Anda di halaman 1dari 75

PATOLOGI DAN KESEHATAN SOSIAL

1. Pendahuluan

Zaman pertemuan banyak kebudayaan sebagai hasil dari semakin padatnya


jaringan komunikasi daerah, nasional, dan internasional. Amalgamasi antara
bermacam-macam kebudayaan itu kadangkala bisa berlangsung lancar dan lembut.
Tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui konflik-konflik hebat.
Terjadilah konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi sosial yang khaotis dan
kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan sehingga mengakibatkan
banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan rakyat banyak, yang
semuanya tidak bisa dicernakan dan diintegrasikan oleh individu. Situasi sosial seperti
ini pada akhirnya mudah mengembangkan tingkah laku patologis/sosiopatik yang
menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah kelompok-kelompok dan fraksi-fraksi
ditengah masyarakat yang terpecah-pecah, masing-masing menaati norma-norma dan
peraturannya sendiri, dan bertingkah semau sendiri. Maka muncullah banyak masalah
sosial, tingkahlaku sosiopatik, deviasi sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial,
dan diferensiasi sosial. Lambat laun, hal itu menjadi meluas dalam masyarakat. Maka
dengan tidak mengabaikan faktor-faktor manusia dan psikologisnya, kita akan sedikit
mencoba menganalisis terlebih dahulu pengertian, latar belakang dan sejarah patologi
sosial yang diharapkan kita mendapatkan gambaran tentang maksud dari konsep
patologi sosial itu sendiri.

A. Pengertian Patologi Sosial

Pada awal ke-19 dan awal abad 20-an, para sosilog mendefinisikan patologi
sosial sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas
local, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal.
Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos yang berarti
disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi,

1
patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit.
Maksud dari pengertian diatas bahwa patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang
asal usul dan sifat-sifatnya penyakit. Konsep ini bermula dari pengertian penyakit di
bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian diberlakukan pula untuk
masyarakat karena menurut penulis google bahwa masyarakat itu tidak ada bedanya
dengan organisme atau biologi sehingga dalam masyarakatpun dikenal dengan konsep
penyakit.
Sedangkan kata sosial adalah tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia
yang perwujudannya berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau
manusia yang berinteraksi / berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau
manusia dalam arti fisik. Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau
masyarakat.
Maka pengertian dari patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial
yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu tentang asal usul
dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya mnusia dalam
hidup masyarakat.
Sementara itu menurut teri anomi bahwa patologi sosial adalah suatu gejala
dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga
dapat membahayakan kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan
keinginan fundamental dari anggota anggotanya, akibatnya pengikatan sosial patah
sama sekali. ( Koe soe khiam. 1963 ).

B. Sejarah dan latar belakang Patologi Sosial

Manusia sebagai makhluk yang cenderung selalu ingin memenuhi kebutuhan


hidupnya telah menghasilkan teknologi yang berkembang sangat pesat sehingga
melahirkan masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan
teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini disamping mampu
memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat
menimbulkan hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan kemanusiaan itu
sendiri yang biasa disebut masalah sosial. Adanya revolusi industri Menunjukan betapa
cepatnya perkembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta yang tidak seimbang dengan
berkembangnya ilmu-ilmu sosial telah menimbulkan berbagai kesulitan yang nyaris

2
dapat menghancurkan umat manusia. Misalnya, Pemkaian mesin-mesin industri di
pabrik-pabrik, mengubah cara bekerja manusia yang dulu memakai banyak tenaga
manusia sekarang diperkecil, terjadinya pemecatan buruh sehingga pengangguran
meningkat (terutama tenaga kerja yang tidak terampil), dengan timbulnya kota-kota
industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi besar-besaran. Penduduk desa
yang tidak terampil dibidang industri mengalir ke kota-kota industri, jumlah
pengangguran di kota semakin besar, adanya kecenderungan pengusaha lebih menyukai
tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih murah dan lebih rendah upahnya). Pada
akhirnya, keadaan ini semakin menambah banyaknya masalah kemasyarakatan (sosial
problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang
pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial,
dll. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan,
kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri
maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung banyak
melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan melkuikan
sesuatu apapun demukepentingannya sendiri bahkan cenderung dapat merugikan orang
lain.
Sejarah mencatat bahwa orang menyebut suatu peristiwa sebagai penyakit sosial
murni dengan ukuran moralistic. Sehiongga apa yang dinamakan dengan kemiskinan,
pelacuran, alkoholisme, perjudian, dsb adalah sebagai gejala penyuakit sosial yang
harus segera dihilangkan dimuka bumi. Kemudian pada awal abad 19-an sampai awal
abad 20-an, para sosiolog mendefinisikan yang sedikit berbeda antara patologi sosial
dan masalah sosial.
Masalahnya adalah kapan kita berhak menyebutkan peristiwa itu sebagai gejala
patologis atau sebagai masalah sosial? Menurut kartini dalam bukunya “patologi
sosial” menyatakan bahwa orang yang dianggap kompeten dalam menilai tingkah laku
orang lain adalah pejabat, politisi, pengacara, hakim, polisi, dokter, rohaniawan, dan
kaum ilmuan dibidang sosial. Sekalipun adakalanya mereka membuat kekeliruan dalam
membuat analisis dan penilaian tehadap gejala sosial, tetapi pada umumnya mereka
dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik buruknya pola
tingkah laku masyarakat. Mereka juga berhak menunjuk aspek-aspek kehidupan sosial
yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.

3
Ada orang yang berpendapat bahwa pertmbangan nilai (value, judgement,
mengenai baik dan buruk) sebenarnya bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang
objektif sebab penilaian itu sifatnya sangat subjektif. Larena itu, ilmu pengetahuan
murni harus meninggalkan generalisasi-generalisasi etis dan penilaian etis (susila, baik
dan buruk). Sebaliknya kelompok lain berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
manusia dan kaum ilmuan tidak mungkin tidak menggunakan pertimbnagan nilai sebab
opini mereka selalu saja merupakan keputusan yang dimuati dengan penilaian-penilaian
tertentu.
Untuk menjawab dua pendirian yang kontroversial tersebut, kita dapat meninjau
kembali masalah ini secara mendalam dari beberapa point yang disebutkan oleh Kartini
Kartono dalam bukunya yang berjuduk Patologi sosial, sebagai berikut:
1. ilmu pongetahuan itu sendiri selalu mengandung nilai-nilai tertentu. Hal ini
dikarenakan ilmu pengetahuan menyangkut masalah mempertanyakan dan
memecahkan lesulitan hidup secara sistematis selalu dengan jalan menggunakan
metode dan teknik-teknik yang berguna dan bernilai. Disebut bernilai karena
dapat memenuhi kebutuhan manusiawi yang universal ini, baik yang individual
maupun sosial sifatnya, selalu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
bernilai.
2. ada keyakinan etis pada diri manusia bahwa penggunaan teknologi dan ilmu
pengetahuan modern untuk menguasai alam (kosmos,jagad) sangatlah
diperlukan demi kesejahteraan dan pemuasan kebutuhan hidup pada umumnya.
Jadi ilmu pengetahuan dengan sendirinya memiliki system nilai. Lagi pula
kaum ilmuan selalu saja memilih dan mengembangkan usaha/aktivitas yang
menyangkut kepentingan orang banyak. jadi memilih masalah dan usaha yang
mempunyai nilai praktis.
3. falsafah yuang demokratis sebagaimana tercantum dalam pancasila menyatakan
bahwa baik individu maupun kelompok dalam masyarakat Indonesia, pasti
mampu memformulasikan serta menentukan system nilai masing-masing dan
sanggup menentukan tujuan serta sasaran yang bernilai bagi hidupnya.
Seperti apa yang dikatakan george lundberg salah seorang tokoh sosiolog yang
dianggap dominan terhadap aliran neo-positivisme dalam sosiologi menyatakan bahwa
ilmu peneteahuan itu bersifat otoriter, karena itu ilmu pengetahuan mengandung dan
harus memilki moralitas ilmiah atau hukum moral yang conform dan seimbang dengan

4
hukum alam. Dan diperkuat oleh C.C. North, seorang sosiolog lain dalam bukunya
Soial Problems and Sosial Planning, menyatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan
dan sasaran hidup yang bernilai bagi satu kebudayaan atau satu masyarakat, harus
disertakan etik sosial guna menentukan cara pencapaian sasaran tadi. Jadi, cara atau
metode pencapaian itu secara etis-susila harus bisa dipertanggungjawabkan sebab
manusia normal dibekali alam dengan budi daya dan hati nurani sehingga ia dianggap
mampu menilai baik dan buruknya setiap peristiwa.
Adapun Istilah / konsep lain untuk patologi sosial adalah, Masalah sosial,
disorganisasi sosial / sosial disorganization / disintegrasi sosial, sosial maladjustment,
Sociopathic, Abnormal, Sociatri.
Tingkah laku sosiopatik jika diselidiki melalui pendekatan (approach), sebagai
berikut:
1) Approach Biologis
Pendekatan biologis tentang tingkahlaku sosiopatik dalam biologi biasanya terfokus
pada bagian genetik.
1. Patologi itu menurun melalui gen/plasma pembawa sifat di dalam keturunan,
kombinasi dari gen-gen atau tidak adanya gen-gen tersebut
2. Ada pewaris umum melalui keturenan yang menunjukkan tendesi untuk
berkembang kearah pathologis (tipe kecenderungan yang luaar biasa abnormal)
3. Melaui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah, yang akan berkembang
kearah tingkahlaku sosiopatik.
Bentuk tingkahlaku yang menyimpang secara sosial yang disebabkan oleh ketiga hal
tersebut diatas dan ditolak oleh umum seperti: homoseksualitas, alkoholistik, gangguan
mental, dll.
2) Approach Psychologist dan Psychiatris
a) Pendekatan Psikologis
Menerangkan tingkahlaku sosiopatik berdasarkan teori intelegensi, sehingga
individu melanggar norma-norma sosial yang ada antara lain karena faktor-faktor:
intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru,
internalisasi yang salah.
b) Pendekatan Psychiatris
Berdasarkan teori konflik emosional dan kecenderungan psikopatologi yang ada di
balik tingkahlaku menyimpang

5
c) Approach Sosiologis
Penyebab tingkahlaku sosiopatik adalah murni sosiologis yaitu tingkahlaku yang
berbeda dan menyimpang dari kebiasaan suatu norma umum yang pada suatu tempat
dan waktu tertentu sangat ditentang atau menimbulkan akibat reaksi sosial “tidak
setuju”. Reaksi dari masyarakat antara lain berupa, hukuman, segregrasi (pengucilan
/ pengasingan), pengucilan, Contoh: mafia (komunitas mafia dengan perilaku
pengedar narkoba)
Menurut St. Yembiarto (1981) bahwa studi patologi sosial memilki fase-fase
tersendiri. Adapun perkembangan patologi sosial ada melalui tiga fase,
 Fase masalah sosial (sosial problem). Pada fase ini menjadi penyelidikan
patisos action masalah-masalah sosial seperti pengangguran, pelacuran,
kejahatan, masalah penduduk, dst
 Fase disorganisasi sosial. Pada fase ini menjadi objek penyelidikan peksos
adalah disorganisasi sosial, fase ini merupakan koreksi dan perkembangan
dan fase masalah sosial
 Fase sistematik. Fase ini merupakan perkembangan dari dua fase
sebelumnya. Pada fase ini patsos berkembang menjadi ilmu pengetahuan
yang memiliki sistem yang bulat.

C. Fase Perubahan Sosial (Patologi Sosial)

Dalam menganalisa sebuah kasus yang berkaitan dengan patologi sosial atau
penyakit masyarakat, maka ada beberapa teori yang digunakan, diantaranya :
1. Teori Perubahan Sosial
Yang dimaksud dengan perubahan sosial ini adalah perubahan struktur dan fungsi
dalam masyarakat. Apabila suatu aspek kehidupan pada masyarakat telah
mengalami perubahan (baik secara cepat atau lambat), maka akan terjadi masalah
sosial.
2. Teori Culture Lag (ketertinggalan kebudayaan)
Satu budaya terdiri dari beberapa aspek. Jika ada slah satu aspek dari budaya itu
yang tertinggal, maka akan terjadi Culture Lag (Ketertinggalan Kebudayaan).
Culture Lag ini dapat menimbulkan masalah sosial.

6
3. Teori Konflik Sosial
Situasi yang menimbulkan pertentangan sebagian besar penduduk bisa disebut
sebagai konflik sosial. Konflik sosial bisa menimbulkan masalah sosial.
Contohnya seperti perang, pertentangan buruh dan majikan, dan lain-lain.
4. Teori Disorganisasi Sosial
Disorganisasi sosial terjadi ketika seseorang tidak melaksanakan fungsinya dalam
sebuah organisasi. Disorganisasi sosial dapat menimbulkan keretakan organisasi
sosial yang berkelanjutan dan dapat menimbulkan masalah sosial. Disorganisasi
Sosial dapat terjadi karena adanya perubahan sosial yang ada.
5. Teori Patologi
Menurut teori patologi, masyarakat selalu dalam keadaan sakit atau masyarakat
yang tidak berfungsi secara sebagian atau keseluruhan. Masyarakat bisa dikatakan
sehat jika selurung anggota masyarakat berfungsi dengan sempurna. Jika
dipandang dari luar, masyarakat memang terlihat menjalankan fungsinya dengan
sempurna. Namun jika dilihat dari dalam, pada kenyataannya masyarakat tidak
menjalankan fungsinya dengan baik. Misalnya, masyarakat yang makmur.
Masyarakat ini memang terlihat makmur, namun didalamnya banyak masalah
yang dihadapi.

Kasus Terorisme
Belakang ini negara Indonesia dihebohkan kembali dengan kasus teroris.
Pasalnya beberapa hari yang lalu, Tim Detasemen Khusus 88 telah menyergap seorang
teroris yang diduga kuat sebagai otak teroris terbesar, selain Noordin M. Top yang telah
tewas terlebih dahulu pada tanggal 17 Sepetember 2009 silam, yaitu Dulmatin.
Tertangkapnya Dulmatin di daerah Pamulang, Tanggerang, Banten, beberapa
hari yang lalu makin menambah daftar panjang jumlah teroris yang berkeliaran di
Indonesia. Aksi teror di Indonesia dimulai pada tahun 2000 dengan terjadinya Bom
Bursa Efek Jakarta, yang cukup merenggut banyak korban jiwa.
Kemudian terjadi kembali bom yang paling mematikan yaiut Bom Bali tahun
2002. Mayoritas korban dari bom Bali 1 ini adalah warga asing, khususnya warga
Australia. Namun tak sedikit pula warga Indonesia yang menjadi korban. Selang 3
tahun kemudian, terjadi kembali bom Bali 2 yang menghacurkan kawasan Bali. Tidak

7
berbeda dengan bom Bali 1, mayoritas korban bom Bali 2 adalah warga asing yang
sedang berlibur di pulau Dewata ini.
Dilihat dari beberapa kasus bom yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya para pelaku pemboman atau yang biasa dikenal dengan sebutan
teroris ini mempunyai misi utama yaitu menjaga bangsa Indonesia dari pengaruh
bangsa barat atau bangsa luar yang dapat membuat bangsa ini menjadi “rusak”.
Hal ini memang perlu di acungkan jempol, namun ada yang salah dari ini
semua yaitu cara mereka menjaga bangsa ini agar tidak terpengaruh oleh bangsa luar.
Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa kasus pemboman yang terjadi di Indonesia.
Banyak warga Indonesia yang meninggal akibat ledakan bom tersebut. Padahal yang
menjadi sasaran teroris adalah warga negara asing atau para pendatang.
Selain itu, alasan mereka melakukan penteroran adalah sebagai Jihad. Hampir
dari semua teroris yang ada ada adalah berasal dari agama Islam. Padahal, Islam tidak
pernah mengajarkan kekerasan antara sesama umat beragama. Lebih tepat jika
dikatakan terorisme merupakan sebuah tindak kriminal yang merugikan banyak pihak,
bukan berlandaskan Agama Islam. Jadi salah besar jika seorang teroris mengatakan
perbuatan yang dilakukannya adalah sebuah kepatuhan terhadap agama.

