Anda di halaman 1dari 62

RISK MANAGEMENT

KELOMPOK 6 (7 AKT 8)

Resume Jurnal (Risiko Valuta Asing)

1. Ai Aisyah 15-006
2. Ervina Fitra T 15-058
3. Indri Apriliyani 15-088
4. Rusianita Fitri 15-173

JURNAL INTERNASIONAL

1. Foreign exchange risk management by Swedish and Korean


nonfinancial firms: A comparative survey (Manajemen risiko mata
uang asing oleh perusahaan non-keuangan Swedia dan Korea: Sebuah
survei komparatif) oleh Andrew P. Marshall Tahun 1999

Latar Belakang

Risiko valuta asing adalah salah satu dari banyak risiko bisnis yang
dihadapi perusahaan multinasional (MNC) manajemennya telah menjadi
salah satu kunci faktor dalam manajemen keuangan secara keseluruhan.
Tujuan dari MNC adalah untuk meminimalkan kerugian selisih kurs atau
memaksimalkan keuntungan pertukaran, mereka perlu memahami tingkat
paparan yang mereka hadapi dan mengelolanya ke tingkat yang dapat
diterima. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di UK dan USA
hanya mempertimbangkan MNC besar yang berfokus pada pertanyaan
yang lebih luas dari risiko nilai tukar asing daripada yang sebelumnya
diperiksa, mengingat banyak pandangan negara di kawasan Asia Pasifik
yang belum pernah diperiksa sebelumnya dan akhirnya, melakukan
perbandingan internasional secara simultan antar wilayah menggunakan
kuesioner survei yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan regional yang signifikan secara statistik dalam tujuan dan
pentingnya risiko mata uang asing, penekanan dalam manajemen
penerjemahan dan eksposur ekonomi, internal: teknik eksternal yang
digunakan dalam mengelola risiko valuta asing dan kebijakan dalam
menangani paparan ekonomi.

Teori

Risiko nilai tukar menggambarkan risiko bahwa nilai investasi


dapat berubah karena perubahan nilai dari dua mata uang yang berbeda.
Ini juga dikenal sebagai risiko mata uang, risiko FX dan risiko nilai tukar.
Risiko mata uang asing kadang-kadang juga mengacu pada risiko
yang dihadapi investor ketika mereka harus menutup posisi panjang atau
pendek dalam mata uang asing dan melakukannya pada kerugian karena
fluktuasi nilai tukar.
Beberapa jenis eksposur terkait dengan risiko valuta asing
termasuk eksposur ekonomi, eksposur translasi dan eksposur ekonomi.
Eksposur ekonomi, atau perkiraan risiko, mengacu ketika nilai pasar
perusahaan dipengaruhi oleh volatilitas mata uang. Eksposur terjemahan
mengacu pada kapan kurs valuta asing berubah, mempengaruhi angka-
angka yang dilaporkan perusahaan multinasional kepada para pemegang
sahamnya. Eksposur kontingen mengacu pada risiko yang dihadapi
perusahaan ketika mereka menawar proyek dalam mata uang asing.
Risiko translasi adalah risiko nilai tukar yang terkait dengan
perusahaan yang berurusan dengan mata uang asing atau daftar aset asing
di neraca mereka. Sering kali, perusahaan yang melakukan bisnis
internasional atau yang memegang aset di negara asing akhirnya harus
menukar mata uang asing kembali ke negara domisili mereka. Jika nilai
tukar berfluktuasi dalam jumlah besar, ini dapat menyebabkan perubahan
signifikan dalam nilai aset asing atau aliran pendapatan.
Eksposur transaksi adalah tingkat risiko perusahaan yang terlibat
dalam perdagangan internasional, khususnya, risiko bahwa nilai tukar
mata uang akan berubah setelah perusahaan telah masuk ke dalam
kewajiban keuangan. Tingkat eksposur yang tinggi terhadap fluktuasi nilai
tukar dapat menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan.
Eksposur ekonomi adalah jenis paparan valuta asing yang
disebabkan oleh efek fluktuasi mata uang yang tak terduga pada arus kas
masa depan perusahaan, investasi asing dan pendapatan.

Metode Penelitian

Dengan membagikan kuesioner pada bulan Juli 1998, kuesioner


sebanyak 200 dikirim ke MNC terbesar di UK, Amerika Serikat dan Asia
Pasifik (20 Australia, 30 Hong Kong, 100 Jepang, 40 Singapura dan
sepuluh Korea Selatan). Tanggapan diterima antara Juli dan September
1998. Tingkat respons keseluruhan 30% lebih baik dibandingkan dengan
negara-negara pengguna sebelumnya di bidang ini.
Fokus utama dari penelitian ini adalah untuk mempertimbangkan
perbedaan dalam sikap manajemen risiko valuta asing antar wilayah. Salah
satu masalah dalam menggunakan daerah yang berbeda adalah bahwa
MNC terbesar di setiap wilayah dapat berbeda dalam hal ukuran, industri
dan tingkat internasionalisasi mereka. Variasi dalam tanggapan regional
bisa saja karena karakteristik perusahaan yang berbeda. Masalah ini
dikendalikan dengan tidak hanya mempertimbangkan tanggapan dalam hal
wilayah mereka tetapi juga dalam ukuran (dianalisis oleh kuartil
ditentukan oleh penjualan), tingkat internasionalisasi (empat kelompok
diukur dengan persentase bisnis di luar negeri) dan sektor industri
(dikategorikan dalam tujuh kelompok industri).

Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini adalah dengan menyelidiki praktik risiko


mata uang asing perusahaan multinasional (MNC). Kontribusi utama
adalah untuk mengidentifikasi perbedaan internasional dalam pendekatan
manajemen risiko antara MNC di UK, USA dan Asia Pasifik. Sejumlah
kesamaan diidentifikasi, namun, ada beberapa variasi penting antara AS
dan Inggris dan khususnya, responden dari MNC di Asia Pasifik. Ada
perbedaan antara daerah dalam pandangan mereka tentang pentingnya dan
tujuan risiko mata uang asing, penekanan pada translasi dan eksposur
ekonomi, penggunaan internal: instrumen lindung nilai eksternal dan
kebijakan dalam mengelola eksposur ekonomi. Tanggapan oleh
karakteristik perusahaan yang berbeda juga dipertimbangkan, termasuk
ukuran, persentase bisnis luar negeri dan sektor industri. Persentase bisnis
di luar negeri bukan faktor yang signifikan, baik ukuran atau sektor
industri dari MNC secara statistik signifikan dalam risiko nilai tukar,
penekanan pada paparan ekonomi dan translasi dan metode eksternal yang
digunakan dalam hedging. Akibatnya, faktor regional adalah satu-satunya
pengaruh yang signifikan secara statistik dalam perbedaan tanggapan pada
tujuan pengelolaan risiko valuta asing, metode lindung nilai internal yang
digunakan dan kebijakan dalam mengelola eksposur ekonomi.

2. Macroeconomic sources of foreign exchange risk in new EU members


(Sumber-sumber ekonomi makro risiko mata uang asing di anggota
Uni Eropa yang baru) oleh Evzen Kocenda dan Tigran Poghosyan
Tahun 2009

Latar Belakang

Penelitian tentang menjelaskan premi risiko mata uang


menggunakan kondisi paritas suku bunga yang tidak terbongkar tersebar
luas dan literatur telah berkembang sejak awal karya Hansen dan Hodrick
(1980) dan Fama (1984). Engel (1996) memberikan berbagai aspek lain
(misalnya, carry-trading) membuat identifikasi dampak faktor
makroekonomi sulit.

Dalam makalah ini kami menambah pembahasan dan mengisi


celah dalam literatur dengan mengasah penilaian kuantitatif dari kenyataan
kritis dan faktor makroekonomi nominal yang mendorong risiko mata
uang. Faktor-faktor ini didasarkan pada survei stochastic teoritis tentang
survei literatur dan menunjukkan bahwa sebagian besar model tidak dapat
memperhitungkan anomali nilai tukar yang dikenal sebagai ‘‘puzzle
diskon ke depan”. Lustig et al. (2008) meninjau penambahan terbaru pada
literatur dan secara empiris menunjukkan bahwa risiko premia di pasar
mata uang besar dan bervariasi waktu. Dapat dibilang, variasi waktu dalam
premika risiko mata uang terkait erat dengan faktor-faktor fundamental
yang mendorong minat investor terhadap risiko. Namun, sebagian besar
literatur yang ada baik berfokus pada sifat time-series dari premi risiko
tanpa mempertimbangkan hubungannya dengan faktor-faktor
makroekonomi fundamental (misalnya, Cheung, 1993), atau berasal
dampak besar faktor makroekonomi yang tidak masuk akal pada premi
risiko menggunakan data tentang ekonomi maju (misalnya, Kaminski dan
Peruga, 1990; Smith dan Wickens, 2002a), di mana model faktor.
Kontribusi utama kami terhadap pengetahuan finansial adalah memperkuat
bukti yang terbatas hingga saat ini baik faktor nominal maupun faktor riil
berperan.

Kontribusi umum kami adalah bahwa kami memperoleh hasil kami


dalam kerangka multivariat yang sebagian besar telah diabaikan dalam
literatur. Keuntungan utama dari pendekatan model semi-struktural yang
digunakan dalam penelitian kami adalah bahwa ia memberikan ruang
lingkup yang lebih luas untuk interpretasi ekonomi dari faktor-faktor yang
mendorong premi risiko mata uang. Implementasi empiris didasarkan pada
model GARCH multivariat dengan covariances bersyarat dalam mean dari
pengembalian yang berlebihan. Kerangka metodologis ini memungkinkan
kita untuk memaksakan kondisi tanpa arbitrase pada estimasi, sebuah fitur
yang tidak ada dalam model univariat yang digunakan dalam kebanyakan
studi sebelumnya.

Kontribusi lain lebih spesifik karena kami menyelidiki peran faktor


makroekonomi sebagai faktor penentu risiko mata uang sistemik di
negara-negara anggota baru Uni Eropa (UE). Karena stabilitas mata uang
telah menjadi bagian penting dari kebijakan makroekonomi di negara-
negara ini dalam perjalanan mereka untuk menjadi bagian dari Uni Eropa
dan mengadopsi Euro, dampak faktor ekonomi makro tampaknya
memainkan peran penting dalam menjelaskan risiko mata uang premi di
negara-negara ini. Oleh karena itu, analisis dampak faktor-faktor ekonomi
makro untuk premi risiko mata uang di negara-negara Uni Eropa baru,
sebagian besar diabaikan dalam literatur sebelumnya, dapat memperluas
pemahaman kita tentang pentingnya fundamental ekonomi makro yang
termotivasi secara teoritis sebagai driver premium risiko mata uang asing.

Teori

Ekonom telah menyelidiki premi risiko valuta asing dalam


berbagai kerangka empiris. Kesulitan dengan pemodelan premi risiko
valuta asing sangat erat kaitannya dengan fitur membingungkan pasar
mata uang internasional: mata uang domestik cenderung untuk menghargai
ketika suku bunga domestik melebihi tarif luar negeri. Penyimpangan-
penyimpangan yang disebutkan di atas dari hubungan paritas suku bunga
yang belum terungkap sering diartikan sebagai premi risiko dari investasi
dalam mata uang asing oleh investor yang rasional dan menghindari risiko.
Terlepas dari korelasi negatif dengan depresiasi berikutnya dari mata uang
asing, properti lain yang terdokumentasi dengan baik dari penyimpangan
ini termasuk volatilitas yang sangat tinggi.

Untaian pertama literatur empiris yang menganalisis premi risiko


nilai tukar asing menerapkan model ekonometrik berdasarkan pembatasan
teoritis yang kuat yang berasal dari model penetapan harga dua negara.
Masalah umum yang dihadapi dalam studi ini adalah taksiran yang luar
biasa dari parameter struktural mendalam dari model teoritis (misalnya,
koefisien dari penghindaran risiko relatif) dan penolakan pembatasan
identifikasi berlebihan yang disarankan oleh teori yang mendasari. Secara
keseluruhan, teori harga sampai saat ini terutama tidak berhasil dalam
menghasilkan premi risiko dengan sifat prasyarat yang diuraikan di atas
(lihat Backus et al., 2001).

Aliran literatur kedua mengejar strategi alternatif dengan


mengadopsi pendekatan time-series murni. Berbeda dengan model teoritis
yang disebutkan di atas, pendekatan ini memaksakan struktur minimal
pada data, misalnya melalui model ruang negara seperti dalam Cheung
(1993). Metodologi empiris yang populer untuk mempelajari properti
timeseries dari premi risiko valuta asing adalah ‘‘ dalam arti
"perpanjangan dari kerangka ARCH karena Engle et al. (1987). Sementara
studi ini lebih berhasil dalam menangkap keteraturan empiris yang diamati
dalam seri pengembalian berlebih, kurangnya kerangka teoritis
menyulitkan untuk menafsirkan yang dapat diprediksi komponen
pengembalian yang berlebihan sebagai ukuran premi risiko (Engel, 1996).

Mengingat kerugian yang terkait dengan kedua pendekatan yang


disebutkan di atas, literatur saat ini bergerak menuju apa yang disebut
pendekatan model semi-struktural (lihat Cuthbertson dan Nitzsche, 2004
untuk ditinjau). Studi yang lebih baru menggunakan metodologi stochastic
discount factor (SDF), yang memungkinkan menempatkan beberapa
struktur pada data yang cukup untuk mengidentifikasi premi risiko valuta
asing, tetapi sebaliknya meninggalkan model sebagian besar tidak dibatasi.
Dalam penyelidikan kami, kami mengikuti pendekatan SDF untuk
menggunakan faktor yang dapat diamati dan termotivasi secara teoritis
untuk menjelaskan variabilitas risiko mata uang asing. Detail pendekatan
kami diberikan di bagian selanjutnya.

Metode Penelitian

Dengan menyajikan bukti dampak faktor makroekonomi riil dan


nominal yang berasal dari model faktor diskon stokastik pada risiko mata
uang dan juga menyediakan bukti pertama tentang dampak faktor ekonomi
makro dalam menjelaskan premi risiko nilai tukar di negara-negara
anggota Uni Eropa baru terpilih. Model SDF umum digunakan untuk
memastikan derivasi faktor-faktor yang didasarkan pada teori dan
spesifikasi model dalam kerangka estimasi multivariat. Upaya-upaya
sebelumnya untuk menjelaskan risiko valuta asing dalam ekonomi UE
yang baru didasarkan pada model univariat, yang mengabaikan
persyaratan kovarian bersyarat dan memungkinkan kemungkinan
arbitrase. Dan, menggunakan pendekatan multivariat untuk mengatasi
kelemahan ini.

Hasil Penelitian

Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor riil (konsumsi)


memainkan peran dalam menjelaskan variabilitas pengembalian devisa.
Temuan ini sejalan dengan bukti yang berasal dari ekonomi yang lebih
maju (Holli fi eld dan Yaron, 2001; Lustig dan Verdelhan, 2007). Dampak
dari faktor nyata cukup merata di seluruh negara karena ini terintegrasi
dengan baik di antara mereka sendiri maupun sehubungan dengan
Eurozone. Selanjutnya, inflasi, sebagai faktor nominal, ditemukan menjadi
faktor yang signifikan untuk premi risiko di semua negara. Hasilnya juga
menunjukkan bahwa ada beberapa perbedaan di pasar Uni Eropa baru,
karena dampak dari masing-masing faktor zona euro berbeda di seluruh
negara. Temuan disini tentang faktor nominal tampaknya sensitif terhadap
perbedaan dalam sejarah inflasi yang dialami oleh rezim kebijakan
moneter yang diadopsi di negara-negara yang diteliti. Temuan ini
mendukung gagasan tentang optimalitas kebijakan moneter berdasarkan
penargetan inflasi untuk proses konvergensi nominal anggota Uni Eropa
baru terhadap Eurozone (lihat Orlowski 2005, 2008).

