Anda di halaman 1dari 4

1.

Latar Belakang Sejarah Teori Psikoanalitik


Teori psikoanalitik, terinspirasi dari karya Sigmund Freud, menjadi landasan utama dalam perkembangan psikologi. Freud, lahir pada
6 Mei 1856 di Austria, awalnya memusatkan perhatiannya pada neurologi dan menggunakan hipnosis sebagai metode terapeutik.
Teori ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa muncul ketika ego tidak dapat mengontrol id dengan efektif. Freud memandang
ketidakmampuan seseorang untuk mematuhi aturan dan norma sebagai pemicu penyimpangan perilaku. Perubahan signifikan terjadi
ketika Freud mengadopsi terapi bicara, mengembangkan psikoanalisis sebagai kerangka konseptual untuk memahami kompleksitas
pikiran manusia. Pemahaman struktur pikiran, terbagi menjadi id, ego, dan superego, menjadi dasar teori ini. Studi kasus ikonik, seperti
"Studi Kasus Dora," konsep ketidaksadaran, dan interpretasi mimpi, memainkan peran kunci dalam pengembangan teori ini.
Pandangan Freud tentang tahap perkembangan seksual anak-anak juga memberikan kontribusi signifikan. Meskipun kritik mengenai
bukti empiris, psikoanalisis tetap diakui dalam dunia psikologi. Meskipun beberapa modifikasi telah dilakukan oleh tokoh lain, warisan
Freud tetap berpengaruh dalam kerangka konseptual dan praktik psikologi modern. (Sumber: Freud, S. (1905). "Studi Kasus Dora."
International Journal of Psycho-Analysis.)

2. Pengertian
Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku
psikologis manusia. Pada mulanya istilah psikoanalisis hanya dipergunakan dalam hubungan dengan Freud saja, sehingga
“psikoanalisis” dan “psikoanalisis Freud” sama artinya. Bila beberapa pengikut Freud dikemudian hari menyimpang dari ajarannya dan
menempuh jalan sendiri-sendiri, mereka juga meninggalkan istilah psikoanalisis dan memilih suatu nama baru untuk menunjukan
ajaran mereka. Contoh yang terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang menciptakan nama “psikologi analitis” (bahasa
Inggris: analitycal psychology) dan “psikologi individual” (bahasa Inggris: individual psychology) bagi ajaran masing-masing.
Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:
1. suatu metode penelitian dari pikiran.
2. suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia.
3. suatu metode perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.
Teori Psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis dapat dipandang sebagai teknik terapi dan sebagai aliran psikologi.
Sebagai aliran psikologi, psikoanalisis banyak berbicara mengenai kepribadian, khususnya dari segi struktur, dinamika, dan
perkembangannya.

Psikoanalisis merupakan teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dalam menganalisis psikologis manusia. Menurutnya, tingkah
laku manusia justru didominasi oleh alam bawah sadar yang berisi id, ego, dan super ego. Beberapa karya besar Freud yang banyak
mendapat kritik dan tanggapan dari para ahli, yaitu teori mimpi dan teori tentang seksualitas.

3. Fase Perkembangan Psikoseksual


a. Fase oral (usia 0 – 1 tahun)
Daerah pokok aktivitas dinamik: mulut -> makan sebagai sumber kenikmatan. Bentuk rangsangan: rangsangan terhadap bibir, rongga
mulut, kerongkongan, menggigit dan mengunyah (sesudah gigi tumbuh), serta menelan dan memuntahkan makanan (kalau makanan
tidak memuaskan).
1) Oral incorporation
Kenikmatan diperoleh dari aktivitas menyuap/menelan Kepribadian oral incorporation membuiat orang menjadi senang/fiksasi
mengumpulkan pengetahuan atau mengumpulkan harta benda, atau gampang ditipu (mudah menelan perkataan orang lain).
2) Oral aggression
Kenikmatan diperoleh dari aktivitas dan menggigit Kepribadian oral agression ditandai oleh kesenangan berdebat dan sikap sarkastik.

b. Fase anal (usia 1- 3 tahun)


Interaksi melalui fungsi pembuangan isi perut (anal) dan memperoleh kesenangan melalui aktivitas-aktivitas pembuangan. Pada fase
anal anak banyak berhadapan dengan tuntutan-tuntutan orangtua, terutama yang berhubungan dengan toilet training, dimana anak
memperoleh pengalaman pertama dalam hal kedisiplinan. Dampak toilet training terhadap kepribadian di masa depan, tergantung
kepada sikap dan metoda orang tua dalam melatih.

