Anda di halaman 1dari 6

Kamuflase

Cerpen Karangan : Lailatul Faqidah

Pemakaman siang itu berlangsung tidak kondusif dikarenakan awak media


memadati tanah lapang tersebut. Ada yang merangsek maju nekat untuk
memperoleh informasi berita terkini, atau hanya sekadar pasrah mematuhi aturan
pemakaman. Sementara dua manusia di sana, ibu dan anak itu, hanya diam menatap
nyaris tanpa riak nisan hitam yang mengukir sebuah nama; Rahedi Wicaksana.
Jangankan jeritan tangis, alih-alih setetes air mata pun tidak ada. Mungkin mereka
sudah tegar, kelewat kebal, atau memang tidak ada yang perlu ditangisi dari
kepergiannya.

Kematian Rahedi Wicaksana seolah menjadi kotak pandora bagi orang-orang


di sekelilingnya. Jasad Rahedi yang ditemukan mengejang di bak mandi, melahirkan
serangkaian konspirasi oleh orang-orang, karena sehari setelahnya tim investigasi
polisi berhasil mengendus dugaan korupsi yang dilakukan oleh lelaki berumur
setengah abad itu. Opini publik digiring jika Rahedi sengaja membunuh dirinya
karena malu ketahuan. Seperti yang diberitakan, Rahedi adalah sosok politikus tanpa
celah, namanya dielu-elukan karena perbuatannya bak malaikat pembawa
kebahagiaan. Namun, hati orang siapa yang tahu?

“Ma, kita pulang, ya,” ajak seorang laki-laki berbisik lembut.

Dialah Angkasa Raharja Wicaksana, satu-satunya putra kebanggaan Rahedi yang


berhasil lulus kualifikasi sebagai seorang jaksa. Pemuda beralis tebal itu menatap
penuh kehangatan ke arah Btari, mamanya. Wanita yang biasa bersikap ramah
dengan senyumnya itu mendadak kehilangan jati dirinya, ia bukan lagi istri Rahedi
yang selalu menatap penuh cinta kepada laki-laki yang sudah mati itu. Berembus
kabar, bahwasannya Rahedi telah memiliki perempuan lain yang diperlakukan bak
permaisuri, mengalahkan dirinya sendiri, sebagai seorang istri yang menemani
selama tiga puluh tahun mereka membina biduk rumah tangga.

Seminggu berikutnya, Angkasa mendapati layar gawainya dipenuhi notifikasi


dari tim investigasi. Ini kasus pertamanya bertugas sebagai seorang jaksa yang telah
disumpah jabatan untuk menegakkan keadilan. Hukum tidak peduli kepada siapa,
termasuk sanak keluarga. Laki-laki itu memicingkan mata mambaca dokumen yang
telah dikirimkan oleh Frans selaku ketua tim investigasi sekitar lima menit lalu. Di
sana, ia mendapati satu fakta baru, sejumlah dana yang teramat fantastis
digelontorkan oleh Rahedi ke rekening seseorang. Lima miliar, total uang yang telah
dikirim secara berkala lima tahun belakangan.

“Lagi lihat apa, sih? Kok serius amat mukanya, pagi-pagi harusnya banyak
senyum.” Btari ada di hadapannya, wanita itu telah menyiapkan sepiring nasi goreng
dengan telur mata sapi, ritual paginya sebelum memulai kegiatan.

Sontak, Angkasa memasang senyum teramat tulus kepada mamanya. Pagi


yang sempurna tanpa kehadiran pria itu. Meski ada sedikit raut kesedihan di wajah
Btari, namun, Angkasa merasa setengah beban yang dipikul mamanya seolah ikut
hilang bersamaan dengan dikuburnya jasad Rahedi seminggu yang lalu.

“Kasus Rahedi Wicaksana, taipan yang menduduki posisi lima orang terkaya
di negara ini. Yang katanya pengusaha tanpa celah, dan kini malah terlilit kasus
korup di akhir hayatnya. Saya akan buktikan kepada Mama, kalau pria itu tidak layak
menjadi bagian dari keluarga kita.”

Btari memandang wajah putranya yang telah dewasa, ada sorot penuh
kekukuhan di mata hitam legamnya. Sebenarnya, sama sekali tidak terbesit
pemikiran bahwa mendiang suaminya itu akan berani melakukan hal sehina ini,
terlebih korupsi demi menghidupi wanita lain. Namun, bagaimana lagi? Terlalu
banyak spekulasi dan tingkah laku Rahedi yang membuatnya gamang. Sudah dua
puluh tahun lamanya pria itu tidak menjamahnya sebagai seorang istri, tepat setelah
kelahiran putra semata wayang mereka.

