Anda di halaman 1dari 22

Referat

PSIKODINAMIKA EKSHIBISIONISME

Oleh:

Jane Angela Kalangi

14014101212

Masa KKM: 23 Maret – 19 Juni 2016

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2016

1
DAFTAR ISI

BAB I. Pendahuluan ………………………………………………………………………… 1

BAB II. Tinjauan Pustaka .…………………….……………...……………...……………


3

A. Definisi Ekshibisionisme …………………… ………………………………. 3


B. Kriteria Diagnostik Ekshibisionisme……………. ………………………........… 3
C. Etiologi dan psikodinamika ekshibisionisme…………………………………… 3
D. Gejala Klinis Ekshibisionisme……………….. ……………………………….... 16

BAB III Kesimpulan ………………………………………………………..……….…… 18

Daftar Pustaka …………………………………………………………………………… 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

Eksibisionisme adalah dorongan rekuren untuk memamerkan genitalia kepada


seorang asing atau orang yang tidak menaruh curiga. Kegembiraan seksual terjadi
dalam menanti tindakan memamerkan tersebut, dan orgasme terjadi dengan
melakukan masturbasi pada saat atau setelah peristiwa. Pada hampir 100 persen
kasus, mereka yang dengan eksibisionisme adalah laki-laki yang memamerkan
dirinya sendiri kepada wanita. Dinamika laki-laki dengan eksibisionisme ada lah
untuk menyatakan kejantanannya dengan menunjukkan penisnya dan dengan
mengamati reaksi korban ketakutan, terkejut, jijik. Secara tidak disadari, laki-laki
merasa terkastrasi dan impoten. Istri dari seorang laki-laki dengan eksibisionisme
sering kali menggantikan ibu dengan siapa laki- laki tersebut terlekat secara
berlebihan selama masa anak-anaknya. Pada parafilia terkait lainnya tema sentral
adalah berasal dari melihat atau menunjukkan.1-2

Dalam DSM-V, eksibisionisme dimasukkan dalam golongan parafilia.


Parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap
objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan kata
lain, terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Fantasi, dorongan,
atau perilaku harus berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress
atau hendaya signifikan. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi, atau dorongan
seperti yang dimiliki seorang parafilia, namun tidak didiagnosis menderita parafilia
jika fantasia tau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami distress
karenanya.3

Banyak orang sering kali mengalami lebih dari satu parafilia dan pola
semacamnya itu dapat merupakan aspek gangguan mental lain, seperti skizofrenia,
depresi, atau salah satu gangguan kepribadian. Tidak ada angka prevalensi yang
akurat untuk sebagian besar parafilia. Banyak orang yang mengalami parafilia in
memilih untuk tidak mengungkapkan penyimpangan mereka. Sama dengan itu angka

3
tingkat penangkapan kemungkinan juga lebih rendah dari sebenarnya karena banyak
kejahatan yang tidak dilaporkan dan banyak korban parafilia tidak menyadarinya.
Karena beberapa orang yang mengidap parafilia mencari pasangan yang tidak begitu
saja menurutinya atau dengan melanggar hak orang lain secara ofensif (seperti pada
eksibisionisme), gangguan ini sering kali memiliki konsekuensi hukum.4-6

Orang dengan eksibisionisme yang mempertunjukkan diri mereka sendiri di


depan publik juga lazimnya ditahan. Dua puluh persen perempuan dewasa telah
menjadi target orang dengan ibisionisme dan voyeurism.1-2

Parafilia tampak sebagian besar merupakan keadaan pada laki-laki. Lebih dari
50% parafilia memiliki awitan sebelum usia 18 tahun. Pasien dengan parafilia sering
memiliki tiga hingga lima parafilia, baik terjadi bersamaan atau pada waktu yang
berbeda di dalam kehidupannya. Pola kejadian ini terutama pada kasus dengan
eksibisionisme, fetisisme. asokisme, sadism, fetisisme transvestik, voyeurism, dan
zoofilia. Kejadian perilaku paraphilia memuncak pada usia di antara 15-25 tahun dan
menurun secara bertahap, pada laki-laki berusia di atas 50 tahun, tindakan paraphilia
kriminal jarang terjadi.7-8

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi ekshibisionisme
Ekshibisionisme adalah dorongan rekuren untuk memamerkan genitalia
kepada seorang asing atau orang yang tidak menaruh curiga.2-4