c. Fase Phalik (usia 3 – 5 tahun)


Pada fase ini anak laki-laki dan perempuan senang menyentuh (mengeksploitasi) organ kelaminnya untuk memperoleh kesenangan
sambil melakukan fantasi-fantasi seksual. Fase Phalic juga merupakan periode perkembangan hati nurani, dimana anak belajar
mengenai standar-standar moral. Selama fase ini anak perlu belajar menerima perasaan seksualnya sebagai hal yang alamiah dan
belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Mereka membutuhkan contoh yang memadai bagi identifikasi peran seksual, untuk
mengetahui apa yang benar dan salah, serta apa yang maskulin dan feminin, sehingga mereka memperoleh perspektif yang benar
tentang peran mereka sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.
d. Fase latency (usia 5 - 12)
Perasaan takut kepada pembalasan orangtua menimbulkan represi terhadap dorongan seksual pada anak, sehingga impuls seksual
dan agresi pada fase awal (pregenital impuls) mereda. Pada fase laten ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi dan mulai
merasa peduli dengan orang lain. Anak menjadi lebih mudah dididik dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya (masa
pubertas).

f. Fase Genital (usia 12 - dewasa)


Fase ini dimulai dengan perubahan fisiologik dari sistem reproduksi, yakni fase pubertas. Impuls pregenital bangun kembali dan
membawa aktivitas dinamis yang harus diadaptasi, untuk mencapai perkembangan kepribadian yang stabil. Pada fase phalik, cathexis
genital mempunyai sifat narcistik; Pada fase genital narcisme itu mulai disalurkan ke objek di luar seperti berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok, menyiapkan karir, cinta lawan jenis, perkawinan dan keluarga.

4. Struktur kepribadian Menurut Sigmund Freud


Freud membagi struktur ini menjadi tiga aspek yaitu : id, ego dan superego. Berikut penjelasannya :
1. Pengenal (Id)
Id berasal dari kata latin “Is” yang artinya es. kepribadian ini disebut Freud sebagai kepribadian bawaan lahir. Didalamnya terdapat
dorongan yang didasari memberikan kepuasan biologis bagi dirinya sendiri. Karakter khas pada aspek ini adalah tidak adanya
pertimbangan logistik dan etika sebagai prinsip pengambilan keputusan. Lebih sederhana, id berwujud pada gambaran nafsu, hasrat
seksual dan perasaan superior (ingin berdaya).
2. ego
Aspek kepribadian ini terjadi akibat pengaruh yang ia peroleh dari apa yang terjadi didunia/lingkungannya. Ciri khasnya dari aspek ini,
ego mengatur id dan juga superego untuk menyediakan kebutuhan sesuai dengan kepentingan kepribadian yang terlibat. Artinya,
berbeda dengan id yang hanya mementingkan diri sendiri, ego merupakan aspek yang mementingkan tujuan yang lebih luas (bukan
hanya dirinya sendiri).
3. Superego
Aspek kepribadian yang satu ini akan erat kaitannya dengan moral atau nilai kehidupan. Ranah superego berisi tentang batasan untuk
membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, superego memiliki peran penting untuk menjadi penengah antara id
dan ego. Ia menjadi penyekat dari sinyal yang dikirimkan aspek id serta memotivasi ego untuk melakukan hal yang menjunjung
moralitas.

5. Prinsip-Prinsip Model Psikoanalitik


Prinsip-prinsip model psikoanalisa
Menurut Stuart (1995), prinsip-prinsip psikoanalisa menjadi :
A. Prinsip konstansi
artinya bahwa kehidupan psikologis manusia cenderung untuk mempertahankan kuantitas konflik psikologis pada taraf yang serendah
mungkin, atau setidak-tidaknya taraf yang stabil. Dengan kata lain bahwa kondisi psikis manusia cenderung dalam keadaan konflik yang
permanen (tetap).
B. Prinsip kesenangan
artinya kehidupan psikis manusia cenderung menghindari ketidaksenangan dan sebanyak mungkin memperoleh kesenangan (prinsip
kesenangan).
C. Prinsip Realitas
yaitu prinsip kesenangan yang disesuaikan dengan keadaan nyata.

