Anda di halaman 1dari 20

REVIEW BAB 13

(KEBIJAKAN MONETER DAN ALIRAN MODAL ASING)

Judul Buku : Kebijakan Bank Sentral Teori Dan Praktik

Penulis : Dr. Perry Warjiyo dan Dr. Solikin M. Juhro

Penerbit : PT RajaGrafindo Persada

Tahun Terbit : 2016

Kota Penerbit : Depok

Jumlah Halaman : 776 Halaman

Mata Kuliah : Kebanksentralan

Kelas :B

Dosen Pengampu : Dr. Afrizal, SE, MSi

13.1 Pendahuluan

Krisis keuangan global 2008/09 membawa tiga perubahan mendasar dalam


kebijakan moneter di bank sentral. Pertama, di samping mandar stabilitas harga,
bank sentral juga perlu berperan dalam menjaga stabilitas system keuangan, dan
karenanya kebijakan moneter perlu diintegrasikan dengan kebijakan
makroprudensial, Kedua, aliran modal asing ke berbagai negara, khususnya ke
emerging market economies (EMEs). Ketiga, Komunikasi sebagai instrument
penting dalam kebijakan moneter. Dan pada bab ini akan membahas secara rinci
kebijakan moneter yang kedua yaitu aliran modal asing ke berbagai negara,
khususnya ke emerging market economies (EMEs).

Globalisasi telah menyebabkan semakin besarnya aliran modal asing antarnegara.


aliran modal asing menyebabkan semakin kompleksnya kebijakan moneter dalam
perekonomian terbuka. Sesuai teori ini, apabila menginginkan kebijakan moneter
benar-benar efektif dalam mencapai tujuan ekonomi domestik, maka rezim nilai
tukar tetap dan rezim kontrol devisa sebagai salah satu pilihan. Akan tetapi,
pilihan ini tidak sejalan dengan aliran globalisasi yang menawarkan banyak
manfaat dari perdagangan dan investasi internasional bagi ekonomi domestik.
Karenanya perlu dirumuskan suatu alternatif yang optimal antara kebijakan
monetur, kebijakan nilai tukar, dan manajemen aliran modal asing agar manfaat
keterbukaan ekonomi ini dapat diperoleh dan tujuan ekonomi domestik juga dapat
dicapai. Dengan kata lain, perlu dicari solusi optimal untuk menyikapi trilema
kebijakan dalam ekonomi terbuka tersebut.

13.2 Dimensi Teoretis dan Perkembangan Aliran Modal Asing

Perkembangan aliran modal asing dicatat pada neraca modal dan finansial dalam
statistik neraca pembayaran. Neraca modal mencakup transfer modal, misalnya
dari penghapusan utang luar negeri, dan perolehan aset non-keuangan, seperti hak
cipta dan goodwill. Sementara itu, neraca finansial terdiri dari tiga komponen,
yaitu: penanaman modal asing (PMA), portofolio investasi (PI), dan investasi
lainnya (OI). PMA dapat berupa barang maupun dana (modal dan utang) sebagai
penyertaan ke dalam suatu perusahaan di negara lain. Pl dapat berupa pembelian
oleh investor asing atas saham dan sekuritas utang (obligasi dan instrumen pasar
uang) di pasar keuangan. Sementara itu, OI mencakup trade credits, pinjaman luar
negeri, deposito, hutang piutang lainnya yang umumnya dilakukan melalui
perbankan dan lembaga keuangan lain.

1. Teori Neo-Klasikal dan Teori Portofolio Investasi

Pada bab ini Teori Neo-Klasikal meletakkan dasar pemikiran mengenai


keuntungan atau manfaat dari penanaman modal antarnegara baik bagi
perekonomian negara asal maupun negara penerima.. Berdasarkan Teori Neo-
Klasikal, di mana negara menghadapi fungsi produksi yang sama (constant return
to scale), faktor modal dan tenaga kerja yang homogen, dan pasar keuangan yang
benar-benar efisien dan terbuka bebas, maka modal akan mengalir dari negara
kaya ke negara miskin karena berdasarkan law of diminishing returns' maka
'marginal product of capital akan lebih tinggi di negara miskin tersebut. Sejumlah
asumsi mendasari teori Neo-Klasik tersebut agar lebih memahami perilaku,
manfaat dan risiko dari aliran modal asing.

Teori Neo-klasik lebih tepat untuk menganalisis aliran modal asing yang mampu
meningkatkan produktivitas dan umumnya berjangka panjang, seperti PMA dan
utang LN jangka panjang. Sementara itu, aliran modal asing jangka pendek
umumnya lebih didasarkan pada tingkat imbal hasil dan resiko dari suatu
investasi.

Dari teori Markowitz yang menghasilkan Efficient Frontier dapat dilihat bahwa
portofolio investasi internasional dapat memberikan keuntungan diversifikasi
yang lebih besar daripada hanya aset keuangan di negaranya sendiri. Karena itu,
untuk mengoptimalkan tingkat hasil portofolio, investor akan memasukkan pula
aset keuangan negara EMEs yang mempunyai imbal hasil dan risiko yang tidak
berkorelasi dengan aset keuangan negara investor (negara maju). Seberapa besar
timbangan antara imbal hasil dan nilai tukar akan tergantung dari motif investor.