B. Kriteria Diagnosis ekshibisionisme


Kriteria Diagnostik menurut DSM V
A. Selama periode minimal 6 bulan, gairah seksual yang berulang dan kuat
dari memamerkan alat kelamin sendiri kepada orang yang tidak dikenal dan
tidak menduga, yang bermanifestasi melalui khayalan, doronga, perilaku
B. Individu telah bertindak atas dorongan seksual tersebut kepada orang yang
tidak dikenal atau tidak menduga, atau dorongan seksual berupa khayalan
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis dan penurunan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.2-4,9

C. Etiologi dan psikodinamika ekshibisionisme


Etiologi gangguan eksibisionistik sebagai bagian dari sindrom Parafilia bisa
dilihat dari berbagai perspektif, yakni :2-4,9-10
1. Perspektif Psikodinamika
 Pengertian Psikodinamika

Teori psikodinamika adalah teori yang berusaha menjelaskan hakikat


dan perkembangan kepribadian. Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini
adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya. Teori ini
mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik

5
dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi pada anak-
anak dini.10

Pemahanan freud tentang kepribadian manusia didasarkan pada


pengalaman-pengalaman dengan pasiennya, analisis tentang mimpinya, dan
bacaannya yang luas tentang beragam literature ilmu pengetahuan dan
kemanusiaan. Pengalaman-pengalaman ini menyediakan data yang mendasar
bagi evolusi teorinya. Baginya, teori mengikuti megikuti observasi, dan
konsepnya tentang kepribadian terus mengalami revisi selama 50 tahun
terakhir hidupnya.11

Teori psikodinamika atau tradisi klinis berangkat dari dua asumsi


dasar. Pertama, manusia adalah bagian dari dunia binatang. Kedua, manusia
adalah bagian dari sistem energi. Kunci utama untuk memahami manusia
menurut paradigma psikodinamika adalah mengenali semua sumber terjadinya
perilaku, baik itu berupa dorongan yang disadari maupun yang tidak
disadari.2-4

Teori psikodinamika ditemukan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Dia


memberi nama aliran psikologi yang dia kembangkan sebagai psikoanalisis.
Banyak pakar yang kemudian ikut memakai paradigma psikoanalisis untuk
mengembangkan teori kepribadiannya, seperti : Carl Gustav Jung, Alfred
Adler, serta tokoh-tokoh lain seperti Anna Freud, Karen Horney, Eric Fromm,
dan Harry Stack Sullivan. Teori psikodinamika berkembang cepat dan luas
karena masyarakat luas terbiasa memandang gangguan tingkah laku sebagai
penyakit.2-4

 Teori Psikoseksual Freud

6
Psikodinamika mencerminkan dinamika-dinamika psikis yang
menghasilkan gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Dinamika psikis terjadi
melalui sinergi dan interaksi-interaksi elemen psikis setiap individu.
Seksualitas Freud sebagai sebuah dinamika, menangkap ada bermacam-
macam potensi psikopatologi dalam setiap peta id, ego, dan superego. Ketiga
elemen psikis ini mempunyai kekhasan masing-masing, sebab mereka
menggambarkan tiap-tiap ide yang saling paradoks. Hanya saja, mereka tidak
akan membuat manusia sepenuhnya nyaman, karena manusia tetap saja orang
yang sakit. Sebagaimana tubuh fisik yang mempunyai struktur: kepala, kaki,
lengan dan batang tubuh, Sigmund Frued, berkeyakinan bahwa jiwa manusia
juga mempunyai struktur, meski tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam
ruang. Struktur jiwa tersebut meliputi tiga instansi atau sistem yang berbeda.
Masing-masing sistem tersebut memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri.
Keharmonisan dan keselarasan kerja sama di antara ketiganya sangat
menentukan kesehatan jiwa seseorang. Ketiga sistem ini meliputi: Id, Ego,
dan Superego. Sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut:2-4,12

1. Id
Sigmund Frued mengumpamakan kehidupan psikis seseorang bak gunung
es yang terapung-apung di laut. Hanya puncaknya saja yang tampak di
permukaan laut, sedangkan bagian terbesar dari gunung tersebut tidak
tampak, karena terendam di dalam laut. Kehidupan psikis seseorang
sebagian besar juga tidak tampak ( bagi diri mereka sendiri ), dalam arti
tidak disadari oleh yang bersangkutan. Meski demikian, hal ini tetap perlu
mendapat perhatian atau diperhitungkan, karena mempunyai pengaruh
terhadap keutuhan pribadi ( integrated personality ) seseorang. Dalam
pandangan Frued, apa yang dilakukan manusia khususnya yang
diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki- untuk sebagian besar tidak
disadari oleh yang bersangkutan. Hal ini dinamakan “ketaksadaran
dinamis”, ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu. Dengan pandangan

