Anda di halaman 1dari 40

 PERBURUAN DI BAWAH BAYANGAN

Derap tiga pasang kaki bersepatu boot menuruni tangga darurat. Ada licak lumpur yang masih
basah menyisakan jejak dengan bau got menyeruak. Seolah memberi tanda berapa ukuran
sepatunya, serta kemana langkahnya.

Tiga hari kemudian, sebilah sepatu mangkrak di dalam sebuah bunker kosong. Sebilah sepatu
masih menempel pada kaki kanan jasad laki-laki tanpa identitas. Kaki dan tangan terikat tali
tambang, jatuh bebas dengan usus terburai di bawah ganco berkarat. Wajahnya penuh luka sayat,
dan secara sembrono disiram air keras. Tikus pengerat daging berhiliran ketika jasad sudah
setengah kroak ditemukan polisi patrol.

Seorang kawan polisi yang sedang berkomunikasi dengan HT bilang kehabisan tinta pena untuk
mencatat laporan kejadian. Lantas meminta izin memotret TKP dan membubuhinya dengan
beberapa kalimat deskriptif. Tak lama, petugas penyidik datang membawa kantong jasad, mereka
memindahkannya tanpa merasa harus memanggil awak media massa.

Singkat cerita, penemuan jasad di dalam bunker itu tiba-tiba viral di media sosial. Polisi patroli
yang pernah memotret TKP didesak mengaku sebagai biang penyebar hoax, tanpa banyak ba-bi-
bu ia dimutasi segera ke divisi bawah. Menghentikan ocehannya menguap lebih jauh ke atas.

Di sebuah rendezvous, coffee shop yang tidak ada larangan mengasap di dalamnya, setiap hari
penuh sesak beragam emosi. Gelagat dan bau nyinyir bercampur petikan gitar akustik sederhana
di atas pentas kecil. Americano untuk si jenius kritis yang suka banyak omong. Frapuchino untuk
si maniak gadget yang mengejar wifi gratis. Mocca late untuk si melankolis yang diam di dekat
jendela. Arabica, robusta, toraja blend, dan luwak, biasanya dipesan khusus untuk beberapa
pemujanya.

Bar tender di tengah ruangan adalah mantan marinir yang konon masih memiliki jaringan ke
dalam intelijen negara. Tidak ada yang tahu kalau ia juga berteman dengan banyak tokoh politisi,
kaum intelektual, intel cyber, konglomerat, atau sekedar ajudan perdana menteri yang menitip
salam di bawah cangkir kopinya. Satu dua wajah terkadang bisik-bisik menyelipkan sandi di
dalam obrolan kasar. Tiga empat kadang mengacung jari tinggi-tinggi. Kalau mau, pemuda yang
mengaku menduda itu akan memberi kelakar balasan. Menyetujui barter percakapan.

“Aku butuh lebih banyak gula di dalam kopi luwak ini,” panggil seorang pelanggan di meja
paling sudut, meja kedua yang menghadap jendela. Tangannya teracung mengangkat jari dengan
pucuk kretek menyala di tengah. Di sisi dalam tungkai telapaknya, seberkas tato tribal kecil saja
diukir ahlinya.

Alexio, bar tender yang ramah seperti biasa akan mengirim pelayan berseragam celemek dan rok
mini ke meja tersebut. Menanyakan kebutuhan pelanggan yang baru saja menyebut sandinya.
Kopi luwak ini.
“Dia memesan kopimu, Pak.” Pelayan rendah yang disuruh tadi merutuk kesal pada Alexio.
Merasa benar bilang kalau orang-orang penting itu tidak butuh pelayan selain si Penghubung,
Alexio Douglas.

Tidak sampai dua menit, duda tangguh pemilik legalitas coffee shop itu sudah membanting
celemeknya, mengunyah sepotong pai daging, menyambar gelas air es tawar, lantas bergegas ke
sumber malapetaka. Jalannya agak pincang, sebab sepatu boot yang sudah kekecilan menjepit
jari kakinya.

Baru seminggu yang lalu interpol datang menginterogasi, mengatainya marinir pembelot, juga
tanpa segan membanting pistol di hadapan tamu lainnya. Bisik-bisik itu menguap bersama
kekhawatiran pria paruh baya pesolek yang pangkal pahanya basah terkencing-kencing. Kali ini
siapa lagi, umpat Alexio membatin.

“Selamat sore, Bung Alexio. Maaf, aku menggoda pelayan seksimu itu tadi. Kau dapat dimana
dia? Apa keahliannya selain meracik biji kopi? Memeras susu? Aah, lupakan. Lama tak jumpa
kau, kawan.” Basa-basi amatiran, pikir Alexio sambil menjabat tangannya.

“Kau suka kopi luwak ini, Tuan Richard?” timpal Alexio. “Pelangganku yang lebih modern dari
kau, lebih suka memesan caramel late. Oh, jangan salah duga, kopi luwak ini selalu otentik
racikan tanganku sendiri.”

“Benarkah? Aku bahkan belum mencicipinya.” Sejurus kemudian lelaki flamboyan itu
mengangkat gagang cangkir, mengendus aroma bak profesional, lalu menyesap pelan-pelan
dengan bibir sedikit maju.

“Bagaimana? Masih kurang gula?” Alexio menantang.

Lelaki itu menggeleng. “Kau peracik kopi terburuk, kawan. Aku hanya membayar yang terbaik.
Hei, kau punya sisa kulit pai di gigimu, ya, bisa aku minta sepotong dari dapurmu? Yang masih
panas. Aku lapar sekali belakangan ini.”

Alexio membaca seringai di ujung mata lawan bicaranya. Bau anjing pelacak selalu memuakkan.
Penuh tipu daya dan berbalut alkohol. Dengar saja dia bilang itu kopi terburuk buatan Alexio,
mungkin dia belum pernah digilas bersama biji kopi seumur hidupnya. Sebelum mahir merajang
kopi, dulu Alexio remaja sering dihajar dengan penumbuk lesung oleh mendiang ayahnya jika
ketahuan membolos sekolah.

“Aku tahu yang kau inginkan, Tuan Amerika.” Alexio menghembuskan napasnya. “Kau sudah
janji membayar mahal sepotong pai buatanku, bukan?”

Richard menuntaskan isi cangkirnya, membayar bil dengan selembar cek dalam amplop cokelat
di meja. Tidak main-main, enam digit nol dengan angka satu di depannya tegak menyombong.
Dolar sedang kuat-kuatnya sekarang.
Sialnya, kantong kertas recek itu hanya umpan yang dilempar. Terserah Alexio apa mau
memakannya. Lalu ia memadamkan puntung kretek di asbak, beranjak, berbalik lagi melempar
dua jari telunjuk dan jari tengah dari sepasang mata abu-abunya kepada Alexio.

Malam itu, perburuan dimulai. Seorang anjing pelacak yang dikirim ke coffee shop siang tadi
hanya menggeretak dengan angkuh. Menawarkan persekutuan basa-basi. Sejujurnya, Alexio
lebih suka langsung bergulat satu lawan satu. Bukan diam-diam menodong dari belakang jika tak
suka.

Oh ya, tentu, tidak semua mafia hukum berpikiran sepertinya. Dia pernah berhubungan dengan
orang yang lebih kasar dari Richard. Pernah nyaris terbunuh dengan air softgun mencium pelipis
kalau tidak punya kemampuan bela diri mumpuni. Itulah sebabnya mengapa ia menduda, mantan
istrinya tak suka pekerjaan Alexio yang berbahaya.

“Richard hanya ingin tahu siapa pembunuh kawannya. Aku punya informasi yang harus dia
bayar mahal. Kau jangan terlalu khawatir, Sayang,” gurau Alexio di sambungan telepon satelit
nir kabel pada perempuan di seberang.

“Ada CCTV yang menangkap gerak-gerik anak-anak Mossad di Celebes. Kau sudah dengar?
Mereka membuka peternakan, diam-diam mengelola lahan perkebunan kentang yang siap
meledak kapan saja. Aku ngeri kalau mengingat kau dalam bahaya, Alex,” rajuk si perempuan
sambil lalu mengoper bola informasi. Tentu saja, peternakan teroris sedang naik daun, dengan
sedikit kentang berbumbu, cepat laku di pasaran demi menggodok RUU Terorisme. Itulah
informasinya.

Sepatah dua patah lagi sebelum akhirnya percakapan dihentikan. Telepon satelit terputus saat
seberkas bayangan hendak menyusup ke dalam kamar Alexio. Dia tahu apa yang menjadi
sasarannya. Dan Alexio lebih dari sekedar paham situasinya.

Richard yang siang tadi sempat menodong dengan selembar cek dolar, lebih gesit dari sekedar
anjing pelacak bayaran. Dia membawa revolver yang siap siaga dan satu unit granat untuk
meledakkan gudang di belakang coffee shop. Alexio tahu bencana macam apa yang akan dia
hadapi, menelan ludah, di koran besok tercetak Kafein Coffee Shop miliknya hangus tinggal
puing-puing. Pihak asuransi akan mengurus sisanya.

Alexio tidak tahu benar siapa nama asli Richard, pembunuh bayaran dari negeri Paman Sam.
Selain informasi tentang berkeliarannya agen Mossad di Celebes, anak-anak zionis punya banyak
nama samaran sebanyak e-ktp yang tercecer di kota hujan beberapa waktu lalu.

Mereka lincah menyeludup, bertransaksi dalam bayangan, dan bergerak seperti angin lalu.
Mereka pandai dalam jual-beli hukum, melakukan lobi negosiasi di belakang meja pertahanan,
bahkan menghilangkan jejaknya. Apalagi sekedar memutar balikkan fakta di media massa.
Mereka mafia, punya uang yang cukup untuk membeli pena para jurnalis. Jangan tanya tentang
skill membunuh, mereka buas seperti singa gunung.
Terbunuhnya seorang tentara Paman Sam di dalam bunker kosong jelas sudah menabuh
genderang perang. Akan ada sasaran tembak berikutnya yang di adu domba. Kalian tahu siapa
korban sejatinya? Anak-anak manusia yang tiap hari berdoa di kaki langit, bersujud simpuh pada
Tuhan semesta. Atas kawannya yang lagi-lagi akan digenosida segera. Membunuh pembunuh
tikus hanya alibi yang dibuat-buat untuk menakut-nakuti anak kecil.

Richard, tak banyak yang tahu kecuali yang membayarnya mahal. Pernah menjadi intelijen Rusia
terlatih, lantas membelot dan menjual jasanya dengan emas batangan murni. Richard, oleh
tuannya, adalah alat spionase bayaran yang lihai mengerjakan tugas. Pintar bermain api, dan tahu
cara memadamkannya. Matanya tajam merekam target, memburu sampai ke titik paling pangkal.
Tak takut jika buruannya berkawan dengan orang yang lebih tinggi. Selalu pulang dengan
checklist di gawai, sangat flamboyan.