6. ⁠Proses Terapi Model Konseptual Psikoanalitik


Proses terapi model psikoanalisis melibatkan beberapa langkah kunci untuk memperbaiki traumatik masa lalu:
1. Asosiasi Bebas:
- Penderita didorong untuk bebas mengungkapkan pikiran dan perasaan tanpa penyensoran.
- Dilakukan dalam keadaan relaks, sering kali dengan penderita tidur di sofa.
2. Analisis Mimpi:
- Terapi melibatkan kajian mimpi pasien sebagai jendela ke respon bawah sadar.
- Mimpi mencerminkan permasalahan yang selama ini tersembunyi dalam alam bawah sadar.
3. Transferen:
- Klien mengungkapkan pikiran dan mimpi, sementara perawat melakukan penilaian keadaan traumatic masa lalu.
- Pendekatan komunikasi traumatic diterapkan setelah terjalin kepercayaan antara klien dan perawat.
4. Interpretasi:
- Proses dasar dalam analisis asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi, dan analisis transparansi.
- Mengajarkan klien makna perilaku yang muncul dalam berbagai konteks terapeutik.
5. Analisis Resistensi:
- Resistensi dipandang sebagai dinamika tidak disadari yang mempertahankan diri terhadap kecemasan.
- Interpretasi bertujuan membantu klien menyadari alasan terjadinya resistensi, dengan teknik untuk menyadarkan klien terhadap
penolakan tersebut.

7. Peran perawat dan klien dalam model psikoanalitik


Stuart (1995) mengatakan peran perawat dan klien dalam model psikoanalitik adalah sebagai berikut.
a. Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor
yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secara kasar,
diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik
setelah terjalin trust (saling percaya).

b. Peran klien dalam model psikoanalitik


Peran yang dapat dilakukan oleh klien meliputi :
1) Mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya agar bisa diartikan therapistnya.
2) Mengkuti perjanjian jangka panjang atau kontrak yang telah disepakati.
3) Mendorong transfer, menginterprestasi pikiran dan mimpi.

8. Aplikasi Model Psikoanalisa dalam Keperawatan Jiwa (Kasus dan Penyelesaian menggunakan Model Psikoanalisa)
Contoh kasus:
Seorang anak mengalami suatu depresi (murung dan menarik diri) oleh penolakan terhadap peristiwa meninggal ayahnya, karena dia
tidak bisa mengarahkannya kepada orang lain, sehingga ia mengarahkan rasa bersalah itu kepada dirinya sendiri.

Analisis
Freud memandang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik, mekanistik, dan reduksionistik. Dari kasus diatas, depresi
(murung atau menarik diri) yang dialami anak tersebut merupakan tindakan mekanisme pertahanan ego, karena adanya ketidak
seimbangan antara id, ego dan superego, yaitu dengan melakukan represi dan penolakan terhadap peristiwa meninggal ayahnya,
karena belum menerima sepenuhnya bahwa ayahnya telah tiada. Ia mengarahkan rasa bersalah tersebut kepada dirinya karena ia
merasa belum dapat memberikan yang terbaik untuk ayahnya. Dengan dia menarik diri dari lingkungannya, dia akan mengalami
masalah dengan hubungan interpersonalnya.

Salah satu bentuk penanganannya, bisa dengan asosiasi bebas dimana konselor membantu konseli untuk mengingat kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan-pelepasan emosi yang berkaitan dengan peristiwa kematian ayahnya. Pada
teknik asosiasi bebas konseli mengalami proses katarsis, dimana konseli dapat dengan bebas untuk mengemukakan segenap perasaan
dan pikiran yang terlintas di benaknya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Kemudian konselor berusaha untuk mengenali
peristiwa-peristiwa yang direpres dan dikurung oleh konseli dalam ketidaksadarannya. Selain itu juga konselor perlu melakukan
esesmen dengan mengidentifikasi konflik-konflik bawah sadar dari konseli, meliputi persepsi konseli terhadap dirinya, hubungan
interpersonalnya, dorongan dan dinamika psikologis yang dialami, serta bagaimana konseli mengkontrol emosinya.
Penyelesaian oleh konselor dengan teori psikoanalisa:
Dalam konseling psikoanalisis hubungan konselor dengan konseli (si-A), yaitu,

1. Konselor membantu konseli untuk dapat bersikap yang relatif rasional, realistik, dan tidak neurosis, hal ini merupakan pra-kondisi
untuk terwujudnya keberhasilan konseling psikoanalisis.
2. Konselor mengalihkan segenap pengalaman masa lalu konseli terhadap ayahnya kepada konselor. Kemudian, konselor membantu
konseli untuk mencapai pemahaman tentang bagaimana dirinya telah salah dalam menerima, menginterpretasikan, dan merespon
pengalamannya pada saat ini dalam kaitannya dengan masa lalunya.

