Anda di halaman 1dari 222

Surianto, Amd.IP., S.Pd., M.M.

Kata Pengantar i
Surianto
Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan/Surianto
Cet. 1—Makassar. CV Sah Media 2018
23 cm x 15,5 cm, 222 Halaman
ISBN 978-602-6928-58-0

1. Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


I. Judul

Hak cipta 2018, pada penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa
pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah
dari penerbit
Surianto, Amd.IP., S.Pd., M.M.
Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan
Cetakan Pertama, Oktober 2018
Hak penerbit pada CV SAH MEDIA, Makassar
Editor: Dr. Baso Madiong, S.H., M.H.
Setting layout: Galuh AS
Desain cover: Sobirin

Dicetak oleh : EKSIS MEDIA GRAFISINDO


Merkuri Residence (Margahayu Raya)
Jl. Merkuri Selatan XIX No. 11 Blok B-11
Bandung 40286
eksisgraf@gmail.com

Isi diluar tanggung jawab percetakan

ii Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


KATA PENGANTAR

Tiada kata dan ucapan mulia yang patut dipersembahkan


selain puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga buku ini dapat diselesaikan.
Kemudian salam dan salawat penulis haturkan pula atas
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang membawa Islam
menjadi Rahmat bagi Alam Semesta.
Pembangunan manusia merupakan salah satu faktor
terpenting dalam pencapaian keberhasilannya, oleh karenanya
dibutuhkan manusia yang memiliki kualitas dan kuantitas agar
hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Tugas besar
bangsa Indonesia saat ini selain dalam upaya menumbuhkan
ekonomi masyarakat juga menanggulangi tingginya angka
kejahatan.
Kejahatan yang juga merupakan bagian dari permasalahan
sosial yang bertentangan dengan hukum akan tetap ada selama
peradaban manusia masih ada. Kejahatan merupakan tindakan
atau suatu perbuatan yang melanggar hukum dan norma-norma
yang telah berlaku serta telah disahkan oleh hukum yang tertulis.
Kejahatan memiliki sifat yang merugikan masyarakat dan
dilakukan oleh anggota masyarakat juga, pemerintah melalui
aparat penegak hukum berusaha menanggulangi gangguan-

Kata Pengantar iii


gangguan dari tindak kejahatan tersebut. Penanggulangan
tersebut dilakukan dengan dua cara yaitu melalui tindakan
prefentif dan tindakan represif.
Pelaksanaan pembinaan pada narapidana dalam upaya
mengembalikan narapidana menjadi masyarakat yang baik
sangatlah penting dilakukan, tidak hanya bersifat material
atau sprititual saja, melainkan keduanya harus berjalan dengan
seimbang, ini merupakan hal-hal pokok yang menunjang
narapidana mudah dalam menjalani kehidupannya setelah selesai
menjalani masa pidana. Bimbingan Lembaga Pemasyarakatan
diharapkan mampu membentuk kepribadian serta mental
narapidana yang dianggap tidak baik dimata masyarakat
menjadi berubah kearah yang normal dan sesuai dengan norma
dan hukum yang berlaku.
Di dalam pelaksanaan pembinaan ini memerlukan
kerjasama dari komponen-komponen yang menunjang
keberhasilan proses pembinaan narapidana, yaitu petugas
Lembaga Pemasyarakatan, narapidana, dan masyarakat. Hal ini
dikarenakan ketiganya saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Pelaksanaan pembinaan narapidana ini didasarkan
pada pola pembinaan narapidana yang telah dikeluarkan
oleh Departmen Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan
Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.022-PK.04. 10 Tahun
1990. Namun pembinaan ini tentu akan tergantung pada situasi
dan kondisi yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan, karena
latar belakang yang dimilikinya berbeda-beda. Pembinaan
narapidana dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia
yang diberikan masih terdapat banyak kendala sehingga perlu
pembenahan di segala bidang.
Akhir kata, mudah-mudahan kehadiran buku ini, dapat
membawa manfaat dan menamba wawasan para pembaca serta
dapat berkontribusi terhadap pengembangan ilmu. Amiin yaa
Robbal Aalamiin.

Makassar, Oktober 2018


Surianto

iv Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


DAFTAR ISI

Kata Pengantar__iii
Daftar Isi___v
Bab 1 Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal
Manusia___1
A. Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia___1
B. Sejarah Rumah Tahanan___5
C. Tujuan Rumah Tahanan___6
D. Konsep Modal Manusia___12
E. Modal Manusia dan Rutan___16

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Belanda___19


A. Periode Kerja Paksa___19
B. Periode Kolonial Belanda___21
C. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan___25
D. Sejarah Perkembangan Sistem Pelaksanaan
Pidana Penjara di Dunia___35

Daftar Isi v
E. Permasalahan Pelaksanaan Pidana Penjara
di Indonesia___37

Bab 3 Keanekaragaman Kecakapan dan Kreativitas


Bawaan Tahanan___43
A. Kecakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan___43
B. Perencanaan Program Keahlian Bawaan___46
C. Motivasi dan Memotivasi Tahanan___50
D. Manajemen Pengetahuan Warga Binaan___52
E. Proses Berbagi Pengetahuan dikalangan
Warga Binaan___53

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan___55


A. Jenis Kejahatan, Kecakapan, dan Kreativitas___55
B. Lingkaran Setan Kecakapan Tahanan___57
C. Peningkatan Kecakapan Tahanan___59
D. Hambatan Mencari Kerja___61
E. Peran Keluarga___63
F. Pengangguran di Masyarakat___67
G. Mantan Narapidana Bukan “Sampah
Masyarakat”___70

Bab 5 Manajemen Risiko Kekerasan dan Bunuh Diri__75


A. Risiko Kekerasan Dalam Tahanan___77
B. Risiko Bunuh Diri___90
C. Kejahatan Terhadap Nyawa___90
D. Kejahatan Terhadap Fisik (Badan)___92
E. Kejahatan Terhadap Kesusilaan___94
F. Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang___97

vi Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


G. Kejahatan terhadap Hak Milik/Barang dengan
atau Tanpa Penggunaan Kekerasan___98
H. Kejahatan Narkoba___99
I. Penipuan, Penggelapan, dan Korupsi___100
J. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum___101

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan___103


A. Pembekalan Hidup___107
B. Penyegaran Jasmani dan Rohani___109
C. Program Tahunan___111
D. Program Pendidikan___114
E. Kegiatan Usaha___115
F. Kegiatan Seni___115
G. Jadwal Kegiatan___116

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas___119


A. Defenisi Kriminalitas___122
B. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya___124
C. Teori-teori Terkait Kriminalitas___127
D. Penyebab Kejahatan___139
E. Kriminalitas Sebagai Profesi dan Kebiasaan___152
F. Faktor Penyebab Konflik dan Kriminalitas
Serta Cara Mengatasinya___154
G. Fenomena Kekerasan Dalam Masyarakat___163

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi___169


A. Pengertian Krimonologi dan Objek Studi
Krimonologi___169
B. Kejahatan serta Arti dan Status Penjahat___171

Daftar Isi vii


C. Korban Kejahatan___173
D. Reaksi Sosial terhadap Kejahatan dan
Penjahat__175
E. Mazhab Dalam Kriminologi___176
F. Lingkungan Sosial dan Kejahatan___179
G. Struktur Sosial dan Kejahatan___181
H. Proses Sosial dan Kejahatan___182
I. Konflik Sosial dan Kejahatan___183

Bab 9 HAM dan Implementasinya di Indonesia___187


A. Pengertian Hak Asasi Manusia___187
B. Sejarah Perkembangan Hukum
yang Mengatur HAM___189
C. Kelembagaan Nasional HAM di Indonesia___191
D. Implementasi HAM di Indonesia___192

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana___197


Daftar Pustaka___209
Tentang Penulis ___213

viii Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB I
KONSEP RUTAN SEBAGAI SUMBER
MODAL MANUSIA

A. Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia


Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita perjelas konsep rutan
dengan konsep sejenis, yaitu lapas. Pemerintah menyatakan
bahwa Rutan (Rumah Tahanan Negara) adalah tempat
tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ia
dibedakan dengan Lapas (Lembaga Permasyarakatan)
yang merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik permasyarakatan (psl.1 ayat 3 UU
No.12 thn 1995). Narapidana adalahterpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di Lapas (ayat 7). Artinya,
tahanan adalah seseorang yang masih berstatus tersangka
atau terdakwa, belum menjadi narapidana (napi). Ketika ia
menjadi napi, ia dipindahkan dari rutan ke lapas.
Walaupun keduanya berbeda status, tahanan dan napi
sama-sama wajib mematuhi tata tertib yang sama. Tata tertib
ini tertuang dalam Permenkum HAM No 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan. Tata tertib ini terdiri

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 1


dari tujuh kewajiban dan 22 larangan yang jika dilanggar
dapat memperoleh hukuman disiplin tingkat ringan, sedang,
atau berat.
Kewajiban seorang tahanan mencakuplah antara lain:
• Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan/atau
kepercayaan yang dianutnya serta memelihara kerukunan
beragama;
• mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan;
• patuh, taat, dan hormat kepada Petugas;
• mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
• memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan
norma kesopanan;
• menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta
mengikuti kegiatanyang dilaksanakan dalam rangka
kebersihan lingkungan hunian; dan
• mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh Petugas
Pemasyarakatan.
Adapun larangan yang diberikan mencakup antara
lain:
• mempunyai hubungan keuangan dengan Narapidana atau
Tahanan lainmaupun dengan Petugas Pemasyarakatan;
• melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan
seksual;
• melakukan upaya melarikan diri atau membantu
pelarian;
• memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang
ditetapkan Kepala Rutan/Lapas tanpa izin dari Petugas
pemasyarakatan yang berwenang;
• melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatan
dalam menjalankan tugas;
• membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah
dan barangberharga lainnya;
• menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/
atau mengkonsumsi narkotika dan/atau prekursor
narkotika serta obat-obatan lain yang berbahaya;

2 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


• menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/
atau mengkonsumsi minuman yang mengandung
alkohol;
• melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas
angin, televisi,dan/atau alat elektronik lainnya;
• memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat
elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat
perekam, telepon genggam, pager, dansejenisnya;
• melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar
hunian;
• membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau
sejenisnya;
• membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang
dapat menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran;
• melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik
maupun psikis,terhadap sesama Narapidana, Tahanan,
Petugas Pemasyarakatan, atautamu/pengunjung;
• mengeluarkan perkataan yang bersifat provokatif yang
dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan
ketertiban;
• membuat tato, memanjangkan rambut bagi Narapidana
atau Tahanan Laki-laki, membuat tindik, mengenakan
anting, atau lainnya yang sejenis;
• memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin
Petugas Pemasyarakatan;
• melakukan aktifitas yang dapat mengganggu atau
membahayakan keselamatan pribadi atau Narapidana,
Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, pengunjung, atau
tamu;
• melakukan perusakan terhadap fasilitas Rutan;
• melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau
penipuan;
• menyebarkan ajaran sesat; dan
• melakukan aktifitas lain yang dapat menimbulkan
gangguan keamanandan ketertiban Rutan.

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 3


Jika tahanan tidak menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, meninggalkan blok hunian tanpa izin, tidak
berseragam, tidak mengikuti apel, memakai anting, kalung,
cincing, dan ikat pinggang, melakukan perbuatan atau
mengeluarkan perkataan kotor, dan hal yang dipandang
perlu mendapat hukuman ringan oleh sidang tim pengamat
pemasyarakatan, tahanan dapat dikenakan hukuman disiplin
ringan. Hukuman disiplin ringan ini berupa peringatan lisan
dan tertulis.
Jika peringatan lisan dan tertulis tidak diindahkan, atau
tahanan memasuki kawasan steril tanpa izin, membuat tato,
tindik, dan/atau peralatannya, membahayakan keselamatan
diri sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan atau
perkataan yang menghina agama, melakukan aktivitas jual
beli atau utang piutang, atau dipandang perlu mendapatkan
hukuman disiplin sedang, maka tahanan dapat dikenakan
hukuman disiplin sedang. Hukuman disiplin sedang
mencakup dimasukkan ke sel pengasingan selama paling lama
enam hari dan ditunda mendapatkan hak tertentu, misalnya
penundaan waktu kunjungan.
Pelanggaran berat ada 17 jenis, termasuk mengulang
pelanggaran sedang, tidak mengikuti program pembinaan,
dan melakukan tindakan-tindakan terlarang seperti melawan
petugas, menyimpan senjata, merusak rutan, memprovokasi,
memakai alat komunikasi yang melanggar aturan, alkohol,
narkoba, berupaya melarikan diri, melakukan tindakan
kekerasan, memasang listrik dan melengkapi kamar tahanan
dengan fasilitas, penyimpangan seksual dan perbuatan asusila,
pencurian, pemerasan, perjudian, penipuan, menyebarkan
ajaran sesat, serta pertimbangan dari sidang tim pengamat
permasyarakatan. Memakai alat komunikasi yang melanggar
aturan misalnya dengan memiliki ponsel. Kepemilikan
ponsel dilarang karena berpotensi menimbulkan bahaya.
Para tahanan atau napi dapat menggunakan ponsel untuk
kepentingan menghubungi rekannya yang masih ada di luar

4 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


tahanan untuk melakukan tindak pidana, seperti mengancam
keluarga sipir atau rekan mereka, serta melaksanakan transaksi
narkoba. Pelanggaran berat ini dapat membuat tahanan
dimasukkan ke sel pengasingan selama enam hari dan dapat
diperpanjang dua kali selama enam hari, tidak mendapatkan
hak remisi, cuti kunjungan keluarga, cuti bersyarat, asimilasi,
cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat pada tahun
berjalan.
Seperti terlihat di atas, kehidupan di penjara tidak
lepas dari aturan-aturan. Banyak Rutan/Lapas mematuhi
peraturan-peraturan ini. Tetapi kadang, oknum dapat menjadi
pelaku pelanggaran pula, seperti misalnya membantu
menyelundupkan ponsel atau narkoba ke dalam penjara
dengan imbalan sejumlah uang dari tahanan. Alasan klasik
biasa diangkat, yaitu gaji hanya Rp 5 juta per bulan, pada
petugas lapas dengan golongan terendah, walaupun faktor
integritas lebih masuk akal dalam menjelaskan masalah ini.
Dalam konteks ini, oknum tersebut mendapatkan hukuman
kedisiplinan PNS hingga pidana jika terbukti membantu
pelanggaran aturan di dalam tahanan.

B. Sejarah Rumah Tahanan


Dalam sejarahnya, Rumah Tahanan sebenarnya hadir
lebih dahulu dari lapas. Dalam Abad Pertengahan hingga abad
ke-17 di Eropa, penjara dipandang hanya berfungsi sebagai
tempat sementara, bukan sebagai hukuman itu sendiri. Tempat
sementara ini bermakna bahwa tahanan sedang menunggu
pengadilan atau sedang menunggu pelaksanaan hukuman.
Hukuman sendiri lebih dalam bentuk fisik, bukan penjara.
Hukuman fisik ini dapat berupa hukuman mati (penggal,
gantung, rajam), mutilasi (misalnya potong tangan atau kaki),
cambuk, rajam, atau pasung.

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 5


Pandangan kalau penjara bukan sekedar rumah
tahanan, tetapi sebagai bentuk hukuman, muncul pada abad
ke-19 lewat pemikiran dari Jeremy Bentham. Jeremy Bentham
berpendapat bahwa hukuman mati tidak memberikan manfaat
bagi masyarakat. Seorang pelaku kejahatan pada dasarnya
mengambil sesuatu dari masyarakat untuk kepentingannya
sendiri dan karenanya, ia harus mengembalikan sesuatu
tersebut dengan cara lain. Cara ini adalah suatu program yang
disebut program rehabilitasi, misalnya dengan menjadi orang
yang baik dan membantu masyarakat, dan perbuatan apapun
yang dapat dipaksakan negara pada pelaku kejahatan sehingga
bukan saja mengembalikan kerugian pada masyarakat, tetapi
bahkan memberikan nilai lebih pada masyarakat. Selama
proses permasyarakatan ini, pelaku harus tetap berada dalam
penjara untuk dapat diamati secara melekat dan dikendalikan
oleh negara. Karenanya, mulailah muncul pandangan kalau
menjadi tahanan dalam waktu lama di suatu penjara adalah
bentuk hukuman itu sendiri. Semenjak ini, konsep lapas
muncul.

C. Tujuan Rumah Tahanan


Secara sederhana, tentu saja, tujuan rutan adalah untuk
menjaga agar tersangka tidak melarikan diri. Tetapi tujuan
ini didasarkan pada asumsi bahwa seorang yang ditahan
kemungkinan besar bersalah. Terdapat asas lain dalam
hukum yang disebut asumsi tidak bersalah. Asumsi tidak
bersalah ini, walau begitu, juga mendukung adanya rutan.
Kali ini, alasannya adalah untuk mengamankan tersangka
agar ia tidak dihakimi oleh masyarakat yang menduga ia
pasti bersalah. Terdapat pula alasan ketiga, yaitu untuk
memudahkan penyidikan dilakukan.
Terkait masalah apakah seorang terdakwa atau
tersangka perlu ditahan atau tidak, hukum internasional

6 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


telah mengeluarkan Aturan Tokyo. Aturan Tokyo merupakan
standar aturan minimum untuk tindakan non penahanan dari
PBB. Aturan ini dikeluarkan pada tahun 1986 dalam kongres
ketujuh PBB tentang pencegahan kejahatan dan keadilan
pidana. Aturan Tokyo disahkan lewat resolusi Dewan Umum
PBB ke 45/110 tanggal 14 Desember 1990. Aturan Tokyo
memiliki tujuan mengurangi praktik pemenjaraan baik pada
tahap pra pengadilan, pengadilan, maupun pasca pengadilan
bagi seseorang.
Aturan 6.1 dalam Aturan Tokyo menyatakan bahwa
“penahanan pra pengadilan harus digunakan sebagai jalan
terakhir dalam penyelidikan pidana, atas pertimbangan
penyidikan tindak pidana yang dituduhkan dan untuk
melindungi masyarakat dan korban. Ia dijadikan sebagai
pilihan terakhir karena status hukum sang tersangka masih
belum pasti. Sesuai asas praduga tak bersalah, maka
penahanan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap hak
asasi manusia untuk hidup bebas. Karenanya, harus ada
suatu alasan yang jelas dan kuat bagi seseorang tersangka jika
ia harus ditahan. Alasan yang diberikan oleh Aturan Tokyo
adalah bahwa ia sebagai jalan memudahkan penyidikan serta
melindungi masyarakat dan korban.
Tetapi alasan ini masih belum kuat jika dibandingkan
pelanggaran HAM yang terjadi. Tetapi sebenarnya ia telah
cukup jelas karena didukung oleh Deklarasi Hak Asasi
Sipil dan Politik (ICCPR – International Covenant on Civil and
Political Rights) yang diadopsi Majelis Umum PBB tanggal 16
Desember 1966. ICCPR telah berlaku sejak 23 Maret 1976. Pada
pasal 9.3 dinyatakan bahwa penahanan tidak boleh dijadikan
sebagai perlakuan umum bagi seseorang yang menunggu
persidangan. Jika memang harus dilakukan penahanan,
tujuannya adalah demi menjamin kalau orang ini akan
hadir saat persidangan, pada setiap tahapan persidangan,
dan pengambilan putusan. Disebutkan pula adanya alasan
penguat, yaitu bahwa penahanan dapat dilakukan jika

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 7


penegak hukum memiliki alasan yang kuat kalau orang ini
memang benar-benar melakukan perbuatan pidana tersebut
dan jika ia tidak ditahan, ia dapat melakukan perbuatan
pidana yang serius atau mengganggu jalannya penegakan
hukum.
Untuk menyeimbangkan keputusan penegak hukum,
seorang tahanan sebelum pengadilan dapat mengajukan
pra-peradilan. Pra-peradilan adalah upaya yang dilakukan
tahanan untuk mempertanyakan alasan kenapa ia harus
ditahan dalam suatu pengadilan. Jika ia menang dalam pra-
peradilan, penyidikan dapat tetap dijalankan tetapi ia harus
dilepaskan dari tahanan dan alternatif lain harus dipilih.
Sebaliknya, jika ia kalah dalam pra-peradilan, dugaan bahwa
dirinya adalah pelaku kejahatan akan semakin menguat.
Agar “pelanggaran HAM” tidak berlangsung lama,
pasal 14.3 menuntut agar ketika seseorang telah ditetapkan
sebagai tersangka, pengadilan harus sesegera mungkin
dilakukan tanpa ditunda. Hal ini juga diatur dalam KUHAP,
misalnya pada pasal 50: “Tersangka atau terdakwa berhak segera
mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan ke penuntut
umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut
umum, segera diadili oleh pengadilan.” Alasannya, semakin
lama seseorang ditahan sebelum pengadilan, semakin kuat
hak seorang tersangka untuk menuntut dirinya dibebaskan
dari tahanan atau bahkan untuk menghilangkan statusnya
sebagai tersangka. Hal ini karena semakin tidak seimbang
antara hak asasinya untuk bebas dengan beban berbagai
alasan untuk menahannya. Karenanya, penegak hukum harus
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu
tertentu yang singkat.
Dalam KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan
penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menuntut cara yang diatur dalam undang-

8 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


undang ini (pasal 1 angka 20). Sementara itu, penahanan
adalah “penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini” (pasal 1 angka 21). Dalam
KUHAP butir 3 b, penangkapan diatur secara rinci mulai
dari pasal 16 hingga 19 KUHAP dan pasal 75 sampai 77
UU No 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Sementara
itu, penahanan diatur dalam pasal 20-31 KUHAP dan untuk
militer, di pasal 78-80 dan pasal 137-138 UU No 31 Tahun
1997. Dalam KUHAP, pasal 20, penahanan ditujukan untuk
kepentingan penyelidikan, penyidik, atau penyidik pembantu
atas perintah penyidik, kepentingan penuntutan, dan untuk
kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan
penetapannya.
Terkait surat perintah penahanan, pasal 20 KUHAP
menyatakan bahwa perintah penahanan atau penahanan
lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
dan atau mengulangi tindak pidana. Lebih lanjut, disebutkan
bahwa penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh
penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau
terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau
penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka
atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan. Tembusan surat perintah
penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
harus diberikan kepada keluarganya. Penahanan tersebut
hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 9


hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih; atau diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Sementara itu, berkaitan dengan masa tahanan, pasal
25 KUHAP menyatakan bahwa perintah penahanan yang
diberikan penuntut umum hanya berlaku paling lama 20
hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang berwenang untuk paling lama 30 hari, jika pemeriksaan
belum selesai. Setelah 50 hari kepentingan pemeriksaan
belum terpenuhi, penuntut umum harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum. Tentunya jika sebelum
waktu tersebut pemeriksaan telah terpenuhi dan tersangka
tidak dapat dituntut, ia harus pula dibebaskan dari tahanan.
Dalam pasal 26 KUHAP, diberikan kewenangan bagi
hakim pengadilan negeri untuk mengeluarkan surat perintah
penahanan untuk paling lama 30 hari guna kepentingan
pemeriksaan, dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari,
sehingga total waktu dapat mencapi 90 hari. Lebih dari ini, jika
pemeriksaan belum selesai, maka tahanan harus dibebaskan.
Dalam pasal 27 KUHAP, dinyatakan bahwa hakim
pengadilan tinggi yang mengadili perkara dapat mengeluarkan
surat perintah penahanan paling lama 30 hari guna kepentingan
pemeriksaan banding, dan dapat diperpanjang menjadi paling
lama 60 hari. Sementara itu, pada pasal 28, hakim MA juga
dapat mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling
lama 50 hari untuk kepentingan pemeriksaan kasasi, dan
dapat diperpanjang paling lama 60 hari.
Perpanjangan penahanan lebih lanjut dapat dilakukan
berdasarkan aturan pasal 29 KUHAP yaitu guna kepentingan
pemeriksaan atas sejumlah alasan seperti tersangka atau
terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat,
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana
penjara sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan ini paling
lama 30 hari dan dapat diperpanjang lagi paling lama 30 hari.

10 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Dalam hal ini, tersangka dapat mengajukan keberatan pada
pengadilan. Pasal 29 dan 30 KUHAP memberikan peluang
adanya pra peradilan, karena jika ternyata tenggang waktu
penahanan dan perpanjangan penahanan tidak sah, tersangka
atau terdakwa berhak meminta ganti rugi.
Pasal 31 KUHAP memberikan hak bagi tersangka atau
terdakwa maupun bagi penyidik, penuntut umum, atau
hakim, untuk mengadakan penangguhan penahanan dengan
atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan
syarat yang ditentukan.
Ketika jangka waktu penahanan tersebut hampir habis
sementara pengadilan belum dilakukan, penegak hukum
harus meninjau ulang alasan-alasan penahanan dan dapat
memutuskan untuk melepas tersangka atau membuat surat
keputusan penahanan baru yang memperpanjang penahanan.
Selain itu, peninjauan ulang perlu dilakukan karena alasan-
alasan sebelumnya dapat kadaluarsa dalam artian tidak lagi
berlaku bagi seorang tersangka.
Intinya adalah, penahanan sama sekali bukan bentuk
dari hukuman dan tidak boleh pula dipandang sebagai bentuk
hukuman, karena tersangka belum mendapatkan keputusan
sidang. Agar pelanggaran HAM ini tidak berkepanjangan
dan jumlah tahanan menumpuk menunggu sidang dimulai
atau selesai, sistem penyidikan dan pengadilan harus efisien.
Harus ada sesedikit mungkin penundaan pengadilan,
misalnya dengan menambah jumlah hakim dan JPU,
meningkatkan efektivitas kerjasama antar lembaga penegak
hukum, memudahkan birokrasi, dan sebagainya.
Jika Aturan Tokyo benar-benar dijalankan, maka
seorang tersangka masih memiliki alternatif-alternatif untuk
menjalankan beban statusnya sebagai tersangka tanpa harus
ditahan. Alternatif-alternatif ini adalah memerintahkan agar
tersangka:
• Muncul di pengadilan pada hari tertentu atau sebagaimana
diperintahkan oleh pengadilan di masa depan;

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 11


• Menahan diri untuk tidak ikut campur dalam penyidikan;
terlibat dalam perilaku tertentu, meninggalkan atau pergi
ke tempat atau daerah tertentu; atau mendekati atau
bertemu dengan orang tertentu;
• Tetap tinggal pada alamat tertentu;
• Membuat laporan harian atau berkala pada pengadilan,
polisi, atau penegak hukum lainnya;
• Menyerahkan paspor atau kartu identitas lainnya;
• Menerima pengawasan oleh lembaga yang diperintahkan
oleh pengadilan;
• Bersedia diawasi secara elektronik; atau
• Memberikan jaminan finansial atau bentuk hak milik
lainnya untuk menjamin ia hadir di pengadilan.

D. Konsep Modal Manusia


Keberadaan seorang tersangka di Rutan/Lapas
sebenarnya menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk
mendayagunakan mereka demi tujuan kemaslahatan bersama.
Banyak peneliti yang menggambarkan sebuah perspektif
psikologi perilaku secara garis besar, telah mengarahkan
mata rantai antara praktek-praktek manajemen sumberdaya
manusia dan keuntungan kompetitif. Misalnya Schuler &
Jackson,1997; Schuler & MacMillan 1984 (Manajemen SDM
strategis hal.12; Saptadi Bagastawa). Kesempatan semacam
ini bertopang pada konsep modal manusia. Modal manusia
pada dasarnya adalah kecakapan dan kreativitas yang dimiliki
oleh seseorang. Modal manusia sejak lama dipandang sebagai
suatu bentuk modal yang diperlukan bagi dunia industri, lewat
penyediaan berbagai jenis karyawan yang dapat membantu
perusahaan mencapai tujuannya. Sejalan dengan ini, negara
juga bertopang pada modal manusia untuk memberikan
pelayanan prima pada masyarakat sehingga masyarakat
mendapatkan lebih dari apa yang mereka berikan dalam
bentuk pajak dan kewajiban lainnya.

12 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Modal manusia mengandung komponen kecakapan dan
kreativitas. Kecakapan adalah kemampuan melakukan suatu
pekerjaan dengan hasil tertentu yang diharapkan. Tetapi
karena kegiatan apapun dapat dipandang sebagai pekerjaan,
maka kecakapan dalam arti ini masih sangat luas. Ada begitu
banyak kecakapan dalam diri seseorang dan tidak ada habis-
habisnya digali. Beberapa kecakapan mungkin tidak relevan
lagi dengan masa kini. Apa gunanya misalnya, kecakapan
membuat origami atau kecakapan menulis, ketika sudah
ada komputer. Karenanya, para ahli berusaha membangun
kerangka model kecakapan yang benar-benar bermanfaat
bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut Mayer, ada tujuh jenis kecakapan yang dapat
dipandang sebagai kunci bagi seseorang dalam menjalani
hidup dan berkontribusi dalam lingkungan kontemporer.
Tujuh kecakapan ini antara lain:
1. Kecakapan mengumpulkan, menganalisis, dan
mengorganisasikan informasi. Kecakapan ini berkaitan
dengan kapasitas seseorang untuk memilih apa yang
dibutuhkan dan menyajikannya secara baik, dan
mengevaluasi informasi tersebut, sumbernya, dan metode
untuk mendapatkannya.
2. Kecakapan mengkomunikasikan gagasan dan informasi.
Kecakapan ini berkaitan dengan penggunaan berbagai
jenis cara berekspresi baik secara lisan, tertulis, grafis, atau
cara lain yang bersifat non verbal.
3. Kecakapan merencanakan dan mengelola kegiatan.
Kecakapan ini mencakuplah memanfaatkan dengan baik
waktu dan sumber daya, memilah prioritas, dan menjaga
kinerja sendiri.
4. Kecakapan bekerjasama. Kecakapan ini terkait dengan
bekerja dengan orang lain atau dalam suatu kelompok
kerja. Termasuk di dalamnya adalah memahami dan
merespon kebutuhan seseorang dan bekerja secara efektif
sebagai anggota kelompok dalam mencapai suatu tujuan
bersama.

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 13


5. Kecakapan dalam menggunakan gagasan dan teknik
matematik. Hal ini berkaitan dengan kemampuan
memakai gagasan matematis, misalnya angka dan ruang,
serta teknik-teknik matematis seperti estimasi, statistik,
dan sebagainya untuk tujuan praktis.
6. Kecakapan memecahkan masalah. Hal ini mencakup
kemampuan memecahkan masalah baik ketika masalah
dan atau solusi sudah jelas, maupun belum jelas.
7. Kecakapan menggunakan teknologi. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan seseorang memanfaatkan fisik
dan inderanya dalam mengoperasikan suatu peralatan
maupun memahami prinsip-prinsip ilmiah dan teknologis
yang ada di baliknya, serta mampu mengeksplorasi dan
mengadaptasi teknologi untuk kebutuhan tertentu.
Berbeda dengan kecakapan yang berorientasi pada
sesuatu yang telah ada, kreativitas berurusan dengan
sesuatu yang baru. Beberapa ahli memandang bahwa
kreativitas merupakan suatu bentuk kecakapan, tetapi kita
dapat memisahkannya dari kecakapan dengan karakteristik
kebaruan tersebut. Seorang yang cakap menggunakan
teknologi misalnya, bertopang pada teknologi yang telah
ada. Hal ini berbeda dengan seseorang yang menciptakan
teknologi baru. Seorang pencipta bertopang pada kreativitas,
bukan pada kecakapan.
Secara lebih tepat, E Paul Torrance mendefinisikan
kreativitas pada tahun 1966 sebagai “suatu proses
seseorang menjadi sensitif pada masalah, kekurangan, celah
pengetahuan, adanya elemen yang hilang, ketidak selarasan,
dan sebagainya; mengidentifikasi kesulitan-kesulitan; mencari
solusi, membuat dugaan, atau merumuskan hipotesis tentang
kekurangan; menguji dan menguji ulang hipotesis inidan
mungkin memodifikasi dan mengujikan ulang; dan akhirnya
mengkomunikasikan hasilnya.”
Selanjutnya, ada lima karakteristik seseorang yang
sedang dalam proses kreatif. Karakteristik ini antara lain:

14 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


1. Kefasihan, yaitu mampu menghasilkan banyak gagasan
dari satu pokok pikiran.
2. Orisinalitas, yaitu mampu menghasilkan gagasan-gagasan
yang tidak biasa atau unik.
3. Elaborasi, yaitu mengembangkan dan memperluas suatu
gagasan utama dengan gagasan-gagasan tambahan.
4. Abstraksi, yaitu mampu membuat relasi abstrak dari suatu
yang konkrit.
5. Terbuka secara psikologis, dalam artian memertimbangkan
berbagai jenis informasi ketika mengolah informasi dan
tetap berpikiran terbuka.
Mari kita terapkan karakteristik ini pada contoh tahanan
yang sebelumnya, yang mampu membuat pisau dari kertas.
Tahanan ini menunjukkan kefasihan dengan memikirkan
begitu banyak gagasan untuk membuat pisau dari apa yang
ada di dalam tahanan. Ia kemudian tiba pada orisinalitas,
yang menghasilkan sesuatu yang belum pernah terpikirkan
sebelumnya, yaitu menggunakan kertas untuk membuat
pisau. Gagasan ini menjadi awal yang ia kembangkan atau
elaborasi, sehingga mengetahui cara menjadikan sejumlah
kertas menjadi sebuah pisau. Ia memakai hal-hal abstrak
seperti memikirkan bagaimana cara ini dieksekusi di dalam
tahanan. Terakhir, ia menjaga pikiran tetap terbuka dengan
memeriksa skenario apa saja yang dapat diambil jika ia
gagal.
Selain karakteristik di atas, terdapat pula yang
dinamakan kekuatan kreatif. Kekuatan kreatif ini ditunjukkan
lewat ekspresi emosional, artikulasi yang jelas, gerakan atau
tindakan untuk mewujudkan gagasan, mensintesis sesuatu
dari gambaran yang belum lengkap, membuat visualisasi
yang tidak biasa, mampu berimajinasi, membuat pemikiran
yang melintasi atau memecah batasan-batasan normal,
mampu melihat kelucuan atau membuat humor, kaya dengan
gambaran, menggunakan banyak warna, dan memiliki fantasi
yang tinggi.

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 15


Kembali pada isu tahanan di rutan, kita dapat melihat
bahwa para tahanan ini memiliki kecakapan bawaan.
Dikatakan bawaan karena asas praduga tak bersalah tidak
memungkinkan pengembangan kecakapan di dalam rutan.
Para tahanan ini juga memiliki potensi kreativitas yang tinggi,
yang dapat diwujudkan di dalam rutan, baik secara positif
atau negatif. Dua modal manusia ini sangat penting bagi
seseorang untuk berhasil di kehidupannya sehari-hari. Entah
karena tidak bersalah atau memang bersalah, orang-orang
ini terbawa ke dalam situasi dimana mereka harus tinggal
sementara di dalam rutan.
Menurut teori rekognisi sosial, manusia memiliki hasrat
untuk diakui oleh orang lain. Hasrat ini harus tersalurkan
agar ia dapat diakui oleh orang lain, bahkan jika pengakuan
tersebut ala kadarnya. Upaya mendapatkan pengakuan ini
dilakukan lewat menunjukkan kecakapan dan kreativitasnya
pada orang lain di dalam rutan. Dengan ini mereka dapat
memiliki kepercayaan diri dan yakin bahwa kecakapan dan
kreativitasnya tidak hilang selama di tahanan. Menghalangi
mereka mengekspresikan kecakapan dan kreativitas dapat
memberikan efek negatif pada psikologi dan pada gilirannya
dapat memicu masalah perilaku, misalnya menggunakan
kecakapan untuk melarikan diri, atau seperti contoh kasus di
atas, membuat pisau. Lalu, bagaimana kemudian kecakapan
dan kreativitas mereka dapat disalurkan ke arah yang
positif?

E. Modal Manusia dan Rutan


Dua paradigma dalam tujuan rutan, asas tidak bersalah
dan asas bersalah, mengambil peran yang rumit dalam
situasi tahanan di rutan. Di satu sisi, jika ia diasumsikan
tidak bersalah, maka ia juga semestinya tidak mendapatkan
kewajiban untuk membayar kesalahannya pada masyarakat,

16 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dalam bentuk kegiatan pengembangan dirinya agar menjadi
warga yang berguna. Di sisi lain, jika ia diasumsikan bersalah,
sesuai dengan definisi tersangka yaitu seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka ia harus
mematuhi program dan tata tertib yang sama seperti seorang
napi.
Berada dalam posisi antara salah dan tidak bersalah,
seorang tahanan tidak wajib mendapatkan binaan. Tetapi
sungguh demikian, seorang tersangka atau terdakwa memiliki
suatu hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hal ini condong pada paradigma asumsi tidak
bersalah tadi. Jika ia tidak bersalah, maka ia semestinya tetap
mendapatkan pemasukan dari kegiatan yang berdasarkan
pada kecakapannya.
Asas praduga tidak bersalah memiliki pijakan yang
kuat dalam sistem hukum Indonesia lewat KUHAP. Asas
ini berkaitan langsung dengan pasal 1 ayat 1 KUHP yang
menyatakan bahwa nullum delictum nulla poena sine previa
lege poenall, yang berarti bahwa tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada. Pada bagian konsiderans disebutkan
kalau setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim.
Artinya, seorang hanya dapat dinyatakan bersalah ketika
diputuskan oleh pengadilan. Akibatnya, sebelum pengadilan,
tentu tidak dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut
bersalah. Hal ini membawa pada pandangan bahwa seseorang
pada situasi tersebut ada pada situasi praduga tak bersalah.
Asas praduga tak bersalah diperkuat lagi oleh pandangan
ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat, yaitu beban
pembuktian ada pada orang yang menuduh, bukan orang
yang menolak. Pernyataan ini sangat rasional karena jika
seseorang harus membuktikan tuduhan pada dirinya, maka
akan ada kemungkinan banyak orang membuat tuduhan yang
berbeda-beda, membuat dirinya tidak mungkin membuktikan

Bab I Konsep Rutan Sebagai Sumber Modal Manusia 17


kalau dirinya tidak bersalah, dan pada gilirannya membuat
dirinya pasti dianggap bersalah. Asas inipun intuitif karena
dalam kehidupan sehari-hari pun ketika dituduh, maka orang
yang dituduh akan meminta buktinya dari penuduh. Status
orang ini pada situasi tersebut tentu adalah tidak bersalah.
Asas ini telah sangat tua. Ia pertama tercatat dalam Hukum
Romawi Kuno di abad ke-2 Masehi. Ia kemudian diadopsi
dalam Deklarasi Universal HAM pasal 11 yang menyatakan
bahwa “setiap orang yang dituntut pidana memiliki hak
untuk dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah
sesuai dengan hukum dalam suatu persidangan publik
dimana ia memiliki semua jaminan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan diri.”
Asas praduga tak bersalah pun telah ditegaskan dalam
KUHAP butir 3 huruf c dan dalam UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman No 14 Tahun 1970 Pasal 8 yang berbunyi “setiap
orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah, walau begitu, sulit diterapkan.
Orang seringkali membuat prasangka dan praduga bersalah
pada seseorang ketika suatu tindak pidana terjadi. Bahkan
tanpa ada tindak pidana, sering perusahaan atau lembaga
publik membuat asumsi bersalah sehingga terbukti tidak
bersalah. Hal ini misalnya dalam kasus tes narkoba yang
meminta mahasiswa baru atau kelompok masyarakat tertentu
menunjukkan kalau mereka tidak mengkonsumsi narkoba
dengan tes urin.
Pemanfaatan kecakapan dan kreativitas tahanan di rutan
adalah suatu bentuk upaya memertahankan asas praduga tak
bersalah. Bahkan orang yang bersalah sekalipun, lewat teori
utilitarianisme Bentham, diberikan pelatihan dan disalurkan
kecakapan dan kreativitasnya lewat kegiatan pemasyarakatan.
Apalagi bagi mereka yang belum dibuktikan bersalah oleh
pengadilan seperti para tahanan di rutan.

18 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 2
SEJARAH PENJARA
MASA KOLONIAL BELANDA

A. Periode Kerja Paksa


Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung
sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun
1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana;
pertama, hukum pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan
yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa.
Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing
berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus,
yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in
Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang
Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda.
Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan “Inlanders”.
Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan
yang seringkali dijatuhkan pada “inlanders”. Lama pidana
kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu
hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja
paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen).

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 19


Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan
dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah
lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting).
Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah
“dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga
bulan disebut “krakal”.
Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak,
dilaksanakan diluar daerah tempat diputuskannya perkara,
juga di luar daerah asal terpidana. Hukuman yang juga disebut
dengan “pembuangan” (verbanning), dimaksudkan untuk
memberatkan terpidana, dijauhkan dari sanak saudara serta
kampung halaman. Bagi orang Indonesia yang cenderung
memiliki sifat kekerabatan dan persaudaraan, tentu saja hal
ini dirasa sangat memberatkan. Terpidana menjalani kerja
paksa diluar daerah, dengan bekerja pada proyek-proyek
besar, seperti; tambang batu bara di Sawah Lunto (Umbilin),
proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Tapanuli, Aceh,
Sulawesi, Bali/Kintamani, Ambon, Timor, dan lain-lain.
Selain itu para terpidana juga bekerja sebagai pemikul
perbekalan dan peluru saat Perang Aceh, dan di tempat-
tempat lain di luar Jawa. Tujuan utama dari hukuman pada
periode tahun 1872-1905 ini adalah menciptakan rasa takut
(afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari masyarakat.
Meskipun pada waktu itu berlaku “Reglement op de Orde en
Tucht” (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib terpidana,
namun semuanya praktis tidak dijalankan. Para terpidana
tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana
mestinya.
Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat
menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian.
Penegakan hukum pada masa kekuasaan Hindia Belanda ini
bersifat menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling
bawah.