Maka, hanya dengan mengintai perawakan Alexio, agen Richard tahu siapa si pembunuh. Sepatu
kekecilan itu memiliki jejak lumpur yang sama seperti noda yang membekas di salah satu sepatu
yang mangkrak tak bertuan di kaki si jasad.

Mungkin, Alexio terburu-buru mengenakan salah satunya saat hendak melarikan diri. Tak tahu
menahu mana sepatu milik siapa saat pergumulan di bunker itu menyebabkan sepatunya sendiri
tertukar. Celaka, dia justru berhadapan dengan anjing pelacak macam Richard setelahnya.

~~~***~~~
KAKEK PENJUAL SATE

Tiba-tiba bumi berguncang hebat! Melempar tubuhku kesana kemari, hingga serasa bagai
diombang-ambingkan ombak lautan. Petir terdengar bergemuruh memekakkan telinga …, dan
puncaknya, sebuah halilintar meledak, membahana memecah angkasa!

“Hooiii! Baanguuun, Laaann …!”

Aku tersentak kaget dengan napas memburu. Sesaat terpana melihat kakak berdiri di ujung
pembaringan.

“Akhirnya bangun juga kerbau satu ini! Dari tadi dipanggil-panggil, digoncang-goncang, ditarik-
tarik, susah bener bangunnya!”

Aku mengucek-ucek mata sesaat ….

“Sahur ya, kak?” tanyaku masih setengah sadar.

“Belum! Baru jam setengah tiga lebih.”

Seketika alisku berkerut tak senang.

“Kenapa udah dibangunin?!” gerutuku kesal sambil kembali mencium bantal.

“Eeeh … malah tidur lagi! Heii, dengerin! Tadi kakak lupa pesan mama, suruh angetin lauk
sebelum tidur. Sekarang lauknya basi semua.”

“Ya, salah kakak dong! Kenapa jadi aku dibangunin gasik gini?”

“Kamu disuruh Mama keluar, beli lauk buat sahur! Mau sahur apa gak? Apa mau sahur cuma
pake nasi?”

Dengan malas-malasan, sambil menggerutu, aku pun bangkit. Ganti baju, pake jeans, ambil jaket
… lalu ke kamar mandi.

“Heeiii …! Ngapain ke kamar mandi? Emang ada yang jualan lauk di kamar mandi?” tegur
Kakak.

“Cuci muka dulu, Kak!” jawabku singkat.

“Bukannya tadi, sebelum ganti baju dan pake jaket?! Udah lengkap gitu, baru ke kamar mandi?”

“Namanya juga orang baru bangun. Mana bangunnya kaget lagi. Ya, belum sadar penuh dong!”
kataku berdalih, padahal lupa.

Kakak tertawa tergelak-gelak.


“Cepetan…! Keburu imshak ntar!” teriaknya lagi memekakkan telinga.

Aku cuma membalas dengan lambaian tangan.

***

Motor kujalankan perlahan sambil tengok kiri-kanan, mencari warung atau restauran yang masih
buka.

‘Jam segini … paling warung padang yang masih buka 24 jam,’ batinku berpikir. ‘Ya udah, beli
lauk masakan padang ajalah ….’

Kuputuskan menuju salah satu rumah makan Padang terdekat. Namun belum jauh motor melaju,
kulihat seorang kakek berjalan memanggul kotak dagangan. Karena tertarik, kudekati dia. Di
kaca kotak dagangannya tertera tulisan: ‘Sate Ayam dan Lontong’.

Aku pun berhenti, menjajarinya seraya menyapa, “Pak … jualan sate, ya?”

Kakek itu menatapku seraya tersenyum ramah ….

“Iya, Mas…”

“Masih gak, Pak?”

“Masih, Mas. Mau beli?”

“Iya, Pak.”

Kakek itu lalu menurunkan dagangannya. Ia duduk di sebuah bangku kecil dari kayu, lalu
dengan cekatan mempersiapkan olahan satenya.

“Berapa tusuk, Mas?”

“Masih banyak, Pak?” aku balik bertanya.

“Ada … 60 tusuk. Lontongnya masih delapan potong.”

“Ya udah, semua aja deh, Pak”

Kakek itu mengangguk. Ia pun mulai sibuk mengolah sate. Karena tidak ada bangku lain, aku
pun nongkrong di dekat kakek itu. Iseng-iseng, sambil nunggu sate matang, aku ajak kakek itu
mengobrol ….

“Udah lama jualannya, Pak?”

“Udah puluhan tahun, Mas”


“Ooh … udah lama, ya. Sampai sekarang masih jualan aja, Pak?! Gak cape? Maaf …, Bapak kan
udah lanjut usia gini.”

Kakek itu tersenyum.

“Tadinya saya memang jualan setiap hari … dari sore sampai malam, kadang sampai pagi. Tapi
sekarang udah enggak … udah gak kuat lama di luar, Mas,” balas Kakek itu.

“Trus, kenapa sekarang masih jualan juga, Pak? Sampai pagi gini lagi.”

“Sekarang saya jualannya cuma kalau bulan puasa, Mas. Sengaja jualan saat menjelang sore dan
menjelang subuh.”

Alisku berkerut, heran. “Kenapa, Pak?”

“Sambil mencari amal sebanyak-banyaknya, Mas. Siapa tahu ada orang yang sedang bingung
mencari lauk untuk berbuka atau untuk sahur. Seperti Mas ini, beli untuk sahur, kan?”

Aku terbengong ….

“Jadi Bapak yang udah merasa tua, udah gak sekuat dulu lagi, udah gak jualan seperti biasa, tapi
tetap sengaja berjualan malam … sengaja untuk berjaga-jaga kalau ada orang yang kebingungan
cari lauk buat buka atau sahur?”

Kakek itu tersenyum sambil mengangguk ….

“Saya ingin menambah amal dengan melayani orang yang berpuasa, Mas. Dan saya senang bisa
melakukannya. Kalau orang itu atau Mas tidak punya uang pun, saya ikhlas memberinya,” ucap
si Kakek. “Melayani satu orang yang berpuasa, sama pahalanya dengan orang yang berpuasa itu.
Saya ingin dapat melayani sebanyak-banyaknya. Cuma itu yang bisa saya lakukan, untuk
menambah bekal saya ke akhirat kelak.”

Subhanallah ….

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Barang siapa yang membantu persiapan orang berjihad maka dia juga telah berjihad.” (HR. Al
Bukhari No. 2843)

“Barangsiapa orang yang mau memberi makanan untuk orang yang berpuasa pada saat berbuka,
maka niscaya ia akan mendapatkan pahala yang semisal orang yang berpuasa tersebut tanpa
mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun.” (HR. At Tirmidzi, beliau berkata,
“Hadits Hasan Shahih”)

Aku terdiam … terharu mendengar kata-kata dari kakek tua itu. Setua ini, mempunyai sikap dan
pengertian sedalam itu, pastilah ia seorang soleh yang cukup tahu banyak tentang agama. Namun
tetap merasa belum cukup bekal untuk dibawa menghadapNya. Apalagi aku yang masih semuda
ini, bila tiba-tiba dipanggil olehNya …?

Sebuah renungan dari seorang kakek tua penjual sate … memberi sebuah sahur yang berkesan
untukku.

Kesan yang ‘kan selalu menimbulkan tanya dalam sanubari …, sudah cukupkah amalku atas
dosa, saat kapanpun dipanggil pulang menghadapNya?
MELEPASMU DENGAN SENYUMAN

Aku gadis kecil kelas 5 SD. Menatap tajam dengan senyuman ke arah liang lahat yang tak terlalu
dalam. Tapi seolah-olah di dalam sana ada tempat luas nan indah terhampar.

Orang-orang menatapku dengan sedu. Sedangkan aku masih bisa tersenyum dan sedikit tertawa.

Di tempat lain. Bapak dan nenekku masih tak sadarkan diri. Keluarga masih berduka.

Tapi tidak dengan aku. Ada kebahagiaan di dalam kesedihan. Ada senyuman saat perpisahan.

Bagi orang-orang, itu sungguh tidak wajar. Apakah aku gila? Mungkin. Karena aku sendiri tak
paham dan tak bisa menjelaskan dengan kata-kata.

Segalanya terjadi dengan cepat. Hingga aku tak bisa menyimpulkan apapun saat itu. Yang ku
tahu aku sudah tak ber ibu.

Cuma berselang sekian menit kebahagiaan menjadi duka. Awalnya semua orang berbahagia
menyambut adik kecilku yang mungil. Ya,,,keluarga kami sudah menantikannya bertahun-tahun.
Terutama aku yang sangat ingin menggendong Adikku sendiri. Aku iri dengan teman-teman
yang sudah punya adik.

,,,,,,,,,,,,,,

Di sebuah sumur ku cuci kain batik bekas ibuku. Kusiram dengan air yang ku timba dari sumur
Simbah. Dengan seketika jamban berubah jadi lautan darah.

Tak bisa ku bayangkan berapa liter darah yang keluar. Yang pasti, ku bilas sampai tujuh kali
masih juga ada darahnya.

Ku abaikan bau anyir dan tanpa jijik ku kucek kain yang penuh lumuran darah. Yang kurasakan
hanya rasa syukur, karena Allah telah mengabulkan doaku. “Asiiiikkk,,,,,,Aku punya adek kaya
temen-temen.”

,,,,,,,,,

Tiba-tiba ada kabar yang langsung menghantam jantungku. Ada seseorang berteriak. Ibuku telah
tiada.

Aku belum sempat melihatnya, bahkan kain yang kucuci pun belum bersih.

Seketika kain yang ku pegang terbanting ke tanah. Aku berteriak kembali , bertanya memastikan
apa yang ku dengar.

“Ada apa??
Emakku kenapa???”

Tak ada yang menjawab.

“Sabar ya nduk, sabar. Sek iklas.”

Setiap orang hanya berkata seperti itu.

“Ada apa???” Aku masih terus bertanya.

Dan mereka tak ada satupun yang memberi jawaban dengan jelas.

Tangis ku meledak.

“Emaaaakkkk,,,,,emakku dimana??”

Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah.

,,,,,,,,,

Air mata dan isakan tangis terdengar di mana-mana. Masih dengan pertanyaan yang sama dan
lagi-lagi tak ada yang memberi jawaban.

Ku perhatikan isakan orang-orang, lalu ku pahami bahwa seseorang telah tiada. Ibuku, ibuku
tercinta telah pergi.Hari itu seakan jam dinding berhenti berdetak. Angin berhenti bertiup. Bumi
berhenti berputar.

Tubuhku tiba-tiba lemas tak bertenaga. Separuh tersadar aku di gendong ke rumah tetangga.

Aku masih meraung, meratap. “Hiiiiks,,,hiks,,,aku sudah tidak punya


emaaak….huaaaaaa,,,,emak,,,,,huaaaaa.
Aku nanti sama siapa,,,,????”

“Tau begini aku tak minta adek.”

Sempat ada penyesalan.

,,,,,,,,,,,

Aku masih Ter Isak saat jenazah ibuku datang. Semua orang menatapku nanar.