2. Determinan Aliran Modal Asing: Push and Pull Factors'

Integrasi keuangan internasional atau globalisasi kuangan dapat diukur dengan


besarnya aliran modal asing antarnegara. Dari ukuran ini, besarnya aliran modal
asing di dunia terus meningkat sejak berakhirnya Perang Dunia II, dengan
peningkatan yang cepat sejak awal 1990-an dan sangat luar biasa selama satu
dekade sebelum krisis keuangan global 2008/09. Sejalan dengan perkembangan
global, aliran modal asing ke negara EMEs juga mengalami peningkatan
signifikan khususnya sejak tahun 2004. Setelah turun tajam pada tahun 2008
karena global krisis, aliran masuk modal asing kemudian meningkat tajam hingga
tahun 2013 dan menurun setelah itu karena pengaruh Fed taper tantrum. Bahkan
pada tahun 2015 aliran modal asing ke negara EMEs secara netto menurun tajam
menjadi hanya $548 miliar dari $1,074 miliar pada tahun 2014 (IIF, 2015).
Tinjauan literatur menunjukkan terdapat faktor-faktor global yang menjadi
pendorong (push factors) dan faktor-faktor domestik sebagai penarik (pull factor)
aliran modal asing (Koepke, 2015). Sejumlah studi empiris pada bagian ini
meneliti lebih jauh relativitas pengaruh push factor dan pull factors' tersebut
untuk setiap jenis aliran modal asing ke negara EMEs. Di antara ketiga jenis aliran
modal asing, PMA merupakan jenis aliran modal asing ke negara EMEs yang
paling tidak banyak terpengaruh oleh naik turunnya perkembangan ekonomi
global.

Dari pull factors, pertumbuhan ekonomi domestik sebagai faktor yang paling
penting bagi masuknya PMA. Sementara itu, indikator imbal hasil aset di pasar
keuangan (seperti suku bunga dan dividen) bukan merupakan faktor yang penting
karena sifat investasi PMA yang jangka panjang. Justru, aspek tata kelola seperti
iklim investasi, kepastian hukum dan stabilitas politik merupakan faktor penarik
PMA yang signifikan. Demikian pula, stabilitas nilai tukar merupakan faktor
penarik PMA yang penting.

Untuk push factors, sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan


ekonomi dunia tidak selalu merupakan faktor yang signifikan. Pengaruh positif
pertumbuhan ekonomi dunia terbukti signifikan untuk jenis PMA vertikal, yaitu
untuk investasi yang merupakan bagian dari mata rantai produksi global atau
regional, tetapi tidak signifikan untuk jenis PMA horizontal, yaitu untuk
pemenuhan pasar domestik.

Untuk investasi portofolio ke negara EMEs, pengaruh push factors lebih dominan
Semua studi membuktikan bahwa investasi portofolio saham dan obligasi ke
negara EMEs sangat dipengaruhi secara negatif dan segera oleh perubahan
persepsi risiko global, seperti diukur dengan VIX atau CDS spread.. Dari pull
factors, hampir semua studi membuktikan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi
domestik sebagai faktor penting, meskipun elastisitasnya berkurang pada data
frekuensi tinggi. Demikian pula, indikator imbal hasil sebagai faktor penarik yang
sangat penting, khususnya imbal hasil saham dan obligasi. Indikator suku bunga
kebijakan moneter tidak selalu ditemukan sebagai faktor penting karena
pengaruhnya telah ditangkap melalui obligasi dan harga saham, kecuali dalam
periode perubahan stance kebijakan moneter (Ahmed and Zlate 2013), sementara
volatilitas nilai tukar ril berpengaruh negatif (World Bank 1997; Back 2006).
Indikator kerentanan eksternal juga berpengaruh negatif, tercermin pada indikator
rasio utang LN terhadap PDB (World Bank, 1997) dan sovereign credit rating
(Kim and Wu, 2008).

Secara keseluruhan, studi-studi empiris tersebut memberikan masukan penting


dalam memahami faktor-faktor yang memengaruhi berbagai jenis aliran modal
asing ke negara EMEs. Secara umum, dapat dikatakan bahwa PMA lebih
dipengaruhi oleh kondisi fundamental ekonomi domestik, tara pengaruh global
lebih berpengaruh terhadap aliran modal asing dalam bentuk investasi portofolio
dan melalui perbankan. Namun demikian, relativitas pengaruh 'push factors' dan
'pull factors' tersebut juga apat berubah karena perkembangan jangka pendek
dalam perekonomian global. Fratscher (2012), misalnya, membuktikan bahwa
push factors lebih dominan dalam memengaruhi investasi portofolio dalam
periode krisis finansial global, sementara dalam periode setelah krisis keuangan
global investasi portofolio lebih didorong oleh fundamental makroekonomi
kelembagaan, dan kebijakan negara EMES. Hal ini mengonfirmasi pentingnya
menjaga kondisi fundamental ekonomi dan respons kebijakan makroekonomi
yang tepat dan pruden dalam memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko
dari aliran modal asing tersebut.

13.3. Aliran Modal Asing dan Kinerja Ekonomi

Terdapat kepercayaan umum, sebagaimana dijelaskan oleh Teori Neo- Klasik di


atas, bahwa aliran modal asing akan mengalir dari negara kaya ke negara miskin
dan bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kedua negara.
Bahkan dalam periode pasca krisis keuangan global, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, aliran modal asing yang semula membanjiri ke negara EMEs
kemudian berbalik menuju ke negara maju. Di antara negara EMEs dan
berkembang juga terdapat perbedaan signifikan, yaitu sebagian besar aliran modal
asing menuju ke Asia dan hanya sebagian kecil diterima oleh kawasan Afrika. Hal
ini tidak sejalan dengan prediksi Teori Neo-Klasik bahwa aliran modal asing akan
menuju ke negara yang tambahan produktivitas dari modal per tenaga kerja lebih
tinggi, yang dalam hal ini Afrika diikuti oleh Asia dan kemudian negara maju.

1. Fenomena Empiris: 'Lucas Paradox'

Pengamatan kritis atas aliran modal asing antarnegara yang kontradiksi dengan
penjelasan Teori Neo-Klasik di atas yang kemudian dikenal dengan Lucas
Paradox’. Bahwa globalisasi dan integrasi keuangan antarnegara tidak selalu
memberikan manfaat diangkat oleh Lucas , bagi kinerja ekonomi negara
berkembang dan negara EMEs maupun perekonomian global. Artinya, modal
mengalir dari negara miskin ke negara kaya, bukan ‘ke bawah’ tetapi malah ‘ke
atas’. Tetapi banyak negara maju yang juga mengalami defisit dan banyak pula
negara EMES yang surplus. Fenomena ini bukan hal yang baru karena pola serupa
terjadi pada 1980-an.

Prasad et al. menganalisis aliran modal asing dan pola pertumbuhan ekonomi di
59 negara berkembang selama periode 1970-2004. Dalam periode ini, banyak
negara maju yang mengalami defisit transaksi berjalan sementara banyak negara
berkembang dan negara EMES mengalami surplus. Artinya, bertolak belakang
dari prediksi teori Neo- Klasik di atas, negara berkembang dan EMES yang lebih
menggantungkan pada aliran modal asing tidak tumbuh lebih cepat dalam jangka
panjang.

Selama periode 1970-2004 besarnya aliran modal asing secara netto ke kelompok
negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata lebih kecil dibandingkan
dengan kelompok negara yang berpendapatan rendah dan sedang.

2. Beberapa Pelajaran Penting dari 'Lucas Paradox'

Mungkin Lucas paradox bukanlah sesuatu yang kontroversial apabila dianalisis


lebih mendalam. Berbagai permasalahan ditemukan di negara berkembang dan
EMEs yang menyebabkan imbal hasil investasi setelah risiko tidak selalu sama
dengan pengukuran produktivitas marginal dari modal dan tenaga kerja. Secara
umum, terdapat tiga kelompok penjelasan terhadap Lucas paradox di atas.
Pertama, faktor fundamental terkait dengan perbedaan struktur produksi di dalam
perekonomian masing-masing negara. Kedua, kedalaman pasar keuangan
domestik dalam memobilisasi tabungan dan intermediasinya untuk pembiayaan
produktif di dalam negeri. Ketiga, ketidaksempurnaan pasar keuangan global,
seperti ketidaksimetrisan informasi dan perilaku investor, perbedaan peringkat
negara , dan risiko kegagalan kredit.

a. Faktor Fondamentak Ekonomi

Struktur produksi dan kelembagaan di suatu negara dapat menyebabkan deviasi


antara imbal hasil investasi dengan ukuran produktivitas marginal dari modal dan
tenaga kerja. Sejumlah faktor berperan penting dalam struktur produksi, termasuk
teknologi, infrastruktur dan faktor produksi lain, serta kebijakan pemerintah
seperti tarif, pajak, kontrol devisa, dan hambatan investasi lainnya, yang
berpengaruh terhadap total produktivitas tetapi tidak tercermin dalam pengukuran
produktivitas modal dan tenaga kerja. Salah satu faktor produksi penting selain
modal dan tenaga kerja yang berpengaruh terhadap produktivitas adalah modal
manusia yang dihasilkan dari pendidikan, teknologi maupun ‘research and
development. Pada intinya, modal manusia dapat diinterpretasikan sebagai faktor
yang dapat melipatkan produktivitas tenaga kerja pada setiap tingkat
keterampilan, seperti fungsinya sebagai pendorong total produktivitas faktor.
Hasilnya menunjukkan bahwa imbal hasil yang semula 58 kali menjadi hampir
sama apabila faktor modal manusia diperhitungkan. Meskipun diakui pengukuran
modal manusia maupun keterkaitannya dengan produktivitas tidak mudah,
analisis ini menunjukkan bahwa salah satu penyebab paradoks aliran modal asing
dengan pertumbuhan ekonomi adalah adanya faktor produksi yang tidak
diperhitungkan seperti tanah, modal manusia, maupun yang lain.

Meskipun sejumlah teknologi dapat diakses oleh berbagai negara, hambatan untuk
penerapan ataupun efisiensi penggunaan teknologi dimaksud dapat berdampak
besar terhadap tingkat hasil dari suatu penanaman modal.

b. Kedalaman Sektor Keuangan Domestik Kedalaman Sektor Keuangan


Domestik
Kedalaman Sektor Keuangan Domestik

Sektor keuangan domestik sangat penting perannya dalam memobilisasi tabungan


dalam negeri dan intermediasi aliran modal asing secara efisien untuk pembiayaan
produktif bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu asumsi dari Teori Neo-Klasik
adalah adanya keterkaitan erat antara tabungan dan investasi, baik dalam arti
jumlah dan produktivitasnya, dalam mendorong produksi dan pertumbuhan
ekonomi. Fungsi aliran modal asing seharusnya sebagai komplemen dari
kesenjangan tabungan dan investasi di dalam negeri. Sementara itu, hambatan
tabungan merupakan berbagai faktor yang mendistorsi keputusan masyarakat
dalam menabung untuk memaksimalkan tingkat konsumsi sekarang dan ke depan,
seperti pengaturan suku bunga perbankan dan terbatasnya produk-produk
keuangan untuk investasi. Model teoretis yang dikembangkan kemudian
dikalibrasi dengan data dari 68 negara berkembang dan EMES selama periode
1980-2000 untuk menganalisis hubungan antara aliran modal asing secara netto,
produktivitas, hambatan investasi dan hambatan tabungan. Beberapa temuan
menarik dapat dikemukakan dari studi ini. Studi tersebut menekankan pentingnya
mengatasi berbagai distorsi dalam hubungan antara tabungan dan investasi
khususnya dari sektor keuangan domestik. Dangkalnya sektor keuangan dapat
membatasi peningkatan investasi dan tabungan domestik untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Kemampuan masyarakat untuk menabung untuk konsumsi
di masa akan datang akan terbatas. Demikian pula, ketidakefisienan intermediasi
keuangan akan menyebabkan tidak responsifnya investasi terhadap produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi.

13.4 Aliran Modal Asing dan Stabilitas Moneter

Volatilitas arus modal, khususnya portofolio investasi dan utang luar negeri
jangka pendek, dapat menimbulkan risiko terhadap menjaga stabilitas mata uang,
sistem keuangan, dan keseluruhan makroekonomi. Penularannya bisa dilakukan
melalui beberapa saluran. Aliran modal asing secara langsung mempengaruhi
penawaran dan permintaan di pasar valuta asing sehingga fluktuasi aliran modal
akan berdampak langsung pada fluktuasi nilai tukar. Aliran modal dari portofolio
investasi juga berdampak pada pergerakan harga aset keuangan dalam negeri, baik
harga saham maupun imbal hasil obligasi. Demikian pula dampak likuiditas
terhadap aliran modal yang tidak stabil akan menimbulkan risiko terhadap
likuiditas dan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit ke dalam
perekonomian. Yang tidak kalah pentingnya, volatilitas arus modal dan perilaku
pengambilan risiko investor internasional dapat meningkatkan risiko sistemik
dalam sistem keuangan domestik.

1. Studi Empiris Pengaruh Volatilitas Aliran Modal

Berbagai studi empiris menunjukkan dampak negatif volatilitas aliran modal


terhadap stabilitas moneter, sistem keuangan dan makroekonomi. 5 Fuertes, et al.
(2014), misalnya, menunjukkan bahwa volatilitas aliran modal ke negara-negara
EMES terutama disebabkan oleh bentuk aliran investasi portofolio dan pinjaman
luar negeri jangka pendek, atau yang disebut “hot money”. Studi ini menggunakan
data bulanan aliran portofolio (saham dan obligasi) dari Amerika Serikat ke 18
negara EMES (9 Asia dan 9 Amerika Latin) selama periode 1988:1-2012: 12,
sedangkan untuk aliran modal pinjaman bank-linked ia menggunakan data
triwulanan untuk periode yang sama. Metode filter Kalman digunakan untuk
memisahkan aliran modal sementara dan jangka pendek dari aliran modal
permanen dan jangka panjang. Hasil empiris penelitian ini memberikan bukti
bahwa aliran pinjaman bank dan investasi portofolio dari Amerika Serikat ke
negara ini selama tahun 1990an pada dasarnya bersifat permanen dan berjangka
panjang, namun EMES didominasi melalui pinjaman sementara
dan jangka pendek.

Dalam studi lain, Caporales, et al. (2015) memberikan temuan empiris pengaruh
aliran portofolio saham dan obligasi terhadap volatilitas nilai tukar di negara
EMEs. Studi didasarkan pada data bilateral bulanan antara AS dengan negara
EMES dan berkembang di Asia (India, Indonesia, Korea Selatan, Pakistan, Hong
Kong, Thailand, Philipina, dan Taiwan) untuk periode 1993: 01-2012: 11.
Hasilnya menunjukkan bahwa aliran portofolio ini meningkatkan volatilitas nilai
tukar. Lebih lanjut, dengan model transisi Markov, penelitian ini juga
menunjukkan bahwa net capital inflow pada portofolio saham (obligasi)
menentukan nilai tukar pada saat volatilitas tinggi (rendah). Secara khusus, arus
masuk obligasi meningkatkan kemungkinan volatilitas nilai tukar tetap rendah di
Pakistan, Thailand, dan Filipina, sementara di Indonesia nilai tukar cenderung
tetap sangat fluktuatif. Pada saat yang sama, arus investasi saham meningkatkan
kemungkinan terjadinya volatilitas nilai tukar yang tinggi di India, india, Korea
Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Bukti empiris dari penelitian ini mendukung
hipotesis pencarian keuntungan dari perilaku investor internasional dan dengan
demikian, pengelolaan arus masuk portofolio asing dapat menjadi alat yang
efektif untuk menstabilkan penentuan nilai tukar.

Ananchotikul and Zhang (2014) juga melakukan studi pengaruh aliran portofolio
dan perilaku risiko global terhadap harga aset di 17 negara EMES dengan
menggunakan data mingguan aliran portofolio dari Emerging Portofolio Fund
Research (EPFR) selama periode awal 2013 hingga Februari 2014. Persepsi risiko
global diukur dengan indeks VIX sementara harga aset mencakup imbal hasil
saham, yield obligasi, dan nilai tukar. Tiga temuan penting dapat
dikemukakan dari studi ini.

Pertama, aliran portofolio mempunyai dampak yang signifikan terhadap harga


aset di pasar keuangan domestik, dan dampaknya semakin besar selama krisis
keuangan global. Dampaknya meningkat 5-10 kali lipat pada saat tekanan global
terjadi karena dampak simultan dari pembalikan aliran modal asing, ketatnya
likuiditas pasar, dan perilaku kawanan investor. Kedua, hasil empiris juga
menunjukkan bahwa persepsi risiko global mempunyai dampak signifikan
terhadap ketiga jenis harga aset di kawasan EMES. Dengan derajat yang berbeda-
beda tergantung pada karakteristik negaranya. Pengaruh VIX terhadap pergerakan
harga saham semakin besar jika suatu negara semakin terbuka secara finansial,
yang diukur dengan total komitmen keuangan internasional relatif terhadap PDB.
Semakin terbuka suatu negara terhadap modal internasional, maka semakin besar
pula dampak volatilitas akibat penyebaran persepsi risiko global terhadap pasar
saham nasional. Namun, tren yang sama tidak terlihat pada investasi obligasi.
Sensitivitas pergerakan imbal hasil obligasi terhadap VIX lebih berkorelasi
dengan fundamental domestik terkait stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi
dan transaksi berjalan, dengan pengaruh yang lebih kuat dibandingkan obligasi
jangka panjang.

Mengenai volatilitas nilai tukar, dampak persepsi risiko secara keseluruhan


bergantung pada sistem nilai tukar yang diterapkan, dengan dampak yang tinggi
pada sistem yang fleksibel dan relatif lebih moderat pada sistem yang dikelola.
Bukti empiris ini menunjukkan pentingnya kebijakan stabilisasi nilai tukar dalam
memitigasi dampak negatif persepsi risiko global terhadap volatilitas nilai tukar.
Kebijakan intervensi pasar valuta asing dapat memitigasi dampak global dari
fluktuasi nilai tukar, namun kebijakan tersebut juga harus didukung oleh
kebijakan yang menstabilkan pasar obligasi dan saham. Yang terpenting,
fundamental makroekonomi yang kuat berperan penting dalam membangun
ketahanan dalam menghadapi gejolak internasional. Secara khusus, menjaga
inflasi tetap rendah dan menghindari defisit transaksi berjalan yang tinggi dapat
secara signifikan mengurangi sensitivitas harga aset keuangan domestik
terhadap dampak global.

2. Trilema Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Terbuka

Berbagai studi di atas menunjukkan bahwa volatilitas aliran modal asing


menimbulkan kompleksitas kebijakan moneter bagi bank sentral, yang dikenal
dengan 'trilema kebijakan moneter' atau 'impossible trinity. Teori terkait trilema
kebijakan ini, baik dengan model Mundell-Fleming, model Dornbusch's
overshooting, maupun model Keseimbangan Portofolio. Intinya, dengan mobilitas
penuh aliran modal, sistem nilai tukar akan menentukan kemampuan kebijakan
moneter bank sentral dalam mencapai tujuan domestik. Bank sentral perlu
mempertimbangkan preferensinya atas tiga tujuan kebijakan yang tidak selalu
searah, yaitu:

otonomi moneter untuk tujuan domestik stabilitas harga dan pertumbuhan


ekonomi, stabilitas nilai tukar, dan mobilitas aliran modal asing. Pandangan
sederhana dari trilema kebijakan ini menunjukkan bahwa negara yang menganut
sistem nilai tukar bebas namun nilai tukar tetap akan kehilangan otonomi
kebijakan moneter untuk mencapai tujuan perekonomian nasionalnya. Pandangan
yang lebih moderat menggambarkan trinitas yang mustahil sebagai kebijakan
“trade-off” dan oleh karena itu bank sentral harus mengoptimalkan kebijakan
moneter untuk mengendalikan inflasi dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar,
pengelolaan devisa dan aliran modal asing. Obstfeld dkk. (2005) mengkaji trilema
kebijakan moneter 103 negara selama 130 tahun. Otonomi kebijakan moneter
diukur dengan hubungan antara tingkat suku bunga nasional dan suku bunga
negara-negara pembanding. Dengan pendekatan praktis dan hukum, sistem nilai
tukar dibedakan menjadi sistem tetap dan tidak tetap, sedangkan sistem devisa
dibedakan menjadi sistem pertukaran bebas dan sistem pertukaran terkendali.

Secara keseluruhan, studi ini menegaskan bahwa trilema ini tetap berharga
sebagai panduan kerangka kebijakan moneter di perekonomian terbuka. Pertama,
terdapat bukti bahwa sistem nilai tukar tetap menciptakan hubungan yang lebih
kuat antara suku bunga domestik dan suku bunga negara pembanding
dibandingkan sistem nilai tukar tidak tetap. Suku bunga negara referensi bereaksi
lebih cepat dan memiliki hubungan jangka panjang yang lebih kuat dengan suku
bunga negara pembanding. Kedua, dengan melonggarnya kontrol aliran modal
asing, otonomi kebijakan moneter negara-negara dengan rezim yang tetap telah
berkurang. Pada saat yang sama, negara-negara yang tidak terikat memiliki
otonomi yang semakin besar, terutama di era pasca-Bretton Woods, bahkan dalam
kondisi pertukaran bebas. Ketiga, dalam praktiknya, negara-negara yang
menganut rezim tetap tidak selalu menjaga nilai tukarnya tetap pada tingkat
tertentu karena devaluasi atau mempertahankan amplitudo nilai tukar.
Sebaliknya, negara-negara yang tidak menetapkan nilai tukarnya tidak selalu
membiarkan nilai tukarnya mengambang bebas dan seringkali mengikuti negara
pembanding dalam menentukan tingkat suku bunga nasional.

Beberapa penelitian lain menunjukkan bagaimana bank sentral menghindari


trilema kebijakan. Misalnya, Calvo dan Reinhart (2002) menunjukkan
kecenderungan kekhawatiran terhadap kebijakan nilai tukar mengambang di
banyak negara. Klasifikasi sistem nilai tukar yang dianut oleh berbagai negara
menunjukkan bahwa semakin banyak negara yang menganut sistem nilai tukar
menengah dibandingkan nilai tukar tetap atau mengambang murni.

3. Dinamika Aliran Modal Asing Dan Kebijakan Moneter Di Indonesia

Dalam kasus Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbuka kecil,


tingginya dinamika aliran modal asing meningkatkan kompleksitas tantangan
pengendalian mata uang. Pertama, fluktuasi nilai tukar lebih banyak dipengaruhi
oleh aktivitas aliran modal asing dibandingkan perubahan neraca transaksi
berjalan, sehingga berdampak pada peningkatan volatilitas pasar keuangan dalam
negeri sehingga berpotensi meningkatkan transmisi volatilitas pasar (shock
amplifier) di sektor keuangan. Kedua, dampak aliran modal asing yang terus-
menerus dapat menurunkan efektivitas Pengendalian likuiditas perekonomian
yang dilakukan Bank Indonesia pada akhirnya menjadi kurang efektif karena
besarnya aliran masuk modal asing.

a. Permasalahan Trilema Kebijakan di Indonesia

Tantangan di atas berimplikasi mendasar pada pelaksanaan kebijakan moneter


berbasis ITF dalam konteks perekonomian kecil yang terbuka seperti Indonesia.
Hal ini mengingat di satu sisi asumsi mengenai peran nilai tukar sebagai shock
absorber tidak terpenuhi, sementara di sisi lain, terdapat kecenderungan kebijakan
moneter secara langsung atau tidak langsung diarahkan untuk mengelola
pergerakan nilai tukar pada kisaran tertentu sesuai dengan kondisi fundamental
perekonomian. Dengan kecenderungan derasnya aliran masuk modal asing,
orientasi kebijakan untuk mengelola keseimbangan nilai tukar (external balances)
dapat saja berdampak kontraproduktif pada pelaksanaan kebijakan untuk
mengelola keseimbangan pasar keuangan domestik (internal balances). Dengan
demikian, sejauh mana otonomi kebijakan moneter Bank Indonesia dalam
mengelola stabilitas rupiah terhadap pengaruh eksternal penting untuk dicermati.
Tantangan ini menggambarkan permasalahan “trinitas yang mustahil” yang
dihadapi Indonesia. Dalam hal ini, seperti yang terjadi di negara-negara EME
lainnya, selama dua dekade terakhir, praktik politik di Indonesia telah berevolusi
dari “trinitas yang mustahil” menjadi menekankan perlunya “trilemma”. Untuk
Indonesia, hasil estimasi indeks trilema politik Aizenman dkk. (2008) oleh Juhro
dan Goeltom (2015) menunjukkan adanya kecenderungan modifikasi praktik
kebijakan moneter .

Perbandingan beberapa periode sebelum krisis Asia 1997/98 dengan masa transisi
dan penerapan I TF TF sampai setelahnya Krisis tahun 2000an tanggal 9 Agustus
menunjukkan bahwa indeks (level) otonomi kebijakan moneter terus meningkat
(menurun). Demikian pula dengan struktur nilai tukar yang juga relatif terjaga
dengan baik, meskipun pada tingkat yang lebih tidak stabil dibandingkan periode
sebelum krisis Asia tahun 1997/98 sesuai ketentuan Kebijakan Nilai Tukar.

sistem nilai tukar yang lebih fleksibel. Di sisi lain, indeks integrasi keuangan
mengalami penurunan. Pengamatan ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
otonomi kebijakan moneter, Bank Indonesia harus menstabilkan nilai tukar
dan/atau mengelola aliran modal asing.

b. Respons Kebijakan yang Ditempuh

Mengamati reaksi-reaksi ini memungkinkan kita mengidentifikasi setidaknya tiga


implikasi politik yang cukup mendasar. Pertama, ada pertanyaan tentang
bagaimana memahami secara optimal “kemungkinan trinitas” dalam lingkungan
yang penuh ketidakpastian saat ini. Inilah sebabnya mengapa perhitungannya
melibatkan penggunaan instrumen kebijakan moneter, evolusi nilai tukar, dan
pengelolaan cadangan devisa harus didasarkan pada pertimbangan tidak hanya
makroekonomi, namun juga mikrostruktur pasar keuangan secara terintegratif
termasuk dampak spill over dari pasar keuangan global. Kedua, adalah terkait
dengan upaya untuk merumuskan strategi penerapan instrumen pengendalian
moneter yang optimal dalam kerangka ITF, di tengah peran suku bunga yang
relatif terbatas tersebut. Dengan kecenderungan derasnya aliran masuk modal
asing dan tingginya likuiditas pasar keuangan, instrumen non-suku bunga
(misalnya, GWM dan instrumen makroprudensial lain) dapat dipergunakan
sebagai instrumen utama atau pendukung untuk mengendalikan likuiditas
perekonomian. Ketiga, adalah terkait sangat perlunya untuk mengoordinasikan
langkah pengendalian likuiditas di pasar keuangan domestik dengan langkah
untuk mengelola potensi aliran masuk modal asing itu sendiri. Koordinasi menjadi
kritikal, tidak hanya sebagai upaya untuk membidik dua sumber permasalahan
ketidakseimbangan (external and internal imbalances), namun juga agar dampak
kebijakan moneter dapat dikelola secara optimal, tidak semakin memperberat atau
sebaliknya saling meniadakan.

Selanjutnya, perlunya kebijakan moneter Bank Indonesia menyikapi secara


sistematis penyimpangan nilai tukar riil dari nilai keseimbangannya dalam kajian
empiris terkait apapun. Juhro dan Mochtar (2009) hanya menganalisis perilaku
respons kebijakan moneter Bank Indonesia selama periode 2000–2009, tanpa
memperhitungkan dinamika nilai tukar riil dalam aturan Taylor.