Asesmen yang dilaksanakan


Konselor melakukan esesmen dengan mengidentifikasi konflik-konflik bawah sadar dari konseli, meliputi: Persepsi konseli terhadap
dirinya, hubungan interpersonalnya, dorongan dan dinamika psikologis yang dialami, serta bagaimana konseli mengkontrol emosinya.

Tujuan konseling
Untuk membentuk kembali struktur karakter konseli dengan cara merekonstruksi, membahas, menganalisa, dan menafsirkan kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau, yang terjadi di masa kanak-kanak. Membantu konseli untuk membentuk kembali struktur
karakternya dengan menjadikan hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari oleh konseli Secara spesifik, membawa konseli dari
dorongan-dorongan yang ditekan (ketidaksadaran) berupa pengalaman masa lalu baik dengan orang tunya sebelum ayahnya
meninggal dan hal-hal yang mengakibatkan kecemasan konseli, menuju ke arah perkembangan kesadaran intelektual, menghidupkan
kembali masa lalu konseli dengan menembus konflik yang ditekan berupa urusan yang tidak selesai di masa lampau, memberikan
kesempatan kepada konseli untuk menghadapi situasi yang selama ini ia gagal mengatasinya yaitu peristiwa kematian ayahnya.

Teknik-teknik konseling yang digunakan


Asosiasi bebas
Konselor membantu konseli untuk mengingat kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan-pelepasan emosi yang
berkaitan dengan peristiwa kematian ayahnya. Pada teknik asosiasi bebas konseli mengalami proses katarsis, dimana konseli dapat
dengan bebas untuk mengemukakan segenap perasaan dan pikiran yang terlintas di benaknya, baik yang menyenangkan maupun yang
tidak. Kemudian konselor berusaha untuk mengenali peristiwa-peristiwa yang di-repres dan dikurung oleh konseli dalam
ketidaksadarannya.
Interpretasi
Konselor menafsirkan pengalaman konseli kemudian membimbingnya ke arah peningkatan pemahaman atas dinamika yang tidak
disadari olehnya berupa resistensinya dan penolakannya terhadap kematian ayahnya.
Analisis resistensi
Jika konseli mengalami resistensi dalam proses konseling. Konselor tidak bisa membiarkan hal ini terjadi karena akan menghambat
proses konseling. Penafsiran terhadap resistensi harus dilaksanakan untuk membantu konseli untuk menyadari alasan-alasan yang ada
di balik resistensi dan kemudian mampu menyelesaikan konfliknya secara realistis.
Analisis transferensi
Konselor membantu konseli untuk dapat mengatasi “urusan yang belum selesai” dengan orang-orang penting di masa lalu seperti
ayahnya, yang terdistorsi ke masa sekarang dan memberikan reaksi kepada konselor sebagaimana dia bereaksi terhadap ayah pada
masa ayahnya masih hidup. Di sini konselor melakukan penafsiran agar konseli mampu menembus konflik masa lalu, dan menggarap
konflik emosional yang terdapat pada hubungan terapeutiknya bersama sang konselor (yang dianggap sebagai ayahnya).

Prosedur konseling yang digunakan


Konselor membantu konseli untuk menghayati kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanaknya sehingga menemukan
penyebab-penyebab ketidaksadaran yang menyebabkan dia menjadi murung, menarik diri dari teman-temannya serta keinginannya
untuk berhenti bersekolah.
Konselor membantu konseli untuk menata pengalaman masa lampau, menganalisis, dan menafsirkannya dengan tujuan untuk
merekonstriksi kepribadian konseli melalui asosiasi bebas, interpretasi, analisis transfrensi dan analisis resistensi.

Terminasi dan tindak-lanjut konseling


Proses konseling akan berakhir jika konseli sudah dapat menyadari hal-hal ketidaksadaran yang menyebabkan dia berpikir dan
berperilaku secara maladaptif (murung, menarik diri dari teman-temannya serta keinginannya untuk berhenti bersekolah). Tindak
lanjut yang dapat diterapkan berupa penanaman ketidaksadaran yang positif yaitu cita-citanya yang ingin menjadi seorang peneliti
seperti ayahnya.

Anda mungkin juga menyukai