Anda di halaman 1dari 17

TUGAS ANALISIS LAPORAN KEUANGAN

“PREDIKSI KEBANGKRUTAN”

KELAS V G

OLEH :

NYOMAN SRI ANGGRENI NIM.

NI KADEK WIWIK DWI ULANTARI NIM. 1517051188

NI KADEK DWI ANGESTI NIM. 1517051228

JURUSAN AKUNTANSI PROGRAM S1

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2017
PREDIKSI KEBANGKRUTAN

A. PENGGUNA INFORMASI KEBANGKRUTAN


Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti berikut ini :
1. Pemberi pinjaman (seperti pihak Bank). Untuk mengambil keputusan siapa yang
akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman
yang ada.
2. Investor. Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan
tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau
tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. Investor yang menganut
strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat
tanda-tanda kebangkrutan seawal mungkindan kemudian mengantisipasi
kemungkinan tersebut.
3. Pihak Pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai
tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut (misal sektor perbankan).
Juga pemerintah mempunyai badan-badan usaha (BUMN) yang harus selalu diawasi.
Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda
kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih
awal.
4. Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu
usaha karena kauntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan.
5. Manajemen. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan lebih awal, maka
tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau
restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEBANGKRUTAN


Menurut Jauch dan Glueck dalam Adnan (2000:139), faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan adalah :
1. Faktor Umum
a. Sektor ekonomi, misalnya gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa,
kebijakan keuangan, suku bunga, dan lain sebagainya.
b. Sektor sosial, misalnya perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi
permintaan terhadap produk dan jasa ataupun cara perusahaan, kerusuhan atau
kekacauan yang terjadi di masyarakat.
c. Teknologi. Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang
ditanggung perusahaan membengkak terutama untuk pemeliharaan dan
implementasi.
d. Sektor pemerintah. Yaitu kebijakan pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada
perusahaan dan industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang berubah, dan
lain sebagainya
2. Faktor Eksternal Perusahaan
a. Faktor pelanggan / konsumen. Mengetahui sifat konsumen dapat menghindari
kehilangan konsumen, dan menciptakan peluang untuk menemukan konsumen
baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan.
b. Faktor kreditur. Kekuatannya terletak pada pemberian pinjaman dan
mendapatkan jangka waktu pengembalian hutang yang tergantung kepercayaan
kreditur terhadap kelikuiditasan suatu perusahaan.
c. Faktor pesaing. Faktor ini merupakan hal yang harus diperhatikan karena
menyangkut perbedaan pemberian pelayanan kepada konsumen, perusahaan juga
jangan melupakan pesaingnya karena jika produk pesaingnya lebih diterima oleh
masyarakat perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi
pendapatan yang diterima.
3. Faktor Internal Perusahaan
a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada nasabah sehingga akan
menyebabkan adanya penunggakan dalam pembayaran sampai akhirnya tidak
dapat membayar.
b. Manajemen tidak efisien yang disebabkan karena kurang adanya kemampuan,
pengalaman, ketrampilan, sikap inisiatif dari manajemen.
c. Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan dimana sering dilakukan oleh
karyawan, bahkan manajer puncak sekalipun sangat merugikan apalagi yang
berhubungan dengan keuangan perusahaan.

C. MASALAH DALAM KEBANGKRUTAN


Kesehatan suatu perusahaan bisa digambarkan dari titik sehat yang paling ekstrem
sampai ke titik tidak sehat yang paling ekstrem sebagai berikut :
 Kesulitan keuangan (likuiditas) jangka pendek (technical insolvency)
 Tidak solvabel (hutang lebih besar dibanding aset)
Kesulitan keuangan jangka pendek bersifat sementara dan belum begitu parah. Tetapi
kesulitan sementara ini apabila tidak ditangani bisa berkembang menjadi kesulitan tidak
solvabel. Kalau tidak solvabel, perusahaan bisa dilikuidasi atau direorganisasi. Likuidasi
dipilih apabila nilai likuidasi lebih besar dibandingkan dengan nilai perusahaan kalau
diterusakan. Reorganisasi dipilih kalau perusahaan masih menjunjukkan prospek dan
dengan nilai perusahaan kalau diteruskan lebih besar dibandingkan nilai perusahaan
kalau dilikuidasi.