3. Foreign exchange risk management in UK, USA and Asia Pacific


multinational companies (Manajemen risiko mata uang asing di
perusahaan multinasional Inggris, AS dan Asia Pasifik) oleh Bengt
Pramborg Tahun 2004
Latar Belakang

Lel (2003), struktur tata kelola perusahaan tingkat negara dan


internal dan tingkat perkembangan pasar keuangan negara memengaruhi
keputusan hedging perusahaan. Khususnya, La Porta et al. (1998)
melaporkan bahwa Korea tertinggal Swedia dalam hal penegakan hukum,
hak antidirektor, hak arus kas, dan standar akuntansi. Perbedaan ini dapat
menyebabkan perusahaan Korea dan Swedia mengadopsi kebijakan dan
praktik lindung nilai yang berbeda; dengan mempelajari ini, dapat
meningkatkan pemahaman tentang praktik manajemen risiko perusahaan.
Beberapa metode tersedia untuk mengelola eksposur valuta asing,
termasuk penggunaan derivatif keuangan seperti kontrak forward dan opsi
mata uang, utang denominasi asing, dan metode internal seperti memimpin
dan tertinggal. Bukti survei sebelumnya yang berkaitan dengan lindung
nilai terutama difokuskan pada penggunaan derivatif oleh perusahaan di
pasar lokal, sementara beberapa penelitian, terutama yang dari Berkman et
al. (1997), Alkeback dan Hagelin (1999), Bodnar dan Gebhardt (1999),
Sheedy (2001), dan Bodnar et al. (2003), juga membandingkan
penggunaan derivatif antar negara. Studi terbaru telah mempresentasikan
bukti survei yang berkaitan dengan teknik hedging lainnya, seperti
penggunaan utang asing dan teknik lindung nilai internal. Studi semacam
itu termasuk yang dari Hakkarainen et al. (1998), yang mensurvei
perusahaan Finlandia; Joseph (2000), yang menganalisis perusahaan-
perusahaan Inggris; Marshall (2000), yang menganalisis perbedaan
regional antara Asia-Pasifik dan perusahaan multinasional Barat (MNC);
dan Allayannis dkk. (2003), yang menyelidiki praktik-praktik hedging
perusahaan Asia Timur selama krisis keuangan Asia Timur baru-baru ini.

Teori

Lindung nilai adalah investasi untuk mengurangi risiko pergerakan


harga yang merugikan dalam suatu aset. Biasanya, lindung nilai terdiri dari
mengambil posisi offsetting dalam keamanan terkait. Strategi manajemen
risiko yang digunakan dalam membatasi atau mengimbangi kemungkinan
kerugian dari fluktuasi harga komoditas, mata uang, atau sekuritas.
Akibatnya, hedging adalah transfer risiko tanpa membeli polis asuransi.

Mata uang berjangka adalah kontrak berjangka yang dapat


dipindahtangankan yang menentukan harga, dalam satu mata uang, di
mana mata uang lain dapat dibeli atau dijual di masa mendatang. Kontrak
berjangka mata uang mengikat secara hukum dan counterparty yang masih
memegang kontrak pada tanggal kedaluwarsa harus mengirimkan jumlah
mata uang pada harga yang ditentukan pada tanggal pengiriman yang
ditentukan. Mata uang berjangka dapat digunakan untuk melakukan
lindung nilai perdagangan lain atau risiko mata uang, atau untuk
berspekulasi tentang pergerakan harga dalam mata uang. Suatu derivatif
adalah keamanan finansial dengan nilai yang diandalkan atau berasal dari
aset atau kelompok aset yang mendasarinya. Turunannya sendiri adalah
kontrak antara dua pihak atau lebih berdasarkan aset atau aset. Harganya
ditentukan oleh fluktuasi aset yang mendasarinya. Aset dasar yang paling
umum termasuk saham, obligasi, komoditas, mata uang, suku bunga, dan
indeks pasar.

Utang luar negeri adalah pinjaman luar biasa atau serangkaian


pinjaman yang satu negara berutang ke negara atau lembaga lain di negara
tersebut. Utang luar negeri juga termasuk kewajiban kepada organisasi
internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia atau Bank
Pengembangan Inter-Amerika. Total utang luar negeri dapat merupakan
kombinasi dari kewajiban jangka pendek dan jangka panjang. Juga dikenal
sebagai utang eksternal, kewajiban luar ini dapat dilakukan oleh
pemerintah, perusahaan atau rumah tangga pribadi suatu negara.

Metode Penelitian

Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui survei. Pada bulan


September 2000, kuesioner dikirim ke perusahaan non-keuangan Korea
dan Swedia (tidak termasuk utilitas). Tiga ratus delapan puluh tujuh
perusahaan Korea terdaftar di Bursa Efek Korea dan 250 perusahaan
Swedia yang terdaftar di Bursa Efek Swedia menerima kuesioner, yang
dikirim baik dalam versi Korea atau Swedia yang sesuai untuk
meningkatkan tingkat respons. Pada bulan Januari 2001, sebuah pengingat
dikirim ke perusahaan yang tidak menanggapi pengiriman pertama.
Sejumlah 163 tanggapan diterima, 60 dari perusahaan Korea dan 103 dari
perusahaan Swedia. Ini mewakili tingkat respons total 26%: 16% untuk
Korea dan 41% untuk sampel Swedia. Untuk memeriksa bias tanggapan,
perusahaan menanggapi dibandingkan dengan yang tidak menanggapi
survei, dan hasilnya menyarankan bahwa sampel tidak bias.

Penggunaan survei diperlukan karena informasi tentang eksposur


dan praktik hedging perusahaan tidak tersedia untuk umum. Satu
peringatan yang perlu diingat adalah bahwa, meskipun informasi yang
diberikan bersifat unik dan dapat memberikan wawasan penting, survei
memiliki beberapa kekurangan umum, seperti risiko bahwa subjek survei
dapat memberikan respons yang tidak akurat atau tidak jujur. Selain itu,
responden berasal dari dua negara berbeda dengan budaya dan bahasa
yang berbeda, ada masalah tambahan tentang bagaimana responden
menafsirkan pertanyaan dari versi bahasa Korea dan Swedia.

Kuesioner berisi pertanyaan mengenai (1) paparan responden


terhadap nilai tukar valuta asing dan apakah perusahaan responden
melakukan lindung nilai; (2) penggunaan derivatif mata uang asing oleh
pihak responden (jenis instrumen, frekuensi penggunaan, kekhawatiran);
(3) penggunaan metode manajemen risiko valuta asing lain oleh responden
(hutang luar negeri, teknik internal); dan (4) prosedur kontrol dan
pelaporan responden (proses pengambilan keputusan, evaluasi).

Hasil Penelitian
Survei perusahaan non-keuangan Swedia dan Korea pada eksposur
risiko valuta asing dan praktik hedging. Temuan ini menunjukkan
kesamaan antara perusahaan di kedua negara, dengan pengecualian
penting. Tujuan dari aktivitas hedging berbeda antara negara-negara,
perusahaan Korea lebih cenderung fokus pada meminimalkan fluktuasi
arus kas, sementara perusahaan Swedia lebih menyukai meminimalkan
fluktuasi laba atau melindungi penampilan dari neraca. Proporsi
perusahaan yang menggunakan derivatif secara signifikan lebih rendah di
Korea daripada di sampel Swedia. Ini tidak dapat ditangkap oleh
karakteristik perusahaan seperti eksposur FX, ukuran, likuiditas, atau
leverage. Ini mungkin karena biaya tetap yang lebih tinggi yang
dikeluarkan oleh perusahaan Korea yang memulai program derivatif.
Biaya yang lebih tinggi ini dapat dihasilkan dari ketidakdewasaan relatif
pasar derivatif Korea dan, mungkin yang lebih penting, dari peraturan
ketat OTC turunan pemerintah Korea. Perusahaan Korea lebih
mengandalkan metode hedging alternatif, menunjukkan bahwa keputusan
untuk melakukan lindung nilai tidak spesifik pada negara tetapi didorong
oleh variabel-variabel spesifik perusahaan, seperti tingkat eksposur FX
dan ukuran perusahaan. Lebih lanjut disarankan bahwa perusahaan Korea
kurang ketat dalam memantau posisi risiko mereka daripada perusahaan
Swedia. Akhirnya, sebagian besar perusahaan di kedua negara
menggunakan pendekatan berbasis aprofit untuk mengevaluasi fungsi
manajemen risiko, yang bertentangan dengan rekomendasi teoretis dan
mendukung temuan Bodnar et al. (1998) dan Sheedy (2001).

4. FOREIGN EXCHANGE RATES AND JAPANESE FOREIGN


DIRECT INVESTMENT IN ASIA Oleh : In-Mee Baeka dan Tamami
Okawab

Latar belakang

Sebagian besar studi yang fokus tentang hubungan antara FDI dan
nilai tukar pada aliran investasi di AS dan pada nilai tukar bilateral antara
negara asal (sumber) dan negara tuan rumah (yaitu, AS). Nilai tukar
bilateral ini penting ketika FDI untuk produksi dan penjualan di negara
tuan rumah. Namun, proporsi yang signifikan dari FDI Jepang ke Asia
diarahkan untuk produksi untuk pasar ketiga. Menurut sebuah survei oleh
Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang,
penjualan domestik anak perusahaan Jepang di industri manufaktur di Asia
hanya 40% dari total penjualan mereka pada tahun 1997 dan 1998
sementara mereka di AS lebih dari 70% untuk periode yang sama.4 Secara
umum, FDI Jepang di negara-negara Asia dicirikan sebagai investasi
berorientasi ekspor untuk menciptakan tempat produksi untuk ekspor.
Ketika karakteristik FDI Jepang ke Asia ini dipertimbangkan, keputusan
investasi harus didasarkan bukan hanya pada nilai tukar antara yen dan
mata uang negara-negara tuan rumah (selanjutnya, mata uang Asia), tetapi
juga nilai tukar yen dan Mata uang Asia terhadap mata uang yang biasanya
digunakan dalam transaksi internasional, misalnya, dolar AS. Ini adalah
masalah minat dan kepentingan yang meningkat tajam terkait dengan
krisis mata uang Asia baru-baru ini karena alasan-alasan berikut.
Sebagaimana dicatat sebelumnya, investasi Jepang di wilayah ini telah
didorong oleh penguatan yen terhadap dolar AS. Karena nilai dari banyak
mata uang Asia lebih atau kurang terikat dengan keranjang mata uang,
terutama terhadap dolar, perusahaan Jepang dapat menggunakannya
sebagai pengganti biaya rendah untuk basis manufaktur Amerika. Namun,
mata uang Asia terdevaluasi dengan tajam terhadap dolar pada tahun 1997,
dan terhadap yen ke tingkat lebih rendah; tetapi yen juga terdepresiasi
terhadap dolar. Akan menarik untuk memeriksa apakah investasi Jepang di
Asia secara signifikan dipengaruhi oleh tidak hanya nilai tukar yen-dolar
tetapi juga mata uang Asia terhadap dolar dan yen. Karena FDI Jepang di
Asia telah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang signifikan di
kawasan ini, hasil penelitian akan menunjukkan implikasi kebijakan nilai
tukar yang penting bagi negara-negara, yang ingin menarik investasi
Jepang atau memberikan insentif kepada investor untuk menggunakannya
sebagai basis ekspor.5 Dalam menguji peran nilai tukar dalam FDI Jepang
di Asia, analisis dalam makalah ini berfokus pada nilai tukar yen terhadap
mata uang Asia, yen terhadap dolar AS, dan dolar terhadap Mata uang
Asia. Telah didokumentasikan dengan baik dalam literatur bahwa ada
hubungan yang signifikan antara FDI dan nilai tukar bilateral antara rumah
(sumber) negara dan negara tuan rumah. Kekuatan yen dan pertumbuhan
cepat aliran FDI dari Jepang ke AS selama pertengahan 1980-an
mendorong sebagian besar studi untuk fokus pada FDI Jepang di AS.
Mann (1993) menunjukkan bahwa antara tahun 1977 dan 1987, pengaruh
nilai tukar yen-dolar bilateral pada FDI Jepang di AS bervariasi secara
signifikan di berbagai sektor manufaktur. Namun, nilai tukar yang
diharapkan pada umumnya memiliki efek yang signifikan.6 Wakasugi
(1994) menganalisis faktor penentu lokasi produksi untuk perusahaan
manufaktur Jepang antara Jepang dan AS untuk periode 1970 hingga
1992. Ia menunjukkan bahwa nilai tukar dan sewa relatif di kedua negara
secara signifikan mempengaruhi rasio relatif ekspor terhadap FDI
sementara tingkat upah bukan merupakan faktor yang signifikan. Froot
and Stein (1991) fokus pada hubungan antara nilai tukar dan FDI yang
memberikan informasi yang tidak sempurna tentang pasar modal. Mereka
menunjukkan bahwa FDI ke AS selama 1973-1988 terkait negatif dengan
nilai riil dolar. Ketika penelitian menggunakan data FDI yang dipisahkan
berdasarkan jenis transaksi, hasil yang sama juga berlaku untuk sebagian
besar jenis transaksi dengan pengecualian untuk transaksi real estat.7
Klein dan Rosengren (1994) menguji apakah kekayaan relatif antar negara
disebabkan oleh ketidaksempurnaan informasi pasar modal dan upah
relatif telah sangat penting pada FDI ke AS dari tujuh negara industri
termasuk Jepang selama periode 1979-1991. Mereka menemukan bukti
kuat untuk menunjukkan bahwa kekayaan relatif secara signifikan
mempengaruhi FDI sementara upah relatif tidak signifikan. Apresiasi nilai
tukar riil dolar secara signifikan menurunkan semua jenis FDI kecuali
untuk akuisisi tanah.

Metodologi
Data yang digunakan dalam estimasi adalah data tahunan cross-
sectional dan time-series. Data dipilah berdasarkan negara dan juga
berdasarkan sektor; datanya dari 6 negara dan 8 sektor untuk setiap negara.
Data mencakup periode 1983-1992, menghasilkan total 480
pengamatan.10 Metode estimasi didasarkan pada model regresi seri-cross
sectional waktu standar. Regresi adalah untuk manufaktur agregat serta
untuk setiap sektor. Dalam regresi untuk sektor agregat, istilah konstan
negara dan sektor tertentu dimasukkan untuk menangkap perbedaan di
berbagai negara dan sektor.