D. Tinjauan Sosiologi

Berdasarkan teori-teori yang ada, kasus teroris ini termasuk kedalam dua teori,
yaitu :
a. Teori Perubahan Sosial
Selain itu, teroris sangat identik dengan sikap yang sangat tertutup
dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan sosial
yang terjadi di dalam masyarakat. Perubahan struktur dan fungsi dalam
masyarakat membuat para teroris sulit untuk terungkap. Sebenarnya bukan
hanya para teroris saja yang bersifat tertutup, namun lingkungan masyarakat
tempat berdiamnya teroris juga kurang peka terhadap apa yang ada di
lingkungan sekitarnya. Sebut saja Noordin M. Top, salah satu gembong teroris
terbesar yang telah tertangkap di daerah Mojosongo, Solo, Jawa Tengah tahun
2009 lalu. Warga di sekitar tempat bersembunyi Noordin tidak ada yang

8
mengenal siapa dirinya dan keluarganya. Yang mereka tahu hanyalah keluarga
pidahan yang tinggal di suatu rumah di daerah tersebut.
Jika saja para warga mau berinisiatif untuk mencari tahu siapa
sebenarnya yang tinggal di rumah itu, pastilah Noordin sudah tertangkap sejak
lama. Sama halnya dengan kasus Dulmatin, banyak warga yang tidak
mengetahui akan kehadirannya. Ironisnya, keluarga Dulmatin sendiripun tidak
mengetahui bahwa salah satu dari anggota keluarga mereka adalah teroris yang
menjadi target operasi TIM DENSUS 88.
Hal ini terjadi karena kurangnya rasa kepedulian antar sesama anggota
masyarakat. Perubahan sosial yang sedemikian cepat, membuat para warga
sibuk atau asyik dengan pekerjaan mereka sendiri tanpa memikirkan apa yang
sebenarnya terjadi di lingkungan sekitarnya. Perubahan sosial yang dialami
masyarakat ini merupakan akibat dari perubahan fungsi dari masyarakat itu
sendiri.
Masyarakat dikatakan berfungsi dengan baik jika mereka telah mampu
bersosialisasi terhadap masyarakat sekitar secara berkelanjutan (kontinuitas)
atau Sustainable. Proses sosialisasi ini secara tidak langsung dapat merekatkan
atau meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa saling memiliki antara warga.
Namun, yang terjadi sekarang ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang
seharusnya ada. Sikap acuh tak acuh antara warga mulai tumbuh pada
masyarakat sekarang.
Untuk dapat mencegah atau mengurangi hal ini, diperlukan kesadaran
sosial yang kuat terhadap pentingnya proses sosialisasi di masyarakat agar
masyarakat dapat menjalankan fungsinya kembali dan kasus-kasus seperti
Dulmatin dan Noordin tidak akan terjadi lagi.
b. Teori Culture Lag (Ketertinggalan kebudayan)
Kondisi yang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini adalah
kurangnya penyaringan budaya-budaya asing yang seharusnya tidak diterapkan
di Indonesia. Dalam Sosiologi, yang dimaksud dengan ketertinggalan
kebudayaan atau Culture Lag adalah jika suatu kebudayaan memiliki beberapa
aspek dan salah satu aspek dari kebudayaan itu tertinggal.
Kita sudah mengetahui bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki para
teroris itu sangat tinggi bahkan tidak sedikit dari mereka merupakan lulusan dari

9
universitas-universitas ternama di Indonesia. Namun dengan tingginya tingkat
pendidikan dan ilmu yang mereka punya, mereka tidak dapat mengontrol diri
mereka sehingga dengan segala ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki,
mereka mampu merakit bom, misalnya, hingga menewaskan ratusan orang
bahkan ribuan orang.
Jadi ketertinggalan kebudayaan yang melekat pada teroris ini adalah
ketidakmampuan para teroris menggunakan ilmu dan pengetahuan yang mereka
miliki. Andai saja mereka mengerti apa yang seharusnya dilakukan dengan ilmu
yang mereka ketahui, pasti mereka akan membuat suatu hal yang bermanfaat
untuk masyarakat Indonesia
Sejarah mencatat tentang masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai
produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini
disamping mampu memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan
manusia juga dapat menimbulkan Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment
menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat
internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga
manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola
yang umum dan banyak melakukan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri
bahkan masyarakat cenderung merugikan orang lain. Hal ini sebagai pertautan tali yang
melahiorkan apa yang dinamakan dengan patologi sosial. Patologi sosial adalah ilmu
tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” yang disebabkan oleh faktor-faktor
sosial. Jadi ilmu tentang “penyakit masyarakat”. Maka penyakit masyarakat itu adalah
segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma
umum dan adat istiadat, atau tidak integrasinya dengan tingkah laku umum.

2. Patologi Sebuah Revolusi

Anthony Reid adalah salah seorang Indonesianis terkemuka. Namun sejajar


dengan Ben Anderson, Herber Feith, Lance Castle, Wiliam Liddie, ataupun mClifford
Geertz. Di antaranya-mungkin dia yang paling produktif menulis perjalanan bangsa ini.
Studinya yang banyak merangkai perjalanan revolusi Indonesia, mendapat tempat
tersendiri dalam perjalanan intekletual orang-orang Indonesia dalam mencari dan
menulis

10
Buku Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan
Sumatera memberikan gambaran cukup komprehensif tentang revolusi sosial di
Sumatera Timur. Pada bukunya, Reid memberikan uraian yang cukup mendetail
tentang kondisi Sumatera Timur mulai dari dibukanya perkebunan sampai meletusnya
revolusi sosial. Walaupun penjelaan mengenai kondisi masyarakat yang mengalami
krisis, yang kekacauan tidak begitu jelas ditampilkan dan juga dengan peranan
pemimpin baik di kota maupun di desa, cara memobilisasi pengikut, tetapi studi sangat
penting dalam perkembangan historiografi Indonesia.
Dalam uraiannya Anthony Reid sangat jeli memformulasikan berbagai kondisi
yang inheren dalam masyarakat Sumatera Timur. Dalam lembar Indonesia, masa
antara 1945-1947, adalah masa yang labil. Negara yang masih bayi ini harus diterpa
berbagai cobaan. Pada masa ini wilayah-wilayah Indonesia sedang berlangsung proses
formasi kekuatan sehingga belum ada lembaga yang mantap. Dari sini akan dihasilkan
situasi yang labil dan mengambang. Serta yang paling krusial adalah terjadinya
ketegangan antar golongan. Situasi sangat eksplosif, sedikit saja provokasi akan
berakhir dengan bentrokan. Preseden dari semua ini adalah munculnya fenomena
masyarakat yang suka bergejolak (robellious society).
Kondisi seperti inilah yang terjadi di Sumatera Timur pada awal kemerdekaan,
hingga puncaknya pada peristiwa Maret 1946. Sumatera Timur adalah kampong
halamannya etnis Melayu, Batak Karo, Batak Simalungun. Wilayahnya terbentang dari
perbatasan Aceh (Tamiang) sampai Siak. Ekonomi perkebunan benar-benar telah
mengubah wilayah ini. Tiga kesultanan penting yaitu Deli, Serdang, dan Langkat
benar-benar sedang mengalami masa kejayaannya. Perkebunan tembakau telah
mengubah wajah Sumatera Timur dan juga berarti mengubah kondisi ekonomi, sosial,
politik, dan budaya. ‘Tanah penuh harapan’ ini didatangi berbagai suku yang ada di
Indonesia, dan juga didatangi berbagai bangsa yang ada di dunia. Migrasi paling besar
adalah pemasukan kuli-kuli perkebunan untuk menunjang lancarnya ekonomi
perkebunan. Kaum-kaum pendatang inilah yang menjadi objek eksploitasi pada masa
kolonial. Sampai pada pertengahan abad ke-19, penduduk Sumatera Timur lebih
separuhnya adalah pendatang. Heterogenitas penduduk nantinya akan bermuara ke
terjadinya konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Para pendatang mempunyai
kepentingan ekonomi dan politis yang berbeda dari penduduk asli.

11
A. Gerakan Sosial Maret 1946
Gerakan menurut kamus antropologi adalah aktivitas dan terencana dan
berulang-ulang yang dilancarkan berbagai macam organisasi untuk mewujudkan cita-
cita atau tujuan. Sedangkan gerakan sosial, adalah suatu gerakan dari kelompok sosial
untuk kepentingan sosial dan tujuan sosial, sehingga dapat mempertahankan,
mengubah, dan mengganti atau menghapus hal-hal yang
kurang sesuai dari suatu masyarakat.
Sedangkan menurut kamus sosiologi, gerakan sosial adalah suatu organisasi
informal yang mungkin mencakup unit-unit yang terorganisasi secara formal yang
bertujuan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Definisi gerakan di atas sangat sesuai untuk
manggambarkan dan menganalisis peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur.
Gerakan sosial di Sumatera Timur merupakan gerakan dari kelompok sosial
yang bertujuan untuk mengubah, mengganti dan menghapus hal-hal yang kurang sesuai
dengan tata sosial suatu masyarakat. Peristiwa Maret digerakkan oleh Persatuan
Perjuangan atau volksfront yang merupakan aliansi berbagai macam organisasi
perjuangan di Sumatera Timur- di mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan
Gerindo, PKI, dan PNI atau golongan pemuda radikal yang pro republik. Masa antara
1945-1947 adalah masa–masa revolusi fisik di mana jargon-jargon nasionalisme, anti
feodalisme dan imperialisme merupakan senjata untuk mencegah kembalinya
kekuasaan penjajah.
Masuknya Jepang ditandai dengan kemerosotan kewibawaan kaum bangsawan.
Segala hak istimewa mereka dicabut. Semua tanah menjadi milik Jepang dan areal
perkebunan ditanami padi dan jagung. Kondisi ini sangat menguntungkan buruh
perkebunan. Sebagian orang Jawa, Toba dan Karo bahkan Cina mengambil lahan
perkebunan dan menganggap miliknya sendiri. Pada masa Jepang pemahaman
nasionalisme sudah semakin dewasa, walaupun kegiatan politik dilarang, namun
toleransi Jepang kepada sesuatu yang bersifat Indonesia sangat membantu penyebaran
nasionalisme.
Setelah hengkangnya Jepang, terjadi kekosongan kekuasaan. Berita proklamasi,
baru Oktober terdengar di Sumatera Timur. Keadaan yang mengambang ini menjadi
celah terjadinya pergolakan. Tidak adanya pemimpin tunggal, karena baik para sultan
maupun para pemimpin organisasi politik dan juga sebagian masyarakat merasa berhak
memegang kendali. Para pemimpin organisasi dan sebagian masyarakat memandang

12
kekuasaan feodal sebagai penghalang revolusi nasional Indonesia yang mengandung
nilainilai anti kolonialisme, antifeodalisme, nasionalisme, patriotisme, dan demokrasi
merupakan gejolak-gejolak yang mendorong revolusi sosial. Golongan bawah yang
merupakan objek eksploitasi kolonial yang dihasilkan oleh kolaborasi pemerintah
Hindia Belanda, planters, dan kaum bangsawan menganggap saat ini adalah waktu
yang tepat untuk melampiaskan dendamnya. Golongan ini sangat mudah memobilisasi.
Pergolakan politik ditandai dengan banyaknya penerbitan bahasa Indonesia.
Namun yang paling penting adalah berdirinya cabang-cabang organisasi politik di
daerah ini. Serikat Islam pada 1918, PKI pada 1952, dan Gerindo pada 1937 serta
organisasi politik dan keagamaan lainnya yang berdiri pada waktu hampir bersamaan.
Hampir semua organisasi politik mendirikan cabangnya di sini. Nantinya organisasi–
organisasi politik ini mempunyai peranan yang signifikan pada revolusi sosial.

B. Sumatera Timur Pasca-Proklamasi


Kondisi sosial politik sangat mempengaruhi terjadinya goncangangoncangan
dalam masyarakat. Ketimpanganketimpangan dan kecemburuan sosial adalah pemicu
rakyat untuk bergerak. Setelah Jepang menyerah terjadi kekosongan kekuasaan di
Sumatera Timur. Terdapat polarisasi pendapat mengenai nasib Sumatera Timur
selanjutnya. Opini yang berkembang saat itu bahwa Belanda akan kembali. Ditambah
lagi dengan pasukan terjun payung sekutu dan pamflet-pamflet propaganda menambah
keyakinan akan asumsi ini, dan yang paling hangat adalah isu tentang adanya panitia
penyambutan kembali Belanda yang diprakarsai oleh beberapa Sultan.
Datangnya sekutu menambah panas suasana dan suhu politik di Sumatera
Timur. Hal ini karena keberpihakkan sebagai aristocrat Melayu kepada sekutu. Mereka
memandang bahwa jatuhnya Jepang merupakan celah untuk kembali menjalankan
pemerintah feodal-serta hak milik dan penghasilan perkebunan yang mereka terima
sebelum perang. Hal ini membuat aristokrat Melayu semakin menjauhkan diri dari
republik. Di pihak lain, dalam kubu pendukung republic terjadi perpecahan. Pihak
moderat lebih mengutamakan pendekatan kooperatif untuk bisa membujuk aristokrat
Melayu. Sedangkan pihak radikal lebih mengutamakan jalan kekerasan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Pihak radikal banyak didukung oleh sebagian besar
golongan pemuda.

13
Adapun para kuli telah menyelesaikan kontraknya telah menjadi masyarakat
Sumatera Timur. Peranan mereka dalam revolusi dapat dibilang cukup besar.
Kebencian mereka terhadap kaum bangsawan yang berkolaborasi dengan para
pengusaha perkebunan pada masa Belanda adalah benih balas dendam mereka kepada
Sultan. Kompleksitas kepentingan dan pandangan terjadi di Sumatera Timur yaitu
kepentingan pihak republik (golongan radikal), pandangan Melayu dan keberpihakan
mereka terhadap sekutu serta benih dendam yang ada pada kuli perkebunan merupakan
alasan kuat terjadinya gerakan sosial di Sumatera Timur.

C. Sumatera Timur Maret 1946


Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan masa telah berkumpul.
Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun
kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan
massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu
istana sultan-revolusi telah dimulai. Kepincangan sistem yang ada, sakit hati, balas
dendam, kebencian terhadap feodalisme dan imperialisme telah berbaur ke dalam
bentuk pelampiasan yang bersifat vandalistik seperti pembunuhan, penculikan, dan
tindak kekerasan yang lainnya. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera
Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati,
termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.
Hari itu 3 Maret 1946, seluruh Sumatera Timur bergejolak. Sebuah gerakan
sosial melawan orang yang dianggap feodal telah dimulai. Di Tanjung Balai dan di
Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sedangkan di
Simalungun, Barisan Harimau Liar membunuh Raja Pane. Gerakan ini juga memakan
korban yang terjadi di Tanah Karo. Di daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan
Langkat Persatuan Perjuangan mendapat perlawanan. Serdang yang memang dalam
sejarahnya anti-Belanda tidak terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena
ada markas pasukan TRI di Perbaungan. Sedangkan istana Sultan Deli terlindung
karena adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan sedangkan istana Langkat
juga terlalu kuat untuk diserbu.
Pergolakan sosial berlanjut pada 8 Maret. Sultan Bilah dan Sultan kota Langkat
di tangkap lalu dibunuh. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri
Sultan Langkat, pada malam jatuhnya istana tersebut, 9 Maret 1946 dan dieksekusinya

14
penyair terkemuka Tengku Amir Hamzah. Meskipun pemerkosa ditangkap dan dibunuh
namun revolusi telah melenceng jauh.
Pasca Kemerdekaan 1945, tidak dapat dipungkiri terjadinya krisis di segala
bidang. Republik yang masih muda ini diterpa berbagai terpaan dan cobaan.
Kekosongan kekuasaan setelah hengkangnya Jepang menimbulkan banyak konflik
sosial. Ada empat skenario revolusi sosial, yang terjadi di Sumatera Timur, antara lain:
pemusatan kekuatan sosial dalam satu badan perjuangan, ada tiga ideologi yang
mendominasi kekuatan sosial, yaitu kanan, tengah, dan kiri, terjadinya polarisasi antar
golongan dan yang terakhir pendominasian golongan radikal pada tahap awal revolusi.
Empat kondisi inilah yang membingkai jalannya revolusi sosial.
Perebutan kekuasaan, penumpasan lawan dengan kekerasan ditambah lagi
dengan golongan-golongan yang saling bertikai mengakibatkan rakyat mengambil
inisiatif untuk mengambil kekuasaan sendiri. Hal ini menimbulkan kekacauan politik
dan rusaknya orde sosial. Kondisi seperti inilah yang merupakan cikal-bakal atau
embrio terjadinya gerakan sosial di Sumatera Timur. Saat itu proses formasi kekuatan
sosial sedang berlangsung sehingga tidak ada pelembagaan yang mantap. Keadaan ini
menciptakan situasi yang sangat eksplosif karena ketegangan antar golongan suatu saat
dapat meledak. Sedikit saja provokasi yang mengatasnamakan nasionalismeyang anti
feodalisme, kolonialisme dan imperialisme dengan segera akan bermuara ke suatu
bentrokan yang diisi dengan tindakan-tindakan vandalistik- dan masyarakat menjadi
“suka bergejolak”.