Berikut ini beberapa alternatif perbaikan berdasarkan besar kecilnya permasalahan


keuangan yang dihadapi oleh perusahaan :
a. Pemecahan Secara Informal
1) Dilakukan apabila masalah belum begitu parah
2) Masalah perusahaan hanya bersifat sementara, prospek masa depan masih bagus
cara:
a) Perpanjangan (Extention) : dilakukan dengan memperpanjang jatuh tempo
hutang-hutang
b) Komposisi (Composition) : dilakukan dengan mengurangi besarnya
tagihan, misal klaim hutang diturunkan menjadi 70%. Kalau hutang besarnya
1.000, maka nilai hutang yang baru adalah 0.7 x 1.000 = 700
b. Pemecahan Secara Formal
Dilakukan apabila masalah sudah parah, kreditur ingin mempunyai jaminan
keamanan cara :
1. Apabila nilai perusahaan diteruskan > nilai perusahaan dilikuidasi
Reorganisasi : dengan merubah struktur modal menjadi struktur modal yang
layak
2. Apabila nilai perusahaan diteruskan < nilai perusahaan dilikuidasi
Likuidasi : dengan menjual aset-aset perusahaan
Analisis kebangkrutan dilakukan untuk memperoleh peringatan awal kebangkrutan
(tanda-tanda awal kebangkrutan). Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan tersebut,
semakin baik bagi pihak manajemen karena pihak manajemen bisa melakukan
perbaikan-perbaikan. Pihak kreditur dan juga pihak pemegang saham bisa melakukan
persiapan-persiapan untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang buruk. Tanda-tanda
kebangkrutan tesrsebut dalam hal ini dilihat dengan data-data akuntansi.
Dalam praktik, dan juga dalam penelitian empiris, kesulitan keuangan sulit untuk
didefinisikan. Kesulitan semacam itu bisa bebarti mulai dari kesulitan likuiditas (jangka
pendek), yang merupakan kesulitan keuangan yang paling ringan, sampai ke pernyataan
kebangkrutan, yang merupakan kesulitan yang paling berat. Dengan demikian kesulitan
keuangan bisa dilihat sebagai kontinum yang panjang, mulai dari yang ringan sampai
yang paling berat. Penelitian-penelitian empiris biasanya menggunakan pernyataan
kebangkrutan sebagai definisi kebangkrutan.
Adapun empat kategorinya yaitu :
Tidak Dalam Dalam Kesulitan
Kesulitan Keuangan Keuangan
Tidak Bangkrut I II
Bangkrut III IV

Perusahaan yang berada dalam kategori II barangkali mengalami kesulitan, tetapi


berhasil mengatasi masalah tersebut dan karena itu tidak bangkrut. Perusahaan yang
berada pada kategori III sebenarnya tidak mengalami kesulitan keuangan. Tetapi karena
suatu hal, misalkan karena ingin mengatasi tekanan dari pekerja, perusahaan tersebut
memutuskan untuk menyatakan bangkrut. Dengan situasi semacam itu nampak
kebangkrutan bisa mempunyai pengertian yang tidak jelas. Pada situasi ke-IV, pengertian
kebangkrutan relatif jelas, perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan karena itu
akan bangkrut. Demikian juga pada situasi I, situasi keuangan cukup jelas, dalam hal ini
perusahaan tidak mempunyai kesulitan keuangan dan tidak mengalami kebangkrutan.
Tidak demikian halnya dengan situasi II dan III yang bisa mempunyai pengertian yang
kabur.
Ada beberapa indikator yang bisa menjadi prediksi kebangkrutan. Salah satu
sumbernya adalah analisis aliran kas untuk saat ini atau untuk masa mendatang. Sumber
lain adalah analisis strategi perusahaan. Analisis ini memfokuskan pada persaingan yang
dihadapai oleh perusahaan, struktur biaya relatif terhadap pesaingnya, kualitas
manajemen, kemampuan manajemen mengendalikan biaya, dan lainnya. Analisis
semacam ini bisa digunakan sebagai pendukung analisis aliran kas, karena kondisi
perusahaan semacam di atas akan mempengaruhi aliran kas perusahaan. Analisis break
even sebagai contoh, akan melihat seberapa jauh penjualan bisa turun agar perusahaan
masih bisa memperoleh keuntungan.
Sumber lain adalah laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan bisa dipakai
untuk memprediksi kesulitan keuangan. Sumber lainnya adalah informasi eksternal. Pada
pasar keuangan yang sudah maju, lembaga penilai (rating) sudah berkembang dan
informasi mereka bisa dipakai untuk memprediksi kemungkinan adanya kesulitan
keuangan. Sebagai contoh apabila suatu perusahaan sebelumnya di-rating AAA,
kemudian rating tersebut diturunkan menjadi BBB, informasi tersebut bisa menjadi
tanda adanya kesulitan keuangan yang barangkali terjadi di perusahaan.