Sempat aku menyalahkan Tuhan. Aku bilang “Tuhan sungguh tidak adil. “

Bertahun-tahun aku di tinggal ortu merantau di kalimantan sebagai pedagang kain kasur keliling.
Setelah ibu hamil besar baru tinggal di rumah.
Kunikmati hari-hari itu. Dibuai rambutku, di suapi makanku. Aku bahagia walau cuma satu
bulan sebelum ibu melahirkan.

,,,,,,,,,,,,

Kini tiba-tiba dunia berputar 360 derajat. Keceriaan yang ku nantikan hanya jadi impian yang tak
akan pernah terwujud.

Di pojok ruang aku masih meneteskan air mata. Ku lihat semua orang masih tersungkur,
menangis meratap.

Dalam hatiku, “Ini tak benar. Kematian seseorang tak boleh di ratapi. Kami harus iklas. Karena
semua yang bernyawa pastilah mati. Dunia ini hanya titipan Allah semata, Dia berhak
mengambilnya kapanpun dia mau. Kita sebagai hamba hanya mampu mengiklaskan apapun yang
jadi kehendak-Nya. Toh inshaAllah ibuku mati sahid dan tempatnya surga.”

Tiba-tiba ada kekuatan Maha besar masuk ke dalam sanubariku. Menguatkan imanku,
menghantarkan energi positif dalam tubuhku.

Aku bangkit, menuju kamar mandi. Ku siram seluruh tubuhku. Ku ambil air wudlu. Kemudian
aku sholat Dua rokaat. Entahlah, sholat apa itu. Sampai sekarang aku pun tak tahu. Dalam sholat
ku sebut nama ibuku berkali-kali. Setelah selesai ku adukan keluhku kepada sang pencipta, aku
menuju ke tempat ibuku di istirahatkan.

Aku masuk kedalam ruangan dengan aura ketegaran. Kulihat di sekeliling hanya ada isakan.
Kulihat jenazah ibuku. Ku tatap dengan senyuman. Sayang aku tak bisa melihat wajahnya,
padahal aku ingin sekali.

Aku mendekat tapi seseorang menahanku. Mungkin mereka takut aku meratapinya.

Tak lama kemudian beberapa orang sudah bersiap berdiri berjajar. Sholat jenazahpun dimulai. Di
barisan belakang, barisan wanita hanya ada aku dan kakak sepupuku.

Kenapa tak ada yang lain? Kemana mereka?

Ya,,,,semua keluargaku tak ada yang sanggup berdiri. Mereka masih tak percaya dengan apa
yang terjadi.

,,,,,,,,,

Semua prosesi ku ikuti sampai selesai. Bahkan aku ikut mengantarkan ke pemakaman.
Sepanjang jalan semua orang menatapku heran.

Ibuku tercinta, kumelepasnya dengan doa dan senyuman. Ku berikan penghormatan terakhir
dengan menabur bunga mawar. Ku tinggalkan beliau dengan keyakinan bahwa para malaikat
akan menjaganya.
,,,,,,,,,

Sampai selesai aku tak meneteskan setitik air mata pun.

Karena aku yakin, ibuku tempatnya adalah surga. Kenapa mesti ku tangisi. Harusnya aku
bahagia, karena beliau sudah sampai pada janji bersama Rabb nya.

Aku harus melanjudkan hidup. Aku harus terus tersenyum menghadapi manis pahitnya
kehidupan. Ku ciumi adikku. Ku lantunkan doa-doa. Hanya dia penyemangatku saat itu. Hanya
Allah yang mampu mengambil dan mengganti apapun di dunia ini. Ku syukuri adikku masih
selamat dalam perang itu. Perang antara hidup dan mati demi kelangsungan keturunan nabi
adam.

Harapanku, apa yang di tinggalkan ibuku menjadi investasi terbesarnya. Di dunia dan akherat. ”
Salah satu yang bisa menolong kita di akherat adalah doa anak sholeh.”

So sayangi ke dua orang tua kalian. Terutama ibu. Karena nabi menyebut “ibu” tiga kali. Baru
“bapak”.

Aku rindu ibu……..

\
Tinta hitam

Mungkin rasa itu terlalu dalam yang tumbuh di antara kita, lebih tepatnya aku. Sebab sampai
sekarang ini masih memikirkanmu, tetapi entah dengan kamu di sana. Dan lalu menganggapmu
sama, sama-sama saling memikirkan.

Tetapi mendadak kau meruntuhkan pikiran yang selama ini ku yakini, bahwa dirimu yang tak
sebentar menemani separoh usiaku sedang ingat padaku. Ternyata tidak hatimu lebih memilih
orang lain dari pada menunggu diri ini yang terjatuh, meski permintaan itu sederhana cuma
menunggu saja. Menunggu aku yang masih membangun hati dan kehidupan untuk masa depan
kau dan si buah hati.

Mereka yang kau bawa masuk dalam kehidupan kita, telah memporak porandakan setiap dinding
yang kemarin ku bangun. Kau tau itu, orang lain hanya membawa angin yang kemudian
meniupkan warna dalam hatimu. Seharusnya kau melihat siapa yang patut kau yakini dan yang
semestinya kau turuti, dia ataukah aku suamimu.

Lihatlah, mereka kini tersenyum melihat kita yang terpisah. Bahkan dia yang dahulu merasa iri
dengan keberhasilan kita meraih sesuatu yang ia juga inginkan. Rumah ini yang kita bersusah
payah mengumpulkannya kini menjadi saksi betapa kehancuran ini.

Aku masih bisa dengan cepat mengatakan “aku sangat membencimu”


Tetapi aku tak tau bagaimana caranya membujuk setiap kenangan yang kau tinggalkan. Kau kini
berdua sedang aku tertinggal sendirian, menjadi abu di tengah gelap malam.

Bukan aku menyesali semua ini, tetapi mimpi-mimpi dalam malamku masih tentang kita dahulu,
dan sungguh aku benci itu. Andai mampu di tukar dengan tetesan air mata, mungkin sudah
cukup untuk sekedar membasuh sebongkah hati yang kerap kesepian kini.

Adakah walau sebentar saja kau mau menatapku lagi , aku tau kau tak akan sanggup. Karena kau
pun tak akan mampu menolak kenangan itu, setidaknya ketika kita bertatap muka.

Dan ku yakin kau masih ingat itu, saat memeluk ku dengan erat, lalu berjanji akan setia
menungguku kembali. Kembali menjadi aku yang dahulu tegar dan kuat menopang kehidupan
dalam genggaman tangan.

Ya ,,, aku selalu kuat,karena ada engkau di belakangku. Lalu bagaimana caranya aku bangkit?
Yang ku harapkan kembali datang kini tersesat dalam pintu rumah orang lain. Kau yang masih
milikku memilih jalan samar itu, hanya karena tak sabar menungguku kembali pulang, pulang
dari kehancuran ini.

Kau tau, bersusah payah aku mendamaikan perasaan ini, untuk sekedar menyadari lalu menerima
semua yang terjadi, tak semudah yang ku pikirkan bila kehilangan itu akan sesakit

ini.
Bahkan aku berharap hujan malam ini benar-benar turun, atau dingin yang menelusup ke dinding
jendela kamar masuk ke pori hati hingga yang tengah terbakar itu memadam. Lalu mata ini pun
terpejam memeluk lagi mimpi indah kemarin, tanpa ada namamu lagi tentunya. Karena hatiku
masih berjuang memgikhlaskan kepergianmu.

Kembalilah dalam titik semula, dimana kita dahulu memulai. Lalu lepaskan aku di sana, jangan
sebut lagi namaku karena aku akan belajar melupakanmu, dan berhenti mencintaimu lagi.
Tawar menawar

“Kalau yang ini berapa bang?” sahut bu Rina rekan kerja bang Dul di Sekolah tempatnya
mengajar.

“Sama aja bu, semua udah disamaratai 120.000 aja!”

“Ihhh kok mahal banget sih bang. Dasarnya juga gak bagus gini, mana jahitannya biasa aja!” Bu
Rina membolak balik sebuah baju yang dimaksud.

Bang Dul menelan ludah. Seandainyapun tak mau membeli kenapa harus menghina juga. Tak
terbayangkan bagaimana letihnya isterinya yang sedang hami tujuh bulan itu menjahit baju- baju
itu.

“Emang sudah segitu bu harganya, gak mahal kok!”

“Udah 50.000 aja ya, saya ambil dua setel bajunya!”

“Maaf bener bu, gak bisa, modal beli dasar bajunya aja sudah 80.000, belum benang, dan lain-
lain termasuk upah lelah menjahit!” Bang Dul berkata jujur.

Dalam menjual dagangan isterinya dia memang tak pernah berbohong soal modal. Dia sendiri
yang membeli bahan- bahan untuk keperluan menjahit isterinya. Dan Ia tahu persis apa- apa
semua di pasar sekarang naik dan gak ada lagi yang murah.

Ia memang seorang guru honor di salah satu SMP Negeri di kabupatennya. Berapalah honornya
yang dibayar tiga bulan sekali. Untuk persiapan lahiran, isterinya yang memang pandai menjahit
membuat beberapa potong pakaian yang sekarang ia pasarkan di SMP tempat ia bertugas.
Lumayan pikir mereka untungnya bisa untung nyicil beli popok dan baju untuk calon anak
pertama mereka.

“Udahlah ibu- ibu jangan ditawarlah, kan harganya sudah murah, lagian kan kawan- kawan yang
PNS barusan udah dapat THR dari pemerintah, mana besarannya naik lagi!” Bu Anis bendahara
di sekolah itu berkomentar. Bang Dul mengangguk setuju. Tolong jangan ditawar lagi pekiknya
dalam hati.

“Ihhh bu Anis mah kayak gak tahu kebutuhan ibu- ibu, yang namanya belanja mah harus ditawar
semurah mungkin!” Bu Ris guru Matematika yang kali ini berkomentar.

Bu Anis Cuma geleng- geleng kepala dan berlalu.

“Ayolah Bang Dul 50.000 ya!” Bu Rina berkata lagi.

“Jangan bu, rugi saya bu!” Bang Dul memelas.


“Ih kok pelit banget sih! Gak berkah lo jualannya nanti!”
“Astagfirullahaldzim, beneran bu gak bisa kalo 50.000, itu sudah harga pas!”

“Ih bang Dul, kok gak toleransi banget dengan kita- kita teman kerja. Udah sekarang saya
tambahin dua setel 150.000 ya!” Bu Anis menimpali.

Bang Dul menggeleng. Siapa yang tak toleransi coba? Bu Rina dan bu Risk an PNS, sedangkan
ia apalah coba Cuma guru honor!

“Ya sudahlah bu ibu kalau gak ada uang ya jangan belilah, kan kasihan bang Dul ditawar