7
seperti itu, Frued telah melakukan sebuah revolusi terhadap pandangan
tentang manusia. Karena, psikologi sebelumnya hanya menyelidiki hal-hal
yang disadari saja. Segala perilaku yang di luar kesadaran manusia
dianggap bukan wilayah kajian psikologi.
Frued menggunakan istilah Id untuk menunjukkan wilayah ketaksadaran
tersebut. Id merupakan lapisan paling dasar dalam struktur psikis seorang
manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim,
tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang
menguasai kehidupan psikis manusia. Oleh karena itu, Frued memilih
istilah “id” ( atau bahsa aslinya “Es” ) yang merupakan kata ganti orang
neutrum atau netral.2-4,13
Pada permulaan hidup manusia, kehidupan psikisnya hanyalah
terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan dan bayi yang baru lahir,
hidup psikisnya seratus persen sama identik dengan Id. Id tersebut nyaris
tanpa struktur apa pun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau.
Namun demikian, Id itulah yang menjadi bahan baku bagi perkembangan
psikis lebih lanjut. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan
dorongan biologis manusia – pusat insting (hawa nafsu, istilah dalam
agama ). Ada dua insting dominan, yakni : ( 1 ) Libido – instink
reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan
manusia yang konstruktif; ( 2 ) Thanatos – instink destruktif dan agresif.
Yang pertama disebut juga instink kehidupan ( eros ), yang dalam konsep
Frued bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga segala hal yang
mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan kepada Tuhan,
cinta diri ( narcisisme ). Bila yang pertama adalah instink kehidupan, yang
kedua merupakan instink kematian. Semua motif manusia adalah
gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan kesenangan (
pleasure principle ), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat
egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah
tabiat hewani manusia. ( Jalaluddin Rakhmat M.sc, Psikologi Komunikasi,

8
1986 ). Pada mulanya, Id sama sekali berada di luar kontrol individu. Id
hanya melakukan apa yang disukai. Ia dikendalikan oleh “prinsip
kesenangan” ( the pleasure principle ). Pada Id tidak dikenal urutan waktu
( timeless ). Hukum-hukum logika dan etika sosial tidak berlaku untuknya.
Dalam mimpi seringkali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis.
Atau pada anak kecil, kita bisa melihat bahwa perilaku mereka sangat
dikuasai berbagai keinginan. Untuk memuaskan keinginan tersebut,
mereka tak mau ambil pusing tentang masuk akal-tidaknya keinginan
tersebut. Selain itu, juga tidak peduli apakah pemenuhan keinginan itu
akan berbenturan dengan norma-norma yang berlaku. Yang penting
baginya adalah keinginannya terpenuhi dan ia memperoleh kepuasan.
Demikianlah gambaran selintas tentang Id. Bagaimana pun keadaannya Id
tetap menjadi bahan baku kehidupan psikis seseorang. Id merupakan
reservoar energi psikis yang menggerakkan Ego dan Superego. Energi
psikis dalam Id dapat meningkat karena adanya rangsangan, baik dari
dalam maupun dari luar individu. Apabila energi psikis ini meningkat,
akan menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Id tidak
bisa membiarkan perasaan ini berlangsung lama. Karena itu, segeralah id
mereduksikan energi tersebut untuk menghilangkan rasa tidak enak yang
dialaminya. Jadi, yang menjadi pedoman dalam berfungsinya Id adalah
menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan. Untuk
menghilangkan ketidakenakan dan mencapai keenakan ini, id mempunyai
dua cara, yang pertama adalah: refleks dan reaksi-reaksi otomatis, seperti
misalnya bersin, berkedip karena sinar, dan sebagainya, dan yang ke dua
adalah proses primer, seperti misalnya ketika orang lapar biasanya segera
terbayang akan makanan; orang yang haus terbayang berbagai minuman.
Bayangan-bayangan seperti itu adalah upaya-upaya yang dilakukan id
untuk mereduksi ketegangan akibat meningkatnya energi psikis dalam
dirinya. Cara-cara tersebut sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Orang lapar tentu tidak akan menjadi kenyang dengan membayangkan