3. Kenakalan Remaja.
Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius terhadap
anak, sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah karunia Tuhan
yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka menjadi pribadi yang
mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian terhadap anak seringkali
terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau sebelah mata karena yang dihadapi
hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya, perhatian terhadap anak sejak dini
sangat mempengaruhi masa depannya kelak.
Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita jumpai
adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih labil. Bahkan lebih jauh

15
lagi, terdapat anak yang melanggar hukum yang melakukan tindak pidana yang
merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri. Perilaku buruk anak juga bisa jadi
merupakan cerminan kelalaian serta ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik
anak. Hal tersebut tentunya harus mendorong kita untuk lebih banyak memberikan
perhatian akan penanggulangan serta penanganan atas masalah perilaku buruk anak.
Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena
mereka tidak mungkin diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian terhadap
anakpun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan
terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikeluarkanalah Undang-
Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih
memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU ini merupakan suatu langkah maju
bagi perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.
Ide tentang lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak tahun
1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan
Peraturan Menteri Kehakiman RI. No.: M.06-UM.01 Tahun 1983 dan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.: MA/KUMDIL/10348/XI/87.
Untuk merealisir lahirnya Undang-Undang Peradilan Anak, maka pada tanggal 10
November 1995 pemerintah dengan Amanat Presiden No.: R.12/PU/XII/1995
mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapat pembahasan dan persetujuannya. Malahan dalam RUU
Peradilan Anak ini tadinya ada rencana untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya,
mulai dari : Sidang Anak Nakal, Sidang Anak Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan
Perkara Anak Sipil. Akan tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU Pengadilan
Anak yang hanya mengatur tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan,
sebab masalah-masalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.
“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,
Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum ini juga ditegaskan
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 :anak yang berhadapan dengan hukum

16
Berbicara mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan
hakim pada umumnya. Hakim mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih lagi
menyangkut putusan yang dijatuhkannya yang akan mempunyai akibat begitu besar
terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau terkena
perkara. Begitu banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam
menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan pemidanaan,
dimana agar orang yang telah dipidana menjadi seorang yang baik dan dapat kembali
serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang hakim keliru dalam
menentukan suatu putusan maka keadilan hukum yang diharapkan oleh masyarakat
justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih memprihatinkan, ternyata hal ini
terjadi pada praktik peradilan di negara kita.
Menurut Bagir Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan
hakim dapat terjadi karena hakim menyadari putusannya dibuat asal-asalan, tidak
bermutu, sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik. , anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkoba, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.” Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan
khusus yang berbeda dengan layaknya persidangan biasa bagi orang dewasa, dalam
rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum,
Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau
pakaian dinas (Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1997).
Putusan hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya
hal itu seharusnya tidak terjadi karena Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan
tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan itu asal-asalan karena hakim kehilangan
independensinya.
Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata mempunyai tanggung jawab
yang lebih besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga dibebani tugas
khusus memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya adalah anak-anak.
Putusan hakim anak, disamping tindakan dan sikap perilaku hakim anak tersebut dalam

17
menghadapi anak selama proses persidangan mempunyai pengaruh baik terhadap
psikologi anak maupun masa depan anak yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dengan kebebasannya seorang hakim harus berani menjatuhkan
putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat bagi anak. Oleh karena itu
pula, persyaratan menjadi Hakim Anak haruslah khusus dan ketat. Apakah dalam
realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak menjatuhkan putusan telah
benar-benar mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
tanpa mengabaikan jaminan perlindungan terhadap anak.

A. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak

Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum Di Indonesia terdapat pengertian yang


beraneka ragam tentang anak, dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku
menentukan batasan usia anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan
masyarakat awam mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu
digunakan asas “lex specialis derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang
bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Batas usia anak
merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam
status hukum, sehuingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya. Berikut ini
dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia
Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata yang menentukan: “Belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”
Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak Diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menentukan: “Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”. Pengertian
Anak Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Diatur
pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal

18
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas
tahun dan belum pernah kawin.”
Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan: “Anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Diatur pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah seseorang
yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan: “Seorang anak adalah setiap manusia
yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-
anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”
Pengertian Anak Menurut Hukum Adat. Menurut Hukum Adat tidak ada
ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa atau mempunyai
wewenang untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata
Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:
 dapat bekerja sendiri;
 cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bertanggung jawab;
 dapat mengurus harta kekayaan sendiri;
 telah menikah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Adat ukuran kedewasaan tidak
berdasarkan hitungan usia tetapi ciri tertentu yang nyata. Pengelompokan usia anak ini
dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut:
1. Kewenangan bertanggung jawab kepada anak;
2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum;
3. Pelayanan ukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana;
4. Pengelompokan proses pemeliharaan;
5. Pembinaan yang efektif.

19
Kejahatan anak sering dinyatakan dengan istilah Juvenile delinquency. Istilah
tersebut pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Amerika Serikat dalam rangka
usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam
pembahasannya, ada kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah
sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun
semua sepakat bahwa dasar pengertian kejahatan anak adalah perbuatan atau tingkah
laku yang bersifat anti sosial.
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang
Juvenile delinquency. Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile delinquency
adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala
sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.
Menurut Fuad Hasan, Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang
dilakukan oleh remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan
sebagai kejahatan. a Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu
kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang
oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya; b.
Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan
keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana jangki tidak sopan, mode you
can see, dan sebagainya; c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan
perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
“Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya
kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang
berwajib terpaksa atau bhendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti
menahannya atau mengasingkannya.” Menurut A. Merril, merumuskan Juvenile
delinquency sebagai berikut:
Tim Proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
pada bulan Desember 1967 memberikan perumusan mengenai Juvenile delinquency,
yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak dianggap
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh
masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

20
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Juvenile
delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah umur 18
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang
bersangkutan.
Juvenile delinquency tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan
anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya apabila seorang anak yang
melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara setiap manusia pasti
pernah mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaanya diman tindakannya
merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan
dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga masa transisinya dapat dilewati
dengan baik tanpa tindakan-tindakan yang menjurus kepada perbuatan kriminal. Dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, istilah “Anak Nakal”
digunakan untuk anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (Pasal 1)
Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun
1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook Country,
yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri sudah terdapat
Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana mengenai anak-anak ini
yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi mereka,
melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.
Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang-undang
tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan
hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang jauh sebelum
dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan negeri telah
menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak dengan
menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.
Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan dan
anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu mengenai
pengadilan. Jadi peradilan merupakan peristiwa atau kejadian/hal-hal yang terjadi
mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit, peradilan adalah hal-hal yang

21
menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan
secara luas adalah kejadian-kejadian/hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara
termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan materiilnya.
Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk
Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, Kejaksaan,
Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap
warga Indonesia. Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan
hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu
badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun
atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan
mencegah “eigenrichting”
Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas
perkara yang ditangani yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi keadilan
berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun anak yang dapat disidangkan dalam
Peradilan Anak ditentukan secara limitatif, yaitu berumur minimum 8 (delapan) tahun
dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Apabila anak
melakukan tindak pidana pada batas umur tersebut, namun diajukan ke sidang
pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut namun
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka tetap diajukan ke Sidang Anak
(Pasal 4 Undang-Undang no. 3 Tahun 1997). Petugas harus teliti dengan meminta
surat-surat yang ada hubungannya dengan kelahiran anak, seperti Akta Kelahiran.
Kalau tidak ada, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat
Belajar, Kartu Pelajar, Surat Keterangan Kelahiran.
Bentuk Peradilan Anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang
pengertian dari peradilan dan anak, serta motivasi tetuju demi kepentingan anak untuk
mewujudkan kesejahteraannya maka tidak ada bentuk yang cocok bagi Peradilan Anak
kecuali sebagai peradilan khusus. Demikianlah kenyataan yang terjadi di negara-negara
yang telah mempunyai lembaga Peradilan Anak. Mereka menempatkan bentuk dan
kedudukan secara khusus di dalam sistem peradilan negara masing-masing walaupun
istilah yang dipakai berbeda-beda.

22
B. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak

Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan
lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya. Namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus
menyangkut perkara anak. Diberikan perlakuan khusus dalam rangka menjamin
pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus diperhatikan
masa depannya.
Untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan
menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Dalam
mengadili, hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar oleh karena itu
biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan
dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis
dan hukum yang tidak tertulis. Dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut dijalankan oleh
pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak. Dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan
tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.
Demikian pula dengan tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-mata
mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan bagi masa
depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.
Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa
konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara.
Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat
dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau masalah baru. Mengingat bahwa
anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan
perlakuan khusus pula, maka dalam Peradilan Anak ini janganlah hendaknya
ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si
anak semata-mata tetapi harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang
dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak
dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.
Dengan demikian, melalui Peradilan Anak diharapkan adanya suatu perbaikan
kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan terjadinya pengulangan
kejahatan anak melalui tindakan pengadilan yang konstruktif. Tindakan yang dapat
dijatuhkan ialah:

23
1) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; Meskipun anak
dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap
berada di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan
antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan.
2) Menyerahkan kepada negara untuk mengikut pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja;Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua
asuh tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka
hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja. Sehubungan dengan hal tersebut, demi kepentingan anak Undang-Undang
memberi wewenang kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat
mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman RI agar anak negara yang
bersangkutan ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan
oleh pemerintah atau swasta (Pasal 31 ayat (2)). Kewenangan tersebut diberikan
karena kepala instansi ini dipandang mengetahui dengan baik mengenai
perkembangan anak selama menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak, serta pembinaan anak negara selanjutnya. Setelah mendapat izin dari
Menteri Kehakiman, anak negara tersebut dipindahkan dari Lembaga
Pemasyarakatan Anak ke lembaga pendidikan anak. Lembaga inilah yang
menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memberikan pendidikan bagi anak
baik jasmani, rohani maupun sosial anak.
3) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja seperti: pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan
memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Tindakan sebagaimana dimaksud di atas dapat disertai dengan teguran dan
syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran dapat dilakukan secara langsung
oleh akim atau tidak langsung oleh orang tua atau wali atau orang tua asuh. Teguran itu
berupa peringatan kepada anak untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Terhadap
anak yang melakukan tindak pidana apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhi tindakan: menyerahkan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (Pasal 26 ayat (3))

24
Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas tahun) melakukan tindak pidana
yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka
terhadap anak tersebut dijatuhkan salah satu tindakan (Pasal 26 ayat (4)).
Terhadap sanksi hukum di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan kumulasi
hukuman kepada terdakwa artinya hukuman pidana dan hukuman tindakan tidak boleh
dijatuhkan sekaligus. Apabila hukuman pidana tidak dijatuhkan, hakim hanya dapat
menjatuhkan hukuman tindakan saja (Pasal 22). Demikian juga semua putusan hakim
dalam perkara apapun wajib diucapkan dalam sidang “terbuka untuk umum” (Pasal 59
ayat (3)).

C. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Kejahatan


Berbicara tentang pola tingkah laku anak sangat erat kaitannya dengan fase-fase
atau tahap perkembangan yang merupakan pembabakan rentang perjalanan kehidupan
individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola tingkah laku tertentu. Sebab pada
umumnya bahwa dalam fase perkembangan ini individu mengalami masa-masa
kegoncangan. Kegoncangan psikis hampir dialami oleh semua orang, dimana selama
masa perkembangan pada umumnya individu mengalami masa kegoncangan dua kali,
yaitu pada kira-kira tahun ketiga atau keempat, dan permulaan masa pubertas.
Berdasarkan kedua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat
digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:
1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang biasa
disebut “masa kanak-kanak”;
2. Dari masa kegoncangan pertama sampai pada masa kegoncangan kedua yang biasa
disebut “masa keserasian bersekolah”;
3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut “masa
kematangan”.
Untuk mencapai kematangannya, maka mereka memerlukan bimbingan karena
mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan
lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Anak-anak
yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui atau diidentifikasi oleh orangtua, guru,
petugas panti asuhan, pelatih bermain anak, dan pekerja-pekerja lain yang dekat dengan
anak. Berdasarkan hasil penelitian, ada tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi

25
untuk memprediksikan perilaku anak yang beresiko tinggi melakukan tindak pidana
yaitu:
1. Umur, anak yang lebih muda jika masuk ke suatu sistem tertentu akan mempunyai
resiko lebih tinggi;
2. Pscyhological variables, yaitu sifat pembantah, susah diatur, merasa kurang dihargai;
3. School performance, yaitu anak yang bermasalah di sekolah dengan tingkah lakunya,
pembolos;
4. Home adjustment, yaitu kurang interaksi dengan orangtua dan saudara, kurang
disiplin dan pengawasan, minggat dari rumah;
5. Drugs and alcohol use, yaitu penggunaan alkohol dan obat, anak yang sudah mulai
memakai alkohol apabila orangtuanya punya riwayat pemakai alkohol;
6. Neighbourood (lingkungan tetangga), dimana lingkungan mudah mempengaruhi
anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan perilaku;
7. Sosial adjustment of peers (pengaruh kekuatan teman sebaya), pertemanan
mempengarui perilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan kekacauan di
sekolah (onar), geng, sex, dan lain-lain.
Remaja seringkali menempatkan posisi teman sebaya dalam posisi prioritas
apabila dibandingkan dengan orangtua, atau guru dalam memyatakan kesetiaanya.
Kathleen Salle dalam hasil penelitiannya menyatakan ada beberapa faktor sosial yang
menyebabkan terjadinya tindak pidana yaitu:
1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit
keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan dibandingkan
dengan anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang dilaporkan
melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara pidana yang masuk
dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan jumlah anak yang berada di
Lembaga Pemasyarakatan Anak;
2. Adanya pengaruh teman bermain anak, dimana anak yang bergaul dengan anak yang
tidak sekolah dan kurang perhatian dari orangtuanya maka anak tersebut besar
kemungkinan melakukan delinquency;
3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas ekonomi
rendah/lemah. Perilaku kriminil ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas untuk
bermain dan belajar yang sesuai dengan masa perkembangan kejiwaan anak.
Disamping itu, orangtua mereka kurang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya

26
dikarenakan keterbatasan ekonomi. Sehingga pada akhirnya, anak-anak tersebut
harus melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang
menyenangkan. Disamping itu, dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-
anak mengambil barang orang lain untuk dimilikinya atau untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya seperti: anak melakukan pencurian sandal dan pakaian,
mengambil mainan temannya, mengambil tape mobil, dan sebagainya;
4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam delinquency
adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home. Adanya pengaruh
keluarga yang berantakan (broken home) dengan perilaku nakal anak, pernah
dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika Serikat. Banyak hasil penelitian
memberikan dukungan bahwa delinquency disebabkan oleh suatu keadaan broken
home. Diantaranya George B. Mangold, menyatakan bahwa broken home
diperkirakan sebagai salah satu penyebab delinquency yang paling sering .
Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin mempelajari hubungan broken
home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward didapat kesimpulan
bahwa:
1. Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15 % lebih tinggi daripada
tidak broken home;
2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada bentuk-bentuk
kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi pada kriminal
serius seperti pencurian, dan kekerasan kepada seseorang;
3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan delinquency atau
tidak. Contoh: broken home karena perceraian orangtua lebih kuat daripada karena
orangtua meninggal;
4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency;
5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau perempuan.
Menurut Elizabet Hurlock, Alexander Schneiders, dan Lore terdapat beberapa
pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing mempunyai
pengaruh tersendiri teradap kepribadian anak. Pola-pola tersebut dapat disimak pada
tabel berikut:

27
POLA PERLAKUAN PERILAKU ORANGTUA PROFIL TINGKAH LAKU
ORANG TUA ANAK
1. Overprotection 1. Kontak yang berlebihan 1. Perasaan tidak aman;
(terlalu melindungi) dengan anak; 2. Agresif dan dengki;
2. Perawatan/ pemberian 3. Mudah merasa gugup;
bantuan kepada anak yang 4. Melarikan diri dari kenyataan;
terus-menerus, meskipun 5. Sangat tergantung;
anak yang sudah mapu 6. Bersikap menyerah;
merawat dirinya sendiri; 7. Ingin menjadi pusat perhatian;
3. Mengawasi kegiatan anak 8. Lemah dalam “ego strenght”.
secara berlebihan; Aspiratif dan toleransi teradap
4. Memecahkan masalah anak. frustasi;
9. Kurang mampu mengendalikan
emosi;
10. Menolak tanggung jawab;
11. Kurang percaya diri;
12. Mudah terpengaruh;
13. Peka terhadap kritik;
14. Bersikap “yes men”;
15. Egois/selfish;
16. Suka bertengkar;
17. Troublemaker (pembuat onar);
18. Sulit dalam bergaul;
19. Mengalami “homesick”
2. Permissiveness 1. Memberikan kebebasan 1. Pandai mencari jalan keluar;
(Pembolehan) untuk berpikir atau 2. Dapat bekerjasama;
berusaha; 3. Percaya diri;
2. Menerima gagasan/ 4. Penuntut dan tidak sabaran.
pendapat;
3. Membuat anak merasa
diterima dan merasa kuat;
4. Toleran dan memahami
kelemahan anak;
5. Cenderung lebih suka
memberi yang diminta anak
daripada menerima.

28
3. Rejection 1. Bersikap masa bodoh; 1. Agresif (mudah marah, gelisah,
(Penolakan) 2. Bersikap kaku; tidak patuh/keras kepala, suka
3.Kurang memperdulikan bertengkar dan nakal);
kesejahteraan anak; 2. Submissive (kurang dapat
4. Menampilkan sikap mengerjakan tugas, pemalu, suka
permusuhan atau dominasi mengasingkan diri, mudah
terhadap anak. tersinggung dan penakut);
3. Sulit bergaul;
4. Pendiam;
5. Sadis.
4. Acceptance 1. Memberikan perhatian dan 1. Mau bekerjasama (kooperatif);
(Penerimaan) cinta kasih yang tulus 2. Bersahabat (friendly);
kepada anak; 3. Loyal;
2. Menempatkan anak dalam 4. Emosinya stabil;
posisi penting di dalam 5. Ceria dan bersikap optimis;
rumah; 6. Mau menerima tanggung jawab;
3. Mengembangkan hubungan 7. Jujur;
yang hangat dengan anak; 8. Dapat dipercaya;
4. Bersikap respek terhadap 9. Memiliki perencanaan
anak; 10. Bersikap realistik (memahami
5. Mendorong anak untuk kekuatan dan kelemahan
menyatakan perasaan atau dirinya secara objektif).
pendapatnya;
6. Berkomunikasi dengan
anak secara terbuka dan
mau mendengarkan
masalahnya yang jelas
untuk mencapai masa
depan;
5. Domination Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat
(Dominasi) berhati-hati;
2. Pemalu, penurut, inferior dan
mudah bingung;
3. Tidak dapat bekerjasama.
6. Submission 1.Senantiasa memberikan 1. Tidak patuh;
(Penyerahan) sesuatu yang diminta anak; 2. Tidak bertanggung jawab;

29
2.Membiarkan anak 3. Agresif dan teledor/lalai;
berperilaku semaunya di 4. Bersikap otoriter;
rumah. 5. Terlalu percaya diri.
7. Punitiveness/ 1.Mudah memberikan 1. Impulsif;
Overdicipline (Terlalu hukuman; 2. Tidak dapat mengambil
disiplin) 2.Menanamkan kedisiplinan keputusan;
secara keras. 3. Nakal;
4. Sikap bermusuhan dan agresif.

Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih sayang
merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan perkembangan psikologis
anak tersebut. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh
konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan
mental (mental illness) bagi anak. Dalam kondisi seperti inilah banyak remaja yang
meresponinya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral, seperti:
kriminalitas, meminum minuman keras, penyalahguanaan obat terlarang, tawuran dan
pergaulan bebas. Syamsu Yusuf mengemukakan beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku menyimpang pada anak/remaja:
1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang
nilai-nilai agama);
2. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga);
3. Sikap perlakuan orangtua yang buruk terhadap anak;
4. Perceraian orangtua;
5. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir);
6. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol;
7. Diperjualbelikannya minuman keras atau obat-obatan terlarang secara bebas;
8. Hidup menganggur;
9. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok;
10. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang;
11. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno;
12.Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang
memperhatikan nilai-nilai moral).
Sementara itu, Muhidin mengkategorikan sebab-sebab kenakalan anak-anak
menjadi tiga kelompok, yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor masyarakat:
30
1. Faktor individu. Di antara faktor individu ini adalah kondisi biologis seperti cacat
fisik, kelemahan biologis yang mengakibatkan pertumbuhan dan tingkah laku
abnormal. Anak-anak yang mengalami kemunduran mental (mentally retarded) dan
pertumbuhan intelegensi di bawah normal, psychopathic, neorosa memungkinkan
anak-anak melakukan tindakan sosial. Bentuk-bentuk lain yang mengakibatkan
tingkah laku kenakalan anak termasuk ketidakstabilan emosi yang disebabkan oleh
rasa rendah diri, temperamen yang tidak terkontrol dan konflik-konflik dalam diri.
Sebab-sebab lain dari kenakalan yang termasuk faktor individu adalah kebiasaan
pada waktu kecil yang selalu dalam keadaan ketakutan dan penyalahgunaan alkohol
dan narkotika;
2. Faktor keluarga. Pengaruh-pengaruh negatif dari kehidupan keluarga seperti
perceraian, rumah tangga yang mengalami perpecahan sehingga anak-anak menjadi
terlantar. Anak-anak yang tanpa mendapatkan kasih sayang dan perawatan yang
wajar, keluarga yang selalu bertengkar, tanpa disiplin serta kondisi perumahan yang
tidak memadai, kurangnya waktu luang dan rekreasi serta kurangnya pendidikan
moral dan agama dalam keluarga juga menyebabkan kenakalan;
3. Faktor masyarakat. Pengaruh dari gangster dan street corner association (kelompok
anak jalanan) yang disebabkan oleh kurangnya rekreasi yang sehat dan community
centre atau youth centers yang mendorong anak untuk berkumpul dan berkenalan
dengan peminum, penjudi, dan prostitut. Juga pengaruh negatif dari film, majalah,
buku, dan surat kabar.

4. Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya


Penanggulangannya.

A. Pendahuluan

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya


dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan
yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan
keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya
manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada
31
pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan
adalah faktor manusianya.
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari
keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini
dibandingkan dengannegara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara
yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut
bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas
moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari
aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi sosial (penyakit
sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materiil keuangan negara yang sangat besar. Berdasarkan laporan pemberantasan
korupsi Kwik Kian Gie yang dimuat diharian Kompas 25 Oktober 2003 jumlahnya
mencapai Rp 444 triliun.
Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan
pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota
legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar
batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas
dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas?
Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas.
Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai
pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu
mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara
yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran. Korupsi merupakan suatu bentuk patologi
sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Masalah korupsi bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan
dan moral. Karena banyak pelaku tindak korupsi justru orang kaya bukan orang miskin.
Begitu juga kalau dilihat dari sisi agama, ada pelaku korupsi yang merupakan tokoh

32
agama. Oleh karena itu masalah korupsi adalah masalah yang kompleks dan pengaruhi
oleh banyak faktor. Berbagai faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap terjadinya
tindakan korupsi dapat digambarkan pada bagan analisis pohon masalah sebagai berikut
:

Dari berbagai faktor penyebab terjadinya korupsi tersebut maka yang menjadi focus
masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
anti korupsi dan malu melakukan korupsi?
Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini untuk menggugah kesadaran
masyarakat khususnya kelangan birokrasi untuk berperilaku anti korupsi sehingga
tercipta apparatur Negara yang bersih dari korupsi. Dengan demikian maka
pelaksanaan pembangunan bisa berjalan baik, pelayanan publik meningkat dan
kemiskinan berkurang. Selain itu, dengan pelaksanaan pembangunan yang meningkat
maka kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, serta martabat negara di mata dunia
internasional akan lebih baik dan pembangunan pun dapat berkelanjutan. Analisis
pohon tujuan dapat digambarkan pada bagan berikut ini.

33
B. Korupsi, Bentuk dan Prakteknya di Indonesia

Secara epistemologis, korupsi merupakan perbuatan tercela yang bertentangan


dengan tata nilai, norma, hukum dan agama. Korupsi merupakan suatu bentuk
perbuatan tercela yang merugikan negara, orang atau pihak lain. The Lexicon 1978
dalam Andi Hamzah (1984) Aparatur Bersih Negara Bersih dari Korupsi mengartikan
korupsi sebagai sesuatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap,
dan tidak bermoral,.. Dari sisi hukum, Baharudin Lopa dan Moh. Yamin mengartikan
korupsi sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan
dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Konsep yang lebih sederhana tentang korupsi dikemukakan oleh Senturia (1993) dalam
Jeremy Pope (2003) korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk
keuntungan pribadi. Kartini Kartono (2002) memberi pengertian yang hampir sama
dengan Senturia, bahwa korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara.
Gerald E. Caiden (1998) yang dikutif Jeremy Pope (2003) memaparkan secara
rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara antara lain adalah:
34
(1) berkhianat, transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan,
(2) menggelapkan barang milik lembaga, negara , swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri,
(3) menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan dokumen
dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi,
menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana,
(4) menyalagunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya
dan memeras,
(5) penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta komisi,
(6) menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah/negara, dan
surat izin pemerintah,
(7) manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman
uang,
(8) menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan,
(9) menerima hadiah, uang pelican dan hiburan dan perjalanan yang tidak pada
tempatnya, dan
(10) menyalagunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak
istimewa jabatan.
Di Indonesia jenis praktek korupsi sudah merambah hampir ke semua sektor
yang menyangkut kepentingan publik. Hasil survei yang dilakukan Transparency
Internastional Indonesia tentang jenis paraktek korupsi yang terjadi di Indonesia dapat
dilihat pada tabel
berikut.
Jenis/Praktek Korupsi di Indonesia
Jenis Korupsi Sektor dan Alokasi
Manipulasi uang negara • Pengadaan barang dan jasa konstruksi
• Pekerjaan umum
• Pengadaan dan jasa militer
• Pengadaan barang dan jasa pemerintah
Suap dan pemerasan • Polisi dan peradilan
• Pajak dan bea cukai
• Perizinan
Politik uang * Partai politik dan DPR
Kolusi bisnis • Militer dan polisi via koperasi dan yayasan
• Yayasan koperasi pegawai pemerintahan
Sumber : Transparency International Indonesia, 2003

35
Hasil survei itu menunjukkan bahwa korupsi dalam bentuk manipulasi uang
negara, sektor yang paling korup adalah sektor pengadaan barang dan jasa konstruksi ,
pekerjaan umum, perlengkapan militer dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Jenis korupsi yang berupa suap dan pemerasan yang paling korup terjadi di lembaga
penegak hukum, yaitu kepolisian dan peradilan. Sedangkan untuk jenis kolusi bisnis,
korupsi terbesar terjadi pada tubuh militer, kepolisian dan pegwai pemerintah yang
dilakukan melalui koperasi dan yayasan.
Hasil survei tersebut membuat kita semakin prihatin terhadap upaya penegakan
hukum dalam memberantas korupsi dan tidakan kejahatan lainnya, seperti narkoba,
pencurian kendaraan bermotor, pemerkosaan dan sebagainya karena kepolisian dan
peradilan sebagai aparat penegak hukum sudah menjadi sarang suap yang bisa dibeli
oleh orang-orang yang melakukan kejahatan. Kalau para penegak hukum sudah bisa
disuap atau dibeli untuk memutar balikkan fakta atau untuk menutup mata dan telinga
atas kebenaran dan keadilan maka jangan harap para koruptor dan penjahat akan takut
melakukan kejahatannya. Tetapi justru bisa membuat mereka semakin nekat. Karena
mereka bisa mengkalkulasi antara kejahatan yang dilakukan dan kemungkinan uang
suap yang harus disediakan andaikata tertangkap atau ketahuan.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan suatu bentuk patologi sosial
(penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang dilakukan secara perorangan
maupun secara kolektif. Pada era Orde Baru, korupsi masih dilakukan secara
tersembunyi. Tetapi pada era reformasi, di samping yang dilakukan secara sembunyi
muncul korupsi gaya baru dalam bentuk perampasan atau pengurasan keuangan negara
yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan legislatif dengan dalih studi banding,
THR, uang pesangon dan sebagainya di luar batas kewajaran secara lebih terbuka.
Korupsi jenis ini hampir terjadi di seluruh pelosok tanah air. Dan ini lebih
menyedihkan, karena pelakunya adalah lembaga yang menyebut diri sebagai wakil
rakyat yang mestinya merupakan lembaga yang paling konsern dan paling gigih dalam
memperjuangkan kepentingan rakyat bukan menjadi perampok atau perampas uang
rakyat, seperti yang dilakukan oleh 43 orang anggota DPRD Sumatera Barat.
Dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh lembaga
Transparency Internasional (TI) Indonesia tahun 2003 menempatkan Indonesia sebagai
Negara yang terkorup di kawasan Asia Tenggara dan urutan 6 terkorup di antara 133

36
negara di dunia. Lahirnya era reformasi merupakan tonggak yang diharapkan mampu
memberantas korupsi dan dapat melaksanakan pembangunan secara lebih baik serta
lebih berpihak kepada kepentingan rakyat. Tetapi harapan itu tidak kunjung tiba dan
bahkan praktek korupsipun semakin menjadi.

C. Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara


Korupsi yang telah merajalela tersebut mempunyai dampak yang merugikan
dan merusak
tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dampak langsung
yang paling terasa adalah kerugian negara secara material yang sangat besar seperti
terlihat pada table 3 berikut ini.
Tabel : Perkiraan kekayaan negara yang dikorup pertahun

Sumber : Lamporan pemberantasan korupsi oleh Kwik Kian Gie, kompas, 25 Oktober
2003

Mencermati komponen kekayaan negara yang dikorup di atas, masih banyak


sektor lain yang belum tercakup, seperti sektor pertambangan, perkebunan serta
kebocoran-kebocoran yang terjadi pada APBD di hampir semua daerah yang
melibatkan kalangan legislatif dan eksekutif, maka jumlah kerugian negara riil jauh
lebih besar.
Kekayaan negara yang dikorup tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan
APBN tahun 2003 yang berjumlah Rp 370 triliun. Hal ini berarti, jika tidak terjadi
korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan
melalui APBN dapat meningkat.

37
Dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dapat lebih
ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan
pembiayaan sektor yang bersfat strategis, seperti sektor pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian akan dapat mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia
pada masa depan dan diharapkan dapat berimbas pada peningkatan produktivitas secara
nasional.
Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat
immaterial,yaitu citra dan martabat bangsa kita di dunia internasional. Predikat kita
sebagai negara yang terkorup di nkawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat
mamalukan. Tetapi anehnya para pemimpin di negeri ini masih adem ayem, tebal muka
dan tidak memiliki rasa malu sehingga membiarkan praktek korupsi semakin menjadi-
jadi.
Di samping kerugian material dan immaterial, korupsi juga membawa dampak
pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan
pemborosan dalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan dan sejenisnya akan
membebani komponen biaya produksi. Pemerintah yang korup akan membebani sektor
swasta dengan urusan-urusan yang luar biasa berat. Ditunjukan oleh Jeremy Pope
(2003) bahwa di Ukraina pada tahun 1994 perusahaan-perusahaan yang disurvai
melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 28 % dari waktu kerja semata-mata
untuk berurusan dengan pemerintah dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 37 %.
Jika tidak ada langkah-langkah dan tindakan nyata pemerintah dalam memberantas
korupsi, maka upaya pemerintah untuk menarik investor asing menanamkan
investasinya di Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara
menghabiskan uang miliaran rupiah hanya akan merupakan tindakan yang merugi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Shang-Jin-Wei , guru besar pada
Kennedy School of Government, Harvard University yang dikutip oleh Jeremy Pope
(2003) menunjukkan bahwa kenaikan satu angka tingkat korupsi berkorelasi dengan
turunnya total investasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi di suatu
negara penerima investasi akan menyebabkan kenaikan tingkat pajak marginal
perusahaan asing.
Di samping dampak tersebut, S.H. Alatas (1987) mengemukakan enam
pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu: (1) timbulnya berbagai
bentuk ketidak adilan, (2) menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis

38
kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi
korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalam memberikan pelayanan publik, dan
(6) menaikkan biaya pelayanan.
Dari berbagai dampak dan pengaruh yang ditimbulkan korupsi tersebut tidak
dapat disangkal bahwa korupsi membawa dampak yang merugikan dan menghambat
pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Karena uang yang semestinya dapat
digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan raib menjadi milik pribadi dan
memperkaya segelintir orang.
Kemampuan memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan manusiawi
menjadi berkurang . Sementara puluhan juta rakyat menjerit kesusahan dan
mengharapkan uluran tangan dari pemerintah. Dengan demikian korupsi secara
langsung atau tidak langsung menghambat kemajuan bangsa dan negara serta semakin
memperparah kemiskinan.
Membiarkan korupsi merajalela berarti membiarkan kejahatan menggerogoti
dan menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan
dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak dan hal ini
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan membiarkan korupsi berarti
pula kita membiarkan negara menuju kehancuran, keterbelakangan dan pemeliharaan
kemiskinan.
Bertekat mengurangi dan memberantas korupsi berarti bertekat untuk maju.
Karena keberhasilan dalam memerangi dan memberantas korupsi akan mampu
meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan pembangunan nasional di segala
bidang. Dengan demikian berarti akan mempercepat gerak kemajuan bangsa menuju
sebuah negara yang maju, berbudaya dan bebas dari kemiskinan.

D. Uapaya Penanggulangan Korupsi

Korupsi merupakan masalah yang kompleks. Penanggulangannya pun bersifat


kompleks dan memerlukan keterpaduan. Upaya penanggulangan terhadap korupsi
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan. Kedua upaya
tersebut sama pentingnya. Upaya pencegahan mencakup semua usaha yang dapat
dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi tindak korupsi pada semua spek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan upaya penindakan

39
adalah usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan uang atau kerugian negara akibat
korupsi dan menindak/mengadili pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih terfokus pada upaya
penindakan dan itupun belum dilakukan dengan sungguh-sungguh. Upaya
pemberantasan korupsi melalui pembentukan badan atau komisi yang secara khusus
bertugas menyelidiki dugaan-dugaan korupsi telah banyak dilakukan. Sejarah mencatat
hal ini telah dipraktekkan sejak awal Orde Baru. Untuk meredam kritik terhadap
maraknya korupsi di jajaran birokrasi. Presiden Soeharto membentuk sebuah badan
dengan nama Pengatur Keuangan Negara (Pakuneg) pada tahun 1966. Setahun
kemudian dibentuk Tim Pemberantas Korupsi dan pada tahun 1970 dibentuk lagi apa
yang disebut dengan Komisi Empat. Persoalannya, selama bertugas badan-badan
tersebut tidak memberikan hasil cemerlang (Prabowo, 2003).
Setelah Soeharto lengser, pemerintahan baru kembali menunjukkan komitmen
untuk memberantas korupsi. Secara eksplisit komitmen tersebut ditunjukkan lewat
pemberian mandate kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme/KKN ( Tap MPR No.
XI/MPR/1998, UU No. 28/1999, dan UU No. 31/1999 tentang pemberantasan korupsi.
Kepada presiden diberikan mandat untuk membentuk komisi pemeriksa yang berfungsi
mencegah praktik KKN. Komisi ini mempunyai tugas dan wewenang melakukan
pemantauan dan klarifikasi terhadap harta kekayaan penyelenggara negara, meneliti
laporan dan pengaduan masyarakat, LSM maupun instansi pemerintah.
Pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diterbitkan
Keppres No. 127/1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN). Pada tahun 2002 kembali diterbitkan UU No.
30/2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan
pembentukan sederetan badan atau komisi tersebut belum menunjukkan tanda-tanda
keberhasilan dalam memberantas korupsi di tanah air ini. Bahkan akhir-akhir ini tidak
korupsi justru semakin menjadi-jadi. Mengapa demikian ? Karena badan atau komisi
tersebut belum bekerja sungguh-sungguh dan upaya yang dilakukan cenderung hanya
penindakan belum banyak melakukan upaya pencegahan melalui penyadaran kepada
masyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti korupsi dan malu
melakukan korupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas sangat kurang.