melulu!” Bu Shanty menimpali. Ia juga dari tadi ikul memilih- milih baju.

“Nih bang Dul saya ambil dua ya, 240.000 kan?”

“Oh ia bu Shanty!” Bang Dul sumringah. Diambilnya uang sejumlah 250.000 itu. Melipat dan
membungkus dengan rapi dua setel baju itu dan menyerahkannya kepada bu Shanty beserta
kembaliannya.

“Udah ambil aja, bang, untuk beli cendol buka ntar he he!” Bu Shanty berlalu.

Sepele mungkin bagi bu Shanty uang 10.000 yang diberikan tapi bagi bang Dul 10.000 itu berarti
1 kg beras yang berarti ia tak perlu pusing untuk memikirkan uang beras selama 3 hari kedepan.
Berkali- kali bang Dul mengucapkan terimakasih yang disambut tawa saja oleh bu Shanty.

“Ih sok kaya bener pake ngelebihin segala!” Bu Rina berkomentar.

Bukan sok kaya pikir bang Dul tapi dermawan.

“Ia, padahal Cuma 10.000 juga lebihnya, lagaknya kayak udah ngasih ratusan juta aja!” Bu Ris
menimpali.

Bang Dul Cuma tersenyum. Orang- orang ini pikirnya.

“Ayolah bang, kurang ya harga nya, dua setel 150.000 ya!” Bu Rina menawar lagi.

“Maaf bu, gak bisa!”

“Ihhh bang Dul pelit banget. Sama teman sendiri kok harga dimahalin, gak etis tau! Bang Dul itu
berarti gak mengahargai pertemanan kita!”

“Maaf bener bu, ini gak mahal kok, harga di pasar malah lebih mahal!”

“Ya udah aku beli di pasar aja kalau gitu!” Bu Ris berusaha mengancam.

“Ia nggak apa- apa bu, mau beli di pasar juga gak apa. Saya gak maksa!” Bang Dul berkata
pelan.
Bu Rina berbisik kepada bu Ris. Seperti ada kesepakatan diantara mereka.

“Ya udah bang Dul, jangan gak jadi ya! Biar kita sama- sama senang. Saya ambil dua setel, bu
Ris ngambil 2 setel. Semuanya kami 350.000 oke? Gimana? Adilkan?” Bu Rina memutuskan.

Bang Dul terdiam sesaat. Tanpa basa- basi bu Rina dan bu Ris langsung membungkus belanjaan
mereka sendiri.

“Tapi bu, itu artinya satu baju harganya gak sampai 90.000, rugi saya bu!” Bang Dul berkata
pelan.

“Udah ah bang, jangan banyak protes. Pokoknya kita berdua minta ikhlasnya, titik!”

“Ia bang, sama temen kantor juga, he he he!”

Bang Dul mengangguk. Mau apa lagi. Tak etis rasanya ia merebut kembali baju- baju yang
sudah dibungkus teman sekantornya itu.

Bu Rina dan Bu Ris langsung berlalu.

“Lo bu, uangnya mana?” Setengah berteriak bang Dul memanggil.

“Ih bang Dul norak banget sih, gak percaya dengan kita ya? Kita kan PNS lo, bukan honor,
uangnya bulan depan kita cicil ya!” Bu Rina berkata setengah mebentak.

“Tapi bu, itu modal bu!”

“Bang kok gitu sih, kayak kita maling aja. Kita pasti bayar kok. Tapi nanti.” Bu Ris menegaskan.

Bang Dul diam.

“Yuk Bu Ris!”

Dan kedua ibu- ibu itupun berlalu.

Bang Dul melipat barang dagangannya dalam diam. Sakit, ada yang tergores di dalam hatinya.
Dadanya pun terasa sesak .

“Yang ini mak, yang ini cocok dengan ayuk!” Rani anak bu Susi pegawai honor di sekolahnya
memanggil ibunya.

“Jangan nak, jangan, ini jualan pak Dulah, jangan diberantakin!” bu Susi membereskan baju
yang dibongkar anaknya.

“Biar aja bu Susi, mungkin Rani mau lihat- lihat!”


“Nggak kok bang!”
“Rani mau yang ini mak, mau yang ini!”

“Jangan nak, emak belum ada uang, nanti ya!” Bu Susi memebreskan kembali baju- baju yang
dibongkar kembali oleh Rani.

Kasihan bu Susi pikir bang Dul. Suaminya meninggal karena tabrak lari ketika ia sedang ngojek.
Semenjak itu hidup janda itu hanya bergantung dari gajinya sebagai guru honor di SMP nya.
Sesekali Rani anaknya ikut ke kantor bila tak ada orang yang bersedia dititipkan Rani.

“Rani, mau yang mana?” Bang Dul mendekati, gadis kecil berusia 5 tahun ini.

“Yang ini pak!” Rani menunjukkan sebuah gaun bermotif kembang- kembang berwarna pink.

“Cocok banget untu Rani!” Sahut bang Dul.

“ Ia pak, Rani mau yang ini!”

“Gak boleh nak, ayo kita jajan ya, kita jajan!” Bu susi menarik tangan Rani.

“Nggak mak, Rani mau baju!” Rani merengek.

Raut muka bu Susi seketika berubah sendu. Ia paham apa yang dirasakan bu Susi, pasti perih
sekali.

Bang Dul membungkus gaun merah muda itu dengan cepat.

“Ini untuk adek Rani lebaran ya!” Bang Dul berkata.


“Tapi bang, aku aku…”

“Gak usah dipikirin kapan bayarnya, minta doanya saja biar lahiran isteriku lancar!” Bang Dul
berkata.

Mata bu Susi berkaca- kaca. Setelah mengucapakan terimaksih yang berkali- kali, ia pamit
menyusul Rani yang sudah berlari kegirangan.

Bang Dul menghela nafas lega. Seperti adara udara segar yang mengalir ke otaknya. Senang
sekali.

“Kok cuma segini sih bang uangnya? Gak sesuai dengan jumlah barang!” Siti isterinya berkata
sambil mengitung ulang uang yang diterimanya.

Bang dagangannya memang laku hari ini. Cuma ya itu dia, hasilnya tak sesuai dengan yang
diharapkan. Hanya sedikit orang yang seperti bu Shanty, alhamdulilah cukup banyak juga yang
membayar sesuai dengan harga yang ia tetapkan, dan sesungguhnya ada juga beberapa yang
bersikap sama seperti Bu Rina dan bu Ris tadi.
“Tadi Rani anak bu Susi abang kasi satu setel, kasihan dek, dia merengek, abang kalo liat Rani
selalu terbayang dengan almarhum bapaknya, kasihan isteri dan anaknya!”

“Ia bang, kalau untuk Rani, adek rela bang. InsyaAllah jadi tabungan kita di akherat. Tapi ini kok
kurang uangnya banyak bang!”

“Ini dek, ada yang belum bayar, itu ada catatannya!”


Isterinya melihat catatan itu dengan seksama.

“Mereka yang ngutang orang mampu semua ya bang. Harganya juga kok bisa jatuh begini
bang!” Suara isterinya terdengar melemah.

Bang Dul Cuma menunduk pasrah. Ia tahu perjuangan isterinya yang sedang hamil besar
menjahit baju- baju ini. Tapi bukan untung yang diraih, untung- untung modal kembali. Ia paham
benar bila bu Ris dan bu Rina ngutang, kalau mereka bilang bakal bayar bulan depan, itu berarti
paling cepat tahun depan hutang itu baru dibayar. Itupun setelah dengan susah payah ditagih.
Dan isterinyapun paham dengan tabiat rekan kerja suaminya itu.

Siti menarik nafas panjang. Raut wajahnya terlihat sedih. Ingin rasanya ia marah dengan
suaminya tapi apa daya, ia tak tega, pastilah suaminya sangat merasa bersalah sekarang.

“Mereka tega ya bang!”

“Sudahlah dek, insya Allah ada rezeki lain!” Bang Dul membelai rambut isterinya.

“Yang sabar ya dek!”

Isterinya mengangguk. Mungkin Allah punya rencana lain pikirnya.

Kringgg… Kringgg. Ponsel jadul berlayar hitam putih berbunyi, Siti meraihnya.

“Siapa dek?”

“Bu Anis bang!”

Bang Dul ragu mengangkatnya. Ada baiknya ia minta pendapat isterinya dulu.

“Tadi bu Anis bendahara abang di kantor mau pesan baju seragam untuk anak- anak dan
keponakannya dek, 10 setel, abang ambil apa nggak dek? Abang bilang tadi insyaAllah dek, ini
orangnya udah nelpon!”

“Terserah abanglah!” Suara Isterinya terdengar pasrah.


“Bu Anis orangnya baik dek, kadang abang juga suka dibantu dia dek di kantor!” Bang Dul
menatap isterinya. Ada rasa tak enak bila menolak pesanan bu Anis. Tapi ada rasa trauma
dihatinya, sebenarnya ia tak yakin dengan karakter bu Anis, apa ia akan membayar sesuai dengan
harga yang ditentukan atau tidak. Tapi bu Anis yang ia tahu sangat baik. Itu saja.
“Bismillah aja bang, ambil aja!”

“Harganya dek?”

“Samain aja 120.000 bang.”

“Apa gak dilebihin aja dek, biar kalau dia nawar baru kita turunin harganya!”

“Gak usah bang, biar aja segitu!”

Bang Dul mengangguk. Isterinya memang baik.

“Assalamualaikum bu Anis, maaf tadi gak diangkat telfonnya! Lagi dibelakang!” Bang Dul
menelfon.

“Ia bu, kata isteri saya bisa bu, ia 10 setel. Dua minggu ya?” Bang Dul menatap isterinya.

Isterinya mengangguk.

“Ia bisa, ia bu, ia, datang aja anak- anaknya nanti diukur oleh isteri saya biar pas. Harganya sama
bu 120.000 bu, oh ia, terimakasih bu. Ia wasalamualaikum!” Bang Dul mengakhiri
pembicaraanya.

“Bu Anis setuju dek dengan harganya, ia bilang langsung transfer uang untuk beli dasarnya”

“Alhamdulilah bang!”

Ting! HP android Bang Dul berbunyi.

“Ambil dek! Mungkin wa dari bu Anis!”

Bu Siti melihat pesan yang masuk.

“Bukti transfer bang!”

Bang Dul mencermati isi wa nya. Membacanya lagi dan lagi.

“Ada yang keliru dek”

“Ia bang, coba wa bu Anis lagi!”

Bang Dul mengangguk.

[Asmlkm, bu maaf uang yang di transfer gak salah? Coba cek lagi!]

[Walaikumsalam, nggak bang Dul, insyaAllah benar!]


[Tapi bu, 120.000x 10= 1.200.000, kenapa ibu transfer 2juta]

[Gak apa- apa bang. Sisanya untuk calon keponakan saya yang ada dalam perut isterimu he he
he!]

Bang Dul menatap isterinya yang ikut membaca pesan itu. Isterinya menggeleng cepat.

[Ya Allah bu, saya dan isteri gak bisa nerima, ini kebanyakan!]

[Yang ngasih kalian siapa coba? Itu untuk calon anakmu bang Dul! Jadi kalian gak berhak nolak!
Ambil aja, awas di transfer balik ya. Dah gak usah dipikirin, anggap rezeki calon anakmu!]

[Ya Allah bu, terimakasih bu, terimakasih, cuma Allah yang bisa membalas kebaian ibu]