Kaidah yang disesuaikan tersebut merupakan format rule yang menarik karena
memperhitungkan fleksibilitas dari peran nilai tukar (enhanced rule). Walaupun
terdapat ketidakyakinan akan penggunaan format tersebut, yang dianggap tidak
konsisten dengan substansi dasar ITF, beberapa pengamatan empiris untuk
perekonomian dengan karakteristik exchange rate pass-through yang cukup besar
serta perkembangan inflasi yang relatif tinggi dan tidak stabil menunjukkan
kelayakan penggunaan enhanced rule ini (Edwards, 2006). Sejalan dengan
pandangan tersebut, Bask (2006) secara teknis juga menyimpulkan bahwa untuk
kasus small open economy penambahan variabel nilai tukar dalam desain Taylor
rule sangat memungkinkan untuk dicapainya kestabilan sistem, sepanjang data
yang digunakan dalam rule tersebut adalah data bersifat contemporaneous.
Apabila terdapat lagged yang data maka penambahan tersebut tidak perlu
dilakukan.
Hasil penaksiran kedua persamaan di atas menyimpulkan tiga hal. Pertama,
meskipun menghasilkan koefisien determinasi (R-squared) yang berbeda yaitu
90% untuk aturan sederhana dan 98% untuk aturan yang diperbaiki, secara umum
kita dapat menyimpulkan bahwa perilaku kedua aturan tersebut dapat dijelaskan
dengan cukup jelas oleh data. . Pengaruh variabel independen mempunyai arah
yang sesuai dengan prediksi teoritis dan signifikan secara statistik.

13.5 Teori dan Praktik Manajemen Aliran Modal Asing

Aliran modal asing memang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,


namun juga dapat beresiko menganggu stabilitas makroekonomi dan sistem
keuangan. Maka dari itu diperlukan penyesuaian kebijakan untuk menekan
masalah tersebut, yaitu seperti kebijakan moneter dan fiskal yang pruden dan
konsisten (first line of defence), keccukupan cadangan defisa serta kerja sama
swap bilateral dan multilateral (second line of defence).

1. Prinsip Sasaran dan Instrumen

a. Prinsip Permusan dan Penerapan

MAM (Manajemen Aliran Modal Asing) merupakan suatu instrumen


kebijakan yang dapat diambil oleh bank sentral bila mengahadapai suatu masalah.
Adapun beberapa kondisinya yaitu ketika:

 MAM diperlukan sebagai tempat untuk penyesuaian kebijakan makroekononi


lebih lanjut seperti gelembung harga aset, akumulasi hutang LN, nilai tukar
telah kuat, dan akumulasi cadangan devisa yang terlalu besar dan mahal.
 MAM diperlukan sebagai waktu dalam proses perumusan penyesuaian
penerapan kebijakan makroekonomi. Contohnya dalam pengambilan
keputusan terkait APBN yang dimana memerlukan persetujuan DPR.
 MAM sebagai acuan uuntuk mengawasi setiap lonjakan aliran masuk modal
asing guna menjaga stabilitas sistem keuangan, resiko sistemik, dan menjaga
stabilitas makroekonomi.
Penerapan MAM perlu mempertimbangkan efektivitas dan efisien.
Demikian pula rancangan dan implementasinya perlu transparan, targeted,
temporer, dan tidak diskriminatif. Adapun penjelasannya, yaitu:

 Transparan dan targeted: yaitu harus terbuka dan jelas agar tidak menimbulkan
distorsi dan ekspetasi publik yang keliru, serta perlunya evaluasi dan dimonitor
dengan baik.
 Temporer: yaitu dapat mengatasi masalah sesuai keadaan.
 Tidak diskriminatif: tidak membedakan antara penduduk dan bukan penduduk.

b. Sasaran: Stabilitas Makroekonomi dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

Sasaran penetapan kebijakan MAM yaitu stabilitas makroekonomi dan


stabilitas sistem keuangan. Apabila terjadi inflasi tinggi, MAM perlu ditempatkan
sebagai komplemen atas kebijakan makroekonomi baik melalui kebijakan
moneter, fiskal dan sektor riil. Volatilitas aliran modal dapat mengancam stabilitas
makroekonomi yaitu risiko pasar, dan stabilitas keuangan dari ekspansi likuiditas
dan kredit perbankan aliran masuk modal aing yang tinggi. Dalam hal ini MAM
dapat menetapkan sasaran untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan menjaga
stabilitas keuangan. Perbedaan MAM dan kebijakan makroprudensial:

 MAM merupakan pengaturan yang ditujukan untuk membatasi aliran modal,


dan diarahkan untuk mengendalikan komposisi aliran modal
 Kebijakan makroprudensial dimaksudkan untuk membatasi risiko sistemik dan
menjaga stabilitas sistem keuangan, dan untuk memitigasi akumulasi risiko
sistemik tanpa memandang apakah berasal dari eksternal atau domestik.

Namun, MAM dan kebijakan makroprudensial dapat menjadi


komplementer. Contohnya, aliran modal ke sektor perbankan baik dari utang LN
maupun investasi portofolio dapat menyebabkan ledakan dalam kredit dan harga
aset domestik. Maka pengaturan yang ditujukan untuk membatasi aliran modal
dan sekaligus mengurangi risiko di sektor keuangan dapat dikatakan MAM dan
kebijakan makroprudensial.
c. Pilihan Instrumen: Ketentuan Kehati-hatian atau Kontrol Modal?

