Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan audiometri bertujuan untuk mengukur ketajaman pendengaran


dan untuk menetukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan
pendengaran. Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar
dan mengukur (uji pendengaran). Pengertian audiometri nada murni adalah suatu
sistem uji pendengaran yang mempergunakan alat listrik yang dapat menghasilkan
bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500-1000-2000-4000-8000 Hz
dan taraf intensitas yang dapat diatur dalam satuan desibel (dB). Sedangkan pada
audiometri tutur, sistem uji pendengaran dnegan menggunakan kata-kata terpilih yang
telah dibakukan, ditututkan melalui suatu rangkaian yang telah dikaliberasi.
Audiometer pada umumnya hanya menyediakan tampilan hasil data yang mentah
sehingga hanya orang yang ahli dalam bidang audiologi yang mampu
mendiagnosa secara penuh. Tampilan data tersebut berupa audiogram yang
menunjukkan ambang pendengaran pasien.1

Audiogram merupakan plot dari taraf intensitas HL (Hearing Level) dan


frekuensi. Pada pemeriksaan audiogram digunakan frekuensi antara 250-8000 Hz
dengan taraf intensitas 0-100 dB. Unruk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan
untuk telinga kanan menggunakan warna merah.2

Terdapat dua penyebab umum penururnan pndengaran yakni penurunan


pendengaran hantaran (Tuli Konduktif) dimana getaran suara tidak dapat mencapai
telinga dalam dan penurunan pendengaran saraf (Tuli Sensorineural) dimana suara
mencapai telinga dalam namun tidak ada sinyal listrik yang dikirim ke otak.
Penurunan pendengaran akibat gangguan hantaran mungkin bersifat temporer akibat
tersumbatnya gendang telinga oleh serumen atau akibat cairan ditelinga tengah.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

AUDIOMETRI

1. Definisi Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja digunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi
kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran. Bagian dari
audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi . headphone
untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC
(hantaran tulang). Pemeriksaan pada gangguan pendengaran konduksi kedua telinga
akan dipasang oleh headphone, sedangkan untuk memeriksa gangguan pendengaran
sensorineural kedua telinga akan dipasang oleh bone vibrator.4
Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam dB
dari tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga seseorang, dengan kata
lain ambang pendengaran seseorang terhadap bunyi.1

2. Manfaat Audiometri
a. Untuk kedokteran klinik, khususnya menemukan penyakit telinga.
b. Untuk kedokteran kehakiman, sebagai dasar tuntutan ganti rugi.
c. Untuk kedokteran pencegahan, mendeteksi ketulian pada anak-anak, pekerja
pabrik.2

3. Tujuan Audiometri
a. Kegunaan diagnostik penyakit telinga
b. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap percakapan sehari-sehari.
Atau validitas sosial pendengaran seperti untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh
alat bantu dengar, ganti rugi seperti dalam bidang kedokteran kehakiman dan
asuransi.
c. Skrinning pada anak balita dan sekolah dasar.
d. Monitor pekerja yang bekerja di tempat bising.2
Terdapat dua macam audiometer :

1) Audiometer nada murni


Audiometri nada murni merupakan prosedur uji sensitivitas masing-masing
telinga dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada
murni dari frekuensi bunyi yang berbeda-beda, yaitu 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan
8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan desibel (dB). Bunyi yang
dihasilkan disalurkan melalui ear phone atau melalui bone conductor ke telinga orang
yang diperiksa pendengarannya. Hasilnya akan diperiksa secara terpisah, untuk bunyi
yang disalurkan melalui ear phone mengukur ketajaman pendengaran melalui
hantaran udara, sedangkan melalui bone conductor telinga mengukur hantaran tulang
pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang
dan hantaran udara. Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekuensi 20-20000 Hz. Frekuensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk
memahami percakapan sehari-hari.
 Istilah dalam Audiometri Nada Murni
1. Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi,
dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.
2. Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari
spektrum terbatas (Narrow band), spektrum luas (White noise).
3. Frekuensi : merupakan nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang
sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Dengan satuannya dalam
jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz (Hz).
4. Intensitas Bunyi : dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB HL (hearing level),
dB SL (sensation level), dB SPL ( Sound Pressure Level ), dB HL, dan Db SL
dasarnya adalah subjektif, dan inilah yang biasa digunakan dalam audiometer,
sedangkan dB SPL digunakan apabila ingin mengetahuoi intensitas bunyi yang
sesungguhnya secara fisika (ilmu alam).
5. Ambang dengar : merupakan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang
dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila
ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan
didapatkan audiogram.
6. Nilai nol audiometrik (audiometric zone) dalam dB HL dan dB SL, yaitu
intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat
didengar oleh telinga rata-rata dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap
frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama. Pada audiogram angka-angak
intensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan
kenaikan logaritmik secara pembanding. Terdapat dua standar yang dipakai dalam
ISO (International Standard Organization) dan ASA (American Standard
Association). Dengan nilai berupa
0 dB ISO = -10 dB ASA atau 10 dB ISO = 0 dB ASA
7. Notasi pada audiogram, untuk pemeriksaan audiogram dipakai grafik AC, yaitu
dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz)
dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa
250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan telinga kanan
warna merah.3