[Aamiin. Btw utang bu Rina dan Bu Ris nanti saya potong dari honor mereka yang dianggarkan
dari dana BOS oke!]

[Ya Allah bu, terimakasih banyak bu, terimakasih!]

[Sama- sama]

Bang Dul melihat isterinya yang sudah berurai air mata. Mereka berpelukan. Allah adil, sangat
adil, dan punya cara untuk membahagiakan umatnya.

Sayup terdengar azan dari mushollah memanggil bang Dul yang terbiasa sholat di sana.

End.

Note :
Aku pernah terjatuh dan tersungkur tapi selalu ada Allah tempatku bersandar.
Aku pernah tersesat dan kehilangan arah, tapi selalu ada Allah tempatku pulang.
Aku pernah tertipu dan tersakiti tapi selalu ada Allah tempatku mengadu.
Aku yakin itu.
Hantu Pohon Sawo?

“Bu, nanti sepulang praktik, tolong periksa anak saya juga, ya!”

Aku menatap laki-laki tua itu sejenak. Sedikit heran dengan permintaan tolongnya. Dengan usia
hampir 70 tahunan dan sedang dalam kondisi sakit, dia masih bisa datang kemari sendiri. Kenapa
anaknya tidak? Sakit parahkah?

“Anaknya sakit apa, Pak? Tidak bisa dibawa kemari?”

Meskipun aku sering berganti-ganti hobi, tapi tak pernah sekali pun mengunjungi pasien ke
rumah menjadi salah-satunya. Bukan karena tak berperikemanusiaan. Banyak pertimbangan.
Terutama alasan keamanan, baik bagi pasien maupun bagi diri pribadi.

Bagi pasien, tentu akan mendapat penanganan yang substandar, karena di lakukan di rumah
dengan peralatan medis yang terbatas. Tak mungkin ‘kan aku bawa-bawa semua senjata di
praktikan? Belum lagi kehigienisannya.

Sedangkan untukku pribadi, kalau yang meminta tolong tetangga, atau paling tidak sudah kenal,
tak masalah. Aman insya Allah. Tapi bagaimana kalau ternyata yang memanggil ada modus
lain? Bukan suudzon. Hanya jaga diri. Pernah suatu kali ada dua orang laki-laki yang
mendatangiku di klinik, meminta untuk memeriksa salah satu anggota keluarganya di rumah.
Keduanya berbadan tinggi besar dengan mata merah dan mulut bau alkohol. Kalau seperti itu
wajar kan kalau aku suudzon? Biar penampilan baik-baik, meminta tolong malam-malam, aku
tetap akan berpikir berkali-kali. Memang kewajibanku untuk membantu sesama. Tetapi
bukankah aku hanya bisa membantu, kalau aku sendiri selamat?

“Nggak bisa, Bu. Sakit kepala.” Jawaban si Bapak menginterupsi lamunanku barusan. Sakit
kepala? Oh … mungkin memang sakit sekali, sehingga tak bisa bangun. Baiklah.

“Rumahnya dimana, Pak? Nanti saya usahakan ke sana.”

Dan meskipun bukan hobi, tapi kenyataannya itulah yang selalu terjadi. Aku kalah dengan wajah
iba keluarga pasien.

“Itu, Bu di belakang pohon sawo. Pasien yang biasa Ibu periksa.”

Pohon sawo? Biasa kuperiksa? Ah … dalam bayanganku muncul dua orang pasien, yang
rumahnya di belakang pohon sawo besar, 50 meter dari klinik.

“Oo … ada dua yang biasa saya periksa. Yang laki-laki atau perempuan?” tanyaku memastikan

“Yang perempuan.”

“Gimana kondisinya sekarang. Masih lemes saja? Belum ada perubahan?”


Pasien ini adalah penderita diabetes. Beberapa waktu yang lalu dia memang sering memanggil ke
rumah karena keluhan lambung. Badannya lemas. Dirujuk ke rumah sakit menolak. Akhirnya
beberapa kali aku diminta untuk mengontrol kondisinya.

“Sudah mendingan, Bu. Sudah bisa nyuci baju juga. Cuma ini tadi pusing katanya.”

Syukurlah. Mudah-mudahan pusing biasa.

“Ya udah, Pak … nanti insya Allah saya kesana,” ucapku akhirnya.

Lelaki tua itu pun berpamitan.

***

“Kok tutup ya, Bang rumahnya? Balik saja yuk, udah tidur barangkali!”

Dengan diantar suami, aku sudah tiba di depan rumah yang dimaksud. Tapi pintunya tertutup.
Sepi.

“Kita ketuk dulu, Neng!”

Aku pun mengiyakan. Ku ketuk pintu pelan dan mengucap salam.

“Wa’alaikumussalam. Oh Ibu … silakan masuk, Bu!” Seorang wanita paruh baya membukakan
pintu pada salam pertama. Si pasien. Kulihat badannya segar bugar, tak tampak tanda kesakitan.
Tapi sedikit pucat. Aku pun masuk ke dalam, sementara suami memilih menunggu di luar.

“Apa yang dirasakan sekarang, Bu?”

tanyaku setelah kami duduk.

“Kadang-kadang masih lemes, Bu. Sama mualnya juga. Tapi makan sudah enakan!”

“Pusing?” Aku menanyakan hal ini, karena menurut si Bapak penyampai pesan, pasien
kondisinya sedang sakit kepala dan tidak bisa kemana-mana. Kulihat si Ibu baik-baik saja,
makanya ingin memastikan.

“Nggak!”

Hhmm … nggak sinkron. Tapi wajar, biasa juga begitu. Pembawa pesan kadang hanya dimintai
tolong saja, tanpa tahu sakitnya apa. Tak apa-apa.

“Saya periksa dulu, ya!”


Aku pun mulai melakukan pemeriksaan standar. Dan tak lupa mengecek kadar gulanya. Kadar
gulanya lumayan tinggi, tapi tak masalah. Hanya mungkin nanti perlu mengkoreksi dosis
obatnya. Setelah melakukan edukasi secukupnya, si ibu pun bertanya.

“Ngomong-ngomong tadi Bu dokter siapa yang memanggil ke sini?”

What?! Perasaanku mulai tak enak. Datang malam-malam ke rumah orang saja bukan suatu yang
menyenangkan. Lebih lagi kalau salah alamat.

“Bapaknya Ibu!”

“Saya nggak punya, Bapak. Sudah lama meninggal!”

Wah … wah … apa ini?

“Tadi ada yang periksa di tempat praktik, kakek-kakek, orangnya agak pendek dan gemuk,
rambut putih semua. Dia meminta saya memeriksa anaknya yang katanya rumahnya di belakang
sawo dan sering saya kunjungi. Saya langsung mikir ibulah orangnya.

Karena memang cuma dua orang yang di depan rumahnya ada sawo yang sering saya kunjungi!”
Jawabku panjang lebar lengkap dengan deskripsi Si Bapak Tua. Barangkali ibu itu mengenali.
Meskipun bukan bapaknya, barangkali saudara atau tetangga dekat.

“Nggak ada itu, Bu orang yang ciri-cirinya seperti yang Ibu sebutkan di sekitar sini!”

“Oh … iya, tadi saya juga tanya alamat si Bapak, katanya tinggal satu rumah sama anaknya!”

“Kami cuma tinggal berdua, Bu!”

Fix, aku salah orang.

“Lha terus tadi siapa?” Aku masih penasaran, ditambah malu sangat. Takut dikira mengada-
ngada sama si ibu.

“Nggak apa-apa, Bu. Saya malah senang sekali Ibu kemari. Memang beberapa hari ini saya mau
kontrol tapi belum sempat!”

Aku nyengir. Makasih, Bu sudah menghibur. Tapi … ah.

“Ya udah deh, kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu!” Aku pun berpamitan. Ingin segera
menyembunyikan muka yang entah sudah seperti apa modelnya.

“Ini biaya periksanya berapa, Bu?”

“Tak usah saja, Bu. Biar!”


Sudah seperti ini mana tega menarif. Ya, kalau orangnya sedia uang buat berobat, kalau tidak?
Kasihan ‘kan?

“Jangan begitu, Bu. Nanti saya tak enak kalau mau manggil Ibu lagi!”

ucap Ibu itu sambil menyelipkan uang ke genggaman. Kuambil sebesar biaya cek gula darah,
selebihnya kukembalikan.

“Makasih, Bu. Saya permisi dulu. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam!”

Aku pun mempercepat langkah menuju suami yang menunggu di motor. Untung gelap, jadi
suami tak melihat ekspresi wajahku saat itu. Tanpa bertanya dia langsung menstarter motor
setelah melihatku duduk di boncengan.

Sepanjang jalan, aku diam. Pikiranku menerawang, bertanya-tanya siapakah sebenarnya si


kakek? Orang benerankah? Atau Hantu? Ah … jangan-jangan memang dia penunggu pohon
sawo? Tapi masa bulan puasa begini si dia kelayapan, sih? Bukannya harusnya dikerangkeng,
ya?

Kalau benar-benar manusia, maafkanlah daku. Tak bisa kupenuhi janji untuk memeriksa
anaknya malam ini. Petunjuk minim. Tak mungkinkan aku mendatangi setiap rumah yang ada
pohon sawonya? Sayangnya juga, selama ini belum pernah menyurvei mana-mana rumah yang
ada pohon sawonya.

Mungkin kapan-kapan bisa dijadwalkan?

End

****
BATU

Pernah mendengar legenda tentang sebuah batu menelan tubuh seorang ibu yang kecewa pada
anak durhakanya?

Kisah itu sudah ada turun temurun diceritakan oleh orang-orang tua jaman dahulu. Dengan
harapan cucu-cucunya akan memetik hikmah dibalik kejadian yang sekilas terdengar layaknya
dongeng belaka.

Tapi tahukah kamu bahwa batu itu memang benar ada? Ya, batu yang menelan manusia itu
nyata. Dia ada.

Selama ini yang kita tahu bahwa di bumi hanya diisi oleh dua benda. Benda hidup, dan benda
mati. Benda hidup adalah segala sesuatu yang bernapas, makan, minum bergerak dan bertumbuh.
Sementara benda mati adalah kebalikannya.

Itu yang selama ini diajarkan oleh orang-orang terdahulu? Nyatanya ada benda yang berada di
antara hidup dan mati.

Si batu legenda.

Dia tidak bernapas. Tidak juga bertumbuh. Tapi beberapa dari mereka bergerak. Seperti yang
selama ini terpantau di Taman Nasional Death Valley, Callifornia bagian Amerika Serikat. Atau
the Ringing Roks, di daerah Pennsylvania dimana bebatuan di area seluas sekitar 7 hektar itu
mengeluarkan bunyi-bunyi aneh semacam suara atau erangan.

Sementara beberapa batu yang lain lagi, tetap diam sampai ratusan tahun di tempatnya. Tanpa
bernapas, tanpa suara, tapi …