D. PREDIKSI KEBANGKRUTAN: ANALISIS UNIVARIATE


Pendekatan tunggal (univariate) bisa dipakai untuk memprediksi kesulitan keuangan
dengan asumsi bahwa distribusi variabel keuangan untuk perusahaan yang mengalami
kesulitan keuangan berbeda dengan distribusi variabel keuangan untuk perusahaan yang
tidak mengalami kesulitan keuangan. Perbedaan distribusi variabel keuangan tersebut
bisa dipakai untuk memprediksi kesulitan keuangan.
Penggunaan metode tersebut akan bisa dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus
perusahaan kereta api di Amerika Serikat. Pada tahun 1970, beberapa perusahaan kereta
api AS yang cukup besar mengalami kebangkrutan. Apakah rasio-rasio keuangan pada
tahun-tahun sebelumnya bisa memperkirakan kebangkrutan tersebut? Berikut ini ada dua
rasio keuangan yang dipilih untuk melihat apakah kebangkrutan perusahaan kereta api
tersebut bisa dilihat melalui rasio-rasio keuangan pada tahun-tahun sebelumnya.
(1) Rasio Biaya Transportasi terhadap Pendapatan Operasional (BT/PO). Biaya
transportasi merupakan komponen biaya yang tersebar yang terjadi pada perusahaan
kereta api, yang meliputi biaya operasional angkutan kereta, biaya gaji pegawai
kereta, dan biaya bahan bakar. Pendapatan operasional terutama berasal dari karcis
kereta yang terjual, dan juga pendapatan dari beberapa sumber yang lain seperti
pendapatan angkutan barang atau surat pos.
(2) Rasio Times Interest Earned (TIE) yang merupakan rasio EBIT (Earning Before
Taxes) / Interest. Bunga atau interest di sini adalah bunga dari kewajiban obligasi.
Apabila diperoleh angka negatif, berarti perusahaan mempunyai earning (atau
pendapatan) yang negatif.
Dengan asumsi kedua variabel di atas berdistribusi normal dan bisa dijadikan prediksi
kebangkrutan.
Sampel untuk TIE dan BT/PO beberapa perusahaan Kereta Api

Tidak Bangkrut pada Tahun 1970 BT/PO TIE

1. Aan Arbor 0,524 -1,37


2. Central Georgia 0,348 2,16
3. Cincinnati 0,274 2,91
4. Florida East 0,237 2,82
5. Illinois Central 0,388 3,10
6. Norfolk 0,359 2,81
7. Southern Pacific 0,400 3,56
8. Southern Railway 0,314 3,93

Bangkrut pada tahun 1970

1. Boston dan Maine 0,461 -0,68


2. Penn-Central 0,485 0,16

Rata-rata nilai rasio BT/PO untuk kedua grup tersebut adalah sebagai berikut :
Tidak bangkrut 0,356
Bangkrut 0,473
Kelompok perusahaan yang bangkrut mengeluarkan biaya operasional transportasi
pada setiap satu unit pendapatan operasional yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok yang tidak bangkrut. Sedangkan rasio TIE untuk kedua kelompok tersebut
adalah :
Tidak bangkrut 2,49
Bangkrut -0,26
Nampak perusahaan yang tidak bangkrut mempunyai pendapatan (EBIT) relatif
terhadap biaya bunga yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok perusahaan yang
bengkrut. Perbedaan rasio-rasio BT/PO dan TIE antara kelompok bangkrut dan tidak
bangkrut cukup besar dan tes statistik t student juga menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan pada derajat signifikansi 5%.
Apakah rasio-rasio tersebut bisa dipakai untuk memprediksi kebangkrutan? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini langkah-langkah untuk menganalisis
kemampuan prediksi rasio-rasio tersebut. Yang pertama perlu dilakukan adalah
menentukan titik cut off (pembatas) yang bisa dipakai untuk menentukan batas
perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut. Rangking perusahaan berdasarkan
rasio-rasio bisa dilihat pada tabel berikut ini.
Rangking Perusahaan Berdasarkan Rasio BT/PO dan TIE
Perusahaan Rasio Status di 1970
1. Rangking berdasarkan rasio BT/PO
Aan Arbor 0,524 TB
Penn Central 0,485 B
Boston and Maine 0,461 B
Southern Pacific 0,400 TB
Illinois Central 0,388 TB
Norfolk 0,359 TB
Central of Georgia 0,348 TB
Southern Railway 0,314 TB
Cincinnati 0,274 TB
Florida East 0,237 TB
2. Rangking berdasarkan rasio TIE
Southern Railway 3,93 TB
Southern Pacific 3,56 TB
Illinois Central 3,10 TB
Cincinnati 2,91 TB
Florida East 2,82 TB
Norfolk 2,81 TB
Central of Georgia 2,16 TB
Penn Central 0,16 B
Boston and Maine -0,68 B
Ann Arbor -1,37 TB
Titik cut off dihitung dengan cara mencari titik tengah antara rasio yang berurutan
(misal titik 0,5045 merupakan titik tengah antara 0,524 (Aan Arbor) dengan 0,485 (Penn-
Central)). Titik cut off yang menghasilkan kesalahan prediksi paling kecil akan dipilih.
Kesalahan prediksi terdiri dari dua tipe yaitu kesalahan tipe I dan kesalahan Tipe II
seperti berikut ini.
Diprediksi
Bangkrut Tidak Bangkrut
Kenyataan