“Marco, dia salah satu ajudan yang paling dipercaya oleh mendiang ayahmu.”

Angkasa menerima sebuah data dan foto seseorang yang telah dikenalnya
semasa Rahedi hidup. Pria tua berkacamata itu memanglah sering mengawal Rahedi
ke mana pun dia pergi. Tidak heran jika mereka beropini, jika Marco bisa menjadi
saksi hidup bahkan kaki tangan Rahedi. Mungkin juga, pria tua itu ikut menikmati
sebagian uang yang diduga dari hasil korupsi.

“Tapi sebelumnya, Anda yakin mendiang ayah saya yang melakukan tindak
korupsi?” tanya Angkasa skeptis.

“Itulah kenapa kita melakukan investigasi ini, Sa. Lima miliar itu tidak sedikit,
dan itu dikeluarkan selama lima tahun berturut-turut. Yakin, itu hanyalah uang
pribadi Rahedi? Atau … jangan-jangan kamu ingin menutup-nutupi perbuatan
ayahmu?”

Angkasa melotot tidak terima, rasanya sumpah yang telah ia deklarasikan


begitu percuma. Ketika hendak membantah, suara pintu diketuk refleks membuat
mereka berdua berpaling. Pria tua yang menjadi buah bibir mereka sedari tadi tiba.
Marco Gabriel; pengawal, juru bicara, sekaligus tangan kanan seorang Rahedi selama
berpuluh-puluh tahun lamanya. Satu-satunya manusia yang menangis di pemakaman
Rahedi beberapa waktu lalu.

“Selamat datang, Pak Marco. Silakan duduk,” kata Frans beramah-tamah. Pria
itu tersenyum dan duduk dengan bersahaja di antara mereka.

“Baiklah, kita mulai penyelidikan ini. Menurut istri mendiang, menjelang hari
libur Rahedi tidak pernah tinggal di kediamannya, seperti yang kita ketahui
berembus kabar jika Rahedi memiliki madu lain. Jadi, Pak Marco, Anda selaku
pengawalnya, pasti mengetahui ke mana perginya Pak Rahedi selama ini, ‘kan?”

Marco mengangguk, tiba-tiba mengeluarkan kertas kecil dari saku


kemejanya. Kertas itu dipampangkannya di hadapan Frans dan Angkasa. Ketika Frans
hendak mengambilnya, tangan renta itu keburu menahan.

“Sebenarnya, Pak Rahedi sudah mewanti-wanti untuk merahasiakan ini


semua. Tetapi, saya tidak bisa membiarkan kalian mengambil spekulasi sendiri.
Tolong, jika telah mengetahui faktanya, rahasiakan dari Bu Btari. Itu pesan Bapak,
Mas Angkasa.”
Rumah tua bergaya Eropa tersebut terhampar di hadapan mereka. Meski
terlihat mewah, rumah itu tampak tidak terawat dengan pagar besi yang telah
karatan. Di terasnya pun banyak debu yang menutupi warna putih keramik dan pilar
putih gading. Setelah berkutat selama satu jam lamanya perjalanan, mereka akhirnya
tiba. Rumah Rahedi, bangunan yang mereka duga sebagai rumah madunya. Angkasa
memegang knop pintu, tangannya tremor tanpa bisa ia tahan. Perasaan sesak entah
kenapa tiba-tiba menjalari dadanya, rasanya ia begitu takut menerima kenyataan.
Sekitar setengah jam mereka berkutat di sana, namun tidak menemukan bukti
akurat yang mengarah pada kasus perselingkuhan Rahedi. Hingga tiba-tiba, seorang
laki-laki remaja hadir di antara mereka.

Apa mungkin, ini anaknya? Pikir Angkasa tidak tenang.

“Maaf, saya terlambat ke sini. Pak Marco barusan menghubungi saya. Saya
penjaga rumah ini, nama saya Abi,” kata pemuda itu ramah.

“Ah, begitu. Salam kenal Abi, kami dari tim investigasi. Begini, setelah
berkeliling selama setengah jam di rumah ini, hanya pintu di lantai dua paling ujung
itu yang terkunci. Bisa Anda membantu memperlancar penyelidikan ini?”

Pemuda itu malah melemparkan pandangan ke arah Angkasa, seolah


meminta persetujuan. Sementara Angkasa menaikkan alis tidak paham. Ada apa
sebenarnya? Lama sibuk dengan pikirannya sendiri, ia pun sampai tidak menyadari
jika Frans dan anak itu telah menaiki tangga menuju lantai dua.