20 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


B. Periode Kolonial Belanda
Sejak tahun 1905 mulai dibuat penjara sentral wilayah
(gewestelijke centralen) bagi terpidana kerja paksa, agar
terpidana kerja paksa dapat melakukan beserta jajarannya.
Tercatat sebagai Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama
adalah Gebels seorang sarjana hukum yang berjasa dalam
membuat gebrakan-gebrakan baru dalam hal kepenjaraan.
Pada masa ini sudah mulai diberlakukan sistem kamar
bersama, yang bagi ahli penologi (ilmu kepenjaraan) sistem
ini punya andil dalam menyuburkan terjadinya penularan
kejahatan sehingga muncul istilah “school of crime” (sekolah
kejahatan). Akibat lain adalah munculnya hukum rimba, siapa
yang paling kuat, dia yang berkuasa. Dan bukan rahasia lagi
bila si jagoan ini melakukan aktifitas homoseksual terhadap
mereka yang lebih lemah. Sepanjang hari, di dalam tembok
setinggi empat setengah meter, para terpidana melakukan
kerja paksa yang dikoordinasi layaknya seorang pekerja
dalam sebuah perusahaan. Pekerjaan dilengkapi dengan
seperangkat mesin, yang dikenal dengan istilah “perusahaan
besar” (groote bedrijven/groot ambachtswerk).
Sementara di tempat lain di luar penjara pusat, terpidana
dalam tempat hukumannya di dalam lingkungan tembok
di pusat penampungan. Kebijakan baru ini terlaksana di
bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan (Hoofd van
het Gevangeniswezen) tempat penampungan dipekerjakan
dalam lingkup “perusahaan kecil” (klein ambachtwerk).
Masa kolonial juga mencatat sebuah peristiwa yang
terbilang kejam, kejadiannya menimpa seorang pemberontak
Indonesia yang sudah menjadi incaran pemerintah kolonial.
Suatu hari pemberontak ini tertangkap dan sebagai “shock
therapy” bagi pemberontak lain, ia diberi hukuman yang tak
berperikemanusiaan. Keempat anggota badannya (tangan
dan kaki) masing-masing diikatkan pada kuda lalu ditarik
oleh kuda tersebut dengan arah berlawanan. Anggota tubuh

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 21


si pemberontak tercerai berai, peristiwa ini terkenal dengan
peristiwa pecah kulit. Saat ini tempat peristiwa tersebut
dijadikan nama jalan di Jakarta-Kota.
Periode ini ditandai dengan lahirnya cikal bakal Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dimulai pada masa
ini, yakni dengan lahirnya “Wetboek van strafrecht voor
Nederlansch Indie” (Kitab Undang-undang Hukum Pidana
untuk Hindia-Belanda). Ketentuan ini ditetapkan dengan
Koninklijk Besluit pada tanggal 15 Oktober 1915 no. 33, dan
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Salah satu isi
dari perundang- undangan ini adalah dihapuskannya istilah
“pidana kerja” menjadi “pidana hilang kemerdekaan”.
Dengan adanya “Wetboek van strafrecht voor
Nederlansch-Indie” ini maka tiada lagi perbedaan perlakuan
antara orang Indonesia dan Timur Asing dengan orang-
orang Eropa. Selang tiga tahun sesudah 1 Januari 1918,
terjadi perubahan-perubahan mencolok dalam sistem
kepenjaraan. gbr26.jpgSalah satunya adalah dihapuskannya
sistem “Gewestelijke centralen”, dan diganti dengan sistem
“Strafgevangenissen” (penjara sebagai sarana pelaksanaan
pidana). Perubahan ini terjadi di bawah pimpinan Kepala
Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, ijmans yang tercatat
sebagai pembawa angin segar dalam sejarah perkembangan
urusan kepenjaraan Hindia-Belanda.
Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah
catatannya yang panjang lebar tentang perbaikan urusan
kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 kepada Direktur
Justisi. Pria enerjik ini mengutarakan pandangannya tentang
pandangan-pandangannya di bidang kepenjaraan, yang
pada pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi
terpidana. Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak
terpidana dan klasifikasi terpidana dewasa. Menurutnya,
sedikit kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki moral
di dalam lingkungan pusat penampungan wilayah, sebaliknya
“school of crime” akan memunculkan penjahat-panjahat baru,

22 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


yang justru kian menjerumuskan terpidana menuju jurang
kehancuran.
Di bawah kepemimpinan Hijmans pula, Kepenjaraan
Hindia-Belanda untuk pertama kali mengirimkan wakilnya
ke Konggres Internasional Penitentiar kesembilan di London,
pada Agustus 1925. Selain itu tiap tahun memberi sumbangan
berupa uang sebanyak 500 Rupiah kepada sekretariat untuk
anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan.
Baru saja dimulai suatu keteraturan, suasana sontak
berubah manakala terjadi pemberontakan besar-besaran
dari bangsa Indonesia terhadap pemerintah penjajahan
Belanda, pada bulan November 1926. Belanda menyebutnya
sebagai “pemberontakan komunis”. Blok bagian tahanan
orang komunis di Penjara Cipinang sesudah Tahun 1926
Banyak putra Indonesia ditangkap dan dijebloskan ke
dalam penjara, sehingga urusan kepenjaraan dihadapkan
pada kondisi “overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal
ini menjadi sandungan bagi Hijmans yang tengah mencoba
mengembangkan mutu kepenjaraan.
Suasana penjara menjadi tidak kondusif, sering terjadi
huru-hara, sebut saja di Cipinang pada bulan Juli 1926, di
mana para tahanan politik menyanyikan lagu kepahlawanan
diikuti gerakan mogok makan. Beberapa penjara pun
berubah fungsi menjadi tempat penampungan tahanan
politik, misalnya penjara Pamekasan dan Ambarawa yang
semula diperuntukkan bagi anak-anak, berubah fungsi untuk
menampung tahanan politik. Demikian pula penjara Cipinang,
Glodok, Boyolali, Solo, serta penjara kecil seperti di Banten,
Madiun, dan lain-lain. Bahkan, khusus bagi tahanan politik
didirikan penjara besi di Nusakambangan. Satu catatan lagi,
satu hal yang sering terjadi adalah penyerangan terhadap
pegawai-pegawai penjara.
Kejadian lain yang mewarnai sejarah kepenjaraan di tanah
air adalah penyerbuan terhadap rumah penjara Glodok pada
12 November 1926, sehingga mendorong didirikannya menara

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 23


penjagaan untuk mengantisipasi terjadinya penyerangan.
Inilah sejarah didirikannya menara penjagaan. Rentetan
kejadian ini menjadi kendala besar bagi sistem kepenjaraan
yang sesungguhnya tengah dirintis. Benang merah dari
segala kejadian ini adalah menyiratkan betapa sulitnya posisi
atau peran urusan kepenjaraan, yang dihadapkan pada dua
kepentingan, seolah kepenjaraan akan selalu dihadapkan
pada momentum yang sifatnya antagonistic antara harus
berperikemanusiaan atau sebaliknya.
Tentang kondisi ini, John Conrad seorang ahli
penologi akhir abad ke-20 menyebutnya sebagai “irrational
equilibrium”, suatu kondisi yang “uneasy compromise”.
Menjelang masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia,
penjagaan di penjara-penjara, yang semula dipegang oleh
militer diganti oleh tenaga pegawai kepenjaraan sipil.
Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting,
antara lain;

1. Tahun 1921, penjara Madiun menyediakan tempat


untuk anak-anak di bawah usia 19 tahun
2. Tahun 1925, didirikan penjara untuk anak-anak di
bawah umur 20 tahun di Tanah Tinggi, dekat Tangerang.
Serta didirikannya penjara untuk terpidana seumur
hidup di Muntok dan Sragen.
3. Tahun 1927, di Pamekasan dan Ambarawa didirikan
penjara anak-anak.
Pada masa ini penjara-penjara memiliki kedudukan
khusus:
• Penjara Sukamiskin untuk orang Eropa dan kalangan
inetelktual
• Penjara Cipinang untuk terpidana kelas Satu
• Penjara Glodok untuk pidana psychopalen
• Penjara Sragen untuk pidana kelas satu (pidana seumur
hidup)

24 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


• Penjara anak-anak di Tangerang
• Penjara anak-anak di Banyu Biru dan Ambarawa
• Penjara khas wanita di Bulu Tangerang
Penjara Bantjeuj menjadi saksi salah satu sejarah besar,
penjara yang terletak di tengah kota Bandung ini pada akhir
tahun 1929 pernah dihuni oleh Presiden Pertama RI, Soekarno,
bersama tiga orang PNI (Partai Nasional Indonesia) yang
lain. Sel penjara yang ditempati Soekarno adalah sel nomor
5 di blok F, berupa ruangan seluas 2,5 x 1,5 meter, yang di
dalamnya terdapat satu tempat tidur lipat dan sebuah toilet
non-permanen. Satu-satunya penghubung dengan dunia luar
adalah sebuah lubang kecil di pintu besi.
Pada Mei 1930, Pengadilan Negeri memutuskan untuk
memindahkan Soekarno, dkk ke penjara Sukamiskin, 15
kilometer dari Bandung. Kali ini Soekarno menempati sel
nomor 233, berukuran 2 x 3 meter. Waktu masuk penghuninya
dicukur gundul dan diberi pakaian penjara yang terbuat dari
kain katun kasar. Hanya dua minggu sekali, sang istri, Inggit
Ganarsih diperbolehkan menjenguk.

C. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan


Menurut keputusan lama sampai modifikasi hukum
Prancis yang dibuat pada tahun 1670 belum dikenal pidana
penjara, terkecuali dalam tindakan penyandraan dengan
penembusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum
di tentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di inggris
abad pertengahan kurang lebih tahun 1200-1400 di kenal
hukum kurungan gereja dalam sel (cell) dan pidana penjara
bentuk kuno di Bridwedell (pertengahan abad ke 16) yang
dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja
menurut Act of 1576 dan Act of 1609 dan pidana penjara
untuk dikurung menurut ketentuan Act of 1711. Dalam hal

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 25


ini Howard Jones menerangkan, bahwa sejak zaman raja
Mesir pada tahun 2000 sebelum Masehi (SM) di kenal pidana
penjara dalam arti penahanan selama menunggu pengadilan,
dan ada kala sebagai penahanan untuk keperluan lainmenurut
romawi dari jaman Justianus abad 5 (SM).
Karena pemberian pekerjaan dianggap salah satu daya
upaya untuk memperbaiki akhlak terhukum, maka timbulah
sistem campuran, yaitu :
a. Pada waktu malam ditutup sendirian,
b. Pada waktu siang bekerja bersama-sama.
Pada waktu bekerja mereka dilarang bercakap-cakap
mengenai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan
pekerjaan. Oleh karenanya maka sistem ini dinamakan pula
“Silent System”.
Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung
sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun
1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana;
pertama, hukum pidana khusus untuk orang Indonesia
;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa. Bagi
orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab
Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek van
Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di
Hindia Belanda.Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan
“Inlanders”.Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk
pemindanaan yang seringkali dijatuhkan pada “inlanders”.
Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau
minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi
dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter
arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun
dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang
di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de
ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan
istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah
tiga bulan disebut “krakal”.

26 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Dasar hukum kepenjaraan relatif dari Hindia Belanda
yaitu berupa :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 13,14a s/d
f,15,16,17,23,24,25, dan pasal 29.
2. Reglemen Penjara Stbl. 1917 No.708 Jo.Stbl.No.77
Peraturan penjara sebagai peraturan pelaksanaan dari
Kitab Undang - undang Hukum Pidana, khususnya pasal –
pasal tersebut diatas merupakan dasar dari pelaksananaan
pidana hilang kemerdekaan seperti yang tercantum dalam
pasal 10 Kitab Undang - undang Hukum Pidana. Sampai
sekarang masih tetap berlaku peraturan tersebut sebagai
dasar hukum berlakunya sistem Pemasyarakatan. Peraturan
penjara itu berlaku adal;ah berpedoman kepada pasal II
aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi : “segala sesuatu
belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.
Pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya dalam
bidang hukum pidana sudah sejak lama dilakukan, yang dalam
hal ini meliputi hukum pidana materiil, hukum pidana formil
dan hukum pelaksanaan pidana. Pembangunan hukum pidana
pada dasarnya tidak hanya yang bersifat struktural akan tetapi
mencakup pula pembangunan substansial dan yang bersifat
kultural. Dewasa ini hakikat pembangunan hukum semakin
penting apabila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana
yang pelaksanaannya dilakukan oleh 4 (empat) lembaga
penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan yang diharapkan dapat bekerja
sama secara terpadu untuk mencapai tujuan tertentu.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir
dari sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana
sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-
sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir
dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas untuk
melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 27


pidana pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil
tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan
pidana baik tujuan jangka pendek yaitu rehabilitasi dan
resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah untuk
menekan kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat di samping ditentukan/
dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain
yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga
sangat ditentu¬kan oleh pembinaan yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana pencabutan
kemerdekaan, khususnya pidana penjara.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan
narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan
berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu
membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat
yang baik dan berguna. Dengan perkataan lain Lembaga
Pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi, reedukasi,
resosialisasi dan perlindungan baik terhadap narapidana serta
masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Dengan sistem pemasyarakatan sebagai dasar pola pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat
berhasil dalam mencapai tujuan resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana/narapidana, maka pada gilirannya akan
dapat menekan kejahatan dan pada akhirnya dapat mencapai
kesejahteraan sosial seperti tujuan sistem peradilan pidana
(jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang).
Dengan demikian keberhasilan sistem pemasyarakatan
di dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan akan berpengaruh pada
keberhasilan pencapaian tujuan sistem peradilan pidana.

1. Klasifikasi Penghuni Lembaga Pemasyarakatan


Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana
(napi) atau warga binaan pemasyarakatan (WBP) bisa juga
yang statusnya masih tahanan maksudnya orang tersebut

28 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan
bersalah atau tidak oleh hakim.
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995,
narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni suatu
lembaga pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri
dari :
a. Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana
kurungan;
b. Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
c. Orang-orang yang disandera.
d. Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara
atau pidana kurungan, akan tetapi secara sah telah
dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau
ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan itu ialah :
a. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak
kejaksaan;
b. Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak
pengadilan;
c. Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang
kemerdekaan oleh pengadilan negeri setempat;
d. Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
e. Mereka yang tidak menjalani pidana hilang
kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan ke lembaga
pemasyarakatan secara sah.

2. Jenis-jenis Lembaga Kemasyarakatan


Menurut (Yuliati dkk, 2003) jenis-jenis lembaga
pemasyarakatan dibagi atas berbagai tipe sesuai dengan
berbagai sudut pengamatan yaitu:
a. Dari sudut perkembangannya kelembagaan terdiri
dari Criscive Institution and Enacted Institution.
Yang pertama merupakan lembaga yang tumbuh
dari kebiasaan masyarakat.   Sementara yang

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 29


kedua dilahirkan dengan sengaja untuk memenuhi
kebutuhan  manusia.
b. Dari sudut sistem nilai kelembagaan masyarakat dibagi
menjadi dua yakni Basic institution and Subsidiary
Institution. Yang pertama merupakan lembaga yang
memegang peranan penting dalam mempertahankan
tata tertib masyarakat sementara yang kedua kurang
penting karena hanya jadi pelengkap.
c. Dari sudut penerimaan masyarakat, terdiri dari
dua yaitu Sanctioned Institution and unsanctioned
Institution.  Yang pertama merupakan kelompok yang
dikehendaki seperti sekolah dll, sementara yang kedua
ditolak meski kehadirannya akan selalu ada.  Lembaga
ini berupa pesantren sekolah, lembaga ekonomi lain
dan juga lembaga kejahatan.
d. Dari sudut faktor penyebabnya dibedakan atas General
institutional and Restriktic Institutional. Yang pertama
merupakan organisasi yang umum dan dikenal seluruh
masyarakat contoh agama, sementara yang kedua
merupakan bagian dari institusi yakni Islam, Kristen,
dan agama lainnya. 
e. Dari sudut fungsinya dibedakan atas dua yaitu Operatif
Institutional and regulatif Institutional.  Yang pertama
berfungsi untuk mencapai tujuan, sementara yang
kedua untuk mengawasi tata kelakuan nilai yang ada
di masyarakat.

3. Fungsi Lembaga Kemasyarakatan


Pada dasarnya lembaga kemasyarakatan mempunyai
beberapa fungsi antara lain:
a. Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat, bagai
mana mereka harus bertingkah laku atau bersikap
didalam menghadapi masalah-masalah dalam
masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-
kebutuhan.

30 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


b. Menjaga keutuhan masyarakat.
c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian social (social
control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat
terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila
seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat
tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-
lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
Lembaga kemasyarakatan berfungsi sebagai pedoman
perilaku atau sikap tindak manusia dan merupakan salah
satu sarana untuk memelihara dan mengembangkan integrasi
di dalam masyarakat.  Namun demikian, tidak semua norma
di dalam masyarakat dengan sendirinya menjadi bagian
dari suatu lembaga sosial tertentu.   Hal ini tergantung pada
proses pelembagaan dari norma-norma tersebut sehingga
menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu ( Soekanto
dan Taneko, 1984).

4. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem


Pemasyarakatan
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh
Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana
disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya
melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat
adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke
dalam masyarakat. Saat seorang narapidana menjalani vonis
yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai
warga negara akan dibatasi. Walaupun terpidana kehilangan
kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap
dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut,
dikenal empat tahap proses pembinaan, yaitu :
a. Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di
dalam lembaga pemasyarakatan itu dilakukan penelitian

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 31


untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana,
termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan
pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri
mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka,
dari bekas majikan atau atasan mereka, dari teman
sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban
perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang
menangani perkara mereka.
b. Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari
masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat
dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai
cukup kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan,
perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan
tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan,
maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan
dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium
security.
c. Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama setengah
dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut
pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah
dicapai cukup kemajuan baik secara fisik maupun
secara mental dan dari segi keterampilan, maka wadah
proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan
narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi
dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan.
d. Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap
seseorang narapidana itu telah berlangsung selama
dua per tiga dari masa pidananya yang sebenarnya
atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada
narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat,
yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan oleh
Dewan Pembina Pemasyarakatan.

32 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


5. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung
Pembinaan
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga
Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung
guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan
prasarana tersebut meliputi :
a. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi
keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung
yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang
sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar
bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan
warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang
terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang
mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan
seram penghuninya.

b. Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di
Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam
jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada
sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak
berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak
memadai dengan barang-barang yang diproduksikan
di luar (hasil produksi perusahan).

c. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan


Petugas pemasyarakatan adalah pegawai negeri
sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan
tahanan di lembaga pemasyarakatan.Berkenaan
dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum
sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari
pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari
mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 33


melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis
yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan
mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan. 

6. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana


Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani
oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir
di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam
menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak
kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak
kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi 
yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan
semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan
adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.
Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat
direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman
yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku
kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang
telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga
masyarakat.Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya
masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat
menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang
bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku
kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka
masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses
rehabilitasi.
Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian
yang utama dari proses restorative justice. Korban harus
didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses
penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana
yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti
kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan.Pelaku tindak
pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam
masyarakat.Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan
perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban

34 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya
kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya
sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

7. Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi


Sosial
Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan
beberapa program kebijakan pembinaan narapidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu
meliputi:
a. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program
pembinaan yang salah satunya adalah pemberian
latihan kerja dan produksi kepada narapidana.
b. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam
bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan
bersyarat dan cuti menjelang bebas.

D. Sejarah Perkembangan Sistem Pelaksanaan Pidana


Penjara di Dunia
Penjara atau istilah masa kini Indonesia adalah
“pemasyarakatan” merupakan penemuan baru yang mulai
berkembang secara luas 300 tahun terakhir ini. ia merupakan
bagian dari perkembangan sistem pemidanaan dari masa ke
masa. Di zaman Nabi Muhamad. SAW, belum dikenal adanya
rumah yang dipergunakan khusus untuk menahan pelanggar
hukum. Para pelanggar hukum pada masa itu ditahan
dirumahnya sendiri atau di dalam masjid.
Dewasa ini, pemenjaraan dipandang sebagai bentuk
pidana yang bertujuan memperbaiki penjahat dan disebut
reformasi sistem pemidanaan yang berjalan kearah yang lebih
rasional. Sebab-sebab perubahan itu ialah perkembangan

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 35


ekonomi, perkembangan ke arah yang manusiawi dan
munculnya pandangan yang lebih sekuler, begitu pula
timbulnya konsep-konsep baru mengenai hakikat manusia
dan masyarakat. Walaupun sekarang dikatakan sistem
pemidanaan menuju ke arah rehabilitasi penjahat, sifat
pidana sendiri sebagai sanksi kepada pelanggar hukum
tidak mungkin disingkirkan. Lagipula belum terbukti sistem
mana yang lebih baik untuk memperbaiki atau rehabilitasi
penjahat.
Jepang adalah salah satu negeri yang paling berhasil
menanggulangi kejahatan di dunia dengan sistem peradilan
pidananya. Dari tahun 1946 ke tahun 1973 mereka telah
berhasil menekan angka kejahatan menjadi setengahnya dan
jumlah kejahatan hanya ¼ dari Amerika Serikat per penduduk.
Di sini ternyata bahwa ada korelasi antara naik turunnya
angka kejahatan dengan kemakmuran dan kemajuan ekonomi
suatu negara. Dengan kemajuan ekonomi itu, organisasi dan
fasilitas penegak hukum dan kepenjaraan dapat ditingkatkan,
sehingga cita-cita pemasyarakatan dapat diwujudkan, bukan
hanya diatas kertas belaka.
Justru faktor ekonomi dan keuangan inilah yang menjadi
hambatan utama dalam merealisasikan sistem pemasyarakatan
di Indonesia yang telah dicetuskan dari 30 tahun lalu. Dalam
mewujudkan sistem pidana pengawasan yang merupakan
alternatif lain dari pidana penjara yang akan diperkenalkan
dalam KUHP nasional mendatang, dapat diperkirakan akan
menghadapi hambatan yang sama pula. Ide yang baik masih
jauh dari kemampuan untuk merealisasikannya.
Istilah “pemasyarakatan” yang kita pakai sebenarnya
jika di Inggris lebih banyak ditujukan kepada persiapan
dan pengawasan pengembalian bekas narapidana ke dalam
masyarakat (after care service).
Tujuan pemasyarakatan sebenarnya ada dua:
1. Memasukan bekas narapidana ke dalam masyarakat
sebagai warga yang baik (berdasarkan kemanusiaan).

36 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


2. Melindungi masyarakat dari kambuhnya kejahatan bekas
narapidana dalam masyarakat karena tidak mendapatkan
pekerjaan.
Usaha pemasyarakatan tersebut bukan hanya menjadi
urusan pemerintah tetapi juga swasta. Masyarakat dapat ikut
serta dalam :
1. Para pengusaha memberi pekerjaan pada pelanggar
hukum yang dikirim oleh kantor perburuhan padanya
atau oleh perkumpulan sosial.
2. Perkumpulan buruh menerima mereka sebagai anggota
setelah menyelesaikan latihan kejuruan pekerjaan.
3. Perkumpulan seperti kesenian, olahraga, hiburan
menerima mereka sebagai anggota.
4. Orang yang mempunyai cukup ruangan menyewakan
tempat kepada mereka yang dikirim oleh perkumpulan
swasta.
5. Anggota masyarakat pada umumnya menerima pelanggar
hukum sebagai tetangga atau kenalan baik-baik.
Hal semacam inilah yang telah berjalan selama 100
tahun di Inggris. Perkumpulan penolong bekas narapidana
dan hakim diberi wewenang menetapkan subsidi untuk
perkumpulan tersebut demi kepentingan setiap narapidana
yang dilepas.

E. Permasalahan Pelaksanaan Pidana Penjara di


Indonesia
Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun
1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-
usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan
yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 37


bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang
dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan
untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.
Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang
pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar
untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup
proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan
dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana
yang pernah dilakukan.
Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak
bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh
masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar
seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar
penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi
dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP.
Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan
dengan visi dan misi pemasyaratan sebagai tempat pembinaan
narapidana, agar keberadaannya dapat diterima kembali oleh
masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi kita untuk sejenak
melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan
sebagai tempat untuk membina dan menyiapkan seorang
narapidana menjadi “lurus” dan siap terjun kembali ke
masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara
pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai
pada tujuannya? Apakah bukannya pola pembinaan di LP itu
malah membekali si narapidana akan kelak lebih profesional?
Butuh pemikiran bersama dalam mengurai benang kusut di
balik jeruji besi selama ini.
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga
Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung
guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan
prasarana tersebut meliputi:

38 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


a) Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi
keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung
yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang
sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar
bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan
warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang
terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang
mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan
seram penghuninya.

b) Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di
Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam
jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada
sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak
berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak
memadai dengan barang-barang yang diproduksikan
di luar (hasil produksi perusahan).

c) Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan


Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan
belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya
tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat
sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang
oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan
pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan
para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam
melakukan pembinaan.

1. Dampak Pembinaan Napi dan Faktor Penyebabnya


Dalam rangka membicarakan pidana pada umumnya di
Indonesia, maka uraian harus meliputi pidana yang tercantum
dalam perundang-undangan pidana umum (KUHP) dan
perundang-undangan pidana khusus (di luar KUHP), seperti

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 39


pada Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-
lain. Jadi, macam pidana di Indonesia lebih luas dari yang
tercantum di dalam Pasal 10 KUHP.
Dahulu kala bentuk-bentuk pemidanaan yang
dijatuhkan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap
seorang penjahat ialah menyingkirkan atau melumpuhkannya
sehingga penjahat tersebut tidak lagi mengganggu masyarakat
bersagkutan pada masa depan. Cara penyingkiran bermacam-
macam : pidana mati, pembuangan, pengiriman ke seberang
lautan dan kemudian pemenjaraan. Secara berangsur-angsur
ada kecenderungan cara pemidanaan tersebut diganti secara
berturut-turut dari yang tersebut pertama sampai yang
terakhir, tetapi tidak secara menyeluruh.
Pada tahun 1780 macam kejahatan yang diancam pidana
mati di Inggris ada 35 macam, namun pada sekitar tahun 1948
jumlahnya turun jadi hanya 4 macam kejahatan saja. Sementara
di Amerika Serikat saat ini hanya ada enam atau tujuh macam
kejahatan saja yang diancam pidana mati. Keadaan ini justru
berkebalikan dengan yang terjadi di Indonesia, semula hanya
ada 6 kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tapi saat
ini sudah ada 16 lebih kejahatan yang diancam pidana mati.
Kita harus kembali melihat apa sebenarnya tujuan
Pemidanaan. Yang paling tua adalah pembalasan (revenge)
atau untuk memuaskan pihak yang menaruh dendam baik
masyarakat maupun pihak yang dirugikan. Tujuan lain yang
juga dipandang kuno adalah penghapusan dosa (expiation)
atau retribusi, yaitu melepaskan pelanggar hukum dari
perbuatan jahat atau menciptakan balans antara yang hak dan
yang batil. Yang dipandang tujuan yang berlaku sekarang
adalah variasi dari benuk-brntuk ; penjeraan (deterrent), baik
ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri atau mereka yang
berpotensi menjadi penjahat; perlindungan bagi masyarakat
dari perbuatan jahat; perbaikan kepada penjahat. Yang tersebut
terakhir yang paling modern dan popular dewasa ini bukan

40 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi
juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam
membina pelanggar hukum.

2. Dampak Negatif Pemidanaan


Pidana penjara membawa dampak negatif tidak saja bagi
yang orang yang bersangkutan, tetapi juga bagi masyarakat.
Bagi para tahanan/narapidana (NAPI), penderitaan tidak
hanya dialami sendiri, tetapi juga diderita oleh keluarganya
dan orang-orang yang hidupnya tergantung pada para
tahanan/NAPI. Bagi masyarakat, kerugian tampak dari sering
muncul/timbul residivisme akibat penjatuhan pidana.
Usaha untuk memperbaiki sanksi pidana hendaknya
berorientasi pada pendidikan yang dapat menghasilkan
karya nyata di masyarakat. Sedangkan sanksi pidana berupa
hukuman semata, tidak akan bermanfaat bagi pembaharuan
kesadaran hukum, moral dan mental pelanggar hukum,
kalau semata-mata hanya untuk mematuhi undang-undang
tanpa memperhatikan kesiapan mental, fisik dan spiritual
si pelaku/pelanggar. Stigma (pandangan negatif) terhadap
lembaga pemasyarakatan: anggapan pelanggar hukum
hanya dapat dibina kalau diasingkan dan dinyatakan sebagai
individu yang telah rusak segala-galanya, tidak ada harapan
untuk perbaikan. Ini adalah pembalasan yang dilegalisir oleh
kenyataan dan kehendak masyarakat.
Pembalasan tidak selalu dalam bentuk-bentuk penyiksan
fisik tetapi bisa juga bersifat penekanan psikologis, tertuju
pada pelaku maupun keluarga. Wujud pembalasan ini jelas
membawa dampak negatif terhadap pelaku dan anggota
keluarganya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
produk Pemerintah Kolonial Belanda, pasal 10 memuat
hukuman pokok dan tambahan, antara lain hukuman mati,
penjara dan seterusnya. Ini dibenarkan kalau memang sanksi
pidana itu dilihat sebagai sarana mempertahankan kekuasaan
penjajah .

Bab 2 Sejarah Penjara Masa Kolonial Beland 41


Pandangan lain menyebutkan bahwa tujuan sanksi
pidana semata-mata sebagai reaksi atas pelanggaran yang
dilakukan seseorang. Ini berarti pengakuan terhadap hak
si pelaku kejahatan belumlah menjadi prioritas. Butir-
butir pemahaman mengenai sanksi pidana adalah sebagai
berikut : sanksi pidana sangatlah diperlukan, sanksi pidana
merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang
dimiliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat
segera. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin
utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam
utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Merupakan
penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat dan
secara manusiawi, merupakan pengancam apabila digunakan
secara sembarangan dan secara paksa.
Apabila ditinjau melalui tujuan didirikan Lembaga
Pemasyarakatan, proses pembinaan yang seharusnya diberikan
kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan
karena sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang
belum dapat mengakomodir konsep Lembaga Pemasyarakatan
sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa
faktor non-teknis seperti : paradigma tentang narapidana dan
wujud pembinaan yang belum sempurna turut memperburuk
kondisi pembinaan di pemasyarakatan.

42 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 3
KEANEKARAGAMAN KECAKAPAN
DAN KREATIVITAS BAWAAN TAHANAN

A. Kecakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan


Kecakapan dan kreativitas bawaan tahanan sangat beraneka
ragam dan belum ada cara yang digunakan secara praktis
dalam penyelenggaraan lapas untuk memeriksa kecakapan
dan kreativitas bawaan tahanan. Tetapi berdasarkan data yang
tersedia untuk tingkat nasional, kita dapat mempelajari profil dari
tahanan secara tidak langsung, lewat indikator jenis kejahatan
yang disangkakan. Sebagian kejahatan memerlukan kecakapan
tertentu, dan karenanya, untuk jenis kejahatan ini, hubungan
kejahatan dengan kecakapan dapat langsung ditarik.
Lebih lanjut, kita juga perlu melihat distribusi tahanan
dalam suatu rutan. Satu rutan mungkin lebih banyak memiliki
tersangka narkoba sementara rutan lainnya, lebih banyak
tersangka pencurian. Kepala Rutan perlu membangun suatu
strategi umum dalam menempatkan tahanan maupun membuat
program. Kadangkala, blok tahanan harus dipisah antara daerah
asal, kadang kala pula berdasarkan tipe kejahatan, atau kadang
pula berdasarkan usia.

Bab 3 Keanekaragaman KEcakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan 43


Distribusi tahanan di rutan lebih mewakili distribusi jenis
kejahatan di masyarakat dibandingkan distribusi napi di lapas.
Kesamaan distribusi tahanan di rutan dengan masyarakat adalah
karena para penghuni rutan tinggal relatif singkat. Sementara
itu, di lapas, napi berbeda-beda dalam masa tahanan. Ada yang
hanya satu tahun, dan adapula yang seumur hidup. Akibatnya,
para napi seumur hidup semakin lama semakin banyak
dibandingkan napi yang tidak seumur hidup, jika diasumsikan
ukuran lapas tidak bertambah. Napi dengan pidana seumur
hidup ini biasanya untuk kasus pembunuhan atau korupsi yang
sangat besar atau sangat berdampak besar. Akibatnya, walaupun
kejadian pembunuhan di masyarakat sedikit, para pembunuh
dapat ditemukan banyak di lapas. Sementara itu, di rutan,
tersangka pembunuh atau bukan, semua mendekam dalam
waktu yang kurang lebih sama. Panjangnya masa tahanan lebih
disebabkan oleh faktor kompleksitas kejahatan yang terjadi,
ketimbang jenis kejahatan. Hal ini karena para penyidik, jaksa,
dan hakim, perlu waktu yang lama untuk menyidik, menuntut,
dan mengadili tersangka/terdakwa.
Sekarang mari kita lihat data kejadian kejahatan di
masyarakat. Perlu dicatat bahwa kejadian ini tidak tepat sama
dengan jumlah tahanan, karena satu kasus dapat saja memiliki
banyak tersangka, sementara untuk kasus tertentu, tidak atau
belum ada tersangka yang ditemukan, atau ada tersangka
yang melakukan kejahatan pada banyak kasus. Kita tetap
menggunakan data distribusi kejahatan di masyarakat karena
kita belum memiliki data nasional terkait jenis kejahatan yang
ada di rutan seluruh Indonesia.
Data yang tersedia adalah data statistik kejahatan dari
POLRI yang berlaku pada sembilan jenis kejahatan: kejahatan
terhadap nyawa, kejahatan terhadap fisik (badan), kejahatan
terhadap kesusilaan, kejahatan terhadap kemerdekaan orang,
kejahatan terhadap hak milik/barang dengan penggunaan
kekerasan, kejahatan terhadap hak milik/barang, kejahatan
terkait narkotika, kejahatan terkait penipuan, penggelapan, dan
korupsi, dan kejahatan terhadap ketertiban umum.

44 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Sepanjang 2013, tercatat telah terjadi 261.810 kejahatan
di masyarakat. Dari jumlah ini, 1.386 merupakan kejahatan
pembunuhan, 19.953 adalah kejahatan narkotika, 44.990 adalah
kekerasan, 123.113 adalah pencurian, 12.045 merupakan
pencurian dengan kekerasan, 1.775 merupakan penculikan dan
mempekerjakan anak di bawah umur, yang merupakan kejahatan
terhadap kemerdekaan orang, 4.850 kejahatan kesusilaan, 49.626
kejahatan penipuan, penggelapan, dan korupsi, dan 4.072
kejahatan gangguan ketertiban umum. Gambar 1 menunjukkan
persentase dari masing-masing tindak pidana.

Gambar 1 Persentase Kejahatan di Masyarakat 2013

Sumber: BPS, Statistik Kriminal 2014

Seperti terlihat pada gambar, pencurian merupakan


bentuk kejahatan yang paling banyak terjadi. Hampir separuh
dari kasus kejahatan di masyarakat adalah kasus pencurian.
Kasus narkotika, walaupun banyak diberitakan di media,
hanya menyusun 7,6% dari jumlah kejahatan di masyarakat.
Pembunuhan bahkan hanya 0,5% dari semua jenis kejahatan.

Bab 3 Keanekaragaman KEcakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan 45


Kejahatan pembunuhan, pelecehan seksual dan perkosaan, serta
narkotika, terlihat besar karena memang media menyukai hal-
hal yang langka. Akibatnya, muncul ilusi kalau kejahatan ini
banyak di masyarakat. Sebenarnya, yang paling banyak adalah
pencurian, kadang karena pelakunya sulit ditentukan dan
kadang pula karena pelaku semakin mahir mencuri karena sulit
ditangkap tadi.
Sekarang kita dapat memperkirakan bahwa bagian
terbesar dari tahanan di rutan adalah tahanan kasus pencurian.
Tetapi ini hanya bersifat sangat umum. Kita harus melihat lebih
detail pada masing-masing rutan. Ada rutan yang tahanannya
memiliki keanekaragaman kejahatan tinggi, misalnya Rutan
Solo. Sebagian lagi mungkin lebih homogen. Mari selanjutnya
kita melihat pada karakteristik dari masing-masing tahanan
berdasarkan kejahatan dan juga kecakapan dan kreativitas yang
dapat ia miliki.

B. Perencanaan Program Keahlian Bawaan


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa program keahlian
bawaan harus memertimbangkan jenis tuduhan pidana,
kondisi kejiwaan, dan potensi kekerasan dan bunuh diri
tahanan. Waktu pelaksanaan juga harus disediakan agar tidak
mengganggu kegiatan spiritual, kegiatan rutin (olahraga,
makan, mandi, kunjungan, istirahat), dan waktu mempersiapkan
diri menghadapi pemeriksaan, tuntutan, dan pengadilan,
termasuk pula kegiatan keluar tahanan untuk tujuan tersebut.
Hal ini akan membuat kegiatan tahanan dalam memanfaatkan
keahlian bawaannya akan sangat fleksibel dibandingkan napi.
Dari segi tempat pun dapat bervariasi, mulai dari di dalam sel
atau di luar sel. Sementara itu, anggaran dapat disediakan oleh
tahanan sendiri dan manfaat diberikan pada tahanan. Tetapi
pada akhirnya, kesemuanya harus berpijak pada kesediaan
dan kemauan tahanan dan pengacaranya untuk memanfaatkan
keahliannya, karena sesuai peraturan perundang-undangan,

46 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


mereka tidak wajib untuk mengikuti program keahlian bawaan.
Anggap bahwa setelah pengamatan paling lama sebulan,
sipir telah mendapatkan keahlian apa yang dapat dimanfaatkan
dari bawahan.
Dengan ini kita dapat menyusun tipologi pemanfaatan
keahlian bawaan tahanan berdasarkan kecakapan yang dimiliki
dan status kecakapan tersebut sebagai berikut:

1. Kecakapan Status Tinggi yang Berurusan dengan Benda-


Benda
Kecakapan yang memiliki status tinggi dan berurusan
dengan kebendaan mencakup seperti arsitek, insinyur, ekonom,
pemegang ijasah magister dan doktor, ahli farmasi, dan PNS
di bidang keuangan. Tahanan dengan profesi ini dapat bekerja
dalam kamar tahanan sendirian. Arsitek dapat diberikan
proyek untuk memperbaiki tata ruang tahanan, mengevaluasi
ruangan, dan sebagainya. Begitu pula, insinyur dapat menjadi
tempat konsultasi dalam menyusun program kecakapan napi,
sementara seorang ilmuan dapat diminta menyusun artikel
ilmiah sesuai dengan bidang ilmunya yang berkaitan dengan
situasi penjara yang dapat bermanfaat. Di luar itu, sejauh profesi
tidak berkaitan dengan kejahatannya, ia dapat menerima pesanan
dari klien luar, tetapi uang jasa diserahkan pada rutan, setelah
rutan mengevaluasi kemampuan keuangan dari keluarga. Jika
keluarga tahanan sangat miskin, uang tersebut dapat diserahkan
pada keluarga untuk menjalankan hidupnya sehari-hari.

2. Profesi status tinggi yang berurusan dengan manusia


Tergolong dalam profesi ini adalah dokter, psikologi,
dokter gigi, ahli bedah, dan ulama/agamawan. Mereka bekerja
di luar ruang tahanan di ruang klinik rutan atau di rumah
ibadah. Mereka juga dapat diminta berkeliling untuk memeriksa
kesehatan tahanan dan napi atau memberikan nasihat agama.
Mereka dapat membawa ke tahanan barang-barang yang
digunakan untuk profesinya sejauh tidak dapat dipakai untuk
melarikan diri atau melukai tahanan lainnya. Kegiatan tenaga
kesehatan rutan diintensifkan pada hari libur karena pada hari

Bab 3 Keanekaragaman KEcakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan 47


ini, dokter tahanan kemungkinan sedang libur.

3. Kecakapan status rendah berurusan dengan benda-benda


Tergolong kecakapan status rendah berhubungan dengan
benda adalah wartawan, ahli TI, karyawan pabrik, asisten
rumah tangga, dan seseorang yang memiliki kemampuan
membuat kerajinan tangan. Mereka akan ditempatkan di
dalam ruang khusus dalam bekerja. Wartawan dapat diminta
menjadi penyelidik bagi tahanan lainnya. Ahli TI dapat diminta
menyusun sistem TI bagi penjara yang memungkinkan tujuan
seperti manajemen data tahanan, termasuk memasukkan data
tersebut di dalam komputer. Mereka dapat diserahkan komputer
kosong yang tidak terhubung dengan sistem komputer lainnya
di tahanan agar tidak merusak sistem penjara. Selain itu mereka
tidak diberikan akses pada internet untuk mencegah akses
informasi di luar kepentingan profesinya. Seseorang yang tidak
memiliki latar pendidikan tetapi ahli dalam membuat kerajinan
tangan dapat diberikan bahan-bahan untuk membuat kerajinan
tangan yang dapat dijual pada pengunjung rutan maupun pada
sipir. Khusus bagi ahli TI, kecakapan ini sebenarnya sangat
penting bagi rutan dan ada sebuah kebutuhan utama bagi rutan-
rutan di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas TI mereka
dalam menangani data tahanan sehingga lebih otomatis dan
lebih mengefisienkan kerja dari pegawai rutan yang memang
sudah sangat terbatas dan terbebani. Data-data yang dapat
diinput bahkan dapat berupa data dokumen lama yang masih
berbentuk kertas. Asisten rumah tangga dapat membantu dalam
pembersihan rutan.

4. Keahlian status rendah yang berurusan dengan manusia


Tergolong dalam keahlian ini adalah guru, perawat,
pegawai jasa pelayanan, dan pekerja sosial. Mereka perlu bekerja
secara sosial untuk memanfaatkan keahlian mereka. Guru dapat
membantu dalam memberikan bimbingan belajar bagi tahanan
dan napi sesuai dengan ilmunya. Ide menarik jika mereka tidak
mungkin melakukan hal tersebut adalah membuat tulisan yang
kemudian dievaluasi petugas, sebelum dapat diposting di
dalam blog atau situs di internet milik rutan. Sesuai profesinya,

48 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


mereka dapat berkontribusi bagi para tahanan lainnya dengan
menyumbangkan pengetahuan mereka.

5. Tahanan pelajar
Kajian menunjukkan kalau pelajar yang memiliki sejarah
ditahan memiliki tingkat pekerjaan yang lebih rendah dari
pelajar yang tidak pernah ditahan. Hal ini akibat menjadi tahanan
membuat mereka terhalang dalam memperoleh pendidikan,
yang pada gilirannya membuat mereka juga sulit mengikuti jalur
yang semestinya membawa mereka pada pekerjaan. Untuk itu,
sekolah tempat tahanan pelajar harus mendapatkan surat dari
rutan. Rutan bermusyawarah dengan sekolah untuk mencari
cara terbaik agar anak yang ditahan tidak putus sekolah atau
pendidikan. Sebagai contoh, anak-anak ini perlu mendapatkan
buku pelajaran dan memperoleh tugas yang diberikan guru
kepada anak lainnya di kelas. Mereka juga berhak mengikuti
ujian kenaikan kelas atau ujian semester di dalam rutan. Walau
akhirnya mereka naik status jadi terpidana, setidaknya mereka
telah mendapatkan ijasah dari sekolah mereka.

6. Tahanan pengangguran
Tahanan pengangguran menjadi sasaran bagi program
pelatihan yang dilakukan oleh rutan untuk napi, jika
memungkinkan. Jika tidak, mereka perlu mendapatkan mentor
dari rekan tahanan lainnya untuk menjadi seseorang yang
berpengetahuan. Sebagai contoh, jika tahanan lainnya ada
yang berprofesi sebagai perawat, tahanan pengangguran dapat
diajarkan menjadi perawat. Walaupun ketika keluar penjara,
kecakapan ini masih memerlukan dasar pendidikan untuk dapat
bekerja, ia dapat menerapkan keahlian ini dalam menjadi asisten
rumah tangga. Di dalam lapas, mereka dapat menjalankan apa
yang telah diajarkan untuk melayani napi lainnya jika sesuai.

