas pasar modal, direksi bursa efek,
atau lembaga kliring dan penjaminan, atau lembaga penyimpanan dan
penyelesaian serta
o. Bukan merupakan pejabat aktif dari instansi peradilan, kejaksaan atau
kepolisian.
Dari sini kita bisa lihat syarat lain atau syarat tambahan khusus yang baru saja
dipenuhi oleh arbiter BAPMI yang membedakan dengan arbiter pada badan lainnya
adalah terdaftar sebagai anggota asosiasi, himpunan, ikatan dan/ atau bentuk organisasi
lain yang telah menjadi anggota BAPMI, memahami Peraturan dan Acara BAPMI, dsb.
Berdasarkan Pasal 8 Keputusan BAPMI 03/2002, calon arbiter yang telah
memenuhi syarat-syarat di atas, akan diangkat sebagai Arbiter BAPMI, dengan
mendaftarkan namanya ke dalam Daftar Arbiter BAPMI.16
Pengangkatan Arbiter
Arbiter adalah orang atau pihak yang ditunjuk atau dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk membantu menyelesaikan
sengketa melalui proses arbitrase. Arbiter yang ditunjuk terdiri dari satu orang atau
lebih. Tidak semua orang dapat menjadi arbiter karena harus memenuhi kriteria-kriteria
tertentu yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 12 ayat (1).
Pada prinsipnya siapa pun dapat menjadi arbiter, tetapi harus memiliki keahlian
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pihak yang sedang terjadi. Seorang
arbiter bisa seorang ahli hukum, atau bisa juga seseorang yang ahli dalam suatu bidang
tertentu. Misalnya ahli bisnis untuk sengketa bisnis, ahli konstruksi untuk sengketa yang
berkaitan dengan konstruksi, atau ahli manajemen untuk sengketa tentang manajemen.17
Orang yang dapat menjadi arbiter tidak boleh dari kalangan pejabat peradilan
seperti hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya, untuk menjamin
objektivitas proses arbitrase. Arbiter dapat diangkat dengan 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Ditunjuk sendiri oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan kesepakatan
tertulis.
16
Evra Willya, Prasetyo Rumondor, Busran, Senarai Penelitian : Islam Kontemporer Tinjauan
Multikultural, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 338-339.
17
Munir Fuadi, Arbitrase Nasional, Bandung: Citra Aditya Bukti, 2000), 67.
2. Ditunjuk oleh badan arbitrase tertentu atas dasar permintaan dari para pihak
yang bersengketa secara tertulis. Hal ini dapat merujuk dari bunyi klausul
arbitrase atau perjanjian arbitrase.
3. Diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Ketua PN menunjuk arbiter, apabila
terjadi situasi sebagai berikut:
a. Para pihak tidak mencapai kesepakatan untuk memilih arbiter. Dalam hal
mengangkat arbiter ad hoc, ketua PN dapat menunjuk arbiter atas
permohonan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 13).
Dalam hal para pihak sepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa
dan diputus oleh arbiter tunggal dan dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari sejak Termohon menerima usul Pemohon dan tidak
tercapai kesepakatan, maka atas permohonan salah satu pihak, ketua PN
dapat mengangkat arbiter tunggal (Pasal 14 ayat (3)). Arbiter yang diangkat
tersebut berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak atau
dari lembaga arbitrase tertentu.
b. Dalam hal para pihak telah menunjuk 2 (dua) orang arbiter dan arbiter yang
ditunjuk diberi kewenangan untuk menunjuk arbiter ke 3 (tiga) sebagai
ketua majelis. Namun dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
arbiter terakhir ditunjuk tidak berhasil menunjukkan arbiter ke 3 (tiga).
Maka atas permohonan dari salah satu pihak, ketua PN dapat mengangkat
arbiter tersebut (Pasal 15 ayat (4)).
Arbiter yang ditunjuk oleh para pihak atau diangkat oleh ketua PN memiliki hak
untuk menerima atau menolak menjadi arbiter. Pernyataan menerima atau menolak
tersebut harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada para pihak yang
bersengketa dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penunjukan atau
pengangkatan.18
Pemberhentian Profesi Arbiter,
Apabila Arbiter diputuskan terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik
Arbiter maka dapat dilakukan dengan pemberhentian sementara sebagai Arbiter; atau
pemberhentian selamanya sebagai Arbiter. Arbiter diberhentikan oleh Badan pengurus
BANI sesuai dengan kebutuhan, atas dasar masukan dari Rapat Pleno.
Apabila terjadi permintaan penggantian atau pengunduran diri Arbiter, maka
proses Arbitrase dihentikan untuk sementara waktu. Dalam hal terjadi pemberhentian
Arbiter selama proses Arbitrase sebagai akibat disetujuinya Hak Ingkar, atau
diterimanya permohonan pengunduran diri Arbiter, atau pencabutan/ pembekuan status
sebagai Arbiter Tetap BMAI, maka seorang Arbiter pengganti akan diangkat dengan
cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan Arbiter yang bersangkutan dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal terjadinya
pemberhentian tersebut.19