40
Jeremy Pope (2003) menawarkan enam bidang pokok perubahan yang dapat
mendukung pelaksanaan strategi anti korupsi yang menyeluruh, yaitu: kepemimpinan,
program publik, perbaikan organisasi pemerintah, penegakan hukum, kesadaran
masyarakat dan pembentukan lembaga pencegah korupsi. Apa yang dikemukakan oleh
Jeremy Pope tersebut masih masih terlalu luas dan sulit dilaksanakan. Untuk kasus
pemberantasan korupsi di Indonesia menurut hemat penulis harus dilakukan terutama
melalui dua cara, yaitu upaya pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan atau
preventif harus dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan. Upaya yang
bersifat preventif yang paling utama adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terutama para penyelenggara negara (birokrasi) melalui pendidikan
(penataran, penyuluhan, seminar, lokakarya dsb,) agar dapat berperilaku anti korupsi
dan malu melakukan korupsi dan kedua adalah melakukan pengawasan yang lebih
tersistematis dengan menerapkan teknologi canggih seperti yang diterapkan di negara-
negara maju. Sedangkan upaya penindakan dilakukan melalui penegakan hukum yakni
dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya.
Upaya pemberantasan korupsi skala nasional dalam jangka panjang
membutuhkan dukungan dari masyarakat secara luas. Tanpa dukungan masyarakat
niscaya upaya untuk memberantas korupsi di bumi tercinta ini akan mengalami
kegagalan Jeremy Pope (2003) mengemukakan bahwa upaya pemberantasan korupsi
memerlukan dukungan masyarakat secara luas dan tanpa dukungan masyarakat secara
luas niscaya akan mengalami kegagalan.
Komponen masyarakat yang memegang peranan penting dalam upaya
pemberantasan korupsi tersebut terutama adalah kalangan birokrasi sebagai aparatur
negara. Kemudian organisasi kepemudaan dan keagamaan agar dapat memberikan
contoh dan tekanan-tekanan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Upaya peningkatan kesadaran aparatur negara, kalangan pemuda dan tokoh
agama terhadap perubahan perilaku anti korupsi dapat dilakukan melalui berbagai cara
atau forum, seperti penataran, seminar, lokakarya dan sebagainya. Melalui forum
tersebut dapat disampaikan pesan-pesan pembangunan yang diharapkan dapat merubah
perilaku ke arah anti korupsi dan malu melakukan korupsi.
Berikut ini disajikan identifikasi pesan-pesan pembangunan yang dapat
disampaikan melalui pelaksanaan penataran untuk meningkatkan kesadaran aparatur
negara (birokrasi), kalangan organisasi pemuda dan organisasi keagamaan untuk

41
berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi dengan meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep, bentuk, dampak serta hukuman bagi
pelaku korupsi, baik dilihat dari sisi moral, norma, hukum agama maupun hukum
negara.
Tabel : Identifikasi pesan pembangunan untuk meningkatkan kesadaran anti
korupsi

Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya kalangan birokrasi


untuk berprilaku anti korupsi tersebut hendaknya dilakukan secara terprogram di
seluruh departemen maupun lembaga-lemabaga negara non departemen. Sehingga
seluruh pegawai atau staf yang ada secara bertahap harus ikut dalam program
pembinaan. Selain itu, materi pembinaan untuk berprilaku anti korupsi tersebut juga
harus dimasukkan dalam program pendidikan prajabatan bagi calon-calon pegawai baru
yang akan diterima.

42
Di samping upaya pencegahan yang dilakukan secara terprogram pada masing-
masing departemen atau lemaga tersebut maka upaya pengawasan dan penindakan juga
pelu dilakukan secara sungguh-sungguh dan professional. Mekanisme, pelaksanaan dan
hasil pengawasan/ pemeriksaan terhadap penggunaan keuangan negara harus dilakukan
secara transparan.
Pengawasan dan pemiksaan hendaknya tidak hanya dilakukan oleh lembaga
negara, tetapi juga mengikutsertakan lembaga independen (LSM/NGO). Selama ini
pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan hanya dilakukan oleh pemerintah
melalui lembaga pemeriksaan keuangan dan pembangunan (BPK). Ketua BPK
diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Akibatnya pemeriksaan terhadap
keuangan negara terutama terhadap lembaga-lembaga negara termasuk lembaga
kepresidenan tidak optimal dan cenderung hanya bersifat formalitas.
Kondisi tersebut diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum, sehingga
korupsi semakin menjadi-jadi termasuk juga tindak kejahatan lainnya, seperti narkoba.
Kelemahan dalam penanganan kasus korupsi selama ini disamping masih lemahnya
kualitas aparat penegak hukum (personil : kepolisian, kejaksaan dan hakim) juga masih
kuatnya intervensi pemerintah dalam proses peradilan terutama dalam kasus-kasus
yang melibatkan pejabat negara. Selain itu dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi
selama ini masih kurang mengedepankan penyelamatan keuangan negara. Denda yang
diberikan kepada koruptor sangat kecil jika dibandingkan dengan uang yang
dikorupsinya. Sehingga jika dikalkulasi secara ekonomis terlepas dari masalah moral
maka para koruptor masih diuntungkan. Misalnya seorang korupsi sepuluhan milyar
rupiah, hanya didenda oleh pengadilan ratusan juta rupiah ( kurang dari Rp 1 milyar)
dan dihukum 2 tahun penjara. Secara matematis berarti yang bersangkutan masih
mempunyai pendapatan Rp 9 milyar. Kondisi ini jelas tidak akan membuat jerah para
koruptor. Untuk itu dalam penanganan kasus korupsi hendaknya seluruh uang yang
terbukti dikorupsi harus dikembalikan secara utuh, kemudian diberikan hukuman denda
dan hukuman kurungan (penjara). Dengan demikian diharapkan akan membuat takut
setiap orang untuk melakukan korupsi.
Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang bertentangan dengan
etika moral, hukum dan agama. Korupsi dapat membawa dampak negatif yang cukup
luas dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dampak yang dapat ditimbulkan
dari korupsi tersebut antara lain adalah:

43
(1) merugikan keuangan negara,
(2) menciptakan ekonomi biaya tinggi,
(3) merendahkan martabat manusia, bangsa dan negara,
(4) menghambat pelaksanaan pembangunan,
(5)menimbulkan kemiskinan,
(6) merusak tatanan sosial, dan
(7) melemahkan birokrasi pemerintah.
Upaya penanggulangan atau pemberantasan terhadap korupsi dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan adalah
mencakup keseluruhan usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi, baik
dilakukan melalui pendidikan maupun pengawasan. Sedangkan upaya penindakan
adalah usaha yang dilakukan untuk menindak pelaku korupsi sesuai ketentuan hukum
yang berlaku serta menyelamatkan keuangan negara. Dalam menindak para pelaku
korupsi, yang harus diutamakan adalah agar seluruh uang yang dikorupsi harus
dikembalikan serta ditambah dengan hukuman denda serta hukuman kurungan atau
penjarah yang seberat-beratnya.
Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih cenderung
kearah penindakan dan masih kurang pada upaya pencegahan melalui upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti
korupsi dan malu melakukan korupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas
sangat kurang. Untuk itu, maka upaya pemberantasan korupsi hendaknya lebih banyak
diarahkan pada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya kalangan
pegawai negeri sipil, organisasi kepemudaan dan keagamaan untuk berperilaku anti
korupsi dan malu melakukan korupsi. Sehingga dapat tercipta masyarakat (aparatur
negara) yang bebas korupsi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui penataran atau
penyuluhan, seminar, loka karya dan sebagainya. Untuk itu maka dukungan pemerintah
dan semua pihak sangat diperlukan.

5. Penanganan Konflik Sosial

Pengalaman umum, yang diperkuat oleh kesaksian sejarah menunjukkan bahwa


relasi sosial yang ditandai dengan kompetisi yang tidak terkendali dapat berkembang
menjadi penentangan; dan jika penentangan ini menegang tajam akan memunculkan

44
konflik. Kata konflik, berasal dari bahasa Latin confligere, yang berarti saling
memukul. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat difahami sebagai suatu “proses
sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Wujud konflik yang
paling jelas adalah perang bersenjata, dimana dua atau lebih bangsa atau suku bangsa
saling tempur dengan maksud menghancurkan atau membuat pihak lawan tidak
berdaya.
Pihak-pihak yang terlibat konflik, dikuasai oleh suatu keinginan untuk
mencapai suatu hasil yang dipersengketakan. Fokus perhatian masing-masing pihak
terarah pada dua hal, pertama adanya lawan yang menghalangi, dan ke dua adanya nilai
lain yang hendak dicapai. Sejarah memberikan kesaksian kepada kita, bahwa
peperangan yang terjadi di masa lalu ditemukan adanya nilai sebagai motif
perjuangannya; misalnya nilai demokrasi untuk neraih kebebasan dan persamaan hak,
perbaikan nasih kaum buruh, ekspansi wilayah/daerah; nilai keagamaan (perang Salib);
nilai kemerdekaan & kedaulatan bangsa.

Teori Konflik
Conflict theories: Explanations about the nature, progress, and consequences of
sosial conflict. The most prominent theories have been developed by Karl Marx, Georg
Simmel, Lewis Coser, and others. Marx hypothesized that conflict would eventually
lead to an overthrow of the power group, leading to a classless, conflict-free society.
Simmel and Coser sugest that conflict is not inherently bad and serves such important
functions as solidifying the in-group, increasing group cohesiveness, and mobilizing
the energies of group members. (Barker, 1987, p. 31)
Beberapa ahli berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi yang positif, bahkan
para penganut Marxisme membela pendiriannya yang cukup ekstrim, yaitu bahwa
konflik merupakan satu-satunya syarat mutlak dan eksklusif untuk mencapai kemajuan
masyarakat. Pendirian ini didukung oleh filsafat Karl Marx, yaitu filsafat materialisme
dialektik dan materialisme historis. Namun, hal ini tidak dapat diterima oleh sarjana-
sarjana non-Marxis; yang menyatakan bahwa konflik mempunyai fungsi positif (di
samping fungsi negatif), namun bukan dalam arti yang absolut.
Konflik sosial yang menjadi obyek ilmu-ilmu sosial adalah konflik sosial
sebagai suatu fakta sosial, artinya sungguh terjadi dan dapat diobservasi. Dalam konflik

45
sosial ini melibatkan dua pihak, dan masing-masing pihak berusaha membuat pihak
lain tidak berdaya. Teori Konflik dibangun atas dasar “paradigma fakta sosial”, tidak
berbeda dengan teori fungsional struktural. Namun demikian, pola pikir teori konflik
bertentangan dengan teori fungsional struktural.
Tokoh teori konflik yang hasil pemikirannya secara ekstrim berseberangan
dengan teori fungsional struktural adalah Ralp Dahrendorf, diantaranya (Ritzer,1980 :
52):
(1) Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau
lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori
konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan
yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.
(2) Dalam teori fungsional struktural setiap elemen dianggap memberikan dukungan
terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
(3) Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh
norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai
keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya
tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Selain para pengikut teori konflik yang pemikirannya cukup kontras terhadap teori
fungsional struktural, ada juga ahli teori konflik yang lebih bersifat moderat dalam
hubungannya dengan teori fungsional struktural tersebut, diantaranya adalah Lewis A
Coser.
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif.
Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok,
sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan
sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila
menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu kelompok dengan kelompok
lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan membantu pemantapan batas-
batas struktural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok. Ahli lain adalah Piere
Van den Berghe (Ritzer, 1980: 63). Berghe mencoba mempertemukan kedua perspektif
tersebut. Dia menunjukkan beberapa persamaan analisis antara kedua pendekatan itu,
yaitu sama-sama bersifat holistik karena sama-sama melihat masyarakat sebagai terdiri
atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain, serta perhatian pokok

46
ditujukan kepada antar hubungan bagian-bagian itu. Teori fungsional struktural maupun
teori konflik, keduanya cenderung sama-sama memusatkan perhatian terhadap variabel-
variabel mereka sendiri dan mengabaikan variabel yang menjadi perhatian teori lain.
Sebagai upaya untuk mempertemukan kedua teori tersebut, Berghe beranggapan bahwa
konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi dapat
pula melahirkan konflik.

Konflik Nilai
Pandangan konflik nilai muncul setelah Perang Dunia II. Pandangan ini
memberikan kritik terhadap pandangan patologi sosial dan perilaku menyimpang.
Menurut pandangan konflik nilai, konsep sickness atau pun sosial expectation
merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan acuan dalam
memahami masalah sosial. Dengan demikian, maka dapat difahami bahwa
penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan
tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat adalah dinamik, serta terus berkembang semakin kompleks,
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu penyimpangan peraturan, karena
si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda, bahkan saling
bertentangan. Pola pikir ini menjelaskan, bahwa masalah sosial terjadi apabila dua
kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkompetisi
(Julian, 1986, 13). Untuk menjelaskan pengertian tersebut dapat diambil contoh kasus
pemilik rumah dengan penyewa rumah. Pemilik rumah menghendaki sewa rumah
dinaikkan, sementara itu penyewa rumah mengharapkan sewa rumah yang rendah.
Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh
karena nilai dan kepentingan berbeda.
Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul polarisasi. Masalah
sosial mungkin tidak akan terjadi jika yang kuat bersedia berkorban untuk yang lemah
(kompromi). Masalah sosial justru akan timbul ketika yang kuat menggunakan
kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik
tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan
power. Dalam hal hubungan pemilik rumah dan penyewa rumah yang dijadikan sebagai
contoh kasus, maka alternatif konsensus terjadi apabila pemilik rumah dan penyewa
rumah sepakat bahwa kenaikan sewa rumah dalam jumlah yang tidak terlalu besar

47
masih dapat dipahami bersama. Trading, apabila pemilik rumah bersedia menekan
kenaikan sewa rumah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila pemilik rumah
mengusir penyewa rumah yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa.
Dalam format yang berbeda, situasi konflik sebagaimana digambarkan dalam
kasus antara pemilik rumah dan penyewa rumah tersebut, juga dapat terjadi dalam
bentuk kehidupan sosial yang lain. Konflik antar generasi misalnya, dapat terjadi
karena perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda. Di satu
pihak, generasi tua masih berpegang pada nilai-nilai lama sehingga memandang apa
yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penyimpangan nilai. Dilain pihak, generasi
muda dengan menggunakan orientasi nilai yang baru, memandang generasi tua
bersikap kolot. Situasi semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang
berada pada proses transformasi dan proses perubahan sosial yang pesat. Pada
umumnya generasi tua karena proses sosialisasinya telah lebih lama, mengakibatkan
nilai-nilai lama telah terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupannya. Di lain pihak,
generasi muda karena usianya, belum cukup mapan dalam mengadopsi nilai lama serta
berkenaan dengan perkembangan kejiwaannya yang masih labil, menyebabkan lebih
mudah menerima anasir baru termasuk nilai-nilai baru.
Masalah sosial yang berasal dari konflik nilai juga dapat dijumpai dalam
masyarakat yang kompleks yang mengenal adanya isu minoritas dan mayoritas.
Minoritas adalah sekelompok orang yang tidak menerima perlakuan yang sama
dibandingkan dengan kelompok orang yang lain dalam masyarakat yang sama (Julian,
1986: 233). Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal tiga
terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas rasial terdiri
dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan
biologis seperti warna kulit. Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang
mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian
besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini
adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah dan sebagainya. Apabila
anggota dari kelompok minoritas baik dari latar belakang ras maupun etnik,
menggunakan atau mengadopsi karakteristik dari budaya yang merupakan arus utama
dalam lingkungan masyarakat yang luas, melalui adaptasi pola kultural mereka yang
"unik" kedalam pola kultur kelompok mayoritas, atau melalui perkawinan silang, maka
terjadilah proses asimilasi.

48
Sudah barang tentu diantara ketiga fenomena tersebut yang potensial
menumbuhkan konflik adalah minoritas rasial dan minoritas etnik, sedang asimilasi
cenderung fungsional terhadap struktur karena mendorong integrasi.

Akibat Konflik Sosial


Terlepas dari teori konflik yang menganggap konflik memiliki nilai positif,
sejarah jaman maupun kenyataan hingga kini membuktikan bahwa konflik sosial secara
langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan
yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa,
golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain.
Kesemuanya itu secara langsung mengakibatkan korban jiwa, materiil, dan juga
spiritual, serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Misalnya Perang
Amerika dan Irak,
Konflik Etnis (=Kerusuhan Sosial) di Kalimantan Barat. Akibat lanjutannya
adalah terhentinya kerjasama antara kedua belah pihak yang terlibat konflik, terjadi rasa
permusuhan, terjadi hambatan, bahkan kemandegan perkembangan kemajuan
masyarakat; dan akhirnya dapat memunculkan kondisi dan situasi disintegrasi sosial
maupun disintegrasi nasional yang menghambat pembangunan.

Penyelesaian Konflik
Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan
(dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada
terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas.
Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai
negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan,
pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan
proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan
hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan
konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi,
mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang
mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu,
kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil.

49
a. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara
untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan
bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang berkepentingan dapat
meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara
menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang
dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan
sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan
majikan. Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil
dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini
Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak
ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat
buruh dan pihak majikan sendiri.
b. Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan
pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi
seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak
mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya
hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus
mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.
c. Arbitrasi
Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan
konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak
yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu
pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang
lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal
persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau
instansi internasional lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu
perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan
pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu
instansi swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam

50
perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah
wasit.
d. Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan
fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan
fisik. Pihak yang biasa
menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang,
bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-
syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya,
dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan
menerima syarat-syarat damai.
e. Detente
Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang
diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak
yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan
dalam rangka pembicaraan tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini
belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang.
Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-
masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa "istirahat" itu. tidak
tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak
melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.