Bab 3 Keanekaragaman KEcakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan 49


C. Motivasi dan Memotivasi Tahanan
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah,
dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya.
Baik Abraham Maslow dalam teorinya teori hierarki kebutuhan,
Douglas McGregor dengan teori teori X dan teori Y nya, maupun
teori motivasi kontemporer, motivasi adalah ‘alasan’ yang
mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang
individu.
Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat
diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk
mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan atau
menekuni kegiatannya sekarang.Dalam pengertian umum di
masyarakat motivasi seringkali disamakan dengan ‘semangat’.
Weiner (1990) mendefinisikan motivasi sebagai kondisi
internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong
kita mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita tetap tertarik
dalam kegiatan tertentu.Uno (2007) berpendapat, motivasi dapat
diartikan sebagai dorongan internal dan eksternal dalam diri
seseorang yang diindikasikan dengan adanya; hasrat dan minat;
dorongan dan kebutuhan; harapan dan cita-cita; penghargaan
dan penghormatan.Sedangkan Imron (1966) menjelaskan bahwa
motivasi berasal dari bahasa Inggris “motivation” yang berarti
dorongn atau pengalasan untuk melakukan suatu aktifitas
hingga mencacpai tujuan.
Hal-hal ini juga terjadi pada diri Narapidana dan lingkungan
dalam Rutan/Lapas.Ada semangat untuk mengerjakan atau
menyelesaikan sesuatu yang berarti.Meskipun tidak dapat
dipungkiri bahwa tidak semua yang memotivasi mereka dapat
diterima sebagai sebuah kebenaran pada masyarakat luar.
Semisal, motivasi para napi untuk menyembunyikan hand phone
agar tidak terjaring rasia yang terus dilakukan oleh petugas.
Memotivasi narapidana pada dasarnya sama dengan
memotivasi manusia pada umumnya, dimana ada harapan/
pengharapan akan sesuatu yang sedang berproses tersebut. Hal
yang paling sederhana yang dilakukan adalah menggunakan

50 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Remisi sebagai hal yang harus mereka perjuangkan.Syarat
mendapatkan remisi tentu tidak semua yang dibayangkan.
Meskipun itu hak napi, tapi hak bersyarat. Ada syarat
administrative dan substantive yang harus mereka penuhi.
Syarat administrative tentu terukur dengan mudah, tapi
syarat substantive membutuhkan kesabaran dan ketabahan.
Mengapa demikian.Karena syarat substantive ini yang mencatat
pelanggaran tata tertib yang mereka lakukan minimal dalam
kurun waktu enam bulan. Jika dalam kurun waktu tersebut
mereka melakukan pelanggaran tata tertib maka mereka akan
dicatat dalam register dengan kode F/ register pelanggaran.
Membentuk kelompok kegiatan juga dapat menjadi alat
motivasi yang baik untuk lingkungan Rutan/Lapas.Misalnya
kelompok music, kelompok pramuka, dan semacamnya.
Mengapa demikian, karena napi yang tercatat dalam kelompok
– kelompok kegiatan ini akan mendapatkan porsiwaktu yang
lebih dari Napi lainnya yang tidak ikut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam Keputusan Dirjen
Pemasyarakatan nomor: PAS-146.PK.01.04.01 tahun 2015,
ditetapkan waktu buka tutup kamar ;
• Pembukaan Kamar 07.00-10.00, 12.00-13.00, dan 15.00-
17.00 waktu setempat
• Penutupan kamar 10.00-12.00, 13.00-15.00, dan 17.00-
07.00 waktu setempat
• Pembukaan kamar dapat juga dilakukan untuk
kepentingan pembinaan
Poin terakhir inilah yang dapat memotivasi mereka untuk
mengikuti berbagai kegiatan, yang telah dikelompokan tersebut.
Jika mereka tidak masuk dalam kegiatan-kegiatan yang ada,
maka dapat dipastikan mereka hanya akan mendapatkan jatah
berada diluar kamar (diistilahkan jam berangin) sebagaimana
pada KeputusanDirjen Pemasyarakatan tersebut.
Apakah kemudian ada praktek lain selain yang disebutkan
diatas, mungkin ada tapi itu masuk dalam wilayah diskresi.
Jika itu dilakukan diluar komando maka dapat dipastikan
terdapat pelanggaran Standart Operasional Prosedur (SOP), dan

Bab 3 Keanekaragaman KEcakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan 51


terkategori pelanggaran. Misalnya dengan menyuap petugas
agar dapat berada diluar kamar diluar jam yang ditentukan.

D. Manajemen Pengetahuan Warga Binaan


Manajemen menurut Encyclopeia of The Social Science
:adalahsuatu proses pelaksanaan untuk mencapai tujuan
tertentu yang diselenggarakan dan diawasi. Mary Parker
Follet mendefinisikan Manajemen adalah seni, karena untuk
melakukan/menyelesaikan pekerjaan tertentu yang dilakukan
oleh orang lain membutuhkan keterampilan tertentu. Menurut
G.R. Terry (dalam Sugiama, 2010) ‘’management is a distinct
process consisting of planning, organizing, actuating, and
controlling, utilizing in each both acience and art, and followed
in order to accomplish predetermined objective.’’
Dalam pengelolaan Lapas/Rutan memang dibutuhkan
banyak cara-cara yang kreatif, karena dengan cara kreatiflah
Warga Binaan bisa dengan tenang dan senang hati mengikuti
berbagai program yang ditetapkan. Pihak pengelola Lapas/
Rutan, sesungguhnya menyadari bahwa tidak semua program
yang ada, baik dalam pembinaan kemandirian atau pembinaan
keperibadian dapat diterima baik oleh Warga Binaan. Misalnya
program pembinaan pemberantasan aksara latin dan angka,
yang dikemas dalam kejar Paket A (baik setara SD / tidak).
Warga Binaan yang terdeteksi buta aksa latin dan angka tidak
selamanya senang dan ikhlas mengikuti program itu,tentu
saja denga berbagai alas an, seperti alas an sudah berumur,
penglihatan terganggu, sudah punya kegiatan lain, dan banyak
lagi alas an lainnya.
Menyikapi kondisi inilah sehingga diperlukan manajemen
pengetahuan Warga Binaan.Apa yang telah menjadi pengatahuan
atau keterampilan yang diperoleh/dikuasai saat belum menjalani
masa tahanan/pidana, perlu untuk diketahui oleh penyelenggara
lapas/Rutan. Dengan data yang mamadai tentang pengetahuan
WBP,akan memudahkan petugas Pembinaan dalam menyusun
rencana pembinaan/pemberdayaan kepadanya.

52 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


E. Proses Berbagi Pengetahuan dikalangan Warga
Binaan
Dalam interaksinya, setiap Warga Binaan Pemasya-rakatan
(WBP) apalagi yang tinggal dalam kamar yang sama senantiasa
saling berbagi cerita dan kisah. Kisah – kisah mereka itu
dikisahkanya sesuai dengan versi mereka sendiri, tentu saja tidak
ada jaminan kebenaran dari kisah-kisah yang mereka bagikan,
utamanya latar belakang kasus. Seorang WBP yang terjerat kasus
pemerkosaan misalnya, sudah sangat lazim memulai ceritanya
dengan kalimat saya dijebak/saya difitnah/saya didzolimi/saya
hanya atas nama, dan semacamnya. WBP pada kasus yang lain
juga sama, cenderung mengemas kisahnya dalam interpretasi
sebagai korban/dikorbankan. Dalam The Mask of Theory and
the Face of Nature Marcy F. Lawton, William R. Garstka, and J.
Craig Hanks, berpendadpat bahwa ; There are at least two ways
in which the mask of theory may obscure the face of nature. First,
the mask may limit what we choose to look at. A second way
in which the mask of theory may constrain understanding is to
limit what is seen when we examine the face of nature.
Tentulah tidak sulit untuk memahami mengapa para
WBP itu senantiasa menjaga topengnya, diantaranya; agar
mereka tetap punya gesah/daya tekan terhadap yang lain,
paling tidak mereka tetap dapat menegakkan wajahnya
meskipun hanya diantara kereka. Berger dan Luckmann (Berger
1966) menyebutkan ada 3 momen dalam proses membangun
pengetahuan dalam organisasi: eksternalisasi, obyektifikasi dan
internalisasi.
Eksternalisasi pengetahuan adalah proses di mana terjadi
pertukaran pengetahuan personal, sehingga pengetahuan
dikomunikasikan di antara anggota. Objektifikasi pengetahuan
adalah proses di mana pengetahuan menjadi realitas obyektif,
sehingga pengetahuan tersebut diakui organisasi (komunitas).
Internalisasi pengetahuan adalah proses di mana pengetahuan
yang terobyektifikasi tersebut digunakan oleh personal
dalam rangka sosialisasi mereka. Internalisasi pengetahuan

Bab 3 Keanekaragaman KEcakapan dan Kreativitas Bawaan Tahanan 53


dilakukan melalui kegiatan pencarian dan menemukan
kembali pengetahuan yang tersimpan dalam organisasi. Inovasi
dihasilkan dari kombinasi pengetahuan personal, pengetahuan
yang dishare oleh kelompok, dan pengetahuan organisasi. Ketiga
proses tersebut juga menggambarkan 3 tipe sharing pengetahuan
yang diusulkan Marleen Huysman dan Dirk de Wit (Husyman
2003)
Kehidupan WBP yang terbatasi oleh ruang dan sedikitnya
pilihan, menjadi penyubur ekternalisasi pengetahuan yang
sangat inovativ. Setiap hari mereka bertukar cerita dan trik/
cara sederhana untuk menerapkannya. Marleen Huysman dan
Dirk de Wit telah memikirkan tiga tipe sharing tersebut yaitu,
pertukaran, komunikasi, dan realitas obyeknya jelas. Seorang
pencuri sepeda motor menceritakan caranya menggunakan
kuncu L, dan kemudian tertangkap karena kelamaan. Kisah ini
akan disambung oleh seprofesinya dengan teknik lain yang lebih
cepat, seandainya dia tidak terpleset dia tidak akan tertangkap.
Bentuk komunikasi inilah yang tergolong penemuan kembali
pengetahuaan yang tersimpan dalam organisasi.Tentu saja dua
ilmiah tidak dapat menerimanya, namun di dunia penjara itulah
adanya.
Situasi ini meski disikapi dengan bijak dengan
mengidentifikasi sejak dini potensi yang WBP miliki. Tentu tidak
mudah mengali potensi dasar mereka, karena pada umunya
WBP yang baru cenderung menyembunyikan kecakapannya,
tentu saja alasan keamanan diri. Misalnya; jika dia langsung
mengaku ahli membuka kunci, maka ketika ada loker
dalam kamarnya yang terbuka, dengan enteng teman-teman
sekamarnya akan menuduhnya sebagai pelaku, dan kondisi ini
akan membahayakanya.

54 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 4

KETENAGAKERJAAN DAN TAHANAN

A. Jenis Kejahatan, Kecakapan, dan Kreativitas


Dalam bab sebelumnya, telah dijelaskan beranekaragam
kecakapan dan kreativitas bawaan dari tahanan berdasarkan
jenis kejahatan yang disangkakan kepadanya. Jenis-jenis
kecakapan dan kreativitas bawaan ini dapat dirangkum
seperti dalam Tabel 3.

Tabel 3 Jenis kejahatan, Kecakapan, dan Kreativitas


Kecakapan
Kecakapan
Jenis yang tidak Prevalensi
terkait Kreativitas
kejahatan terkait kejahatan
kejahatan kejahatan
Penggunaan
Kejahatan senjata tinggi; Beraneka
terhadap Beraneka ragam 0.5%
interpersonal ragam
nyawa rendah
Kejahatan Interpersonal
terhadap fisik Beraneka ragam Artistik 17.2%
rendah
(badan)
Interpersonal Beraneka ragam;
tinggi jika berpendidikan
Kejahatan menggunakan tinggi dan Beraneka
terhadap manipulasi; 1.9%
kaya tapi ragam
kesusilaan rendah jika menganggur;
memakai amotivasi
kekerasan

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 55


Kecakapan
Kecakapan
Jenis yang tidak Prevalensi
terkait Kreativitas
kejahatan terkait kejahatan
kejahatan kejahatan
Kejahatan Kerjasama, Umumnya
terhadap
kemerdekaan perencanaan, bidang Tinggi 0.7%
komunikasi; keamanan
orang

Beraneka
ragam; mulai Berkecakapan
dari semata rendah, tetapi
mencuri tidak sangat
karena rendah; kadang
Kejahatan kesempatan kecakapan
terhadap hak hingga Tinggi 51.6%
tinggi tetapi
milik/barang mencuri tidak diakui
dengan sehingga
perencanaan melakukan
melibatkan kejahatan
berbagai
kecakapan
Pembuat dan
pengedar Pengguna
berkecakapan beraneka ragam;
tinggi, dalam pembuat tidak
Kejahatan Kreativitas
kimia atau diakui tetapi 7.6%
narkoba tinggi
interpersonal cakap; pengedar
dan berpendidikan
kecakapan rendah
menghindar
Kecakapan
baik umum,
termasuk Kecakapan
Penipuan, keuangan, di bidang Kreativitas
penggelapan, maupun 19.0%
administrasi tinggi
dan korupsi interpersonal dan manajemen
tinggi;
tergantung
kasus
Tidak ada
Kejahatan kecakapan
terhadap Beraneka
khusus; Beraneka ragam 1.6%
ketertiban ragam
tergantung
umum kasus

Jika kita melihat pada suatu rutan yang mencerminkan


sepenuhnya apa yang terdistribusi sebagai kejahatan di
masyarakat, maka kita dapat melihat bahwa kemungkinan
kecakapan yang paling banyak ditemukan di tahanan adalah

56 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


kecakapan merencanakan, keuangan, dan interpersonal.
Kecakapan merencanakan merupakan salah satu kecakapan
dalam mencuri, yang merupakan separuh dari jumlah kejahatan
di masyarakat. Kecakapan keuangan dan interpersonal dimiliki
oleh pelaku penipuan, penggelapan, dan korupsi, yang
merupakan bentuk kejahatan kedua terbesar setelah pencurian.
Hal ini juga tidak menutup kemungkinan kalau adanya begitu
banyak jenis kecakapan yang tidak berhubungan dengan
kejahatan. Lebih dari itu, banyak dari jenis kejahatan, khususnya
kejahatan terbesar seperti pencurian dan penggelapan, penipuan,
dan korupsi, memerlukan tingkat kreativitas yang tinggi.
Artinya, dapat kita simpulkan kalau kebanyakan penghuni rutan
memiliki kreativitas yang tinggi dengan berbagai latar belakang
kecakapan.

B. Lingkaran Setan Kecakapan Tahanan


Hubungan modal manusia dan menjadi tahanan bersifat
lingkaran setan. Di satu sisi, rendahnya modal manusia
mungkin menjadi penyebab mengapa mereka masuk ke dalam
rutan. Mereka sendiri mencerminkan kondisi masyarakat yang
secara rata-rata sudah rendah dalam modal manusia. Kajian di
Amerika Serikat menunjukkan kalau hanya separuh dari tahanan
memiliki status lulus SMA, tiga perempat memiliki sejarah
penyalahgunaan narkoba atau alkohol, sepertiga memiliki
sejarah masalah kejiwaan atau fisik, dan hampir sepertiga
dalam kondisi menganggur saat ditangkap. Di sisi lain, ketika
mereka keluar, banyak lapangan kerja tidak mau menerima
mereka. Pada akhirnya, mereka terpaksa bekerja di pekerjaan
tanpa kecakapan khusus atau menjadi wirausaha kecil-kecilan.
Kajian menunjukkan kalau mantan tahanan atau napi memiliki
penurunan penghasilan antara sebelum dan sesudah dipenjara.
Mata rantai lingkaran setan tersebut semestinya dipecahkan
oleh pemerintah karena walaupun mereka telah berbuat

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 57


jahat, hukumannya adalah penjara, bukan tidak mendapatkan
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaannya. Hal ini terlebih
lagi bagi mereka yang ternyata terbukti tidak bersalah setelah
ditahan. Rutan dan lapas merupakan kesempatan terbesar bagi
para tahanan dan napi untuk memiliki kecakapan atau mengasah
kecakapan yang telah ada, sehingga walau mungkin ketika lepas
tidak dapat bekerja pada orang lain, mereka masih dapat bekerja
sendiri sebagai wirausahawan.
Gambaran pada bab sebelumnya menunjukkan kalau
keanekaragaman kecakapan dari tahanan sangat tinggi.
Kecakapan ini akan terkikis seiring waktu jika tidak diasah.
Akibatnya, lapas mungkin akan kesulitan ketika harus memulai
dari awal lagi dalam melatih mereka. Karenanya, rutan juga
dapat berfungsi sebagai alat yang memertahankan kecakapan
dari tahanan agar dapat lebih baik lagi dikembangkan di lapas.
Jika tahanan setelah lepas tidak memiliki modal dasar untuk
membangun kecakapannya menjadi sesuatu yang berguna, ia
terpaksa akan menggunakan alternatif dari modal manusia,
yaitu modal sosial. Modal sosial berbentuk jaringan sosial. Tetapi
masyarakat, misalnya keluarga, mungkin sudah tidak mau
menerima mereka lagi. Alternatif yang paling mungkin adalah
jaringan sosial yang terdiri dari kelompok kriminal. Kelompok
ini lebih mentolerir dan bahkan menerima dengan baik mantan
napi. Akibatnya, mantan napi akan kembali masuk dalam
jaringan sosial kejahatan. Jikapun sebelumnya ia belum pernah
bagian dari jaringan sosial kejahatan, kondisi pasca pelepasan
membuatnya masuk pada situasi kejahatan yang baru, yang
mungkin lebih besar lagi karena bersifat terorganisir.
Jikalau mantan napi tidak mau terlibat kejahatan lagi,
maka alternatifnya mungkin ia akan menjadi penyendiri dalam
waktu yang lama. Mungkin mereka menjadi gelandangan
yang berkeliling kota untuk mencari kejutan-kejutan yang
memungkinkan dirinya dapat masuk ke dalam jaringan sosial
normal atau yang memungkinkan dirinya bekerja. Kondisi
ini sangat tidak pasti dan kemungkinan besar tidak akan

58 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


membuahkan hasil, terutama akibat sumber daya yang terus
menerus berkurang dan akhirnya habis.
Dampak ini akan terbesar pada situasi tahanan dalam
usia pertengahan. Pada usia ini, dampak dari menjadi tahanan
menjadi lebih besar baik dari masalah keluarga maupun masalah
pasar tenaga kerja. Banyak yang akhirnya ditinggalkan oleh
istri dan anak serta diberhentikan dari pekerjaan. Hal ini dapat
dibandingkan dengan masyarakat yang pada usia 30-an dan 40-
an memiliki pekerjaan yang baik dan keluarga yang harmonis
di luar penjara. Lebih tua dari ini, walaupun efek tidak terlalu
besar, tetapi mereka sudah terlalu tua untuk menjadi pekerja
baru dan kebanyakan akan menggantungkan hidupnya pada
keluarga.

C. Peningkatan Kecakapan Tahanan


Upaya meningkatkan kecakapan tahanan harus lebih
ditekankan pada tahanan berusia muda. Tahanan berusia tua
kemungkinan besar telah memiliki banyak kecakapan bawaan
dan rutan tinggal mengarahkan mereka setelah dilepas pada
para pemberi kerja yang sangat memerlukan kecakapan mereka.
Dalam hal ini, rutan harus memiliki jaringan tersendiri dengan
dunia industri.
Sementara itu, rutan menjaga agar tidak terjadi pengikisan
kecakapan selama tahanan berusia tua berada di dalam penjara.
Pengikisan dapat terjadi karena salah satu faktor utama yang
memertahankan kecakapan seseorang adalah pengalaman kerja.
Pengalaman kerja memungkinkan tahanan untuk mempelajari,
menajamkan, dan mempertahankan kecakapan yang telah ia
miliki. Tanpa pengalaman kerja di penjara, seorang tahanan
akhirnya melupakan kemampuannya atau tidak lagi cekatan
dalam melakukan pekerjaannya sebelumnya. Hal ini akan
mengakibatkan dirinya menjadi kurang mampu bersaing dengan
dunia kerja.

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 59


Upaya menjaga kecakapan kerja misalkan menjadikan
mereka sebagai pelatih atau pembimbing bagi tahanan berusia
muda. Mereka pun tetap harus dilatih pula karena seiring waktu,
kecakapan yang mereka miliki mungkin menjadi tidak lagi
relevan dengan kebutuhan dunia kerja di luar. Hal ini khususnya
pada tahanan-tahanan cakap yang memiliki kecakapan yang
memerlukan kapabilitas yang spesifik atau pelatihan intensif.
Sementara itu, berbagai pelatihan perlu dilakukan untuk
tahanan berusia muda. Pelatihan dan pendidikan intensif ini
diharapkan membuat mereka lebih mampu bersaing di dunia
kerja di saat lepas dari penjara. Lebih dari itu, tahanan senior
dapat menjadi mentor bagi mereka lewat kecakapan yang mereka
miliki pada tahanan muda yang kurang memiliki kecakapan
bawaan.
Penggunaan tahanan tua untuk mengajar tahanan muda
selain memberikan manfaat bagi keduanya, juga membantu
dalam mengurangi masalah yang selama ini mendera sistem
pelatihan di penjara. Sering program pelatihan dianggap tidak
bernilai dan buang-buang uang, dengan mendatangkan pelatih
dari luar penjara maupun menggunakan benda-benda yang
mahal untuk meniru situasi di dunia luar. Anggaran yang
terbatas ini dipaksa lebih buruk lagi bagi pelatihan akibat
populasi rutan yang terus bertambah. Akibatnya kecakapan-
kecakapan yang dilatihkan mungkin kecakapan apa adanya, yang
tidak lagi sesuai dengan dunia kerja di luar lapas. Penggunaan
tahanan tua memungkinkan anggaran tidak dikeluarkan untuk
menghadirkan instruktur. Selain itu, tahanan tua tidak memiliki
prejudis pada tahanan muda, berbeda dengan instruktur yang
mungkin enggan terlalu dekat dengan tahanan. Para tahanan tua
ini juga lebih paham dengan dunia luar karena mereka membawa
kecakapan kontemporernya masuk ke dalam rutan. Kecakapan
ini setidaknya masih relevan pada saat ia masuk ke tahanan dan
mungkin akan masih relevan dalam satu dua dekade ke depan.
Penelitian mengetahui bahwa mantan tahanan dengan
kondisi masuk tahanan pengangguran lebih sulit mendapatkan

60 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


pekerjaan pasca lepas. Kemungkinan mereka mendapat kerja
10% lebih rendah dari mantan napi yang sebelum masuk
penjara telah memiliki pekerjaan. Pengamatan menunjukkan
kalau setelah satu tahun dilepaskan, sekitar seperempat mantan
napi yang saat masuk ke tahanan memiliki pekerjaan, telah
mendapatkan pekerjaan. Hal ini bermakna kalau hanya 15%
kemungkinan kalau mantan napi yang awalnya pengangguran
akan mendapatkan pekerjaan satu tahun setelah dilepaskan dari
penjara.
Sasaran utama haruslah pada tahanan kasus narkoba
karena penelitian menunjukkan kalau tahanan tipe ini adalah
yang paling sulit mendapatkan pekerjaan dibandingkan
tahanan kasus kejahatan pencurian dan kekerasan. Tahanan
narkoba lebih sulit mendapatkan kerja karena selain memang
umumnya kurang berkecakapan kerja, mereka juga melakukan
kejahatan yang dapat menular. Para pemberi kerja tidak ingin
ketika memasukkan satu mantan tahanan narkoba, lalu banyak
dari karyawan lainnya justru ikut-ikutan menjadi pengedar
narkoba.
Program yang diarahkan bagi tahanan haruslah program
yang secara kontemporer berhubungan langsung dengan dunia
kerja di luar penjara. Selain itu, program ini harus melibatkan
secara intensif tahanan-tahanan yang paling tidak beruntung.
Dua hal ini, kesesuaian pelatihan dengan dunia kerja dan
pengalamatan pelatihan pada tahanan yang paling kurang
beruntung, semestinya akan mengimbangi negativitas yang
dimiliki dunia usaha terhadap pekerja mantan terpidana.

D. Hambatan Mencari Kerja


Kepastian dapat tercapai jika rutan dan pemerintah mampu
mengangkat kepercayaan dunia kerja terhadap mantan tahanan.
Dengan ini, akan tersedia pekerjaan bagi tahanan setelah mereka
keluar penjara. Keberadaan pekerjaan membuat mereka lebih

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 61


mungkin terhindar dari melakukan perbuatan pidana kembali.
Ada empat alasan mengapa pekerjaan membuat mereka
terhindar dari menjadi pelaku pidana:
1. Pekerjaan membuat mereka lebih terawasi oleh
masyarakat baik lewat pengawasan pemberi kerja
(atasan) maupun rekan kerjanya.
2. Pekerjaan membuat mereka mampu menyesuaikan diri
dengan peran sosial di masyarakat secara normal dan
menjadikan pengalaman kriminalnya sebagai suatu
pelajaran ketimbang modal untuk berbuat jahat lebih
lanjut.
3. Pekerjaan memutuskan hubungan dengan jaringan
sosial kejahatan, sementara di sisi lain, meningkatkan
jumlah jaringan sosial dengan warga masyarakat yang
patuh terhadap hukum.
4. Pekerjaan memberikan sumber penghasilan yang
menghindarkan mantan napi dari upaya mendapatkan
uang dengan cara tidak halal.

Meyakinkan dunia usaha untuk menerima mantan napi


cukup berat. Para pemberi kerja melihat kalau mantan napi
menunjukkan kalau orang ini sulit dipercaya dan sulit patuh
pada aturan. Mereka akan lebih memilih calon pekerja yang
benar-benar bersih, walaupun kecakapannya rendah. Tentu
masih ada pertimbangan lain yang spesifik dan inilah yang
perlu digali untuk memungkinkan mereka mau menerima para
mantan napi tersebut.
Dalam survey di Amerika Serikat, seperempat pemberi
kerja akan memberikan pekerjaan dengan melihat pada
kejahatan yang dilakukan. Tetapi secara umum, pekerjaan yang
hampir mustahil diperoleh mantan napi adalah pekerjaan yang
melibatkan kepercayaan tinggi, seperti menangani uang kas
atau melakukan kontak dengan anak-anak. Hanya 20% dari
pengusaha yang mau mempekerjakan seorang karyawan tanpa
melihat apakah ia mantan napi atau bukan.

62 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


E. Peran Keluarga
Jaringan lain yang harus dibuat adalah dengan keluarga.
Keluarga menjadi penyedia dukungan alamiah bagi tahanan saat
ditahan maupun ketika keluar dari tahanan. Keluarga menjadi
pijakan dasar dari mantan tahanan untuk kembali ke masyarakat,
dengan menyediakan stabilitas, dukungan, maupun semangat
bagi mereka. Dukungan ini dapat berupa tempat tinggal,
makanan, sedikit uang, koneksi dengan kesempatan kerja, dan
dukungan psikologis untuk mendengarkan keluh kesah dari
mantan tahanan. Dukungan yang paling penting adalah dengan
menyediakan dukungan emosional dan tempat untuk tinggal.
Akibatnya, tahanan dengan kontak yang terus menerus dengan
keluarga lebih mungkin untuk tidak mengulang perbuatannya,
menjauh dari narkoba, dan sukses mendapat pekerjaan, ketimbang
tahanan yang tidak memiliki kontak dengan keluarga dan teman.
Keluarga juga sering menjadi pihak yang pertama tahu apakah
mantan tahanan kembali berniat melakukan kejahatan sehingga
dapat melakukan pencegahan dini dari perbuatan tersebut.
Sejalan dengan ini pula, berbagai temuan mengindikasikan
kalau mantan tahanan yang telah menikah lebih mungkin untuk
berhasil hidup normal daripada mantan tahanan yang masih
single atau bercerai. Mantan tahanan yang kembali ke rumah
tangga sendiri dengan anak dan istrinya, lebih mungkin sukses
normal kembali ketimbang mantan tahanan yang hidup sendiri
atau bersama orang tua. Lebih dari itu, penelitian juga melaporkan
kalau mereka yang kembali pada keluarga yang harmonis lebih
mungkin hidup normal kembali daripada mereka yang kembali
pada keluarganya yang bermasalah.
Dalam beberapa jam atau hari setelah pelepasan, dukungan
dari keluarga menjadi sangat kritis. Waktu inilah saat dimana
kecemasan mantan tahanan paling besar dan risiko mengulang
perbuatannya kembali juga sangat besar. Hal ini karena mereka
mungkin telah terbiasa hidup di dalam penjara dan ketakutan
dengan dunia yang terlihat begitu kacau, terlebih jika ia telah

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 63


sangat lama di penjara. Akibatnya, ia ingin kembali ke penjara
dengan cara mengulang kembali perbuatannya. Malahan, rasa
takut ini dapat berkontribusi bagi keresahan di dalam penjara
karena mereka yang ingin dilepaskan takut untuk keluar,
hingga membuat pelanggaran-pelanggaran di dalam penjara,
memungkinkan mereka ditahan lebih lama dan terhindar dari
dunia luar.
Sungguh demikian, keluarga memiliki kesulitan tersendiri
dalam menjaga hubungannya dengan tahanan. Waktu berkunjung
dapat sangat terbatas. Jika keluarga memiliki waktu berkunjung,
faktor jarak mungkin akan menjadi kendala. Begitu datang,
mereka mungkin telah terlambat dan terpaksa harus pulang.
Penggunaan alat komunikasi di dalam penjara juga dibatasi,
sehingga mereka harus mengikuti sejumlah prosedur ketat
dalam komunikasi. Lebih dari itu, prosedur keamanan di penjara
mungkin kurang nyaman bagi keluarga karena mereka ada
dalam situasi ‘praduga bermaksud jahat’. Tidak mengherankan,
jika keluarga tidak tahan, hubungan dapat putus di tengah jalan,
terlebih jika waktu tahanan di penjara sangat lama.
Lebih dari itu, keluarga pun memiliki masalahnya sendiri.
Masalah ini misalnya kemiskinan, atau masalah kesehatan
fisik atau mental. Akibatnya, mereka tidak dapat menyediakan
dukungan bagi mantan napi. Lebih baik jika seperti ini, mantan
napi tidak kembali ke keluarganya. Lebih baik mereka kembali
pada kerabatnya. Tetapi sayangnya, seringkali kerabat tidak pula
mau membantu. Mereka mungkin menjadi korban perilaku
keluarga mantan napi tersebut, entah itu berupa janji palsu,
hutang yang tidak dibayarkan, perlakuan buruk, atau bahkan
kekerasan. Akibatnya, jika alternatif inipun tidak dapat diambil,
mantan napi harus sementara ditempatkan di suatu panti sosial
yang memungkinkan transisi yang lebih mulus terjadi.
Bahkan jika keluarga tidak bermasalah, mereka belum
tentu mau membantu mantan napi. Jika keluarga sendiri
menjadi korban dari kejahatan mantan napi tersebut, jelas
kalau hal ini menutup kemungkinan mantan napi untuk

64 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


kembali, kecuali keluarga mau memaafkan. Faktor lain adalah
bahwa keluarga menjadi terkena dampak sosial-psikologis dari
tertahannya anggota keluarga mereka, sehingga ada semacam
ketakutan untuk melakukan kontak dengan tahanan maupun
setelah tahanan tersebut bebas. Beberapa anak misalnya, akan
malu memiliki orang tua tahanan, dan akan sejauh mungkin
menghindar dari orang tuanya.
Masalah sosial misalnya keluarga menjadi buah bibir
masyarakat. Masyarakat menjadi tidak lagi senang dengan
keluarga yang anggota keluarganya ada di penjara. Dalam hal
ini, keluarga mungkin memutuskan kalau orang yang dipenjara
tersebut bukan anggota keluarga mereka. Artinya, tekanan
sosial membuat keluarga bahkan tega tidak lagi mengakui anak,
suami, istri, atau orang tua mereka jika mereka masuk ke penjara.
Tekanan psikologis yang melanda keluarga khususnya terjadi
pada anak-anak yang orangtuanya masuk penjara. Karena salah
satu orang tua dipenjara, anak-anak ini harus hidup dengan orang
tua tunggal atau bahkan tanpa orang tua sama sekali. Mereka
mungkin tinggal dengan kakek-nenek dan akibatnya, mendapat
perhatian yang kurang, atau justru berlebihan, dibandingkan jika
mereka tinggal secara normal dengan orang tua yang berkasih
sayang. Lebih dari itu, jika orang tua mereka adalah sumber
satu-satunya penghasilan, maka akan ada dampak ekonomi
besar bagi anak, membuat mereka jatuh ke jurang kemiskinan.
Kajian di Amerika Serikat menunjukkan kalau 45,3% napi
tinggal bersama anaknya ketika ditangkap dan dijebloskan ke
rutan. Hal ini paling banyak pada perempuan (64,3%) daripada
laki-laki (43,8%). Karena masuk penjara, anak-anak ini diasuh
oleh orang lain. Pada tahanan laki-laki, 89,6% anak di asuh oleh
istri, 13,3% oleh kakek-nenek, 4,9% diasuh oleh kerabat, 1,8%
oleh pemerintah, dan 4,9% oleh pihak lain seperti teman. Jumlah
total lebih dari 100% karena satu orang tahanan dapat memiliki
beberapa anak yang dapat dititipkan pada tempat yang berbeda-
beda. Pada tahanan perempuan (ibu), hanya 28% yang dititipkan
pada ayahnya, sementara 52,9% dititipkan pada kakek-nenek,
25,7% pada kerabat lainnya, 9,6% pada pemerintah, dan 10,4%

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 65


pada pihak lain. Kebanyakan anak ini berusia 5-9 tahun (35,1%),
sementara 2,1% kurang dari satu tahun, 20,4% antara 1-4 tahun,
28% antara 10-14 tahun, dan 14,5% antara 15-17 tahun.

Gambar 4 Persen Tahanan yang Menyatakan Anaknya


Diasuh oleh Pengasuh Lain

Sumber: Travis dan Waul, 2003

Banyak dari anak-anak ini mengalami masalah rendahnya


kepercayaan diri, depresi, menarik diri secara emosional dari
teman dan keluarga, serta berperilaku nakal di rumah dan
sekolah. Mereka bahkan memiliki risiko tinggi untuk juga
menjadi pelaku kejahatan atau kenakalan remaja. Walau begitu,
hal ini bukan saja dipengaruhi oleh ditahannya orang tua
mereka di penjara, tetapi juga berbagai faktor lain, misalnya
orang tua yang tersisa tidak peduli, kemiskinan, usia anak saat
terpisah dari orang tua, pengalaman di keluarga dan sekolah,
serta respon masyarakat.
Menurut Travis dan Waul, efek ditahannya orang tua
terhadap anak antara lain:
• Mengalami peristiwa traumatik akibat hilangnya orang
tua, yang mengambil bentuk seperti perilaku hilang rasa,

66 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


marah, depresi, regresi, dan perilaku antisosial lainnya.
• Membuat anak tidak fokus pada tugas perkembangan
akibat adanya trauma.
• Anak menjadi lebih sulit berhadapan dengan situasi
dengan ketidakpastian tinggi misalnya tidak tahu
dimana orang tuanya karena dibohongi oleh kakek-
neneknya yang tidak ingin anak tahu kalau orang tuanya
dipenjara.
• Memiliki kebiasaan yang janggal sebagai respon atas
trauma.
• Mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai anak
yang orang tuanya dipenjara. Stigma datang dari teman,
tetangga, keluarga, atau bahkan guru. Hal ini sering
berdampak pada rasa malu dan rendahnya kepercaaan
diri.

F. Pengangguran di Masyarakat
Masalah lain yang dapat berpengaruh adalah level
pengangguran di masyarakat. Lebih aman bagi pengusaha
untuk merekrut karyawan baru dari pengangguran di
masyarakat umum ketimbang mantan napi. Artinya, masih
banyak pengangguran, kenapa harus memilih mantan napi?
Hal ini pada gilirannya membawa pada pandangan kalau
mempekerjakan mantan napi akan menghambat pencari kerja
yang bukan mantan napi. Mereka akan dinomor duakan. Hanya
jika di pasar tidak tersedia lagi pengangguran, para pengusaha
mau melirik para mantan napi. Karenanya, sangat penting bagi
para mantan napi memiliki kecakapan tinggi yang tidak dapat
digantikan oleh para pengangguran di masyarakat. Intinya,
mereka tidak memiliki saingan dalam meraih pekerjaan.
Sementara itu, pengangguran di masyarakat juga
memungkinkan mantan napi mendapatkan banyak kontak
dengan pengangguran dan kembali melakukan kejahatan.

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 67


Artinya, jika mereka kembali ke lingkungan yang sama seperti
di saat ia masuk penjara, maka ia kemungkinan besar akan
kembali menjadi penjahat dan berurusan dengan hukum.
Karenanya, pemerintah harus mampu pula mengatasi masalah
pengangguran, setidaknya secara lokal pada tempat-tempat
mantan napi tinggal setelah dibebaskan.
Jika kita ingin benar-benar mereduksi kejahatan, maka
salah satu langkah yang paling masuk akal adalah dengan
mencegah agar orang yang sudah terlanjur melakukan kejahatan
untuk mengulang kejahatannya. Hal ini dilakukan dengan
sistem pendidikan dan pelatihan baik di rutan maupun lapas.
Sayangnya, seringkali kebijakan yang diambil justru sebaliknya:
memangkas anggaran pendidikan dan pelatihan tahanan,
dan membiarkan mereka terpuruk dan menderita, dengan
harapan mereka jera untuk masuk penjara, sementara orang di
dunia luar ketakutan kalau sampai masuk ke penjara. Hal ini
mungkin benar, karena semakin buruknya penjara, tentu orang
semakin takut masuk penjara. Tetapi ini tidak berarti langsung
mengurangi perilaku kejahatan. Hal ini mungkin justru
berdampak pada semakin banyaknya kejahatan yang dilakukan
dengan sistem yang sangat rapi, melibatkan banyak kecakapan
untuk terhindar dari kepolisian. Jika mereka ketahuan, mereka
punya cukup uang untuk menyuap penegak hukum agar tidak
ditangkap. Sementara itu, orang yang terlanjur masuk penjara
memiliki masa depan yang semakin suram.
Jika sebagai alternatif, penguatan dilakukan pada
pendidikan di dalam penjara, misalnya, jika mungkin, membuat
sekolah di dalam rutan, kita dapat menjamin hak-hak asasi
manusia bagi tahanan untuk dapat hidup layak ke luar dari
rutan. Sementara itu, masyarakat di dunia luar dapat saja
mengapresiasi pemerintah atas usahanya mensejahterakan
tahanan. Masyarakat juga dapat mendukung, lewat kampanye
pemerintah, untuk penguatan sistem pengawasan sehingga
tidak lagi ada kejahatan di masyarakat. Sistem pemerintahan
yang bersih dapat menjaga penyimpangan aparat penegak

68 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


hukum. Pada gilirannya, para penjahat yang belum tertangkap
akan lebih sulit lagi untuk melakukan kejahatan dalam sistem
pengawasan masyarakat bersama dengan penegak hukum yang
tegas. Apakah mungkin akan ada pikiran kalau “dipenjarapun
tidak apa-apa, toh hidup enak dan suatu saat waktu keluar akan
mendapatkan kehidupan yang sama baiknya dari sebelumnya”?
Pikiran ini dapat saja muncul tetapi ia hanya pikiran, bukan
perbuatan. Perbuatannya tidak akan dapat terjadi karena sistem
pengawasan yang ketat yang telah dibuat.
Paparan di atas menyatakan bahwa, jika kita ingin
meningkatkan kemampuan orang di tahanan agar dapat hidup
layaknya orang normal selepas dari tahanan, pemerintah bukan
saja harus membangun sistem pendidikan dan pelatihan
yang baik, membangun jaringan dengan keluarga dan dunia
industri, tetapi juga meningkatkan kualitas dan kuantitas
sistem pencegahan perilaku kriminal dan sistem penegakan
hukum yang ada di masyarakat. Keempat hal ini bersama-sama
memungkinkan arus masuk orang ke rutan semakin sedikit,
sementara yang keluar akan dapat dimasukkan ke masyarakat
dengan mudah, tanpa harus kembali ke rutan.
Secara garis besar: tiga hal yang memungkinkan mantan
tahanan untuk berhasil mendapatkan pekerjaan setelah
pelepasan: tingkat diskriminasi di masyarakat, modal manusia
yang telah dimiliki, dan penguatan modal manusia yang diterima.
Ketiga hal ini dapat dipecahkan dengan sistem pendidikan yang
didukung oleh jaringan dengan dunia usaha dan keluarga,
sistem pencegahan perbuatan pidana, dan sistem penegakan
hukum yang baik. Hal ini menjadi sebuah kerangka pikir yang
akan mereformasi sistem penjara sehingga membuat mereka
bukan lagi menjadi semacam tempat sampah, tetapi sebagai
suatu lembaga yang aktif berkontribusi pada pembangunan
nasional.