… mereka makan.

Ada semacam penelitian tersembunyi untuk hal ini. Dimana para ahli berusaha mencari tahu dari
mana asal mereka, atau bagaimana bisa mereka hidup dan bertahan. Ada yang bilang bahwa
mereka berasal dari pecahan batu luar angkasa yang terdampar di bumi sebagai meteor ribuan
tahun yang lalu. Tapi ada juga yang bilang mereka adalah jiwa-jiwa tua yang terkena kutukan
para dewa.

Secara teori logika mereka bisa dikategorikan sebagai makhluk yang mempunyai semacam
energi listrik sendiri untuk bertahan hidup. Karena itu keberadaan batu ini seringkali menjadikan
suatu tempat menjadi angker, karena energi listrik bisa menarik mahkluk astral. Tapi untuk lebih
jauhnya, belum ada yang bisa menjelaskan.

Karena itulah hal ini belum pernah diungkapkan ke publik oleh media-media internasional.
Batu menangis yang menelan ibu dari dua anak durhaka itu, adalah salah satu dari si batu
legenda. Jika kau pikir itu hanyalah sebuah mitos atau khayalan para pendongeng … dengar
ceritaku dulu.

Lalu kau bisa menyimpulkan sesukamu.

Namaku Rudolf. Pemuda keturunan Belanda yang lahir dan besar di kota Bandung. Sudah
berhasil mendaki beberapa gunung di Indonesia di usia 24 tahun.

Beruntung, aku mendapatkan seorang gadis yang sama-sama mencintai petualangan. Di awal
bulan kami menikah, lalu sibuk berpetualang dari gunung ke gunung. Menikmati petualangan-
petualangan terakhir sebelum nantinya akan disibukkan oleh jerit tangis bayi dan biaya
sekolahnya.

Lalu di sinilah kami. Di pertengahan perjalanan menuju puncak Rinjani. Ini bukan untuk yang
pertama kali kami mendaki ke sini. Jadi sudah terbilang cukup hafal seluk beluknya.

“Kak!” Deffi memanggil.

Aku yang sedikit terengah karena perjalanan melewati setapak menanjak menuju puncak,
menoleh padanya.

“Hmm?”

Wajahnya sudah terlihat pias oleh keringat. Tapi kecantikan tetap terpancar di sana.
Mengingatkanku saat-saat pertama kami bertemu dulu. Dalam perjalanan menuju puncak
Rinjani. Tanpa sadar kami beriringan walau bukan berada dalam satu team.

Dari sana kami berkenalan. Di tengah kelelahan, dia sempat terjatuh dan terkilir. Lalu aku
menggendongnya. Seperti drama? Ya, karena drama bukan cuma ada di dunia sinetron saja.
Kehidupan nyata dan keras pun banyak sekali drama di sana.

Bedanya hanya bagaimana sikap kita menanggapinya. Ingin terlihat berlebihan, atau sederhana
tapi mengena. Seperti yang kulakukan setelah itu.

Aku melamarnya tepat seminggu setelah kami pulang dari perjalanan mendaki gunung.

“Kak, aku ingin petualangan,” bisik Deffi di telingaku.

“Maksudnya?” Aku tak mengerti.

“Hmm … kita kan udah sering mendaki dari gunung ke gunung. Apalagi Rinjani. Gimana kalo
kita bikin sesuatu yang beda kali ini?”

“Ayolah, Deff. Kita nggak boleh mengeluarkan ucapan yang terdengar menantang di kawasan
seperti ini.” Aku mengingatkannya. Karena aku tahu apa yang dia maksud.
Kami pernah hampir melakukannya dulu. Menyelinap keluar dari rombongan pendaki.
Menyesatkan diri. Untuk beberapa jam kami menikmati rasanya tersesat dan hilang arah. Tapi
saat suasana sudah semakin mencekam dan kami belum menemukan jalan keluar, Deffi
ketakutan. Begitupun aku. Untung saja kami bertemu dengan salah satu penduduk desa yang
sedang mencari kayu di hutan. Pria tua itu mengarahkan kami menuju jalan keluar sambil
setengah memarahi.

Setiap hutan bukanlah permainan. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Begitupun
dengan para pendaki. Mereka harus tetap sopan dan menaati setiap peraturannya.

Deffi memutar bola mata. Kesal.

“Kak, ini bisa jadi terakhir kalinya aku berpetualang. Kita tahu mungkin sebentar lagi aku hamil
dan sibuk dengan anak-anak kita!” Ketusnya.

Beginilah gadis petualang. Keras kepala.

Aku menghela napas.

“Kak …” Kali ini dia memamerkan mata memelasnya.

“Tapi Deff … gimana kalo kita beneran tersesat?”

“Ada banyak team pencari! Termasuk suruhan keluargaku!” Dia berkeras.

Ya, keluarganya memang termasuk keluarga yang punya pengaruh besar di kota kami. Tak heran
dia sering melakukan apapun tanpa rasa takut.

“Ingat pas terakhir kali kita tersesat kemaren?”

“Inget!”

“Lalu?”

“Aku ambil pelajaran dari situ! Bahwa kita harus benar benar konsentrasi dan mengalahkan rasa
takut. Kamu inget kan betapa sebenernya kita udah deket banget sama jalan setapak keluar dari
hutan? Cuma karena kita panik, jadi kita malah muter-muter nggak jelas. Ayolah, Kak … aku
pengen ngerasain debar-debar itu lagi …!”

Astaga.

Aku tahu dia sulit sekali ditentang. Tapi jujur kali ini aku membenarkan pendapatnya. Bahwa
saat itu kami cuma merasa panik karena ketakutan. Padahal jika kami tenang, jalan keluar sudah
pasti kami temukan.
Deffi menatapku. Memohon. Aku berpaling ke arah punggung pemimpin team yang tetap
konsentrasi pada perjalanan. Sementara beberapa orang di belakangnya sibuk menyimak
wejangan yang ia berikan sambil menikmati pemandangan sekitar tanpa kata-kata melecehkan.

Kami dalam perjalanan setelah melalui pos ke 2. Suasana masih cerah diiringi dengan kicauan
burung di atas pohon-pohon yang menjulang tinggi. Satu dua penduduk desa berpapasan dan
menyapa dengan senyum dan anggukan kepala.

Lalu, beberapa saat kemudian keadaan mulai semakin menyepi.

Kami berjalan semakin pelan. Hingga akhirnya tiga pemuda terakhir melewati kami.

Deffi tersenyum.

“Ayo!” Bisiknya.

Aku menggenggam tangannya. Sempat berdoa agar tidak ada sesuatu yang buruk terjadi. Lalu
setengah berlari kami menyelinap ke balik pepohonan di tepi jalan setapak.

Setiap gunung mempunyai tempat-tempat terlarang untuk didatangi pendaki. Dan Deffi sangat
penasaran untuk hal itu. Kami berdua memang orang-orang yang lebih mengandalkan logika
daripada hal-hal mistik semacam itu. Bahkan kami pernah meneliti sebuah tempat angker apa di
sana memang seangker yang orang-orang bilang.

Nyatanya kami baik-baik saja. Hanya sedikit demam karena kelelahan.

Sampai beberapa saat kami terus berlari. Menurun melewati semak dan pepohonan yang semakin
lebat dan berbau lembab. Dimana cahaya matahari hanya mampu menerobos dari celah
dedaunan yang semakin rindang.

Terdengar suara kicau burung dan siamang saling bersahutan di kejauhan sana.

Sampai akhirnya Deffi membungkukkan badan karena lelah. Tapi terdengar tawanya. Aku
meremas bahunya. Lalu mengamati pemandangan sekitar.

Sepertinya kami berada di cekungan jurang. Terdengar suara gemericik air dari sini.

“Mau cuci muka?” Aku menawarkan.

Deffi mengangguk senang.

“Ingat, Deff. Kita harus kembali ke pos sebelum menjelang malam!” Aku mengingatkan.

“Iya, iya!” Dia tertawa kecil.


Kami berjalan hati-hati melewati semak yang beberapa dahannya berduri atau beranting tajam.
Menuju suara gemericik air yang terdengar semakin nyata di telinga. Mungkin jaraknya hanya
beberapa puluh meter lagi.

“Aah!” Deffi terjatuh.

Refleks, aku menarik lengan berbakut kemeja dan jaket tebal itu. Hingga tubuhnya berada di
pelukanku. Ternyata hanya tersandung sebuah akar.

Hanya sebuah akar.

Tapi entah kenapa aku mulai merasa sesuatu yang tak nyaman. Seperti sebuah firasat.

Udara dingin berdesir. Tercium aroma pepohonan bercampur lumut lumayan menyengat. Samar
terdengar suara binatang-binatang hutan, juga seperti suara desahan.

Shit!

Lalu kusadari Deffi sudah berlari ke arah gemericik air.

“Deff! Tunggu!” Aku berseru.

Suaraku terpantul beberapa kali. Menandakan kami memang berada di tengah sebuah cekungan
dinding-dinding tebing.

Deffi tetap berlari. Jarak kami memang begitu dekat. Mungkin antar 8 atau 10 meter saja. Tapi
dalam hutan berpohon besar dengan semak berdaun rindang, aku cukup sulit menyusulnya.

Mengandalkan pendengaran pada gemericik air untuk menuju ke mana Deffi mengarah. Tapi
semakin lama suaranya tak lagi terdengar.

“Sial!” Aku menggumam saat kehilangan sosok Deffi. Mengedarkan pandangan ke sekitar
dengan rasa cemas yang mulai menjalar.

“Deffi!” Aku berseru lagi.

Terdengar kepak sayap burung-burung yang dikejutkan oleh teriakanku. Lalu hening. Aku
menunggu hingga beberapa detik.

Waktu semakin berlalu. Sinar matahari semakin condong dan berwarna kekuningan. Sementara
aku hanya sanggup berjalan berputar-putar mencari sosok Deffi.

“Deffi!” Aku berteriak.

Hening.
“Deffii!!” Aku berteriak lagi.

Kepak-kepak binatang malam yang terdengar.

“God! Deffiii!!!!”

Aku membungkuk. Merasa lelah dan cemas dalam waktu yang sama.

“Kak …” Hingga akhirnya kudengar suara Deffi pelan. Dari arah yang begitu dekat.

Cepat, aku menoleh.

“Oh, shit!” Aku berseru.

Kulihat tubuh Deffi terselip di celah sebuah batu besar yang tingginya sekitar dua meter. Terlihat
airmata mengalir membasahi kedua pipinya.

“Deff!” Tadinya kupikir dia terjebak. Tapi … saat menarik tubuh mungil itu, baru kulihat ada