Angkasa menatap ke segala penjuru kamar, begitu tertata rapi dan teratur.
Persis seolah itu memang dibuat untuk kamar wanita. Ada cermin disertai set
kosmetik merek ternama, dress mewah, deretan parfum keluaran terbatas, dan
beberapa stiletto serta tas kulit mewah. Tidak salah lagi jika—tunggu! Praduganya
berhenti saat melihat foto raksasa yang terpampang di sudut kamar.

Seorang wanita, wanita itu bergaun hijau emerald disertai aksesoris, dan
perhiasan feminim lainnya yang melekat di tubuhnya. Sosok itu tersenyum tanpa
beban hingga lesung pipinya terlihat. Namun, ada yang aneh, sesuatu yang menonjol
di lehernya.
“Pa … pa?”

Kedua orang itu sama-sama terpaku di tempat. Terlebih, Angkasa yang


kehilangan keseimbangannya dan terduduk di ubin yang dingin.

Lama terdiam dengan kekalutan masing-masing hingga suara gawai milik Abi
menggema.

“Halo? Iya, saya sekarang sedang bersama Mas Angkasa saat ini.”

Mendengar namanya dipanggil, sontak Angkasa menatap pemuda itu. Gawai


tersebut diserahkan kepadanya. “Siapa?” bisiknya nyaris tak terdengar.

“Kami dari Rumah Cinta, saya selaku penanggung jawab turut berbela
sungkawa atas meninggalnya Bapak Rahedi. Jika Mas Angkasa berkenan, Mas bisa
berkunjung kemari untuk melihat perkembangan Rumah Cinta yang telah didirikan
mendiang Bapak.”

Rumah Cinta. Bangunan modern itu terletak di jantung kota dan cukup
strategis untuk dikunjungi siapa pun. Didirikan lima tahun silam, rumah itu berhasil
mengobati seseorang yang mengalami mental illness. Mereka sukarela melakukan
itu atas perintah pemilik usaha ini; Rahedi Wicaksana.

“Jadi, lima miliar yang dikirim ke rekening saya semata-mata bukan atas
kepentingan pribadi. Uang itu murni digelontorkan untuk membangun tempat ini
dan juga menggaji sejumlah psikolog dan psikiater di sini. Saya tegaskan, uang itu
tidak didapat dari hasil korupsi, melainkan uang pribadi milik Bapak Rahedi.”

“Bapak Rahedi sendiri adalah seorang gender dysphoria. Beliau mengalami


gangguan identitas gender, di mana merasa jenis kelamin fisiknya tidak sesuai
dengan kelamin sejati. Seumur hidup, beliau selalu berusaha untuk menjadi laki-laki
pada umumnya, tetapi mentalnya telah hancur sejak kecil karena lingkungan yang
tidak mendukung. Rumah yang Mas Angkasa kunjungi tadi, bukan milik wanita lain.
Itu adalah rumah yang digunakan Bapak untuk melampiaskan rasa sakit mentalnya.”

“Atas dasar itulah, pada akhirnya beliau mendirikan Rumah Cinta ini. Bapak
tidak ingin apa yang telah beliau alami terjadi pada orang lain—”
“Cukup,” sela Angkasa merasa tidak sanggup lagi.

Air mata yang semula ada di pelupuk mata mendobrak keluar tanpa bisa ia
tahan lagi. Ia memegangi dadanya yang teramat sesak, bayangan Rahedi yang
menemaninya bermain sewaktu kecil, menemaninya berenang, dan marah besar
saat Angkasa memakai kosmetik mamanya untuk membuat Rahedi tertawa.
Semuanya terus berputar dalam kepalanya, hingga tepukan seseorang terasa di
punggungnya.

“Maafkan saya, Sa,” bisik Frans prihatin.

Frans mengabarkan, jika hasil otopsi jasad Rahedi telah keluar. Kematiannya
disebabkan karena pria itu telah menghirup gas karbon monoksida yang bocor dari
pemanas air. Rasanya ia memang tidak pernah mengerti jalan pikiran pria itu,
Angkasa telanjur dibutakan oleh spekulasi publik yang membuatnya kian membenci
Rahedi. Papanya hanyalah korban kebengisan isu politik yang telah berhasil
ditumbangkan bersama jasadnya. Rahedi yang selama ini bersama ia dan Btari hanya
memasang kamuflase agar orang-orang di sekitarnya tetap baik-baik saja, di samping
kesulitan-kesulitan yang dialami dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai