“Lagi lihat apa, sih? Kok serius amat mukanya, pagi-pagi harusnya banyak
senyum.” Btari ada di hadapannya, wanita itu telah menyiapkan sepiring nasi goreng
dengan telur mata sapi, ritual paginya sebelum memulai kegiatan.
“Kasus Rahedi Wicaksana, taipan yang menduduki posisi lima orang terkaya
di negara ini. Yang katanya pengusaha tanpa celah, dan kini malah terlilit kasus
korup di akhir hayatnya. Saya akan buktikan kepada Mama, kalau pria itu tidak layak
menjadi bagian dari keluarga kita.”
Btari memandang wajah putranya yang telah dewasa, ada sorot penuh
kekukuhan di mata hitam legamnya. Sebenarnya, sama sekali tidak terbesit
pemikiran bahwa mendiang suaminya itu akan berani melakukan hal sehina ini,
terlebih korupsi demi menghidupi wanita lain. Namun, bagaimana lagi? Terlalu
banyak spekulasi dan tingkah laku Rahedi yang membuatnya gamang. Sudah dua
puluh tahun lamanya pria itu tidak menjamahnya sebagai seorang istri, tepat setelah
kelahiran putra semata wayang mereka.
“Marco, dia salah satu ajudan yang paling dipercaya oleh mendiang ayahmu.”
Angkasa menerima sebuah data dan foto seseorang yang telah dikenalnya
semasa Rahedi hidup. Pria tua berkacamata itu memanglah sering mengawal Rahedi
ke mana pun dia pergi. Tidak heran jika mereka beropini, jika Marco bisa menjadi
saksi hidup bahkan kaki tangan Rahedi. Mungkin juga, pria tua itu ikut menikmati
sebagian uang yang diduga dari hasil korupsi.
“Tapi sebelumnya, Anda yakin mendiang ayah saya yang melakukan tindak
korupsi?” tanya Angkasa skeptis.
“Itulah kenapa kita melakukan investigasi ini, Sa. Lima miliar itu tidak sedikit,
dan itu dikeluarkan selama lima tahun berturut-turut. Yakin, itu hanyalah uang
pribadi Rahedi? Atau … jangan-jangan kamu ingin menutup-nutupi perbuatan
ayahmu?”
“Selamat datang, Pak Marco. Silakan duduk,” kata Frans beramah-tamah. Pria
itu tersenyum dan duduk dengan bersahaja di antara mereka.
“Baiklah, kita mulai penyelidikan ini. Menurut istri mendiang, menjelang hari
libur Rahedi tidak pernah tinggal di kediamannya, seperti yang kita ketahui
berembus kabar jika Rahedi memiliki madu lain. Jadi, Pak Marco, Anda selaku
pengawalnya, pasti mengetahui ke mana perginya Pak Rahedi selama ini, ‘kan?”
“Maaf, saya terlambat ke sini. Pak Marco barusan menghubungi saya. Saya
penjaga rumah ini, nama saya Abi,” kata pemuda itu ramah.
“Ah, begitu. Salam kenal Abi, kami dari tim investigasi. Begini, setelah
berkeliling selama setengah jam di rumah ini, hanya pintu di lantai dua paling ujung
itu yang terkunci. Bisa Anda membantu memperlancar penyelidikan ini?”
Angkasa menatap ke segala penjuru kamar, begitu tertata rapi dan teratur.
Persis seolah itu memang dibuat untuk kamar wanita. Ada cermin disertai set
kosmetik merek ternama, dress mewah, deretan parfum keluaran terbatas, dan
beberapa stiletto serta tas kulit mewah. Tidak salah lagi jika—tunggu! Praduganya
berhenti saat melihat foto raksasa yang terpampang di sudut kamar.
Seorang wanita, wanita itu bergaun hijau emerald disertai aksesoris, dan
perhiasan feminim lainnya yang melekat di tubuhnya. Sosok itu tersenyum tanpa
beban hingga lesung pipinya terlihat. Namun, ada yang aneh, sesuatu yang menonjol
di lehernya.
“Pa … pa?”
Lama terdiam dengan kekalutan masing-masing hingga suara gawai milik Abi
menggema.
“Halo? Iya, saya sekarang sedang bersama Mas Angkasa saat ini.”
“Kami dari Rumah Cinta, saya selaku penanggung jawab turut berbela
sungkawa atas meninggalnya Bapak Rahedi. Jika Mas Angkasa berkenan, Mas bisa
berkunjung kemari untuk melihat perkembangan Rumah Cinta yang telah didirikan
mendiang Bapak.”
Rumah Cinta. Bangunan modern itu terletak di jantung kota dan cukup
strategis untuk dikunjungi siapa pun. Didirikan lima tahun silam, rumah itu berhasil
mengobati seseorang yang mengalami mental illness. Mereka sukarela melakukan
itu atas perintah pemilik usaha ini; Rahedi Wicaksana.
“Jadi, lima miliar yang dikirim ke rekening saya semata-mata bukan atas
kepentingan pribadi. Uang itu murni digelontorkan untuk membangun tempat ini
dan juga menggaji sejumlah psikolog dan psikiater di sini. Saya tegaskan, uang itu
tidak didapat dari hasil korupsi, melainkan uang pribadi milik Bapak Rahedi.”
“Atas dasar itulah, pada akhirnya beliau mendirikan Rumah Cinta ini. Bapak
tidak ingin apa yang telah beliau alami terjadi pada orang lain—”
“Cukup,” sela Angkasa merasa tidak sanggup lagi.
Air mata yang semula ada di pelupuk mata mendobrak keluar tanpa bisa ia
tahan lagi. Ia memegangi dadanya yang teramat sesak, bayangan Rahedi yang
menemaninya bermain sewaktu kecil, menemaninya berenang, dan marah besar
saat Angkasa memakai kosmetik mamanya untuk membuat Rahedi tertawa.
Semuanya terus berputar dalam kepalanya, hingga tepukan seseorang terasa di
punggungnya.
Frans mengabarkan, jika hasil otopsi jasad Rahedi telah keluar. Kematiannya
disebabkan karena pria itu telah menghirup gas karbon monoksida yang bocor dari
pemanas air. Rasanya ia memang tidak pernah mengerti jalan pikiran pria itu,
Angkasa telanjur dibutakan oleh spekulasi publik yang membuatnya kian membenci
Rahedi. Papanya hanyalah korban kebengisan isu politik yang telah berhasil
ditumbangkan bersama jasadnya. Rahedi yang selama ini bersama ia dan Btari hanya
memasang kamuflase agar orang-orang di sekitarnya tetap baik-baik saja, di samping
kesulitan-kesulitan yang dialami dirinya sendiri.