6. Memecahkan Masalah Pengangguran Di Indonesia

Kwik Kian Gie1, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Ketua Bappenas) mengemukakan bahwa
tantangan utama yang dihadapi oleh Pemerintah adalah terus membesarnya jumlah
pengangguran. Data tahun 2002 menunjukkan jumlah pengangguran terbuka mencapai
9,13 juta orang atau 9,06 persen dari keseluruhan angkatan kerja. Jumlah ini dua kali
lipat lebih dari jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,3 juta jiwa atau 4,86 persen
tahun 1996, atau setahun sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Data itu, menurut
Kwik, belum termasuk setengah penganggur yakni orang yang bekerja kurang dari 35

51
jam per minggu yang jumlahnya mencapai 28, 9 juta orang pada tahun 2002. Data
pengangguran yang mengacu pada Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) ini sangat boleh jadi masih lebih rendah daripada kenyataan riil yang ada di
lapangan. Bisa saja dalam kenyataannya angka pengangguran di Indonesia masih lebih
tinggi dari data dan angka resmi itu.
Keraguan terhadap data BPS itu dikemukakan oleh Faisal Basri2, ahli ekonomi
dari Universitas Indonesia dengan mengacu pada ‘rumus’ standar yang sudah lama
dijadikan acuan untuk menghitung jumlah pengangguran terbuka (open
unemployment), yakni setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan menghasilkan
penyerapan tenaga kerja 400.00 orang. Hal itu berarti, jika tahun 1997 jumlah
penganggur sebesar 4,2 juta orang, dengan pertumbuhan ekonomi kumulatif tahun
1998-2003 yang hanya 2,4 %, berarti daya serapnya hanya 960.000 pekerja baru.
Sementara itu, tambahan pekerja baru setiap tahunnya mencapai 2,5 juta orang,
sehingga selama periode 1998-2003, jumlah penganggur adalah 15 juta orang.
Sehingga menurut Basri, jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2003 adalah 18,2
juta orang( 4,2 juta ditambah 15 juta dikurangi 960.000). Ada suatu pertanyaan yang
menarik dari ahli ekonomi UI ini yang sekaligus dijawabnya sendiri, yakni mengapa
kita peduli terhadap angka-angka tersebut?
Pertama, angka yang kurang akurat tidak akan menghasilkan perumusan
kebijakan yang tajam dan langkah-langkah penanganan yang saksama. Kedua, masalah
pengangguran berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik yang pada
gilirannya akan memukul balik kestabilan makro-ekonomi3 yang telah dicapai dengan
susah payah.
Apa yang dikhawatirkan oleh Faisal Basri terutama jawabannya yang kedua
dimana masalah pengangguran berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik,
merupakan kekhwatiran kita bersama. Dampak negatip dari masalah pengangguran
seperti beragamnya tindakan kriminal, anak jalanan, pengemis, prostitusi, perdagangan
anak, aborsi, pengamen dan sebagainya sudah menjadi patologi sosial atau kuman
penyakit sosial yang menyebar bagaikan virus kanker yang sulit diberantas.
Penyakit sosial ini sangat berbahaya dan menghasilkan korban-korban sosial
yang tidak ternilai. Menurunnya kualitas sumber daya manusia, tidak dihargainya
martabat dan harga diri manusia yang merupakan korban sosial dari penyakit sosial ini
sudah sangat merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan yang beradab. Karena itu

52
persoalah pengangguran ini harus secepatnya dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya
yang terbaik. Tentunya menghilangkan pengangguran dalam situasi kehidupan
ekonomi Bangsa yang sedang morat-marit ini adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Tetapi upaya mengurangi pengangguran bukanlah hal yang mustahil. Cara yang
realistis dalam jangka pendek mengurangi pengangguran adalah memberdayakan sektor
informal, padat karya dll disamping strategi jangka panjang seperti pemerataan wilayah
pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan desentralisasi.

A. Gambaran Pengangguran di Indonesia (analisis pohon masalah)

Sebelum kita menganalisis masalah pengangguran di Indonesia dengan


menggunakan analisis pohon masalah terlebih dahulu dikemukakan gambaran Analisis
Ekonomi Faisal Basri, Kompas, 21 Juli 2003, halaman 1 dan 11. Kestabilan makro
ekonomi terwujud dalam beberapa indikator seperti adanya stabilitas moneter,
menurunnya inflasi dan menurunnya bunga Bank. Tentu masih ada indikator lain
seperti daya saing, hidunya sektor riil, arus ekspor impor yang normal dan lancar dan
sebagainya. pengangguran di Indonesia. Bappenas memperkirakan pada tahun 2004
jumlah angkatan kerja akan mencapai 102, 88 juta orang termasuk angkatan kerja baru
2,10 juta orang. Tambahan lapangan kerja yang tercipta hanya 10,83 juta orang.
Penciptaan lapangan kerja yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan
angkatan kerja baru itu menyebabkan angka pengangguran terbuka tahun 2004
meningkat menjadi 10,83 juta orang (10,32 % dari angkatan kerja), dari tahun
sebelumnya 10,13 juta orang(9,85 % dari angkatan kerja). Peningkatan pengangguran
terbuka ini akan terus berlanjut tahun 2005 dimana angka pengangguran terbuka
diproyeksikan menjadi 11,19 juta orang atau 10,45 % dari angkatan kerja. Proyeksi ini
dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2004 dan 2005
masingmasing 4,49 % dan 5,03%. Menurut Kwik Kian Gie, pertumbuhan ekonomi
yang diperkirakan 4,49% (tahun 2004) dan 5,03% (tahun 2005) samasekali tidak
menjamin terbukanya lapangan kerja. Tantangan utama pemerintah sekaligus bangsa
Indoensia adalah terus menerusnya jumlah pengangguran seperti terlihat pada tabel
berikut:

53
Tabel. Struktur Angkatan Kerja, pekerja dan pengangguran terbuka menurut
pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2002

Sumber : Sakernas BPS, 2002

Data tahun 2002 yang terlihat dari tabel di atas menunjukkan jumlah
pengangguran terbuka mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari keseluruhan angkatan
kerja. Jumlah ini dua kali lipat lebih dari jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,3 juta
jiwa atau 4,86 persen tahun 1996 setahun sebelum krisis moneter melanda Indonesia.
Data di atas belum termasuk setengah penganggur, yakni orang yang bekerja kurang
dari 35 jam per minggu yang jumlahnya 28,9 juta orang pada tahun 2002. Krisis
ekonomi ditambah dengan krisis moral para penyelenggara Negara dengan maraknya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menghambat pertumbuhan ekonomi yang justru akan
memungkinkan terciptanya lapangan kerja. Supaya bisa menambah lapangan kerja,
pertumbuhan ekonomi harus bisa mencapai enam atau tujuh persen yang bisa diperoleh
dari investasi baru terutama dari investor asing. Untuk mencapai sangka enam atau
tujuh persen sangat sulit karena kebanyakan investor asing tidak mau menanamkan
modalnya di Indonesia karena biaya ekonominya sangat tinggi akibat masih kuatnya
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kompas, 10 September 2003. Menteri Negara
/Ketua Badan Perencanaan Nasional mengemukakan pada Seminar “Pasar Kerja yang
Ramah Pasar”, Kompas 10 September 2003.
Data Tabel di atas juga menunjukkan struktur angkatan kerja, pekerja dan
pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan masih didominasi oleh tamatan
sekolah Dasar(SD) ke bawah. Untuk angkatan kerja tahun 2002 yang berpendidikan SD
ke bawah mencapai 59,05 juta orang atau sekitar 58,6 % dari angkatan kerja, diikuti
SMTP 17,49 juta orang, SMU 12,21 juta orang dan seterusnya (lihat tabel). Strukur
angkatan kerja, pekerja dan pengangguran terbuka yang didominasi oleh manusia
Indonesia yang berpendidikan rendah ini sangat rentan terhadap konflik sosial.
54
Keterbatasan mereka di dalam pendidikan sangat mudah dijadikan alat komoditas
politik untuk melakukan berbagai konflik sosial6 di tengah masyarakat
Pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan dan kemelaratan.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan
menjerumuskan sebagaian besar manusia Indonesia ke jurang kemelaratan. Tidak
tercapainya pemenuhan kebutuhan ekonomi ini akan menciptakan masalah-masalah
sosial yang lain seperti tindakan kejahatan( perampokan, pencurian, penodongan dll),
prostitusi, jual beli anak, anak jalanan, anak putus sekolah dan sebagainya.
Berbagai masalah sosial ini akan menjadi patologi sosial (penyakit masyarakat)
yang merusak sendi-sendi kehidupan sosial, moralitas dan pada akhirnya menciptakan
dehumanisasi dan penghinaan terhadap martabat manusia (human dignity).
Setelah kita melihat sepintas gambaran pengangguran di Indonesia dengan
sajian data yang riil, kita akan menganalisisnya dengan menggunakan pohon masalah
(problem tree analysis) seperti yang tergambar berikut ini.
Analisis Pohon Masalah (Problem Tree Analysis)

55
Note : Indirect causes masih bisa ditelusuri lebih lanjut sampai ke struktur yang
lebih makro baik yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik. Semua
variabel dalam analisis pohon masalah bersifat negatip

Berbagai konflik sosial dan konflik horisontal di Indonesia selama ini biasanya
memobilisasi para penganggur dan pelaku kejahatan yang minim pendidikan. Mereka
mudah dihasut, dipengaruhi dan dijadikan alat politik apalagi dengan mengeksploitasi
agama atau etnik, atau kesenjangan sosial dan ekonomi. .
Dari analisis pohon masalah di atas memperlihatkan bahwa core problem(inti
persoalan) yang menjadi isu utama Bangsa Indonesia adalah pengangguran. Ada
beberapa sebab langsung (direct causes) terjadinya pengangguran besar-besaran di
Indonesia yakni : 1) terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, 2) Kelangkaan Lapangan
Kerja, 3) Pemulangan TKI ke Indonesia, 4) Rasionalisasi karyawan dll. Sebab langsung
ini pada saat yang sama menjadi akibat dari sebab-sebab yang lain. PHK disebabkan
oleh perusahaan bangkrut. Perusahaan bangkrut disebabkan oleh karena kredit
macet/tidak mampu mengangsur pinjaman Bank. Kredit macet disebabkan oleh krisis
ekonomi yang melanda bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis ekonomi disebabkan oleh
krisis moneter(melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS). Krisis moneter disebabkan
oleh rusaknya ekonomi Indonesia.
Kerusakan ekonomi ini disebabkan oleh adanya mental korup, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang menggurita dan sistematik pada semua lembaga negara dan
swasta. Budaya KKN ini disebabkan oleh pemerintahan yang kotor(tidak bersih).
Masih bisa dicari lagi sebab-sebabnya misalnya dekadensi (kemerosotan moral), tidak
dihayatinya nilai-nilai agama, lemahnya penegakan hukum dll. Hal yang sama pada
fenomena kelangkaan lapangan kerja sebagai penyebab langsung(direct cause)
pengangguran. Kelangkaan lapangan kerja disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi
yang rendah. Secara teoritik(perhitungan standar dalam ekonomi), setiap pertumbuhan
ekonomi 1% akan menghasilkan penyerapan tenaga kerja baru 400.000 orang.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah disebabkan oleh lumpuhnya aktivitas ekonomi
(bubarnya pabrik-pabrik/perusahaan, lumpuhnya kegiatan eksporimpor, melemahnya
daya saing, kehilangan devisa, larinya investor dll).
Lumpuhnya aktivitas ekonomi disebabkan oleh terjadinya krisis moneter, dan
krisis moneter disebabkan oleh krisis ekonomi (ditambah lagi dengan krisis politik,

56
moral, sosial ). Krisis ekonomi disebabkan oleh mengguritanya KKN. Mengapa ada
KKN? Karena pemerintahan yang kotor, tidak adanya penegakan hukum, melemahnya
nilai-nilai moral dan agama dsb. Fenomena pemulangan TKI sebagai penyebab
langsung dari pengangguran juga mengikuti logika sebab-akibat yang ada pada pohon
masalah di atas. Ribuan TKI dari Malaysia yang beberapa waktu lalu dipulangkan ke
Indonesia menambah jumlah pengangguran yang ada(direct cause/sebab langsung).
Ada beberapa sebab yang tak langsung misalnya karena mereka masuk secara illegal
dan tidak terdaftar di Kedutaan atau Konsulat RI di negara-negara tujuan TKI, atau
keberadaan mereka dirasakan sebagai beban dan ancaman bagi tenaga kerja dalam
negeri dll. Pertanyaan lanjut mengapa mereka masuk secara ilegal? Ada banyak
jawaban misalnya karena persyaratan menjadi TKI sangat ketat, sulit memasuki negara
tujuan karena itu mereka mengambil jalan pintas. Sebab-sebab ini bisa ditelusuri lagi.
Mengapa mengambil jalan pintas? Sebabnya bisa karena terdesak oleh kondisi atau
mental bangsa kita yang suka merentas dan cari gampang dan sebagainya.
Setelah melihat core problem atau inti masalah dan mencari sebab-sebabnya
baik yang langsung maupun tidak langsung, kita mengkaji berbagai efek atau dampak
dari pengangguran sebagai masalah utama itu yakni timbulnya berbagai persoalan
sosial seperti prostitusi, pengemis, anak jalanan, anak/bayi terlantar, gelandangan,
kejahatan-kejahatan sosial/berbagai tindakan kriminal dan sebaginya. Data riil di bawah
ini menunjukkan bagaimana side effect pengangguran dalam kehidupan bangsa
Indonesia.

Tabel Rekapitulasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Indonesia


Tahun 2000 dan 2002

57
Sumber : Departemen Sosial RI . Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial. Pusat Data
dan Informasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta, 2002.

B. Upaya Memecahkan Masalah Pengangguran

Analisis Pohon Tujuan (objective tree analysis) sebagai keadaan yang


diinginkan (new/expected status) Setiap orang merindukan pekerjaan karena pekerjaan
adalah nafkah atau sumber hidup. Manusia pada hakekatnya tidak sekedar ingin
memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan atau papan (kebutuhan fisiologis),
tetapi juga kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti kebutuhan sosial dan psikologis.
Bekerja(memiliki pekerjaan) tidak sekedar sebagai sumber nafkah tetapi secara
psikologis merupakan lambang status seseorang dalam sebuah masyarakat. Dengan
memiliki pekerjaan seseorang merasa memiliki harga diri baik di depan istri dan anak-
anak atau keluarga besar maupun di masyarakat. Kalau setiap orang memiliki pekerjaan
maka masyarakat akan menjadi kuat baik secara ekonomi maupun sosial .
Jika masyarakat menjadi makmur maka ekonomi dan kehidupannya
terberdayakan dan pada gilirannya akan menopang negara sehingga menjadi kuat.baik
secara sosial, ekonomi maupun politik seperti yang tergambar pada analisis pohon
tujuan (objective tree analysis) berikut ini : Abraham Maslow menyebut 5 kebutuhan
manusia dalam 5 tingkatan hierarkis yaitu 1) kebutuhan akan makan, minum dan
pakaian, 2)kebutuhan akan keselamatan,keamanan, 3) kebutuhan akan rasa memiliki
atau sosial, 4) kebutuhan akan penhargaan dan 5) kebutuhan akan aktualisasi diri.
Alderfer memformulsikannya menjadi tiga dan disebutnya ERG 1) kebutuhan akan

58
Eksistensi,2)kebutuhan akan Relatedness (hubungan) dan 3) kebutuhan akan Growth
(pertumbuhan) meliputi penghargaan, aktualisasi diri

Seperti terlihat pada pohon tujuan di atas, ada sejumlah elemen yang menjadi
faktor penentu ada tidaknya pekerjaan baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung seperti 1) tersedianya lapangan kerja, 2) dibutuhkannya Tenaga Kerja
Indonesia(TKI) di luar negeri, 3) adanya ekspansi usaha, 4) adanya jaminan bahwa
tidak ada pemutusan hubungan kerja dan sebagainya. Keempat elemn itu dikaji satu per
satu sebagai berikut :
1) Ada atau tersedianya lapangan kerja disebabkan oleh adanya pertumbuhan
ekonomi karena setiap pertumbuhan ekonomi satu persen(1%) akan memicu
terserapnya 400.000 orang tenaga kerja. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi maka
harus ada kegiatan atau aktivitas ekonomi seperti adanya investasi baik yang berasal
dari dalam negeri maupun asing, lancarnya distribusi barang dan jasa, majunya

59
perdagangan luar negeri baik ekspor maupun import dll. Segala aktivitas ekonomi itu
bisa berjalan manakala kondisi perekonomian dan politik
Bangsa kita berada dalam keadaan yang normal. Secara politik harus aman
karena ketidakamanan adalah suatu hal yang sensitif bagi investor terutama investor
asing. Supaya roda perekonomian tetap berjalan, keseluruhan kondisi perekonomian
bangsa baik makro maupun mikro harus terjamin. Dengan kata lain, membaiknya
keadaan ekonomi baik Nasional, Regional maupun Internasional akan memberikan
dukungan terhadap lancarnya kegiatan usaha. Perekonomian yang baik itu ditentukan
oleh berbagai indikator seperti adanya stabilitas moneter, terkendalinya inflasi,
rendahnya bunga bank dll. Semua itu tercipta apabila negara ini bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme yang menjadi biang kerok hilangnya ribuan triliun uang negara.
Dan pemerintahan yang bersih(clean government), adanya law inforcement(penegakan
hukum) adalah penentu utama dari keseluruhan kondisi itu.
2) Dibutuhkannya Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri adalah kesempatan
emas terciptanya peluang untuk bekerja. Apakah negara tujuan begitu saja
membutuhkan tenaka kerja kita? Tentu tidak. Adanya permintaan yang tinggi terhadap
TKI kita tentu terkait dengan profesionalisme, ketrampilan, sikap dan mental dan
sebagainya. Semua elemen itulah yang kita harapkan dimiliki oleh TKI kita sehingga
mereka mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
3) Ekspansi usaha. Ekspansi usaha tidak dilakukan begitu saja. Salah satu
penyebabnya adalah adanya efisiensi dan efektivitas usaha yang tinggi. Tatkala
pengusaha melihat peluang yang positip secara ekonomis dari pembukaan usahausaha
baru, maka mereka melebarkan sayapnya dengan memperluas usaha-usaha ekonomis
produktifnya. Perluasan dan pembukaan usaha ini tentu akan membutuhkan diserapnya
tenaga kerja baru, maka lahirlah kesempatan untuk bekerja/adanya pekerjaan bagi para
penganggur. Perluasan usaha itu tidak timbul begitu saja tetapi didorong oleh kondisi
ekonomi(dan politik) yang memungkinkan dibukanya usaha-usaha baru itu. Seperti
dijelaskan sebelumnya membaiknya
kehidupan ekonomi sebuah bangsa ditentukan oleh sejauh mana pemerintahan bangsa
itu bersih(clean government) dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, adanya
penegakan hukum, adanya sikap jujur, menghargai nilai-nilai keadilan, kebenaran dan
sebagainya.