Kesimpulan

Makalah ini mengkaji determinan FDI Jepang dalam manufaktur di


Asia, dengan fokus pada peran berbagai nilai tukar bersama dengan
tingkat upah, diferensial produktivitas tenaga kerja dan tarif impor. Nilai
tukar yang dipertimbangkan adalah yen per dolar, mata uang Asia per
dolar, dan mata uang Asia per yen; juga untuk setiap nilai tukar, tingkat
nominal, tingkat PPP, dan perubahan dalam nilai tukar riil (ekuivalen,
deviasi dari tingkat PPP) dipertimbangkan. Studi ini menunjukkan bahwa
variabel nilai tukar — yen terhadap mata uang Asia dan juga terhadap
dolar — adalah faktor yang signifikan dalam FDI di sektor manufaktur.
Ketika nilai tukar nominal didekomposisi ke dalam tingkat PPP dan
perubahan dalam nilai tukar riil, kedua komponen tersebut umumnya
memiliki efek yang signifikan pada FDI. Tanda-tanda ini koefisien
signifikan semua konsisten dengan prediksi, yaitu apresiasi yen terhadap
dolar dan terhadap mata uang Asia secara signifikan meningkatkan FDI.
Hasil ini untuk sektor manufaktur agregat secara umum konsisten dengan
yang untuk masing-masing sektor. Nilai tukar antara mata uang Asia dan
dolar, sementara tidak signifikan mempengaruhi sektor agregat, memiliki
dampak yang signifikan di beberapa sektor seperti kimia dan sektor mesin
listrik. Terutama FDI di sektor mesin listrik, yang paling berorientasi
ekspor, secara signifikan disebabkan oleh depresiasi mata uang Asia
terhadap dolar, terutama tingkat PPP. Variabel tingkat upah memiliki
dampak yang konsisten pada tingkat agregat dan di sebagian besar sektor.
Seperti yang diharapkan, peningkatan tingkat upah di Jepang atau
penurunan tingkat upah di negara tuan rumah secara signifikan
meningkatkan FDI, menunjukkan bahwa investasi tertarik oleh tenaga
kerja yang relatif murah. Hasil menunjukkan bahwa, meskipun perbedaan
produktivitas tenaga kerja tidak signifikan pada tingkat agregat, itu
memiliki efek yang signifikan pada FDI di sebagian besar sektor individu.
Namun, arah pengaruhnya dikontraskan lintas sektor. Hal ini dapat
memberikan bukti bahwa FDI Jepang di Asia dikaitkan dengan
memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam teknologi di beberapa sektor
(bahan kimia, mesin listrik dan mesin transportasi), tetapi juga untuk
mengambil keuntungan dari produksi yang efisien dan dengan demikian
biaya produksi unit yang rendah di beberapa sektor lain (logam dan mesin
umum). Studi ini juga menunjukkan bahwa peningkatan tarif impor secara
signi fi kan menurunkan FDI Jepang di sebagian besar sektor serta pada
tingkat agregat, menyiratkan bahwa investasi dan produksi Jepang di Asia
tidak dimotivasi terutama oleh proteksionisme by-pass negara-negara tuan
rumah.

5. THE EFFICIENCY OF FOREIGN EXCHANGE MARKETS IN


PAKISTAN : AN EMPIRICAL ANALYSIS Oleh : Rizwana Bashir,
Rabia Shakir, Badar Ashfa, dan Atif Hassan

Latar belakang

Dalam kasus Pakistan, masalah paling signifikan adalah


menentukan apakah pasar keuangan dapat mengalokasikan sumber daya
ekonomi secara efisien berdasarkan informasi yang tersedia. Nilai tukar
rupee Pakistan (PKR) dipengaruhi terutama oleh mekanisme pasar dan
nilai tukar maju ditentukan oleh interaksi permintaan dan penawaran.
Syafaat dari Bank Negara Pakistan (SBP) di pasar mata uang tidak
memiliki dampak yang signifikan pada penentuan nilai tukar maju. Satu-
satunya perannya adalah memuluskan setiap guncangan pasar valuta asing.
Faktor penentu nilai tukar maju termasuk perbedaan suku bunga dari dua
ekonomi di pasar antar bank, surplus transaksi berjalan dari impor dalam
kaitannya dengan ekspor, dan penerimaan modal. Ketika menentukan nilai
tukar maju, pelaku pasar diasumsikan memiliki informasi lengkap
mengenai faktor-faktor ini dan mempertimbangkan semua informasi yang
tersedia pada waktu itu. Dengan demikian, nilai tukar maju mencakup
semua informasi yang tersedia berkaitan dengan faktor-faktor ini.

Metodologi

Seperti disebutkan sebelumnya, metodologi kami didasarkan pada


analisis regresi yang dilakukan oleh Frenkel (1980) dan Levich (1979),
yang mengambil log nilai tukar spot masa depan dan nilai tukar forward
saat ini. Hasil mereka menunjukkan bahwa nilai tukar maju adalah
prediktor yang tidak bias dari nilai tukar spot masa depan. Kami
menetapkan hubungan berikut antara log nilai tukar spot aktual dan nilai
tukar forward pada waktu t.

Kesimpulan

Pasar forex jelas penting bagi perekonomian apa pun. Pasar valuta
asing Pakistan masih kecil dibandingkan dengan negara-negara
berkembang lainnya, menyiratkan bahwa kerja kebijakan yang substansial
diperlukan untuk memperluasnya. Kami telah secara empiris menyelidiki
efisiensi pasar untuk rupee Pakistan terhadap dolar AS-rupee, franc-rupee
Swiss, dolar Australia-rupee, yen-rupee, dan euro-rupee, menggunakan
data bulanan pada kurs spot dan forward untuk periode tersebut Juli 2006
hingga Desember 2013. Hasil kami menunjukkan bahwa, rata-rata, nilai
tukar maju erat memprediksi nilai tukar spot masa depan. Setelah
mengoreksi untuk korelasi serial, koefisien estimasi dari satu periode
tingkat maju tidak berbeda secara signifikan dari 1. Namun, α 1 berbeda
secara signifikan dari 0, menunjukkan bahwa itu menggabungkan
informasi yang tidak diserap sepenuhnya oleh forward rate, yaitu, nilai
tukar maju tidak sepenuhnya mencerminkan semua informasi yang
tersedia. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa EMH tidak
berlaku sepenuhnya dalam kasus pasar valuta asing Pakistan, di mana
pelaku pasar masih bisa mendapatkan keuntungan dari spekulasi akibat
inefisiensi pasar.

6. FOREIGN EXCHANGE MARKETS IN TRANSITION


ECONOMIES : CHINA Oleh Kate Phylaktis dan Eric Girardin

Latar Belakang

Salah satu ciri mencolok dari ekonomi Cina sejak 1978 adalah
koeksistensi dari harga terencana dan harga pasar di banyak bidang
ekonomi. Di pasar valuta asing, tiga jenis nilai tukar telah ada. Tarif resmi,
yang tetap dan jarang berubah; tingkat swap, yang digunakan oleh
perusahaan Cina untuk menukar kuota valuta asing mereka dan
menciptakan mata uang asing pada tingkat yang ditentukan oleh Bank of
China di kota-kota terpilih, dan yang kurang dikelola sejak 1988; dan
tingkat pasar gelap atau paralel, yang ditentukan pasar. Pasar gelap muncul
karena upaya pemerintah untuk menetapkan nilai tukar dan memonopoli
akses dan penggunaan mata uang asing. Dalam tulisan ini, kami
berkonsentrasi pada perilaku tingkat pasar gelap sejak 1988. Kami
mengembangkan kerangka teoritis sederhana untuk suatu negara, seperti
Cina, dengan sistem keuangan yang belum berkembang dan di mana akses
ke kredit sebagian besar dikendalikan oleh negara, membatasi
kemungkinan arbitrase tingkat bunga. Model ini berada dalam kelas model
moneter untuk penentuan nilai tukar, yang awalnya dikembangkan untuk
nilai tukar resmi. Dalam model kami, pasar uang adalah apa yang telah
mendorong tingkat pasar gelap. Kerangka semacam ini lebih cocok
daripada model keseimbangan portofolio, yang menekankan di antara
faktor-faktor lain pertimbangan portofolio berdasarkan pada perbedaan
suku bunga. Hal ini juga dianggap lebih tepat daripada penyelundupan
dan model perdagangan nyata , yang menekankan permintaan transaksi
untuk asing. tukar menukar dan menganalisis dampak pembatasan
perdagangan dengan asumsi bahwa motif portofolio benar-benar hilang.3
Meskipun tarif impor ada di Cina, tingkat tarif rata-rata berkurang secara
substansial selama periode pemeriksaan, dari 29,2% pada tahun 1988
menjadi Ž. 19,8% pada tahun 1996 lihat World Bank, 1997. Berbeda
dengan relaksasi tarif, ketidaktepatan akun modal tetap selama periode
pemeriksaan, mendorong agen untuk berpartisipasi dalam pasar gelap.
Kerangka pendekatan moneter yang diterapkan dalam penelitian ini
memiliki keuntungan tambahan yang memungkinkan seseorang untuk
memeriksa efek kebijakan moneter pada ekonomi dan pasar keuangan,
yang merupakan latihan yang berguna mengingat penekanan pada
kebijakan keuangan dalam periode pasca reformasi.

Metodologi

Menurut Persamaan harus ada hubungan keseimbangan jangka


panjang antara tingkat pasar gelap, tingkat swap, jumlah uang beredar di
Cina dan AS, dan tingkat pendapatan riil dan tingkat inflasi di kedua
negara ini. Dalam makalah kami, kami menggunakan beberapa teknik
vektor kointegrasi yang awalnya dikembangkan oleh Granger 1981 untuk
mengeksplorasi hubungan jangka panjang ini.

Kesimpulan

Dalam tulisan ini, kami telah memeriksa perilaku nilai tukar di


Tiongkok selama periode perdagangan dan reformasi sistem pertukaran
baru-baru ini. Kami mengembangkan model teoritis sederhana, yang
meskipun memiliki keterbatasan, misalnya tidak mengizinkan aktivitas
penyelundupan dalam permintaan transaksi untuk mata uang asing,
ditemukan untuk menjelaskan dengan relatif baik perilaku tingkat pasar
gelap dan interaksinya dengan ekonomi. Berikut ini adalah beberapa
kesimpulan dari analisis kami. Pertama, kami menemukan bahwa ada
hubungan jangka panjang antara tingkat pasar gelap, tingkat swap, output
Cina, output AS dan jumlah uang relatif. Kedua nilai tukar tersebut
ditemukan bergerak ke arah yang sama. Output riil di kedua negara
ditemukan mempengaruhi tingkat pasar gelap melalui permintaan uang,
karakteristik model moneter dibandingkan dengan pendekatan neraca
pembayaran. Selain itu, persediaan uang yang meluas menyebabkan
tingkat pasar gelap mengalami depresiasi. Kedua, model koreksi kesalahan
telah mengungkapkan berbagai interaksi menarik antara variabel. Sebagai
contoh, nilai tukar telah ditemukan menjadi lemah eksogen, sementara
tingkat pasar gelap, yang ditentukan pasar, menyesuaikan untuk
mengembalikan keseimbangan jangka panjang setelah terjadinya
guncangan. Pada saat yang sama, pengembalian tingkat pasar gelap
memiliki efek negatif yang substansial pada pertumbuhan output. Hasilnya
juga menunjukkan pentingnya wilayah Pasifik-Basin bagi ekonomi AS.
Pertumbuhan output Cina memiliki efek kecil pada pertumbuhan AS.
Akhirnya, kebijakan moneter tidak terpengaruh oleh fundamental ekonomi
tetapi oleh pertimbangan politik. Hasil akhir ini, bagaimanapun, dapat
bergantung pada sampel. Seperti dibahas dalam Yu 1997, kredit bank dan
agregat uang ditentukan secara eksogen selama periode uang ketat, tetapi
tidak selama masa boom. Periode sampel kami dicirikan oleh dua periode
yang terbatas, yang pertama dimulai pada bulan September 1988 dan yang
kedua pada bulan Juli 1993 dan dengan demikian, hasil kami mungkin
didominasi oleh peristiwa-peristiwa ini. Ketiga, analisis respons impuls
menyoroti dampak kebijakan moneter dan nilai tukar. Kebijakan moneter
tidak ditemukan netral tetapi mempengaruhi output riil tanpa
meningkatkan inflasi relatif. Pada saat yang sama, tekanan inflasi
devaluasi berumur pendek, sementara ada efek jangka panjang pada output
riil.
Temuan empiris ini menunjukkan bahwa konsekuensi inflasi dari
kebijakan nilai tukar China di tahun-tahun reformasi tidak mungkin cukup
besar. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa penyatuan tarif resmi dan
swap pada tahun 1994 tidak memiliki pengaruh besar pada perubahan
inflasi relatif. Biaya inflasi devaluasi yang moderat memungkinkan
pemerintah Cina untuk lebih menekankan daya saing eksternal. Hasil kami
menyiratkan bahwa lebih banyak upaya harus dilakukan untuk mencegah
aktivitas pasar gelap karena efek negatifnya terhadap output nyata.
Liberalisasi lebih lanjut dari pasar valuta asing, misalnya pengangkatan
kontrol atas arus modal, dapat mengurangi motivasi untuk berpartisipasi di
pasar gelap. Namun, rekomendasi semacam itu harus diperlakukan dengan
hati-hati karena dua alasan. Pertama, hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa output yang diukur secara resmi adalah proksi yang baik untuk
keseluruhan output, yang mencakup kegiatan penyelundupan. Kedua, itu
bisa membuat China rentan terhadap jenis arus masuk modal volatil jangka
pendek yang sama yang telah terbukti sangat mengganggu di sebagian
besar negara Asia. Selain itu, temuan kami menunjukkan, tunduk pada
peringatan yang disebutkan, bahwa sikap kebijakan moneter yang lebih
ekspansif di Tiongkok mungkin menjadi penangkal yang sesuai untuk
dampak deflasi dari krisis keuangan yang telah melanda kawasan itu sejak
pertengahan 1997. Devaluasi, yang juga dapat digunakan karena telah
terbukti memiliki efek jangka panjang pada output, dapat memicu putaran
devaluasi lain oleh negara-negara Asia Tenggara dengan efek bencana
pada ekonomi dunia.engeksplorasi hubungan jangka panjang ini.

7. Effectiveness of Foreign Exchange Market Intervention in Nigeria


(1970-2013) Oleh Siba Dayyabu, Azrin Adnan dan Zunaidah Sulong
2016

Latar Belakang

Kebijakan ekonomi makro sering memiliki dampak signifikan


terhadap kinerja ekonomi ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan-
kebijakan ini digunakan untuk mencapai beberapa tujuan ekonomi makro
seperti pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, stabilitas harga dan
nilai tukar, tingkat pekerjaan penuh dan posisi neraca pembayaran yang
memuaskan (Moreno, 2005). Mencapai tujuan-tujuan ini penting agar
setiap ekonomi yang masuk akal menjadi makmur, meskipun satu tujuan
kadang-kadang bisa bertentangan dengan yang lain. Kedua kebijakan
moneter dan nilai tukar digunakan bersama dengan kebijakan
makroekonomi lainnya, seperti kebijakan fiskal, untuk mencapai tujuan
makroekonomi akhir ini (Mohamad, 2009). Lebih dari dua dekade yang
lalu, Bank Sentral Nigeria (CBN) telah melakukan intervensi di pasar
valuta asing (FEM) untuk mendukung dan menstabilkan nilai Naira,
meskipun upaya-upaya pendukungnya tetap sementara dan berumur
pendek (Sanusi, 2004; Adebiyi , 2007). Sebagai contoh, Nigeria telah
menjadi salah satu negara paling aktif di FEM antara 1993 dan 1995
(Adebiyi, 2007; Omojolaibi dan Gbadebo, 2014). Di bulan Desember 2014
saja, CBN menghabiskan sekitar $ 2,3 miliar untuk mempertahankan
Naira dari kehilangan nilainya (Nweze, 2015). Juga, dalam upaya lain
untuk memperkuat dan menstabilkan nilai Naira, CBN melakukan
intervensi lain beroperasi pada kuartal pertama 2015. Proses senilai CBN $
4,7 miliar (Komolafe, 2015).

Nigeria telah mengalami rejeki tak terduga pada tahun 1970-an


yang berhasil oleh tahun defisit anggaran. Ini menyebabkan munculnya
dan implementasi Program Penyesuaian Struktural (SAP) di Indonesia
1986 seperti yang direkomendasikan oleh Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia sebagai sarana untuk memulihkan dan
meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan ekonomi tertentu (Oyinbo
dan Rekwot, 2014). Di antara kondisi SAP adalah bahwa naira harus
direndahkan dan dibiarkan mengambang bebas di FEM (diregulasi);
nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Sejak itu, seperti yang dianut oleh
Adebiyi (2007), CBN telah melakukan intervensi di luar negeri bertukar
pembelian.