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 69


G. Mantan Narapidana Bukan “Sampah Masyarakat”
Mantan narapidana yang berarti sudah bebas atau
keluar dari Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) tidak mudah
untuk kembali dan berbaur di tengah masyarakat. Lembaga
pemasyarakatan yang dikenal selama ini oleh orang awam atau
masyarakat adalah penjara dimana sebagai tempat tahanan
untuk orang jahat atau orang yang bermasalah dengan hukum.
Meskipun bebas,mantan tahanan atau narapidana tersebut
tetap dianggap orang jahat dan sampah masyarakat. Paradigma
mantan narapidana sebagai “sampah masyarakat” inilah yang
masih saja kerap terjadi di tengah masyarakat.
Diskriminasi yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap
mantan narapidana menjadi fenomena yang tidak seharusnya
terjadi di tengah masyarakat. Konstruksi negatif masyarakat
terhadap mantan narapidana menjadi latar belakang utama
fenomena ini muncul. Dengan adanya fenomena tersebut
menimbulkan masalah-masalah lain yang dapat merugikan
kedua pihak. Seakan mantan narapidana tersebut tidak diberikan
kesempatan lagi oleh masyarakat untuk berubah jadi lebih baik.
Padahal mantan narapidana sangat membutuhkan
penerimaan dari masyarakat. Tanpa penerimaan, narapidana
justru bisa kembali melakukan hal-hal negatif. Namun, dengan
penerimaan dari keluarga dan masyarakat, mantan narapidana
bisa diperdayakan. Ketika masyarakat mengakuinya mereka
bermanfaat dan banyak yang bisa dilakukan. Ketika masyarakat
tidak terima dan dianggap sampah, mantan narapidana bisa saja
kembali lagi melakukan kejahatan maupun pelanggaran lagi.
Akibatnya seseorang menyandang status sebagai
narapidana (istilah sekarang warga binaan) seringkali ia
merasa hidupnya sudah tidak berguna karena dianggap
“sampah masyarakat”. Label inilah yang kerap diterima mantan
narapidana. Mantan narapidana sering kesulitan kembali ke
tengah masyarakat. Sikap penolakan seperti mengucilkan
terhadap para mantan narapidana sering membuat mereka

70 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


diperlakukan tidak manusiawi dan seperti kehilangan hak asasi
mereka sebagai manusia
Pemberian label atau cap kepada narapidana sebagai
“sampah masyarakat” akan cenderung menyebabkan narapidana
tersebut melakukan kejahatan kembali atau melanggar hukum.
Hal ini dapat dikatakan merupakan Teori Labeling yaitu
penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari
masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan
melanjutkan penyimpangan tersebut, menurut Lemert (dalam
Sunarto, 2004).
Berdasarkan teori labeling Micholowsky kejahatan
merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku
seseorang. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap
sebagai penjahat. Umumnya tingkah laku seseorang dicap jahat
menyebabkan orangnya juga diperlakukan sebagai penjahat.
Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi
dalam proses interaksi, dimana interaksi tersebut diartikan
sebagai hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok
dan antar individu dan kelompok. Terdapat kecenderungan
dimana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat
akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Padahal narapidana merupakan salah satu sumber daya
manusia warga binaan yang melakukan tindak pidana atau
perbuatan yang melanggar hukum sehingga mendapat hukuman
atau sanksi pidana berdasarkan putusan hakim. Mengisyaratkan
bahwa penjatuhan pidana bagi seseorang melalui putusan
hakim pada hakekatnya tidaklah sebagai suatu perbuatan balas
dendam oleh negara, melainkan sebagai imbangan atas tindak
pidana yang telah dilakukannya, yang mana daripadanya
diharapkan akan menghasilkan kesadarannya untuk dihari
yang akan datang melalui pemberian pengayomannya serta
pemasyarakatannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan
sistem Pemasyarakatan.
Dalam hal ini mantan narapidana yang ingin
mengungkapkan dirinya di masyarakat cenderung memiliki

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 71


rasa rendah diri yang besar dikarenakan statusnya sebagai
mantan narapidana yang dipandang negatif dalam masyarakat.
(Kurniawan, 2008). Dari masyarakat sendiri sulit untuk
menerima mantan narapidana, Wahid (2008) mengatakan
mantan narapidana sulit mencari pekerjaan karena perusahaan
selalu melihat catatan perbuatan seorang mantan napi, jarang
perusahaan yang mau menerima mantan narapidana.
Stigma negatif yang selama ini menghinggap pada
narapidana, padahal narapidana juga memiliki potensi yang
dapat membantu pembangunan nasional, hanya saja mereka
tidak memiliki kesempatan dan terlanjur di anggap jelek bahkan
sampah di kalangan masyarakat. sekitar. Anggapan yang seperti
itu akan menghambat proses resosialisasi narapidana di tengah-
tengah masyarakat bahkan dapat menyebabkan kembalinya
narapidana pada penyakit lamanya dan ini akan menghambat
jalannya proses pembangunan. Namun apabila masya-rakat
bersedia untuk menerimanya maka akan mudah bagi narapidana
untuk mengembangkan potensinya yang telah terbekali
pada pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan selama ia
menjalankan masa pidana dan tidak menutup kemungkinan
hasil dari pembinaan dari Lembaga Pemasyarakatan dapat
dikembangkan menjadi modal di kehidupan bermasyarakat.
Paradigma yang selama ini menyatakan bahwa narapidana
pidana sebagai “sampah masyarakat” haruslah dihapuskan.
Dalam kehidupan nyata juga sudah banyak berita mengenai kisah
sukses dari para mantan narapidana ini, diantaranya dikutip
dari situs portal detik.com” Detikcom mendatangi sejumlah napi
yang pernah merasakan dinginnya jeruji besi, namun berhasil
dibina dan kembali ke masyarakat dengan penuh percaya diri.
Modal mereka adalah ilmu yang pernah ditimba selama dalam
kurungan bui.Tak sedikit dari para napi yang kini memiliki
usaha. Untungnya tak banyak, namun setidaknya bisnis itu bisa
menghindarkan para napi untuk mengulang kejahatannya.”
Widyastuti (2008) mengatakan bahwa dalam kehidupan
sosial di masyaraka penolakan masyarakat terhadap mantan

72 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


narapidana dapat disebabkan karena pandangan negatif kepada
setiap mantan narapidana, dan sikap kewaspadaan masyarakat
yang berlebihan terhadap mantan narapidana. Secara umum
dapat dikatakan bahwa setiap anggota masyarakat atau
lingkungan manapun memang tertata oleh aturan yang telah
disetujui anggota lingkungannya. Semakin majemuk dan besar
suatu lingkungan maka norma dan aturan yang ada semakin
baku dan tertera dalam hukum yang disahkan melalui proses
berstandar nasional maupun internasional.
Proses sosialisasi mantan narapidana dari lembaga
pemasyarakatan menuju masayarakat yang sesungguhnya
sangat sulit dilakukan karena adanya pandangan tersebut.
Padahal peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam proses
sosialisasi seorang mantan narapidana. Banyak narapidana yang
telah bebas kehilangan jati diri mereka yang ditandai dengan
sikap tertutup, acuh tak acuh, dan anti sosial (Susilo, 1971).
Menurut Soedjono, pemasyarakatan merupakan
kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang
bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan
sekaligus mengayomi narapidana yang tersesat jalan hidupnya
dan memberi bekal hidup bagi narapidana setelah kembali dalam
masyarakat. Dapat diartikan bahwa sistem pemasyarakatan
merupakan wujud baru upaya penanggulangan kejahatan yaitu
upaya yang bertujuan untuk merehabilitasi para pelaku tindak
pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dengan cara
pencegahan melalui pembinaan bukan dengan pembalasan.
Maka dapat terlihat bahwa dengan sistem pemasyarakatan,
pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi narapidana
lebih diperhatikan.
Mantan narapidana sangat membutuhkan penerimaan
dari masyarakat. Tanpa penerimaan, narapidana justru bisa
kembali melakukan hal-hal negatif. Namun, dengan penerimaan
dari keluarga dan masyarakat, mantan narapidana bisa
diperdayakan.Ketika masyarakat menyambut, mengulurkan
tangan, memberikan kesempatan warga binaan membuktikan

Bab 4 Ketenagakerjaan dan Tahanan 73


kemampuan akan menghilangkan beban psikologis mantan
narapidana. Kemandirian yang diajarkan dapat dilaksanakan
dengan baik. Dengan begitu mantan narapidana dapat
membantu mencari nafkah tanpa mengulangi kembali kegiatan
kriminal. Tidak hanya untuk menafkahi diri sendiri, tetapi juga
keluarganya.
Sebagai masyarakat dan warga negara yang baik, kita
bersama dengan pemerintah berpartisipasi dalam menanggu-
langi kejahatan, dari hal mengembalikaan narapidana untuk
bisa kembali di tengah-tengah masyarakat dan dapat hidup
lebih baik di kemudiannya. Oleh karenanya, masyarakat harus
berpartisipasi dalam pembinaan narapi-dana untuk keber-
hasilan tujuan program pembinaan narapidana. Perlu ditegaskan
bahwa narapidana bukanlah hama atau sampah masyarakat yang
harus dicampakkan dan dimusnahkan, melainkan narapidana
itu juga adalah warga negara, warga masyarakat yang tetap
mempunyai hak-hak, sehingga perlu diberikan pembinaan
ataupun keterampilan yang dapat menjadikan mereka sebagai
manusia-manusia yang memiliki potensi diri, memiliki sumber
daya yang dapat mengisi pembangunan bangsa dan negara.

74 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 5
MANAJEMEN RISIKO KEKERASAN
DAN BUNUH DIRI

Sebelum mulai memanfaatkan kecakapan dan kreativitas


bawaan tahanan, kita harus ingat bahwa para tahanan ini
sebagian besar akan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan
ke atasnya. Jika sebagian besar tidak bersalah, maka berarti
sistem hukum kita, dalam hal ini penetapan tersangka, terlalu
buruk. Tentu saja, dengan adanya reformasi hukum yang besar
belakangan ini, kita berharap sistem keadilan kita jauh lebih
baik. Sebagai contoh, sekarang ini untuk menetapkan status
tersangka, perlu minimal dua jenis alat bukti. Lebih dari itu,
penahanan tersangka juga harus menjadi pilihan terakhir jika
memang cara lain memungkinkan tersangka kabur.
Sekarang kita memiliki sejumlah tahanan dengan
kecakapan dan kreativitas yang dapat dimanfaatkan. Kemudian
apa? Kita harus menjamin kalau orang yang memperoleh
manfaat terhindar dari risiko akibat kemungkinan besar
bahwa para tahanan ini berbuat jahat pada mereka. Kita tidak
ingin ada kejadian kalau kita punya seorang dokter yang
sangat cakap, lalu ia dimanfaatkan untuk merawat pasien
dari luar, dan tiba-tiba ia membunuh pasien tersebut. Dan kita

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 75


juga tidak ingin yang sebaliknya terjadi, yaitu sang tahanan
membunuh dirinya sendiri. Telah ada beberapa kejadian
kalau seorang tahanan, belum diputuskan bersalah atau tidak,
melakukan bunuh diri di tahanan.
Tahanan dengan risiko berbuat kekerasan yang tinggi
harus dihindarkan dari upaya pemanfaatan kecakapan dan
kreativitas di tahanan, sampai ia kita benar-benar yakin kalau
ia tidak akan berbuat kekerasan pada pasien, konsumen, atau
klien atau kekerasan pada sesama penghuni tahanan, atau
kekerasan pada sipir, dengan memanfaatkan fasilitas yang
diberikan untuk pemanfaatan kecakapan dan kreativitas.
Tahanan ini perlu pertama kali kita serahkan untuk diterapi,
diperbaiki secara psikologis, lewat berbagai cara. Mungkin
lewat psikiater, agama, dan sebagainya. Hal ini lebih baik
bagi mereka daripada mereka disertakan dalam program
pemanfaatan kecakapan. Nanti setelahnya, mungkin mereka
akan menghadapi putusan pengadilan. Jika dinyatakan
bersalah, mereka dapat masuk ke lapas dan di lapas, program
pemanfaatan kecakapan dan kreativitas dapat lebih intensif
dilakukan dengan cara-cara yang lebih terkontrol dan
terprogram daripada di rutan.
Bagaimana orang dengan risiko bunuh diri tinggi?
Mereka harus disertakan dalam program pemanfaatan
kecakapan dan kreativitas, serendah apapun kecakapan dan
kreativitasnya. Hal ini karena program sendiri adalah bentuk
terapi bagi mereka. Kesibukan beraktivitas pada program
akan menghindarkan mereka pada pikiran-pikiran negatif
yang membawa pada keinginan bunuh diri. Selanjutnya
akan kita bahas instrumen-instrumen yang digunakan untuk
mengukur risiko kekerasan dalam tahanan dan risiko bunuh
diri dalam tahanan.

76 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


A. Risiko Kekerasan dalam Tahanan
Risiko kekerasan dalam tahanan dapat diukur
menggunakan instrumen VRAG (Violence Risk Appraisal
Guide). VRAG adalah instrumen yang dikembangkan dalam
bidang kriminologi, yang sebenarnya ditujukan untuk mengukur
risiko seseorang akan berbuat jahat kembali pasca dilepaskan
dari tahanan. Pemanfaatan keahlian dan kreativitas tahanan,
walaupun dilakukan di dalam tahanan, merupakan suatu
bentuk kontak dengan dunia luar, sama seperti pelepasan pula.
Karenanya, VRAG juga dapat digunakan sebagai instrumen
untuk mengukur risiko kekerasan dalam tahanan. VRAG juga
digunakan karena semata melihat apakah tersangka melakukan
tindak pidana kekerasan atau tidak itu tidak cukup. Bisa saja
seorang tersangka berbuat kekerasan karena terpaksa atau tidak
sengaja, bukan karena suatu kecenderungan di dalam dirinya.
Kecenderungan akan membuat kekerasan dapat lebih keras
dan lebih sering, walaupun ia tidak ditahan karena tuduhan
kejahatan kekerasan atau pembunuhan.
VRAG adalah deretan 12 pertanyaan yang masing-masing
memiliki skor. Nilai VRAG adalah nilai total dari semua jawaban
atas pertanyaan ini. Nilai total akan ada pada jangkauan antara
-24 dan 38. Tahanan dengan nilai VRAG mulai dari -24 hingga
-8 masuk dalam kategori risiko rendah. Tahanan dengan nilai
VRAG mulai dari -7 hingga 13 masuk dalam kateori risiko sedang.
Tahanan dengan risiko kekerasan tinggi ada pada rentang VRAG
mulai dari 14 hingga 38. Tahanan dengan skor VRAG 14-38 ini
harus ditolak dalam pemanfaatan kecakapan dan kreativitas
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tahanan
dengan skor sedang dapat mengikuti kegiatan pemanfaatan
kecakapan dan kreativitas, tetapi dengan pengawasan ketat.
Tahanan dengan skor rendah dapat mengikuti kegiatan
pemanfaatan kecakapan dan kreativitas dengan pengawasan
ringan.

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 77


Selanjutnya, akan kita tinjau masing-masing item dalam
VRAG:

1. Tinggal dengan kedua orang tua kandung hingga usia 16


tahun, kecuali jika orang tua telah meninggal.
Jika seorang tahanan pada waktu usia anak-anak tidak
diasuh oleh orang tua kandung mereka sendiri, mereka akan
memiliki risiko tinggi bertindak kekerasan. Hal ini karena
bukan orang tua kandung memiliki keterikatan emosional
yang lebih rendah. Keterikatan emosional juga lebih rendah
jika orang tua tunggal dibandingkan orang tua lengkap. Tidak
tinggal bisa berarti ia melarikan diri dari rumah dan bergabung
dengan teman-teman yang membantu berbuat kekerasan atau
sebaliknya, diusir orang tua yang tidak mampu membimbing
anak. Berikan skor +3 jika tahanan pada waktu usia hingga 16
tahun tidak tinggal dengan kedua orang tua kandung padahal
keduanya masih hidup dan berikan skor -2 jika tahanan tinggal
dengan kedua orang tua pada usia tersebut, atau orang tua
meninggal (sehingga tidak ada pilihan lain bagi anak).

2. Masalah di Sekolah Dasar


Kali ini, kita masuk lebih dalam pada sejarah hidup tahanan,
yaitu pada saat ia masih di usia Sekolah Dasar. Penelitian
menunjukkan kalau adanya masalah pada saat menempuh
pendidikan di Sekolah Dasar akan meningkatkan risiko seseorang
pada saat dewasanya memiliki tingkat kekerasan yang tinggi.
Berikan skor -1 jika tahanan tidak punya masalah penyesuaian
diri pada saat SD. Berikan skor +2 jika tahanan memiliki masalah
kecil atau sedang, seperti masalah absensi yang jarang tetapi ada
atau pelanggaran-pelanggaran disiplin di SD yang masih kita
anggap wajar. Berikan nilai +5 jika tahanan bermasalah besar.
Masalah ini dapat berupa kenakalan yang sangat mengganggu
dan sering, sangat sering tidak datang sekolah, atau perilaku-
perilaku apapun yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah.
Jika tahanan tidak pernah atau tidak menyelesaikan SD karena
alasan non disiplin, misalnya karena kemiskinan atau orang tua
yang over-protektif, tahanan lebih baik diberikan nilai 0.

78 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


3. Sejarah Penyalahgunaan Alkohol
VRAG menggunakan penyalahgunaan alkohol saja, tanpa
narkoba, untuk menilai risiko kekerasan. Alasannya adalah
alkohol lebih mudah didapat daripada narkoba dan selain itu,
alkohol lebih konsisten berhubungan dengan kekerasan daripada
narkoba. Lebih dari itu, alkohol hanya ada satu macam, sementara
narkoba terdiri dari berbagai jenis dengan efek berbeda-beda.
Pada saat seseorang mabuk alkohol, jika mereka tidak memiliki
kecenderungan genetik untuk resisten terhadap pengaruh
alkohol, perbuatan mereka akan termanifestasi pada mabuk,
yang membawa pada ketidakteraturan koordinasi gerak otot dan
persepsi yang tidak akurat. Gerak otot yang tidak teratur dapat
mengakibatkan persinggungan dengan orang lain, dan memicu
pertengkaran. Persepsi yang tidak akurat dapat membawa pada
sensitivitas tinggi orang yang mabuk sehingga dengan rasa tidak
senang sedikit saja, dapat memicu kemarahan.
Ada lima cara seseorang memiliki sejarah penyalahgunaan
alkohol: (1) orang tua pemabuk, (2) mabuk-mabukan pada
saat remaja, (3) mabuk-mabukan pada saat dewasa, (4) pernah
bermasalah hukum karena mengkonsumsi alkohol, dan (5)
masuk tahanan sekarang karena perbuatan yang melibatkan
alkohol. Jadikan setiap item sebagai pertanyaan ya/tidak pada
tahanan. Jika tahanan tidak terlibat pada satupun masalah dari
lima masalah ini, tahanan mendapatkan nilai -1. Jika ada 1 atau 2
jenis masalah, tahanan mendapat nilai 0. Nilai +1 diberikan jika
tahanan memiliki tiga jenis masalah. Tahanan dengan 4 atau 5
jenis masalah mendapatkan nilai +2.

4. Status perkawinan pada saat melakukan tindak pidana


Perkawinan sedikit banyak memberikan efek untuk
memoderasi kemampuan seseorang melakukan tindak pidana.
Seorang yang awalnya gemar melakukan kekerasan dapat
menjadi lunak setelah menikah. Alasan yang paling jelas adalah
bahwa saat menikah, ia tidak lagi memikirkan dirinya sendiri,
tetapi juga suami atau istrinya, dan bahkan anak-anaknya. Jika ia

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 79


sampai terluka, apalagi meninggal, karena kekerasannya sendiri,
ia dapat membuat istri dan anaknya kehilangan pegangan hidup.
Begitu pula jika sampai ia masuk ke penjara.
Memang ada kasus KDRT yang terjadi. Biasanya kejadian
ini muncul pad awal-awal pernikahan ketika ego suami atau istri
masih tinggi dan belum mau berkompromi. Pada waktu usia
perkawinan muda, penghasilan juga belum stabil sementara ada
banyak tantangan ekonomi yang harus diatasi, terlebih kalau
ada hutang biaya perkawinan dan masih tinggal dengan mertua,
yang juga masih belum beradaptasi. Karenanya, syarat dari
telah pernah menikah adalah minimal enam bulan. Enam bulan
merupakan waktu pernikahan yang dipandang cukup stabil.
Dibawah enam bulan, pernikahan dipandang belum stabil dan
risiko perceraian dan KDRT tinggi.
Sejalan dengan status menikah, ia tidak harus masih menikah.
Intinya adalah tahanan pernah menikah dengan usia pernikahan
paling sedikit enam bulan. Pernah menikah menunjukkan kalau
walaupun bercerai, ia telah memiliki gambaran bagaimana hidup
dalam suatu keluarganya sendiri dalam waktu lama. Karenanya,
jika tahanan tidak pernah menikah atau pernah menikah tetapi
usianya hanya dibawah enam bulan, tahanan diberikan nilai +1.
Jika tahanan masih menikah atau pernah menikah paling sedikit
enam bulan lamanya, tahanan diberikan nilai -2.

5. Sejarah Kriminal Non Kekerasan


Tahanan yang sebelumnya pernah ditahan karena non
kekerasan dan ternyata melakukan kejahatan lagi, walaupun
kali ini kekerasan, menunjukkan adanya peningkatan risiko
kekerasan. Semakin banyak kejadian, semakin besar risiko
kekerasan terjadi. Sejarah kriminal non kekerasan ini diukur
menggunakan skala Cormier-Lang. Skala Cormier-Lang
mendaftarkan 22 jenis kejahatan non kekerasan. Masing-masing
memiliki bobot sendiri. Bobot ini kemudian dikalikan dengan
jumlah berapa kali seseorang ditahan karena kejahatan tersebut
sehingga diperoleh nilai akhir. Nilai akhir dijumlahkan pada
semua jenis kejahatan non kekerasan, sehingga diperoleh nilai

80 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


total. Jika tidak pernah melakukan jenis kejahatan atau tidak
pernah ditangkap untuk jenis kejahatan tersebut, nilai adalah nol
(0). Jika tahanan tidak pernah melakukan atau ditangkap pada
satupun jenis kejahatan non kekerasan, tahanan diberikan skor
-2. Jika skor total 1 atau 2, nilai yang diberikan 0. Jika skor 3 atau
lebih, nilai yang diberikan +3.

6. Adapun daftar kejahatan non kekerasan berdasarkan bobot


antara lain:
a) Bobot 1
• Membakar tempat sampah.
• Mencuri barang atau memiliki barang curian dengan
harga dibawah Rp 10 juta.
• Melakukan pencurian atau penyelewengan barang
milik umum atau pribadi dengan nilai di bawah Rp
10 juta.
• Menerobos masuk dengan atau tanpa sengaja.
• Dokumen palsu, identitas palsu.
• Memiliki senjata terbatas atau terlarang.
• Mengajak orang menjalankan prostitusi atau menjadi
mucikari.
• Mengedarkan narkoba.
• Berkendara secara ugal-ugalan atau tanpa
kewaspadaan.
• Menghalangi penegakan hukum, termasuk menolak
ditahan.
• Menyebabkan gangguan umum.
• Memakai sesuatu yang ditujukan untuk membantu
pelaksanaan kejahatan.

b) Bobot 2
• Mengancam dengan lisan.
• Menerobos masuk dan melakukan perampokan.
• Pornografi atau berbuat tidak senonoh di muka
umum.

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 81


c) Bobot 3
• Pencopetan
• Mengancam dengan senjata tajam

d) Bobot 5
• Membakar rumah ibadah, rumah, atau gudang.
• Mencuri dan lari, termasuk mencuri kendaraan dan
memiliki barang curian dengan nilai lebih dari Rp 10
juta.

• Melakukan pengrusakan atau penyelewengan barang


milik umum maupun pribadi, dengan nilai lebih dari
Rp 10 juta.
• Pemerasan dan penggelapan.

e) Bobot 7 (hanya satu jenis kejahatan)


• Perampokan bank atau toko
• Gagal mematuhi pembebasan bersyarat

Kegagalan ini termasuklah melakukan pelanggaran ketika


penegak hukum memutuskan tahanan untuk tidak ditahan.
Termasuk pula kegagalan ini adalah ditangkap karena perbuatan
lain pada saat ia dalam situasi sedang menunggu persidangan
di luar tahanan. Tahanan akan mendapatkan nilai +3 jika
melakukan salah satu perbuatan tersebut, dan mendapat nilai 0
jika tidak pernah melakukannya.

7. Usia pada saat melakukan kejahatan


Jika usia tahanan tergolong muda saat melakukan
kejahatan, ini merupakan tanda kalau tahanan tersebut tidak
mampu menahan diri untuk melakukan kekerasan. Jika kejahatan
dilakukan pada usia 39 ke atas, berikan nilai -5. Jika kejahatan
mulai dari usia 34 – 38, berikan nilai -2. Jika kejahatan mulai usia
28 hingga 33 tahun, berikan nilai -1. Kejahatan pada usia 27 tahun
mendapat nilai 0. Tahanan yang melakukan kejahatan pada usia
26 atau lebih rendah mendapatkan nilai +2.

82 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


8. Derajat cedera korban
Hasil penelitian menunjukkan fakta yang menarik. Semakin
parah efek kekerasan yang diberikan seorang pelaku, semakin
kecil kemungkinan ia melakukan kekerasan lagi. Artinya,
seorang pembunuh atau pemutilasi justru lebih tenang daripada
seorang yang terus menerus melakukan KDRT. Alasannya
sebenarnya masuk akal. Dalam melakukan kekerasan, seseorang
akan memiliki derajat kepuasan tertentu. Seorang yang benci
dan menginginkan orang lain mati, lalu berbuat kekerasan, tidak
akan berhenti berbuat kekerasan sampai orang tersebut mati.
Artinya, cedera ringan akan mendorong perbuatan kekerasan
berulang. Jika korban mati, baru ia berhenti dan merasa puas.
Akibatnya, dalam kasus ini, sesungguhnya jika korban pelaku
meninggal dunia, nilai yang diberikan rendah, yaitu -2. Jika
korban pelaku masuk rumah sakit, nilainya 0. Jika korban pelaku
mengalami cedera tetapi disembuhkan, nilainya +1. Sementara
itu, jika hanya cedera ringan, tidak ada cedera, atau bahkan
tidak ada korban (karena bukan pidana kekerasan), maka nilai
yang diberikan adalah +2.

9. Korban perempuan
Sama halnya dengan cedera korban, jenis kelamin korban
laki-laki akan lebih mendorong kekerasan ketimbang perempuan.
Pelaku tindak pidana memiliki tingkat kekerasan rendah
jika korban perempuan karena sejumlah alasan. Pertama, ia
mungkin tidak berani dengan laki-laki sehingga hanya bisa pada
perempuan yang dipersepsi lemah olehnya. Kedua, kekerasan
dengan perempuan umumnya pada kasus KDRT, dan ini
berbeda dengan kasus kekerasan dengan orang di luar keluarga.
Ketiga, pelaku kekerasan umumnya laki-laki dan menganggap
dirinya berkuasa atas perempuan. Sebaliknya, jika korban
laki-laki, ada semacam persaingan yang terus menerus, yang
akhirnya membawa pada kekerasan berulang. Alasan-alasan
di atas membuat penilaian jenis kelamin perempuan bersifat
negatif. Artinya, jika tahanan memiliki korban perempuan, maka

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 83


diberikan nilai -1. Jika tahanan memiliki korban laki-laki atau
tidak ada korban sama sekali, tahanan diberikan skor +1.

10. Memiliki gangguan kepribadian


Ada sejumlah jenis gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian ambang batas (Borderline Personality Disorder)
membuat seseorang mengalami gangguan kognitif dan
emosional yang termanifestasi dalam berubah-ubahnya emosi
secara drastis, dari awalnya sangat marah, menjadi sangat
sayang, atau dari sangat senang, menjai sangat sedih. Ada
pula gangguan kepribadian obsesif kompulsif yang membuat
seseorang menginginkan sesuatu dengan amat sangat dan ketika
memilikinya, amat sangat tidak ingin melepaskannya. Secara
total, ada 10 jenis gangguan kepribadian, dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu kelompok aneh-eksentrik, kelompok dramatis-
emosional, dan kelompok cemas-takut. Tergolong kelompok
aneh-eksentrik adalah gangguan kepribadian paranoid (mudah
ketakutan pada sesuatu), gangguan kepribadian skizotipal (takut
dengan orang lain), dan gangguan kepribaian skizoid (hanya
ingin hidup sendiri karena tidak merasa perlu berhubungan
sosial).
Tergolong kelompok dramatik-emosional adalah gangguan
antisosial (tidak peduli dengan masalah atau hak orang lain
sama sekali), garis batas/bipolar (berubah emosi dengan
drastis), histrionik (terlalu mencari perhatian secara berlebihan
dengan tindakan-tindakan emosional), dan narsistik (terlalu
sombong dengan diri sendiri dan ingin mendapatkan pujian
serta tidak memiliki empati dan sangat rentan kritik). Sementara
itu, gangguan kepribadian cemas-takut terdiri dari gangguan
kepribadian penghindaran (selalu ingin menyendiri), tergantung
(selalu ingin bantuan orang lain), dan obsesif-kompulsif (terlalu
menginginkan sesuatu atau menjaga sesuatu). Terdapat pula dua
kepribadian yang dahulu dianggap gangguan kepribadian tetapi
sekarang tidak tergolong lagi yaitu pasif-agresif (terlalu menahan
diri lalu meledak) dan depresif (rasa sedih berkepanjangan).

84 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Pasif-agresif dan depresif saat ini dipandang sebagai penyakit
mental, ketimbang gangguan mental. Penyakit mental dapat
disembuhkan sama sekali, sementara gangguan mental hanya
dapat ditekan, tidak dapat disembuhkan.
Kelompok dramatik-emosional adalah kelompok
yang paling mungkin melakukan tindak kekerasan. Sebagai
contoh, orang antisosial cenderung mengabaikan hak orang
lain, berbohong, menipu, impulsif, agresif, tidak ada empati,
dan tidak ada refleksi diri. Hal ini tidak berarti gangguan
kepribadian lainnya tidak dapat melakukan kekerasan.
Seorang obsesif-kompulsif dapat melakukan kekerasan sangat
berlebihan jika barang miliknya diambil. Kebanyakan masalah
gangguan kepribadian masuk kategori cemas-takut, terutama
obsesif-kompulsif. Jika kita ambil secara acak dalam populasi
masyarakat umum, 8% anggota masyarakat masuk dalam
kategori gangguan cemas-takut, tujuh dari delapan orang dalam
kategori gangguan ini adalah penderita obsesif-kompulsif,
sementara kedua terbanyak adalah pribadi penghindaran.
Sementara itu, hanya 6% masyarakat tergolong kelompok aneh-
eksentrik dan kebanyakan adalah pribadi paranoid. Di sisi lain,
hanya 1% masyarakat memiliki gangguan dramatik-emosional.
Penderita terbesar dalam kategori ini adalah penderita gangguan
antisosial. Artinya, kemungkinan ada 8% (penderita dramatik-
emosional dan penderita obsesif kompulsif) populasi tahanan
memiliki gangguan jenis kepribadian yang berisiko kekerasan
tinggi ini. Jika tahanan terdiagnosis mengidap gangguan
kepribadian, apapun itu, ia mendapatkan skor +3. Ini dibuktikan
oleh profesional yang bersertifikasi atau berizin. Sementara itu,
jika tidak ada gangguan kepribadian, tahanan mendapatkan
skor -2.

11. Memiliki gangguan skizofrenia


Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang umum kita
sebut sebagai ‘orang gila’ dengan berkeliaran di jalanan tanpa
berinteraksi dan justru berbicara sendiri. Penderita skizofrenia

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 85


mengalami kesulitan memisahkan antara dunia nyata dan
khayalan. Mereka memiliki kondisi emosional yang relatif
sangat stabil dan cenderung menarik diri dengan dunia sosial,
dengan keyakinan-keyakinan yang penuh dengan khayalan
dalam hubungannya dengan orang lain.
Berbeda dengan pandangan umum, orang dengan
gangguan skizofrenia sebenarnya lebih tenang dari orang normal.
Orang normal dapat membalas dendam, sementara orang
dengan gangguan skizofrenia lebih mungkin tidak membalas
dendam. Akibatnya, orang dengan kelainan skizofrenia akan
mendapatkan nilai rendah yaitu -3. Orang tanpa skizofrenia
justru akan diberi nilai +1.

12. Psikopatik atau Takson Anak dan Remaja


Pada item no. 12, tahanan dapat dinilai dengan dua
cara, yaitu melihat pada derajat psikopatik atau derajat
takson anak dan remaja. Indikator yang paling baik adalah
derajat psikopatik, tetapi uji psikopatik tergolong rumit dan
memerlukan keterlibatan ahli dalam waktu yang cukup panjang
dalam mengamati tahanan, sehingga dapat digantikan dengan
uji takson anak-remaja.
Psikopatik adalah gangguan jiwa yang paling berbahaya.
Orang psikopat tidak memiliki rasa bersalah sama sekali dan
tidak memahami adanya moralitas, refleksi diri, dan empati pada
penderitaan orang. Banyak penjahat pembunuh berantai yang
senang menyiksa korbannya sebelum membunuhnya tergolong
pada gangguan jiwa psikopat. Tetapi orang psikopat juga
memiliki manfaat besar bagi penanggulangan bencana maupun
perang. Mereka dapat tidak segan-segan terjun ke kawasan
bencana penuh mayat untuk menyelamatkan korban yang
masih hidup, semata karena mereka tidak merasa terganggung
dengan pemandangan yang memilukan dan mengerikan.
Mereka juga berguna dalam perang untuk menyerbu musuh
dan menyelamatkan sandera. Sungguh demikian, dalam konteks
normal, justru psikopat menjadi ancaman bagi kita.

86 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Uji psikopati, PCL-R (Psychopathy Checklist – Revision)
adalah suatu instrumen pengukuran terdiri dari 20 item, masing-
masing diberikan skor 0-2, yaitu 0 untuk tidak sama sekali, 1 jika
ada tetapi tidak dominan, dan 2 jika ada dengan sepenuhnya
sesuai. Total skor tertinggi yang mungkin adalah 40. Jika tahanan
memiliki skor dibawah 10, diberikan nilai -3. Jika antara 10-14
mendapat nilai -1, jika 15-24 mendapat nilai 0, 25-34 mendapat
nilai +4, dan di atas 34 mendapat skor +12. Pemberian skor
+12 adalah nilai yang sangat besar jika dibandingkan dengan
item-item VRAG lainnya. Hal ini menunjukkan besarnya
kecenderungan kekerasan pada seorang penderita gangguan
psikopat.
20 item PCL-R mencakup (1) pesona fasih dan dangkal,
(2) menganggap diri sangat megah, (3) sangat mengharapkan
semangat hidup, (4) kebiasaan berbohong, (5) licik dan
manipulatif, (6) tidak punya rasa menyesal atau rasa bersalah, (7)
daya tanggap emosional rendah, (8) tidak memiliki rasa empati
dan mati rasa, (9) gaya hidup parasitik (menunggang orang lain),
(10) pengendalian diri yang rendah, (11) tertarik secara seksual
dengan laki-laki maupun perempuan, (12) masalah perilaku pada
masa kanak-kanak, (13) tidak memiliki tujuan jangka panjang
yang realistik, (14) impulsif, (15) tidak bertanggungjawab, (16)
gagal menerima tanggungjawab atas perbuatan sendiri, (17)
banyak hubungan pernikahan jangka pendek, (18) nakal saat
kanak-kanak, (19) pencabutan pembebasan bersyarat, dan (20)
melakukan berbagai tindak pidana.
CATS (Childhood and Adolescent Taxon Scale) memeriksa
masa kanak-kanak dan remaja tahanan. CATS hanya terdiri dari
delapan pertanyaan, masing-masing hanya memiliki skor 0 dan
1. Artinya, nilai total hanya sebesar 8 jika semua terpenuhi. Jika
tahanan memiliki skor 0 atau 1, tahanan mendapat nilai -3. Nilai
0 diberikan jika tahanan memiliki skor 2 atau 3. Jika skor CATS
sebesar 4, nilai yang diberikan adalah +2. Lebih dari 4, tahanan
diberikan nilai +3.

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 87


Adapun indikator CATS mencakup:
a) Kesalahan penyesuaian diri saat SD. 0 jika tidak ada
masalah atau masalah kedisiplinan atau kehadiran kecil
atau sedang, 1 jika bermasalah parah, seperti sering
mengganggu anak lainnya, sangat jarang hadir sekolah,
atau berperilaku yang membuat dirinya dikeluarkan dari
sekolah.
b) Masalah alkohol saat remaja. 0 jika tidak, 1 jika ya.
c) Tingkat agresivitas masa kanak-kanak. 0 jika tidak
ada atau sedikit atau sedang, 1 jika sangat agresif dan
berkelanjutan.
Lebih dari tiga gejala gangguan perilaku. Dibawah empat
mendapatkan skor 0, dan 1 jika ada lebih dari tiga.
Ada 15 gejala gangguan perilaku yang dapat terjadi pada
usia di bawah 18 tahun:
1) Sering di bully, diancam, atau diintimidasi orang
lain.
2) Sering memicu perkelahian.

3) Memakai senjata yang dapat melukai serius orang lain,


misalnya pentungan, bata, botol pecah, pisau, senjata
api.
4) Secara fisik kejam pada orang lain dan Secara fisik
kejam pada hewan.
5) Mencuri di saat ada korban, misalnya merampas,
mencopet, memeras, atau merampok.
6) Memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.
7) Sengaja menyalakan api dengan niat mengakibatkan
kerusakan serius. Atau Sengaja merusak hak milik
orang lain, tidak dengan cara membakar.
8) Menerobos masuk rumah, mobil, atau bangunan orang
lain.
9) Sering berbohong untuk mendapatkan barang atau
bantuan atau menghindari kewajiban, termasuk
memalsukan identitas.

88 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


10) Mencuri barang tanpa berhadapan dengan korban,
seperti mengutil, mencuri, atau memalsukan.
11) Sebelum usia 13 tahun, tetap terjaga hingga larut
malam, walaupun dilarang orang tua. Lari dari rumah
sepanjang malam atau lebih lama lagi, setidaknya dua
kali saat tinggal dengan orang tua atau wali, atau sekali
tanpa kembali ke rumah untuk waktu yang lama.
12) Sebelum usia 13 tahun, sering membolos sekolah.
Pernah dicekal atau dikeluarkan dari sekolah. 0 jika
tidak pernah, 1 jika pernah.
13) Ditahan pada usia dibawah 16 tahun. 0 jika tidak
pernah, 1 jika pernah.
14) Orang tua pemabuk. 0 jika tidak, 1 jika pernah.

15) Hidup dengan orang tua kandung hingga usia 16 tahun


(kecuali orang tua meninggal). 0 jika ya, 1 jika tidak.
Sebagai contoh penilaian, kita dapat menghipotesiskan
adanya seorang tahanan, katakanlah si A. Si A ini hidup dengan
orang tua kandung dari lahir hingga usia 16 tahun (-2). Ia punya
sedikit masalah kehadiran saat di SD (+2). Orang tuanya pemabuk
dan ia sendiri suka minum minuman keras pada saat dewasa
(0). Saat ditangkap, ia masih bujangan (+1). Sebelumnya ia tidak
pernah ditangkap atas kejahatan non kekerasan (-2). Tetapi
ia pernah ditangkap karena kekerasan dan gagal mematuhi
perintah pembebasan bersyarat (+3). Saat ia ditangkap, usianya
35 tahun (-2). Korban kejahatannya sampai masuk ke rumah sakit
(0). Korban ini perempuan (-1). Tahanan tidak punya gangguan
kepribadian (-2) dan juga tidak ada gangguan skizofrenia (+1). Uji
psikopati menunjukkan kalau ia memiliki skor 30 (+4). Dengan
profil tahanan seperti ini, maka tahanan secara total memiliki
skor 2. Nilai 2 masuk kategori berpotensi kekerasan sedang.
Karenanya, ia masih bisa mengikuti kegiatan pemanfaatan
kecakapan dan kreativitas, tetapi di bawah pengawasan ketat.

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 89


B. Risiko Bunuh Diri
Niat bunuh diri pada tahanan diketahui dipengaruhi
oleh adanya lima faktor, yaitu impulsivitas agresi, sejarah
keluarga pernah ada yang menyakiti diri sendiri atau bunuh
diri, pernah menyakiti diri sendiri, punya masalah kejiwaan,
dan hidupnya penuh keputus-asaan. Pada gilirannya, hasrat
bunuh diri ini ditopang oleh lima hal pula, yaitu pernah trauma
di masa kecil, ada deprivasi emosional (kurang kasih sayang),
kejadian traumatik di saat masih usia dini, adanya kejadian
traumatik baru-baru ini (baik di dalam maupun diluar tahanan),
dan dukungan sosial yang rendah. Termasuk dalam kejadian
traumatik di dalam tahanan mencakuplah tidak adanya kegiatan
yang bermakna seperti pekerjaan, pendidikan, atau pemanfaatan
kecakapan dan kreativitas, dalam situasi sedang menghilangkan
kecanduan terhadap narkoba atau alkohol, mendapatkan berita
buruk, berada di satu sel atau dipisahkan dari lainnya, mengalami
kekerasan di dalam penjara, dan kebosanan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, tentunya
penilaian dapat diberikan untuk masing-masing faktor.
Penilaian ini dapat dilakukan oleh ahli di bidang psikiatri.
Nilai yang tinggi pada faktor risiko menunjukkan kalau tahanan
perlu mendapatkan pengawasan dengan hati-hati dan dilibatkan
dalam kegiatan-kegiatan yang menghilangkan pikirannya dari
niat untuk bunuh diri. Artinya, wajib bagi tahanan dengan
risiko tinggi bunuh diri untuk diikut sertakan dalam kegiatan
pemanfaatan kecakapan dan kreativitas tahanan.

C. Kejahatan terhadap Nyawa


Kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan adalah
kejahatan yang tergolong langka di Indonesia. Kejahatan ini hanya
mencakup 0,5% dari jumlah kejahatan yang ada di masyarakat.
Tahun 2013, hanya ada 1.386 kasus kejahatan pembunuhan pada

90 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


250 juta penduduk Indonesia. Ini berarti hanya ada satu kejadian
pembunuhan per 180 ribu penduduk.
Faktor yang memicu pembunuhan dapat sangat beraneka
ragam. Motif pencurian yang dipergoki atau sengaja mengancam
dan terealisasi, sakit hati, cemburu, pertengkaran, dan bahkan
karena masalah sepele, seperti kerap buang sampah di kontrakan.
Pelaku pun dapat sangat beraneka ragam, dari guru, sekuriti, atau
bahkan PNS. Para peneliti menemukan bahwa kecenderungan
pembunuhan terjadi adalah karena faktor kemiskinan,
diskriminasi dan keadilan sosial, dan perceraian. Kemiskinan
di perkotaan yang padat penduduk dan banyak memiliki
pendatang, membuat masyarakat kurang memiliki dukungan
pengawasan bersama, kurang memiliki kesetiakawanan sosial
dengan perilaku saling membantu dan gotong royong, dan lebih
mentolerir kekerasan dan ketidak-teraturan. Keluarga miskin
juga kurang disiplin dan cenderung lebih keras dengan anggota
keluarga lainnya. Mereka juga sering menggunakan kekuatan
fisik dan sering bertengkar.
Di sisi lain, orang yang miskin kurang memiliki harapan
masa depan, kurang cakap mengatasi masalah dengan cara
non fisik, dan hidupnya cenderung organik, dalam artian
masih berusaha mencari kesejahteraan fisik (misalnya uang).
Orang yang hidup dalam keluarga yang kurang harmonis
juga mencerminkan kurang memiliki kecakapan interpersonal
dan kesabaran untuk memecahkan masalah dan lebih sering
berkunjung ke tempat-tempat berisiko seperti karaoke atau klab
malam. Keluarga pun kurang saling mengawasi dan mendukung,
bahkan dapat saling konflik satu sama lain. Faktor lain adalah
pengangguran dan kurangnya pendidikan.
Kecakapan tersangka pembunuhan dapat berhubungan
dengan pekerjaannya atau kasus pembunuhan itu sendiri.
Pembunuhan yang menggunakan senjata tertentu mungkin
memiliki kecakapan tertentu dalam menggunakan senjata,
misalnya kecakapan penggunaan senjata api. Tetapi dalam hal
kecakapan interpersonal, biasanya pelaku pembunuhan kurang
mampu. Itu mengapa ia membunuh. Ia tidak dapat lagi mengatasi

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 91


masalah dengan cara yang arif dan non-fisik. Selain itu, kurangnya
pendidikan dan status pengangguran pada pelaku dapat pula
mencerminkan kurangnya kecakapan yang umumnya diperoleh
lewat pendidikan. Bahkan pada kasus hilangnya nyawa karena
tidak sengaja, kecerobohan yang menjadi faktor penyebabnya
mencerminkan kurangnya kecakapan atas hal yang membuat ia
ceroboh. Tetapi banyak pula kecakapan dari pelaku pembunuhan
sangat tinggi dalam pekerjaan yang ia tekuni sebelum menjadi
tahanan. Sebelumnya ia dapat seorang sopir, seorang guru, atau
seorang petani, yang sejauh pembunuhan tidak berhubungan
dengan pekerjaan tersebut, berarti memiliki kecakapan dalam
bidang mengemudi, mengajar, atau bertani.
Sejalan dengan tingginya keanekaragaman kecakapan,
kreativitas dari tersangka pembunuhan dapat sangat beraneka
ragam. Beberapa memiliki tingkat kreativitas yang besar dan
bahkan menggunakannya untuk melakukan pembunuhan.
Sebagai contoh, pelaku terorisme memiliki kreativitas tinggi
dalam merakit bom atau merencanakan teror. Ada di balik
kreativitas ini adalah kecakapan dalam merencanakan dan
merakit piranti elektronik atau mungkin zat kimia.