60
4) Adanya jaminan tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja. PHK adalah suatu
tindakan terakhir dari sebuah perusahaan tatkala ia dihadapkan pada tanda-tanda
kemunduran. Sudah menjadi prinsip ekonomi perusahaan dimanapun di dunia ini
bahwa tindakan pemutusan hubungan kerja adalah salah satu tindakan penyelamat yang
tidak menyenangkan demi tetap bertahannya sebuah perusahaan. Sebaliknya, apabila
sebuah perusahaan itu maju, produktivitas lancar, pelanggan puas dll, maka Pemutusan
Hubungan Kerja bisa dihindari. Memiliki modal yang kuat atau meminjam dari Bank
tetapi mampu mengembalikannya secara teratur sudah pasti menjadi faktor penentu
lancarnya sebuah usaha. Seperti dijelaskan sebelumnya, semua kondisi itu dapat
tercipta jika kehidupan ekonomi suatu bangsa berada dalam keadaan yang baik dengan
didukung oleh sistem pemerintahannya yang bersih, jujur, tidak bermental KKN dan
sebagainya.

C. Upaya-upaya mencapai kondisi baru (new expected condition)

Seperti disampaikan sebelumnya angka pengangguran terbuka tahun 2004


meningkat menjadi 10,83 juta orang (10,32 % dari angkatan kerja).Peningkatan
pengangguran terbuka ini akan terus berlanjut tahun 2005 dimana angka pengangguran
terbuka diproyeksikan menjadi 11,19 juta orang atau 10,45 % dari angkatan kerja. yang
diperkirakan 4,49% (tahun 2004) dan 5,03% (tahun 2005) Data tahun 2002 yang
terlihat dari tabel di halaman 2 di atas menunjukkan jumlah pengangguran terbuka
mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari keseluruhan angkatan kerja. Data di atas
belum termasuk setengah penganggur, yakni orang
yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu yang jumlahnya 28,9 juta orang pada
tahun 2002.
Data Tabel di atas juga menunjukkan struktur angkatan kerja, pekerja dan
pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan masih didominasi oleh tamatan
sekolah Dasar(SD) ke bawah. Untuk angkatan kerja tahun 2002 yang berpendidikan SD
ke bawah mencapai 59,05 juta orang atau sekitar 58,6 % dari angkatan kerja, diikuti
SMTP 17,49 juta orang, SMU 12,21 juta orang dan seterusnya (lihat tabel). Strukur
angkatan kerja, pekerja dan pengangguran terbuka yang didominasi oleh manusia
Indonesia yang berpendidikan rendah ini sangat rentan terhadap konflik sosial.

61
Keterbatasan mereka di dalam pendidikan sangat mudah dijadikan alat komoditas
politik untuk melakukan berbagai konflik sosial8 di tengah masyarakat
Dari data statistik yang ada, hal yang juga memprihatinkan adalah terus
menurunnya kesempatan kerja formal baik di perdesaan maupun di perkotaan. Jumlah
pekerja formal di perdesaan yang mempunyai upah tetap (waged worker) tahun 2201
berkurang sebanyak 3,3 juta orang. Tahun 2002 jumlah pekerja formal di perkotaan
berkurang 469.000 orang dan di perdesaan berkurang 1,1 juta orang. Indikator ini
menunjukkan kesempatan kerja yang tercipta selama tahun 2001 dan 2002 memiliki
kualitas rendah karena lebih banyak kesempatan kerja tecipta di sektor informal seperti
terlihat dari gambaran tabel berikut :
Tabel . Status Pekerja Formal dan Informal (juta orang)

Sumber : Sakernas BPS, 2002.

Setelah melihat berbagai data tentang pengangguran di atas, apa yang harus
dibuat untuk meminimalisasi angka pengagguran dan berbagai dampak negatipnya
dalam kehidupan sosial dan politik kita di Indonesia?? Bagaimana menjembatani.
Berbagai konflik sosial dan konflik horisontal di Indonesia selama ini biasanya
memobilisasi para penganggur dan pelaku kejahatan yang minim pendidikan. Mereka
mudah dihasut, dipengaruhi dan dijadikan alat politik apalagi dengan mengeksploitasi
agama atau etnik, atau kesenjangan sosial dan ekonomi (bridging the gap) antara
keadaan sekarang (yakni pengangguran) dengan keadaan yang diinginkan ( memiliki
pekerjaan sehingga tidak menganggur)? Ada beberapa cara :
1. Membuat Kebijakan Jangka Pendek yang Realistis
Dengan melihat data bahwa pengangguran di Indonesia pada tahun 2002 ini
didominasi oleh tamatan SD ke bawah(59,05 juta orang), maka perlu secepatnya
diciptakan tindakan dini dalam rangka mengurangi kemungkinan terjadinya berbagai
62
masalah sosial apalagi menjelang Pemilu 2004 yang rentan terhadap konflik di
tingkat masyarakat. Pengangguran yang didominasi oleh masyarakat kurang terdidik
ini sangat rentan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk
mencapai tujuan politiknya. Ada beberapa kebijakan yang bisa ditempuh :
a. Tindakan Penyadaran(conscient action).
Pemberian kesadaran ini dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak
(pemerintah, LSM, Akademisi/mahasiswa, Lembaga-Lembaga Agama dll.
Upaya member kesadaran ini dilakukan agar kita bisa mengetahui what they
think?(apa yang mereka pikirkan), what they feel?(apa yang mereka rasakan)
dan what they do? (apa yang mereka buat). Upaya penyadaran dilakukan
dengan berbagai cara seperti sosialization(sosialisasi) di Masjid-masjid, gereja-
gereja, pers dan sebagainya. Dalam rangka menciptakan efektivitas penyadaran
ini, semua elemen masyarakat dilibatkan seperti Tokoh Agama, tokoh LSM,
tokoh masyarakat, tokoh Pemuda, Psikolog, Akademisi, tokoh politik/tokoh
partai, toko adat, orang tua dan lain-lain.
Proses sosialisasi ini bisa lebih efektif dilakukan juga melalui extension
education dimana di setiap Kelurahan/Desa/RT/RW dibentuk kelompok-
kelompok pembinaan dan penyadaran bagi para penganggur. Media kelompok
seperti remaja masjid atau kelompok umat basis di gereja-gereja amat strategis
untuk melakukan extension education ini. Extension education ini harus juga
didulung oleh capacity building(penguatan kelembagaan). Lembaga-lembaga
yang selama ini masih eksis di kelurahan/desa/RW/RT seperti Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat, lembaga Pemberdayaan Desa, Karang Taruna dll
harus diperkuat fungsi dan peranannya. Lembaga-lembaga ini harus dibina
secara terpadu dalam rangka mendukung keseluruhan kegiatan ‘pendidikan’
bagi para penganggur yang ada. Fungsionalisasi peranan lembaga-lembaga ini
didukung oleh lembaga-lembaga agama, lembaga adat dan sebagainya akan
sangat membantu efektivitas pelaksanaan proses penyadaran kepada ‘grassroot’
ini.
Upaya ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan harus menjadi
suatu gerakan sosial (sosial movement) yang berlaku secara Nasional. Baik
pemerintah Pusat maupun daerah harus memberikan dukungan yang serius
terhadap upaya penyadaran yang bersifat edukatif, psikologis dan sosial ini.

63
Dengan mengetahui apa yang mereka pikirkan, ikut merasakan apa yang
mereka alami dan rasakan serta menyelami apa yang mereka lakukan, para
penganggur ini bisa dibangkitkan harga dirinya bahwa masih ada orang yang
mempedulikan mereka. Sebagai pihak yang netral, kaum akademisi/intelektual
atau LSM harus menciptakan modelmodel penyadaran ini sebagai cara
menjembatani(bridging the gap) keadaan yang sekarang dengan keadaan yang
diinginkan. Usaha mengkomunikasikan segala hal yang bertujuan agar
terbentuk pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang positip dalam rangka
menciptakan kehidupan sosial yang baik di kalangan para penganggur kurang
terdidik ini harus dibangun dalam konteks penghormatan terhadap martabat
manusia(human dignity) itu sendiri.
Berbagai cara penyadaran dengan penggunaan audio visual, slide, film,
sangat membantu di dalam prosesnya sehingga tidak menimbulkan kebosanan.
Metode-metode ceramah dan bersifat menggurui harus dihindari mengingat
pesertanya adalah para penganggur yang kehilangan matamepencaharian. Harus
lebih banyak diskusi dan sharing pengalaman untuk membangkitkan gairah
mereka di dalam situasi-situasi sulit menghadapi kerasnya kehidupan sebagai
penganggur.
Kondisi menganggur adalah kondisi dimana segala-galanya hilang dan
tercabut dari seseorang, bukan saja sumber nafkah, tetapi juga
recognition(pengakuan) dan harga diri. Kehilangan jati diri inilah yang
membuat orang yang menganggur akan mengalami stress yang tinggi dan
apabila tidak mampu dikendalikan maka akan menjadi depresi yang mengarah
kepada sakit mental atau gila. Karena pertimbangan itulah maka proses
penyadaran ini harus melibatkan banyak pihak termasuk para psikolog dan
psikiater. Bisa saja usaha penyadaran ini bagi sebagian besar penganggur
dirasakan membuang-buang waktu karena mereka harus mencari kerja untuk
bisa menghidupi anak istrinya atau keluarganya. Untuk mengatasi masalah
ini,maka upaya pertama(penyadaran) diikuti dengan upaya yang kedua yang
lebih konkret dan realistis yakni
b. Pemberdayaan secara ekonomis dan sosial
Penyadaran melalui pembentukan sikap dan mental yang dilakukan pada
tahap pertama di atas harus diikuti dengan pemberdayaan tahap kedua yang

64
lebih bersifat ekonomis dan konkret. Kebutuhan para penganggur dan
keluarganya dalam jangka pendek adalah kebutuhan akan makan dan minum
Pemenuhan kebutuhan dasar ini harus didahulukan dan menjadi perhatian
utama. Karena para penganggur berpendidikan rendah ini sangat banyak maka
mereka bisa disalurkan dalam kegiatan-kegiatan padat karya yang bias
mendatangkan upah bagi mereka. Bahkan menurut Bambang Widianto,
Direktur Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas, lima tahun ke depan
negara ini masih harus mengembangkan industri padat pekerja dan sangat tidak
mungkin beralih ke teknologi modern karena struktur angkatan kerja, pekerja
dan pengangguran terbuka menurut pendidikan masih didominasi oleh tamatan
Sekolah Dasar (SD) ke bawah.
Tenaga-tenaga para penganggur kurang terdidik ini bisa dimanfaatkan di
kegiatan-kegiatan padat karya sehingga mereka bisa mendapatkan kembali
harga dirinya yang telah hilang oleh karena terkena pemutusan hubungan kerja
atau karena tidak adanya ketrampilan di dalam bekerja. Pada pemberdayaan
ekonomi ini semua elemen masyarakat juga harus ikut mendampingi mereka
seperti halnya pada tahap pertama. Mereka tidak boleh dilepaskan begitu saja
seolah-olah ketika mereka sudah terserap dalam kegiatan/proyek yang bersifat
padat karya, masalahnya telah selesai.
Perlu ada pendampingan psikologis dan yang bersifat agamais serta
permanen agar ketahanan mental para penganggur ini tetap baik.Community
group discussion bisa digunakan sebagai sarana atau media untuk
memperkenalkan mereka satu sama lain sehingga terjalin suatu komunikasi
sosial di antara mereka. Dengan mereka saling mengenal satu sama lain mereka
bisa saling mengontrol kelakuannya masing-masing baik di tengah lingkungan
mereka sendiri maupun lingkungan masyarakat pada umummnya. Jadi proses
penyadaran mental dan pemberdayaan sosial dan ekonomi harus berjalan
bersama-sama dalam satu kesatuan kegiatan yang saling isi mengisi dan
melengkapi serta berorientasi pada perubahan-perubahan sosial dan ekonomi
dan berdampak pada peningkatan martabat manusia.
c. Memberikan dukungan modal kepada pekerja sektor informal
Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan
Nasional/ Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas)

65
mengatakan bahwa dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini, investasi
yang diutamakan adalah sektor yang tidak terlalu modern dan tanpa
menggunakan mesin canggih. Selama ini sector informal dinilai sangat
membantu menyerap orang-orang yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi
peredam di tengah pasar global. Namun bukan berarti sektor formal diabaikan.
Jika ternyata sektor informal ternyata dapat menjawabi sebagian dari masalah
pengangguran yang dihadapi Bangsa kita, maka sudah waktunya sektor
informal ini didukung oleh pemerintah dengan menyiapkan anggaran. Anggaran
ini bisa digunakan untuk dijadikan modal pengembangan usaha ekonomis
produktif bagi pekerja-pekerja informal.
Kenaikan jumlah pekerja informal dari 53,7 juta orang tahun 1997
menjadi 62,4 tahun 2002 (lihat tabel di atas) merupakan indikasi bahwa untuk
mengatasi masalah pengangguran di Indonesia tidak bisa lagi bertumpu pada
sektor formal. Apalagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang belum
sepenuhnya normal ini sangat tidak mungkin menciptakan lapangan kerja baru
di sektor formal. Banyaknya perusahaan/pabrik yang gulung tikar akibat krisis
ekonomi yang belum pulih kurang memungkinkan terciptanya sektor formal.
Kalaupun ada lapangan kerja baru untuk pekerja formal, persediaannya sangat
terbatas dan kesempatan itu hanya bisa diraih oleh pekerja yang trampil,
memiliki pendidikan yang memadai dan professional serta berdaya saing tinggi.
Para pekerja informal ini harus terwadah dalam kelompok-kelompok
usaha ekonomis produktif dan proses kegiatannya musti terkontrol secara rapi.
Karena itu sebelum disediakannya suntikan modal baik yang berasal dari APBN
maupun APBD di Daerah-daerah, fungsionalisasi peranan kelembagaan melalui
penguatan kelembagaan (capacity building) mutlak perlu. Berbagai stakeholders
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, pekerja sosial, aparat
Pemerintahan, tokoh-tokoh adat, tokohtokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat
perlu duduk bersama untuk menyerap berbagai aspirasi guna menyusun rencana
sekaligus melaksanakan pemberdayaan usaha ekonomis produktif masyarakat
dalam wadah kelompok yang kuat. Penguatan kelembagaan dan peranan
kelembagaan itu dalam mewadahi berbagai kegiatan itu akan sangat membantu
terpadu dan teraturnya proses pemberdayaan ekonomi pekerja-pekerja informal.