KESIMPULAN

18
Candra Irawan, Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2017),
120.
19
Lihat di  http://www.bmai.or.id/Additional/Arbitrase/30.html ,diakses pada tanggal 9 Juni 2021
Etika Adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk dikatakan baik atau buruk,
dengan kata lain aturan ataupun pola-pola dari tingkah laku yang dihasilkan oleh akal
manusia. Karena adanya etika pergaulan dalam masyarakat atau bermasyarakat akan
terlihat baik dan buruknya. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang didapatkan dari
hasil pendidikan tertentu sesuai dengan profesi yang ditekuni yang dilakukan dengan
penuh tanggung jawab dan profesional. Kode etik arbiter adalah pedoman etika perilaku
yang berlaku bagi dan terhadap profesi arbiter.
Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Arbiter adalah orang yang ditunjuk atau dipilih oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase. Kualitas arbiter akan menentukan
efektif tidaknya prosedur arbitrase itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna . 2003. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta:
Fikahati Aneska.
Anwar, Khoirul. 2018. Peran Pengadilan Dalam Arbitrase Syariah. Jakarta: Kencana.
Aprita, Serlika, Khalisah. 2020. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum. Pasuruan:
Penerbit Qiara Media, 2020.
Aprita, Serlika. 2019. Etika Profesi Hukum. Palembang: Refika.
Entriani, Anik. 2017. Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. IAIN Tulungagung
Research Collections, Vol. 03, No. 02.
Fuadi, Munir. 2000. Arbitrase Nasional. Bandung: Citra Aditya Bukti.
Hariyani, Iswi, dkk. 2018. Penyelesaian Sengketa Bisnis Litigasi, Negosiasi, Konsultasi,
Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Ajudikasi, Arbitrase, Dan
Penyelesaian Sengketa Daring. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Irawan, Candra. 2017. Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia.
Bandung: Mandar Maju.
Willya, Evra, dkk.2018. Senarai Penelitian : Islam Kontemporer Tinjauan
Multikultural. Yogyakarta: Deepublish.
Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Lihat di http://www.bmai.or.id/Additional/Arbitrase/30.html, diakses pada tanggal 9
Juni 2021
Lihat di http://bapmi.org/pdf/Etika%20Perilaku%20(Code%20of%20Conduct).pdf,
diakses pada tanggal 3 Juni 2021.
Lihat di https://basyarnas-mui.com/regulation/3/kode-etik-arbiter, diakses pada tanggal
24 Mei 2021.
Lihat di https://blog.bplawyers.co.id/perbedaan-utama-penyelesaian-sengketa-dengan-
jalur-arbitrase-dan-litigasi/, diakses pada tanggal 29 Mei 2021.
Lihat di https://lapspi.org/wp-content/uploads/2019/09/Peraturan-dan-Prosedur-
ARBITER.pdf, diakses pada tanggal 9 Juni 2021.

Anda mungkin juga menyukai