D. Kejahatan Terhadap Fisik (Badan)


Kejahatan terhadap fisik atau badan mencakup
penganiayaan berat, penganiayaan ringan, dan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT). 17% dari kejahatan di Indonesia
merupakan bentuk kejahatan terhadap fisik (badan). Sebagian
terbesar dari kejahatan terhadap fisik berupa penganiayaan
ringan (43%), sementara sisanya adalah penganiayaan berat
(35%) dan kekerasan dalam rumah tangga (22%).
Para ahli melihat bahwa faktor perilaku perinatal, yaitu
perilaku yang diterima janin dalam kandungan dari orang tuanya,
merupakan faktor yang berperan membentuk kecenderungan
seseorang pada kekerasan. Janin yang dibesarkan oleh ibu yang

92 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


meminum minuman keras atau narkoba dapat mengakibatkan
janin lahir dengan kecenderungan lebih besar untuk bertindak
kekerasan dibandingkan anak yang normal. Tetapi faktor ini
dapat dihilangkan jika orang tua membesarkannya dengan
penuh kasih sayang.
Pelaku tindak kekerasan juga diketahui memiliki
pengalaman pernah menjadi korban tindak kekerasan dan tidak
memiliki keberfungsian sosial yang baik. Sementara itu, untuk
kasus KDRT, pelaku biasanya berasal dari keluarga yang tidak
memiliki anak, mengalami masalah ekonomi, dan juga pernah
mengalami kekerasan berulang dari orang tua atau mertuanya.
Individu dengan penyakit mental tertentu juga cenderung
memiliki tingkat kekerasan yang tinggi.
Dengan kata lain, tersangka tindak kekerasan mungkin
memiliki latar belakang orang tua yang tidak harmonis yang
terjadi setidaknya saat dirinya sedang dikandung, pernah
menjadi korban tindak kekerasan, kurang mampu bergaul secara
sosial dengan baik, dan secara khusus pada kekerasan KDRT,
tidak memiliki anak, bermasalah ekonomi, dan atau mengalami
kekerasan dari orang tua atau mertua. Melihat pada latar belakang
ini, pelaku tindak kekerasan juga dapat datang dari profesi mana
saja, tetapi akan kecil kemungkinan kalau mereka merupakan
pelaku dengan profesi yang melibatkan kecakapan interpersonal
dan sosial karena mereka kurang cakap dalam hal ini. Jikapun
profesinya sebelum ditahan memang profesi yang memerlukan
kecakapan interpersonal, misalnya polisi atau anggota dewan,
maka kita dapat menyatakan bahwa kecakapan mereka rendah
dalam bidang tersebut. Malahan, bisa jadi keterlibatan sosialnya
dalam profesi tersebutlah yang memicu tindak kekerasan yang
membuatnya ditahan.
Kaitan kekerasan dengan kreativitas dapat bersifat imbal
balik. Seseorang yang kreatif dapat menghasilkan karya seni
yang mengandung kekerasan, seperti film pembunuhan, games
kekerasan, atau bahkan sinetron yang menggambarkan kekerasan
dalam rumah tangga, yang pada gilirannya menginspirasi orang
lain yang memiliki faktor-faktor kekerasan untuk melakukan

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 93


pidana kekerasan dengan cara tersebut. Tetapi orang yang
membuat film atau games belum tentu pelaku kekerasan. Bisa
jadi mereka justru menggunakan kreativitas sebagai bentuk
koping, yaitu upaya menyalurkan hasrat kekerasannya pada
sesuatu yang tidak melanggar hukum. Dengan cara ini, maka
mungkin, seorang pelaku pidana kekerasan memiliki kreativitas
dalam seni berbasis cerita. Tetapi sayangnya, kita mungkin
tidak menginginkan kreativitas semacam ini karena kreativitas
semacam ini dapat provokatif.
Dalam hal kecakapan, semua pelaku kekerasan dapat
memiliki kecakapan dalam profesi yang ia geluti sebelum
ditahan, sejauh profesi tersebut tidak melibatkan kebutuhan
untuk kecakapan interpersonal. Sebagai contoh, seorang pekerja
yang berurusan dengan benda mati seperti teknisi. Sementara itu,
pelaku kekerasan tidak dapat diharapkan memiliki kecakapan
bawaan berupa kecakapan interpersonal, seperti kecakapan
resolusi konflik dan kecakapan tinggi dalam pemecahan masalah.
Hal ini karena orang yang memiliki kecakapan pemecahan
masalah, begitu pula orang yang memiliki kecakapan resolusi
konflik, secara signifikan lebih kecil kemungkinannya terlibat
dalam kekerasan.

E. Kejahatan Terhadap Kesusilaan


Kasus kejahatan terhadap kesusilaan biasanya melibatkan
kecakapan interpersonal yang tinggi. Kecakapan ini penting bagi
pelaku untuk merayu korban sehingga dapat dilecehkan secara
seksual. Tetapi kita juga dapat berargumen kalau seorang pelaku
kejahatan kesusilaan rendah dalam kecakapan interpersonal
karena akhirnya menempuh jalan kekerasan seksual untuk
memuaskan nafsu ketimbang meyakinkan pasangan dalam
hubungan yang sehat. Untuk melihat derajat kecakapan ini,
kita perlu membedakan apakah kejahatan terhadap kesusilaan
tersebut merupakan bentuk kekerasan atau tidak. Kejahatan

94 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


terhadap kesusilaan yang mengandung kekerasan dapat dilihat
sebagai suatu bentuk defisit kecakapan interpersonal, sementara
kejahatan yang tidak mengandung kekerasan, seperti penipuan
sehingga korban mau bersetubuh atau dilecehkan secara seksual,
adalah bentuk kejahatan dengan kecakapan sosial yang tinggi.
Tetapi dapat pula, tanpa kekerasanpun, kita dapat melihat
kecakapan sosial yang rendah, jika modus yang digunakan tidak
secara langsung berupa rayuan atau penipuan. Contoh modus
ini adalah dengan membuat korban mabuk sehingga dapat
dilecehkan. Artinya, kembali ke kasus masing-masing kejahatan
terhadap kesusilaan.
Kajian pada bidang kejahatan terhadap kesusilaan
menunjukkan kalau kejahatan ini dapat mengandung beberapa
faktor seperti alkohol, berpendidikan tinggi tetapi menganggur,
berusia menengah (remaja hingga dewasa), tinggal di kota,
gemar berpariwisata, dan mudah menjadi agresif. Faktor
yang menarik untuk disorot adalah pendidikan tinggi tetapi
menganggur. Berpendidikan tinggi membuat orang berpikir
lebih bebas tetapi karena menganggur, ia dapat menghalalkan
cara lain untuk mendapatkan kepuasan seksual, misalnya
dengan kejahatan seksual.
Adanya faktor pendidikan sekaligus pengangguran
memunculkan masalah untuk menarik kecakapan, yang tergolong
selain masalah kecakapan interpersonal, dari pelaku kejahatan
seksual. Jika ia berpendidikan, maka ia semestinya memiliki
kecakapan yang tinggi. Tetapi kenapa kemudian ia menganggur?
Bukankah ini berarti dunia kerja tidak menganggapnya
memiliki kecakapan? Gap dapat hilang jika kita melihat bahwa
orang yang berpendidikan tinggi setelah lulus tidak memilih
untuk mencari kerja sama sekali. Akibatnya dunia kerja tidak
mengenali kecakapannya. Sebaliknya, orang ini akan memilih
melakukan kegiatan hedonik seperti jalan-jalan ke berbagai
tempat wisata. Di beberapa tempat, paparan hedonisme dari
seksualitas seperti PSK atau minuman beralkohol lebih besar,
dan karenanya lebih memungkinkan ia melakukan kekerasan

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 95


seksual. Jadi, kita dapat mengatakan kalau para pelaku kejahatan
seksual umumnya berkecakapan tinggi dalam bidang non sosial.
Mereka hanya tidak mau mencari pekerjaan untuk menyalurkan
kecakapannya. Jika rutan ingin memanfaatkan kecakapan ini,
maka rutan pertama kali harus menyadarkan bahwa tersangka
kejahatan seksual memiliki kecakapan yang dapat berguna bagi
dirinya dan masyarakat terlebih dahulu.
Bercermin dari banyak kasus di Indonesia, pelaku
kejahatan kesusilaan dapat datang dari berbagai latar belakang
seperti pengangguran yang memperkosa pelajar, wisatawan
yang memperkosa penduduk asli, ayah yang memperkosa anak
kandung, suami yang memperkosa anak tiri, tokoh agama yang
memperkosa murid, dan bahkan pejabat PNS yang memperkosa
stafnya sendiri. Artinya latar belakang kecakapan pelaku
kejahatan kesusilaan dapat beraneka ragam dan dapat tidak
berhubungan dengan tindak pidana yang ia lakukan. Kejahatan
terhadap kesusilan adalah jenis kejahatan yang jarang terjadi di
Indonesia. Proporsinya terhadap kejahatan total di Indonesia
hanya sebesar 1,9%. Mayoritas (65%) dari kejahatan terhadap
kesusilaan hanya berbentuk pencabulan, sementara sisanya,
35% adalah perkosaan.
Kejahatan terhadap kesusilaan tidak memerlukan derajat
kreativitas tertentu. Pelaku dapat semata memiliki kesempatan,
ketimbang mencari kesempatan secara kreatif untuk melakukan
tindak pidana perkosaan atau pelecehan seksual. Tetapi beberapa
bentuk kejahatan seksual memang mampu mengandung elemen
kreativitas. Seorang tokoh spiritual membangun sendiri cara
untuk memanipulasi pengikutnya untuk dapat dilecehkan
secara seksual. Artinya, seorang pelaku kejahatan kesusilaan
mungkin saja memakai cara manipulatif, seperti telah disebutkan
di atas, untuk memikat korban. Kembali, hal ini membutuhkan
peran petugas rutan untuk melihat kasus per kasus. Apakah
kasus tersebut melibatkan manipulasi atau semata kekerasan
situasional.

96 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


F. Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang
Pelaku kejahatan terhadap kemerdekaan orang umumnya
memiliki latar belakang sebagai petugas keamanan atau bagian
dari suatu organisasi. Hal ini karena kejahatan terhadap
kemerdekaan orang biasanya memerlukan suatu kegiatan
terkoordinir. Dalam bentuk penculikan, kegiatan terkoordinir
mulai dari menculik, menahan korban, hingga untuk kebanyakan
kasus, meminta tebusan. Sementara itu, untuk penggunaan
pekerja anak, pelaku sendiri merupakan suatu bagian dari
organisasi bisnis yang mempekerjakan anak tersebut. Akibatnya,
kejahatan terhadap kemerdekaan orang adalah kejahatan dengan
pelaku yang umumnya tidak tunggal.
Gambaran ini menunjukkan kalau kecakapan yang
dapat diidentifikasi dengan pasti pada pelaku kejahatan
terhadap kemerdekaan adalah kecakapan merencanakan dan
kecakapan bekerjasama. Kecakapan merencanakan terlihat
dari bagaimana kejahatan direncanakan seperti bagaimana
terhindar dari polisi atau diketahui saat menculik. Kecakapan
bekerjasama termanifestasi saat pelaku melakukan koordinasi
dalam kelompok untuk melakukan penculikan. Kecakapan
interpersonal dapat pula berperan penting dapat melakukan
negosiasi. Sejalan dengan ini pula, kreativitas dapat berperan
besar dalam upaya menjalankan aksi penculikan.
Kejahatan terhadap kemerdekaan adalah jenis kejahatan
yang tergolong jarang. Hanya 0,7% dari semua kasus
kejahatan tergolong kejahatan terhadap kemerdekaan. 80%
dari semua kejahatan terhadap kemerdekaan adalah kejahatan
mempekerjakan anak di bawah umur, yang seringkali tidak
disadari pelaku sendiri sebagai suatu bentuk kejahatan. Sisanya
20% adalah kejahatan penculikan.

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 97


G. Kejahatan terhadap Hak Milik/Barang dengan atau
Tanpa Penggunaan Kekerasan
Kejahatan pencurian atau perampokan dengan kekerasan
lebih mungkin terjadi di daerah dengan penduduk tidak tetap
yang tinggi seperti perkotaan atau kawasan wisata. Kecakapan
yang terlibat dalam kejahatan ini dapat rendah (sehingga ia
ketahuan dan terpaksa memakai cara kekerasan) atau tinggi
(dalam artian aspek perencanaan kekerasan). Tetapi semestinya
lebih rendah dari kejahatan terhadap hak milik/barang tanpa
kekerasan karena dalam hal ini, kecakapan terhindar dari
ketahuan memerlukan kecakapan tinggi.
Kajian kriminologi oleh Heckmen dan Rubinstein tahun
2001 menunjukkan kalau ketika dibandingkan antara pelajar
drop-out SMA, pelajar drop-out yang mendapatkan kesempatan
kedua untuk sekolah kembali, dan pelajar yang lulus dari SMA,
ternyata pelajar drop-out yang mendapatkan kesempatan kedua
untuk sekolah kembali adalah kelompok yang paling mungkin
menjadi pelaku tindak pidana pencurian, perampokan, atau
pengutilan. Alasannya adalah mereka memiliki kecakapan yang
tinggi, tetapi tidak andal dalam mengikuti pendidikan. Mereka
adalah orang yang putus sekolah bukan karena tidak mampu
(bodoh) tetapi karena faktor lain, misalnya kenakalan remaja
atau pencurian. Hal ini berimplikasi bahwa para pelaku tindak
pidana pencurian memiliki kecakapan yang tinggi, walaupun
mereka mungkin tidak berpendidikan atau putus sekolah.
Dalam konteks pencurian di tempat kerja, penelitian
Chen dan Sandino menunjukkan kalau kecakapan yang tinggi
mengurangi kejahatan pencurian oleh pegawai. Hal ini seperti
membantah pandangan kalau orang berkecakapan tinggi
melakukan pencurian. Adanya perbedaan pandangan ini
mungkin menunjukkan kaitannya dengan kreativitas ketimbang
kecakapan. Orang yang berkecakapan rendah lebih mungkin
mencuri, seperti dalam kasus pencurian di kantor. Tetapi orang
yang berkreativitas tinggi juga lebih mungkin mencuri, seperti

98 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


kasus pada pelajar SMA. Gabungan dari dua pernyataan ini
adalah bahwa seorang pencuri kemungkinan besar memiliki
kecakapan rendah, tetapi kreativitas tinggi.
Pelaku perampokan sendiri dapat berhubungan dengan
masalah ini. Seringkali perampokan dilakukan oleh mantan
karyawan atau bahkan karyawan yang masih aktif. Hal ini
menunjukkan kalau ia memiliki kecakapan rendah, sehingga di
PHK atau mendapat gaji rendah di kantornya, tetapi memiliki
kreativitas tinggi, sehingga mampu melakukan perampokan.
Kejahatan terhadap hak milik/barang adalah bentuk kejahatan
yang paling umum terjadi. Gabungan antara kejahatan
hak milik/barang dengan kekerasan dan tanpa kekerasan
menyusun 52% dari total kejahatan yang terjadi di Indonesia.
Kebanyakan (91%) dari kejahatan terhadap hak milik/barang
adalah kejahatan tanpa kekerasan, sementara sisanya 9% adalah
kejahatan dengan kekerasan. Dalam kategori kejahatan terhadap
hak milik/barang dengan kekerasan, mayoritas adalah kekerasan
tanpa senjata (89%), sementara 7% dengan menggunakan
senjata tajam dan 4% dengan senjata api. Sementara itu, dalam
kategori kejahatan terhadap hak milik/barang tanpa kekerasan,
37% adalah pencurian dengan pemberatan, 35% pencurian
kendaraan bermotor, 21% pencurian saja, 6% pengrusakan atau
penghancuran barang, 0,5% pembakaran dengan sengaja, dan
0,4% penadahan.

H. Kejahatan Narkoba
Kejahatan narkoba, dalam artian kegiatan memproduksi
dan mengedarkan narkoba, merupakan kejahatan yang memiliki
tingkat kecakapan tinggi. Kegiatan memproduksi narkoba
memerlukan kecakapan dalam bidang kimia sementara kegiatan
menjual narkoba memerlukan kecakapan di bidang interpersonal
agar dapat memasarkan produk tanpa diketahui aparat. Seperti
halnya bidang litbang dan pemasaran di perusahaan biasa,

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 99


antara produsen dan pengedar dapat saling melengkapi.
Produsen tidak memiliki kecakapan sosial yang tinggi sehingga
bergelut di tempat rahasia terpencil untuk memproduksi barang
haram ini. Sementara itu, pengedar tidak memiliki kecakapan
umum di masyarakat sehingga menjadi pengangguran dan
terpaksa menjual narkoba, lewat kecakapan interpersonalnya,
demi memperoleh penghasilan. Penelitian menunjukkan kalau
pengedar narkoba umumnya tidak memiliki kecakapan kerja
yang dapat membuatnya memperoleh pekerjaan yang layak,
pernah memiliki sejarah kriminal, dan memiliki gaya hidup
yang kacau. Di sisi lain, pengguna narkoba dapat datang dari
profesi dan kecakapan apa saja, mulai dari pelajar hingga bahkan
selebriti, mulai dari pengangguran hingga polisi sendiri.
Kejahatan narkoba menyusun 7,6% jumlah kejahatan yang
terjadi di Indonesia. Ia merupakan jenis kejahatan keempat
terbanyak, setelah pencurian tanpa kekerasan, kekerasan, dan
kejahatan penipuan, penggelapan, dan korupsi. Kreativitas yang
tinggi dapat berperan baik pada pengguna, pengedar, maupun
produsen narkoba. Kreativitas pada pengguna dalam bentuk
upaya menghindari deteksi petugas keamanan, sama seperti
kreativitas pengedar, yang bahkan dapat mencakup upaya
mencari cara lolos dari razia atau pemeriksaan. Sementara itu,
kreativitas pada produsen terletak pada upaya mencari cara
baru memproduksi narkoba baik dalam hal zat aktif maupun
cara yang tidak terdeteksi pemeriksaan.

I. Penipuan, Penggelapan, dan Korupsi


Pelaku penipuan, penggelapan, dan korupsi memiliki
karakteristik khas. Dalam kasus penipuan, pelaku umumnya
adalah pengusaha yang menipu konsumen, seorang ahli TI yang
menipu masyarakat, PNS yang menipu peserta seleksi CPNS,
guru spiritual yang menipu pengikutnya, dan bahkan anggota
DPR yang menipu berbagai perusahaan. Semua memiliki

100 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


karakteristik yang sama, yaitu memiliki kekuasaan, baik itu
mencakup kekuasaan birokratif atau kekuasaan pengetahuan.
Keduanya, pada gilirannya, adalah kekuasaan yang diperoleh
lewat kecakapan tertentu. Intinya, para pelaku penipuan memiliki
kecakapan tinggi yang memungkinkan dirinya dipercaya oleh
korban.
Penggelapan memiliki karakter yang berbeda. Pada
kasus penggelapan, pelaku sering merupakan teman dekat
atau keluarga dekat, dan kadang pula pengusaha dalam kasus
penggelapan pajak. Tetapi semua memiliki kesamaan dalam
konteks kecakapan, yaitu kecakapan interpersonal. Kecakapan
interpersonal diperlukan agar orang mempercayai dirinya
dengan sejumlah uang, atau membuat pejabat pemerintah
terdorong untuk menerima suap. Khusus dalam kejahatan
penggelapan pajak, kecakapan akuntansi dan manajemen
keuangan juga diperlukan untuk menutupi jejak pelaku dari
petugas pajak. Dalam kasus korupsi, pelaku pada umumnya
adalah perusahaan, kepala daerah, keluarga pejabat, dan
PNS. Semua umumnya memiliki kecakapan interpersonal dan
keuangan untuk menutupi jejak perilaku korupsi yang mereka
lakukan. Penipuan, penggelapan, dan korupsi merupakan jenis
kejahatan kedua terbesar di Indonesia dengan persentase 19%
dari seluruh jenis kejahatan. Mayoritas (56%) bentuk kejahatan
dalam kelompok ini adalah penipuan, 43% adalah penggelapan,
dan hanya 1% kejahatan korupsi.

J. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum


Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan
kategori kejahatan yang disebutkan dalam KUHP Buku Kedua:
Kejahatan, Bab V. Kategori kejahatan ini cukup banyak tetapi
pada dasarnya berupa penodaan terhadap bendera kebangsaan,
lagu kebangsaan, dan lambang negara; menyatakan perasaan
tak baik terhadap pemerintah; menyatakan perasaan tak baik

Bab 5 Manajemen Resiko Kekerasan dan Bunuh Diri 101


terhadap golongan tertentu atas dasar agama, daerah, suku, asal
usul, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum
kenegaraan; menghasut di muka umum; menawarkan bantuan
untuk melakukan tindak pidana; pembujukan yang gagal; tidak
melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu; merusak
keamanan di rumah (Huisvrede-breuk); memasuki ruangan
dinas umum (openbare dienst); turut serta dalam perkumpulan
terlarang; mengganggu ketentraman (misalnya mengeluarkan
teriakan atau tanda palsu); mengganggu dan merintangi rapat
umum, upacara keagamaan, atau upacara penguburan jenazah.
Selain itu, terdapat pula bentuk pelanggaran ketertiban umum
di pasal 503-520 KUHP, termasuk di dalamnya membuat gaduh,
mengemis, menggelandang, menjadi mucikari, memakai gelar
palsu, tanda pengenal palsu, nama palsu, atau pakaian seragam
tanpa hak, akad gadai gelap, pekerjaan tanpa izin, memakai
barang orang lain tanpa hak, pindah tanpa melapor, menginap
di hotel tanpa tercatat, transaksi pakaian seragam prajurit,
dan menjual barang yang dilarang beredar. Khusus untuk
menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah, Mahkamah
Konstitusi telah menghapusnya lewat Putusan MK No 6/PUU-
V/2007 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Walaupun beranekaragam, secara total kejahatan gangguan
ketertiban umum hanya mencakup 1,6% dari total kejahatan
yang terjadi di Indonesia. Tetapi keanekaragaman kejahatan
dalam golongan ini pula membuat mustahil untuk menilai
secara umum apa saja kecakapan dan kreativitas yang dimiliki
oleh para pelaku kejahatan tipe ini. Mereka dapat datang dari
latar belakang apa saja dan memiliki kecakapan apapun.

102 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 6

MENGISI HARI DI TAHANAN

Bab ini akan menceritakan atau menggambarkan apa


saja kegiatan yang umumnya saat ini dijalankan di tahanan
oleh para tersangka di berbagai Rutan di Indonesia. Beberapa
sebenarnya telah melakukan kegiatan pemanfaatan kecakapan
dan kreativitas tahanan, tetapi masih secara sporadis dan
tergantung program kerja dari masing-masing rutan. Tetapi
intinya, semua menganut tujuh asas yang dinyatakan dalam
Pasal 5 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu
asas pengayoman, asas persamaan perlakuan dan pelayanan,
asas pendidikan, asas pembimbingan, asas penghormatan
harkat dan martabat manusia, asas kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya penderitaan, dan asas terjaminnya
hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
Asas tersebut di atas kemudian berakar dari prinsip-
prinsip bimbingan dan pembinaan yang telah dirumuskan
dalam Konferensi Lembang tahun 1964. Konferensi Lembang
dilakukan tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 103


pelaksanaan pidana penjara di Indonesia harus menerapkan
sistem pemasyarakatan, dalam artian bukan saja untuk
memberikan hukuman, tetapi juga memberikan bimbingan
dan pembinaan.
10 (Sepuluh) rumusan yang dihasilkan Konferensi
Rembang mencakup:
1. Orang yang tersesat diayomi dengan memberikan
kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan
berguna dalam masyarakat, yaitu masyarakat Indonesia
menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Bekal tidak hanya berupa finansial
dan material tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik,
keahlian, dan keterampilan sehingga orang mempunyai
kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif
untuk menjadi warga yang baik dan berguna dalam
pembangunan Negara.
2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari
Negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan
baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan maupun
penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkan
kemerdekaan.
3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan
dengan bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan
pengertian norma-norma hidup dan kehidupan serta
diberikan kesempatan untuk merenungkan perbuatannya
yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam
kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup
kemasyarakatan;
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/
lebih jahat daripadasebelum ia masuk lembaga. Karena itu
harus diadakan pemisahan antara :
a. Yang residivis dan yang bukan;
b. Macam tindak pidana yang diperbuat;
c, Yang telah melakukan tindak pidana berat dan yang

104 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


ringan;
d. Dewasa, dewasa muda dan anak-anak;
e. Terpidana dan tahanan.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana
harus dikenalkandengan masyarakat dan tidak
boleh diasingkan daripadanya. Menurut paham
lama, pada waktu mereka menjalani pidana hilang
kemerdekaanadalah identik dengan mengasingkan dari
masyarakat. Kini menurutSistem Pemasyarakatan mereka
tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara
“Cultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing
ditengah masyarakat. Sistem Pemasyarakatan didasarkan
interaktivitas dan“interdisiplinair approach” antara unsur-
unsur pegawai, masyarakat dan narapidana.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak
boleh bersifat mengisiwaktu, atau hanya diperuntukkan
kepentingan jawatan atau kepentinganNegara sesaat saja.
Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat
ditujukan kepada pembangunan nasional.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.
Pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas-asas yang
tercantum dalam Pancasila, kepada narapidana harus
diberikan pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan
bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya ditanamkan
jiwa gotong royong, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa
persatuan, rasa kebangsaan Indonesia, jiwa bermusyawarah
untuk bermufakat yang positif.
8. Tiap narapidana adalah manusia dan harus diperlakukan
sebagai manusia, meskipun telah tersesat. Tidak boleh
selalu ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia adalah
penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang
dandiperlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan
itu, petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun
berkata-kata yang dapat menyinggung perasaan.

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 105


9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
Perlu diperhatikan agar narapidana mendapat
mata pencaharian untuk keluarganya denganjalan
menyediakan/memberikan pekerjaan dengan upah bagi
pemuda dananak-anak disediakan lembaga pendidikan
yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan kemungkinan
mendapatkan pendidikan diluar lembaga.
10. Perlu didirikan lembaga atau Lapas yang baru sesuai
dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan
memindahkan lembaga-lembaga yang berada ditengah-
tengah kota ketempat-tempat yang sesuai dengan
kebutuhan proses pemasyarakatan. Sebaiknya ada
bangunan-bangunan khusus sehingga dapat diadakan
pemisahan antara narapidana-narapidana :
a. Yang residivis dan yang bukan;
b. Macam tindak pidana yang diperbuat;
c. Yang telah melakukan tindak pidana berat dan yang
ringan;
d. Dewasa, dewasa muda dan anak-anak;
e. Narapidana dan tahan.
Dalam penerapan dari prinsip-prinsip ini, terdapat
banyak kegiatan sebenarnya yang dapat dilakukan tahanan di
rutan. Kegiatan yang umum dilakukan adalah demi tahanan
sendiri, yaitu menunggu pengadilan dengan mempelajari
tuntutan atau mempersiapkan pembelaan, berkomunikasi
dengan pengacara, dan saat persidangan atau penyidikan,
mereka akan pulang pergi dari tahanan ke pengadilan atau
kantor penyidik. Selain itu, tahanan memerlukan pula
waktu untuk menilai pembelaan hukum yang tersedia,
merencanakan strategi hukum, menilai berbagai peran
partisipan dalam ruang pengadilan, memahami prosedur
pengadilan, menilai hasil yang mungkin, mengungkapkan
kepada pengacara fakta-fakta yang ada yang berhubungan
dengan yang dituduhkan, menolak penuntutan saksi secara

106 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


holistik, bersaksi, dan melindungi diri sendiri melalui usaha
perlindungan hukum.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan di rutan pada
umumnya di Indonesia antara lain:

A. Pembekalan Hidup
Pembekalan hidup tidak lain adalah kegiatan pelatihan
yang dilakukan di dalam tahanan. Sebenarnya, rutan telah
sangat paham kalau banyak dunia industri tidak akan mau
menerima mantan tahanan. Karenanya, untuk pembekalan
hidup, umumnya kegiatan yang dilatihkan adalah kegiatan
yang memungkinkan tahanan berwirausaha. Tergolong
kegiatan ini misalnya membuat paving blok, membuat gitar,
membuat anyaman kursi dari bambu, pembuatan keset,
pertukangan kayu/mebel (kursi, meja, tempat tidur, sangkar
burung, dan lemari), mote, vas bunga, kerajinan bambu, sapu,
menjahit, kerajinan tangan, pengelasan, dan sebagainya.
Di Rutan Pekalongan, bahkan tahanan melakukan kegiatan
ternak lele, yang memungkinkan diperolehnya sejumlah
penghasilan bagi warga tahanan binaan.
Bahkan walaupun tahanan atau napi telah memiliki
kebebasan ekonomi sehingga tidak terbebani untuk mencari
kerja pasca pelepasan, mereka tetap diwajibkan mengikuti
kegiatan bimbingan kerja. Hasil karya ini kemudian digunakan
untuk melayani pesanan dari luar Rutan atau para pegawai
rutan sendiri. Pelatihan sendiri kadang diselenggarakan
dengan kerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK)
setempat.
Walau begitu, keterbatasan modal membuat produksi
kadang tidak berlanjut atau tidak reguler. Hal ini yang kadang
memunculkan kurangnya harapan dari para tahanan untuk
bekerja setelah lepas dari lapas kecuali sabung ayam atau togel

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 107


(berjudi). Selain itu, rendahnya frekuensi kerja dan pelatihan
membuat tahanan menjadi bermalas-masalan. Istilah pada
rutan di Jawa adalah rudoksing yang berarti turu, mbadok,
ngising (tidur, makan, buang air besar). Akibatnya, rutan
harus mengandalkan pula sumber dana dari pihak donatur,
selain dari pemerintah pusat. Pihak donatur ini, dapat datang
dari kalangan artis dan bahkan dapat datang dari tahanan
sendiri, sejauh donasi tidak menjadikan mereka mendapatkan
perlakuan khusus dibandingkan tahanan yang lain.
Kegiatan-kegiatan semacam ini didasarkan pada
kegiatan pengamatan dan pengawasan tahanan. Ketika
tahanan ditempatkan di bloknya, sipir mengamati hal-hal
seperti keadaan jiwa, lingkungan, kegemaran, kepribadian,
pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Hasil pengamatan
kemudian digunakan sebagai masukan untuk perencanaan
program pembinaan napi bersangkutan.
Selanjutnya, tahapan pembinaan secara formal mencakup
tiga tahapan:
• Tahap awal. Tahap awal mencakup masa pengamatan,
pengenalan, dan penelitian terhadap lingkungan
maupun tahanan/napi, paling lama satu bulan.
• Tahap lanjutan. Tahap lanjutan mencakup perencanaan
program, pelaksanaan program, dan evaluasi
program.
• Tahap akhir. Tahap akhir mencakup perencanaan
integrasi ke masyarakat dan pembinaan serta
pembekalan menjelang pelepasan.

Sejalan dengan ini, kegiatan kerja yang dilakukan napi


akan mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang
dilakukan. Hal ini diwajibkan dalam pasal 14 ayat (1) huruf g
tentang hak-hak napi. Hal ini yang membedakan antara napi
dan tahanan. Tahanan tidak memiliki hak mendapatkan upah
atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. Hal inilah yang

108 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


menjadi tantangan tersendiri dalam memotivasi tahanan untuk
bekerja, yang juga bukan kewajiban bagi tahanan. Sejalan
dengan ini, hanya sedikit upaya pemanfaatan kecakapan dan
kreativitas yang diberikan di rutan-rutan di Indonesia untuk
para tahanan.
Pemanfaatan Kecakapan dan Kreativitas sendiri
sebenarnya telah dilakukan untuk para tahanan. Di lapas
Jombang, tahanan lulusan dari SMK jurusan otomotif sering
diminta untuk membetulkan sepeda motor rusak. Sementara
itu, tahanan lain kadang membantu dalam memotong rambut
tahanan lain, membuat kerajinan tangan seperti perahu dan
bambu, serta aneka kerajinan tangan dari batok kelapa dan
sikat gigi. Malahan, pada sel tahanan di Polres pun, seorang
tahanan dapat menjalankan kecakapan dan kreativitasnya,
misalnya membuat kerajinan miniatur kapal yang dijual
sebagai cenderamata bagi pengunjung tahanan dan anggota
polisi.

B. Penyegaran Jasmani dan Rohani


1. Penyegaran Jasmani
Kegiatan penyegaran jasmani merupakan suatu
keharusan untuk dilakukan di rutan. Kegiatan ini bertujuan agar
tahanan secara fisik sehat. Tahanan tetap diterapkan kepada
pemahanan bahwa Kebugaran jasmani ialah kemampuan
seseorang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari dengan
ringan tanpa merasakan kelelahan yang berarti dan masih
mempunyai cadangan tenaga untuk melakukan kegiatan yang
lain. Selain olahraga bersama pada pagi hari, diberikan waktu
luang bagi tahanan untuk olah raga ringan pada sore hari,
seperti bermain catur dan bulu tangkis. Intensitas penyegaran
jasmani berkurang pada bulan Ramadhan digantikan dengan
kegiatan keagamaan yang lebih intensif.

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 109


2. Penyegaran Rohani
Penyegaran rohani merupakan kegiatan yang sangat
umum dilakukan di Rutan di Indonesia. Bagi tahanan
beragama Islam, mereka disediakan waktu untuk pengajian
setiap hari tertentu, biasanya pada hari Jum’at. Pada bulan
Ramadhan kegiatan menjadi lebih intensif. Untuk itu, rutan
dilengkapi dengan mesjid sendiri. Rutan yang tidak memiliki
mesjid menyelenggarakan kegiatan sholat Jum’at di aula
rutan.
Rutan Rangkas bitung bahkan mendirikan Pondok
Pesantren di dalam area tahanan. Di Pondok Pesantren
bernama Magfiroh Zannah ini, para tahanan dan napi
mempelajari fikih, hadist, tauhid, akhlak, tafsir, membaca
al Qur’an, dan pengetahuan agama lainnya dengan jadwal
dua kali pertemuan dalam sehari. Di Rutan Medaeng, Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) bahkan membentuk tim
pembaca al Qur’an yang melakukan tadarus al Qur’an siang
dan malam setiap hari pada bulan Ramadhan.
Pada saat menjelang atau setelah sholat lima waktu,
diadakan siraman rohani. Siraman rohani umumnya dititik
beratkan pada introspeksi diri seperti taubat, bersabar, dan
bersyukur. Inisiatif awal dari kegiatan pertobatan datang dari
tahanan, baru kemudian dikelola oleh pihak rutan. Pada Rutan
yang tidak memiliki pesantren, ceramah agama dilakukan
sekali atau dua kali seminggu di pagi hari atau setelah dzuhur
dengan pengisi ceramah tahanan, napi, petugas rutan, atau
ahli agama dari luar rutan.
Pada saat hari raya, juga diselenggarakan kegiatan
perayaan. Umumnya, kegiatan ini berupa shalat id di dalam
lingkungan tahanan. Setelah shalat id, petugas dan tahanan
akan memasak dan makan bersama. Sementara itu, pada hari
Jum’at diselenggarakan sholat Jum’at, bimbingan Iqro’, dan
pengajian sholawatan. Untuk penganut agama Kristen dan
Katolik, rutan menyelenggarakan perayaan hari raya Paskah

110 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dan Natal. Perayaan hari raya juga diselenggarakan jika di
dalam rutan terdapat penganut agama lainnya, sesuai hari
raya masing-masing.
Penyegaran rohani menjadi lebih penting bagi napi baru
(pasca vonis). Pada umumnya, pada saat berstatus tahanan,
mereka rajin beribadah dengan keinginan diputuskan tidak
bersalah. Tetapi ketika mereka divonis bersalah, kualitas dan
kuantitas ibadah menjadi turun drastis, sebagai semacam
bentuk kekesalan atas keinginan yang tidak terkabul. Para
napi di Rutan Medaeng bahkan memiliki istilah tersendiri
untuk ini, yaitu njebles.

C. Program Tahunan
Program tahunan Rutan yang pasti diselenggarakan
adalah kegiatan memperingati hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Indonesia. Kegiatan ini ditujukan untuk
mempererat tali silaturahmi, sekaligus sebagai hiburan
maupun mengembangkan potensi tahanan. Lewat lomba-
lomba yang diadakan para tahanan belajar bekerjasama dalam
satu kelompok kecil. Lomba-lomba yang diselenggarakan
juga tidak jauh berbeda dengan di luar tahanan, seperti adu
panco, balap karung, tarik tambang, dan makan kerupuk.
Kegiatan serupa diselenggarakan pada Hari Bhakti
Pemasyarakatan yang diselenggarakan dalam waktu cukup
lama, biasanya selama seminggu di akhir bulan April.
Kegiatan lain yang menarik adalah pemilihan lurah,
ketua RW, dan ketua RT bagi tahanan. Hal ini dilakukan
misalnya oleh Rutan Rangkasbitung. Kegiatan semacam
ini memungkinkan rutan memiliki semacam keteraturan
tersendiri yang memungkinkan tata kelola dilakukan secara
partisipatif.

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 111


Sistem berbasis demokrasi ini merupakan sebuah sistem
yang baru dan merupakan bagian dari sistem nasional di
rutan. Sistem nasional adalah sistem yang dibangun oleh
rutan dan lapas untuk mengorganisasikan tahanan dan napi
sesuai sistem yang tidak mengenal suku atau agama. Pada
rutan atau lapas yang berkinerja buruk, tahanan dan napi
mengorganisasikan dirinya sendiri dan akhirnya membentuk
kelompok-kelompok berbasis kesukuan. Kelompok berbasis
kesukuan ini dipimpin oleh kepala suku (KS) yang memiliki
wakil dan panglima pasukan (pastem) yang memimpin
pasukan disetiap blok. Pada bagian lebih rendah terdapat
para kepala kamar (palkam) dan akhirnya di strata terendah
terdapat para rakyat, yang biasanya merupakan tahanan atau
napi dari suku yang sama atau dari suku lain yang mencari
suaka.
Sistem berbasis kesukuan ini lebih sering disebut sistem
kerajaan. Faktanya, kelompok-kelompok suku menamakan
diri mereka sebagai kerajaan sendiri, seperti Kerajaan DKI,
Kerajaan Utara Jakarta, Kerajaan PLG (Persatuan Lampung
Palembang), Kerajaan Cina, Kerajaan Tangerang, Kerajaan
Selatan Jakarta, Kerajaan Arek (Jawa), Kerajaan Timor dan
Ambon, Kerajaan Pasundan, dan sebagainya. Kerajaan ini
beroperasi layaknya sistem pemerintahan sederhana, dengan
pengelolaan sumber daya tersendiri, khususnya sumber daya
keuangan. Uang yang masuk ke dalam tahanan atau napi
dikelola oleh manajer keuangan atau kepala suku, yang nanti
akan digunakan untuk kebutuhan yang umumnya berupa
makanan. Penyelewengan keuangan adalah hal yang terlarang
dan dapat menjadikan seorang kepala suku diturunkan dan
diganti oleh rakyatnya.
Sistem kesukuan kurang mencerminkan ke-bhinnekaan
di dalam rutan. Lebih dari itu, sistem ini rentan memunculkan
kerusuhan antar tahanan/napi. Sedikit persinggungan dapat
menghasilkan kerusuhan yang merugikan barang dan nyawa.

112 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Lebih dari itu, kadang-kadang terdapat usaha meluaskan
wilayah kerajaan, sehingga seperti halnya perang, akan
terjadi kontak fisik dan perkelahian. Sistem ini, walau begitu,
meredup seiring dimasukkannya tahanan-tahanan kasus
narkoba yang tidak berorientasi pada kekerasan, sekaligus
memiliki banyak uang untuk menjadi fokus baru bagi para
tahanan dan napi. Hal ini merupakan suatu ironi dalam
kehidupan di penjara. Suatu kejahatan yang ingin dibasmi
ke akar-akarnya saat ini di masyarakat, justru menjadi suatu
pendamai dalam kehidupan di dalam tahanan. Dengan uang
yang cukup besar dalam memasok kelompok-kelompok suku
di dalam tahanan, kekerasan menurun dan kerajaan-kerajaan
lebih berorientasi pada usaha bersama untuk memanfaatkan
dana yang ada, termasuk dalam bentuk transaksi barang.
Sistem nasionalis muncul dengan meniru sistem yang
diterapkan di luar tahanan. Dalam sistem ini, semua suku
dicampur dan tidak ada lagi label kesukuan dan identitas
lainnya pada diri tahanan ketika masuk. Awal penerapan
sistem ini cukup keras, karena para kepala suku harus diberikan
terapi kejut lewat kekerasan fisik dan mental sehingga mereka
akhirnya tunduk pada sistem nasional. Setelah itu, setiap
tahanan baru diwajibkan melupakan identitas kesukuannya
dan bergaul dengan semua tahanan tanpa melihat asal daerah
mereka. Sebagai pemimpin internal, dilantik seorang Pemuka
Nrapidana untuk setiap blok dan area kegiatan. Pemuka
Napi mendapatkan tambahan 1/3 remisi Agustus sebagai
kompensasi atas pengabdiannya. Pemuka Napi umumnya
berangkat dari kasus pembunuhan, karena mereka memiliki
waktu penjara paling lama dan memungkinkan benar-benar
mengenal dan memahami seluk beluk rutan dan lapas.
Pemuka Napi dipilih oleh Sidang tim Peneliti Pemasyarakatan
(TPP). Pemuka Napi dibantu oleh beberapa tamping, yang
juga disahkan oleh sidang TPP dan Surat Keputusan Kalapas.
Dibawah tamping terdapat corve, yaitu pelayan atau pembantu

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 113


umum. Semuanya memiliki tugas untuk berperilaku teladan
bagi tahanan dan napi lainnya, melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tanggungjawab yang dibebankan, menjaga kerukunan
kehidupan di rutan, menghindari timbulnya konflik antar
suku, agama, ras, dan antar golongan, serta hormat dan taat
kepada petugas.
Sistem nasionalis meredam kejadian bentrok antar
suku di dalam rutan atau lapas. Walau begitu, transisi dari
sistem kerajaan ke sistem nasionalis kadangkala menciptakan
kekerasannya tersendiri. Tahanan dan napi kadang menolak
secara tegas sistem nasionalis, sehingga terjadi pergolakan di
dalam rutan dan lapas.

D. Program Pendidikan
Program pendidikan di Rutan umumnya masih sangat
sederhana. Program ini hanya berbentuk kegiatan belajar
seperti Kejar Paket A. Kejar Paket A yang menghasilkan
ijazah setara SD. Saat ini, tidak ada sekolah yang dibangun di
dalam lingkungan rutan dan lapas. Hal ini patut disayangkan
karena sekolah-sekolah dengan program penyetaran yang
lebih tinggi dari Paket A sangat diperlukan. Mayoritas napi
dan tahanan di Indonesia berpendidikan hanya lulusan SD. Di
Rutan Bangli misalnya, 70% tahanan dan napi hanya lulusan
SD.
Untuk memasukkan pengetahuan dari luar, tahanan
diberikan kesempatan mendapatkan informasi dari koran,
majalah, televisi, radio, dan sebagainya. Selain itu, terdapat
kegiatan pembinaan kesadaran hukum. Kegiatan ini umumnya
diselenggarakan dengan melibatkan Polri, Kejaksaan, atau
Pengadilan atau Kepala Rutan dan petugas pemasyarakatan.
Penyadaran hukum bertujuan bagi tahanan untuk menjadi
warga negara yang baik dan taat hukum.

114 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


E. Kegiatan Usaha
Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dilakukan
rutan untuk memberikan pelayanan pada masyarakat
menggunakan tahanan sebagai pelayan. Di masa lalu,
biasanya tahanan dipekerjakan sebagai penjaga wartel. Selain
itu, di tahanan juga terdapat koperasi tahanan yang melayani
baik tahanan, napi, maupun para pengunjung. Terdapat
pula kegiatan umum berupa Bengkel Kerja Produktif yang
menghasilkan barang-barang untuk dijual di luar rutan.
Dalam program Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kegiatan
kerja bangkit, telah mampu sedikit banyaknya mendorong
tumbuhnya jiwa wirausaha dikalangan Warga Binaan/
Tahanan.
Banyak waktu yang dapat digunakan untuk menggali dan
mengumpulkan informasi dan pengalaman sahabat-sahabat
WBP dibidang Wirausaha.Dalam lingkungan Rutan / Lapaas
selalu saja ada koperaasi baik yang berbadan hokum, maupun
yang belum. Dan kegiatan perkoperasian ini senantiasa
melibatkan WBP paling tidak sebagai tenaga kebersihan,
tapi tidak jarang juga sebagai tenaga administraasi, semisal
pencatat stok barang atau pencatat utang yang tertunggak
utamanya dikalangan WBP itu sendiri.