Teori
Nilai tukar dilihat sebagai nilai relatif domestic mata uang dalam
bentuk valuta asing (Mussa, 1984; Ahmed, 2001). Nilai tukar Naira per
dolar AS adalah jumlahnya Naira diperlukan untuk mendapatkan satu unit
dolar AS (Jhingan, 2005; Campbell, 2010; Omojolaibi dan Gbadebi,
2014). Nilai tukar juga didefinisikan sebagai harga aset itu nilainya
tergantung pada pasokan relatif domestik dan asing aset keuangan dan
pendapatan domestik dan asing (Ardalan,2004).

Intervensi FEM juga dikenal sebagai Intervensi Bank Sentral


(Dominguez, 1998) atau Intervensi Resmi (Simwaka dan Mkandawire,
2006) atau Intervensi Penukaran Asing seperti yang digunakan oleh
Waheed (2010). Intervensi resmi mengacu pada pejabat pengumuman,
penjualan atau pembelian oleh pemerintah tertentu otoritas moneter yang
dimiliki yang bertujuan untuk mempengaruhi domestic mata uang
(Simatele, 2003). Tampaknya telah ditetapkan bahwa penilaian mata uang
yang lebih tinggi mempengaruhi daya saing eksternal komoditas yang
diproduksi di dalam negeri (Jhingan, 2005). Ini adalah karena mata uang
dengan nilai yang lebih tinggi cenderung menarik lebih sedikit asing pasar
dan sebaliknya. Artinya, negara-negara dengan nilai rendah mata uang
memiliki keunggulan daya saing eksternal yang lebih tinggi rekan-rekan
mereka.

Metode Penelitian

Untuk tujuan penelitian ini, model SVAR berdasarkan model


koreksi kesalahan vektor multivariat (VECM) diterapkan untuk menguji
interdependensi linear antara variabel intervensi, agregat moneter dan
variabel Naira / Dolar AS untuk melacak efek guncangan yang berasal dari
endogen variabel ke variabel lain, dan bayangan lebih terang tentang
kepentingan relatif dari setiap kebijakan valuta asing acak dalam
mempengaruhi nilai tukar dalam model.

Hasil Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi efektivitas intervensi FEM di FEM
menggunakan Nigeria sebagai studi kasus. Makalah ini lebih lanjut
menggunakan VECM untuk melacak hubungan dan sifat kausalitas antara
nilai tukar dan variabel intervensi. Hasilnya menunjukkan kehadiran
hubungan jangka panjang antara intervensi pengoperasian bursa CBN dan
Naira. Apalagi hasil dari Tes Pairwise Granger Causality yang terkenal
menekankan kehadiran kausalitas unidirectional berjalan dari variabel
intervensi ke jumlah uang beredar. Ini memiliki efek yang parah pada
stabilitas harga. Akibatnya, makalah menyimpulkan bahwa operasi
intervensi dalam

FEM memulai dengan CBN tidak disterilkan. CBN telah aktif di


FEM sejak 1986 (Sanusi, 2004; Adebiyi, 2007). Tetapi Naira juga telah
kehilangan nilainya dalam FEM dengan menyedihkan. Artinya, CBN
memiliki sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali menstabilkan nilai
naira. Alasan utamanya adalah ketidakmampuan CBN untuk mensterilkan
jumlah uang yang digunakan selama intervensi operasi. Ini telah
menyebabkan peningkatan terus-menerus dalam harga barang dan jasa
domestik. Namun, untuk operasi intervensi Agar berhasil dan efektif, CBN
harus terakumulasi dan dipelihara jumlah cadangan devisa yang wajar.
Cadangan devisa masuk sebagian besar negara digunakan untuk campur
tangan di FEM. Selain itu, negara-negara dengan tingkat cadangan devisa
yang tinggi cenderung menarik investor asing daripada sebaliknya. Dewan
Manajemen Bank Sentral, perumusan kebijakannya dan implementasi
harus bebas dari pengaruh politik apa pun. Bahwa katakanlah, formulasi
kebijakan di bank sentral harus gratis campur tangan politik. Ini akan
memungkinkan dewan manajemen untuk memiliki tenaga profesional
yang akan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang relevan
yang akan mengembalikan dan mempertahankan yang berharga dan
negara yang stabil.
CBN harus memastikan bahwa semua jumlah mata uang yang
digunakan selama operasi intervensi disterilkan. Sudah diketahui bahwa
tidak sterilisasi Intervensi dikaitkan dengan peningkatan volume uang
yang beredar. Akibatnya, itu mengarah ke inflasi, dan itu juga
mempengaruhi kinerja ekonomi secara negatif. Harus ada keselarasan
antara moneter dan fiskal dan kebijakan intervensi. Ini akan meningkatkan
efektivitas semua kebijakan karena mereka menargetkan dan bertujuan
mencapai tujuan yang sama. Akibatnya, naira yang stabil dan relatif
berharga dapat dijamin. CBN harus membuat band paritas nilai tukar di
luar naira tidak akan dibiarkan terdepresiasi menghargai seperti yang
mungkin terjadi.

Perubahan biro dan pasar paralel harus dipantau dan dikendalikan


dengan benar. Alasan utama di sini adalah kesenjangan yang lebar antara
nilai tukar resmi naira dan nilai tukar naira di Bureau de Change dan
pemasar hitam. Deregulasi FEM harus dimonitor secara ekstensif dan
dengan sangat hati-hati. Ini bisa dilakukan dengan memulai strategis
operasi intervensi (misalnya, mengelola pegging) yang akan menstabilkan
dan mengembalikan nilai Naira.

8. Effects of Hedging Foreign Exchange Risk on Financial Performance


of Non-Banking Companies Listed at the Nairobi Securities Exchange
(Pengaruh Risiko Nilai Tukar Mata Uang Asing Terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan Non-Perbankan Terdaftar di Bursa Efek
Nairobi) Onesmus Mutunga Nzioka & Faith M. Maseki,2017

Latar Belakang

Risiko Nilai Tukar Mata Uang didefinisikan sebagai eksposur


suatu lembaga / perusahaan terhadap kemungkinan dampak fluktuasi nilai
tukar mata uang asing. Shapiro (1996) menyatakan bahwa ada tiga jenis
risiko nilai tukar mata uang asing yang dihadapi oleh perusahaan yaitu;
risiko terjemahan atau akuntansi, risiko transaksi, dan risiko ekonomi.
Lingkungan operasi untuk bisnis menjadi sangat tidak stabil setelah
meningkatnya globalisasi dan internasionalisasi perusahaan. Bersama
dengan ini, lingkungan bisnis di Kenya telah menyaksikan variasi tinggi
dalam nilai tukar asing selama masa lalu sebagai Kenya shilling
terdepresiasi terhadap Dollar Amerika Serikat yang banyak digunakan.
Karena sebagian besar perusahaan baik sumber input mereka atau
penjualan output mereka secara internasional, mereka telah dipengaruhi
oleh fluktuasi nilai tukar meminta mereka untuk menerapkan langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengelola risiko valuta asing.

Hedging secara konvensional telah didefinisikan sebagai taktik


untuk mengurangi risiko dalam menegakkan posisi pasar sementara
spekulasi mengacu pada mengambil posisi dalam cara pasar akan bergeser.
Saat ini, strategi hedging dan spekulasi, bersama dengan derivatif, adalah
alat atau metode serbaguna yang memungkinkan perusahaan untuk
mengelola risiko secara lebih efisien. Berbagai teknik hedging dapat
diakses untuk mengelola risiko mata uang.

Metodologi penelitian

Penelitian ini mengadopsi desain penelitian deskriptif yang


umumnya menggambarkan karakteristik situasi, peristiwa atau kasus
tertentu. Ini melibatkan pengumpulan data yang menggambarkan peristiwa
dan kemudian mengatur, tabulates, menggambarkan, dan menjelaskan
pengumpulan data dan sering menggunakan alat bantu visual seperti grafik
dan grafik untuk membantu pembaca dalam memahami distribusi data.

Penelitian ini berusaha untuk menetapkan pengaruh manajemen


risiko nilai tukar asing terhadap kinerja keuangan perusahaan non-bank
yang terdaftar di Bursa Efek Nairobi. Indikator kinerja yang dibahas
meliputi profitabilitas, pendapatan penjualan dan posisi arus kas dan
Likuiditas.
Hasil

Temuan penelitian mengungkapkan bahwa variabel independen


(hedging eksternal, lindung nilai internal, inflasi, suku bunga)
mempengaruhi kinerja perusahaan non-keuangan. Lindung nilai internal
ditemukan memiliki pengaruh terbesar pada kinerja perusahaan non-
keuangan. Temuan ini sependapat dengan Allayannis dan Ofek (2000)
yang mengamati bahwa ke depan adalah lindung nilai yang disukai untuk
meningkatkan kinerja. Juga konsisten dengan Riva (2006) yang
menetapkan penggunaan derivatif meningkatkan efisiensi bank.

Berdasarkan temuan penelitian, kesimpulan berikut dibuat.


Perusahaan dihadapkan dengan risiko nilai tukar mata uang asing dan
karenanya mencari cara untuk mengelola risiko-risiko ini. Metode
mengelola risiko ini bersifat internal (netting, lead dan lags, invoicing
dalam valuta asing dan hedges pasar uang) dan teknik eksternal yang
meliputi forward, spot, futures, opsi dan SWAPs. Teknik internal lebih
disukai daripada teknik eksternal; ini dikaitkan dengan kompleksitas yang
datang bersama dengan teknik eksternal. Teknik hedging mempengaruhi
kinerja perusahaan, yaitu profitabilitas, pendapatan penjualan dan arus kas
dan posisi likuiditas perusahaan. Teknik internal lebih efektif pada kinerja
daripada teknik eksternal.

9. The determinants of exchange rate risk management in developing


countries: evidence from Indonesia (Faktor penentu manajemen
risiko nilai tukar di negara-negara berkembang: bukti dari Indonesia)
Nevi Danila & Chia-Hsing Huang, 2016.

Latar belakang

Untuk perusahaan multinasional, hedging digunakan untuk


mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing mereka dari operasi dan
transaksi mata uang asing (Bartram,2008) dan lindung nilai meningkatkan
nilai perusahaan jika membawa lebih banyak manfaat daripada biaya
(Stulz, 1984). Nance dkk. (1993) menyatakan bahwa nilai perusahaan
meningkat karena hedging melalui penurunan pajak diharapkan, biaya
yang diharapkan dari kesulitan keuangan dan biaya agensi lainnya.
Klimczak (2008) membagi hedging perusahaan ke dalam empat teori yang
berbeda, yaitu; teori keuangan, teori agensi, teori stakeholder, dan
ekonomi institusional baru.

Peneliti lain menyelidiki motivasi untuk hedging, seperti biaya


penggunaan, insentif untuk menggunakannya, dan eksposur ke valuta
asing (Guay, 1997; Guay dan Khotary, 2003); kewajiban pajak perusahaan
(Graham dan Rogers, 2002); volatilitas penghasilan akuntansi, dan
volatilitas arus kas (Allayannis dan Mozumdar, 2000).

Data dan metodologi

Sampel dari 276 perusahaan non-keuangan yang terdaftar di Bursa


Efek Indonesia diambil dari laporan tahunan tahun 2012.

Hasil

Studi empiris tentang manajemen risiko nilai tukar di Indonesia


tidak sama dengan penelitian di negara maju. Temuan kami menegaskan
bahwa hanya ukuran perusahaan (dengan total penjualan sebagai proxy)
memiliki hubungan positif yang signifikan dengan hedging. Studi ini
menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan besar Indonesia adalah
konglomerat dengan berbagai unit bisnis dari perbankan, keuangan,
kehutanan, asuransi, manufaktur, real estat hingga ritel. Temuan ini juga
menunjukkan bahwa pasar lindung nilai belum matang di Indonesia.
Selain itu, perusahaan tidak akrab dengan instrumen lindung nilai atau
tidak cukup besar untuk mempekerjakan para profesional yang berurusan
dengan instrumen hedging yang rumit dan mahal.
10. An Analysis of Recent Studies of the Effect of Foreign Exchange
Intervention oleh Christopher J. Neely 2005

Latar Belakang

Intervensi memiliki beberapa karakteristik yang mempersulit


kemampuan seseorang untuk mempelajarinya. Ini dilakukan secara
sporadis, dengan beberapa intervensi selama beberapa hari atau minggu.
Dengan demikian, ia memiliki distribusi yang tidak biasa. Kebijakan
intervensi jarang stabil untuk waktu yang lama. Akhirnya, karena
intervensi cepat bereaksi terhadap pergerakan nilai tukar dan variabel lain,
nilai tukar dan intervensi ditentukan secara bersamaan. Masalah-masalah
ini telah menyulitkan untuk menunjukkan bahwa intervensi bank sentral
telah mengurangi volatilitas nilai tukar atau memindahkan nilai tukar ke
arah yang diinginkan. Namun, setiap bankir sentral yang disurvei di Neely
(2000) —mereka yang benar-benar melakukan intervensi — tetap yakin
bahwa intervensi efektif dalam mengubah nilai tukar. Baru-baru ini dua
fenomena telah meningkatkan pemahaman kita tentang intervensi. Yang
pertama adalah penggunaan studi peristiwa untuk mengevaluasi efek
intervensi. Kemajuan kedua adalah penggunaan data frekuensi tinggi —
baik nilai tukar maupun intervensi — untuk lebih memahami perilaku nilai
tukar segera di sekitar intervensi.

Teori

Intervensi valuta asing adalah praktik otoritas moneter membeli


dan menjual mata uang di pasar valuta asing untuk mempengaruhi nilai
tukar. Para peneliti telah mempelajari apakah intervensi berhasil dalam
mempengaruhi pergerakan nilai tukar dan bagaimana hal itu
mempengaruhi volatilitas. Yang kedua, mereka bertanya bagaimana jenis
intervensi mempengaruhi hasil ini dan melalui saluran yang mungkin
beroperasi. studi peristiwa adalah pemeriksaan perilaku harga aset yang
terkait dengan beberapa peristiwa, seperti merger, pengumuman, atau
intervensi. Studi peristiwa digunakan untuk menilai reaksi pasar terhadap
acara tersebut, bagaimana peristiwa memengaruhi harga, dan apakah pasar
memberi harga acara secara efisien.

Metode Penelitian

Para peneliti telah menggunakan setidaknya tiga jenis penelitian


untuk menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini: Sejauh ini jenis penelitian
yang paling umum telah menjadi studi peristiwa time-series. Baru-baru ini,
para peneliti telah mengejar jenis acara studi yang berbeda di mana
intervensi dikelompokkan ke dalam kelompok dan efek gugus dianggap
sebagai satu peristiwa. Ini akan disebut studi peristiwa lainnya. Kedua
jenis studi peristiwa memeriksa perilaku nilai tukar sekitar intervensi,
tanpa membuat asumsi eksplisit tentang proses penghasil data. Jenis
penelitian ketiga — dan yang paling umum — adalah analisis struktural
yang teridentifikasi secara eksplisit tentang efek-efek intervensi. Kami
secara singkat menjelaskan masing-masing prosedur ini sebelum
melanjutkan ke tinjauan pustaka.