sesuatu yang aneh.

Celah batu itu, seperti sedang menghisap.

“Biarlah aku ditelan batu ini. Karena aku tahu kamu sudah mencintai orang lain di belakangku.”
Dia setengah terisak.

“Mencintai siapa, Deff?!” Aku berseru.

“Deffa …” Dia mengucapkan nama itu.

Nama saudara kembarnya. Gadis bermata indah yang berjalan mengiringi langkahku yang tengah
menggendong Deffi di punggung.

Kami bertiga semakin dekat setelah kejadian itu. Celotehnya lucu, hingga membuatku tergelak
tanpa sadar. Padahal aku bukan orang yang mudah tertawa. Sementara Deffi hanya sesekali
menimpali sambil mencuri-curi pandang ke arahku.

Saat aku melamar Deffi, Deffa menangis di hadapanku. Aku membelainya seperti seorang kakak
menenangkan adiknya.

Sebatas itu. Ya, cuma sebatas itu.

“Deffi, kamu salah paham!”

“Aku nggak salah paham!” Dia berkeras.

“Kamu sayang dia, tapi kamu merasa bersalah setelah membuatku jatuh dan terluka.”
Aku terdiam.

“Aku benar kan …” isaknya. Dengan tubuh mulai terbenam.

Ingat cerita tentang batu yang menelan seorang ibu? Saat itu sang ibu menangis sambil
menyalahkan anak-anaknya. Sama seperti yang Deffi lakukan saat ini. Dia tengah menangis dan
menyalahkanku.

Batu ini … punya aura untuk membangkitkan rasa sedih dan kesakitan. Karena itu, mereka yang
akan tertelan hanya pasrah karena merasa hidupnya tak lagi diinginkan.

Tapi aku bukan anak kecil yang hanya menangis memohon agar sang batu mau membuat ibunya
keluar. Aku akan berusaha semampu yang aku bisa!

Aku menarik lengan gadis itu.

“Itu nggak benar, Deff! Aku pilih kamu karena aku cinta!” Aku berseru.

Tubuhnya tertahan, dan semakin terbenam. Sementara suasana sudah mulai semakin gelap
menjelang malam.

“Kak … aku tahu …”

“Deffi!” Aku membentak.

“Kak, lepasin …”

“Deffi! Kalau kamu pergi … aku nggak tau harus menghabiskan hari tua sama siapa!”

Baru kali ini, aku mengatakan hal yang terdengar begitu … aneh. Tapi itu kebenarannya.

Kadang ada kenyamanan yang tak perlu dijelaskan. Seperti yang kurasakan tiap kali bersama
Deffi. Meski dia terlihat begitu keras kepala. Tapi aku suka caranya mengurus keluarga kecil
kami.

“Please, Deff … please. Bantu aku ngeluarin kamu dari batu ini … please …” Suaraku berubah
serak saat berkali harus memukul celah batu yang menggamit tubuhnya.

Semuanya sudah menjadi gelap kini. Aku menyalakan senter kecil yang terpasang di atas topi.
Udara dingin berdesir kian menjadi. Kali ini diiringi dengan suara kukuk burung hantu dan
auman srigala di kejauahan.

Deffi mulai menggeliat. Ingin mengeluarkan diri. Tapi batu itu masih menahan tubuhnya yang
semakin tenggelam.
“Kak …!” Deffi menatapku ketakutan saat merasakan tubuhnya terhisap semakin dalam. Kini
bahkan yang tersisa hanya kepala, sebagian kaki dan tangan. Sementara yang lain sudah tertutup
oleh batu, meski aku berusaha memecahkannya dengan palu pemasang tenda yang kubawa.

“Deff! Berusaha keluar Deff!” Aku semakin keras memukul-mukul batu yang sedang berusaha
menelan itu. Sementara tengkukku terasa merinding.

Batu ini punya semacam energi listrik yang membuat makhluk astral tertarik untuk mendekat.

“Kak!” Deffi berseru tertahan.

Aku menoleh ke belakang. Kulihat itu. Sosok putih yang melayang dari kejauhan. Berhenti di
samping sebuah pohon besar tak jauh dari kami. Berdiri di situ. Sementara udara dingin semakin
membuat tengkuk dan lengan merinding.

“Asta … firullah …”Deffi berucap terbata lalu memejamkan mata.

Aku menoleh lagi. Kali ini kulihat sosok tinggi besar berwarna hitam dengan sorot mata
kemerahan.

Diiringi debar jantung semakin menggila. Aku menarik kedua lengan Deffi.

Berhasil. Gadis itu mulai tertarik keluar sedikit demi sedikit. Entah karena batu itu mulai
melemah, atau karena aura kesedihan Deffi tak lagi kuat.

“Kaak!” Deffi tercekat. Wajahnya memucat.

Aku berusaha tak menoleh. Tetap berusaha mengeluarkannya dari batu itu dengan memeluk dan
menariknya.

Tubuh Deffi terseret keluar, semakin keluar, sampai kulihat sesuatu di dalam sana. Di dalam
celah batu itu. Di mana terlihat wajah Deffa menatapku dengan penuh kesedihan.

“Kenapa menikahi Deffi, Kak …?” Bisiknya waktu itu.

“Aku harus, Fa …”

“Tapi kita saling cinta.”

“Aku udah bikin Deffi kehilangan satu jari tangannya karena kecerobohanku memainkan pisau
…”

Deffa menatapku lama. Semakin deras airmatanya. Itu alasan sebenarnya, kenapa saat malam
pertama aku tak menyentuh Deffi sama sekali.

“Kak! Kamu tertelan …!” Deffi berteriak histeris.


Aku menatapnya nanar. Sementara di belakangnya, sosok-sosok itu semakin banyak
berdatangan.

Sosok wanita berwajah pucat dengan gaun putih panjang, sosok tinggi hitam besar, sosok
manusia terikat kain kafan dengan rongga mata hitam, juga anak-anak kecil berwajah tirus dan
bertaring panjang. Mereka semakin mendekat. Diiringi lengking tawa yang semakin ramai.

“Kaaakk!!!”

Batu yang menelan manusia itu bukan hanya legenda. Itu memang ada. Dia memancarkan aura
kesedihan dan pikiran negatif untuk menelan mangsanya. Lalu akan menjadikan korbannya
menjadi bagian dari sebongkah batu. Hanya pikiran positiflah yang bisa membuat seseorang
terbebas darinya.

Karena itulah para tetua penjaga hutan selalu mengingatkan untuk tidak bicara atau berpikir
negatif saat melakukan pendakian. Dan para pelanggar akan hilang tanpa pernah ditemukan.

“Kaaak!!”

“Kaak!!”

“Kaak!!”

End
MAMAK

Aku hanya tak mau mamak melihat setitikpun air mataku jatuh di hadapannya. Di masa kecil aku
begitu cengeng, sedikit-sedikit menangis, ditinggal sebentar menangis, kurasa mamak pasti
bosan melihat aku menangis. Tapi kali ini aku menangis karena rindu mamak yang dulu.

Mamakku yang setiap pagi selalu meneriaki aku bangun ke sekolah. Mamak yang tak henti
mengomeli kalau aku malas membantunya. Tapi mamak juga tak lelah membuat makanan enak
untuk keluarga. Dan itu juga salah satu yang aku rindukan.

Mamak yang dulu, adalah seorang wanita yang energik. Paginya dihabiskan untuk membereskan
pekerjaan rumah tangga. Tangannya begitu cekatan, dalam hitungan menit beberapa pekerjaan
beres. Mamak tak pernah mau ambil pembantu, karena ia sering tak puas dengan pekerjaan orang
lain. Walau sering ia mengeluh lelah dan mengomeliku yang malas membantunya, pun esok
harinya mamak masih harus mengulang pekerjaan rumahnya.

Mamak hanya tamatan SD. Ekonominya waktu itu membuat ia harus puas mengenyam
pendidikan sampai kelas 6 saja. Di usianya yang sudah 46 tahun, mamak diterima bekerja di
sebuah toko cincin batu dan belajar bahasa inggris. Aku senang melihat mamak kala itu lebih
banyak menerima pengetahuan di luar rumah dan bertemu teman-teman baru yang pemahaman
agamanya baik. Dibandingkan sebelumnya, mamak hanya duduk menonton tv dengan acara
gosip.

6 tahun mamak bekerja sebagai karyawan di toko itu, toko milik seorang tetanggaku yang
dibilang cukup berada. Dari gajinya, mamak bisa membantu perekonomian keluarga, mamak
bisa beli hape layar sentuh yang selama ini tak pernah dimilikinya. Mamak juga tak perlu lagi
bersusah payah menyisihkan uang bulanan yang diberikan bapak untuk sekedar membeli gamis
seharga 50 ribuan. Ia sudah punya gaji sendiri, sehingga tak perlu pusing-pusing mengirit uang
belanja.

Mamak hobi belanja tapi bukan untuk menghabiskan uang cuma-cuma. Ada kebutuhan rumah
yang dibelinya. Dalam seminggu biasanya 3 kali ia mengajakku jalan-jalan sekedar melihat-lihat
atau makan bakso. Dan itu jadi rutinitas kami berdua.

Itu mamakku yang dulu. Terakhir kali aku melihatnya pagi itu, mamak tersenyum senang karena
sudah berhasil mendaftarkan BPJS keluarga. Sudah lama betul dia membujuk bapakku yang kala
itu masih masa bodoh dengan program BPJS. Pagi itu, hari Jum’at aku menemaninya mengambil
formulir. Wajah mamak begitu berseri-seri.

Tak kusangka, wajah yang berseri-seri itu kini kulihat bersimbah darah terbaring di ranjang
rumah sakit. Pipi kanan mamak yang berlesung saat tersenyum itu koyak sepanjang 10 senti.
Tubuh mamak yang selalu energik kini terkulai tak bergerak. Darah terus mengucur dari
mulutnya. Sesekali mamak terbangun memuntahkan darah hitam yang pekat kemudian kembali
tak sadarkan diri. Beberapa kali perawat mencoba menyadarkan mamak, tapi mamak masih tak
membuka mata.
Malam itu di jalan sepulang kerja dari shift sore, mamak yang mengendarai motor matiknya
bertabrakan dengan truk kontainer. Motornya hancur, demikian kondisi mamak tak sadarkan diri
dengan pipi yang robek.

Aku hanya terdiam melihat mamak tergeletak tak berdaya di ranjang rumah sakit. Rasanya tak
percaya. Tadi pagi aku masih melihat cerianya, tapi malam ini… Kupanggil pun ia tak
mendengar. Air mataku kering melihat tubuh dan wajah mamak bersimbah darah. Aku mungkin