Bangkrut Benar Kesalahan Tipe I

Tidak Bangkrut Kesalahan Tipe II Benar

Berikut ini beberapa titik cut off dan total kesalahan yang dihasilkan.

Titik Cut off Kesalahan Kesalahan Total


Tipe I Tipe II Kesalahan
Prediksi Bangkrut
Apabila raiso BT/PO
lebih besar dari

0,5045 2 1 3
0,4730 1 1 2
0,4305 0 1 1
0,3940 0 2 2
0,3735 0 3 3
Nampak bahwa rasio BT/PO yang lebih besar dari 0,4305 menghasilkan tingkat
kesalahanya yang paling kecil. Teknik pemilihan titik cut off semacam itu mengandung
bahaya bahwa karakteristik spesifik perusahaan-perusahaan dalam sampel akan
mempengaruhi nilai cut off, dan dengan demikian titik cut off tersebut tidak
representative untuk perusahaan-perusahaan lainnya.

Untuk menghindari kemungkinan semacam tersebut, akurasi titik cut off bisa diuji
dengan menggunakan perusahaan-perusahaan di luar sampel (uji validasi). Pengujian
kemamppuan predisi model univariate tersebut dengan menggunakan sampel perusahaan
pada tahun 19X1 bisa dilihat sebagai berikut ini :
Table 13.4 Prediksi Kebangkrutan Pada Tahun 19X1

Perusahaan Rasio Prediksi Kenyataan


1. Rangking Berdasarkan raiso BT/PO
Erine 0,469 B TB
Reading 0,451 B B
Chicago, Milwaukee 0,437 B TB
Burlington 0,425 TB TB
Chesapeake 0,395 TB TB
Akron , Canton 0,382 TB TB
Atehison 0,373 TB TB
St. Louis 0,352 TB TB
Bangor 0,341 TB TB
Alabama 0,305 TB TB
2. Rangking Berdasarkan rasio TIE
St. Louis 46,70 TB TB
Atchison 4,72 TB TB
Alabama 4,05 TB TB
Chesapeake 3,12 TB TB
Burlington 2,73 TB TB
Akron , Canton 1,85 TB TB
Bangor 0,88 B TB
Reading 0,40 B B
Chicago , Milwaukee 0,27 B TB
Erie 0,22 B TB
Catatan B – Bangkrut TB – Tidak Bangkrut

Disamping pemilihan titik cut off yang meminimalkan biaya semacam diatas, ada
beberapa alternatif teknik pemilihan titik cut off : dengan menggunakan rata-rata atau
nilai median dari rasio-rasio disampel. Rata-rata BT/PO untuk seluruh perusahaan kereta
dalam sampel adalah 0,356. Dengan demikian jika rasio BT/PO > 0,356 perusahaan
diprediksi bangkrut dan begitu juga sebaliknya. Menarik untuk dilihat beberapa jumlah
kesalahan klasifikasi dengan menggunakan angka 0,356 sebagai cut off rate.

Jika beberapa variable dipakai untuk memprediksi, ada kemungkinan hasil yang
saling bertentangan akan diperoleh. Untuk mengatasi kelemahan semacam itu metedo
prediksi multivariate (prediksi berganda secara simultan) bisa digunakan. Contoh metode
tersebut adalah model deskriminan untuk memprediksi kebangkrutan.