F. Kegiatan Seni
Menikmati, menghayati dan merasakan suatu objek
atau karya seni lebih tepat lagi dengan mencermati karya
seni dengan mengerti dan peka terhadap segi-segi estetiknya,
sehingga mampu menikmati dan memaknai karya-
karyaKegiatan seni biasanya diselenggarakan dalam bentuk
pengembangan paduan suara. Selain itu, beberapa tahanan
dapat menghabiskan waktu di rutan dengan menggambar atau

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 115


menulis puisi.Intinya meskipun mereka dalam ruang yang
terbatas, tapi kesempatan menikmati dan mengekspresikan
keindahan tidak boleh dihilangkan, bahkan harus ditumbuh
kembangkan.

G. Jadwal Kegiatan
Secara umum, jadwal kegiatan reguler pada suatu
rutan atau lapas mengambil bentuk seperti pada Tabel 4. Jika
diamati, jadwal kegiatan ini telah sangat mewakili jadwal
kegiatan seperti umumnya di suatu Pesantren.

Tabel 4 Jadwal Umum Kegiatan di Dalam Penjara

No Waktu Kegiatan

1 05.00-06.00 Bangun tidur, membersihkan tempat tidur


Gerak badan/senam, mandi; kecuali hari jum’at
2 06.00-07.00 ditambah dengan kebersihan lingkungan
3 07.00-08.00 Sarapan pagi

Bekerja, madrasah; kecuali hari minggu


kegiatan diliburkan; pada hari tertentu tahanan
4 08.00-11.00 atau napi dapat dipanggil karena adanya
kunjungan, yang lamanya biasanya hanya 15
menit.

5 11.00-11.45 Istirahat

6 11.45-12.30 Sholat dzuhur berjamaah

7 12.30-13.00 Makan siang

Melanjutkan pekerjaan yang belum selesai;


8 13.00-14.00 kecuali hari minggu libur

9 14.30-15.30 Shalat Ashar berjamaah

116 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


10 15.30-16.30 Makan sore

11 16.30-17.00 Istirahat

Masuk kamar dilanjutkan dengan kegiatan


12 17.00-21.00
keagamaan di kamar masing-masing

13 21.00-05.00 Istirahat dilanjutkan dengan tidur


Sumber: Rutan Bangli, 2010

Kadangkala, tahanan mendapatkan kunjungan dari


berbagai pihak. Kunjungan ini harus membawa surat izin
berkunjung dari lembaga penahan (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau bea cukai). Pengunjung dibatasi paling
banyak lima orang dalam satu kali kunjungan dan waktu
sekali kunjungan hanya selama 15 menit. Sungguh demikian,
frekuensi kunjungan akan menurun pasca vonis dan bahkan
ada napi yang tidak dikunjungi keluarga atau kerabat selama
berbulan-bulan.
Berdasarkan gambaran di atas, ditemukan sedikit
perbedaan antara tahanan dan napi. Sementara itu, nama
rutan juga tidak memastikan bahwa rutan hanya menampung
tahanan. Banyak rutan juga turut menampung napi di
dalamnya, dan begitu juga sebaliknya, ada lapas yang juga
menampung tahanan. Sementara itu, perlu pula dilihat
bahwa tahanan tidak berkewajiban mengikuti program
pembinaan. Karenanya, sering kali perencanaan pembinaan
hanya dilakukan untuk napi. Hal ini dapat menimbulkan
kecemburuan sosial antara tahanan dan napi. Jika misalnya,
tahanan digabungkan dengan napi untuk kegiatan kerja,
kecemburuan dapat muncul dan napi lebih merasa diutamakan
untuk mendapatkan kegiatan kerja dibandingkan tahanan.
Sebagai solusinya, tahanan harusnya diberikan manfaat
pembimbingan tersendiri yang terpisah dari napi. Jikapun
tergabung dengan napi, tahanan perlu disediakan tempat
tersendiri sehingga bagiannya tersedia. Lebih baik lagi jika

Bab 6 Mengisi Hari di Tahanan 117


tahanan-tahanan tertentu yang berkecakapan tinggi diarahkan
untuk menjadi pengajar bagi para tahanan lainnya dan juga
napi. Sementara itu, untuk unit produktif, tahanan dapat
berpartisipasi tetapi tidak berhak mendapatkan upah dari
kegiatannya. Upah ini dapat digunakan untuk menambah
manfaat bagi napi. Sebagai alternatif, tahanan dapat berusaha
sendiri secara individual untuk melayani masyarakat,
mungkin dengan tahanan lainnya, dalam satu usaha, yang
terpisah dari para napi.

118 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 7

SOSIOLOGI KRIMINALITAS

Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai


produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi
dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial.
Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat
modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan
mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan,
kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal
yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang
tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang
lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari
norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri
demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian
mengganggu dan merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh
budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi
perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-
anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai
peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku
anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh
anak-anak.

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 119


Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan
atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media,
baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan
mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang
dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau
pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan
oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga
dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak
atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku
jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak
itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya
perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak pada intinya merupakan produk
dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial
yang ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah
satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial
atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku
yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum,
adat-istiadat, hukum formal , atau tidak bisa diintegrasikan
dalam pola tingkah laku umum.
Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan
anak-anak dalam dasawarsa lalu, belum menjadi masalah
yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah,
ahli kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun
masyarakat umumnya. Perilaku jahat anak-anak dan remaja
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-
anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku
yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan
peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian
tingkah-laku kriminal anak-anak dan remaja. Perilaku anak-
anak  dan remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau
tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.
Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan
itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau

120 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka
menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping
meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka
lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental
dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu
objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya
anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan suka sekali
menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan
tindak kejahatan itu antara lain adalah :
1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2. Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
3. Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak
tersebut menjadi manja dan lemah   mentalnya.
4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan
sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.
5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau
abnormal.
6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan
mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang
irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori
Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang
hanya dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis
serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan
menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak
pidana baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk
tindak pidana/kejahatan yang dilakukan secara sempurna
kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang
timbul secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor
dalam) dari pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara
implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai sistem untuk
merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 121


anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang anak atau
pun  dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-
faktor apapun yang di dapat pada diri anak dan remaja yang
jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih
dahulu.
Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang
bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak dan
remaja sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak  atau
pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang
terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu
permasalahan perilaku jahat anak-anak dan remaja  perlu
segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem
sosial masyarakat yang baik.

A. Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang
melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku
kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang
dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh,
perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir,
teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan
tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh
seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab
ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang
tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku
tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan
dan harus menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau
narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa
pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan
sebagai kejahatan:

122 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


1. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan
merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan
masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan
suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi
sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut dapat
berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-
formal.
2. Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan
atau tingkah laku manusia yang melanggar undang-
undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui
dapat dipidana secara legal,dan diatur dalam hukum
pidana.
3. Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi
kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu
yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan
sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak
harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu
peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan
yang anti sosial,merugikan serta menjengkelkan
masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan
sebagai kejahatan
4. Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum,
mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan
secara tegas dan konvensional. Menurut hukum
kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar
atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam
kaidah hukum; tegasnya perbuatan yang melanggar
larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum, dan
tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah
yang telah ditetapakan dalam kaidah hukum yang
berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat
tinggal.
Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan, perlu
diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 123


dengan sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis
sebagai berikut : We have seen that the concept of crime is highly
relative in commen parlance. The use of term “crime” in respect
of the same behavior differs from moment to moment (time),
from group to group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang, waktu, dan
siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad
is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku
didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak
mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Dalam konteks itu
dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang
bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan
tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.

B. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya


Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai
seorang penjahat? Di dalam pikiran umum, perkataan
“penjahat” berarti mereka yang dimusuhi masyarakat.
Didalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat
adalah sampah masyarakat. Berdasarkan tradisi hukum
(peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku
telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang
sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan
menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.
Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak
akan dapat dibenarkan menurut hukum kalau menerima
sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan
dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat secara
benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-
orang yang tidak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu
kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tidak
dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan
menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang

124 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu
undang-undang pidana.
Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang
yang disebut penjahat; dalam peruses peradilan
pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah
tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana.
Sedangkan kata-kata seperti penjahat,bandit,bajingan hanya
dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar pada ketentuan
hukum.
Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan
para ahlinya adalah sebagai berikut ;
1. Penjahat dari kecendrungan (bukan karena bakat).
2. Penjahat karena kelemahan (karena kelemahan
jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tidak
berbuat).
3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan; dan
putus asa; penjahat terdorong oleh harga diri atau
keyakinan.
Pembagian menurut Seelig :
1. Penjahat karena segan bekerja.
2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan
bathin untuk menekan godaan.
3. Penjahat karena nafsu menyarang.
4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks.
5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih
primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat campuran (gabungan dari sifat-sifat yang
terdapat pada butir 1-8)

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 125


Pembagian menurut Capelli
1. Kejahtan karena factor-faktor psikopathologis, yang
pelakunya terdiri dari
a. Orang-orang yang sakit jiwa.
b. Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun
tidak sakit jiwa).
2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran
kekuatan jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :
a. Orang-orang yang menderita cacad setelah usia
lanjut.
b. Orang-orang menderita cacad badaniah atau
rohaniah sejak masa kanak-kanak sehingga sukar
menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.
3. Kejahatan karena factor-faktor social yang pelakunya
terdiri dari : Penjahat kebiasaan.
4. Penjahat kesempatan, karena menderita kesulitan
ekonomi atau kesulitan fisik. Penjahat yang karena
pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yang
sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang
melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih
sering.
5. Orang-orang yang turut serta pada kejahatan
kelompok seperti, pencurian-pencurian di pabrik dan
lain sebagainya.
Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hukum
atau disebut dalam bahasa inggris Criminal, yang sementara
kita alih bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya
penjahat yang dalam melakukan kejahatannya dengan:
1. Kesadaran yang memang sudah merupakan
pekerjaannya (professional criminal). Yang dapat
dilakukan oleh perorangan seperti penjahat-penjahat
bayaran, yang diupah untuk menganiaya atau
bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok

126 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dan teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang
diorganisir
2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan
sekalipun merupakan pelanggaran hukum ; yaitu
penjahat yang melakukan kejahatan dengan ditimbang-
timbang atau dengan persiapan terlebih dahulu.
3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh
masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias
memberi hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.

C. Teori-Teori Terkait Kriminalitas


Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-
anak maupun remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh
karena itu lebih cenderung untuk melihat kriminalitas anak-
anak maupun remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang
(deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi
penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga
teori utama yang dapat menjelaskan fenomena ini yaitu:
struktural fungsional terutama anomie dari Durkheim dan
Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dari
Sutherland, dan power-confl ict terutama dari Young dan
Foucault.

1. Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi
pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh
institusi dalam masyarakat. Penyimpangan dalam hal
ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika
pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya
diterima oleh orang atau sekelompok orang, dengan demikian
penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai
ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 127


teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan
ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.
Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa
terdapat hubungan terbalik antara integrasi sosial dan
penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya
terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni
integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang
masing-masing independen, atau dalam istilah lain, besaran
integrasi tidak menentukan besaran pengaturan, demikian pula
sebaliknya, namun keduanya mempengaruhi ikatan sosial.
Integrasi sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan
seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial
merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai
dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk
dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi
dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat
taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang
sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’.
Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh
Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana
diri tersebut membenturkan diri dengan norma-norma dan
kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal
ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan
(goals) dan ‘legitimate means’ ketimbang integrasi sosial
dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat
adaptasi masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural
(apa yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan
ideal) dan cara-cara yang dapat diterima di mana seorang
individual dapat menuju tujuan-tujuan kultural. Merton
sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima kombinasi,
yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, dan
‘rebellion’.

128 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


2. Interaksi Simbolik
Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan
datang dari individu yang mempelajari perilaku meyimpang
dari orang lain. Dalam hal ini, individu tersebut dapat
mempelajari langsung dari penyimpang lainnya atau
membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan
penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland
mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di
mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal
mempelajari tindakan tersebut dan perilaku menyimpang
dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam
istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami.
Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan
berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang
dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point
utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari
adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan
menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika
simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai,
maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan
penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal,
sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan
tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan
ketimbang perilaku lainnya

3. Power-Conflict
Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini
didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak
pernah menulis tentang perilaku menyimpang. Teori ini
melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi
tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma,
status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian
berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara pribadi
tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 129


menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara
khusus menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan
sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut
terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern
tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.
Kriminalitas Remaja: teori yang relevan Melihat tiga
teori yang ada, maka penulis cenderung untuk memilih teori
struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton
sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai kenakalan
remaja. Secara khusus Merton memang membahas mengenai
deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi
seorang individu dalam masayarakat. Bagi Merton, munculnya
tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah
ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai
dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum
dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk
anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat
ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan
tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota
kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural
(lihat Ritzer dan Goodman 2007).
Secara umum Merton menghubungkan antara
kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan
sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat. Dalam
hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh
semua anggota masyarakat untuk berperilaku. Struktur
didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang
terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat
untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan
sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan
kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya
hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan
kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam
kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai
kultural tersebut (Merton, 1968: 216).

130 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai
ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai
dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan
dalam masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan
oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu
saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi
sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat
yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat
bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama
baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam
analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif
dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan
(intended motif), namun juga motif-motif yang tidak
diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan
laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan
adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam
bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh
besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang
lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung
dengan7 terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau
motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi
dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan
disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi
yang terlihat dan berguna bagi adaptasi atau pengaturan
dari sistem yang telah ada, sedangkan disfungsi merupakan
konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau
pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain
membedakan antara fungsi dan disfungsi,  Merton juga
membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi
manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif
yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu
sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem
itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni
konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 131


adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak
akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku
menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan
adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di
masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang
dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi
keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
a. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh
dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya
‘benar dalam masyarakat’
b. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar,
namun cara- cara yang dipergunakannya tidak sesuai
dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
c. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan
namun cara-cara yang dipergunakannya dapat
dibenarkan.
d. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan
dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.
e. ‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan
tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan
menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-
tujuan dan cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang
sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam
masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan
dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika
memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana
Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk
memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini
menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk
mewujudkan cita-citanya.

132 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang
diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya
dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga
masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam
memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan
mencegah sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi
mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah
yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan
melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’
tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa
tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama
dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna
obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.
Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu:

1. Sisi Perbuatannya
Dilihat dari sisi perbuatannya, kriminalitas dapat
dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Cara Perbuatan itu dilakukan, kelompok ini dapat
dibagi menjadi:
• Perbuatan dilakukan dengan cara si korban
mengetahui baik perbuatannya maupun pelakunya.
Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar
bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan.
Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan,
perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di
samping itu terdapat pula delik yang dilakukan
sedemikian rupa sehingga si korban tidak
mengetahui baik perbuatannya maupun maupun
pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti
penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan,
dan peracunan
• Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana
seperti bahan kimia, perlengkapan, dan sebaginya
atau tanpa sarana

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 133


• Perbuatan dilakukan dengan menggunakan
kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.
b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek
delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan
terhadap kekuasaan umum, dan lain sebagainya.
2. Sisi Pelakunya
Dilihat dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si
pelaku, mengapa melakukan kejahatan, dan dari sifat pelaku
sendiri.
Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:
1. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang
dilihat dari ciri-ciri tubuhnya (stigmata) karena atavisme
(degenerasi) lalu menjadi jahat.
2. Penjahat karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli,
epilepsi, histeri, dementia, pellagra, dan pemabuk
3. Penjahat karena dorongan hati panas (passion) seperti
membunuh istri simpanan suaminya
4. Penjahat karena kesempatan yang dapat dibagi menjadi:
• Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu
mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan
yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka
yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan
teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma,
misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.
• Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir
normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan
pada pengaruh lingkungan yang jahat, akhirnya
kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari
anggota masyarakat normal.
5. Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat
pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka
yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan
saja telah terlibat dalam tindak pidana

134 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Dalam klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria
psikis, fisik, dan lingkungan.
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
1. Pembunuh
2. Penjahat agresif
3. Penjahat karena kurang kejujuran, dan
4. Penjahat karena dorongan hati panas atau karena
ketamakan
Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
1. Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang melakukan
tindak pidana karena culpa
2. Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang
karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia
melakukan kejahatan
3. Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena
ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan
tindak pidana
4. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang
berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan
semacam maupun tidak.
5. Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara
teratur melakukan kejahatan.
6. Penjahat professional, mereka yang secara teratur
melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya
memang diarahkan kepada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
1. Penjahat sesat, Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan,
dan karena pengaruh orang lain
2. Penjahat kronis
• Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional
tubuh maupun jiwa
• Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 135


terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh
orang lain.
• Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak di bawah
pengaruh dorongan di dalam dirinya
• Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat
neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka
penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak
kepribadiannya
• Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang
baik (superego)
Gruhle membagi penjahat menjadi:
1. Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):
• Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk
berbuat jahat
• Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap
dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat
berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi
mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk
mengatasi kesulitan.
2. Penjahat karena kelemahan
Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat
maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan,
bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena
tidak punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat
jahat.
3. Penjahat Karena hati panas
Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat
mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat
jahat.
4. Penjahat karena keyakinan
Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi
daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat

136 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya
kejahatan yaitu:

1. Karena faktor psikopatologik:


• Orang-orang yang kurang waras, gila
• Orang yang secara psikis tidak normal, tetapi tidak
gila

2. Karena faktor organis:


• Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik
pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang
menjadi tua, berbagai macam cacat.
• Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak
masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita
kesulitan pendidikan atau sosialisasi.

3. Karena faktor sosial:


• Penjahat kebiasaan
• Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan
ekonomi atau fisik)
• Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan
kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja,
selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih
serius
• Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian
di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin
sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau
karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian
penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig
dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti
ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang
heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari
pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 137


1. Delinkuen professional karena malas bekerja
Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang
melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya
mencolok, cara hidupnya sosial. Misal gelandangan,
pelacur

2. Delinkuen terhadap harta benda karena daya tahan


lemah
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang
kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada
harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena
daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal
pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai
administrasi, dll

3. Delinkuen karena dorongan agresi


Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan
perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan.
Biasanya mereka ini menunjukkan kurangnya tenggang
rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras
sering terjadi diantara mereka

4. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual


Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan
seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera,
karena kurangnya daya tahan.

5. Delinkuen karena krisis


Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai
jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
• Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan
ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium,
menjadi tua)

138 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


• Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya
dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan
percintaan
• Karena krisis diri sendiri.

6. Delinkuen karena reaksi primitive


Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan
cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan
dengan kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan
dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut
dapat terjadi sesaat atau terbentuk sedikit demi sedikit
dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya
tidak terduga

7. Delinkuen karena keyakinan


Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada
kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang
paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih
tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika penilaian
normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan
delinkuen karena keyakinan.

8. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan


Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang
oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi
kepentingan umum.

D. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga
kelompok pendapat yaitu:
1. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena
pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 139


2. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat
jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri
3. Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu
disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun
karena sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau
tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena
itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya. Pandangan
bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi
dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan
masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk
kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi
memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau
penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat
kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan
adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan,
kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka,
maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi
dan tertutup sifatnya.
Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan
pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma
umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi
keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi,
kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh
budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi
perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-
anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai
peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku
anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh
anak-anak.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan
atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai media
massa, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar
dan mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang

140 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau
pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan
oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga
dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak
atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku
jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak
itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya
perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak pada intinya merupakan produk
dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial
yang ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah
satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial
atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku
yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum,
adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan
dalam pola tingkah laku umum.
Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan
anak-anak dalam dasawarsa lalu, belum menjadi masalah
yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah,
ahli kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun
masyarakat umumnya. Perilaku jahat anak-anak dan remaja
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-
anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku
yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan
peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian
tingkah-laku kriminal anak-anak dan remaja. Perilaku anak-
anak  dan remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau
tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.
Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan
itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau
justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka
menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping
meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 141


lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental
dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu
objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya
anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan suka sekali
menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan
tindak kejahatan itu antara lain adalah :
1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2. Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
3. Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak
tersebut menjadi manja dan lemah   mentalnya.
4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan
sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.
5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau
abnormal.
6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan
mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang
irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori
Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang
hanya dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis
serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan
menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak
pidana baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk
tindak pidana/kejahatan yang dilakukan secara sempurna
kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang
timbul secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor
dalam) dari pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara
implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai sistem untuk
merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan
anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang anak atau
pun  dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-
faktor apapun yang di dapat pada diri anak dan remaja yang

142 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih
dahulu.
Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang
bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak dan
remaja sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak  atau
pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang
terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu
permasalahan perilaku jahat anak-anak dan remaja  perlu
segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem
sosial masyarakat yang baik.
Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam
kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan
dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara
lain:
1. Criminal family, penyelidikan dilakukan terhadap
keluarga penjahat secara vertical dari satu keturunan
ke keturunan yang lain
2. Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga
golongan besar penjahat secara horizontal untuk
mendapatkan data tentang faktor pembawaan
sebagai keseluruhan
3. Study of twins, penyelidikan terhadap orang
kembar.
Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat
kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan
yang cukup kuat untuk berkembangnya bakat
kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan
terlibat dalam kriminalitas.
Hubungan antara pengaruh pembawaan dan
lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan
penyakit-penyakit mental dengan diagram sebagai berikut
Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas
dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun
juga dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 143


paling banyak adalah sebagai gabungan faktor pribadi dan
faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100 persen.
Seelig membagi hubungan bakat-lingkungan-kejahatan
sebagai berikut:
1. Sementara orang, oleh karena bakatnya, dengan
pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah
melakukan deik
2. Lebih banyak orang yang karena bakatnya, dengan
pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik
3. Sangat sedikit orang karena pengaruh dari luar yang
cukupan saja, melakukan delik
4. Sebagian besar orang lebih dari 50 persen, dengan
bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan
yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi
kriminal.
Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-
lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik
bakat, lingkungan atau keduanya bersama-samadapat
menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat
sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak dipengaruhi
oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun
masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun
merupakan gejala yang mengiringinya, pelaku itu melakukan
perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih
menyebutkan pula kehendak.
Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada
orang normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan,
yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada
waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya
mungkin saling berpengaruh.
Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori
sosiologis dengan menunjukkan dua prosedur yang penting
yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab

144 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi
logis, penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu
sedikt berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi.
Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya
dalam menganalisis penyebab kejahatan haruslah diketahui
pada tingkat tertentu yang mana.
Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah
dapat dilakukan dalam hubungan dengan :
1. Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu
(Mekanistis, situasional, atau dinamis)
2. Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung
(Historis atau Genetik). Proses seseorang terlibat
dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
• Perilaku kriminal itu dipelajari
• Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi
dengan orang lain di dalam proses komunikasi
• Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di
dalam kelompok pribadi yang intim
3. Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari
meliputi:
• Teknik melakukan kejahatan
• Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi,
dan sikap.
• Arah kasus dari motif dan dorongan
dipelajari dari batasan-batasan hukum
Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang
cenderung untuk melanggar hukum melebihi
sikap yang merasa tidak menguntungkan
bila melanggar hukum pengaruh kelompok
terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
a) Seorang individu mendapat pengaruh hanya
dari satu macam kelompok;

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 145


b) Seorang individu mendapat pengaruh dari
dua kelompok atau
c) Differential association mungkin bervariasi
dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya,
dan intensitasnya
d) Proses belajar perilaku kriminal melalui
asosiasi dengan pola kriminal dan anti-
kriminal semua mekanisme atau cara belajar
pada hal-hal yang lain. Perilaku merupakan
ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini
tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku
non-kriminal pun juga merupakan ungkapan
kebutuhan dan nilai. Mengenai pengaruh
individu dan kelompok, bila meninjau
kemungkinan lebih.
Thorsten Sellin berpendapat bahwa konflik antar norma
dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena:
a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yang
berbatasan;
b. Dalam hal norma hukum, hukum dari suatu
kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah
kelompok budaya yang lain;
c. Anggota dari kelompok budaya pindah ke kelompok
budaya yang lain. Kecenderungan dalam teori
sosiologi untuk memberikan nama kepadastruktur
sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan
biologis manusia yang tidak dibatasi oleh kontrol
sosial. Sikap koformis implikasinya adalah sebagai
akibat dari pemikiran dan perhitungan akan
kebutuhan atau karena alasan yang tidak diketahui.
Tokohnya adalah Merton yang mencoba mencari
bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan
terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan
bersifat non-konformis dan bukannya konformis.

146 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Diantara unsur-unsur sosial dan struktur sosial
terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah
tujuan, maksud dan kepentingan budaya yang
telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi
aspirasi budaya, yang oleh Merton disebut “pola
hidup berkelompok” (designs for group living).
Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur
dan mengendalikan cara untuk mencapai tujuan
tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara”
sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya
kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal
tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa
norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena adanya
jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang
telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang
diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya.
Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik
mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
1. Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang
terdapat dalam sistem sosial
2. Aspek disorganisasi sosial
3. Aspek ketiadaan norma
4. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di
dalam kebudayaan induk (dominan culture)
5. Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala
6. Kriminalitas dan Jenis Kelamin
Angka statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang
dijatuhi pidana lebih rendah daripada pria. Angka statistik ini
menunjuk pada perbuatan delik secara umum. Namun bila
perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka
statistik perbandingan pelaku delik wanita dengan pria akan
bertambah porsi bagi wanitanya. Misalnya saja dalam delik
abortus.

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 147


Telah banyak penjelasan mengenai kenyataan ini dan
dapat dikelompokkan dalam tiga kategori antara lain:

1. Sebenarnya kriminalitas yang dilakukan oleh wanita jauh


lebih tinggi dari angka yang ada.

Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark


number yaitu anka kejahatan yang tidak dicatat karena
sesuatu hal. Contohnya dalam kasus abortus, kasus ini
kebanyakan akan ditutup-tutupi dan disembunyikan baik
oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut,
kaum pria cenderung memiliki sifat gentleman yaitu
berusaha melindungi wanita. Ketika terdapat wanita yang
melakukan kejahatan, pria merasa perlu melindunginya.

2. Kondisi lingkungan bagi wanita ditinjau dari segi


kriminologi lebih menguntungkan daripada kondisi bagi
pria
• Faktor lingkungan lebih menguntungkan wanita
karena
Perkawinan bagi wanita merupakan faktor anti
irininogen, angka statistic menunjukkan bahwa angka
kriminalitas tertinggi oleh wanita dilakukan oleh
wanita yang bercerai
• Jika dibandingkan dengan pria, partisipasi wanita
lebih sedikit dalam kegiatan masyarakat sehingga
dapat mengurangi konflik yang dapat mengarah pada
kriminalitas.
3. Sifat wanita sendiri membawa pengaruh rendahnya
kriminalitas
• Faktor fisik wanita yang lemah kurang cocok untuk
delik-delik agresi
• Faktor psikis wanita mempunyai variasi yang lebih
sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun buruk jarang
terjadi pada wanita

148 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


4. Kriminalitas dan Cacat Tubuh
Cacat tubuh dibedakan antara yang diderita sejak
kelahirannya dan yang diperoleh dalam perjalanan
hidupnya. Cacat tubuh yang memungkinkan menjadi
faktor kriminogen antara lain: Wajah, Tuli, dan Buta.

5. Keluarga dan Hubungan Keluarga


Pengaruh keluarga muncul pada:
• Situasi Keluarga
Pada keluarga yang berantakan dan pecah, berpotensi
untuk menimbulkan kejahatan
• Besarnya Keluarga
Semakin besar keluarga, semakin tinggi beban
ekonominya. Anak kurang mendapatkan perhatian
dari orang tua, kenakalan tidak diperhatikan orang tua,
Kemungkinan konflik dengan lingkungan lebih besar

• Anak tunggal
Anak tunggal kebanyakan dimanjakan dan
diperlakukan over protective
Tidak adanya saudara menyulitkan anak untuk
menyesuaikan diri sebagai anggota suatu kelompok

6. Kriminalitas dan Umur


Di masa anak-anak, statistic kriminalitas tidak
dapat diikuti dengan tegas, karena banyak kejahatan
yang dilakukan oleh anak tidak dipidana namun hanya
diberitahukan kepada orang tua. Jenisnya bisanya berupa
pencurian sederhana, perusakan barang, atau pencurian
karena disuruh oleh orang lain.
Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak
menuju dewasa. Di masa ini frekensi kejahatan tinggi
terjadi konflik antara harapan dan kenyataan. Macam
kejahatannya dapat berawal dari pencurian biasa sampai

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 149


dengan pencurian dengan kekerasan. Awal masa dewasa
adalah lanjutan dari masa remaja. Frekuensi kriminalitas
masih tetap tinggi walaupun sedikit lebih rendah jika
dibandingkan pada masa remaja. Macam kriminalitas
berupa pencurian yang lebih canggih, penggelapan, dan
seksualitas Pada Masa Dewasa Penuh kejahatan yang
dilakukan cenderung pada yang lebih menggunakan akal
dan pikiran dari pada kekuatan fisik.
Frekuensinya menurun namun kualitasnya
meningkat. Macam kriminalitasnya banyak ditujukan pada
kekayaan seperti penggelapan, pemalsuan, dan penipuan.
Pada masa usia lanjut, kekuatan fisik maupun psikis sudah
mulai menurun. Produktivitas juga menurun. Karena
penghasilan menurun, dorongan untuk melakukan delik
terhadap kekayaan ada kecenderungan meningkat namun
dengan cara anak-anak.

7. Residivis
Kebanyakan resedivis melakukan kejahatan pada waktu
masih muda. Lebih dari 50% residivis pernah melakukan
kejahatan pertama kali pada usia muda. Mereka yang baru
mulai menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan
melakukan residivis lebih kecil karena waktu untuk
melakukan residivis relative pendek, pola watak pada
masa dewasa telah mantap, kriminalitas yang dilakukan
dan diketahui orang tidak jarang hanya merupakan
masalah kondisi yang kebetulan dan bukannya kondisi
yang berulang.

8. Keadaan Ekonomi, Lapangan Kerja, dan Rekreasi


Kemelaratan miningkatkan kejahatan. Bahkan
kemelaratanlah yang menyebabkan kejahatan
Kemunduran kemakmuran baik secara individu maupun
pada kelompok dapat meningkatkan tingkat kriminalitas.
Kemelaratan sebenarnya bukanlah satu-satunya faktor

150 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


yang menimbulkan konflik dan faktor kriminogen. Ketika
sebuah masyarakat terisolasi yang penghidupannya
menurut masyarakat lain dianggap rendah, akan dapat
tetap hidup tenang jika norma dalam masyarakat tersebut
tidak berubah dan tidak ada kesenjangan diantara mereka.
Jurang perbedaan dalam hal keadaan ekonomi dapat
menjadi faktor kriminogen.
Yang menjadi perhatian kriminologi dalam lapangan
pekerjaan antara lain seperti faktor pemilihan lapangan
kerja yang biasanya dipengaruhi oleh lingkungan,
norma di lapangan kerja terutama dalam pekerjaan yang
pekerjanya saling berhubungan dalam waktu yang lama
dapat menimbulkan sebuah norma kerja sendiri. Jika norma
lapangan kerja menyimpang, contohnya di sebua pabrik
sudah biasa pekerjanya mengambil hasil produksinya,
padahal di pabrik yang lain tidak, hal tersebut akan
menjadi kebiasaan, dan kesempatan yang terdapat dalam
lapangan pekerjaan yang dapat berupa ketrampilan yang
digunakan untuk kejahatan dan lingkungan lapangan
pekerjaan yang mendukung seseorang untuk melakukan
tindak pidana.
Rekreasi dapat menjadi faktor kriminogen dan anti-
kriminogen. Melalui rekreasi akan diperoleh rasa puas
dan lepas dari ketegangan. Perasaan yang demikian akan
mengurangi kriminalitas. Sedangkan di sisi yang lain
rekreasi merupakan pengeluaran. Bisa jadi pendapatan
tidak dapat mengejar rekreasi yang diinginkan. Bentuk
rekreasi dapat pula mengarah pada kriminalitas seperti
berburu, dan permainan ketrampilan yang mengarah
pada perjudian.

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 151


E. Kriminalitas sebagai Profesi dan Kebiasaan
Batasan antara penjahat professional dan yang sebagai
kebiasaan menurut Noach adalah: “Penjahat professional
memang pekerjaannya atau mata pencahariannya sebagai
penjahat, sedangkan penjahat sebagai kebiasaan, kecuali
melakukan kejahatan juga mempunyai pekerjaan lain.
Apakah menjadi tumpuan penghidupannya itu pekerjaan dari
kejahatan atau pekerjaan yang lain yang halal bukan masalah”
Sutherland menunjukkan sifat-sifat khusus dari penjahat
professional antara lain sebagai berikut: “Secara teratur tiap hari
menyiapkan dan melakukan kejahatan”. Untuk itu, penjahat
tersebut memerlukan kemampuan teknik guna melakukan
kejahatannya dan melatih diri serta mengembangkan
kemampuannya itu.
Pencuri professional dapat melakukan kejahatannya
dengan aman karena tiga hal yaitu:
a. Memilih cara yang paling minimum bahayanya
b. Pencuri meningkatkan ketrampilan dan kemampuan-
nya baik secara fisik maupun psikisnya
c. Dengan cara mengatur “fix” (pemulihan) sekiranya
ia tertangkap, teknik pemulihan itu juga sedemikian
rupa, baik dilakukan oleh si pencuri sendiri maupun
oleh orang lain, dan tidak jarang polisi, jaksa, bahkan
hakim dilibatkan.
Selain kejahatan secara umum, ada pula kejahatan yang
terorganisasi (organized crime). Organisasi kecil-kecilan
seperti di kalangan pencopet membuat normanya sendiri,
dengan sanksinya yang cukup tegas dan kadang daerah
operasinyapun telah dibagi. Organisasi tersebut disebut
dengan organisasi informal. Terdapat pula organisasi penjahat
yang bersifat lebih formal. Cirinya adalah yang pertama adanya
pembagian pekerjaan, yaitu semacam spesialisasi tertentu
yang berada dalam jaringan sistem, kedua bahwa kegiatan
masing-masing di dalam sistem tersebut dikoordinasikan
dengan kegiatan lain melalui aturan permainan, persetujuan

152 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dan saling pengertian, dan yang ketiga, seluruh kegiatan
tersebut secara rasional diarahkan pada suatu tujuan yang
sama-sama diketahui oleh para anggotanya.
Prostitusi juga dapat dikategorikan ke dalam kejahatan
professional walaupun kata kejahatan kurang tepat jika
disematkan pada prostitusi karena jika dilihat dalam KUHP
tidak ada pasal yang mengancam prostitusi kecuali perbuatan
yang memudahkan prostitusi. Menurut Norwood East
pengertian prostitusi adalah hubungan seksual yang tanpa
pilih-pilih atas dasar bayaran. Yang paling banyak terjun
dalam dunia prostitusi adalah kaum wanita walaupun tidak
menutup kemungkinan pula prostitusi dilakukan oleh kaum
laki-laki.
Menurut Glover wanita yang cenderung untuk
melakukan tindakan prostitusi adalah mereka yang mengalami
gangguan psikologis maupun seksual, dan merupakan akibat
dari kurangnya kasih sayang dan perhatian pada masa kanak-
kanak. Motivasi wanita untuk terjun dalam dunia prostitusi
utamanya adalah kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk
mendapatkan kebutuhan lainnya disamping kebutuhan
pokok sehari-hari. Tidak jarang mereka yang terjun dalam
lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yang
sudah terlebih dahulu berada di dalam dunia prostitusi.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul
sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa
kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku.
Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas
merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman
mengatakan bahwa bakat itu diwariskan. Pemelopor aliran
ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan
sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya,
khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi
penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi
kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab
kriminalitas telah banyak ditinggalkan orang, kemudian
muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat
dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 153


F. Faktor Penyebab Konflik Dan Kriminalitas Serta
Cara Mengatasinya
1. Faktor Penyebab konflik :
a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan
pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya,
setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian
dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial,
sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda.
Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada
pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang
dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun
latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab
itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang
berbeda-beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang
sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai
contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal

154 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian
dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan
tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-
pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi
mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi
para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan
kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang
dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan
sehingga harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan
ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar
kelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan
pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan
di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan
memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak
dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar
terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau
bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-
nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-
nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 155


seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai
kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut
jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser
menjadi hubungan struktural yang disusun dalam
organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal
kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-
perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang
telah ada.

2. Faktor penyebab kriminalitas :


Separovic (Weda, 1996:76) mengemukakan, bahwa: Ada
dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1)
faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur,
jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis
(agresivitas, kecerobohan, dan keteransingan), dan (2) faktor
situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu.
Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor
berusaha menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dari pemikiran
itu, berkembanglah aliran atau mazhab-mazhab dalam
kriminologi. Sebenarnya menjelaskan sebab-sebab kejahatan
sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada waktu itu, seseorang
yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang
dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa tanpa dirasuk
setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Pandangan
ini kemudian ditinggalkan dan muncullah beberapa aliran,
yaitu aliran, yaitu aliran klasik, kartografi, tipologi dan aliran
sosiologi berusaha untuk menerangkan sebab-sebab kejahatan
secara teoritis ilmiah.

156 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Aliran klasik timbul dari Inggris, kemudian menyebar
luaskan ke Eropa dan Amerika. Dengan aliran ini adalah
psikologi hedonistik. Bagi aliran ini setiap perbuatan manusia
didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang.
Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana
yang buruk. Perbuatan berdasarkan pertimbangan untuk
memilih kesenangan atau sebaliknya yaitu penderitaan.
Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan sudah
tentu lebih banyak mendatangkan kesenangan dengan
konsekuensi yang telah dipertimbangkan, walaupun dengan
pertimbangan perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan
kesenangan.
Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria yang menge-
mukakan bahwa setiap orang yang melanggar hukum
telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang
diperoleh dari perbuatan tersebut. Sementara itu Bentham
(Weda, 1996:15) menyebutkan bahwa the act which i think will
give me mosi plesseru. Dengan demikian, pidana yang berat
sekalipun telah diperhitungkan sebagai kesenangan yang
akan diperoleh.
Aliran kedua adalah kartographik para tokoh aliran
ini antara lain Quetet dan Querry. Aliran ini dikembangkan
di Prancis dan menyebar ke inggris dan Jerman. Aliran
ini memperhatikan penyebaran kejahatan pada wilayah
tertentu berdasarkan faktor geografik dan sosial. Aliran ini
berpendapat bahwa kejahatan merupakan perwujudan dari
kondisi-kondisi sosial yang ada.
Aliran ketiga adalah sosialis yang bertolak dari ajaran
Marx dan Engels, yang berkembang pada tahun 1850 dan
berdasarkan pada determinisme ekonomi (Bawengan,
1974:32). Menurut para tokoh aliran ini, kejahatan timbul
disebabkan adanya sistem ekonomi kapitalis yang diwarnai
dengan penindasan terhadap buruh, sehingga menciptakan
faktor-faktor yang mendorong berbagai penyimpangan.
Aliran keempat adalah tipologik. Ada tiga kelompok
yang termasuk dalam aliran ini yaitu Lambrossin. Mental

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 157


tester, dari psikiatrik yang mempunyai kesamaan pemikiran
dan mitologi, mereka mempunyai asumsi bahwa beda antara
penjahat dan bukan penjahat terletak pada sifat tertentu
pada kepribadian yang mengakibatkan seseorang tertentu
berbuat kejahatan dan seseorang lain tadi kecenderungan
berbuat kejahatan mungkin diturunkan dari orang tua atau
merupakan ekspresi dari sifat-sifat kepribadian dan keadaan
sosial maupun proses-proses lain yang menyebabkan adanya
potensi-potensi pada orang tersebut (Dirjosisworo, 1994:32).
Ketiga kelompok tipologi ini berbeda satu dengan
yang lainnya dalam penentuan ciri khas yang membedakan
penjahat dan bukan penjahat. Menurut Lambroso kejahatan
merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir. Oleh
karena itu dikatakan bahwa “criminal is born not made”
(Bawengan, 1974).
Ada beberapa proposisi yang di kemukakan oleh
Lambroso, yaitu : (1) penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe
yang berbeda-beda, (2) tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri
tertentu seperti tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang
panjang, hidung yang pesek, rambut panjang yang jarang
dan tahan terhadap rasa sakit tanda ada bersamaan jenis
tipe penjahat, tiga sampai lima diragukan dan di bawah tiga
mungkin bukan penjahat, (3) tanda-tanda lahirilah ini bukan
merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda
pengenal kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku
kriminal.
Ciri-ciri ini merupakan pembaharuan sejak lahir, (4)
karena adanya kepribadian ini, maka tidak dapat menghindar
dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan
kesempatan tidak memungkinkan, dan (5) penjahat-penjahat
seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat dibedakan
oleh tanda tertentu.
Setelah menghilangnya aliran Lambroso, muncullah
aliran mental tester. Aliran ini dalam metodologinya
menggunakan tes mental. Menurut Goddart (Weda, 1996:18),
setiap penjahat adalah orang yang feeble mindedness (orang

158 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


yang otaknya lemah). Orang yang seperti ini tidak dapat
pula menilai akibat perbuatannya tersebut. Kelemahan otak
merupakan pembawaan sejak lahir serta penyebab orang
melakukan kejahatan.
Kelompok lain dari aliran tipologi adalah psikiatrik.
Aliran ini lebih menekankan pada unsur psikologi, yaitu pada
gangguan emosional. Gangguan emosional diperoleh dalam
interaksi sosial oleh karena itu pokok ajaran ini lebih mengacu
organisasi tertentu daripada kepribadian seseorang yang
berkembang jauh dan terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat
tetap akan menghasilkan kelakuan jahat, tanpa mengingat
situasi-situasi sosial.
Aliran sosiologis menganalisis sebab-sebab kejahatan
dengan memberikan interpretasi, bahwa kejahatan sebagai “a
function of environment”. Tema sentral aliran ini adalah “that
criminal behaviour results from the same processes as other social
behaviour”. Bahwa proses terjadinya tingkah laku jahat tidak
berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk tingkah laku
yang baik. Salah seorang tokoh aliran ini adalah Sutherland.
Ia mengemukakan bahwa perilaku yang dipelajari di dalam
lingkungan sosial. Semua tingkah laku sosial dipelajari dengan
berbagai cara.
Munculnya teori Asosiasi diferensial oleh Sutherland ini
didasarkan pada sembilan proposisi (Atmasasmita, 1995:14-
15) yaitu :
a) Tingkah laku kriminal dipelajari
b) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi
dengan orang lain dalam suatu proses komunitas.
c) Bagian yang terpenting dari mempelajari tingkah laku
kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok
orang intim/ dekat.
d) Ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran
itu termasuk (a) teknik-teknik melakukan kejahatan,
yang kadang sulit, kadang sangat mudah dan (b)
arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan,

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 159


rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap.
e) Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan itu
dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan
hukum apakah ia menguntungkan atau tidak.
f) Seseorang menjadi delikuen karena definisi-definisi
yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih
dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan
untuk melanggar hukum.
g) Asosiasi diferensial itu mungkin bervariasi tergantung
dari frekuensinya, durasinya, prioritasnya dan
intensitasnya.
h) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui
asosiasi dengan pola-pola kriminal dan arti kriminal
melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap
pembelajaran lain.
i) Walaupun tingkah laku kriminal merupakan
ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai
umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal
juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-
nilai yang sama.
Pada awal 1960-an muncullah perspektif label.
Perspektif ini memiliki perbedaan orientasi tentang kejahatan
dengan teori-teori lainnya. Perspektif label diartikan dari segi
pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat
dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh
masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu
pada masyarakatnya (dirdjosisworo, 1994:125).
Menurut Tannenbaum (Atmasasmita 1995:38) kejahatan
tidak sepenuhnya merupakan hasil dari kekurang mampuan
seseorang tetapi dalam kenyataannya, ia telah dipaksa
untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Lemert
(Purnianti, 1994:123) menunjukkan adanya hubungan
pertalian antara proses stigmatisasi, penyimpangan sekunder
dan konsekuensi kehidupan karir pelaku penyimpangan atau

160 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


kejahatan. Yang diberi label sebagai orang yang radikal atau
terganggu secara emosional berpengaruh terhadap bentuk
konsep diri individu dan penampilan perannya.
Pendekatan lain yang menjelaskan sebab-sebab
kejahatan adalah pendekatan sobural, yaitu akronim dari
nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktur yang
merupakan elemen-elemen yang terdapat dalam setiap
masyarakat (Sahetapy, 1992:37). Aspek budaya dan faktor
struktural merupakan dua elemen yang saling berpengaruh
dalam masyarakat. Oleh karena itu, kedua elemen tersebut
bersifat dinamis sesuai dengan dinamisasi dalam masyarakat
yang bersangkutan. Ini berarti, kedua elemen tersebut tidak
dapat dihindari dari adanya pengaruh luar seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi dan sebagainya. Kedua elemen
yang saling mempengaruhi nilai-nilai sosial yang terdapat
dalam masyarakat. Dengan demikian, maka nilai-nilai sosial
pun akan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
aspek budaya dan faktor struktural dalam masyarakat yang
bersangkutan.