Gambar 1. Notasi Audiogram

8. Grafik Audiogram, garis vertical menandakan frekuensi 125 Hz pada garis


vertical paling kiri grafik menandakan frekuensi nada rendah. Semakin ke kanan
maka frekuensi nada makin tinggi. Frekuensi berbicara terdapat pada 500 – 3000
Hz. Garis horizontal menyatakan intensitas suara 0 dB pada garis paling atas
menandakan suara yang sangat lemah, dan semakin ke bawah intensitas bunyi
semakin tinggi.5

.
Gambar 2a. Analogi Garis Vertikal pada grafik audiogram

Gambar 2b. Analogi Garis horizontal pada grafik audiogram


2) Audiometer Tutur
Audiometer tutur adalah alat uji pendengaran menggunakan kata-kata terpilih
yang telah dibakukan dan dikalibrasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan
pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni,
hanya disini alat uji pendengaran menggunakan daftar kata terpilih yang dituturkan
pada penderita. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah
taraf intensitas kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah persentase kata-
kata yang ditebak dengar benar.
Dari audiogram tutur dapat dietahui dua titik penting yaitu:
1. Speech Reception Threshold (SRT) adalah batas minimum penerimaan
percakapan dan bertujuan untuk mengetahui kemampuan pendengaran penderita
dalam mengikuti percakapan sehari-hari atau disebut validitas sosial. Titik SRT
ini diperoleh bila penderita telah dapat menirukan secara betul 50% dari kata-kata
yang disajikan.Dengan SRT ini kita dapat memperoleh gambaran ketulian secara
kuantitatif.
2. Speech Discriminatuon Score (SDS) untuk mengetahui kemampuan pendengaran
penderita dalam membedakan bermacam-macam kata yang didengar. Normalnya
adalah 90%-100%. Dengan SDS dapat diperoleh gambaran ketulian secara
Kualitatif.6
4. Audiogram
Audiogram merupakan hasil pemeriksaan dengan audiometer yang berupa
catatan grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan audiometer, yang
berisi grafik ambang pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara
dalam desibel (dB).

Gambar 3. Audiogram
Keterangan:
 Gunakan tinta merah untuk telinga kanan, dan tinta biru untuk telinga kiri
 Hantaran udara (Air Conduction = AC)
Kanan = O
Kiri = X
 Hantaran udara (Air Conduction = AC) dengan masking
Kanan = Δ
Kiri = 
 Hantaran tulang (Bone Conduction = BC)
Kanan = <
Kiri = >
 Hantaran tulang (Bone Conduction = BC) dengan masking
Kanan = Δ
Kiri = 
 Hantaran tulang (Bone Conduction = BC)
Kanan = <
Kiri = >
 Hantaran tulang (Bone Conduction = BC) dengan masking
Kanan = с
Kiri = ‫כ‬
 Hantaran udara (AC) dihubungkan dengan garis lurus ( ) dengan
menggunakan tinta merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga kiri
 Hantaran tulang (BC) dihubungkan dengan garis putus-putus ( - - - - - - - - )
dengan menggunakan tinta merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga
kiri.7

5. Jenis dan Derajat Ketulian serta GAP


Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis
ketulian : tuli konduktif, tuli sensorineural, atau tuli campur.
Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :
Ambang dengar (AD) =
AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
3
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk
pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung
dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas,
kemudian dibagi 4.
Ambang dengar (AD) =
AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz
4
Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC).
Pada interpretasi audiogram harus ditulis :
a. Telinga yang mana
b. Apa jenis ketuliannya
c. Bagaimana derajat ketuliannya, misalnya telinga kiri tuli campur sedang.

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran
udaranya (AC) saja.

Derajat ketulian ISO :


0-25 dB : normal
>25-40 dB : tuli ringan
>40-55 dB : tuli sedang
>55-70 dB : tuli sedang berat
>70-90 dB : tuli berat
>90 dB : tuli sangat berat

Dari hasil pemeriksaan audiogram disebut ada gap apabila antara AC dan BC
terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekuensi yang
berdekatan. Pada pemeriksaan audiometri, kadang-kadang perlu diberi masking. Suara
masking, diberikan berupa suara seperti angin (bising), pada head phone telinga yang
tidak diperiksa supaya telinga yang tidak diperiksa tidak dapat mendengar bunyi yang
diberikan pada telinga yang diperiksa.
Pemeriksaan dengan masking dilakukan apabila telinga yang diperiksa
mempunyai pendengaran yang mencolok bedanya dari telinga yang satu lagi. Oleh
karena AC pada 45 dB atau lebih dapat diteruskan melalui tengkorak ke telinga
kontralateral, maka pada telinga kontralateral (yang tidak diperiksa) diberi bising
supaya tidak dapat mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang diperiksa.
 Narrow Bandnoise (NB) = masking audiometri nada murni.
 White noise (WN) = masking audiometri tutur (speech).3
6. Interpretasi Audiogram
a. Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran udara
maupun hantaran tulang sebesar 0 dB. Pada keadaan tes yang baik, audiogram dengan
ambang dengar 10 dB pada 250 dan 500 Hz, sedangkan 0dB pada 1000, 2000, 4000,
dan 10000 Hz dan pada 8000 Hz dapat dianggap normal.3