Kemampuan prediksi rasio-rasio keuangan diteliti oleh Beaver (1966) dengan


menggunakan 79 sampel perusahaan yang gagal dan 79 perusahaan yang tidak gagal.
Titik cut off dipilih dengan pertimbangan kesalahan prediksi yang paling kecil.
Kemudian sampel dibagi menjadi dua, satu kelompok digunakan untuk mecari titik cut
off, kemudian titik cut off tersebut digunakan untuk memprediksi kebangkrutan pada
kelompok kedua (uji validasi). Persentasi kesalahan klasifikasi dengan uji validasi bisa
diliat pada tabel berikut ini dengan menggunakan data-data 1,2,3,4, dan 5 tahun sebelum
kebangkrutan.
Tabel 13.5. Misklasifiksi Prediksi dengan beberapaVariabel

Rasio Keuangan Tahun sebelum Kebangkrutan


1 2 3 4 5
Aliran Kas/Total Hutang 0,22 0,24 0,23 0,21 0,13
Aset bersih/Total Aset 0,28 0,29 0,23 0,20 0,13
Total Hutang/Total Aset 0,28 0,27 0,34 0,25 0,19
Modal Kerja/Total Aset 0,41 0,45 0,33 0,34 0,24
Rasio Lancar 0,45 0,38 0,36 0,32 0,20
Dari tabel diatas nampak bahwa rasio Aliran Kas/Total Hutang dan rasio Aset
Bersih/Total Aset mempunyai kemampuan prediksi yang paling baik setahun sebelum
kabngkrutan karena hanya salah memprediksi (missklasifikasi) sebesar hanya 13%.
Penelitian tersebut juga melihat besarnya tipe kesalahan yang terjadi seperti terliht
berikut ini :

Tahun Sebelum Kesalahan Kesalahan Total


Kebangkrutan Tipe I Tipe II Kesalahan
5 0,43 0,05 0,22
4 0,47 0,03 0,24
3 0,37 0,08 0,23
2 0,34 0,08 0,21
1 0,22 0,05 0,13
Menarik untuk dilihat bahwa Kesalahan Tipe II (prdiksi bangkrut, tetapi
kenyataannya tidak bangkrut) selalu lebih kecil dibandingkan kesalahan tipe I (prediksi
tidak bangkrut, tetapi kenyataannya bangkrut). Pada akhirnya pemilihan titik cut off
akan dipengaruhi juga oleh besarnya biaya yang berkaitan dengan tipe kesalahan.
Apabila biaya kesalahan tipe I lebih besar dibandingkan dengan biaya kesalahan tipe II,
maka penilaian titik cut off akan lebih ditentukan oleh kecilnya kesalahan tipe I,
bukannta kecilnya kesalahan tipe II atau kesalahan total.

Rangkuman pada tabel 13.6 menyajikan kemampuan prediksi rasio-rasio keuangan


dengan nilai rata-rata rasio keuangan tersebut, dan presentase klasifikasi yang benar
dengan menggunakan model deskriminan variable tunggal. Empat variable menunjukkan
perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dengan yang tidak bangkrut secara konsisten
adalah :

(1). Tingkat return (rate of return). Perusahaan yang bangkrut mempunyai tingkat return
yang lebih rendah.

(2). Penggunaan Hutang. Perusahaan yang bangkrut menggunakan hutang yang lebih
tinggi.

(3). Perlindungan terhadap biaya tetap (Fixed payment coverage). Perusahaan yang
bangkrut mempunyai perlindungan terhadap biaya tetap yang lebih kecil.

(4). Fluktuasi return saham. Perusahan yang bangkrut mempunyai rata-rata return yang
lebih rendah dan mempunyai fluktuasi return saham yang lebih tinggi.
Prediksi pada tabel 13.6 hanya berlaku untuk satu tahun sebelum kebangkrutan.
Menarik dilihat prediksi untuk beberapa tahun sebelum kebangkrutan.