Hasil Penelitian

Penelitian ini secara selektif meninjau dan menganalisis literatur


terbaru tentang intervensi untuk menyarankan area untuk kemajuan lebih
lanjut. Pemeriksaan ini didorong oleh dua tren baru-baru ini yang telah
berkontribusi pada studi tentang intervensi bank sentral: i) penggunaan
data frekuensi tinggi dan ii) metodologi studi peristiwa. Teknik studi acara
telah dimotivasi oleh argumen bahwa itu lebih cocok untuk mempelajari
proses intervensi sporadis, bergerombol. Dan data frekuensi tinggi
tampaknya mengurangi bias simultanitas yang mengganggu studi harian.
Dalam konteks tinjauan selektif literatur tentang efek intervensi,
makalah ini berpendapat bahwa bahkan studi peristiwa nonparametrik
masih tunduk pada semua masalah ekonometrik yang menimpa prosedur
ekonometrik yang lebih konvensional. Pemeriksaan simultanitas dalam
studi peristiwa nonparametrik menggambarkan hal ini. Studi peristiwa
akan benar menyimpulkan efek struktural dari intervensi hanya di bawah
kondisi yang cukup kuat. Pengakuan asumsi yang eksplisit dan analisis
keterbatasan prosedur bukanlah kritik terhadap studi intervensi.
Sebaliknya, identifikasi kelemahan secara eksplisit memungkinkan
peneliti untuk menilai hasil secara lebih realistis dan memperbaiki
prosedurnya.

Sehubungan dengan studi struktural,penelitian ini menunjukkan


bahwa efek intervensi dalam model makroekonomi Kim (2003) yang kaya
tidak diidentifikasi dan memperingatkan bahwa karya inovatif Kearns dan
Rigobon (2005) berpotensi tunduk pada kritik Lucas. Penelitian ini juga
berpendapat bahwa nonlinieritas intervensi - yang telah diabaikan dalam
literatur tentang efek intervensi - dapat membantu dalam mengidentifikasi
efek intervensi dan mengatasi simultanitas.

JURNAL NASIONAL

1. PENGARUH RISIKO INFLASI, RISIKO SUKU BUNGA, RISIKO


KURS VALUTA ASING, DAN LEVERAGE TERHADAP RETURN
SAHAM (Studi Pada Industri Manufaktur Sub Sektor Otomotif Dan
Komponen Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2006-
2016) Yeny Nur Khasanah & Ari Darmawan, 2018

Latar belakang

Tolak ukur kondisi ekonomi suatu negara adalah kurs valuta asing.
Kurs valuta asing merupakan harga suatu mata uang terhadap mata uang
lainnya yang mencerminkan keseimbangan permintaan dan penawaran
terhadap mata uang dalam negeri. Kurs valuta asing yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kurs Dollar AS sebagai mata uang global, dimana
hampir semua negara menyimpan cadangan devisa dalam bentuk Dollar
AS. Alasan menggunakan kurs Dollar AS karena Dollar AS menjadi acuan
untuk melakukan transaksi perdagangan terbesar di dunia, selain itu
adanya ketergantungan Indonesia terhadap mata uang Dollar AS karena
perdagangan di Indonesia masih enggunakan Dollar AS. Apresiasi kurs
Dollar AS akan meningkatkan beban hutang dan beban bunga bagi
perusahaan yang menggunakan barang impor sebagai bahan produksinya.
Hal ini akan menimbulkan risiko kurs valuta asing. Risiko kurs valuta
asing merupakan risiko yang disebabkan oleh perubahan kurs valuta asing
di pasaran yang tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan, terutama ketika
dikonversikan dengan mata uang domestik (Fahmi, 2014:557). Semakin
tinggi ketidaksesuaian tersebut maka semakin tinggi pula risiko yang
dihadapi.

Teori

Risiko Kurs Valuta Asing

Fluktuasi kurs valuta asing menciptakan ketidakpastian yang


menimbulkan adanya risiko kurs valuta asing. Risiko kurs valuta asing
merupakan risiko yang disebabkan oleh perubahan kurs valuta asing di
pasaran yang tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan, terutama ketika
dikonversikan dengan mata uang domestic (Fahmi, 2014:557). Secara
umum, transaksi valuta asing menimbulkan berbagai risiko yaitu a) risiko
pasar adalah risiko yang berkaitan dengan perubahan harga atau kurs; b)
risiko volume adalah risiko yang berkaitan dengan total aktivitas pada
pasar atau mata uang tertentu; c) risiko kredit adalah risiko yang berkaitan
dengan kemampuan pihak lawan dalam memenuhi kewajibannya; d)
technology risk adalah risiko yang berkaitan dengan tingkat kelayakan
peralatan atau teknologi yang digunakan dan kemampuan sumber daya
manusia.
Metode Penelitian

Pеnеlitian ini mеrupakan pеnеlitian pеnjеlasan (еxplanatory


rеsеarch) dеngan pеndеkatan kuantitatif.

Hasil

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan risiko inflasi,


risiko suku bunga, risiko kurs valuta asing, dan leverage sebagai salah satu
faktor penentu yang dapat menjelaskan perubahan return saham yang
diterima investor. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Mahilo
dan Parengkuan (2015) yang menyatakan bahwa risiko inflasi, risiko suku
bunga, risiko kurs valuta asing berpengaruh secara simultan terhadap
return saham.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; 1) Risiko inflasi secara


parsial berpengaruh negatif terhadap return saham; 2) Risiko suku bunga,
risiko kurs valuta asing, dan leverage secara parsial tidak berpengaruh
terhadap return saham; 3) risiko inflasi, risiko suku bunga, risiko kurs
valuta asing, dan leverage secara simultan berpengaruh positif terhadap
return saham.

2. PENGARUH RISIKO INFLASI, RISIKO SUKU BUNGA, RISIKO


NILAI TUKAR DAN LEVERAGE TERHADAP PROFITABILITAS
(Studi Pada Perusahaan Sub Sektor Makanan dan Minuman Yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012 - 2016) Drias
Amelando Prasetyo & Ari Darmawan, 2018

Latar belakang
Suatu pеrusahaan dalam mеlakukan aktivitas pеrdagangan disuatu
nеgara harus mеmpеrhatikan situasi monеtеr dan fluktuasi variabеl makro
еkonomi sеpеrti suku bunga, nilai tukar dan inflasi di dalam nеgara
tеrsеbut. Pеrusahaan juga harus mеmpеrhatikan kondisi intеrnal
pеrusahaan sеpеrti lеvеragе. Pеrusahaan manufaktur sub sеktor food and
bеvеragеs mеmpunyai pеrmasalahan pеnting yaitu tеrkait bahan baku.
Sеbagian bеsar pеrusahaan sub sеktor food and bеvеragеs masih
bеrgantung pada bahan baku impor, karеna kеtidaktеrsеdiaannya bahan
baku dalam nеgеri. Pasokan dalam nеgеri yang tеrbatas dapat mеnghambat
pеrusahaan food and bеvеragеs.Pеmеrintah harus bеrupaya untuk
mеngatasi kеtеrsеdiaan bahan baku untuk pеrusahaan. Sеbеnarnya
Indonеsia mеmiliki bahan baku yang dibutuhkan olеh pеrusahaan, tеtapi
masih kurangnya intеgritas hulu kе hilir. Faktor ini yang mеnyеbabkan
pеrusahaan food and bеvеragеs masih bеrgantung pada bahan baku impor.
Pеmbеlian bahan baku impor sangat bеrkaitan dеngan nilai tukar rupiah.
Pеrusahaan food and bеvеragеs masih bеrgantung pada bahan baku impor
yang bеrtransaksi bеrdasarkan nilai tukar rupiah tеrhadap mata uang yang
dituju pеrusahaan. Apabila nilai tukar rupiah mеlеmah tеrhadap nilai mata
uang yang dituju maka pеrusahaan harus mеngеluarkan uang rupiah yang
lеbih banyak, hal ini dapat mеrugikan pеrusahaan.Sеbaliknya, apabila nilai
tukar rupiah mеnguat tеrhadap mata uang yang dituju maka pеrusahaan
mеngеluarkan uang rupiah yang lеbih sеdikit, ini dapat mеnguntungkan
pеrusahaan. Mеnurut Miskhin (2009:111) bahwa kеtika mata uang suatu
nеgara tеraprеsiasi (mеnguat), barang yang dihasilkan olеh nеgara tеrsеbut
di luar nеgеri mеnjadi lеbih mahal dan barang-barang luar nеgеri di nеgara
tеrsеbut mеnjadi lеbih murah (asumsi harga domеstik konstan di kеdua
nеgara) dan sеbaliknya, kеtika mata uang suatu nеgara tеrdеprеsiasi
(mеlеmah), barang-barang nеgara tеrsеbut yang di luar nеgеri mеnjadi
lеbih murah dan barang-barang luar nеgеri di nеgara tеrsеbut mеnjadi
lеbih mahal. Barang dalam nеgеri lеbih murah kеtika kurs rupiah tеrhadap
dolar AS mеlеmah dan sеbaliknya. Barang dalam nеgеri lеbih mahal
kеtika kurs rupiah tеrhadap dollar mеnguat.
Kajian Pustaka

Risiko Inflasi

Inflasi adalah suatu kеadaan dimana sеcara umum harga-harga


mеlambung tinggi dan nilai dari uang tеrsеbut mеngalami pеnurunan
(McTaggart, 2003:664). Angka inflasi dihitung dari pеrsеntasе pеrubahan
indеks harga konsumеn (IHK) pada suatu saat dibandingkan dеngan IHK
pada pеriodе sеbеlumnya. Indеks harga konsumеn (IHK) adalah
pеrbandingan rеlatif dari harga suatu pakеt barang dan jasa pada suatu saat
dibandingkan dеngan harga-harga barang dan jasa pada tahun dasar, dan
dinyatakan dalam pеrsеn (Gilarso, 2004:201). Inflasi mеrupakan salah satu
risiko makro еkonomi yang dihadapi olеh pеrusahaan. Risiko inflasi
adalah risiko bеrkurangnya daya bеli invеstasi karеna tеrjadinya kеnaikan
harga-harga konsumsi. Mеnurut Sunariyah (2001:21), mеningkatkan
inflasi sеcara rеlatif adalah signal nеgatif bagi invеstor. Dilihat dari sеgi
masyarakat, inflasi yang tinggi akan mеnyеbabkan daya bеli masyarakat
mеnurun. Jika dilihat dari sеgi pеrusahaan, inflasi dapat mеningkatkan
biaya pеrusahaan sеpеrti harga bahan baku untuk mеmproduksi suatu
produk akan mеningkat.

Risiko Nilai Tukar

Pеngеrtian nilai tukar mata uang asing sеcara bеbas dapat diartikan
sеbagai mata uang yang dikеluarkan dan digunakan sеbagai alat
pеmbayaran yang sah di nеgara lain (Bеrlianita, 2005:1). Pеndapat lainnya
harga dimana mata uang suatu nеgara dipеrtukarkan dеngan mata uang
nеgara lain yang disеbut nilai tukar (Puspopranoto, 2004:212). Nilai tukar
mеrupakan salah satu risiko makro еkonomi yang dihadapi olеh
pеrusahaan. Risiko nilai tukar adalah risiko akibat fluktuasi mata uang
domеstik dеngan mata uang nеgara lain. Pada pеnеlitian ini risiko nilai
tukar fluktuasi antara rupiah dеngan dolar AS.
Leverage

Lеvеragе mеngandung biaya tеtap yang diharapkan dapat


mеnghasilkan kеuntungan. Mеnurut Syamsuddin (2013:89), lеvеragе
mеrupakan kеmampuan pеrusahaan dalam mеnggunakan aktiva atau dana
yang mеmpunyai bеban tеtap (fixеd cost assеts or funds) untuk
mеmpеrbеsar tingkat pеnghasilan (rеturn) bagi pеmilik pеrusahaan.

Profitabilitas

Profitabilitas adalah kеmampuan pеrusahaan mеmpеrolеh laba


dalam hubungannya dеngan pеnjualan, total aktiva maupun modal sеndiri
(Sartono, 2012:122).

Mеtode Pеnеlitian

Pеnеlitian ini mеrupakan pеnеlitian pеnjеlasan (еxplanatory


rеsеarch) dеngan pеndеkatan kuantitatif.

Hasil

Risiko inflasi sеcara parsial tidak bеrpеngaruh signifikan tеrhadap


profitabilitas. Hasil pеnеlitian ini sеsuai dеngan pеrnyataan Tandеlilin
(2001:214) yang mеngatakan bahwa inflasi mеningkatkan pеndapatan dan
biaya pеrusahaan. Pеningkatan inflasi dipеngaruhi olеh inflasi kеlompok
administеrеd pricе dan volatilе foods yang mеnyеbabkan pеrusahaan harus
mеnyеsuaikan harga jual produk pеningkatan biaya yang sudah
dikеluarkan pеrusahaan untuk mеmproduksi suatu produk. Hal tеrsеbut
yang tidak mеmpеngaruhi profitabilitas pеrusahaan. Karеna harga jual
produk lеbih tinggi dibandingkan biaya yang dikеluarkan pеrusahaan.
Kеnaikan risiko inflasi dapat mеningkatkan profitabilitas sеcara tidak
signifikan.
Risiko suku bunga secara parsial tidak berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas; Pеningkatan suku bunga didasari dеngan adanya
pеningkatan pеrtumbuhan pеnawaran mata uang rupiah, tingkat suku
bunga Nеgara asing, dеfisit anggaran nеgara, dеfisit nеraca pеrdagangan
asing dan pеningkatan pеmbеrian modal usaha olеh bank. Pada tahun
pеnеlitian ini tеrjadi pеningkatan suku bunga Bank Sеntral AS yaitu (Fеd
Fund Ratе) dan kеbijakan Bank Indonеsia yang mеnjaga stabilitas makro
еkonomi dan mеndorong momеntum pеrtumbuhan еkonomi domеstik. Hal
tеrsеbut tidak mеmpеngaruhi profitabilitas pеrusahaan sub sеctor makanan
dan minuman, karеna pеrusahaan tidak tеrjun dalam sеctor pasar
kеuangan. Kеnaikan risiko suku bunga atau BI Ratе dapat mеnurunkan
profitabilitas sеcara tidak signifikan.

Risiko nilai tukar secara parsial tidak berpengaruh signifikan


terhadap profitabilitas; Tingkat nilai tukar rupiah tеrhadap dolar AS
dipеngaruhi olеh pеrеkonomian global, еkspor dan impor, dan pеrmintaan
dan pеnawaran valas. Hal ini tidak mеmpеngaruhi tingkat profitabilitas
pеrusahaan makanan dan minuman, karеna nilai tukar rupiah tеrdеprеsiasi
tеrhadap dolar AS yang mеmbuat tingkat impor mеningkat disbanding
dеngan tingkat еkspor. Mеlеmahnya nilai tukar rupiah tеrhadap dolar AS
mеnyеbabkan barang local lеbih murah dibandingkan barang impor. Hal
ini yang mеnyеbabkan rеturn on еquity mеningkat tеtapi tidak signifikan.
Mеlеmahnya nilai tukar rupiah tеrhadap dolar AS dapat mеningkatkan
profitabilitas sеcara tidak signifikan.

Leverage secara parsial berpengaruh signifikan terhadap


profitabilitas. Hasil ini mеndukung pеnеlitian dari Jannati (2013),
Kurniawati (2014) dan Arif (2015) bahwa lеvеragе mеmiliki pеngaruh
positif dan signifikan tеrhadap profitabilitas. Hasil ini sеsuai dеngan
pеrnyataan Brеalеy.еt.al (2008:25) yang mеngatakan bahwa pеrusahaan
dеngan tingkat profitabilitas tinggi cеndеrung mеmiliki hutang yang
rеndah. Mеningkatnya lеvеragе dapat mеningkatkan profitabilitas sеcara
signifikan.