9
makanan. Orang haus tidak hilang hausnya dengan membayangkan es
campur. Karena itu maka perlu (merupakan keharusan kodrat) adanya
sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif. Sistem
yang demikian itu ialah Ego.2-4

2. Ego
Meski id mampu melahirkan keinginan, namun ia tidak mampu
memuaskannya. Subsistem yang kedua, ego berfungsi menjembatani
tuntutan id dengan realitas di dunia luar. Ego merupakan mediator antara
hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang
menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewani manusia dan
hidup sebagai wujud yang rasional ( pada pribadi yang normal ). Ketika id
mendesak Anda untuk menampar orang yang telah menyakiti Anda, ego
segera mengingatkan jika itu Anda lakukan, Anda akan diseret ke kantor
polisi karena telah main hakim sendiri. Jika Anda menuruti desakan id,
Anda akan konyol. Jadi, ego adalah aspek psikologis dari kepribadian
yang timbul karena kebutuhan manusia untuk berhubungan secara baik
dengan dunia kenyataan. Orang lapar tentu perlu makan untuk
menghilangkan ketegangan yang ada di dalam dirinya. Ini berarti bahwa
individu harus dapat membedakan antara khayalan dengan kenyataan
tentang makanan. Di sinilah letak perbedaan pokok antara id dan ego. Id
hanya mengenal dunia subjektif (dunia batin), sementara ego dapat
membedakan sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada
di dunia luar (dunia objektif, dunia kenyataan). Lain dengan id, ego
berpegang pada prinsip kenyataan ( reality principle ) dan berhubungan
dengan proses sekunder. Tujuan prinsip realitas adalah mencari objek
yang tepat sesuai dengan kenyataan untuk mereduksi ketegangan yang
timbul di dalam diri. Proses sekunder ini adalah proses berpikir realistik.
Dengan mempergunakan proses sekunder, Ego merumuskan sesuatu
rencana untuk pemuasan kebutuhan dan mengujinya dengan suatu

10
tindakan untuk mengetahui apakah rencananya itu berhasil atau tidak.
Aktivitas Ego ini bisa sadar, pra sadar atau tak disadari. Namun untuk
sebagian besar adalah disadari. Contoh aktivitas Ego yang disadari antara
lain : persepsi lahiriah ( saya melihat teman saya tertawa di ruang itu );
persepsi batiniah ( saya merasa sedih ) dan berbagai ragam proses
intelektual. Aktivitas pra sadar dapat dicontohkan fungsi ingatan ( saya
mengingat kembali nama teman yang tadinya telah saya lupakan ).
Sedangkan aktivitas tak sadar muncul dalam bentuk mekanisme
pertahanan diri ( defence mechanisme ), misalnya orang yang selalu
menampilkan perangai temperamental untuk menutupi ketidakpercayaan-
dirinya; ketidakmampuannya atau untuk menutupi berbagai kesalahannya.
Aktivitas Ego ini tampak dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang
objektif, yang sesuai dengan dunia nyata dan mengungkapkan diri melalui
bahasa. Di sini, the pleasure principle dari Id diganti dengan the reality
principle. Sebagai misal, ketika seseorang merasa lapar. Rasa lapar ini
bersumber dari dorongan Id untuk fungsi menjaga kelangsungan hidup. Id
tidak peduli apakah makanan yang dibutuhkan nyata atau sekadar angan-
angan. Baginya, ia butuh makanan untuk memuaskan diri dari dorongan
rasa lapar tersebut. Pada saat yang bersangkutan hendak memuaskan diri
dengan mencari makanan, Ego mengambil peran. Ego berpendapat bahwa
angan-angan tentang makanan tidak bisa memuaskan kebutuhan akan
makanan. Harus dicari makanan yang benar-benar nyata. Selanjutnya, Ego
mencari cara untuk mendapatkan makanan tersebut. Menurut Frued, tugas
pokok Ego adalah menjaga integritas pribadi dan menjamin penyesuaian
dengan alam realitas. Selain itu, juga berperan memecahkan konflik-
konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan keinginan-keinginan
yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang akan
masuk ke dalam kesadaran dan apa yang akan dilakukan. Jadi, Fungsi Ego
adalah menjaga integritas kepribadian dengan mengadakan sintesis
psikis.2-4