Karakteristik Keuangan Rata- Rata – F-test %Klasifikasi


Rata Rata univariat Dengan Benar
Bangkrut Tidak e
Bangkrut
1. Ukuran tingkat keuntungan
a. Aliran Kas/Modal Saham 0,119 0,316 77,18 93,64
b. Laba Bersih/Modal Saham 0,59 0,091 230,53 97,06
2. Komposisi Aset Lancar
a. Quick Aset/Total Aset 0,258 0,273 1,18 50,41
3. Posisi Likuiditas
a. Aset Lancar/Hutang 1,860 2,381 0,83 1,23
Saham 0,838 1,231 2,24 51,92
b. Quick Aset/Hutang Lancar
4. Hutang
a. Nilai Pasar Saham/(Nilai
Pasar saham + Nilai Buku 0,995 0,999 177,41 88,08
Saham) 0,785 0,476 276,45 86,02
b. Total Hutang/Total Aset
5. Aktivitas 0,991 10,432 0,11 21,29
a. Harga Pokok 0,188 0,147 3,92 66,43
Peni/Persediaan 0,836 0,783 0,51 68,52
b. Piutang Dagang/Peni
c. Total Aset/Penjualan
6. Rasio Beban Tetap 0,049 0,249 88,92 84,39
a. Dana dari Operasi/
Total Hutang
7. Tren dan Dispersi 3,330 0,179 78,17 97,03
a. Strandar deviasi laba 2,403 1,610 43,23 80,49
bersih/Modal Saham
b. Break dalam tren Laba 153,76 769,05 4,11 27,84
Bersih
8. Ukuran Perusahaan 0,045 0,003 73,46 72,21
a. Total Aset 0,011 0,004 160,81 86,81
9. Retrurn Saham dan Fluktuasi
a. Return Saham
b. Varians return saham

E. PREDIKSI KEBANGKRUTAN : ANALISIS MULTIVARIATE


Salah satu kelemahan model univariate adalah kemungkinan terjadinya konflik antara
variable-variable yang dijadikan prediksi. Untuk mengatasi masalah tersebut model
multivariate dikembangkan. Variable bebas dalam model ini adalah rasio-rasio keungan
yang diperkirakan mempengaruhi kebangkrutan, sedangkan variable tidak bebas adalah
prediksi kebangkrutan (bangkrut dengan nilai 0 dan tidak bangkrut dengan nilai 1) atau
probabilitas kebangkrutan (0 sampai 1, inklusif).
Teknik statistik yang sering digunakan adalah analisis deskriminan untuk
mengklasifikasikan observasi kedalam dua kelompok : bangkrut dan tidak bangkrut.
Teknik analisis logit atau probit juga sering digunakan untuk melihat profitabilitas suau
kejadian berdasarkan variable-variabel tertentu.
Dengan menggunakan kasus kebangkrutan perusahaan kereta api, kita akan
menggunakan 2 variabel untuk persamaan diskriminan, yaitu variable rasio BT/PO
(variable bebas X1) dan variable TIE(variable X2). Diasumsikan bahwa rasio-rasio yang
dipakai berasal dari populasi dengan distribusi normal dan matriks varians kovarians
kedua kelompok tersebut sama.
Persamaan diskriminan linear bisa dituliskan sebagai berikut ini :
Zi =a X1 + b X2
Dengan menggunakan data pada tabel yang sama dengan data Tabel 2, diperoleh
perusahaan sebagai berikut ini :
Zi = -3,366 X1 + 0,657 X2

Skor Z yang rendah berarti semakin besar kemungkinan untuk bangkrut. Koefisien
negative variable X1 (rasio BT/PO) enandakan adanya hubungan negative antara variable
tersebut dengan skor Zi. Semakin tinggi nilai X1, semakin rendah nilai Zi, dan semakin
tinggi kemungkinan kebangkrutan. Nilai koefisien positif pada variable X2, menandakan
bahwa semakin tinggi rasio TIE, semakin tinggi nilai skror Zi, dan semakin kecil
kemungkinan kebangkrutan. Misalkan kita menggunakan data perusahaan kereta api
Penn-Cental dengan rasio BT/Po = 0,485 dan rasio TIE = 0,16, skor Z bisa dihitung
sebagai berikut ini :

Zi = -3,366 x 0,485 + 0,657 x 0,16

= -1,527

Tabel 13.7. Prediksi Kebangkrutan dengan Analisis Diskriminan

Perusahaan Skor Zi Status 70


Sothern 1,524 TB
Florida East 1,054 TB
Southern Pacific 0,991 TB
Cincinnati 0,989 TB
Illinois Central 0,730 TB
Norfolk 0,637 TB
Central og Georgia 0,247 TB
Penn-Central -1,527 B
Boston and Maine -1,998 B
Ann Arbor -2,663 TB
Tabel di atas menunjukkan skor Zi untuk perusahaan dalam sampel. Titk cut-off yang
menghasilkan kesalahan (mis-klasifikasi) yang paling kecil adalah skor Zi = -0,640
(merupakan titik tengah antara 0,274 dengan -1,527). Titik ini hanya salah
mengklasifikasikan satu perusahaan yaitu Ann Arbor.
Persamaan diskriminan yang diperoleh tersebut bisa digunakan untuk memprediksi
kebangkrutan perusahaan pada tahun 19X1. Uji validitas tersebut bisa dilihat pada tabel
berikut ini :