bukan anak perempuan yang tegar, tapi air mataku membeku.

3 minggu mamak koma. Beruntung setelah dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, mamak
berhasil dioperasi akibat adanya pendarahan di otak. Tapi belum sembuh sedih di hatiku, kini
aku harus menyaksikan bahwa tubuh kiri mamak lumpuh. Tidak bisa digerakkan sama sekali.
Dokter bilang, itu hanya soal waktu, 5 atau 6 bulan pasca operasi mamak akan sehat seperti sedia
kala.

Sekarang sudah tahun kedua pasca operasi, mamak sudah begitu banyak perubahan. Tapi yang
masih mengiris hatiku, adalah mamak masih belum bisa bergerak dengan kaki dan tangan
kirinya. Hari-harinya kini di habiskan di sebuah kasur lantai, berbaring dan duduk di sana
sepanjang hari. Makan dan minum, hingga buang air pun dilakukan di tempat. Kaos oblong
longgar dan celana pendek kini jadi pakaian mamak sehari-hari. Padahal dulu, mamak adalah
wanita modis untuk masalah pakaian. Koleksi kerudung dan tasnya, semua warna selalu senada.

Kini, semua itu tak akan lagi bisa dikenakannya. Hatiku diam-diam menangis dengan keadaan
mamak, kadang berteriak juga di dalam hati, tak tega melihat orang yang selama ini selalu
bersemangat menyediakan segalanya kepada kami di rumah kini untuk menggaruk pun ia tak
bisa.

Wajah mamak yang dulu halus kini tampak tak terurus, guratan-guratan halus melukis di
wajahnya diikuti bekas jahitan dari pipinya yang robek. Tubuhnya kurus, rambutnya rontok.
Sudah 2 tahun ia hanya di rumah. Padahal dulu bisa dibilang mamak paling hafal setiap tikungan
di jalan kota.

Sekarang ia hanya bisa menyaksikan perubahan kota dan makanan-makanan baru di televisi.
Kadang ingin kuajak mamak jalan-jalan, pasti mamak bosan di rumah selama ini. Tapi apa daya,
mamak tak bisa didudukan di kendaraan beroda dua, sementara hanya itu yang kami miliki.

Jangan tanya tentang pengobatan. Aset-aset bapak sudah tergadai demi kesembuhan mamak.
Hingga tak ada lagi aset yang tersisa kecuali hutang, mamak pun masih tak kunjung bisa
berjalan. Kini untuk kehidupan sehari-hari kami hanya mengandalkan bapak yang
pendapatannya tidak tetap. Untuk makan kami harus apa adanya. Tak lagi seperti dulu, ketika
masakan mamak selalu beraneka ragam setiap hari dan membuat puas lidah siapapun yang
mencicipinya.

Akhir-akhir ini mamak sering kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Ada rasa bimbang di hatiku
melihat hal ini terjadi berulang-ulang. Aku takut ada penyakit lain yang menyerang mamak.
Seperti subuh tadi, mamak kejang-kejang. Entahlah, setelah kejadian kejang itu, mamak semakin
sulit untuk diajak bicara.

Kadang ada obrolan yang tidak nyambung, kadang juga sering tidak mendengar apa yang lawan
bicara ucapkan. Alhamdulillah, mamak masih mampu mendengar suara adzan yang jauh dari
rumah.

Sore ini kubelikan mamak mie ramen. Ia makan dengan lahap dan bercerita teringat dulu terakhir
kali mengajakku makan mie ramen di sebuah kedai cina. Air mataku hampir saja menetes,
rasanya aku belum mampu membelikan mamak yang lebih enak dari ini.

Seketika aku rindu pada masakan mamak, apalagi capcay nya. Sayang, aku tak pernah bisa
memasak seenak mamak. Kutahan air mata agar tak jatuh di depan mamak yang dulu begitu
susah payah mengandungku di tengah himpitan ekonomi.

Aku masuk ke kamar, segera kutunaikan sholat maghrib. Air mataku tumpah kesekian kalinya,
tak lagi kuasa kutahan. Dadaku sesak berpura-pura tegar di hadapan mamak dan semua orang.
Tangisku pecah mengadu kepada Rabb pemilik semesta. Aku ingin mamak sembuh dan bisa
berjalan lagi. Dan kelak tempat yang pertama kali akan kuajak saat ia mampu melangkahkan
kakinya adalah ke taman surga (majelis ilmu).
Menemukan Dompet

Sudah beberapa bulan aku menunggu panggilan kerja. Rasanya hariku pilu bingung tanpa arah.
Kerjaanku hanya luntang-lantung di rumah. Aku bingung harus ngapain. Ingin usaha tapi tak
punya modal. Suatu hari, kuniatkan untuk bertemu teman-temanku, sekedar berbagi tentang
masalahku ini.

Saat jalan menuju rumah temanku, di samping jalan sedikit ujung dari trotoar, aku melihat
sebuah dompet berwarna hitam. Kuhampiri dompet itu, kubuka, dan kulihat isinya. KTP, SIM A,
beberapa surat- surat penting, tabungan yang isinya fantastis, dan sebuah kartu kredit. Dalam
pikiranku muncul suara agar aku menggunakan isi dalam dompet itu.

Tapi tidak, aku harus mengembalikan dompet ini pada pemiliknya. Tak selang berapa lama
setelah aku pulang dari rumah temanku, kukembalikan dompet itu. Bermodalkan alamat di KTP,
aku menemukan rumahnya di perumahan elit dekat dengan hotel Grand Palace. Kupencet bel dan
kemudian dibuka oleh tukang kebun yang bekerja di rumah itu.

“Permisi, Pak. Benarkah ini alamat Pak Budi?” Tanyaku.

“Iya benar. Anda siapa, ya?” Tanya tukang kebun.

“Saya Adi, ingin bertemu dengan Pak Budi. Ada urusan penting.”

“Baiklah silakan masuk, kebetulan bapak ada di dalam,” Pinta tukang kebun.

Aku masuk dengan malu-malu ke dalam rumah megah pemilik dompet yang kutemukan.

“Ada apa? Siapa Kamu?” Tanya pemilik rumah itu kepadaku.

“Saya Adi, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya menemukan dompet Bapak di trotoar dekat
hotel.”

“Oh, ya silakan duduk, Nak!”

Aku duduk di dekat beliau dan menyerahkan dompet yang kutemukan tersebut.

“Kau tinggal di mana, Nak? Dan bekerja di mana?” Tanyanya dengan penasaran.

“Di kompleks Asri Cempaka, Pak. Saya masih ngganggur sudah berbulan – bulan melamar tapi
belum dapat panggilan.” Tambahku.

“Kau sarjana apa?” Tanyanya.


“Ekonomi Manajemen, Pak.” Jawabku.
“Oke baiklah, Nak. Di perusahaan Bapak sedang membuthkan staff administrasi. Barangkali jika
kamu tertarik bisa ke kantor saya besok pagi jam 9. Ini kartu nama saya.” Sambung Pak Adi
sambil menyodorkan kartu namanya padaku.

“Sungguh, Pak?”

“Iya, Nak. Saya membutuhkan karyawan yang penuh dedikasi dan jujur seperti dirimu ini.”

“ Terima kasih banyak, Pak.” Kataku tidak percaya, ini seperti keajaiban.
Piala Untuk Riska

Aku mempunyai saudara kembar. Namanya Riska. Wajah kami sama. Dan, hobi kami juga sama,
yaitu bermain basket.

Sore hari, kami sedang bermain basket. Tiba tiba bola basket yang aku lempar menggelinding ke
tengah jalan. “Biar aku saja yang mengambilnya!” tanpa melihat ke kanan dan ke kiri, Riska
berlari mengambil bola itu. Tinnn tinn!!! BRAKK!!! Riska tertabrak mobil. Darah mengucur
banyak dari dahi dan kakinya. Mama dan papa keluar dari rumah dan segera membawa Riska ke
rumah sakit.

Seminggu ini, Riska hanya bisa duduk diam di atas kursi roda. Kakinya lumpuh. Aku merasa
sangat bersalah. “Maafkan aku Riska!” aku menangis. “Tak perlu meminta maaf Risa, ini karena
kecerobohanku!” sekarang, aku sudah tak bisa bermain basket bersama Riska lagi.

Langkahku gontai menuju kelas. Serasa tidak semangat jika Riska tidak ada di sampingku. “Risa,
ke mana kembaranmu?” tanya Deni, temanku. Aku pun menceritakan semuanya pada Deni.
“Astaga! Kalau gitu, kamu tadi dipanggil sama bu Susan lho di kantor guru” aku terkejut. ‘Ada
apa mencariku?’ gumamku.

“Seminggu lagi, akan ada perlombaan basket antar sekolah. Kamu salah satunya yang akan
terpilih menjadi anggota tim basket. Desi, Tina, Tasya, Ani, Dinda dan Nindia juga terpilih
menjadi anggota tim basket, jadi, siapkan dirimu!” ternyata bu Susan sudah tahu jika
kembaranku tidak bisa basket lagi. “Ba.. baik bu!”

Seminggu sebelum perlombaan, aku berlatih keras. Riska selalu menyemangatiku. “Semangat!
Kamu harus bisa!” begitu suportnya. Tak tau kenapa, wajah Riska begitu pucat. Aku takut.

Ketika perlombaan, aku hanya ditemani papa. Sedangkan, mama menjaga Riska di rumah.
“Semangat sayang! Kamu pasti juara!” ucap papa sambil mengecup kening Risa. “Siap Pa!”

Tim Risa bermain dengan kompak dan tidak curang. Mereka sportif. Pertandingan dimulai
dengan seru. Tim Risa mendapat 7 poin, sedangkan tim musuh mendapat 6 poin. Dan,
“yeayyyy!!!” Risa berhasil memasukan bola ke dalam ring. Risa sangat bangga dan Risa adalah
menjadi perwakilan dari tim yang menerima piala.

“Riskaa!! Ini piala untukmu…” Risa menjatuhkan piala tersebut melihat Riska terbujur kaku di
atas ranjangnya. “Risa sayang, adikmu telah meninggal dunia.. hiks” mama terisak. Aku jatuh
tersungkur. “Riskaaaa!!!” air mata dengan derasnya berjatuhan dari mataku.

Di pemakaman, Risa menaruh pialanya di dekat nisan. “Jangan taruh situ” kata papa. “Hiks…
hikss.. tidak apa pa, ini piala kemenanganku untuk Riska. Riska, kamu tenang di sana ya!” Lalu,
Risa pun berbalik badan untuk pulang dari pemakaman. Mama dan papanya sudah
mendahuluinya. Risa melihat ada Riska dengan gaun putih melambaikan tangan pada Risa. Risa
membalas lambaian tangannyanya itu.

Anda mungkin juga menyukai