Referat Demam Tifoid Pada Kehamilan
Referat Demam Tifoid Pada Kehamilan
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi dari
Salmonella enterica subspesies enterica serotype Typhi. Demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik di Indonesia. Infeksi ini terus menjadi penyebab utama penyakit yang
ditularkan melalui makanan, meskipun dalam dekade terakhir insidennya menurun secara
bermakna (Centers of Disease Control and Prevention, 2006a).
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang
nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.
Insiden tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan, di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban
ditemukan 760 – 810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai dan sanitasi
lingkungna dengan pembuangan sampah yang kurang memadai syarat kesehatan
lingkungan.
Demam tifoid akibat Salmonella Typhi masih merupakan masalh global, meskipun
jarang di Amerika Serikat. Sebagian besar kasus di Amerika Serikat disebabkan oleh enam
serotipe, termasuk Salmonella subtipe typhimurium dan enteritidis. Penyakit ini menyebar
melalui ingesti oral makanan, air, atau susu yang tercemar.
Pada wanita hamil, penyakit lebih besar kemungkinannya dijumpai selama endemi
atau pada mereka yang terinfeksi HIV (Herdiana dkk, 1995). Dalam ulasan mereka, Dildy
dkk., (1990) melaporkan bahwa dahulu demam tifoid antepartum menyebabkan abortus,
persalinan kurang bulan, dan kematian janin atau ibu. Vaksin tifoid tampaknya dapat
diberikan kepada ibu hamil yang berpergian ke daerah endemik.
I. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella Typhi.
S.typhi dapat masuk dalam tubuh manusia melalui makanan yang tercemar.
Beberapa bakteri yang tidak musnah oleh asam labung akan masuk ke usus halus dan
mencapai limfoid plak Peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. S.typhi ini juga dapat
bersarang pada hati, limpa dan bagian-bagian lain selaian sistem retikuloendotelial.
Endotoksin S.typhi berperan dalam proses inflamasi lokal ada jaringan tempat kuman
tersebut berkembang biak sehingga merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen
dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam.
2. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. Typhi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga demam tifoid yaitu :
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagela kuman)
c. Aglutinin Vi (simapi kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada
orang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu
uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
3. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi
anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara
IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang bewarna dengan
lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil
positif uji Tubex ini menunjukan terdapat infeksi Salmonella serogroup D
walau tidak secara spesifik menunjukan pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi
akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B terhadap anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi
terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa
uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi
infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi :
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Posistif Indikasi kuat infeksi tifoid
4. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji thypidot
Demam Tifoid pada Kehamilan Page 7
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat
pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%
dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan pada 144 kasus
demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan
sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79%
dan 89% dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi
primer. Untuk mengatasi masalah tersebut uji ini kemudian dimodifikasi
dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal
dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh
Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa
uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3
jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.
6. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut :
a. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil mungkin negatif.
b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc
darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan
bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside
langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)
untuk pertumbuhan kuman
c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat
menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif
d. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada
saat aglutinin semakin meningkat.
V. Penatalaksanaan
1. Non-Farmakologis
Penatalaksanaan demam tifoid secara non-farmakologis berupa :
a. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan, tirah baring.
b. Diet dan terapi penunjang (simptomaik dan suportif), dengan
tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal.
c. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan
mencegah penyebaran kuman.
2. Farmakologis
Demam Tifoid pada Kehamilan Page 9
Obat-obat antimikroba yang dapat diberikan pada ibu hamil:
a. Ampisilin dan amoksisilin, kemampuan obat ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan ialah 100 mg/kg BB dan
digunakan selama 2 minggu. Obat ini memiliki ketersediaan
biologik 60%, waktu paruh plasmanya 1,5 jam.
b. Sefalosporin generasi ketiga, hingga saat ini golongan sefalosporin
generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah
seftriakson, dosis yang dianjurkan pada ibu hamil ialah 3x500mg.
c. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan
karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematurus, kematian
fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus.
d. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus
pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih
lanjut tiamfenikol dapat digunakan.
e. Golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh
digunakan.
VI. Komplikasi
Pada trimester pertama dapat terjadi aborsi. Meskipun telah didiagnosis
secara awal dan dilakukan pengobatan dengan benar, aborsi terjadi pada usia 16
minggu kehamilan dan ditemukan S.typhi pada autopsi fetus. Hemorhagic
petekie ditemukan di beberapa organ menunjukkan baru terjadinya stress
intrauterine dan hipoksia pada janin. Meskipun kultur darah fetus negatif, S.typhi
terisolasi oleh kultur dari jantung fetus, terus menerus melalui transmisi vertikal.
Pada trimester kedua dapat terjadi kelahiran prematur. Plasenta besar
untuk usia gestasional, terus menerus melalui infeksi transplasenta. Terjadinya
korionamnionitis berhubungan dengan infark plasenta, dengan perdarahan intra
maupun intervilli yang melibatkan 70% permukaan maternal.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
a. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis
b. Komplikasi ekstra intestinal
- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer,
miokarditis, tromboflebitis
Daftar Pustaka
• Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta :
FKUI. 2009
• Sarwono P. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiharjo. Edisi keempat. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo. 2010
• WHO. Buku saku: pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar
dan rujukan. Edisi pertama. 2013