Bеrdasarkan hasil pеnеlitian ini mеnjеlaskan bahwa variablе bеbas


risiko inflasi, risiko suku bunga dan risiko nilai tukar tidak mеmpеngaruhi
profitabilitas. Variabеl еkonomi makro sеpеrti risiko inflasi, risiko suku
bunga dan risiko nilai tukar dapat mеmpеngaruhi еkspor-impor, dеficit
nеraca pеrdagangan, dеficit anggaran nеgara, pеrеkonomian global,
Produk Domеstik Bruto (PDB) dan pеrеkonomian domеstik.

3. PЕNGARUH RISIKO INFLASI, RISIKO SUKU BUNGA, RISIKO


VALUTA ASING, DAN PROFITABILITAS TERHADAP RETURN
SAHAM (Mawar Farida & Ari Darmawan,2018)

Latar belakang

Pasar modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan


nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan
wahana investasi bagi masyarakat. Pasar modal bertindak sebagai
penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun institusi
pemerintah melalui perdagangan instrumen jangka panjang seperti
obligasi, saham, dan lainnya yang disebut dengan investasi. Jogiyanto
(2008:5) menyatakan investasi merupakan suatu kegiatan dalam
menempatkan dana pada satu atau lebih asset selama periode tertentu
dengan maksud memperoleh pendapatan atau peningkatan atas modal awal
serta memperoleh return yang diharapkan oleh investor dalam batas risiko
yang dapat diterima. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham dapat
dibagi menjadi dua yaitu, faktor internal (mikro) dan faktor eksternal
(makro). Faktor eksternal yang juga sebagai panduan dalam memprediksi
return adalah inflasi (Suyanto, 2007:19). Inflasi merupakan salah satu
variabel makro yang yang mempengaruhi return. Tingkat inflasi suatu
negara akan menunjukkan risiko investasi dan hal ini akan sangat
mempengaruhi perilaku investor dalam melakukan kegiatan investasi.
Inflasi dan tingkat suku bunga yang fluktuatif merupakan dampak dari
ketidakpastian di pasar keuangan global. Kondisi tersebut didorong oleh
meningkatnya aliran masuk modal asing, seiring dengan meredanya
ketidakpastian di pasar keuangan domestik sehingga berkurangnya
tekanan terhadap rupiah. Berkurangnya tekanan terhadap rupiah, akan
memperkuat niai tukar rupiah sehingga rupiah akan terapresiasi. Apabila
rupiah terapresiasi, maka profitabilitas perusahaan akan meningkat dan
return saham yang akan diterima oleh investor juga akan lebih naik,
begitupun sebaliknya.

Kаjiаn Pustаkа

Investasi

Investasi merupakan penanaman dana untuk mendapatkan


keuntungan dengan segala risiko yang mungkin akan terjadi. Investasi
sebagai keberanian menanggung risiko dari konsekuensi atas penanaman
sejumlah dana pada sumber daya terpilih di saat ini dengan tujuan
memperoleh keuntungan di masa datang.

Risiko Inflasi

Ebert dan Griffin (2003:19) menyatakan inflasi merupakan kondisi


di mana jumlah barang yang beredar lebih sedikit dari jumlah permintaan
sehingga akan mengakibatkan terjadinya kenaikan harga yang meluas
dalam sistem perekonomian secara keseluruhan. Inflasi yang meningkat
akan mengurangi kekuatan daya beli rupiah yang telah diinvestasikan.

Risiko Suku Bunga

BI rate merupakan suku bunga acuan dari adanya kebijakan oleh


Bank Indonesia yang mencerminkan sikap dari kebijakan moneter dan
diumumkan oleh Bank Indonesia. Perubahan suku bunga bisa
mempengaruhi variabilitas return suatu investasi. Perubahan suku bunga
akan mempengaruhi harga saham secara terbalik. Artinya, jika suku bunga
meningkat maka harga saham akan turun. Demikian pula sebaliknya, jika
suku bunga turun, harga saham naik.

Risiko Valuta Asing

Risiko ini berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang


domestik (negara perusahaan tersebut) dengan nilai mata uang negara
lainnya. Risiko ini juga dikenal sebagai risiko mata uang (currency risk)
atau risiko nilai tukar (exchange rate risk).

Profitablilitas

Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk


menghasilkan keuntungan (Murhadi, 2013:63).

Metode penelitian

Dаtа yаng digunаkаn dаlаm pеnеlitiаn ini merupakan data


sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik
dokumentasi.

Hasil

Risiko inflasi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dengan


arah hubungan positif terhadap return saham. Hal ini menunjukkan bahwa
pergerakan risiko inflasi dan return saham adalah searah, yaitu apabila
risiko inflasi tinggi maka return saham perusahaan makanan dan minuman
juga akan tinggi, begitupun sebaliknya.

Risiko suku bunga mempunyai pengaruh yang tidak signifikan


terhadap return saham dengan arah hubungan positif. Hal ini menunjukkan
bahwa pergerakan risiko suku bunga dan return saham adalah searah, yaitu
apabila risiko suku bunga tinggi maka return saham perusahaan makanan
dan minuman akan tinggi, begitupun sebaliknya.

Risiko valuta asing mempunyai pengaruh yang tidak siginfikan


terhadap return saham dengan arah hubungan negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa pergerakan risiko valuta asing memiliki pengaruh
yang tidak searah, yaitu apabila risiko valuta asing tinggi maka return
saham perusahaan makanan dan minuman akan turun, dan sebaliknya.

Profitabilitas ROA mempunyai pengaruh yang tidak signifikan


terhadap return saham denga arah hubungan positif. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan ROA dan return saham adalah searah, yaitu apabila ROA
tinggi maka return saham perusahaan makanan dan minuman juga akan
tinggi, dan sebaliknya.

Risiko Inflasi, Risiko Suku Bunga, Risiko Valuta Asing, dan


Profitabilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap return saham
dengan arah hubungan positif. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
Risiko Inflasi, Risiko Suku Bunga, Risiko Valuta Asing, dan Profitabilitas
terhadap return saham adalah searah yaitu apabila Risiko Inflasi, Risiko
Suku Bunga, Risiko Valuta Asing, dan Profitabilitas tinggi maka return
saham perusahaan makanan dan minuman juga akan tinggi, dan
sebaliknya.

4. ANALISIS PENGELOLAAN VALUTA ASING TERHADAP


PROFITABILITAS PT GARUDA INDONESIA (PERSERO) TBK
oleh Akhsanul Haq dan Andir Muniroh 2015
Latar Belakang
Garuda Indonesia Airways (GIA) adalah maskapai penerbangan
nasional Indonesia yang memiliki konsep sebagai full service airline
(maskapai dengan pelayanan penuh). GIA juga merupakan perusahaan
penerbangan pembawa bendera bangsa (flag carrier) Indonesia yang
mempromosikan Indonesia kepada dunia guna menunjang pembangunan
ekonomi nasional dengan memberikan pelayanan yang profesional. Pada
tanggal 11 Februari 2011, Garuda Indonesia telah menjadi perusahaan
publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan merupakan satu-satunya
perusahaan penerbangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dalam
menyajikan laporan keuangan mata uang yang digunakan GIA adalah
dolar Amerika Serikat (US$). Hal ini dilakukan karena hampir setiap
transaksi keuangan GIA didominasi dengan valuta asing mulai dari
pembelian pesawat, leasing pesawat, pendapatan (luar negeri), sampai
dengan beban operasionalnya. Oleh karenanya GIA merupakan salah satu
perusahaan yang termasuk berpotensi menanggung risiko perubahan kurs
valuta asing. Saat ini nilai tukar rupiah terus melemah bahkan hingga
mencapai level diatas 12.000 rupiah per dolar AS pada 2013. Pada tahun
2013 GIA mencatat penurunan laba bersih (income for the period) secara
tajam sebesar 89,89% dari US$ 110,8 juta pada 2012 menjadi US$11,2
juta selama 2013.Sementara itu, laba operasi (operating income)
mengalami penurunan sebesar 66,4% menjadi US$56,4 juta dibanding
2012 ercatat US$168,1 juta.Penurunan kinerja keuangan Garuda Indonesia
pada tahun 2013 salah satunya dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS dan akibatnya harga bahan bakar sebagai
komponen beban operasi yang paling besar 50% meningkat secara
signifikan. Pada 2013 Garuda juga melakukan investasi dalam jumlah
besar berupa penambahan armada untuk menunjang peningkatan
operasional yang dibiayai dengan hutang valas.

Teori
Valuta asing atau valas merupakan mata uang yang dikeluarkan
sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain.Valuta asing akan
mempunyai suatu nilai apabila valuta tersebut dapat ditukarkan dengan
valuta lainnya tanpa pembatasan (MSS FEUI). Sedangkan menurut
Hamdy (2010) pengertian valas adalah mata uang asing yang difungsikan
sebagai alat pembayaran untuk membiayai transaksi ekonomi keuangan
internasional dan juga mempunyai catatan kurs resmi pada bank sentral.
Pasar valas adalah suatu mekanisme di mana orang mentransfer daya beli
antarnegara, memperoleh atau menyediakan kredit untuk transaksi
perdagangan internasional dan meminimalkan kemungkinan risiko
kerugian akibat terjadinya fluktuasi kurs mata uang.
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba. Menurut Kasmir (2008) rasio profitabilitas merupakan
rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencapai keuntungan.

Metode Penelitian
Metode pengolahan dan analisis data penelitian, penulis
menggunakan metode simulasi atas alternatif metode lindung nilai kurs
valuta asing yang tersedia di Indonesia.
Hasil Penelitin
1. Pengelolan Valuta Asing PT Garuda Indonesia (Persero) TbkSebelum
tahun 2014, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk belum memiliki
kebijakan yang berkaitan dengan risiko nilai tukar. Pengelolaan
piutang dan utang dalam valas yang saat ini dijalankan adalah secara
natural (tanpa lindung nilai). Pada tahun 2014, Garuda Indonesia
menandatangani melakukan kontrak cross currency swap (CCS)
dengan Bank Negara Indonesia. CCS ini dirancang sebagai arus kas
lindung nilai yang dapat memitigasi perubahan mata uang fungsional
setara arus kas terkait dengan pinjaman Indonesia Eximbank dalam
mata uang Rupiah akibat perubahan forward rate. Perjanjian ini
berlaku efektif sejak tanggal 9 Mei 2014 sampai dengan 5 Mei 2017,
dimana pada tiap-tiap tanggal pembayaran pokok dan bunga,
Perusahaan akan menerima suku bunga tetap sebesar 9,25% per tahun
atas nilai nosional Rp 500 miliar dan membayar suku bunga tetap
sebesar 2,58% per tahun atas nilai nosional USD 43.241.373.
2. Perkembangan Profitabilitas Khususnya Laba Rugi Selisih Kurs PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk Pada tanggal 31 Desember 2014,
Perusahaan mencatat rugi selisih kurs sebesar US$7.065.398 atau
menurun sebesar US$ 54.994.039 dari tahun sebelumnya rugi selisih
kurs sebesar US$47.928.641. Walaupun secara keseluruhan pada tahun
2014 mengalami kerugian selisih kurs, pemanfaatan cross currency
swap untuk melindungi pembayaran kewajiban hutang kontraktual
(sindikasi bank dan obligasi), 83 perusahaan memperoleh laba selisih
kurs sebesar USD 29.770.
3. Pengelolaan Valuta Asing Terhadap Profitabilitas PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk Metode yang dapat diperhatikan sebagai
alternatif melakukan aktivitas lindung nilai adalah kontrak forward dan
option. Berdasarkan informasi bid, ask dan jangka waktu kontak
forward, maka biaya lindung nilai piutang AUD yang jatuh tempo 1
bulan diperkirakan sebesar 1.68% per tahun dan biaya lindung nilai
utang AUD yang jatuh temponya 1 bulan adalah sebesar 1,66%. Ini
menunjukan bahwa beban kontrak lindung nilai yang dilakukan tidak
lebih besar dari kontrak lindung nilai berdasarkan cross currency swap
yaitu 2% sampai 3%. Namun berbeda dengan biaya lindung nilai
piutang Yen yang jatuh tempo 1 bulan diperkirakan sebesar 4.40% per
tahun dan biaya lindung nilai utang Yen yang jatuh temponya 1 bulan
adalah sebesar 4,18%. Hal ini menyebabkan beban kontrak lindung
nilai lebih besar dari kontrak lindung nilai berdasarkan cross currency
swap. Akan tetapi biaya call option IDR/USD berkisar 3,22% sampai
3,33% lebih besar daripada biaya kontrak lindung nilai cross currency
swap yaitu 2% sampai 3%.
5. PENGARUH NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR INDONESIA
The Influence of Exchange Rate on Indonesia’s Exports Oleh Ari
Mulianta Ginting 2013
Latar Belakang
Perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat,
menyebabkan terjadinya hubungan antar negara yang saling terkait dan
meningkatnya arus perdagangan barang maupun uang serta modal antar
negara. Diantara negara-negara ASEAN, Vietnam memiliki indeks ekspor
tertinggi, sedangkan Filipina memiliki indeks ekspor terendah. Sementara
itu nilai indeks ekspor Indonesia berada di tengah-tengah antara Malaysia
dan Singapura, dengan nilai indeks ekspor tahun 2010 sebesar 241,3.
Dengan semakin meningkatnya perkembangan ekspor, maka hubungan
perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara lain baik secara
langsung maupun tidak langsung berdampak pada perubahan indikator
makro suatu negara. Apalagi dengan diberlakukannya sistem nilai tukar
mengambang bebas (freely floating system) yang dimulai sejak Agustus
1997, maka posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing ditentukan
oleh mekanisme pasar.
Perubahan manajemen yang drastis ini berawal dari kondisi
moneter yang berubah pada saat memasuki pertengahan tahun 1997
(Goeltom dan Suardhani, 1997). Rupiah mendapatkan tekanan-tekanan
depresiatif yang sangat besar diawali dengan krisis nilai tukar di Thailand
dan menyebar ke Negara ASEAN lainya. Nilai tukar rupiah secara
simultan mendapatkan tekanan yang cukup berat karena besarnya capital
outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek
perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar tersebut diperberat
lagi dengan semakin maraknya kegiatan spekulatif buble, sehingga sejak
krisis berlangsung nilai tukar sempat mengalami depresiasi hingga
mencapai 75% (Goeltom, 1998). Perubahan nilai tukar dapat mengubah
harga relatif suatu produk menjadi lebih mahal atau lebih murah, sehingga
nilai tukar terkadang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya
saing (mendorong ekspor). Perubahan posisi ekspor inilah yang kemudian
berguna untuk memperbaiki posisi neraca perdagangan. Pemahaman
mengenai hubungan antara nilai tukar dengan neraca perdagangan maupun
output merupakan hal yang penting bagi pengambil kebijakan ekonomi.
Teori
Nilai tukar mata uang suatu Negara dibedakan atas nilai tukar
nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal merupakan harga relatif
mata uang dua negara. (Mankiw, 2003:127).
Misalnya, USD 1 bernilai seharga Rp 9.500,- di pasar uang. Sedangkan
nilai tukar riil berkaitan dengan harga relatif dari barang-barang di antara
dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat, dimana pelaku ekonomi
dapat memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-
barang dari negara lain. Nilai tukar riil di antara kedua mata uang kedua
negara dihitung dari nilai tukar nominal dikalikan dengan rasio tingkat
harga di kedua negara tersebut.
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan data sekunder berupa data time series
dengan metode analisis yang digunakan berupa analisis time series dengan
pendekatan Model Koreksi Kesalahan (Error Correction Model: ECM).
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Eviews 6.0.
Hasil Penelitian
Pertama, ekspor Indonesiadari berbagai sektor dari tahun
2005sampai tahun 2012 secara keseluruhan menunjukkan perkembangan
tren yang positif, walaupun pada tahun 2008-2009 serta tahun 2012
menujukkan terjadinya penurunan ekspor Indonesia. Demikian pula halnya
dengan ekspor ke negara tujuan utama ekspor barang dan jasa Indonesia
secara keseluruhan menunjukkan tren positif dengan Negara tujuan utama
yaitu negara-negara ASEAN, Eropa, dan Amerika. Namun pada tahun
2008-2009 serta tahun 2012 telah terjadi penurunan ekspor Indonesia.
Kedua, berdasarkan hasil analisis regresi jangka panjang ternyata
nilai tukar memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekspor
Indonesia. Hal ini menunjukkan semakin kuatnya nilai tukar (apresiasi)
akan menyebabkan semakin menurunnya ekspor Indonesia. Demikian pula
halnya dengan PDB yang memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap ekspor. Hal ini menunjukkan semakin tingginya pertumbuhan
ekonomi Indonesia semakin meningkat kinerja ekspornya.
Ketiga adalah dalam jangka pendek nilai tukar memiliki pengaruh
yang negative dan signifikan terhadap ekspor Indonesia. Koefisien ECT
menghasilkan tanda negatif dan signifikan yang mengandung arti bahwa
konvergensi variabel ekspor untuk menuju keseimbangan terjadi jika
terjadi shock dalam perekonomian.
6. PENGARUH JUMLAH PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KURS
VALUTA ASING TERHADAP EKSPOR PERHIASAN PERAK DI
KABUPATEN GIANYAR Oleh Kadek Julia Lestari dan I G A P
Wirathi 2016
Latar Belakang
Kerajinan perak Bali pada masa sekarang dapat dilihat dari bentuk
dan jenis beragam, memiliki makna simbolis, sintetis, ekonomis dan sosial
budaya. Pada masa sekarang hampir di sepanjang jalan di Desa Celuk akan
dijumpai pengrajin perhiasan perak. Hasil kerajinan perak di Desa Celuk
Kabupaten Gianyar mempunyai kualitas tinggi, yang dapat memproduksi
dalam jumlah besar yang dikerjakan oleh hampir semua penduduk
setempat baik skala lokal, nasional maupun internasional. Kerajinan perak
antara lain cincin, gelang, kalung, antinganting, bross maupun perhiasan
lain. Barang cendramata dari emas maupun perak seperti patung, sendok,
garpu adalah komoditi ekspor. Jumlah produksi, tenaga kerja, dan kurs
valuta asing memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan ekspor.
Kegiatan ekspor perak dipengaruhi dengan adanya kurs valuta asing.
Ketika terjadi peningkatan nilai kurs dollar, volume ekspor meningkat.
Penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing mengakibatkan
meningkatnya biaya impor bahan-bahan baku produksi. Meskipun nilai
tukar yang menurun, hal ini mendorong perusahaan melakukan ekspor
(Sukirno, 2002).
Teori
Amir (2003 : 1) menyatakan bahwa ekspor ialah upaya penjualan
komoditi yang dimiliki kepada negara asing, pembayaran dalam bentuk
valuta asing, dan berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Menurut
Dini Ayu Noviangsih (2011)
kegiatan ekspor sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi penduduk
tersebut yang akan secara langsung meningkatkan penerimaan dalam
pendapatan suatu negara. Menurut Suci Endang (2000) mengenai
pengaruh jumlah tenaga kerja, produksi terhadap ekspor bahwa semakin
meningkatnya jumlah tenaga kerja maka produksi yang dihasilkan suatu
perusahaan akan semakin meningkat maka jumlah ekspor produksi
tersebut juga akan meningkat.
Menurut Anita Faiziah (2014) pada kondisi normal terdapat teori
ekonomi klasik yang berlaku dimana pertumbuhan jumlah tenaga kerja
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah, sehingga apabila
jumlah tenaga kerja yang terserap pada suatu daerah tinggi maka
perekonomian daerah tersebut akan tinggi pula. Namun hal tersebut tidak
sepenuhnya berlaku mengingat terjadinya beberapa hal yang tidak sesuai
dengan keadaan normal.
Metode penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Celuk Kabupatan Gianyar
Provinsi Bali yang mempunyai usaha pengrajin pehiasan perak. Desa
Celuk terdapat di Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar, Bali. Dalam
hal ini dipilih lokasi di Desa Celuk Kabupaten Gianyar dikarenakan
sebagian besar pengrajin perhiasan perak di Kabupaten Gianyar perak
terletak di Desa Celuk. Objek penelitian ini difokuskan pada faktor jumlah
produksi, tenaga kerja, dan kurs valuta asing yang mempengaruhi kegiatan
ekspor perhiasan perak di Desa Celuk Kabupatan Gianyar Provinsi Bali.
Data yang digunakan ialah data kuantitatif dan data kualitatif. Data
kuantitatif dalam penelitian ini ialah jumlah tenaga kerja kurs valuta asing,
dan jumlah ekspor perhiasan perak di Desa Celuk Kabupaten Gianyar
Provinsi Bali. Data kualitatif dalam penelitian ini ialah keterangan
mengenai bagaimana kegiatan produksi dan ekspor perhiasan perak di
Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Penelitian ini bersumber dari data
sekunder.
Hasil Penelitian
1. Secara simultan variabel jumlah produksi, tenaga kerja dan kurs valuta
asing berpengaruh signifikan terhadap ekspor perhiasan perak di
Kabupaten Gianyar dengan R² sebesar 0,530 yang memiliki arti bahwa
secara statistik 53 persen dari variabel ekspor perhiasan perak di
Kabupaten Gianyar dipengaruhi faktor jumlah produksi, tenaga kerja,
dan kurs valuta asing, sedangkan sisanya sebesar 47 persen
dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya.
2. Secara parsial variabel jumlah produksi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ekspor perhiasan perak di Kabupaten Gianyar,
sedangkan variable tenaga kerja dan kurs valuta asing tidak
berpengaruh signifikan terhadap ekspor perhiasan perak di Kabupaten
Gianyar.
3. Jumlah produksi merupakan variabel yang berpengaruh dominan
terhadapekspor perhiasan perak di Kabupaten Gianyar.
7. ANALISIS FLUKTUASI VALUTA ASING RP/USD
PENGARUHNYA TERHADAP VOLUME EKSPOR DI SULAWESI
UTARA Oleh: Trivena Fristy Bakampung