66
Sebagaimana yang dialami selama ini, ada banyak masalah yang timbul
dari kegiatan seperti ini seperti penyelewengan dana, korupsi, kolusi dan
nepotisme, terutama di tingkat pelaksana operasional. Penyelewengan itu bisa
diminimalisasi apabila program ini menjadi gerakan sosial (sosial movement)
dan gerakan ekonomi(economic movement) yang bersifat terbuka dan
transparan. Seluruh masyarakat harus memantau pelaksanaannya dengan
dukungan pers yang terbuka. Keterlibatan berbagai stakeholders seperti
lembaga swadaya masyarakat, anggota legislatif, para akademisi dan pekerja
sosial, tokoh-tokoh adat dan agama, pers, baik cetak maupun elektronik
diharapkan akan memperkecil kemungkinan terjadinya penyelewengan.
d.Memberantas budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang faktanya telah
menghancurkan ekonomi Negara
Pengangguran di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fenomena
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah menghancurkan sendi-sendi
perekonomian Bangsa kita secara sistematik dan menggurita terutama terjadi
pada zaman Pemerintahan Orde Baru. Soeharto dipaksa turun dari kursi
Kepresidenannya karena ternyata telah meluluhlantahkan Bangsa ini ke dalam
jurang krisis moneter dan ekonomi. Setelah Soeharto berhasil ditumbangkan
melalui gerakan ‘people power’ yang tak terbendungkan dan digantikan oleh
Habibie dan kemudian Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri,
fenomena korupsi ini ternyata terus berlanjut. Bahkan korupsi di masa Orde
Reformasi ini tidak hanya berada di Pemerintahan Pusat sebagaimana dahulu di
zaman Soeharto tetapi sudah menjangkau seluruh elemen kenegaraan di
Daerah-daerah. Hasil Survey Transparency International menjelang tutup tahun
2003 pada 133 Negara, Indonesia berada pada urutan ke 122 dari 133 Negara
yang paling korup. Di dunia Indonesia tercatat sebagai negara terkorup ke
enam. Di Asia Tenggara Indonesia menempati urutan pertama sebagai
negara terkorup. Tabel berikut menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi(IPK)
Indonesia tahun 1998-2003:

67
Tabel Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 1998-2003

Untuk gambaran perbandingan11 lima negara tetangga seperti Malaysia


mendapat IPK 5,2, Philipina 2,5, Vietnam 2,4 dan Papua Nugini 2,1. Dari
tabel di atas memperlihatkan bahwa IPK Indonesia tetap tidak berubah sejak
tahun 2001. Itu berarti pemerintah tidak mampu mengurangi fenomena korupsi
ini. Menurut Laporan ini pula, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari
Bangladesh, Myanmar, Nigeria dan Kamerun. Jenis-jenis korupsi yang
dijadikan hasil survey meliputi manipulasi uang negara, praktek suap dan
pemerasan, politik uang dan kolusi bisnis. Di Indonesia, untuk kategori
manipulasi uang negara sektor yang paling korup berada di pengadaan
barang dan jasa, meliputi konstruksi pekerjaan umum, perlengkapan militer
dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi
terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta
sektor perizinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR) dan
Partai Politik, serta dalam praktek kolusi dalam bisnis. Untuk jenis kolusi
bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian dan pegawai
pemerintah lewat Koperasi dan Yayasan.
Dari gambaran di atas, nyata bahwa tidak ada lagi suatu kebanggaan
terhadap negara ini karena semua lembaga formal yang diharapkan menjadi
penyelenggara negara menjadi lokomotif terdepan di dalam kejahatan yang luar
biasa ini (extra ordinary crime). Korupsi terjadi di mana-mana ibarat virus
kanker yang sulit diberantas dan menghancurkan sendi-sendi utama penopang
keberlangsungan sebuah bangsa seperti moralitas, ekonomi, sosial, politik dan
keamananan. Ahli etika sosial, Prof.Dr. Magnis Suseno mengatakan bahwa
Bangsa Indonesia kini tinggal menunggu waktu masuk ke jurang karena korupsi
bukan hanya dilakukan pejabat di tingkat pusat melainkan merata di seluruh
daerah dan semua tingkatan. “Kerusakan bangsa ini hampir sempurna, hal itu

68
antara lain karena politik uang benarbenar riil dan hampir merata dalam dunia
perpolitikan di negeri ini”. Apa yang disampaikan oleh kedua tokoh agama yang
terkemuka di atas terkait secara signifikant dengan dilaksanakannya Otonomi
Daerah di Negara Asia yang dinilai paling rendah IPKnya adalah Singapura
dengan nilai 9,4. Sedangkan negara paling bersih dari 133 Negara yang
disurvey adalah Finlandia dengan IPK 9,7. IPK ini biasanya diukur pada
rentangan 0 –10. Makin mendekati angka 10 berarti makin sebuah negara bersih
dari korupsi, demikian sebaliknya. Berbicara dalam Seminar bertemakan
‘Meluruskan Jalan Reformasi’ yang diprakarsai oleh Universitas Gajah Mada,
Jumat 26 September 2003 di Yogyakarta(Kompas, 27 September 2003, hal.1).
Penegasan ini disampaikan oleh Prof.Ahmad Syafii Maarif, Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kesempatan Seminar yang sama sehari
sebelumnya, Kamis 25 September 2003 ( Kompas,idem.) Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di satu pihak membawa angin segar dalam
kehidupan demokrasi di Indonesia. Otonomi Daerah yang memberikan
kewenangan yang luas kepada daerah khususnya Kabupaten dan Kota melalui
desentralisasi kewenangan dan keuangan menyebabkan terbangunnya
partisipasi aktif masyarakat dalam membangun daerahnya. Kewenangan dan
keuangan yang sebelumnya terpusat di Jakarta telah beralih kepada daerah
sehingga memungkinkan tercapainya pelayanan publik yang lebih dekat dan
pendek. Akan tetapi dampak-dampak posititip dari pelaksanaan Otonomi
Daerah ini justru dirusak dengan kecenderungan para pejabat di daerah untuk
melakukan korupsi uang negara secara besarbesaran dan dilakukan secara
sistematik baik melalui peraturan-peraturan daerah yang formal maupun non
formal melalui Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di antara para pelaku. Adalah
sebuah fakta bahwa hampir semua pejabat di Propinsi dan Kabupaten/kota di
seluruh Indonesia terlibat dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Laporan Harian Kompas, 25 Oktober 2003 secara gambling
membeberkan fakta korupsi yang dilakukan legislatif dan eksekutif di berbagai
daerah di Indonesia, dan laporan itu hanyalah sebagian kecil dari fakta yang
jauh lebih luas. APBD Propinsi Sumatra Barat tahun 2002 yang diindikasikan
berbau korupsi, kolusi dan nepotisme telah menyebabkan 53 anggota DPRDnya

69
diperiksa di pengadilan Padang; sementara itu 45 orang anggota DPRD Kota
Padang sedang diusut oleh Kejaksaan Negeri.
Sementara itu menurut Kemas Yahya Rahman, Kapuspenkum
Kejaksaan Agung, sekitar 269 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota di
Indonesia terkait dengan kasus korupsi dan Presiden Megawati sudah
memberikan izin pemeriksaan kepada 68 orang dari jumlah yang ada.
Sementara itu Kejaksaan Tinggi di tujuh Propinsi sudah melakukan penyidikan
atas kasus korupsi yang terkait dengan anggota DPRD tersebut yaitu Sumatra
Barat 53 tersangka, Sumatra Selatan 85 tersangka, Lampung 75 tersangka, Jawa
Barat 41 tersangka, DI Yogyakarta 11 tersangka, Sulut 1 tersangka dan NTB 3
tersangka. Selain itu di NTT15 1 tersangka terkait dengan kasus korupsi
(bekerja sama dengan eksekutif), Sawahlunto Sijunjung 35 orang memasuki
tahap pemeriksaan. Masih segar juga ingatan kita akan kasus korupsi yang
dilakukan oleh ketua dan wakil ketua DPRD Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Dengan fungsi legislasi yang sangat kuat berada pada anggota DPRD ini,
mereka menggunakan segala macam cara untuk melakukan korupsi baik
langsung melalui manipulasi Peraturan Daerah yang terkait dengan Anggaran
seperti yang terjadi di Propinsi Sumatra Barat maupun tidak langsung dalam
bentuk ‘mengancam’ menolak Laporan
Di zaman Soeharto, korupsi lebih dominant ada pada pusat-pusat
kekuasaan eksekutif. Di zaman Orde reformasi ini justru lebih dominant ada
pada legislatif. Fungsi legislasi yang menonjol membuat mereka merasa berada
di atas angin. Ahli politik seperti Kaplan menegaskan bahwa ada masanya
sebuah negara dikendalikan oleh para bandit yang rakus, dan sebelum mereka
mengakhiri jabatannya mereka akan berusaha menguras uang negara sebanyak-
banyaknya. laporan Pos Kupang, 20 Juni 2003.
Pertanggungjawaban Jabatan (LPJ) Bupati atau Gubernur jika tidak
‘meloloskan ‘ sesuatu yang berindikasi korupsi. Belum lagi para anggota DPRD
itu masing-masing memiliki proyek pribadi16 dengan memanfaatkan nama
kerabat, keluarga dan sebagainya seperti yang terjadi hampir di semua wilayah
di Indonesia.
Korupsi yang telah berlangsung secara sistematik ini telah
mengakibatkan ketidakadilan sosial dan ekonomi, kemiskinan dan kemelaratan

70
pada sebagian besar masyarakat Indonesia, ketidakberdayaan, pengangguran,
kejahatan, konflik sosial, melebarnya gap antara orang kaya dengan orang
miskin dan sebagainya yang pada gilirannya merendahkan martabat manusia.
Pengangguran di Indonesia semakin tahun semakin bertambah sebagai dampak
langsung kerusakan ekonomi bangsa yang salah satu sebab utamanya adalah
maraknya praktek korupsi.
Apa yang harus dibuat untuk menciptakan kondisi baru yang lebih
baik untuk menyelamatkan Bangsa ini ? Ada sejumlah program jangka
pendek yang harus segera dibuat, antara lain:
1. Melakukan perang terhadap Korupsi. Seluruh elemen bangsa harus
menyatakan tekad yang sama untuk melakukan perang terhadap korupsi.
Korupsi harus dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
crime) terhadap kemanusiaan karena korupsi telah menghancurkan sendi-
sendi fundamental bangsa baik secara ekonomi, sosial, politik, moral dan
agama maupun keamanan. Korupsi telah melahirkan ketidakadilan,
merendahkan martabat manusia, menciptakan kejahatan-kejahatan sosial dan
sebagainya. Gerakan melawan korupsi ini harus dikampanyekan secara terus
menerus oleh berbagai elemen Bangsa melalui sosialization (sosialisasi)
kepada seluruh masyarakat dengan menggunakan berbagai media baik cetak
maupun elektronik, melalui gerakan sosial (sosial movement) dengan
melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga
pemantau kekayaan pejabat negara, lembaga-lembaga pengawas non
pemerintah, dan sebagainya. Juga dilakukan dengan sosial
mobilization(mobilisasi sosial). Seluruh elemen masyarakat harus memantau
semua gerak gerik para pejabat negara baik di eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Masyarakat harus termobilisasi baik secara spontan maupun
terencana melakukan demonstrasi, melakukan kontrol dan pengawasan
terhadap kinerja para penyelenggara negara dari waktu ke waktu dll.
2. Menciptakan pemerintahan yang bersih dengan memilih wakil rakyat baik di
DPR maupun DPRD yang teruji mental, kejujuran dan komitmennya dalam
membangun Bangsa. Sistem Pemilu 2004 yang Di Kabupaten Manggarai
Flores Barat NTT, tempat penulis berasal, para anggota DPRD masing2
memiliki proyek. Modus operandinya, mereka mengancam kepala

71
dinas/kepala kantor untuk meloloskan proyek-proyek tertentu. Mereka
menggunakan nama kerabat, keluarga untuk mengerjakannya. Mereka
mendapat sebagian dari fee proyek. Fenomena ini saya yakin juga terjadi di
daerah-daerah lain apalagi menjelang Pemilu dimana partai2 politik
membutuhkan uang untuk kampanye. memilih wakil-wakil rakyat, Presiden
dan Wakilnya dan kemudian Gubernur dan Bupati secara langsung adalah
kesempatan kita menciptakan pemerintahan yang bersih. Seluruh rakyat
harus diberi penyadaran untuk memilih wakil-wakilnya yang bersih dari
tindakantindakan tak terpuji itu. Cara yang mungkin mengkomunikasikan
program ini adalah melalui campaign(kampanye), Seminar, diskusi,
simposium, community group discussion, publikasi baik melalui pers cetak
maupun elektronik dan sebagainya.
3. Membuat Kebijakan Jangka Panjang melalui desentralisasi sentra-sentra
pertumbuhan ekonomi ke daerah-daerah Sejalan dengan Otonomi Daerah,
desentralisasi pertumbuhan ekonomi harus dipindahkan dari Pusat ke Daerah,
dari Jawa ke luar Jawa, dari daerah/wilayah yang padat industri ke daerah
yang tidak padat industry sehingga bisa menekan angka urbanisasi dari Desa
ke Kota, atau dari daerah yang ‘tidak bergula’ ke daerah atau wilayah yang
‘bergula’. Selama ini sentra-sentra pertumbuhan ekonomi hanya berpusat di
Jakarta sehingga orang dari seluruh wilayah di Indonesia ini ramai-ramai
mengais rejeki di Jakarta. Jika pabrik-pabrik, industri, perusahaan-
perusahaan berskala nasional atau Internasional dibangun juga di daerah-
daerah, maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi di daerah/wilayah itu.
Begitu terjadi pertumbuhan ekonomi, maka akan menciptakan penambahan
tenaga kerja baru. Agar investor menanamkan modalnya di daerah-daerah,
berbagai infrastruktur, komunikasi, transportasi harus dibangun sebagaimana
halnya di Jawa atau daerah-daerah/wilayah yang memiliki peluang
pertumbuhan ekonomi tinggi. Cara mengkomunikasikan program ini adalah
melalui workshop, seminar, simposium yang bisa mempengaruhi pengambil
keputusan di tingkat atas; juga melalui wakil-wakil rakyat di DPR dengan
menyalurkan aspirasi ini kepada mereka. Atau melalui pembentukan opini
publik di media massa secara terus menerus, melalui loby, bargaining dan
sebagainya.

72
Pengangguran di Indonesia yang telah mencapai puluhan juta orang merupakan
suatu masalah yang mendesak yang harus segera dipecahkan karena dampak
pengangguran itu akan sangat berbahaya bagi tatanan kehidupan sosial. Adalah fakta
bahwa berbagai kejahatan sosial seperti pencurian/penodongan/perampokan, pelacuran,
jula beli anak, anak jalanan dan lain-lain merupakan dampak dari pengangguran.
Dilihat dari dampaknya yang luas terhadap tatanan kehidupan sosial, pengangguran
telah menjadi kuman penyakit sosial yang relatif cepat menyebar, berbahaya dan
beresiko tinggi menghasilkan korban sosial yang pada gilirannya menurunkan kualitas
sumber daya manusia, martabat dan harga diri manusia. Karena itulah maka melalui
strategi komunikasi pembangunan, kebijakan-kebijakan jangka pendek dan jangka
panjang yang realistis mutlak dilakukan agar angka pengangguran dapat
ditekan/dikurangi. Dengan kebijakan yang langsung menyentuh permasalahan
pengangguran, maka penyebab dari berbagai patologi sosial yang dialami masyarakat
saat ini dapat dikurangi. Berbagai masalah sosial perkotaan yang meresahkan
masyarakat saat ini berakar dari kesulitan hidup atau kesulitan ekonomi yang
disebabkan oleh ketiadaan sumber hidup (pekerjaan).

73
DAFTAR PUSTAKA

Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia,
Sinar Grafika, 1993, Jakarta
Alatas, S. H., 1987. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta; LP3ES.
Atmasasmita, R. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di
Indonesia. Jakarta; Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan HAM RI.
Clemens Bartollas, Juvenile Delinquency, University of Northern Iowa USA, Allyn and
Bacon Fourth Edition, 1985
Conyer Diana, 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
D. Hendropuspito OC., Drs., 1989, Sosiologi Sistematik, Kanisius, Yogyakarta
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005
Ian Craib, 1992, Teori-Teori Sosial Modern, Rajawali, Jakarta.
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,
1990,
Jelamu Ardu Marius. Dilema Pembauran Golongan Minoritas Cina. Studi Kasus di
Kupang NTT. Tesis, Pascasarjana UI, 1999.
John Naisbit dan Patricia A. Delapan Jalan Menuju Perubahan. Gramedia, 1993.
Judistira K. Garna, Prof., Ph.D., 1992, Teori-Teori Perubahan Sosial, Program
Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Judistira K. Garna, Prof., Ph.D., 1996, Ilmu-Ilmu Sosial; Dasar-Konsep-Posisi,
Program Pascasarjana UNPAD,Bandung.
Kartini Kartono, Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung,
2006
Kartono, K. 2002. Patologi Sosial, Jilid I, Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta; PT
Raja Gravindo Persada.
----------------Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, PT.Raja Grafindo Grafika,
Jakarta, 1998,

74
Kwik Kian Gie. 2003. Laporan Pemberantasan Korupsi. Jakarta; Harian Kompas 25
Oktober 2003.
L. Edward Well dan Joseph H. Rankin, Families and Delinquency : A Metamorphosis
of the Impact of Broken Homes Sosial Problems, London, 1991,
Harian Kompas, 25 Oktober 2003 - 10 September 2003 - 27 September 2003.
Harian Pos Kupang, 20 Juni 2003.
Muhidin Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial,
Bandung, 1997
P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, 1988,
Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional.
Jakarta; Kerjasama antara Transparency Internastional Indonesia dan
Yayasan Obor Indonesia.
Robert L. Barker, 1987, The Sosial Work Dictionary, NASW, Silver Spring, Maryland.
Rozi, Syafuan. 2003. Menjinakkan Korupsi di Indonesia. Email: syafuan @
indonet.com.
Soelidarmi, Kumpulan Putusan Kontroversial Dari Hakim/Majelis Hakim
Kontroversial Beserta Polemik Yang Diberitakan Atau Ditulis Media
Cetak, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm.x-xi.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1989,
hlm.10-11. 5Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan
Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia, Jakarta, 2000,
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, P.T. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2004
.Soetomo, Drs., 1995, Masalah Sosial dan Pembangunan, PT. Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta.
Suarapublika, Novermber 2003.
Tamin, Faisal. 2003. Bersih KKN, Indonesia Singa Asia. Jakarta; Kompas 25 Oktober
2003.
Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999
_____________, 2003. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian,
Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan . (draft, Internet).

75

Anda mungkin juga menyukai