Beberapa instrumen yang dapat diginakan untuk memitigasi risiko yang


ditimbulkan dari aliran modal asing yaitu instrumen administratif, termasuk
kontrol modal, maupun ketentuan kehati-hatian. Instrumen administratif MAM
dilakukan melalui kebijakan tertentu kepada residen atau non-residen atas
transaksi modal yang dilakukannya. Pengaturannya berupa pajak atas aliran modal
dari non-residen, tambahan GWM tanpa remunerasi bunga, kewajiban perizinan
khusus dan larangan. Sementara itu, ketentuan kehati-hatian MAM umumnya
diarahkan pada transaksi valuta asing berdasarkan mata uang, dan bukan residensi
pihak-pihak yang melakukan transaksi. Pengaturan diberlakukan kepada lembaga
keuangan domestik, khususnya perbankan. Bentuk instrumennya dapat berupa
batasan pada posisi devisa netto (PDN), atau batasan pada investasi perbankan
dalam valuta asing. Adapun ketentuan lain dapat berupa batasan kredit perbankan
dalam valuta asing dan juga pada sektor korporasi khususnya untuk memitigasi
risiko utang LN.

2. Praktek Manajemen Aliran Modal asing di Beberapa Negara

a. Efektivitas MAM: Brazil dan Columbia

brazil dan columbia menerapkan MAM untuk memitiasi dampaknya


terhadap daya saing dan otonomi kebijakan moneter. Pada 2007, columbia
mewajibkan giro wajib tanpa bunga (GWTB) sebesar 40% atas aliran modal
dalam bentuk utang LN, lalu pada 2008 GWTB dinaikkan menjadi 50% untuk
mengatasi kuatnya apresiasi nilai tukar. Sementara itu di Brazil pada 2008
mengenakan pajak 1,5% terhadap aliran masuk portofolio saham dan obligasi.
Kemudian, tarif pajak dinaikkan menjadi 6% dan diperluas cakupannya ke
instrumen derivatif (kontrak). Dalam beberapa kasus kolumbia dapat mengatasi
masalah dengan menerapkan

pembatasan posisi bank dalam instrumen derivatif, contohnya instrumen kehati-


hatian. Sementara di brazil instrumen pajak tidak mampu mengatasi penyiasatan
ketentuan melalui instrumen derivatif.
b. Ketentuan Makroprudensial Terhadap Aliran Modal: Korea

Korea merupakan negara eksportir khususnya perusahaan galangan kapal oleh


karenanya bnayk investor yang ingin menanam saham di Korea. Untuk menjaga
keseimbangan keuangan terkait aliran modal yang masuk, korea mengambil
kebijakan kehati-hatian yang menyeluruh, seperti mewajibkan bank untuk
menaikkan pangsa pinjaman LN jangka panjang hingga 100%, selain itu juga
memperketat pencadangan pinjaman valuta asing.

c. Ketentuan Kehati-hatian Terhadap Pinjaman Luar negeri: Kroasia

Kroasia mengalamimkesulitan saat mengendalikan aliran modal asing


yang terlalu banyak karena ruang gerak bank sentral yang terbatas dan kebijakan
fiskal yang terkendala. Oleh karenanya kroasia mengambil kebijakan
makroekonmi yang prudensial sebagai penangkal pertama. Selain itu ketentuan
kehati-hatian dan kontrol modal juga dapat menurunkan aliran modal untuk
sementara.

Kesimpulan

Besarnya manfaat dan risiko dari aliran modal akan sangat tergantung pada kondisi
spesifik masing-masing negara. Ketahanan makroekonomi, khususnya inflasi yang
rendah, transaksi berjalan yang terkendali, defisit fiskal yang terjaga, dan sektor
keuangan khususnya perbankan yang sehat, sangat penting. Respons kebijakan
makroekonomi, baik dari sisi moneter maupun fiskal, yang tepat sangat diperlukan
untuk memastikan fundamental ekonomi domestik tetap terjaga, serta kebijakan
reformasi struktural, termasuk iklim investasi, peningkatan produktivitas dan daya
saing termasuk teknologi dan modal manusia, serta penguatan kelembagaan
pemerintahan dan korporasi, sangat diperlukan. Suatu bauran antara kebijakan
suku bunga, stabilitas nilai tukar, dan manajemen aliran modal dapat memberikan
hasil yang lebih baik bagi stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Aliran modal asing juga berdampak pada kondisi likuiditas dan pertumbuhan
kredit perbankan. Perilaku risiko global juga sangat berpengaruh pada volatilitas
aliran modal dan perilaku perbankan dan pasar keuangan domestik. Stabilitas
moneter dan stabilitas sistem keuangan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi
dan keuangan global. Karenanya, integrasi kebijakan moneter dan kebijakan
makroprudensial semakin penting untuk memperkuat ketahanan moneter dan
sistem keuangan dalam menghadapi semakin terintegrasinya keuangan global.

Kelebihan

Kelebihan dari buku ini yaitu sudah sangat jelas dalam menjelaskan bagaimana
kebijakan moneter dan aliran modal asing. Didukung dengan penjelasan dinamika
aliran modal asing dan kebijakan moneter di Indonesia serta beberapa contoh
penerapan prinsip mengenai aliran modal asing seperti di negara Brazil dan
Columbia, Korea, dan Kroasia.

Kekurangan

Kekurangan dari buku ini yaitu kata atau kalimat yang digunakan bersifat ilmiah
yang sebagian tidak dimengerti oleh masyarakat awam serta terdapat rumus-
rumus yang hanya dijelaskan sekilas sehingga sulit untuk dimengerti.

Anda mungkin juga menyukai