Latar Belakang

Kurs rupiah terhadap dollar AS memainkan peranan penting dalam


perdagangan internasional, karena kurs rupiah terhadap dollar AS
memungkinkan kita untuk membandingkan harga semua barang dan jasa
yang dihasilkan dari berbagai negara. Ekspor merupakan bagian penting
dalam perdagangan internasional. Sulawesi Utara merupakan salah satu
propinsi di Indonesia yang memiliki struktur ekspor non migas
diantaranya dengan beberapa komoditi andalannya berupa minyak kelapa,
tepung kelapa, kopra, arang tempurung, cengkih, vanili, dan sebagainya.

Sumber Data

Jenis penelitian ini mengunakan data kuantitatif sedangkan jenis


data yang digunakan adalah data deret waktu (Time series) yang dalam hal
ini penulis bekerja sama dengan pihak pemerintah Sulawesi Utara yaitu
instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara dan Bank
Indonesia Sulawesi Utara.

Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam skripsi ini adalah model
regresi sederhana dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Model ini
akan memperlihatkan hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dan
variabel terikat. Ekspor merupakan variabel terikat sedangkan fluktuasi
valuta asing, dinyatakan sebagai variabel bebasnya.

Kesimpulan

1. Tingkat Fluktuasi Valas berpengaruh positif dan signifikan terhadap


Volume Ekspor

2. Variasi dari perubahan tingkat kurs mempengaruhi perubahan volume


ekspor sebesar 47.17%. Sedangkan sisanya (52.83%) dijelaskan oleh
variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model seperti jumah
uang beredar, jumah produksi komoditi yang dikspor dan tingkat suku
bunga.

8. ANALISIS PENGARUH FLUKTUASI KURS VALUTA ASING


DAN KEBIJAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DALAM
PERIODE 2000-2008 TERHADAP KINERJA PT ASTRA
INTERNASIONAL DI INDONESIA (Mohamad Heykal1, Theresa
Febrona, dan Hidayatullah)

Latar Belakang

Kuartal keempat di tahun 2008 merupakan puncak dari Krisis


Keuangan Global, yaitu turunnya likuiditas perusahaan-perusahaan di
seluruh dunia. Di Indonesia, dampak dari krisis keuangan pun juga dapat
dirasakan terutama dengan adanya kenaikan kurs valuta asing yang
mengakibatkan jatuhnya mata uang rupiah serta sentimen negatif pasar
bahwa permintaan energi akan turun akibat krisis keuangan global yang
mengakibatkan turunnya harga bahan bakar minyak. Harga bahan minyak
di dalam negeri juga menurun akibat turunnya harga minyak dunia.
Industri otomotif di tanah air sangat rentan terhadap perubahan di
Fluktuasi kurs valuta asing serta harga bahan bakar minyak (BBM) yang
terjadi akibat krisis ini. Pengaruhnya antara lain: (1) naiknya kurs valuta
asing berakibat pada naiknya harga komponen industri otomotif yang
mayoritas harus diimpor dari negara lain; (2) naiknya kurs valuta asing
berakibat naiknya harga-harga dan turunnya daya beli masyarakat; (3)
turunnya daya beli masyarakat yang akan mempengaruhi penjualan. Maka
dapat disimpulkan, perubahan di kedua variabel tersebut akan sangat
berpengaruh terhadap kinerja keuangan di industri otomotif, secara khusus
terhadap PT Astra Internasional Tbk yang sebagian komponen produknya
didapatkan dari luar negeri.

Metodologi

Tehnik analisa laporan keuangan yang dapat digunakan untuk


mengukur kinerja perusahaan antara lain: (1) Analisa Perbandingan
Laporan Keuangan, yaitu metode analisa dengan membandingkan laporan
keuangan untuk dua periode atau lebih, dengan menunjukkan: data absolut
atau jumlah dalam rupiah, kenaikan atau penurunan dalam jumlah rupiah,
kenaikan atau penurunan dalam presentase atau persentase total; (2) tren
keuangan perusahaan yang dinyatakan dalam presentase (trend precentage
analysis), yaitu metode analisa dengan mengukur kecenderungan kondisi
keuangan perusahaan; (3) laporan dengan presentase per komponen atau
common size statement, yaitu suatu metode analisis untuk mengetahui
persentase investasi pada masing-masing aktiva terhadap total aktivanya,
juga untuk mengetahui struktur permodalannya dan komposisi
pembiayaan yang terjadi jika dihubungkan dengan jumlah penjualannya;
(4) Analisa Sumber dan penggunaan modal kerja, yaitu suatu analisa untuk
mengetahui sumber-sumber penggunaan modal kerja dan penggunaannya
serta sebab-sebab perubahan modal kerja dalam periode tertentu; (5)
Analisa Sumber dan penggunaan kas, yaitu suatu analisa untuk
mengetahui sumber-sumber penggunaan kas dan penggunaannya serta
sebabsebab perubahan jumlah kas dalam periode tertentu; (6) Analisa
Rasio, yaitu metode analisa untuk mengetahui hubungan dari pos-pos
tertentu dalam laporan keuangan; (7) Analisis perubahan laba kotor (gross
profit analysis), yaitu suatu analisis untuk mengetahui sebab-sebab
perubahan laba kotor suatu perusahaan dari periode ke periode yang lain
atau perubahan laba kotor suatu periode dengan laba yang dibudgetkan
untuk periode tersebut; (8) Analisis break even, yaitu suatu analisis untuk
menentukan tingkat penjualan yang baru harus dicapai oleh suatu
perusahaan agar perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian, tetapi juga
belum memperoleh keuntungan. Dengan analisis break-event ini juga akan
diketahui berbagai tingkat keuntungan atau kerugian untuk berbagai
tingkat penjualan.

Kesimpulan

Berikut ini adalah kesimpulan dan saran dari pembahasan atas


penilaian kinerja PT Astra Internasional, yang merupakan salah satu
kelompok bisnis terbesar di Indonesia yang terutama bergerak di bidang
otomotif, namun juga memiliki anak-anak perusahaan di bidang jasa
keuangan, agribisnis, alat-alat berat, teknologi informasi dan infrastruktur.
Secara umum, kinerja PT Astra Internasional mengalami peningkatan
sejak tahun 2000, namun di tahun 2005 sedikit menurun. Penurunan
kinerja juga terjadi di tahun 2008 meski tidak signifikan seperti di tahun
2005.

Penurunan kinerja tersebut secara langsung diakibatkan oleh:


turunnya tingkat pendapatan, terutama di penjualan kendaraan bermotor
dan suku cadangnya di tahun-tahun tersebut dan naiknya biaya pokok
pendapatan, akibat naiknya biaya impor serta biaya pengiriman. Turunnya
tingkat pendapatan di tahun 2005 dan 2008 disebabkan oleh menurunnya
tingkat penjualan kendaraan bermotor domestik di tahun-tahun tersebut
akibat lemahnya permintaan pasar sejak kenaikan harga bahan bakar
minyak di tahun 2005. Naiknya biaya pokok pendapatan di tahun 2005 dan
2008 antara lain disebabkan oleh kenaikan kurs dolar secara signifikan di
tahun-tahun tersebut, serta naiknya harga bahan bakar minyak di tahun
2005 dan 2008. Fluktuasi kurs valuta asing serta kebijakan harga bahan
bakar minyak mempengaruhi kinerja PT. Astra Internasional secara tidak
langsung.

9. KEBIJAKAN HEDGING DENGAN DERIVATIF VALUTA ASING


PADA PERUSAHAAN PUBLIK DI INDONESIA oleh Ekayana
Sangkasari Paranita (2011)

Latar Belakang

Perusahaan multinasional menghadapi eksposur valuta asing yang


sangat signifikan karena penundaan penyelesaian transaksi perdagangan
mereka. Eksposur tersebut disebabkan oleh jeda waktu antara saat
persetujuan harga dan penyerahan barang, serta oleh harga penyelesaian
yang didenominasi dalam mata uang asing. Selain itu, perusahaan-
perusahaan multinasional juga menanggung resiko kurs yang
mengarah pada fluktuasi dan ketidakpastian nilai perusahaan (Faisal,
2001).

Resiko terbesar dari transaksi multinasional ditimbulkan oleh


fluktuasi kurs valuta asing. Fluktuasi kurs valuta asing berdampak
langsung pada omzet penjualan, penetapan harga produk, serta tingkat laba
eksportir dan importir. Fluktuasi kurs valuta asing juga menyebabkan
ketidakpastian nilai aset dan kewajiban, serta dapat mengancam
kelangsungan hidup perusahaan (Levi, 1996). Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi dampak negatif risiko fluktuasi kurs valuta asing serta
melindungi kepentingan para pemegang saham, maka perusahaan
multinasional melakukan kebijakan hedging dengan instrumen derivatif
valuta asing.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki pasar
modal dengan karakteristik yang unik dibandingkan dengan negara-
negara maju atau negara-negera berkembang lainnya. Menindaklanjuti
agenda penelitian terdahulu tentang bervariasinya temuan atas kebijakan
hedging, serta mengingat riset atas penerapan kebijakan hedging di
Indonesia masih sangat terbatas, maka riset ini ditujukan untuk
menganalisis determinan kebijakan hedging pada perusahaan publik yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Orisinalitas penelitian ini terletak pada
penekanan adanya integrasi terhadap konsep kebijakan hedging dengan
instrumen derivatif valuta asing pada data panel yang diuji dengan model
regresi logistik, sekaligus menjelaskan integrasi financial distress
hypotesis, underinvestment problem hypotesis, dan assets substitution
problem hypotesis.