11
2. Superego
Superego adalah sistem kepribadian terakhir yang ditemukan oleh
Sigmund Frued. Sistem kepribadian ini seolah-olah berkedudukan di atas
Ego, karena itu dinamakan Superego. Fungsinya adalah mengkontrol ego.
Ia selalu bersikap kritis terhadap aktivitas ego, bahkan tak jarang
menghantam dan menyerang ego. Superego ini termasuk ego, dan seperti
ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga
memiliki perkaitan sangat erat dengan id. Superego dapat menempatkan
diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya
kerapkali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik
dengan Superego sebagaimana halnya dengan Id. Ketidakcocokan antara
ego dan superego mempunyai konsekuensi besar bagi psikis. Seperti
dikemukakan di atas, Superego merupakan sistem kepribadian yang
melepaskan diri dari Ego. Aktivitas Superego dapat berupa self
observation, kritik diri, larangan dan berbagai tindakan refleksif lainnya.
Superego terbentuk melalui internalisasi (proses memasukkan ke dalam
diri) berbagai nilai dan norma yang represif yang dialami seseorang
sepanjang perkembangan kontak sosialnya dengan dunia luar, terutama di
masa kanak-kanak. Nilai dan norma yang semula “asing” bagi seseorang,
lambat laun diterima dan dianggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari
dalam dirinya. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dan sebagainya yang
berasal dari luar ( misalnya orangtua dan guru ) diterima sepenuhnya oleh
seseorang, yang lambat laun dihayati sebagai miliknya. Larangan “Engkau
tidak boleh berbohong“ Engkau harus menghormati orang yang lebih tua”
dari orangtuanya menjadi “Aku tidak boleh berbohong “Aku harus
menghormati orang yang lebih tua”. Dengan demikian, Superego
berdasarkan nilai dan norma-norma yang berlaku di dunia eksternal,
kemudian melalui proses internalisasi, nilai dan norma-norma tersebut
menjadi acuan bagi perilaku yang bersangkutan. Superego merupakan

12
dasar moral dari hati nurani. Aktivitas superego terlihat dari konflik yang
terjadi dengan ego, yang dapat dilihat dari emosi-emosi, seperti rasa
bersalah, rasa menyesal, juga seperti sikap observasi diri, dan kritik
kepada diri sendiri.2-4

Konflik antara ego dan superego, dalam kadar yang tidak sehat, berakibat
timbulnya emosi-emosi seperti rasa bersalah, menyesal, rasa malu dan
seterusnya. Dalam batas yang wajar, perasaan demikian normal adanya.
Namun, pada beberapa orang hidupnya sangat disiksa oleh superegonya,
sehingga tidak mungkin lagi untuk hidup normal.2-4
Ketiga komponen diatas berkembang melalui tahap-tahap
perkembangan psikoseksual. Freud menggunakan istilah seksual untuk
segala tindakan dan fikiran yang memberi kenikmatan atau kepuasan,
istilah psikoseksual digunakan untuk menunjukkan bahwa proses
perkembangan psikologis ditandai dengan adanya libido (energi seksual)
yang dipusatkan pada daerah-daerah tubuh tertentu yang berbeda-beda.
Freud yakin bahwa perkembangan manusia melewati lima tahap
perkembangan psikoseksual dan bahwa setiap perkembangan tersebut
individu mengalami pada satu bagian tubuh lebih daripada bagian tubuh
yang lain.2-4,14

Tahap-tahap Perkembangan Psikoseksual Freud

Tahap Usia/Tahun Ciri-ciri Perkembangan


Oral 0-1 Bayi merasakan kenikmatan pada daerah
mulut. Mengunyah, mengigit, dan mengsisap
adalah sumber utama kenikmatan.
Anal 1-3 Kenikmatan terbesar anak terdapat di sekitar
daerah lubang anus. Rangsangan pada daerah
anus ini berkaitan erat dengan kegiatan buang

13
air besar
Phalic 3-6 Kenikmatan berfokus pada alat kelamin,
ketika anak menemukan bahwa manipulasi
diri dapat memberikan kenikmatan. Anak
melai menaruh perhatian pada perbedaan-
perbedaan anatomik anatara laki-laki dan
perempuan,terhadap asal-usul bayi dan
terhadaphal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan seks.
Latency 6-12 Anak menekan semua minat terhadap seks
dan mengembangkan keterampilan sosial dan
intelektual. Kegiatan ini menyalurkan banyak
energianak ke dalam bidang-bidang yang
aman secara emosional dan menolong anak
melupakan konflik pada tahap phalicyang
sangat menekan.
Genital 12-Dewasa Dorongan-dorongan seks yang ada pada
masa phalic kembali berkembang, setelah
berada dalam keadaan tenang selama
masalatency. Kematangan fisiologis ketika
anak memasuki masa remaja, mempengaruhi
timbulnya daerah-daerah erogen pada alat
kelamin sebagai sumber kenikmatan.