Gambar 4. Audiogram Pendengaran Normal


AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB
AC dan BC berimpit, tidak ada gap

b. Gangguan Tuli Konduktif

Tuli konduktif, disebabkan oleh kelainan yang terdapat di telinga luar atau
telinga tengah. Telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif ialah atresia liang
telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga.
Kelainan di telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif ialah tuba katar /
sumbatan luka eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis,
hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran. Tuli konduktif menyebabkan
gangguan hantaran udara yang lebih besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli
konduktif murni, keadaan koklea yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang
normal, yaitu 0 dB pada audiogram. Gap antara hantaran tulang dengan hantaran
udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif.8

Gambar 5. Tuli Konduktif


BC normal atau kurang dari 25 dB
AC lebih dari 25 dB
Antara AC dan BC terdapat gap

c.Ganggaun Tuli Sensorineural (SNHL)


Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran
tulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat gangguan
koklea, retrokoklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk
kelainan yang terdapat didalam batang otak.9
Gambar 6. Tuli Sensorineural
Tuli perseptif : AC dan BC lebih dari 25 dB
AC dan BC berimpit (tidak ada gap)

d. Gangguan Tuli Campur


Kemungkinan terjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen yang
padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan fungsi koklea
ditambah dengan penurunan pendengaran karena sumbatan konduksi udara
menggambarkan tingkat ketulian yang disebabkan oleh komponen konduktif.
Perbedaan antara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai “jarak udara
tulang” atau “air bone gap”. Jarak udara tulang merupakan suatu ukuran dari komponen
konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level hantaran udara menunjukkan tingkat
patologi koklea, kadang disebut sebagai “cochlear reserve” atau cabang koklea.4
Gambar 7. Tuli Campuran
BC lebih dari 25 dB
AC lebih besar dari BC, terdapat gap
e. Presbikusis
Presbikusis adalah gangguan pendengaran sensorineural (saraf) pada usia
lanjut akibat proses degenerasi (penuaan) organ pendengaran. Proses ini terjadi
berangsur-angsur, dan simetris (terjadi pada kedua sisi telinga). Gambaran
audiogram adalah bentuk landai, penurunan pada semua frekuensi (sloping
audiogram).10

Gambar 8. Audiogram Presbikusis


f. Noise Induced Hearing Loss
Gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan yang bisa berupa
subyektif maupun obyektif. Kebisingan subyektif adalah kebisingan yang tidak
disukai atau tidak diharapkan oleh seseorang. Kebisingan obyektif adalah bising
terdiri dari getaran kompleks, dalam arti beragam frekuensi dan intensitas, baik yang
sifat getarannya tidak periodik (bising lalu lintas, keramian, musik), maupun getaran
yang periodik (mesin pabrik). Gambaran audiogram pada awal Noise Induced ada
penurunan di 4000 dan 8000 Hz. Bila kebisingan melebihi 5 tahun biasanya sudah
ada penurunan juga di 2000 Hz.11

Gambar 8. Audiogram Noise Induced Hearing Loss


BAB III
KESIMPULAN

1. Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat
intensitas terendah dalam dB dari tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada
telinga seseorang, dengan kata lain ambang pendengaran seseorang terhadap
bunyi. Terdapat dua macam audiometer : audiometer nada murni dan audiometer
tutur.
2. Audiogram merupakan hasil pemeriksaan dengan audiometer yang berupa catatan
grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan audiometer, yang berisi
grafik ambang pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara
dalam desibel (dB).
3. Terdapat beberapa kelainan/pemyakit yang menyebabkan ketulian yaitu : tuli
konduktif, tuli sensorineural, tuli campuran, presbikusis, dan Noise Induced
Hearing Loss.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rukmini Sri. 2005. Teknik Pemeriksaan THT. Jakarata. Penerbit : EGC


2. Sardjono Soedjak, dkk. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok.
Jakarta : EGC.
3. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke- 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
4. George L. Adams. 2007. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC
5. Nagel Patrick dan Gurkov Robert. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC
6. Lucente, Frank E. 2011. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Dialihbahasakan oleh
Hartanto, Huriawati. Jakarta: EGC
7. Asroel, Harry. 2009. Audiologi. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan
8. Dhingra PL, Dhingra S. 2014. Disease of ear, nose, and throat& head and neck
surgery. India: Elsevier
9. Bashiruddin J, dkk. 2008. Gambaran Audiometri Nada Murni pada Penderita
Gangguan Pendengaran Sensorineural Usia Lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia
10. Dina L. 2013. Prevalensi Presbikusis dan Faktor Risiko yang Mempengaruhi Lanjut
Usia di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten. [Disertasi]. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatulah.
11. Sulistyanto, A., Samihardja Y., Suprihati. 2009. Hubungan antara lama kerja dengan
terjadinya Noise Induced Hearing Loss (NIHL). Semarang. Sains Medika . Vol.1.
No.1. Januari-Juni 2009:75- 76.

Anda mungkin juga menyukai