3. Cara mengatasi konflik :


Sementara itu, untuk menyelesaikan konflik, secara
teoretis ada banyak sekali model, namun dalam tulisan ini
hanya akan di sajikan beberapa model saja.
Di antaranya adalah: Pertama, model penyelesaian
berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk
bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu
diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi,
nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah
diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan
konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar
masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara
penyelesaian konflik tunggal.
Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan
metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni
menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 161


prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan
kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi,
harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar
kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik.
Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk
mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik.
Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau
kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling
cepat mengakhiri konflik.
Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme
budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik.
Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan
reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan
mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang
kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi,
faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah
akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau
lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima
perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus
melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.
Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model
ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan
mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan
cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk
mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik
dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan
masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus
dipatuhi oleh masing-masing pihak.

4. Cara mengatasi kriminalitas :


a. Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada
para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau
derajat.
b. Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga
pendidikan dalam mendidik anak.

162 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


c. Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak
merusak nilai busaya bangsa sendiri.
d. Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma
dalam masyarakat dimulai sejak dini melalui
pendidikan multi kultural; seperti sekolah, pengajian,
dan organisasi masyarakat.

G. Fenomena Kekerasan Dalam Masyarakat


Kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan
menjadì kendala yang tengah dihadapi oleh masyarakat.
Fenomena itu bukan hanya merupakan imbas dari kemìskinan
dan kebodohan, karena terbukti bahwa tindak kekerasan
juga terjadì dalam masyarakat maju dan kaya. Buktinya, data
statistik tindak kekerasan dI AS sangat tinggi. Hasil jejak
pendapat yang dilakukan oleh lembaga riset Media Scope
menunjukan bahwa tindak kekerasan diantara para pemuda
AS terus meningkat. Dan sebagian besar korbanya juga
para pemuda. Doktor Allan Goguen-Ball, seorang psikeater
Swiss berpendapat bahwa remaja dan pemuda Swiss
berusaha menarik perhatian masyarakat dengan melakukan
kekerasan.
Para psikolog berpendapat bahwa salah satu faktor
munculnya kekerasan dalam masyarakat adalah pengaruh
media massa. Dewasa ini, media audio,visual, dan cetak,
menyusupkan berbagai macam tindak kekerasan dalam
sajian mereka. Dulu, masyarakat hanya dapat menyaksikan
kekerasan jika mereka ada di sekitar lokasi kejadian. Namun
saat ini, siapapun dapat menyaksikan tindak kekerasan dalam
tayangan televisi.
Data yang ada menunjukkan bahwa pemuda AS dengan
rata-rata usia 15 tahunan, menyaksikan aksi pembunuhan
brutal sebanyak 25 ribu kali dari televisi dan 200 ribu kalì
tindak kekerasan lainnya. Seorang psikolog AS, Arnoid
Cohen, berpendapat bahwa masalah pengaruh kekerasan

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 163


yang ditayangkan di televisi sama dengan masalah dampak
rokok yang menyebabkan penyakit kanker. Artinya, meski
banyak program digalakkan untuk memberikan arahan
kepada masyarakat tentang bahaya rokok, namun jumlah
para perokok terus meningkat. Dan hal itu juga terjadi
dalam masalah kekerasan. Tayangan televisi dan film yang
menggambarkan dampak buruk dan tindak kekerasan
ternyata tidak mampu mencegah meningkatnya kekerasan.
Para psikolog juga berpendapat bahwa penggunaan
narkoba, pil koplo, dan alkohol juga merupakan faktor
munculnya kekerasan. Faktor lain yang tak kalah pentingnya
adalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Masih banyak lagi
sebab dan faktor lainnya termasuk pengaruh lingkungan.
Semua itu akan menimbulkan ketidakseimbangan penalaran,
perasaan, dan kejiwaan masyarakat. Oleh karena itu,
banyak hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk
menanggulangi perluasan kekerasan dalam masyarakat.

1. Kemiskinan pemicu kekerasan di masyarakat


Beberapa waktu belakangan ini aksi kekerasan kembali
marak. Pelaku kekerasannya pun sangat beragam dan berasal
dari berbagai latar belakang. Mulai dari masyarakat awam
hingga kaum terdidik yang semestinya menjadi contoh
masyarakat. Penyebab aksi kekaras itu muncul, bisa karena
masalah politis hingga akibat impitan ekonomi. Namun,
impitan ekonomilah yang sering menjadi alasan yang selalu
menyertai terjadinya kekerasan di masyarakat, termasuk
kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri.
Nampaknya, beban hidup yang kian berat, tidak mampu
ditanggung rakyat sendiri. Sehingga membuat mereka pun
frustrasi. Barangkali disinilah letaknya, dimana seharusnya
negara membela rakyat kecil, yang tidak berpunya.
Selain beban ekonomi, masyarakat di bawah juga
mengalami keterserpihan. Sikap individualitas kian meningkat,
yang diikuti dengan semakin kendurnya semangat berafiliasi.
Beban hidup yang berat membuat rakyat dipacu berkompetisi

164 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


mencari sumber penghidupan sehingga tidak peduli lagi
dengan sesama dan sekitarnya. Kita prihatin dengan berbagai
kekerasan, atau keputusan mengambil jalan pintas, karena
dorongan kemiskinan. Namun, lebih sedih lagi, kemiskinan
yang dialami rakyat tidak ditangani negara dengan baik.
Kemiskinan sering kali terjadi karena kemiskinan
struktural yang kian menempatkan orang miskin dalam
kondisi yang tidak berdaya. Bahkan, ironisnya, negara
maju kerap memanfaatkan hukum dan pengaruhnya yang
kuat untuk makin memiskinkan negara yang sudah miskin.
Misalnya, pembuatan produk hukum yang mengelola
kekayaan alam seperti Indonesia sering kali tidak berpihak
kepada rakyat. Tak heran jika pemiskinan terhadap rakyat
terus terjadi. Apalagi, akses rakyat pada hukum juga sangat
sedikit sehingga makin menyulitkan hidupnya. Mencermati
perkembangan yang kurang menguntungkan ini, maka sangat
diharapkan pers ikut mencerdaskan masyarakat sehingga
tak melakukan kekerasan. Pemerintah juga harus tegas dan
penuh kearifan dalam mengelola rakyat.
Demikian, masyarakat madani siap membantu
pemerintah. Pemerintah mempunyai tanggung jawab dan
kewenangan. Ini yang kita minta. Jadi, ini jangan dianggap
remeh. Pemerintah harus lebih tegas lagi bertindak. Disisi lain,
secara jujur pula bila kekerasan di masyarakat juga tak bisa
dipisahkan dari peran media, terutama televisi. Karena itu,
peran Komisi Penyiaran Indonesia yang masih lemah harus
lebih dioptimalkan dalam mengatur isi tayangan televisi,
terutama yang berbau kekerasan, mistik, dan seks.
Sehingga, maraknya kekerasan orangtua, termasuk ibu
terhadap anaknya, diyakini juga adalah pengaruh dari tayangan
televisi yang kini seolah semakin tak terkontrol jika pun
ada sangat lemah. Apalagi, bisa dikatakan bila konsumen
utama televisi adalah ibu rumah tangga, yang sebagian besar
waktunya dihabiskan di rumah sejak pagi hari. Sesuai teori
kultivasi, orang yang menonton televisi minimal selama empat
jam dan rutin secara tak sadar akan mengadopsi gambaran
yang ia tonton dalam televisi itu.

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 165


Tayangan kekerasan yang setiap hari disaksikan ibu
rumah tangga itu makin lama kian menurunkan kepekaan
mereka terhadap kekerasan. Selain itu, kata Sunarto, kekerasan
yang dilakukan ibu kepada anaknya boleh jadi merupakan
pelampiasan atas tekanan, baik dari segi hierarki maupun
struktural. Tekanan hierarkis, contohnya kekerasan dari
suami atau orang di sekitarnya, sedangkan tekanan struktural,
di antaranya impitan sosial ekonomi, seperti mahalnya harga
yang akhirnya membuat dirinya depresi. Dalam hal ini ibu
akan melampiaskan kemarahannya kepada pihak yang lebih
lemah, yaitu anak.
Namun, apa pun itu, aksi kekerasan yang marak, negara
tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya. Negara mesti
memberikan dan menunjukkan komitmen nyata untuk
membela rakyat kecil, rakyat tak berpunya. Semua menjadi
paradoks. Rakyatnya kesulitan untuk mempertahankan
hidup, pejabatnya tak peduli. Sangat bijak jika pemerintah
perlu segera mengambil langkah dan solusi tepat untuk
menyelesaikan kemiskinan yang menjadi akar munculnya
kekerasan. Pemerintah harus mengatasi persoalan kemiskian.
Kemiskinan jangan dibiarkan, tapi harus diatasi dengan
aksi nyata, bukan dengan janji. Dan juga perlu ditegaskan,
kemiskinan dan aksi kekarasan bukanlah budaya kita.

2. Kultur kekerasan di masyarakat mendasari tindak


kriminal
Tindak kriminal tidak bisa dilepaskan dari kultur
kekerasan di masyarakat. Demikian disampaikan kriminolog,
perampokan adalah kejahatan dengan kekerasan yang
terbentuk karena kultur yang menjadi bagian dinamika
kehidupan di Indonesia. Unsur kekerasan dapat berlaku
dalam segala sisi, misalnya demo dengan kekerasan dan
perkelahian antarsuku bangsa. Perampokan, lanjutnya, tidak
datang dengan tiba-tiba. Saat ini pola kejahatan dibangun
secara terorganisasi. Kesempatan melakukan kejahatan
semakin besar ketika sasaran terbuka dan penegakan hukum
lemah.

166 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Misalnya pelaku perampokan menyatroni bank saat
makan siang. Mereka telah mengendus lokasi dan tidak ada
pengamanan yang ketat, tidak ada satpam maupun CCTV.
Tindakan tersebut dilakukan dengan penuh perhitungan, ada
yang disebabkan karena frustrasi sosial dan kepuasan saat
aksinya itu berhasil. Tidak hanya beralasan faktor ekonomi
semata.   perampokan dan bentuk kriminal lainnya akan
terus meningkat di masyarakat. Pasalnya, sejumlah program
kepolisian seperti Quick Wins dan Quick Response sejauh ini
tidak menangani masalah dari akarnya.
Saat ini perampokan akan banyak terjadi di daerah
pinggiran kota. Para pelaku kejahatan itu berulah karena
melihat pengamanan di daerah pinggiran lebih lemah dan
pasti mampu mengantongi uang. Para pelaku pun tidak hanya
berangkat dari kalangan bawah. Sekarang sudah beranjak
ke kalangan menengah, misalnya para korban pemutusan
hubungan kerja (PHK).
Masyarakat sekarang lebih bersikap permisif , kondisi
ini seharusnya diimbangi dengan penegakan hukum yang
tegas. Semakin lemah penegakan hukum, maka semakin
tinggi kejahatan. Kekerasan dalam aksi perampokan dipicu
berbagai faktor, di antaranya patologi sosial dan brutalisme
massal.

3. Kesewenangan penguasa munculkan kekerasan


masyarakat
Pejabat dan aparat negara sering memanipulasi hukum
untuk kepentingan pribadi mereka. Tak jarang tindakan ini
juga diikuti dengan intimidasi dan kekerasan terhadap kelas
bawah. Jika kesewenangan penguasa tersebut terus dilakukan,
rakyat kelas bawah yang terjepit dengan buruknya kondisi
ekonomi akan menggunakan aksi perlawanan dalam bentuk
kekerasan guna mempertahankan hak miliknya. Masyarakat
kelas bawah itu tidak punya apa-apa. Yang mereka punya
hanya nyawa, sehingga mereka ini gelap mata. Dalam hukum
alam sosial, pada saat hidup tak tertanggungkan sementara

Bab 7 Sosiologi Kriminalitas 167


penguasa sewenang-wenang, kondisi itu bisa memunculkan
perlawanan dalam wujud kekerasan.
Secara sosial kelas bawah itu tidak dapat memunculkan
kekerasan yang meluas karena umumnya terpecah dalam
berbagai kepentingan. Gerakan kekerasan itu selama ini
muncul dalam bentuk komunitas keluarga. Namun, jika
mereka diorganisasi, kesadaran kelas bawah itu bisa meluas
dan memunculkan tuntutan yang keras akan hak-hak mereka
yang dirampas. Syaratnya, pengorganisasian itu harus benar-
benar bersifat memberi penyadaran yang murni, bukan hanya
untuk kepentingan sesaat, seperti pemilihan umum (pemilu).
Kekerasan yang dilakukan rakyat di beberapa daerah
selama ini, katanya, muncul karena ketidaktundukan
pejabat dan aparat negara kepada hukum yang dilakukan
secara berulang-ulang. Orang-orang yang mewakili negara
tidak menerapkan hukum apa adanya. Tapi dia malah
mengintimidasi warga, sehingga sikap penghargaan dari
warga masyarakat hilang. Pejabat dianggap sama dengan
preman. Atas tindakan hukum yang menyimpang didukung
kekerasan itulah rakyat semakin marah.
Kurangnya kepatuhan para penguasa negara kepada
hukum jiga terjadi. Buktinya adalah banyak putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak segera ditindaklanjuti
oleh pembuat UU, yakni Presiden dan DPR. Kalaupun
ditindaklanjuti, DPR dan pemerintah yang terdiri dari
unsur-unsur partai berusaha untuk menyiasati putusan MK
berdasarkan kepentingan politik masing-masing. Apa yang
menjadi putusan MK itu padahal harus dijalankan oleh
siapapun. Tidak peduli dia rakyat biasa, penguasa, maupun
lembaga negara. Dalam putusan calon independen misalnya,
DPR dan pemerintah membuat putusan yang bagus dan
membuka ruang demokratis itu menjadi sia-sia.

168 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 8

RUANG LINGKUP STUDI KRIMINOLOGI

A. Pengertian Krimonologi dan Objek Studi


Krimonologi
Masih banyak perbedaan pendapat tentang batasan
dan lingkup kriminologi. Namun demikian jika kita cermati
berbagai definisi yang diberikan oleh banyak sarjana, kita
dapat memberikan batasan tentang kriminologi baik secara
sempit maupun secara luas. Batasan kriminologi secara
sempit adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menerangkan
kejahatan dan memahami mengapa seseorang melakukan
kejahatan.
Secara luas, kriminologi diartikan sebagai ilmu
pengetahuan yang mencakup semua materi pengetahuan
yang diperlukan untuk mendapatkan konsep kejahatan serta
bagaimana pencegahan kejahatan dilakukan, termasuk di
dalamnya pemahaman tentang pidana atau hukuman.
Bidang ilmu yang menjadi fokus kriminologi dan objek
studi kriminologi, mencakup:

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 169


1. Sosiologi Hukum yang lebih memfokuskan
perhatiannya pada objek studi Kriminologi, yakni
kejahatan, dengan mempelajari hal-hal yang terkait
dengan kondisi terbentuknya Hukum Pidana,
peranan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai sosial,
serta kondisi empiris perkembangan hukum.
2. Etiologi Kriminal lebih memfokuskan perhatiannya
pada objek studi Kriminologi, yakni penjahat,
yaitu mempelajari alasan seseorang melanggar
Hukum (Pidana), atau melakukan tindak kejahatan
sementara orang lainnya tidak melakukannya. Kita
harus mempertimbangkannya dari berbagai faktor
(Multiple Factors), tidak lagi hanya faktor hukum
atau Legal saja (Single Factor).
3. Penologi lebih memfokuskan perhatiannya pada
objek studi Kriminologi, yakni reaksi Sosial,
dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan
berkembangnya hukuman, arti dan manfaatnya yang
berhubungan dengan “control of crime”.
4. Viktimologi yang lebih memfokuskan perhatiannya
pada objek studi Kriminologi, yakni korban kejahatan,
dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan
kedudukan korban dalam kejahatan, interaksi yang
terjadi antara korban dan penjahat, tanggung jawab
korban pada saat sebelum dan selama kejahatan
terjadi.
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
mencoba menjelaskan masalah-masalah yang terkait
dengan kejahatan dan penjahat, dalam perkembangannya,
tidak terlepas dari berbagai bidang studi yang juga
berorientasi pada eksistensi hubungan sosial dan produk
yang dihasilkan dari hubungan sosial yang ada., seperti
antropologi, sosiologi, psikologi kriminalistrik serta
ilmu hukum pidana. Semakin kompleks pusat perhatian

170 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


kriminologi maka semakin bermanfaat pula pemahaman-
pemahaman dari berbagai bidang ilmu dalam hal
menyumbangkan ke arah penjelasan yang lebih komprensif
yang merupakan tugas dari kriminologi tersebut, karena
sifatnya yang multidisipliner, perkembangan teori
dan metodologi pada disiplin ilmu yang lain sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kriminologi dalam
menganalisis kejahatan.

B. Kejahatan serta Arti dan Status Penjahat


1. Definisi Kejahatan
Kejahatan, dilihat dari sudut pandang pendekatan
legal diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
hukum pidana atau Undang-undang yang berlaku di
masyarakat. Pada hakikatnya, suatu perbuatan yang
melanggar hukum pidana atau Undang-undang yang
berlaku dalam suatu masyarakat adalah suatu perbuatan
yang sangat merugikan masyarakat yang bersangkutan.
Mengapa demikian? Kita harus sadari bahwa eksistensi
suatu hukum di dalam masyarakat merupakan
pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya
kehidupan bersama menjadi baik dan tertib. Dengan
dilanggarnya fondasi ketertiban masyarakat tersebut maka
tentunya perbuatan tersebut adalah jahat.
Pernyataan bahwa tidak akan ada kejahatan apabila
tidak ada hukum (undang-undang) pidana dan bahwa
kita akan dapat menghilangkan seluruh kejahatan hanya
dengan menghapuskan semua hukum (undang-undang)
pidana adalah logomachy. Memang benar bahwa andaikata
undang-undang terhadap pencurian ditarik kembali,
maka mencuri itu tidak akan merupakan kejahatan,
meskipun ia bersifat menyerang atau merugikan dan
masyarakat umum akan memberikan reaksi terhadapnya.

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 171


Sebutan kepada perilaku itu mungkin akan berubah tetapi
perilaku dan perlawanan masyarakat terhadap perilaku
tersebut hakikatnya akan tetap sama, sebab “kepentingan-
kepentingan masyarakat” yang rusak oleh perilaku itu
hakikatnya akan tetap tidak berubah. Karena inilah, maka
telah diadakan usaha-usaha untuk merumuskan definisi
tentang kejahatan di mana kejahatan merupakan suatu
uraian mengenai sifat hakikat perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh hukum. Dalam konteks ini, konsep kejahatan
lebih menekankan arti segi sosialnya daripada arti yuridis
tentang definisi kejahatan.

2. Relativisme Kejahatan
Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa
pengetahuan kita tentang batasan dan kondisi kejahatan
di dalam masyarakat mempunyai sifat relatif. Relativisme
kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni
adanya ketertinggalan hukum karena perubahan nilai
sosial dan perkembangan perilaku masyarakat, adanya
perbedaan pendekatan tentang kejahatan --di mana di satu
sisi memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai
pendekatan moral-- serta adanya relativisme dilihat dari
sisi kuantitas kejahatan.

3. Arti dan Status Penjahat


Bukanlah suatu kerja yang sederhana untuk
mempelajari “siapa itu penjahat”. Langkah pertama adalah
dengan memberi batasan yang sangat sederhana tentang
penjahat, yaitu “seseorang yang melakukan kejahatan”.
Sebelum melangkah lebih jauh, kini kita harus mencermati
terlebih dahulu apa itu kejahatan. Kejahatan adalah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh penjahat. Penjahat inilah
yang akan kita beri batasannya. Dalam Modul terdahulu
kita telah membahas cukup rinci tentang apakah itu
kejahatan. Kejahatan dapat didekati dari dua pendekatan
utama yakni yuridis dan kriminologis.

172 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Secara yuridis, kejahatan kita artikan sebagai setiap
perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum
pidana yang berlaku di masyarakat. Sedangkan secara
kriminologis, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang
melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi
lebih luas lagi, yaitu yang mencakup perbuatan yang anti
sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan
itu belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau
hukum pidana.
Dengan melihat batasan kejahatan seperti telah
diuraikan di bagian terdahulu maka penjahat adalah
seseorang (atau sekelompok orang) yang melakukan
perbuatan anti sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh
undang-undang atau hukum pidana (kriminologis). Dalam
arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan
pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu
tertangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannya di
depan pengadilan serta kemudian dijatuhi hukuman.

C. Korban Kejahatan
1. Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Hingga dewasa ini masih belum banyak perhatian
dan studi terhadap korban kejahatan. Dalam literatur,
perhatian tentang korban mulai berkembang pada akhir
tahun 1970-an. Sementara itu perkembangan pemikiran
dalam peradilan pidana juga lebih banyak mengedepankan
masalah hak-hak pelaku kejahatan Schafer dalam
bukunya Victimology: The Victim and His Criminal
mengembangkan konsep yang juga memposisikan korban
sebagai pihak yang juga harus menanggung kesalahan
dalam konteks terjadinya kejahatan. Banyak viktimisasi
yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan. Sangat
mudah memahami mengapa para pelacur, homoseksual

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 173


dan pecandu enggan melaporkan viktimisasi yang
dialaminya. Namun, banyak korban dari kejahatan lainnya
yang tidak melaporkan kejadian yang menimpa mereka.
Ketika menjadi korban kejahatan, seseorang mengalami
krisis dalam hal fisik, finansial, sosial dan psikologis. Berat
ringannya krisis tersebut tergantung pada bagian mana
dari diri korban yang diserang. Misalnya jika seseorang
menjadi korban penjambretan, ia merasa kehilangan simbol
dirinya berupa kartu kredit, uang atau kartu identitasnya.
Ia juga merasa diserang otoritasnya dan kepercayaannya.
Meluasnya peristiwa viktimisasi, akhirnya, mendorong
munculnya “undang-undang tentang hak korban” untuk
melindungi korban sebagaimana undang-undang dasar
untuk melindungi hak-hak pelaku kejahatan. 

2. Risiko Viktimisasi
Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara
lain menimbulkan gejala fear of crime dari anggota
masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai
kondisi ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial
menjadi korban kejahatan atau merasa dirinya rentan
dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan. Jadi
sebenarnya fear of crime itu sangat perseptual, tergantung
bagaimana individu yang bersangkutan mengukur
kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan.
Analisis risiko menjadi penting dalam memahami
hubungan antara pelaku dan korban dalam terjadinya
suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan
hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya
membawa pelaku kejahatan kepada korban.
Analisis risiko juga penting dalam hal memahami
hubungan antara pelaku dan korban dalam terjadinya
suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan
hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya
membawa pelaku kejahatan kepada korban. Namun

174 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


masalahnya adalah tidak semua pihak yang terviktimisasi
menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban
dari suatu kejahatan.

D. Reaksi Sosial terhadap Kejahatan dan Penjahat


1. Reaksi Represif dan Reaksi Preventif
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan
(penjahat), dilihat dari segi pencapaian tujuannya, dapat
dibagi menjadi dua, yakni reaksi yang bersifat (represif) dan
reaksi yang bersifat (preventif). Karena berbeda tujuannya
maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya
dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. Secara
singkat, pengertian reaksi atau tindak represif adalah
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang
ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa
kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi
dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang
dijunjung tinggi. Sementara itu yang dimaksud dengan
reaksi atau tindak (preventif) adalah tindak pencegahan
agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak
pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari
reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman
waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang
sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat
berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak
dapat terjadi.

2. Reaksi Formal dan Reaksi Informal


Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang
diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya,
yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang
diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan
reaksi tersebut.

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 175


Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka
secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan
demikian, adalah (1) mencegah agar masyarakat tidak
menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus
kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana,
serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
Kita telah pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan
yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya
diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami
bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang
dari segi pelaksanaannya, dapat dibagi menjadi dua yakni
reaksi formal – yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
dan reaksi informal – yang dilakukan bukan oleh aparat
penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa.
Masyarakat biasa – di samping telah mendelegasikan
haknya kepada aparat penegak hukum – berhak saja
bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka
tidak melanggar peraturan yang ada. Dalam kasanah
kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih
dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi
memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal
pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan
untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari
kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam
dua dimensi, yaitu bentuk dan tempat.

E. Mashab dalam Kriminologi


1. Penggolongan Ajaran tentang Etiologi Kriminal
Dalam studi kriminologi dikenal dua penjelasan
dasar tentang kejahatan, yakni penjelasan spristis atau
demonologis dan penjelasan naturalis. Upaya mencari

176 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


sebab musabab kejahatan pada akhirnya sampai pada
pencarian melalui jalan ilmiah. Upaya-upaya ilmiah
ini menghasilkan penjelasan-penjelasan yang berbeda-
beda, yang demi kepentingan praktis dikelompokkan
dalam beberapa tipologi ajaran tentang sebab musabab
kejahatan. Memang penggolongan itu mempermudah cara
mempelajari sesuatu pengetahuan, akan tetapi di samping
ini ada pula segi-segi negatifnya yakni berupa bahaya-
bahaya sebagai berikut:
a. Orang cenderung untuk melebih-lebihkan
penggolongan atau perbedaan-perbedaan antara
golongan-golongan yang satu dengan golongan yang
lain.
b. Dengan penggolongan ini batas-batas antara golongan
yang satu dengan golongan yang lain sering dipertajam,
sehingga apa yang berada di tengah-tengahnya
dimasukan saja ke dalam salah satu golongan.
c. Penggolongan mereduksikan apa yang tidak cocok,
buta akan realitas yang tidak cocok, dalam arti tidak
mau tahu akan realitas-realitas yang tidak cocok.
Dengan demikian bila ternyata ada hal-hal/segi-segi
yang tidak cocok dengan apa yang telah digariskan
oleh penggolongan, maka seringkali hal-hal/segi-segi
tersebut dihilangkan saja, dianggap tidak ada.

2. Mashab Klasik Hingga Kritis


Mashab Klasik sangat kental oleh pemikiran
Beccaria yang menghendaki penataan terhadap sistem
penghukuman yang ada. Aspek yang menonjol dari
mashab ini adalah pemikiran tentang Administration of
Justice. Di mana terkandung prinsip dasar yang mengatur
penyelenggaraan penjatuhan hukuman.
Pemikiran Administration of Justice dari mashab
Klasik sangat mewarnai Undang-undang Pidana Perancis
1791 (Code 1791). Namun pada penerapannya kemudian

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 177


ditemukan adanya hal-hal yang menyebabkan Code 1791
dirasakan justru melestarikan kesewenang-wenangan
penghukuman. Dalam pemberian hukuman, perhatian
dan perlakuan terhadap pelanggar hukum, dalam hal-
hal tertentu mendapat perhatian secara lebih individual,
seperti usia pelanggar dan kemampuan mental/kejiwaan
dihubungkan dengan pertanggungjawaban secara hukum.
Namun demikian, menurut prinsip dasarnya, mashab
neoklasik dan mashab klasik tidaklah jauh berbeda.
Upaya-upaya pencarian sebab-musabab kejahatan,
pada masa-masa berikutnya, mendapat perhatian yang
serius dan tidak lepas dari pengaruh revolusi ilmu
yang berlangsung di Eropa. Kejahatan tidak lagi dicari
akarnya pada konsep yang tidak dapat dijelaskan secara
ilmiah, dan harus dicari dengan menggunakan metode
ilmiah. Penjelasan tentang sebab musabab kejahatan oleh
Mashab Positif dilandasi pemikiran Lombroso, yang
musabab kejahatan dengan memfokuskan pada−mencoba
mencari sebab pendekatan individual. Musabab kejahatan
dengan−Tidak berhenti pada upaya menjelaskan sebab
pendekatan individual, Mashab Positif juga berusaha
menjelaskan sebab-musabab kejahatan berdasarkan
pendekatan lingkungan, serta menghubungkan gejala
kejahatan dengan kondisi-kondisi ekonomi, hasil belajar
sosial, dan dengan konflik budaya.
Dalam perkembangan pemikiran tentang kejahatan,
maka muncullah upaya musabab kejahatan dalam
hubungannya dengan eksistensi−yang mencari sebab
hukum. Hal ini muncul karena adanya pemikiran bahwa
hukumlah yang menentukan keberadaan kejahatan. Aliran
pemikiran yang demikian, kemudian, dikenal sebagai
Mashab Kritis.

178 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


F. Lingkungan Sosial dan Kejahatan
1. Teori Zona Konsentrasi
Park yakin benar bahwa kota dapat digunakan sebagai
bahan pustaka untuk mempelajari kejahatan. Karena
kota merupakan suatu organisme sosial tempat di mana
masyarakat ketetanggaan dapat bertahan. Persoalannya,
mengapa kejahatan berkembang dan meluas dalam
daerah tertentu sementara di daerah lain kejahatan tidak
berkembang. Atas hal ini, Park dan koleganya Burgess
merujuk pada konsep zona konsentrasi menurut pekerjaan
penduduknya dan karakteristik kelas. Mereka mencermati
bagaimana zona perkotaan berubah dari waktu ke waktu
dan apa dampak dari proses perubahan tersebut bagi
tingkat kejahatan.
Park dan Burgess menunjukkan bahwa zona transisi
adalah sumber utama kejahatan perkotaan. Pada zona
ini, dapat ditemui tingkat kenakalan remaja yang tinggi
dan berbagai masalah sosial lainnya. Memahami bentuk,
sifat atau karakter kejahatan perkotaan akan memberi
kemungkinan bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri
kejahatan perkotaan. Atas dasar itu, dapat dirumuskan
berbagai kebijakan untuk melakukan pencegahan maupun
penaggulangannya.
Sepanjang kejahatan perkotaan diartikan sebagai
perbuatan yang dapat dipidana menurtut perundang-
undangan yang berlaku, maka secara umum tidak ada
perbedaan yang mendasar antara kejahatan perkotaan
dengan kejahatan yang bukan kejahatan perkotaan, atau
kejahatan pada umumnya. Pencurian, pembunuhan,
penganiayaan, penipuan, penggelapan, perkosaan dapat
terjadi di mana saja. Namun harus diakui bahwa ada pula
bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang hanya mungkin
terjadi atau sekurang-kurangnya dipermudah oleh
lingkungan perkotaan. Tanpa mengurangi adanya karakter

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 179


khas seseorang, secara umum dapat dikatakan bahwa
dorongan untuk melakukan kejahatan tidak semata-mata
karena memang tersimpan tingkah laku jahat, tetapi juga
ada faktor-faktor nilai, keadaan dan lingkungan yang tak
jarang justru menjadi faktor yang sangat berperan untuk
mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan.

2. Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas Rutin


Hasil pengamatan Shaw, McKay, Stark menunjukkan
bahwa kejahatan tidak akan muncul pada setiap masalah
sosial yang ada namun kejahatan akan muncul andaikata
masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan yang
mendorong aspek-aspek kriminogen.
Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi
beberapa penjelasan tentang mengapa kejahatan terus
berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di
dalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi
sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga
aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan,
heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi
aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk
menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga,
single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural
Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat
mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat,
yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara
bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak
terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat
variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga,
kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang
meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang
meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.
Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi
sangat terkait dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan
menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku
kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.

180 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


G. Struktur Sosial dan Kejahatan
1. Penjelasan Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan
Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah
teori yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
teori yang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial
dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain teori
Anomie, teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori
Struktur Kesempatan Berbeda dan penjelasan tentang
hubungan antara Kondisi Ekonomi dan Kejahatan. Teori
Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma
dalam masyarakat karena adanya jurang perbedaan
yang lebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang
melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-
kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada
warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut.
Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur
Kesempatan Berbeda pada dasarnya menjelaskan aspek
subkebudayaan yang terdapat dalam kebudayaan induk
(dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai
dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan
induk (dominan) tersebut, dapat menimbulkan suatu pola
perilaku kriminal.

2. Kejahatan Tertentu dalam Konteks Struktur Sosial


Struktur sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan
munculnya beberapa kejahatan tertentu. kejahatan itu
sebenarnya didukung oleh perbedaan struktur sosial
itu sendiri. Pemahaman dan persepsi yang salah oleh
kelompok tertentu yang berada di dalam struktur sosial
dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan tertentu
yang dapat digolongkan sebagai kejahatan, yang menurut
orang yang bersangkutan dimungkinkan dan dibenarkan
karena dirinya berada dalam struktur sosial dimaksud.
Beberapa kejahatan tersebut antara lain white collar crime
dan domestic violence. Secara harafiah white collar crime

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 181


diartikan sebagai ‘kejahatan kerah putih’. White collar
crime adalah kejahatan yang melibatkan orang yang
terhormat dan dihormati serta berstatus sosial tinggi
(Sutherland dan Cressey, 1960). Versi lain mengatakan
bahwa “kejahatan orang berdasi” adalah penyalahgunaan
kepercayaan oleh orang yang pada umumnya dipandang
sebagai warga yang jujur dalam kehidupan mereka sehari-
hari.
Domestic Violence atau kekerasan dalam rumah
dapat adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah
tangga. Rumah Tangga, dapat diartikan sebagai tempat
semua orang yang tinggal di bersama di satu tempat
kediaman. Dalam perkembangannya, rumah tangga ini
dapat berupa wadah dari suatu kehidupan penghuninya
yang bisa saja terdiri dari berbagai status, seperti suami
istri, orangtua dan anak; orang yang mempunyai hubungan
darah; orang yang bekerja membantu kehidupan rumah
tangga, orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga;
orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka
yang masih atau pernah tinggal bersama.

H. Proses Sosial dan Kejahatan


1. Teori Belajar Sosial
Teori Differential Association dari Sutherland, pada
pokoknya, mengetengahkan suatu penjelasan sistematik
mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan
dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari
melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam
kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu
menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan,
motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan
pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung
dilakukannya kejahatan.

182 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


2. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu
kekuatan pemaksa di dalam masyarakat bagi setiap
warganya untuk menghindari niat melanggar hukum.
Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari
Kontrol Sosial yang bersifat positif, yakni Attachment,
Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini
merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang yang
berniat melakukan pelanggaran hukum.

3. Teori Label
Munculnya teori Labeling menandai mulai
digunakannya metode baru untuk mengukur atau
menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran
kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial
yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama,
menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana
orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari
label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan
yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.

I. Konflik Sosial dan Kejahatan


1. Perspektif Konflik dalam Sosiologi
Hubungan antara Perspektif konflik dan
perspektif fungsional di dalam sosiologi adalah
unik dengan fakta bahwa beberapa sarjana sosiologi
mengakui perspektif konflik adalah lawan yang tepat
dari perspektif fungsional, sementara orang lain
berpendapat bahwa perspektif konflik dan perspektif
fungsional tidaklah serupa dan bahwa Perspektif konflik
hanyalah suatu jiplakan dari Perspektif fungsional.
Penganjur utama dari gagasan bahwa perspektif konflik

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 183


adalah lawan yang tepat dari perspektif fungsional adalah
Ralf Dahrendorf. Dahrendorf, yang menganggap dirinya
sebagai ahli teori konflik, mensejajarkan perspektif
konflik dengan perspektif fungsional untuk menunjukkan
bagaimana sangat berbedanya ke dua perspektif tersebut.
Sungguhpun Dahrendorf melihat perbedaan utama
antara perspektif konflik dan perspektif fungsional,
namun ia mengakui bahwa Masyarakat tidak bisa ada
tanpa kedua-duanya, konsensus dan konflik, yang mana
adalah prasyarat dari tiap lainnya. Begitu, kita tidak bisa
mempunyai konflik kecuali jika ada beberapa konsensus
lebih dulu.
Salah satu ahli teori yang mencoba untuk menunjukkan
bagaimana fungsionalisme struktural dan teori konflik bisa
dikombinasikan adalah Lewis Coser. Coser berpendapat
bahwa di bawah kondisi-kondisi tertentu konflik dapat
bersifat fungsional bagi suatu masyarakat. Artinya, konflik
itu ada gunanya bagi perkembangan masyarakat.

2. Teori Konflik Kebudayaan


Teori konflik kebudayaan memandang bahwa
masyarakat membawa potensi konflik melalui penerapan
budayanya, terlebih jika satu masyarakat dengan
budayanya bertemu atau bersinggungan dengan
masyarakat yang lain dengan budaya yang lain dalam
situasi saling berlomba dan mendominasi. Terkait dengan
budaya yang terinternalisasi dalam suatu masyarakat
atau kelompok tertentu maka muatan kepentingan yang
khas dari masyarakat atau kelompok juga mewarnai
konflik yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Konflik
kepentingan tersebut oleh beberapa pakar aliran konflik
ini kemudian dipercaya akan terkait dan terwujud dalam
berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Hukum,
dengan demikian, juga merupakan salah satu aspek
kehidupan bermasyarakat yang terkait dan bahkan

184 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dapat dijadikan sarana oleh kelompok tertentu untuk
merealisasikan kepentingan “ingroup”nya.

3. Konflik Kelas Sosial dan Kejahatan


Quinney dalam teorinya tentang realitas kejahatan
mengatakan bahwa realitas kejahatan yang dikonstruksi
untuk seluruh anggota masyarakat oleh mereka dalam
tampuk kekuasaan merupakan realitas di mana kita
cenderung menerimanya sebagai bagian dari kita sendiri.
Dengan melakukan hal itu, kita mengakui eksistensi
mereka yang dalam tempuk otoritas untuk melaksanakan
tindakan yang sebagian besar mempromosikan
kepentingan mereka. Ini adalah realitas politik (politics
of reality). Realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah
masyarakat yang terorganisasi secara politik terkonstruksi
sebagai sebuah tindakan politik.
Chambliss dan Seidman (1971) mulai dengan
pernyataan bahwa ketika masyarakat menjadi semakin
kompleks, maka kepentingan individu dalam masyarakat
mulai berbeda, dan mereka lebih mungkin berada dalam
konflik satu dengan lainnya dan harus dibantu untuk
memecahkan perselisihan ini.
Menurut kedua pakar ini perbedaan seperti ini
timbul karena nilai sebagian besar orang dipengaruhi oleh
kondisi kehidupan mereka yang semakin berbeda karena
masyarakat semakin kompleks. Pada umumnya, akibat
dari perselisihan tersebut dapat terselesaikan melalui
rekonsilasi atau kompromi. Kedua pakar ini kemudian
mengemukakan bahwa menarik sekali untuk mencari
apakah yang terbaik bagi penjelasan tentang apa yang
sesungguhnya terjadi dalam pembuatan dan penegakkan
hukum, apakah itu consensus model ataukah conflict
model.
Teori lain yang juga memusatkan perhatian pada
hubungan antara kejahatan dengan konflik kelas adalah

Bab 8 Ruang Lingkup Studi Kriminologi 185


teori yang dikemukan oleh David M. Gordon tentang Class
and Economic of Crimen yang diterbitkan pada tahun 1971.
Gordon mengatakan bahwa kejahatan, pada hakikatnya,
merupakan respon-respon rasional terhadap bekerjanya
sistem ekonomi dominan dari suatu negara yang ditandai
oleh persaingan serta berbagai bentuk ketidakmerataan.
Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang bertindak
secara rasional untuk bereaksi terhadap kondisi-kondisi
kehidupan golongan sosialnya di dalam masyarakat.
Kemudian juga Taylor, Walton dan Young
mempromosikan suatu pendekatan baru dalam upaya
mereka melakukan penelitian dan pemahaman ilmiah
terhadap masalah kejahatan. Untuk lebih memahami
secara jelas tentang apa yang disebut sebagai kejahatan,
maka atas hal itu mereka kemudian memfokuskan pada
berbagai upaya dalam mengungkapkan kejahatan.

186 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 9

HAM DAN IMPLEMENTASINYA


DI  INDONESIA

A. Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia
semata-mata karena ia manusia. Hak asasi manusia bersifat
universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut  (inalienable).
Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh
seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang,
ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap
memiliki hak-hak tersebut. Sejumlah hak universal atau yang
umum dimiliki oleh setiap manusia yaitu diantaranya hak
hidup, kebebasan dan keamanan. Hak-hak tadi dimilki oleh
setiap manusia tanpa memandang ras, suku, budaya, agama,
warna kulit, jenis kelamin, pendapat politik, asal kebangsaan,
status sosial, atau latar belakang lainnya.
Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu berada dalam
situasi hommo homini luppus bellum omnium comtra omnes.
Sementara John Lock memandang masyarakat benegara
merupakan kehendak manusia yang diwujudkan dalam
dua bentuk perjanjian, yakni pactum unionis, perjanjian antar

Bab 9 HAM dan Implementasinya di Indonesia 187


anggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik
dan negara, dan pactum subjectionis, perjanjian antara rakyat
dengan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang
tetap melekat ketika berhadapan dengan kekuasaan sang
penguasa.
Selain Hobbes dan Locke, filsuf Prancis Montesqieu
sangat mempengaruhi perkembangan perlindungan hak asasi
di Prancis. Bersama-sama dengan Rousseau ia melahirkan
Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara pada tahun
1789. Deklarasi inilah yang kemudian melahirakan hak atas
kebebasan (Liberty), harta (Property), keamanan (Safety), dan
perlawanan terhadap penindasan (Resistence to Oppression).
Selain pandangan Internasional terhadap hak asasi
manusia, bangsa Indonesia juga mempunyai pandangan
bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi sesuai
dengan Pancasila. Dalam perjalanan sejarah, bangsa Indonesia
mengalami berbagai kesengsaraan dan penderitaan yang
disebabkan oleh penjajahan. Oleh karena itu pandangan
mengenai hak asasi manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia
bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai
luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Hak warga negara Indonesia antara lain:
a. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
(Pasal 27 ayat 1 UUD 1945);
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal
27 ayat 2 UUD 1945);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28
UUD 1945);
d. Hak / kebebasan memeluk agama atau kepercayaan
masing-masing (Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945);
e. Hak dan kewajiban membela negara (Pasal 30 ayat 1
UUD 1945);
f. Hak mendapat pengajaran (Pasal 31 ayat 1 UUD
1945);

188 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


g. Kebudayaa Nasional Indonesia (Pasal 32 UUD 1945);
h. Kesejahteraan Sosial (Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 Pasal 34
UUD 1945).