Freud menggunakan istilah “erogenous zones” (daerah


kenikmatannn seksual) untuk menunjukkan tiga bagian tubuh-
mulut, dubur, dan alat kelamin-sebagai daerah yang mengalami
kenikmatan khusus yang sangat kuat dan yang memberikan
kualitas pada setiap tahap perkembangan. Pada setiap tahap
perkembangan, anak merasakan kenikmatan tertentu pada

14
daerah tersebut, dan selalu berusaha mencari objek atau pun
melakukan kegiatan yang dapat memuaskan. Tetapi pada saat
yang sama muncul konflik dengan tuntutan-tuntutan realitas
yang harus diatasi.

Parafilia dipandang sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar


tidak menghadapi rasa takut dan memori yang direpres dan mencerminkan
fiksasi di tahap pra-genital (masa kanak-kanak) dalam perkembangan
psikoseksualnya. Orang yang mengidap parafilia dipandang sebagai orang
yang tidak mampu membangun atau mempertahankan hubungan
heteroseksual yang wajar. Contohnya: orang dengan gangguan eksibisionitik
akan lebih memilih menampilkan organ kelamin pada orang asing daripada
menjalin relasi intim dengan lawan jenisnya yang seumur, karena ia takut
(merasa tidak mampu) berhubungan dengan orang lain.15-17

2. Perspektif Behavioral dan Kognitif


Dari perspektif ini, parafilia disebabkan karena proses belajar, yaitu melalui
pengkondisian yang secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual
dengan stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai stimuli yang tidak
tepat untuk munculnya suatu perilaku seksual. Namun sebagian besar teori
behavioral dan kognitif saat ini memandang parafilia dipengaruhi oleh
multifaktor, baik dari dalam individu maupun faktor lingkungan.15-17
Salah satu pengaruh lingkungan adalah riwayat masa kanak-kanak individu
yang mengidap parafilia sebagai korban pelecehan seksual dan pelecehan
fisik. Pada masa dewasa, ia akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
menjadi seorang pelaku penyimpangan seksual. Penyimpangan kogntif dalam
diri individu juga berperan dalam parafilia. Tabel 1 mengilustrasikan contoh-
contoh distorsi kognitif yang sering dimiliki oleh pelaku parafilia. Distorsi
kognitif seperti itu akan menyebabkan pelaku mencari pembenaran perilaku

15
penyimpangan seksualnya, hingga akhirnya perilaku penyimpangan bisa terus
terjadi.15-17

3. Perspektif Biologis
Sebagian besar pengidap parafilia adalah laki-laki. Jadi, ada spekulasi bahwa
androgen, hormon utama yang dimiliki laki-laki berperan dalam gangguan ini.
Mungkin terdapat suatu kesalahan dalam perkembangan janin. Namun
demikian, penelitian empiris belum menemukan bukti konklusif mengenai
perbedaan hormonal antara orang normal dengan pengidap parafilia. Lalu
berkaitan dengan perkembangan dalam otak, disfungsi pada lobus temporalis
diketahui dapat mempengaruhi secara signifikan atas munculnya perilaku seks
menyimpang, terutama kasus sadisme dan eksibisionisme. Meskipun
demikian, pemahaman bahwa faktor biologis berperan penting sebagai
penyebab dari parafilia perlu ditinjau ulang. Faktor ini hanya merupakan salah
satu dari rangkaian penyebab kompleks yang mencakup pengalaman sebagai
salah satu faktor utama.18-20

