Referat Meningitis TB Ay PDF
Referat Meningitis TB Ay PDF
REFERAT
MENINGITIS BAKTERIAL
Disusun oleh:
Khulaida Fatila Hayati
102011101055
Dokter Pembimbing:
dr. Eddy Aryo, Sp.S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi…………………………………………………………………… 2
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………… 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi………………………………………………................ 4
2.2 Etiologi........................................................................................ 10
2.3 Epidemiologi…………………………………………….......... 13
2.4 Cara Penularan………………………………………………… 15
2.5 Patofisiologi................................................................................ 16
2.6 Klasifikasi……….…………………………………………...... 25
2.7 Gejala Klinis……………………………................................... 26
2.8 Pemeriksaan Penunjang.............................................................. 28
2.10 Diagnosis ……..………………………………….................. 31
2.11 Penatalaksanaan......................................................................... 35
2.12Komplikasi ………………………………………………… 43
2.14 Prognosis…………………………………………….............. 43
BAB 3 PENUTUP…...……………………………………………………. 44
Daftar Pustaka…………………………………………………................. 46
3
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi di beberapa tempat.
Bagian SSP yang sering terinfeksi adalah otak sistem saraf pusat sebenarnya tidak
hanya karena adanya mikroorganisme, tetapi lebih diakibatkan oleh proses
inflamasi sebagai respon adanya mikroorganisme tersebut. Penyakit meningitis
dapat terjadi pada semua tingkat usia,namun kalangan usia muda lebih rentan
terserang penyakit ini.
Data dari salah satu rumah sakit di Surabaya pada tahun 2000 hingga
pertengahan tahun 2001 menunjukkan jumlah 31 penderita meningitis. Usia
kurang dari satu tahun 22,6%; usia 1-5 tahun 3,2%; usia 5-15 tahun 6,4%; usia 15-
25 tahun 32%; usia 25-45 tahun 16,1%; usia 45-65 tahun 16;1%; usia lebih dari
65 tahun 3,2%. Dari 31 penderita tersebut sebanyak delapan orarng (25,8%)
meninggal dunia.
Proses multiplikasi ini tidak berlalu tanpa pergulatan antara kuman dan
unsur sel dan zat biokimia tubuh yang dikerahkan untuk mempertahankan
keutuhan tubuh. Aksi kuman dan reaksi tubuh setempat menghasilkan runtuhan
kuman dan unsur-unsur tubuh,yang merupakan racun (toksin) bagi tubuh. Racun
tersebut diserap aliran darah dan menimbulkan keadaan yang disbut sebagai
toksemia. Gejala-gejala yang mencerminkan toksemia itu biasanya terdiri dari
demam, perasaan tidak enak badan,anoreksia, salesma, batuk dan sebagainya,yang
disebut sebagai predorm. Masa antara penetrasi dan mula timbulnya predorm
dikenal sebagai masa inkubasi. Pergulatan antara kuman dan unsure-unsue tubuh
setempat dapat dimenangkan oleh tubuh dan multiplikasi kuman selanjutnya
dapat diberantas sehingga infeksi hanya menimbulkan gejala predorm saja. Infeksi
tersebut dapat berlalu setengah jalan dan dinamakan infeksi abortif. Jika
peperangan dimenangakan pihak kuman, maka kuman-kuman berbiak pesat dan
berusaha masuk ke aliran darah. Keadaan dimana kuman sudah berada di aliran
darah dinamkan septicemia.
berhasil menerobos permukaan tubuh dalam dan luar, ia dapat tiba di susunan
saraf pusat.Kuman yang bersarang di mastoid dapat juga menjalar secara
perkontunitatum,sutura memberikan kesempatan untuk invasi semacam itu.
Sedangakan invasi secara hematogenik merupakan penyebaran ke otak melalui
arteri serebral secara langsung. Penyebaran hematogen tak langsung dapat
dijumpai, misalnya arteri meningel yang terkena radang lebih dahulu, setelah itu
kuman menyebar ke liquor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui
penerobosan dari piamater. Hal ini dipermudah pada keadaan septicemia atau
bakterimia dimana sawar darah otak “blood brain barier” terganggu fungsinya.
Infeksi di sekitar otak jarang disebabkan oleh bakterimia saja, karena jaringan
otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi, kecuali jumlah kuman yang
cukup besar atau sebelumnya telah terjadi nekrosis terlebih dahulu.
Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak ini sangat protektif,
namun ia menghambat penetrasi fagosit ‘antibodi’ dan ‘antibiotik’.lagipula
jaringan otak tidak memiliki fungsi fagosit yang efektif dan tidak mempunyai
lintasan pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi.(2)
1. Meningitis Bakteri
2. Meningitis Virus
3. Meningitis Tuberkulosa
4. Meningitis Fungus
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.1
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. Sifat dari
durameter yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan berwarna abu-abu. Bagian
pemisah dura : falx serebri yang memisahkan kedua hemisfer dibagian
longitudinal dan tentorium yang merupakan lipatan dari dura yang membentuk
jaring- jaring membran yang kuat. Jaring ini mendukung hemisfer dan
memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa posterir). 2
2. Arakhnoid
10
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut arakhnoid.
Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid
terdapat flexus khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan
serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai bentuk seperti jari tangan yang
disebut arakhnoid vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS
diproduksi 500 cc dan diabsorbsi oleh vili 150 cc. 2
3. Piameter
Stadium pertama, secara khas berakhir 1-2 minggu, ditandai oleh gejala-
gejala nonspesifik, seperti demam, nyeri kepala, iritabilitas, mengantuk dan
malaise.Tanda-tanda neurologist setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami
stagnasi dan kehilangan perkembangan kejadian yang penting.
1. Araknoiditis proliferatif
15
2. Vaskulitis
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior
serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis
tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin. 6,7
3. Hidrosefalus Komunikans
Disamping fokus rich pecah dapat timbul pada saat tuberkulose paru
sudah menghilang atau memang lesinya sangat kecil, sehingga tidak tampak
pada pemeriksaan radiologik.
saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum
dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang
lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin
menurun.
opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu
sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung
selama 1 minggu.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini malam, karena penyakit ini selalu
ada kemungkinan kearah perburukan, dan dapat mengancam jiwa penderita.
Prognosis ad functionam pasien ini malam, karena kemungkinan akan
meninggalkan gejala sisa yang sifatnya permanent. Prognosis ad sanationam
pasien ini malam, karena masih ada peluang untuk kambuh lagi jika imunitas
pasien menurun, dan terdapatnya factor-faktor yang meningkatkan transmisi agen
penyebab.
mikroskop CSS yang diwarnai tahan asam dan biakan mikrobakterium terkait
secara langsung dengan ukuran sample CSS. Pemeriksaan atau biakan sejumlah
kecil CSS tidak mungkin memperlihatkan M Tubercelosa. Jika 5-10 ml CSS
lumbal dapat diambil, pewarnaan tahan asam sediment CSS positif sampai 30 %
kasus dan biakan positif pada 50-70% kasus. Biakan cairan lain seperti aspirat
lambung dan urin dapat membantu memperkuat diagnosis.
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada
anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak
dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga
saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 9
yang khas yang disebut dengan “pelikel” , yakni hasil dari tingginya konsentrasi
fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. Tekanan pembuka
pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, pada meningitis
TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi
nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4
Bila penderita tidak sadar lama: Beri makanan melalui sonde, cegah
dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita sesering
mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam, Cegah kekeringan kornea
dengan boorwater/salep antibiotika, Bila mengalami inkontinensia urin lakukan
pemasangan kateter, Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement,
Pemantauan ketat:Tekanan darah,Pernafasan,Nadi,Produksi air kemih, Faal
hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC.
Dan setelah pasien membaik dan mulai sadar, dilakukan fisioterapi dan
rehabilitasi, karena angka kecacatan pada penderita meningitis sangat tinggi. Bila
pasien mengalami hipertoni otot, maka akan mempunyai resiko kontraktur,
diperlukan edukasi dan kerjasama yang baik antara orang tua dengan dokter.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus,
yaitu:
Terapi Umum
Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
31
Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edem cerebri
Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
Kesadaran menurun
Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1
bulan.
Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis
harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg
/ hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid
terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.7
Rifampisin
33
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500 mg. 7
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
34
Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah
itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu
sesuai dengan lamanya pemberian regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
35
Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25
gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis
optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI
menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari
tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10
tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan
dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan. 7
Tabel 2.2. Efek samping ringan obat dan penatalaksanaannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya.
3.2 Saran
Saran yang diberikan dalam makalah ini terkait dengan kasus adalah:
Pemberian pengobatan antituberkulosis dapat diberikan secara teratur dan
tanpa terputus untuk menghilangkan bakteri-bakteri penyebabnya.
Selalu memperhatikan adanya efek samping obat yang diberikan, dan
meminimalisir keadaan yang dapat memperoarah kondisi efek samping
obat tersebut.
Pemberian steroid harus diperhitungkan pada anak-anak, dalam indikasi
tertentu yang diperbolehkan baru bisa diberikan.
Gejala sisa dari meningitis harus dapat diminimalisir dengan pemberian
terapi OAT yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
10. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the
Nervous System in Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA;
The McGraw-Hill Companies. p403-408, p421-423.
12. Amin, Z., Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
42
16. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition.
Lippincot William and Wilkins. p. 443.
17. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th
edition. IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.
18. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak,Infeksi System Saraf Sentral edisi 15, EGC,
Jakarta 2000.
19. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, cetakan ke-6,
Dian Rakyat, Jakarta