B. Sejarah Perkembangan Hukum yang Mengatur


HAM
Sejarah membuktikan bahwa kesadaran manusia
terhadap hak-hak asasi akan meningkat bila terjadi
pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan seperti adanya
perbudakan, penjajahan, dan ketidakadilan. Perjuangan atas
pengakuan dan usaha menegakkan hak-hak asasi manusia
dari berbagai bangsa banyak dituangkan dalam berbagai
konvensi, konstitusi, perundang-undangan, teori dan hasil
pemikiran yang pernah hadir di muka bumi ini. Sejarah hak
asasi manusia secara khusus dapat ditelusuri sejak adanya
Magna Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679),
Petition of Rights (1689), dan Bill of Rights (1689).
Setelah Perang Dunia II (1939-1945) yang memakan
banyak korban dan banyak menimbulkan pelanggaran
hak-hak asasi manusia, Franklin D Roosevelt (Presiden AS)
mencetuskan The Four Freedom yakni kebebasan untuk
berbicara dan mencetuskan pendapat, kebebasan untuk
beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari
kemelaratan. Setelah Universal Declaration of Human Rights
diterima PBB pada 10 November 1948 di Paris kemudian
diterima pula Convenants of Human Rights pada sidang PBB
tanggal 16 Desember 1966, hingga sekarang masalah hak asasi
manusia telah diakui dalam hukum internasional.
Pengakuan dan penghargaan HAM tidak diperoleh
secara tiba-tiba, tetapi melalui sejarah panjang. Berdasarkan
sejarah perkembangannya, ada tiga generasi hak asasi
manusia, sebagai berikut:

Bab 9 HAM dan Implementasinya di Indonesia 189


1. Generasi pertama adalah Hak Sipil dan Politik yang
bermula di dunia Barat (Eropa), contohnya hak atas
hidup, hak atas kebebasan dan kemananan, hak atas
kesamaan di muka peradilan, hak kebebasan berpikir
dan berpendapat, hak beragama, hak berkumoul dan
hak untuk berserikat.
2. Generasi kedua adalah Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
yang diperjuangkan oleh negara Sosialis di Eropa Timur,
misalnya hak atas pekerjaan, hak atas penghasilan
yang layak, hak membentuk serikat pekerja, hak atas
pangan, kesehatan, hak atas perumahan, pendidikan
dan hak atas jaminan sosial.
3. Generasi ketiga adalah Hak Perdamaian dan
Pembangunan yang diperjuangkan oleh negara-negara
berkembang ( Asia-Afrika), misalnya hak bebas dari
ancaman musuh, hak setiap bangsa untuk merdeka, hak
sederajat dengan bangsa lain, dan hak mendapatkan
kedamaian.
Perkembangan berikutnya yaitu muncul generasi
keempat hak asasi manusia (TIM ICCE UIN, 2003). Hak asasi
manusia generasi keempat ini mengkritik peranan negara
yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang
berfokus pembangunan ekonomisehingga menimbulkan
dampak negatif bagi keadilan rakyat. Program pembangunan
dijalankan tidak memenuhi kebutuhan rakyat banyak tetapi
untuk sekelompok atau elite penguasa saja. Pemikiran hak
asasi manusia generasi keempat dipelopori oleh negara-
negara Asia pada tahun 1983 yang melahirkan deklarasi Hak
Asasi Manusia yang disebut Declaration of The Basic Duties of
Asian People and Government. Pemikiran generasi keempat
ini lebih maju dari generasi ketiga, karena tidak saja mencakup
struktural, tetpai juga berpijak pada terciptanya tataan sosial
yang berkeadilan. Deklarasi Hak Asasi Manusia Asia selain
berbicara tentang Hak Asasi juga berbicara tentang kewajiban
asasi.

190 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


C. Kelembagaan Nasional HAM di Indonesia
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan
terhadap hak asasi manusia, di samping dibentuk aturan-
aturan hukum juga dibentuk kelembagaan yang menangani
masalah yang berkaitan dengan penegakkan hak asasi
manusia, antara lain:
1. Komnas HAM
Komisi Nasional HAM pada awalnya dibentuk
dengan keppres No. 50 tahun 1993 sebagai respon terhadap
tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional
mengenai perlunya penegakkan hak-hak asasi manusia di
Indonesia. Kemudian dengan lahirnya undang-undang
No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Komnas
HAM terbentuk dengan keppres tersebut harus sesuai
dengan UU No. 39 tahun 1999. Yang bertujuan untuk
membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan meningkatkan
perlindungan dan penegakkan hak-hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya
dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan.

2. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan


Dibentuk berdasarkan Keppres No. 181 tahun
1998. Dasar pertimbangan pembentukan komisi
nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya
dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Sifatnya independen dan bertujuan untuk
menyebarluaskan pemahaman bentuk kekerasan terhadap
perempuan, menegmbangkan kodisi yang kondusif bagi
penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan serta
meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak
asasi perempuan.

Bab 9 HAM dan Implementasinya di Indonesia 191


3. LSM Prodemokrasi dan HAM
Di samping lembaga penegakkan hak-hak asasi
manusia yang dibentuk oleh pemerintah, ada juga lembaga
sejenis yang dibentuk oleh masyarakat, misalnya Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Governmental
Organization (NGO) yang programnya terfokus pada
demokratisasi dan pengembangan HAM. Yang termasuk
dalam LSM ini antara lain adalah Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS).

D. Implementasi HAM di Indonesia


Ideologi yang dianut oleh suatu negara pada dasarnya
akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di negara
tersebut, termasuk penerapan hak-hak asasi masyarakatnya.
Negara-negara Barat, seperti Amerika, dengan paham
Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya untuk
melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran
swasta lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat
kecil dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut
berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang
“kebablasan” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas,
persaingan bebas, dan sebagainya yang banyak menimbulkan
masalah-masalah baru bagi sebagian masyarakat. Imbas
lainnya dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya kaum
ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum kapitalis)
memiliki kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai
sektor usaha. Paham lainnya yang berkembang di negara-
negara Timur (seperti di Uni Soviet dan RRC pada masa lalu)
adalah komunisme.
Dampak yang ditimbulkan oleh ideologi tersebut
adalah berkebalikkan dengan apa yang ditimbulkan oleh

192 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Liberalisme. Hak-hak masyarakat diakui, namun tidak
sepenuhnya dipedulikan oleh pemerintah. Peran pemerintah
sangat dominan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan.
Pada praktik kehidupan bernegara, pemerintah bersikap
otoriter dan tidak peduli terhadap aspirasi rakyat. Hal tersebut
berdampak pada pembungkaman suara rakyat dan pers,
sehingga mencukur demokrasi yang seharusnya menjadi hak
rakyat.
Berbeda dengan negara-negara tersebut, Indonesia
menganut ideologi Demokrasi Pancasila, sehingga
implementasi hak asasi manusia di Indonesia seharusnya
berjalan dengan baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari paham
Demokrasi Pancasila. Menurut ideologi tersebut, hak-hak asasi
setiap rakyat Indonesia pada dasarnya diimplementasikan
secara bebas, namun tetap dibatasi oleh hak-hak asasi
orang lain. Jadi, ideologi ini menawarkan kebebasan yang
bertanggung jawab dalam mengimplementasikan hak asasi
manusia. Namun hal tersebut perlu dikaji lebih dalam, sebab
ideologi yang dianut oleh negara Indonesia tercinta ini belum
tentu dapat diterapkan oleh rakyat tersebut dengan benar
sepenuhnya.
Sejak era reformasi berbagai produk hukum dilahirkan
untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia,
khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, UUD 1945
pasal 28A sampai pasal 28J, Ketetapan MPR Nomor XVII/
MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa),
UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol,
UU Otonomi Daerah, perlakuan atau hukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan UU
ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Dari sisi politik,
rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas.
Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi
dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas
kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam

Bab 9 HAM dan Implementasinya di Indonesia 193


pemerintahan, yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan
pemerintahan demokratis telah dinikmati oleh sebagian besar
rakyat Indonesia.
Melalui berbagai media hampir semua lapisan rakyat
Indonesia sudah dapat mengekspresikan perasaan dan
pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was seperti pada zaman
Orde Baru. Rakyat Indonesia relatif bebas mengkomunikasikan
gagasan dan informasi yang dimilikinya. Rakyat menikmati
pula hak atas kebebasan berkumpul. Pertemuan-pertemuan
rakyat, seperti, seminar, rapat-rapat akbar tidak lagi
mengharuskan meminta izin penguasa seperti di masa Orde
Baru. Kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh,
petani, seniman, dan lain sebagainya yang ingin melakukan
demonstrasi atau unjuk rasa di depan kantor atau pejabat
publik tidak memerlukan izin, tapi sebelum menjalankan
unjuk rasa diwajibkan untuk memberitahu polisi.
Rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan
berorganisasi. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-
partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi
politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikian organisasi-
organisasi kemasyarakatan, seperti serikat petani, serikat
buruh, perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya.
Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari
bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan
bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang
demokratis.
Rakyat Indonesia telah pula menikmati hak politiknya,
yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan di mana
rakyat berperan serta memilih secara langsung para anggota
DPR dan DPRD pada tahun 1999 dan tahun 2004. Pada tahun
2004 untuk pertama kali rakyat memilih langsung Presiden
dan Wakil Presiden. Selanjutnya pada tingkat provinsi,
kabupaten, dan kotamadya, rakyat dapat memilih langsung
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebelum ini belum pernah
ada presiden perwujudan hak atas kebebasan politik dalam
sejarah Indonesia.

194 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Selain itu, kebebasan politik yang membuka jalan bagi
terpenuhinya empat kebebasan dasar yang mencakup hak
atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas
kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi,
dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, belum
dinikmati oleh kelompok minoritas agama. Sejumlah daerah
juga memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat
bertentangan dengan konsep penghormatan kepada hak asasi
manusia dan UUD 1945 pasal 29 yang menjamin kebebasan.
warga negara dalam memeluk agama dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu.
Demikian pula kelompok minoritas dalam agama,
misalnya Ahmadiyah terus mengalami diskriminasi dan
pengawasan oleh negara. Bukan hanya itu, sebagian penganut
Ahmadiyah juga sempat menjadi korban dari tindakan
anarkis yang dilakukan oleh sejumlah oknum dari organisasi
masyarakat tertentu. Kebebasan politik yang dinikmati oleh
masyarakat Indonesia ternyata juga tak diimbangi dengan
perlindungan hukum yang semestinya bagi hak-hak sipil,
seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas
kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat,
hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang
semestinya, hak atas pengakuan pribadi di depan hukum,
dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan
kebencian.
Dari berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua,
juga Jakarta, dan tempat-tempat lain di Indonesia, dilaporkan
masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-
unsur polisi dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih
terus di alami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti,
buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama,
dan para mahasiswa.
Begitu pula dengan kejahatan terorisme yang dilakukan
oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Jemaah Islamiyah

Bab 9 HAM dan Implementasinya di Indonesia 195


telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia,
dan hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme
telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman yang relatif luas
di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi yang lain kejahatan
terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti-
Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum
Acara Pidana biasa. Di bawah UU Anti Kejahatan Terorisme itu,
polisi dengan mengesampingkan perlindungan hak sipil yang
diatur di bawah hukum acara pidana biasa, dengan mudah
dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi
bagian dari jaringan aktivitas terorisme. Pelaksanaan UU
baru ini telah memberikan dampak buruk bagi hak-hak sipil
meskipun belum tentu berdosa, namun karena dicurigai
mempunyai hubungan dengan pelaku kejahatan terorisme, bisa
mengalami penangkapan, penahanan, kekerasan, penyiksaan,
dan pemeriksaan. Keadaan ini jelas memperburuk kondisi hak
sipil dan politik. Karena itu, Komnas HAM bersama Komnas-
HAM se Asia Pasifik, mendesak agar negara-negara Asia
Pasifik tetap tegas dalam memberantas kejahatan terorisme,
namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan
mengindahkan hukum HAM.

196 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


BAB 10

KISAH INSPIRATIF MANTAN


NARAPIDANA

Tidak mudah menjalani hari-hari di dalam penjara bagi


seorang narapidana. Selain hilangnya kebebasan, banyak
hal buruk bisa menimpa selama menjalani masa hukuman.
Namun tantangan yang lebih besar justru berada di luar
penjara saat seorang napi dibebaskan. Pasalnya tidak mudah
untuk bersosialisasi ke tengah masyarakat, bahkan tidak
sedikit yang gagal dan kembali melakukan kejahatan.
Perjalanan hidup Buyung Azwar, mantan napi yang
pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang,
Jakarta Timur, selama tujuh tahun karena membunuh. Sudah
18 tahun dia keluar dari penjara sehingga tidak lagi merasakan
penolakan dari masyarakat. Meski dari sisi materi kehidupan
Buyung saat ini berkecukupan, tantangan yang dihadapi
cukup berat. Sejak keluar dari penjara tahun 1987 penghasilan
Buyung dari bekerja di terminal lumayan cukup menghidupi
istri dan lima anaknya. Tantangan datang di tahun 2002
ketika mata pencariannya diganggu. Sebuah organisasi massa
mengambil alih pekerjaannya. Buyung yang ketika itu baru
mengalami kecelakaan tak bisa berbuat banyak.

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana 197


Buyung kemudian dijanjikan dana bulanan yang nilainya
sangat kecil sehingga harus cari pinjaman untuk menghidupi
keluarga. Kadang pria berbadan kekar ini hampir kehilangan
kesabaran. “Saya sebenarnya tidak mau lagi melanggar
hukum, tapi kalau menyangkut nasib anak dan istri, kesabaran
saya juga ada batasnya,” tegas Buyung. Syukur Buyung tidak
sampai kehilangan kesabaran, dia memilih untuk mencari
pekerjaan lain dan berusaha bertahan dengan kemampuan
yang dia miliki.
Hal yang sama juga dirasakan Fauzi Isman, mantan
tahanan politik kasus Talang Sari, Lampung. Fauzi dipenjara
10 tahun di LP Cipinang dan LP Cirebon karena dituduh ingin
mendirikan negara Islam. Keluar dari penjara tahun 2002
Fauzi mengaku tak mudah diterima masyarakat. “Biasanya
para napol yang bebas ke masyarakat merasa dirinya besar,
tapi dalam perjalanan tidak seperti yang diharapkan sehingga
mereka merasa kecewa,” ujarnya.
Fauzi yang punya ijazah dari akademi statistik ini
sadar ketika keluar penjara dia harus punya keahlian agar
tidak tergantung pada orang lain. Kebetulan dia memiliki
keahlian memijit dan tai-chi, olahraga pernapasan asal Cina
yang dipelajari ketika berada di LP Cirebon. Sejak membuka
praktik memijat Fauzi mulai merasakan nikmatnya hidup
merdeka. Apalagi sang istri Yulinda ikut membantu dengan
menjadi tukang pijat. “Dengan tai-chi ini saya sudah bisa
hidup,” jelasnya.
Baik Buyung maupun Fauzi tak ingin kembali ke penjara.
Baginya hidup di alam bebas tetap lebih menyenangkan
meski didera berbagai tantangan hidup. “Kalau memang mau
kembali ke masyarakat, kita harus memberikan contoh yang
baik agar bisa diterima,” ujar Buyung. Beruntunglah Buyung
dan Fauzi, yang bisa menjadikan penjara sebagai tempat
belajar hal-hal positif, ketimbang banyak napi lain yang
kembali terjerat hukum setelah mereka terjun ke masyarakat.
Semua Orang Punya Kesempatan Kedua Untuk

198 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Memperbaiki Hidup. Bahkan Ketika Anda Merupakan Seorang
Mantan Narapidana. Banyak yang memandang sebelah mata
jika seseorang pernah menjadi tahanan dari suatu Lembaga
Permasyarakatan (Lapas). Padahal, mantan narapidana (napi)
juga memiliki satu sisi positif yang ada di dalam dirinya.
Berikut beberapa cerita mantan napi yang kini sukses,
mulai dari jadi artis, pengusaha sampai ustad kondang. kisah
mantan narapidana yang bertobat dan menjadikan hidup
mereka lebih berguna.  Memang lapangan pekerjaan untuk
para mantan narapidana sangat terbatas. Label “mantan
napi” yang melekat di diri mereka secara tidak langsung
menjadi penghalang saat mencari pekerjaan. Namun mereka
membuktikan bahwa mantan napi bisa sukses. 

A. Kisah Mongol Stres, Mantan Napi Yang Sukses


Menjadi Komika Termahal
Mungkin sebagian dari Anda tidak asing lagi dengan
sosok yang satu ini, terutama bagi para penggemar stand up
comedy. Gaya berbicaranya yang ceplas-ceplos dan lucu ketika
diatas panggung stand up comedy membuat nama Mongol
Stres mulai dikenal oleh banyak masyarakat. Ya, pria asal
Manado ini kini telah sukses menjadi komika dengan bayaran
yang fantastis yaitu kisaran puluhan juta sekali manggung per
15 menit. Bahkan dalam beberapa wawancara, Mongol Stres
pernah berbicara blak-blak soal honor yang Ia dapat.
“Kalau di Jakarta, per 15 menit saya dibayar Rp 25 juta.
Kalau untuk luar kota per 15 menitnya Rp 45 juta rupiah,”
ucap Mongol Stres
Keberhasilan Mongol stres ini tentu saja tidak didapat
dengan mudah karena sebelum mencapai kesuksesan seperti
sekarang ini ternyata banyak cerita pahit yang telah dilalui
oleh pria yang bernama asli Roni Immanuel. Mulai dari

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana 199


menjadi pramusaji di restoran Padang, tukang jual koran,
menjadi asisten artis hingga masuk bui pun pernah Ia alami.
Mongol ingat betul mengapa Ia bisa masuk bui dan
mungkin ini merupakan menjadi pelajaran yang berharga
bagi dirinya. Ia bercerita bahwa pada saat itu sedang berada
di lokasi syuting dan kemudian bertemu dengan sekelompok
orang yang sedang bermain kartu. Nah, dirinya diminta ikut
bermain dan menggantikan posisi orang lain yang berhenti
bermain tetapi baru saja duduk dan bermain kartu ternyata
udah ada polisi dan akhirnya Ia ditangkap dan dipenjara.
Namun Mongol Stres hanya 2 bulan dipenjara dan
kemudian Ia kembali pada bos nya yang pada saat itu adalah
Dirly Idol. Sayangnya, bukannya diterima bekerja kembali
tetapi Mongol justru di pecat oleh Dirly.

Tidak hanya itu, Mongol juga pernah mendirikan Creative


Manajemen bersama temannya tetapi lagi-lagi karena alasan
perbedaan prinsip maka Ia pun keluar dari manajemen
tersebut. Nah, karena telah malang melintang di Jakarata
dari tahun 1998 dan berbagai macam profesi telah Ia jalani.
Akhirnya kini mongol stres bisa menjadi komika sukses  dan
tetap eksis hingga sekarang, bahkan honornya sekali
manggung pun sangatlah mahal.
Sejak menekuni dan sukses di dunia stand up comedy,
Mongol kini mempunyai aset hingga miliaran rupiah. Tak
seperti para artis lainnya yang suka hura-hura, mongol justru
benar-benar memanfaatkan penghasilannya untuk investasi.
Sehingga tak heran apabila kini Ia mampu membeli 28 mobil
dimana 26 diantaranya disewakan dan membeli tujuh unit
apartemen dibeberapa lokasi di Jakarta.
Mongol membeli semua itu tentunya tujuannya untuk
investasi karena Ia sadar, tidak akan selamanya tetap bisa
eksis di dunia stand up comedy. 

200 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


B. Angki Purbandono, Mantan Napi ini Sukses Gelar
Pameran Fotografi di Korsel
Angki Purbandono menjadi potret positif mantan
narapidana yang sukses berkarir di dunia fotografi dengan
mengadakan pameran di Korea Selatan. Negara di Eropa,
Amerika Serikat, Jepang telah dirambahnya, dan kini
menyusul Negeri pada 15 Mei hingga 29 Mei 2015. Pameran-
pameran yang diselenggarakan itu berawal dari gerakan saat
dia masih berada di balik jeruji besi. 
“Eropa, Amerika, Jepang. Terakhir, pameran hasil karya
narapidana. Karya dari semua yang dipenjara dipamerkan
di Korea Selatan tanggal 15 sampai 29 Mei ini,” ujarnya usai
peluncuran buku Voicing The Voiceless di Teater Kecil Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Meski masa tahanannya hanya satu tahun, Angki
mengaku kehidupannya setelah keluar dari penjara adalah
titik baru kehidupannya. Dengan capaian tersebut, dia merasa
menjadi satu di antara mantan warga binaan yang beruntung
karena berkesempatan mengembangkan potensi diri.
“Saya merasa beruntung mendapat kesempatan
untuk mengembangkan diri dan menjadi seperti sekarang,”
katanya.
Sebagai saksi hidup pembinaan di lapas, dia pun
berinisiatif menularkan semangat berkarya kepada rekannya
yang menjalani masa hukuman. Melalui cara ini, warga binaan,
tuturnya, akan menjadi manusia utuh yang dibekali semangat
dan potensi diri untuk dapat diterima di masyarakat.
“Saya ingin berbagi dengan teman-teman. Caranya
dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dengan mengajak
seniman-seniman,” katanya.

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana 201


C. Jumaro, Mantan Napi yang Jadi Pengusaha Sukses 
Melihat kesuksesan Jumaro sekarang, mungkin tidak ada
yang menyangka jika pengusaha sukses ini dulu merupakan
mantan narapidana. Masa lalu Jumaro boleh dibilang kelabu,
karena dia pernah menjalani sebagian dari hidupnya di sebuah
lembaga pemasyarakatan di Jawa Tengah, karena didakwa
melakukan penganiayaan terhadap teman kencan istrinya.
Dia waktu itu didakwa telah memotong tangan lelaki yang
telah menjadi teman kencan mantan istri pertamanya itu.
“Sebenarnya bukan saya yang melakukan. Tapi saya
merasa utang budi dengan teman dekat saya yang memberi
tahu bahwa istri saya punya laki-laki lain. Dialah yang
sebenarnya memotong tangan laki-laki itu, bukan saya. Tapi
saya akui semua perbuatannya itu sebagai ucapan terima
kasih,” kenang Jumaro.
Namun, masa lalu yang suram itu tidak menjadikan pria
kelahiran Solo, 3 Januari 1972, itu patah semangat. Pemuda
tamatan STM Solo jurusan Listrik itu kemudian mulai
merintis industri kerajinan tangan dari limbah akar bambu
dan pepohonan lainnya.
Dengan menyebut dirinya adalah “limbah” masyarakat,
dia merasa lebih pas jika mengelola limbah yang ada di
masyarakat. Dia juga sama sekali tidak merasa menyesal
pernah mendekam di penjara selama kurang-lebih tiga bulan
pada 1994. Pengalamannya selama di penjara itu justru
menimbulkan sebuah ide bagi Joko untuk mengembangkan
usaha yang bisa menampung dan mempekerjakan mantan
narapidana.
“Selama ini kami dianggap sebagai limbah masyarakat.
Masyarakat selalu takut jika bertemu dengan kami. Saya ingin
membuktikan bahwa kami juga bisa berharga,” kata Jumaro.
Setelah dinyatakan bebas dari penjara, Joko memulai
usaha nya dengan dibantu oleh ketiga teman serta istri
keduanya, Catur Widiyanti. Berbekal modal Rp 500 ribu,

202 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


dia menyusuri sungai-sungai yang ada di Malang, Jawa
Timur. Bersama tiga rekannya, dia berburu sesuatu yang
selama ini oleh masyarakat dianggap sebagai limbah. Dengan
menggunakan alat sederhana, seperti golok dan pisau, Jumaro
menggali tanah dan mengambil akar-akar bambu yang ada di
pinggir sungai.
Dengan bakat seninya, dia mulai menggarap limbah itu
menjadi sebuah barang kerajinan yang memiliki nilai seni
sangat tinggi, seperti kerajinan berbentuk bebek atau lampu
hias berbentuk kupu-kupu.
Melihat usahanya mulai berkembang, Jumaro mulai
merekrut karyawan yang tidak lain adalah mantan napi dan
pengamen jalanan. Dia ingin menunjukkan kepada masyarakat
bahwa limbah masyarakat itu juga bisa mendatangkan hasil
yang berharga. Waktu telah membuktikan bahwa kegigihan
dan semangat mantan napi ini telah membuahkan hasil.
Limbah itu telah berhasil menghidupi dirinya sekeluarga
serta 46 karyawannya. Kini, dia telah mengembangkan lima
cabang usaha, masih di Malang.

D. Wulan Murad, Narapidana Wanita yang Sukses


Menulis Buku
Terjerat kasus hukum dan ditahan di lembaga
pemasyarakatan atau lapas tidak membuat Wulan Murad
berhenti berkarya. Bahkan dengan keterbatasan yang
dimilikinya, ia bisa menghasilkan satu buku yang bisa
memberikan inspirasi.
Berbekal pengalamanannya menginap di hotel prodeo,
Wulan menulis buku berisi kisah dirinya dan rekan-rekannya
selama menjalani masa tahanan.
“Isinya ada true story dan fiksi, isinya bagus. Kumpulan
cerpen banyak kisah nyata dan pengalaman di sini,” kata

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana 203


Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan (Kasi Binadik) Lapas
Wanita Sukamiskin Bandung, Inna Imaniati.
Menurut Inna, Wulan menunjukkan bakatnya setelah
juara dalam lomba cerpen antar-warga binaan se-Indonesia
pada 2013 silam. Setelah itu, pihak lapas memberikan
fasilitas dan dukungan sehingga buku Suara Napi’ bisa
terealisasikan.
“Pengerjaannya selama 3 bulan. Hanya mulai mencari
bahan dan lain-lain sejak 2013 dan saat mulai menjadi warga
binaan,” imbuh dia.
Ia menambahkan, kendala tidak hanya fasilitas Lapas
yang tidak memadai saat dilakukan pengerjaan buku ini,
tapi masalah dana untuk mencetak saat buku telah selesai
dikerjakan.
“Wulan suka di tempat saya (ruangan) bikin buku karena
nggak ada fasilitasnya. Saya sebagai pembina memberikan
kesempatan seluas-luasnya. Untuk cetak alhamdulillah 1000
eksemplar,” jelas dia.
Inna berharap setelah diluncurkan buku ini bisa
mengurangi stigma negatif masyarakat kepada narapidana
dan mantan narapidana.

E. Anton Medan : Mantan Rampok dan Bandar Judi


Jadi Da’i
Anton Medan atau yang bernama asli Tan Hok Liang. Ia
lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara pada tanggal 1 Oktober
1957. Di usia 8 tahun Anton harus berhenti sekolah karena
permintaan ibunya untuk membantu berjualan kue keliling.
Anton hanya selesai mengenyam bangku Sekolah Rakyat
(sekarang SD) selama 7 bulan dan belum bisa membaca dan
menulis.
Saat berusia 12 tahun, Anton (panggilan kecilnya Koh
Liem) menjadi anak terminal di Tebing Tinggi. Ia menjual jasa

204 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


untuk mencarikan penumpang bagi sopir. Koh Liem dikenal
sebagai pekerja yang rajin. Banyak sopir bus terminal yang
senang dan kerap memanggilnya Cintong (Cina Tongkol).
Meskipun demikian, tak semua sopir menghargai kerja
kerasnya. Hingga suatu ketika ada seorang sopir yang tidak
memberikannya upah. Anton pun protes karena Anton harus
pulang dengan membawa uang untuk menghidupai ibu dan
adiknya. Akan tetapi sopir tersebut malah marah kepadanya.
Tak tahan dengan hal tersebut, maka terjadilah perang mulut.
Akibat tersulut emosi, Anton pun mengambil sebuah balok
kayu dan menghantamkan balok kayu tersebut ke kepala
sopir terminal tersebut sekuat tenaganya. Sopir polisi itu pun
tersungkur berceceran darah dengan kondisi luka di kepala.
Melihat hal tersebut Anton pun melarikan diri, namun
masyarakat mengejarnya dan polisi berhasil menangkapnya.
Anton pun sempat menjadi tahanan kepolisian, namun karena
usianya yang masih belia, ia pun dibebaskan bersyarat.
Pada tahun 1970, Anton merantau ke terminal Amplas
Medan. Usianya baru menginjak 13 tahun. Di Medan ia
bekerja sebagai pencuci bus, seperti halnya di terminal Tebing
Tinggi, ia dikenal sebagai pekerja yang rajin. Dalam satu hari
ia bisa membersihkan 3-5 badan bus yang kotor dan berdebu.
Seolah tak putus dirundung masalah, di terminal Amplas
ini pun uangnya dicuri. Menyadari hal tersebut Anton pun
menyelidikinya. Setelah menemukan siapa pencurinya ia pun
menegur pencuri tersebut dengan berani. Akan tetapi pencuri
tersebut malah marah kepada dirinya dan memukul dirinya.
Tak terima dengan perbuatan pencuri tersebut, Anton pun
membalasnya.
Orang-orang yang melihatnya berkelahi kemudian
melerainya. Pencuri tersebut kembali menuduh dirinya. Di
saat merasa tersudut, akhirnya Anton melihat sebilah kapak
bergerigi yang biasa digunakan untuk membilah es batu yang
tergeletak tak jauh darinya. Secepatnya Anton mengambil
kapak itu dan menghujamkannya ke wajah lawannya.

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana 205


Seketika itu juga lawannya roboh. Beberapa saat kemudian
Anton ditangkap oleh polisi dan mendapatkan hukuman
penjara selama 4 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Tiang
Listrik, Medan.
Di dalam LP, Anton belajar membaca dan menulis.
Kemungkinan memiliki intelegensi yang baik, dalam waktu
satu minggu ia pun sudah bisa membaca koran. Di dalam
LP, Anton juga mencari Tuhan. Tidak yakin dengan agama
pertama yang dianutnya yaitu nasrani, akhirnya ia pun berkali-
kali pindah agama dan akhirnya ia memeluk islam untuk
selamanya. Saat memeluk islam ia menemukan kenyamanan
batin yang tidak ditemukan pada agama lain. Meskipun di
dalam LP Anton banyak belajar tentang agama islam,  akan
tetapi tampaknya Anton belum benar-benar bertaubat.
Setelah 4 tahun menjalani hukuman di penjara, pada usia
17 tahun Anton pun bebas. Kebebasannya tersebut membuat
dirinya merasa gembira dan segera ingin pulang melepas
rindu kepada keluarga. Tapi sayang, sesampainya di rumah
ibu hanya memberikan waktu 2 jam untuk melepas rindu. Ibu
merasa malu kepada tetangga dan meminta agar Anton tidak
kembali lagi. Anton merasa sedih karena dirinya ditolak oleh
sang ibunda. Niatnya ingin merubah diri di jalan yang baik,
namun ibunda menolak kehadirannya untuk tinggal bersama-
sama lagi. Akhirnya dengan berat hati, Anton pun melangkah
pergi.
Di tengah kegalauannya, Anton teringat pamannya yang
berada di Jakarta. Dengan modal nekat hanya membawa uang
seribu rupiah akhirnya Anton pun ke Jakarta dan meminta
bantuan paman untuk mencari pekerjaan yang layak. Akan
tetapi, setibanya di Jakarta, harapan yang ia pupuk selama
ini hancur berantakan. Kurang lebih setelah 7 bulan luntang-
luntung mencari rumah paman, ternyata paman tidak
mengakuinya sebagai keponakan. Begitu pula adiknya juga
tidak mengakui dirinya sebagai kakak karena merasa malu. Ia
merasa sangat kecewa untuk yang kedua kalinya.

206 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Di tengah kekecewaannya yang mendalam, Anton
melakukan apapun untuk dapat bertahan hidup di Jakarta.
Hingga akhirnya Anton bertemu dengan kenalannya di
simpang jalan yang bepenampilan perlente. Orang tersebut
ternyata baru saja menjambret. Merasa tidak memiliki teman
dan pekerjaan, setelah mendengar cerita orang tersebut,
akhirnya Anton pun tergiur. Akhirnya ia menjual celana
kesayangannya demi sebuah pisau. Dengan pisau tersebut ia
mulai menjambret dan berhasil.
Mulai saat itu, kehidupan Anton pun berubah. Ia
sudah memilih kejahatan sebagai profesinya. Senjatanya
tak sekedar pisau, melainkan juga pistol. Ia terkenal sebagai
penjahat kelas kakap dan paling di cari di Jakarta dengan
nama Anton Medan. Perjalanan Anton Medan tak sekedar
menjadi penjahat professional. Anton pun merambah usaha
lainnya yaitu menjual obat-obatan terlarang. Merasa jenuh
dengan usaha tersebut, Anton pun mulai merambahi dunia
perjudian. Ia menjadi Bandar judi setelah meruntuhkan
kekuasaan Bandar judi besar bernama Hong Lie. Sebagai
bandar judi, pendapatannya satu malam mencapai puluhan
juta. Ia menikmati gaya hidup mewah. Tetapi ironisnya
uang hasil judinya tersebut juga mudah habis. Akhirnya ia
mengalami kebangkrutan dan membuatnya merasa frustrasi.
Ia kalah bahkan hingga milyaran rupiah.
Dalam kebangkrutan itu, ia menemukan hikmah yang
sangat mendasar. Ia bertemu dengan bekas sopir pribadinya
dulu. Sopir pribadinya tersebut mengantarkan Anton Medan
untuk ke Yayasan Haji Karim Oei yaitu ke ustadz Yunus
Yahya. Namun pertaubatannya ditolak karena dia adalah
bekas narapidana dan penjahat kejam dan dianggap bahwa
dirinya tidak akan bisa berubah.
Setelah itu Anton medan mengikuti pengajian yang
diadakan oleh KH. Zainudin MZ pada tahun 1992 saat
Nuzulul Qur’an. Setelah pengajian tersebut, Anton Medan
pun menemuinya dan belajar banyak tentang Islam. Zainudin

Bab 10 Kisah Inspiratif Mantan Narapidana 207


MZ pula yang membimbing Anton untuk melakukan
pertaubatan dan mengucapkan kalimat syahadat setelah ia
mengalami penolakan sebanyak 3 kali saat akan memeluk
agama islam dengan sungguh-sungguh. Anton Medan banyak
mendapatkan ilmu islam lagi dan ia pun merubah namanya
menjadi Muhammad Ramdhan Effendi. Setelah 3 hari mualaf,
Anton medan pun melakukan umrah bareng bersama KH.
Zainudin MZ, Nur Iskandar, dan Habib Idrus Zamalul Lail.
Sejak saat itulah ia mendalami islam secara sungguh-sungguh.
Ia banyak di undang untuk memberikan pencerahan kepada
para narapidana sehingga di kemudian hari dikenal sebagai
da’i. Ia melakukan dakwah sejak tahun 1994 dari penjara ke
penjara. Kehidupannya dipenuhi dengan ketenangan baru. Ia
pun banyak berdakwah di ratusan lembaga pemasyarakatan.
Salah satu penuturannya adalah “tak seorang pun bisa
mengetahui nasib yang akan terjadi kelak kecuali menjadi lebih
baik, agar kelak bisa menyongsong masa depan yang lebih
baik. Intinya memacu diri dengan belajar dan mau berbuat
serta doa dengan ikhlas. Selain itu dia juga mengatakan
bahwa “Masih ada harapan itu, asal kita mau berusaha. Ingat
Tuhan tidak pernah menutup pintu bagi hamba-Nya yang
mau berbuat dan memperbaiki diri. Tuhan selalu memberikan
jalan terbaik bagi hamba-Nya yang bartaubat.”
Anton Medan juga mengajak para napi untuk menjauhi
judi, sebab judi merupakan salah satu penyakit masyarakat
yang membuat ekonomi keluarga menjadi hancur. Karena
judi orang menjadi nekad untuk merampok, membunuh dan
menjadikan keluarga berantakan. Baginya tidak ada orang
kayak arena judi dan tidak ada bandar judi yang tidak rugi.
Begitu pula dengan narkoba yang dapat sangat merusak masa
depan generasi penerus bangsa. Maka bertaubatlah selagi
belum terlambat.

208 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , Jakarta:


Sarwoko, 1986
Anang Sugeng Cahyono Pemberdayaan dan Pengembangan
Keterampilan Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II B Tulungagung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Jurnal Universitas Tulungagung Bonorowo Vol. 2.No.1
Tahun 2014
Cardoso, Gomes, Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi
Offset Yogyakarta, Yogyakarta, 2000
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di
Indonesia, Bandung, Refika Aditamma.
Dr. Andi Hamzah, SH. 1986. Sistem Pidana Dan Pemidanaan
Indonesia. Jakarta. Peradnya Paramita.
J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung,
1979.
Gie, The Liang. 1976. Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Handayani, Eli, Strategi Peningkatan Kinerja Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta, Skripsi, Fisipol,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006

Daftar Pustaka 209


Lexy, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1999
Malayu dkk, Manajemen Sumber Daya Manusia, CV Haji
Masagung, Jakarta, 1990
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM.
Bandung: PT. Refika Aditama
Notoatmojo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Rineka Cipta, Jakarta, 1992
Praptiwi, Tri, Kinerja Perpustakaan, Skripsi, Fisipol, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 2005
Prijono, Onny dkk, 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. CSIS: Jakarta
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. 2010. Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta. Kencana.
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. 2002. Sari Kuliah Perbandingan
Hukum Pidana. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Rai, Agung. 2008. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta:
Salemba Empat
Rawls, John. 2006. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2003
Singarimbun, Masri, dan effendi, Sofian, Metode Penelitian
Survai, LP3ES, Jakarta, 1989
Soetomo. 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat.
Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Sunartiningsih, Agnes. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Desa
Melalui Institusi Lokal. Aditya Media : Yogyakarta
Soedjono. D,S.H., ilmu Jiwa Kejahatan, Amalan, Ilmu Jiwa
Dalam Studi Kejahatan, Karya Nusantara,Bandung,1977
Tjandra, Ningsih. 1996. Dehumanisasi Anak Marjinal. Yayasan
Akatiga : Bandung
Utomo, Warsito. 2005. Anggaran Berbasis Kinerja Konsep Dan
Aplikasinya.yogyakarta: Universitas Gadjah mada
Wetik, J.L. 1975. Penelitian Kerja & Produktivitas. Jakarta:
Erlangga
Winarni, Kinerja Aparat Kepolisian Resort Kabupaten Bantul,

210 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan


Skripsi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
2005
Wirjosoemarto, Sartono, Ilmu Sosiatri Suatu Pengantar, Seri
Studi Ilmu Sosial, Fakultas Fisipol UGM, Yogyakarta,
1990
UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and
Delinquency, Second Edition, Jhon Wiley, New
York,1970

Daftar Pustaka 211


212 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan
TENTANG PENULIS

Surianto, Lahir di Majene Sulawesi Barat,


22 Agustus 1972, Mahasiswa Program
Pascasarjana UMI Makassar, 2017. Pendidikan
Dasar dan Menengah pertama di Majene, Menengah Atas di
Polewali. Diploma III Ilmu Pemasyarakatan di Jakarta, Strata satu
di STKIP Muhammadiah Bulukumba, Strata dua dan tiga pada
UMI Makassar. Menikah dengan Eka Ermawaty Basri, SH. Dengan
tiga anak. Gugu Alam, Ivani Defi Tuladani dan Surya Ramadan
Tercatat sebagai Aparatur Sipil Negara pada Kemenkum HAM RI,
dan tercatat sebagai pengajar Pada STIE Nobel Makassar. Tercatat
pernah menjabat sebagai kepala Rupbasan Pekanbaru Riau, Kepala
Rutan Sambas Kal-bar, Kepala Rutan Makassar Sul-Sel, Kepala
Lapas Batan Kepri. Catatan lain; Wadantimsus pengembalian
Labora Sitorus kelapas 2015 di Sorong, delegasi Indonesia pada;
Asia Conference Correctional Fasilities and Planners (ACCFA) 2016
di Seoul, International Criminal Investigative Training Assistance
Program (ICITAP) 2016 di Bangkok, Kunjungan persahabatan
Arab Saudi-Indonesia Prison 2017, APLC di Singapore 2018.
Bersama Badaruddin menerbitkan Jurnal Internasional di
IJISRT (International Jurnal of Innovative Science and Researce
Technology) volume 3,Issue 8,Agustus 2018 denganjudul The
Strategy of Empowering Farmers Against Ekonomic Growth in
Indonesia.

Bekerja sebagai petugas Pemasyarakatan penuh amal


demikian juga mengajar. Dua sisi ini sesungguhnya sisi bekal untuk
hari kemudian. Ketika satu dari sekian ribunapi dapat menemukan
hakekat penciptaanya di mukabumi, dan Ketika satu dari sekian
ribu mahasiswa berhasil menemukan lapangan kerja,maka beban
Negara bahkan tugas kerasulan tersampaikan. Bukankah tujuan
dibentuknya Negara untuk menghadirkan kemaslahatan manusia
yang ada dalam kelompok Negara tersebut ?.bukankah Rosul diutu
soleh sang pencipta alam semesta untuk menunjukan arah dan cara

Tentang Penulis 213


hidup agar mencapai kemaslahatan ?. Meskipun antara Negara dan
Rosul tidak equivalen, tetapi hadir dan ada dalam semua detak nadi
kehidupan dan interaksi mahluk hidup.Tatkala semua instrument
alam semesta dapat menyatu dan kita pahami, maka keberadaan
kita dimana dan kapanpun, akan menjadi rinduan dan berkah bagi
sekelilingnya, demikian juga sebaliknya.

Tulisan ini tentu tidak sempurnah, tapi percayalah ini dubuat


dengan niatan yang sungguh-sungguh untuk menyampaikan
keberadaan petugas Pemasyarakatan yang baru diterima tahun
2017. Penerimaan yang dilakukan dengan transparan dengan
menggunakan sistimseleksi Computer Assistance Test (CAT).
Besar harapan ibu saya Hj.SaripaWulan, dan ibu-ibu yang lain
di negeri ini agar putra-putri mereka yang menjelajahi belantara
Pemasyarakatan, tidak tersesesat dan tetap punya kompas yang
difungsikan sebagaimana mestinya. Ibu saya pada seperti gamalam
terakhir senantiasa mendoakan agar belantara Pemasyarakatan
tidak menyesatkan saya. Tidak tertutupi lagi betapa banyak petugas
Pemsayarakatan yang tersesat bersama napinya dalam belantara ini.
Masyarakat memotret pelarian massal, peredaran gelap narkoba,
adanya pungutan atas fasilitas dan hak yang mestinya diperoleh
dengan gratis,dan entah apalagi yang terpotret oleh masyarakat
kita. Hanya kekuatan doa dan menghadirkan Allah SWT dalam
penjelajahan belantara ini yang dapat menyelamatkan kita. Inilah
yang senantiasa kami tanamkan kepada generasi penerus, tunas-
tunas muda Pemasyarakatan betapa pentingnya kita berdoa dan
mengikut sertakan Allah SWT dalam setiap langkah kita.

214 Menata Sumber Daya Warga Binaan Pemasyarakatan

Anda mungkin juga menyukai