Tabel 1. Contoh Distorsi kognitif (asumsi dan pembenaran ) pada pelaku


Parafilia dan pelaku pemerkosaan

Kategori Pedofilia Eksibisionisme Perkosaan

“ Ia yang “Ia terus “Ia mengatakan


memulai memandangi tidak, tapi
dengan saya seolah tubuhnya
berperilaku mengharapkannya mengatakan ya.”
manja” ” “Saya selalu
Melemparkan “ Ia selalu “Dari caranya dalam keadaan
kesalahan berlari-lari berpakaian, ia mabuk ketika

16
disekitar saya memang melakukannya”
dengan menginginkannya”
setengah
telanjang”

“Saya hanya
mengajarinya “Saya hanya “Saya hanya
tentang mencari tempat berusaha
seks… lebih untuk buang air memberinya
Mengecilkan baik dari kecil” pelajaran; ia
atau ayahnya “Celana saya pantas
mengingkari daripada merosot” mendapatkannya
niat seksual orang lain” ”

“Ia sudah
pernah “Dari caranya
berhubungan mendekati saya
seks di pesta, ia pantas
sebelumnya mendapatkannya
dengan ”
pacarnya.” “Ia tidak
“Ia selalu “Toh, ia hanya melawan, ia pasti
Merendahkan berbohong” seorang menyukainya”
korban perempuan nakal”

“Ia selalu
benar-benar “Saya tidak pernah “Ia berhubungan
ramah kepada menyentuhnya, seks dengan
Meminimalka saya bahkan jadi saya tidak ratusan orang
n konsekuensi setelah menyakitinya.” sebelumnya.”

17
kejadian itu”

“Hal itu
terjadi
bertahun-
tahun.
Mengapa
semua orang
tidak “Saya toh tidak “Saya hanya
Mengabaikan melupakanny memperkosa melakukan sekali
tuntutan a saja?” siapapun” itu saja”

“Jika saya
tidak dicabuli
semasa “Jika saya tahu “Jika pacar saya
kanak-kanak, bagaimana cara memenuhi
saya tidak mendapatkan permintaan saya,
akan pernah teman kencan, saya tidak akan
Membenarkan melakukan saya tidak perlu terpaksa
penyebab hal ini.” memamerkannya” memperkosanya”

D. Gejala klinis
Gangguan eksibisionistik adalah salah satu gangguan kesehatan mental
dimana seseorang menampilkan alat kelaminnya pada orang asing atau orang
yang tidak menginginkannya dalam rangka pemuasan kebutuhan seksual.
Ketika menunjukkan alat kelaminnya, individu dengan gangguan
eksibisionistik berfantasi tentang masturbasi atau melakukan masturbasi,
namun tidak disertai usaha melakukan perilaku seksual dengan orang di
hadapannya. Gangguan eksibisionistik lebih banyak terjadi pada laki-laki dan
korbannya biasanya perempuan, baik anak di bawah umur maupun dewasa,

18
yang sedang lengah. Jika tidak tertangani dengan baik, gangguan
eksibisionistik dapat mengganggu kemampuan individu dalam relasi sosial
dan relasi intimnya. Oleh karena itu, individu dengan gangguan
eksibisionistik perlu mendapatkan bantuan psikologis professional untuk
dapat mengelola gangguannya tersebut.2-4,15-17

Beberapa jenis perilaku eksibisionisme adalah: 1) mooning, atau


menunjukkan pantat dengan cara menurunkan bahawan dan pakaian dalam.
Sering hal ini dilakukan dalam rangka bercanda, protes atau penghinaan;
2) flashing, atau menunjukkan dada atau payudara telanjang baik pria maupun
wanita dengan mengangkat atasan dan pakaian dalam; dan 3) reflectoporn,
yaitu menampilkan foto telanjang seseorang yang diambil dari bayangan jatuh
di atas suatu benda yang memiliki daya reflektif seperti kaca, stainless; lalu
memasangnya di internet agar bisa dilihat orang banyak. Ketika perilaku
eksibisionisme mulai menggangu hidup sehari-hari seseorang dan
menimbulkan hendaya serta distress, maka hal ini mulai dipertimbangkan
sebagai gangguan psikologis penyimpangan seksual.15-17

American Psychiatric Association (APA) menyebutkan bahwa


gangguan eksibisionistik merupakan bagian dari parafilia. Parafilia adalah
sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek
yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan
kata lain, terdapat deviasi atau penyimpangan (para) dalam ketertarikan
seseorang (filia). Fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang menyimpang
harus berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau
hendaya yang signifikan sebelum dinyatakan sebagai diagnosa gangguan
mental. Parafilia juga terkait dengan ketertarikan secara seksual pada individu
atau obyek seksual yang tidak tepat atau tidak berdasarkan kesepakatan (non-
consentual); serta perilaku seksual yang menyimpang dari norma sosial-
budaya yang diakui dalam budaya secara umum.15-17