Teori

Hedging Policy. Hedging akan menjamin bahwa nilai valuta asing


yang digunakan untuk membayar (outflow) atau sejumlah valuta asing
yang akan diterima (inflow) di masa yang akan datang tidak akan
terpengaruh oleh perubahan fluktuasi kurs valuta asing (Faisal, 2001).
Rasionalitas kebijakan hedging didasarkan pada dua mainstream teori
yang masing-masing memberikan landasan yang berbeda. Mainstream
pertama yakni shareholder value maximization theory menjelaskan
bahwa rasionalitas kebijakan hedging adalah untuk memaksimalkan
nilai pemegang sahamnya melalui pengurangan tax liabilities,
financial distress cost, underinvestment cost, dan assets substitution cost
(Smith dan Stulz, 1985; Froot et al, 1993; Mian, 1996; Culp, 2001).
Adapun mainstream kedua adalah manager’s utility maximization
theory yang menjelaskan bahwa rasionalitas kebijakan hedging adalah
untuk memaksimalkan kepentingan manajer perusahaan (Stulz, 1984;
DeMarzo dan Duffie, 1995; Breeden dan Viswanathan, 1996; Fatemi dan
Luft, 2002).
Shareholder Value Maximization Theory. Penelitian ini
menganalisis berdasarkan mainstream pertama sehingga dalam konteks
ini tinjauan teoritis hanya mengulas mainstream pertama. Shareholder
value maximization theory bertolak dari tiga pemikiran berikut.
Pertama, salah satu determinan utama kebijakan hedging adalah
motivasi untuk mengurangi financial distress cost. Financial distress
cost meliputi biaya legalitas, biaya administrasi kebangkrutan, moral
hazard, biaya pengawasan dan biaya kontrak, yang dapat mengikis
nilai pasar perusahaan (Myers, 1984). Kedua, kebijakan hedging dapat
mengurangi underinvestment cost. Underinvestment cost timbul ketika
pembiayaan eksternal mahal sehingga perusahaan harus mengurangi
investasinya ketika arus kas internal tidak cukup untuk mendanai proyek
yang prospektif. Ketiga, kebijakan hedging juga dimungkinkan dapat
mengurangi assets substitution cost. Assets substitution cost timbul
karena perbedaan insentif yang diterima pemilik modal dan kreditur dari
suatu proyek investasi.

Financial Distress Hypotesis. Perusahaan menerapkan kebijakan


hedging untuk mengurangi fluktuasi arus kas dan meminimalkan kondisi
financial distress (Smith dan Stulz, 1985; Haushalter, 2000).
Underinvestment Hypotesis. Mian (1996) serta Allayannis dan Ofek
(2001) mengemukakan bahwa perusahaan dengan oportunitas
pertumbuhan yang lebih besar akan menghadapi underinvestment costs
yang lebih besar, sehingga lebih termotivasi untuk menerapkan
kebijakan hedging. Menurut Froot et al. (1993), problem pembiayaan
eksternal yang mahal adalah masalah klasik underinvestment, di mana
pemegang saham memutuskan untuk menolak proyek beresiko rendah jika
mereka menilai bahwa keuntungan ekonomis akan beralih ke kreditur.
Manajemen resiko dapat meminimalkan hal ini dengan kebijakan hedging.
Underinvestment problem lazimnya dialami perusahaan dengan
oportunitas investasi yang besar. Semakin tinggi market-to-book value of
equity mengindikasikan semakin besar juga oportunitas investasi suatu
perusahaan, sehingga semakin kuat juga motivasi untuk menerapkan
kebijakan hedging (Nance et al., 1993; Geczy et al., 1997; Graham dan
Rogers, 2002; Suriawinata, 2005; Davies et al., 2006; Hu dan Wang, 2006;
Clark dan Judge, 2008).

Metode Penelitian

Sampling. Purposive sampling diterapkan terhadap perusahaan


publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan kriteria-
kriteria sebagai berikut :

1) Perusahaan nonfinansial di sektor manufaktur, karena perusahaan


finansial dimungkinkan menggunakan derivatif bukan untuk
kepentingan hedging, dan karena sektor manufaktur merupakan sektor
terbesar dengan variabilitas subsektor yang dinilai cukup representatif
mewakili seluruh perusahaan publik;

2) Perusahaan tersebut mempublikasikan laporan keuangannya per


31 Desember untuk tahun buku 2007 sampai dengan tahun buku 2010
yang telah diaudit, beserta catatan-catatan atas laporan keuangan;

3) Perusahaan tersebut secara fundamental memiliki eksposur valuta


asing yang timbul dari impor bahan baku, penjualan ekspor, aset dan
kewajiban dalam valuta asing, atau memiliki anak perusahaan di luar
negeri;

4) Perusahaan tersebut melakukan pembukuan transaksinya dalam


mata uang Rupiah;

5) Perusahaan tersebut mempunyai nilai buku ekuitas yang positif.

Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, diperoleh sampling 133


perusahaan dan 532 firm-year observations. Informasi mengenai
kebijakan hedging diperoleh dari Catatan atas Laporan Keuangan masing-
masing perusahaan. Terdapat 30 perusahaan yang melaporkan
penggunaan instrumen derivatif valuta asing, namun hanya 18
perusahaan yang melaporkan nilai nosionalnya. Keseluruhan
perusahaan dalam sampel menyatakan bahwa mereka menggunakan
instrumen derivatif valuta asing tersebut untuk menghedging eksposur
valuta asing.

Teknik Analisis Data. Riset ini mengaplikasikan Logistic


Regression untuk menganalisis kebijakan hedging dengan instrumen
derivatif valuta asing. Logistic Regression digunakan untuk menguji
apakah probabilitas terjadinya variabel dependen dapat diprediksi
dengan variabel independen. Logistic Regression lazim diterapkan
ketika variabel dependen berupa nonmetrik atau kategori, dan asumsi
multivariate normal distribution tidak terpenuhi (Hair, 2010). Dalam riset
ini, variabel dependennya adalah binary variable, yakni dummy aktifitas
hedging dengan instrumen derivatif valuta asing (DHEDG). Adapun
variabel independennya adalah Debt to Equity Ratio (DER), Interest
Coverage Ratio (ICR), Market-to-Book Value of Equity (MBV), Natural
Log of Total Assets (LnTA), Current Ratio (CA), dan Foreign Liabilities
to Total Sales (FL) memperhitungkan year effect, disertakan dummy years
di mana tahun 2007 digunakan sebagai benchmark year (Gujarati, 2003).

Hasil

Hasil penelitiannya mendukung mainstream shareholder value


maximization bahwa perusahaan menerapkan kebijakan hedging untuk
meningkatkan nilai para pemegang sahamnya. Hal ini ditunjukkan
dengan kecenderungan perusahaan menerapkan hedging untuk
mengatasi financial distress, underinvestment problem, dan assets
substitution problem.
10. ANALISA PENGARUH PERDAGANGAN VALUTA ASING
TERHADAP FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH oleh Anik
Sudarismiati

Latar Belakang

Pada umumnya alat tukar yang digunakan dalam perdagangan


internasional adalah hard currencies. Oleh karena itu, maka mata uang
yang termasuk hard currency banyak dibutuhkan oleh para pelaku
ekonomi untuk mempermudah pembayaran internasional maupun
memperlancar perdagangan antarnegara. Menurut Madura (1997:89)
terjadinya perubahan nilai tukar valuta asing tergantung pada beberapa
faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing adalah
tingkat bunga, pendapatan, inflasi, transaksi impor dan ekspor,
pengawasan pemerintah serta ekspektasi dan spekulasi.
Faktor-faktor tersebut tidak dikendalikan oleh manajer keuangan
karena bersifat eksternal. Semakin banyak pihak yang membutuhkan mata
uang hard currencies atau yang biasanya disebut valuta asing (valas ), akan
memberikan peluang kepada pihak-pihak yang memiliki valuta asing
untuk diperjualbelikan guna mendapatkan keuntungan. Disamping itu
dengan semakin besarnya hutang negara maupun swasta di Indonesia yang
harus dibayar dengan menggunakan valas akan memperbesar peluang
pedagang valas untuk mempermainkan nilai tukar valas di pasar valuta
asing. Sikap para pedagang valas banyak yang cenderung spekulatif atau
berperan sebagai spekulator. Hal ini menyebabkan pasar yang cenderung
dinamis. Jenis perdagangan valas yang memberikan peluang untuk
spekulasi dapat dilakukan melalui pasar spot, options, forward, dan future.
Salah satu pertimbangan dalam melakukan perdagangan valas yang dapat
berpengaruh terhadap para spekulan valas adalah adanya ekspektasi dan
spekulasi yang timbul di masyarakat yang dapat mempengaruhi
permintaan dan penawaran valas sehingga akan mempengaruhi kondisi
perekonomian Indonesia (Hady, 1999:53). Spekulasi yang dapat dilakukan
adalah memperoleh keuntungan melalui perdagangan dengan harapan di
masa mendatang (Kuncoro, 1996:144). Dengan perkiraan, apabila terjadi
apresiasi dollar AS terhadap rupiah di masa yang akan datang,
perdagangan valas akan banyak diwarnai oleh aksi beli akan valas
tersebut. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka para spekulan
dapat memperkirakan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari
perdagangan yang mereka lakukan di pasar valuta asing.
Oleh karena itu, kajian terhadap fluktuasi rupiah dan implikasinya
terhadap aktivitas perdagangan serta kaitannya dengan tindakan spekulasi
perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu alternatif untuk
mencermati kondisi maupun peluang fluktuasi rupiah ke arah yang lebih
baik di masa sekarang dan yang akan datang.

Teori

Sejak tahun 1946 bangsa Indonesia telah memiliki sebuah bank


yang cukup besar, yaitu BNI 1946. Pada awalnya bank ini berstatus
sebagai Bank Sentral dan kemudian oleh KMB diubah menjadi Bank
Pembangunan. Salah satu keputusan penting KMB adalah menunjuk De
Javasche Bank sebagai Bank Sentral. Salah satu langkah yang ditempuh
adalah melakukan nasionalisasi De Javasche Bank.

Hal ini direalisasikan melalui Keputusan Pemerintah No.18


tertanggal 2 Juli 1951 dengan mengangkat Sjafruddin Prawiranegara
sebagai presiden baru Bank Sentral. Langkah nasionalisasi ini semakin
dipertegas dengan lahirnya UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok-pokok
Bank Sentral. Sejak keluarnya UU tersebut, peran Bank Indonesia sebagai
institusi Bank Sentral sebuah negara yang merdeka mulai terlihat jelas.

Bank Indonesia dapat mengembangkan fungsi sebagai bank sentral


murni baru ketika melepaskan fungsinya sebagai bank komersial tahun
1968. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia tercantum dalam
UU No. 14/1967. Kemudian pada UU No. 13/1968. “Tugas Bank
Indonesia mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas nilai rupiah serta
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas
kesempatan kerja untuk peningkatan taraf hidup rakyat”. Melalui UU
tersebut peran komersial Bank Indonesia dicabut.

Bursa atau pasar valuta asing diartikan sebagai suatu tempat atau
wadah atau sistem dimana perorangan, perusahaan, dan bank dapat
melakukan transaksi keuangan internasional dengan jalan melakukan
pembelian atau permintaan (demand) dan penjualan atau penawaran
(supply) atas valas atau forex (Hady, 1999:16). Menurut Salvatore
(1997:2), pasar valuta asing (foregin exchange market) adalah sebuah
pasar atau tempat pertemuan di mana individu, perusahaan, dan kalangan
perbankan mengadakan jual beli mata uang dari berbagai negara atau
valuta-valuta asing lain.

Pada dasarnya ada beberapa peranan pasar valuta asing bagi para
pelaku pasar valuta asing (dalam Adhiningtia, P. 2002 ), yaitu: (1)
Menyediakan transfer daya beli. Transfer daya beli sangat diperlukan
terutama dalam perdagangan internasional dan transaksi modal yang
biasanya melibatkan pihak-pihak yang tinggal di negara yang memiliki
mata uang yang berbeda. Biasanya setiap pihak bertahan untuk
menggunakan mata uangnya sendiri meskipun transaksi dagang atau
modal dapat dilakukan dengan mata uang lainnya. Dengan demikian maka
bursa valuta asing ini menyediakan mekanisme untuk melaksanakan
transfer daya beli tersebut. (2) Menyediakan fasilitas kredit. Pengiriman
barang antarnegara dalam perdagangan internasional membutuhkan waktu,
oleh karena itu harus ada suatu cara untuk membiayai barang-barang
dalam perjalanan pengiriman tersebut termasuk setelah barang sampai ke
tempat tujuan yang biasanya memerlukan beberapa waktu untuk
kemudian dijual kepada pembeli. Pasar valuta asing menyediakan sumber
kredit ketiga. Instrumen-instrumen khusus seperti banker’s acceptance dan
L/C dapat digunakan untuk membiayai perdagangan. (3) Memberikan
fasilitas untuk mengurangi risiko valuta asing. Apabila terjadi sebuah
perdagangan antara dua negara dan dalam transaksi tersebut keduanya
tidak akan bersedia mengambil risiko terhadap fluktuasi kurs. Kedua-
duanya mengharapkan memperoleh keuntungan dalam kondisi normal dari
kemungkinan risiko yang diperkirakan misalnya terjadi perubahan kurs
secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi besarnya keuntungan yang telah
diperkirakan. Pelaku pasar valuta asing ada 3, yaitu individu, institusi, dan
pialang pasar valuta asing.

Metode Penelitian

Analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yang telah


dirumuskan menggunakan uji korelasi, uji regresi linear sederhana serta uji
t. Adapun langkah-langkah dalam metode analisis data adalah sebagai
berikut:

a. Pengujian koefisien korelasi untuk mengetahui hubungan antara


aktivitas
b. Pengujian menggunakan regresi linier sederhana untuk mengetahui
pengaruh aktivitas perdagangan valas terhadap fluktuasi rupiah
(Djarwanto, 1996:297)
c. Uji-t (t-test) dengan menggunakan SPSS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa: (1)Antara aktivitas


perdagangan valuta asing dengan fluktuasi nilai tukar rupiah memiliki
hubungan yang negatif. (2) Aktivitas perdagangan valuta asing
berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.

Hasil

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan dalam


penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)Bahwa aktivitas
perdagangan valuta asing dan fluktuasi nilai tukar rupiah mempunyai
hubungan yang negatif lemah dengan koefisien korelasi -0,309. Hal ini
dapat diartikan bahwa apabila volume transaksi perdagangan valuta asing
naik maka nilai tukar rupiah terhadap USD turun (depresiasi mata uang
domestik). Sebaliknya, apabila volume transaksi perdagangan valuta asing
turun maka nilai tukar rupiah terhadap USD naik (apresiasi mata uang
domestik). (2) Bahwa aktivitas perdagangan valuta asing berpengaruh
signifikan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Hipotesis alternatif
penelitian ini diterima karena tingkat signifikan (0,00001) < =0,05.
Fluktuasi volume perdagangan valuta asing sebagai proksi aktivitas
perdagangan valuta asing berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah. (3)
Keterkaitan antara aktivitas perdagangan valuta asing, fluktuasi nilai tukar
rupiah dan tindakan spekulasi investor adalah bahwa aktivitas
perdagangan valuta asing berpengaruh negatif lemah terhadap fluktuasi
nilai tukar rupiah. Fluktuasi volume perdagangan valuta asing ini berkaitan
erat dengan tindakan spekulasi yang dilakukan investor dengan
memanfaatkan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Anda mungkin juga menyukai