19
BAB III
KESIMPULAN

Ekshibisionisme adalah dorongan rekuren untuk memamerkan genitalia kepada


seorang asing atau orang yang tidak menaruh curiga. Dalam DSM-V, eksibisionisme
dimasukkan dalam golongan parafilia. Parafilia adalah sekelompok gangguan yang
mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual
yang tidak pada umumnya. Dengan kata lain, terdapat deviasi (para) dalam
ketertarikan seseorang (filia). Menurut perspektif psikodinamika, Parafilia dipandang
sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan
memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pra-genital (masa kanak-
kanak) dalam perkembangan psikoseksualnya. Orang yang mengidap parafilia
dipandang sebagai orang yang tidak mampu membangun atau mempertahankan
hubungan heteroseksual yang wajar. Contohnya: orang dengan gangguan
eksibisionitik akan lebih memilih menampilkan organ kelamin pada orang asing
daripada menjalin relasi intim dengan lawan jenisnya yang seumur, karena ia takut
(merasa tidak mampu) berhubungan dengan orang lain.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Podolsky E. Exhibitionism. Journal of the National Medical Association.


1960; 52(5): 343-344
2. Rooth G. Exhibitionism, sexual violence and paedophilia. Brit J
Psychiat.1973;122: 705-10
3. First MB. DSM-5 and paraphilic disorders. J Am Acad Psychiatry
Law.2014;42:191–201
4. Niklas L. The DSM Diagnostic Criteria for Exhibitionism, Voyeurism, and
Frotteurism. Arch Sex Behav (2010) 39:317–324
5. Johnson FYA, Ambihaipar U. Indecent exposure and exhibitionism in papua
new guinea : a case report. Rev latinoam der méd medic leg. 1997;2(1): 69-
71
6. McManus MA, Hargreaves P. Paraphilias: definition, diagnosis and treatment.
F1000Prime Reports. 2013;5:36
7. Taylor FH. Observations on some cases of exhibitionism. 1947.
8. Rhoads JM, Borjes EP. The incidence of exhibitionism in Guatemala and the
united states. Brit. J. Psychiat. (1981), 139, 242-244
9. Abel GG, Becker JV. Multiple paraphilic diagnosis among sex offfenders.
Bull Am Acad Psychiatry Law.1988;16(2):153-68
10. First MB, Halon RL. Use of DSM Paraphlia Diagnoses in Sexually Violent
Predator Commitment Cases. J Am Acad Psychiatry Law. 2008; 36:443–54
11. Snaith RP, Collins SA. Five Exhibitionists and a Method of Treatment. Brit J
Psychiat.1981;138:126-130
12. Snaith P. Exhibitionism: a clinical conundrum. BJP.1983;143:231-235.
13. Wiviot KS. Sex offender laws. Jaapl.2005;33(2): 276-278
14. Grob CS. Female exhibisionism. The Journal of Nervous and mental disease.
1985;173(4):253-256 (teori)
15. Kreps D. Foucalt, exhibitionism and voyeurism on chatroulette. Proceedings
Cultural Attitudes Towards Communication and Technology 2010;207-216.

21
16. Firestone P, Kingston D. Long-term follow-up of exhibitionists:
Psychological, phallometric, and offense characteristics. J am acad psychiatry
law. 2006;34:349–59
17. Greenberg SRR, Firestone P, Bradford JM. Prediction of Recidivism in
Exhibitionists: Psychological, Phallometric, and Offense Factors. Sexual Abuse:
A Journal of Research and Treatment.2002;14(4):329-347
18. Paul RH, Marx BP, Orsillo SM. Acceptance-based psychotherapy in the
treatment of an adjudicated exhibitionist: a case-example. Behavior therapy.
1999;30:149-62
19. Jones IH, Frei D. Provoked Anxiety as a treatment of exhibitionism.Brit J
Psychiat. 1977;131:295-300
20. Fookes BH. Some experiences in the use of aversion therapy in Male:
Homosexuality, Exhibitionism, and Fetihism-transvetism. Brit J Psychiat.
1960;115: 339-41

22

Anda mungkin juga menyukai