Tabel 13.8. Prediksi Kebangkrutan Pada tahun 19X1

Perusahaan Skor Zi Status 19X0 Prediksi 19X1


St. Lois 29,482 TB TB
Atchison 1,844 TB TB
Alabama 1,633 TB TB
Chesapeake 0,719 TB TB
Burlington 0,362 TB TB
Akron, Canton -0,071 TB TB
Bangor -0,571 TB TB
Reading -1,255 B B
Chicago, Milwaukee -1,294 TB B
Erie -1,434 TB B
Nilai Zi kritis (yang meminimalkan kesalahan klasifikasi) adalah -0,640, yang
mengklasifikasikan dengan benar 8 dari 10 perusahaan. Dua perusahaan diprediksi
bangkrut pada tahun 19X0 ternyata tidak mengalami kebangkrutan. Sedangkan Erie
mengalami kebangkrutan pada tahun 19X2.

Variabel yang digunakan di atas secara ekslusif berasal dari dalam perusahaan seperti
profitabilitas atau likuiditas. Selain itu digunakan pula variabel eksternal seperti tingkat
bunga, kondisi perekonomian, atau perubahan tingkat pengangguran yang bisa
digunakan oleh analis multivariate.

F. BUKTI-BUKTI INTERNAL
Model prediksi kebangkrutan sudah dikembangkan ke beberapa negara. Altman
(1983,1984) telah melakukan survei ke beberapa negara untuk membahas apakah ada
kesamaan rasio keuangan yang dipakai untuk prediksi kebangkrutan semua negara.
Sehingga nilai Zi disajikan dan dicari dengan persamaan diskriminan berikut ini :

Zi = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5

Keterangan :

X1 = (aktiva lancar – hutang lancar)/total aktiva

X2 = laba yang ditahan/total asset

X3 = laba sebelum bunga dan pajak/total asset

X4 = nilai pasar saham biasa dan preferen/nilai buku total hutang

X5 = penjualan/total asset
Penelitian yang dilakukan oleh Altman untuk perusahaan yang bangkrut dan tidak
bangkrut menunjukkan nilai-nilai kelima variabel tersebut sebagai berikut ini :

Perusahaan Bangkrut Perusahaan Tidak Bangkrut


X1 -0,061 0,414
X2 -0,626 0,355
X3 -0,318 0,154
X4 0,401 2,477
X5 1,500 1,900
Nilai Zi adalah -0,258 untuk perusahaan yang bangkrut dan 4,885 untuk perusahaan
yang tidak bangkrut. Nilai Zi kritis adalah 1,8. Perusahaan dengan nilai Zi di bawah 1,8
mempunyai probabilitas kebamgkrutan yang tinggi.

Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyak perusahaan yang tidak go
public dan dengan demikian tidak mempunyai nilai pasar. Untuk beberapa seperti
Indonesia, perusahaan semacam itu merupakan bagian terbesar yang ada. Oleh karena
itu, Altman mengembangkan model alternatif dalam menghitung nilai Zi, yaitu :

Zi = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4 + 0,998 X5

Keterangan :

X1 = (aktiva lancar – hutang lancar)/total aktiva

X2 = laba yang ditahan/total asset

X3 = laba sebelum bunga dan pajak/total asset

X4 = nilai buku saham biasa dan preferen/nilai buku total hutang

X5 = penjualan/total asset

Model di atas memiliki kemampuan prediksi yang cukup baik juga (94% benar atau
62 benar dari total sampel 66), sedangkan yang asli (95% benar atau 63 benar dari 66
total sampel).

Titik cut-off yang dilaporkan Altman adalah :

Dengan Nilai Pasar Dengan Nilai Buku


Tidak Bangkrut 2,99 2,90
Jika Z >
Bangkrut 1,81 1,20
Jika Z <
Daerah Rawan 1,81- 2,99 1,20 – 2,90
Daerah rawan merupakan kemungkinan munculnya klasifikasi yang salah. Tabel berikut ini
menyajikan perbandingan internasional rasio-rasio keuangan untuk perusahaan yang bangkrut
dan yang tidak bangkrut :

Tabel 13.9. Perbandingan Internasional Rasio-Rasio Keuangan untuk Memprediksi


Kebangkrutan
Rasio Keuangan AS (1968) AS (1977) Australia
Kelompok yang
Bangkrut
X1 -0,061 0,150 0,062
X2 -0,626 -0,406 -0,038
X3 -0,318 -0,005 0,002
X4 0,401 0,611 0,800
X5 1,500 1,310 1,200
Skor Z1 rata-rata -0,271 1,707 N/A
Kelompok yang
Tidak Bangkrut
X1 0,414 0,309 0,187
X2 0,355 0,294 0,220
X3 0,153 0,112 0,86
X4 2,477 1,845 3,110
X5 1,900 1,620 N/A
Skor Z1 rata-rata 4,885 3,878 4,003

Rasio Keuangan Brazil Kanada Jepang


Kelompok
Perusahaan yang
Bangkrut
X1 -0,120 0,100 -0,181
X2 0,010 N/A -0,163
X3 0,050 -0,120 -0,077
X4 0,350 N/A 0,533
X5 0,880 1,480 1,0667
Skor Zi rata-rata 1,24 N/A 0,667
Kelompok
Perusahaan yang
Tidak Bangkrut
X1 0,230 0,300 0,107
X2 0,240 N/A 0,154
X3 0,160 0,040 0,063
X4 1,140 N/A 0,878
X5 1,230 2,310 0,988
Skor Zi rata-rata 3,053 N/A 2,070
Catatan :

X1 = (aktiva lancar – hutang lancar)/total aktiva

X2 = laba yang ditahan/total asset

X3 = laba sebelum bunga dan pajak/total asset

X4 = nilai pasar saham biasa dan preferen/nilai buku total hutang

X5 = penjualan/total asset

Beberapa komentar bisa diajukan dalam kaitannya dengan model kebangkrutan


semacam ini. Sampai sejauh ini sangat sedikit pembicaraan teori yang bisa mengarah
penelitian kebangkrutan, seperti pemilihan variabel-variabel yang relevan yang
menyebabkan prediksi kebangkrutan lebih diarahkan ke pencarian variable-variable yang
coba-coba. Pencarian tersebut bisa dilakukan terhadap variabel-variabel yang relevan
yang akan masuk ke sampel untuk mencari sampel yang menghasilkan model yang
paling baik, pencarian terhadap teknik-teknik estimasi.

Dengan metode pencarian yang seperti itu, peneliti perlu mempertimbangkan


kemungkinan adanya bias, yaitu model tersebtu hanya mempunyai karakteristik yang
sesuai dengan sampel tersebut. Untuk menghindarinya, sampel bisa dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu mencari model prediksi kebangkrutan, kemudian model tersebut diuji
validitasnya dengan penggunaan kelompok kedua.

Penelitian menunjukkan bahwa interpretasi prediksi tidak begitu sensitif terhadap


perbedaan model-model statistik yang dipilih. Sebagai contoh, suatu peneliti
berkesimpulan bahwa untuk suatu set variabel tertentu, penggunaan model diskriminan
linear, kuadrat, dan model logit menghasilkan tingkat akurasi yang hampir sama.

Selain itu penelitian prediksi kebangkrutan menggunakan data beberapa periode


sebelum kebangkrutan, misalnya satu, dua, tiga, atau empat tahun sebelum kebangkrutan.
Akan tetapi tidak ada yang tahu kapan perusahaan akan bangkrut, sehingga pilihan waktu
tergantung pada beberapa faktor seperti kemampuan bank untuk membantu
restrukturisasi keuangan, kebangkrutan perusahaan lain, dan negosiasi dengan pekerja.

Sampel yang dipilih selama ini juga membuat kesulitan untuk menarik kesimpulan
terhadap populasi secara keseluruhan. Sampel yang baik tentunya sampel yang mewakili
populasi secara keseluruhan. Selain itu lamanya usia bisnis nampaknya berpengaruh
besar terhadap kesuksesan atau kegagalan suatu bisnis.

Penggunaan kelompok pasangan bangkrut-tidak bangkrut untuk tiap industri yang


ukurannya besar secara efektif akan menghilangkan pengaruh keda variabel tersebut.
Penelitian oleh Dun & Brudstreet menunjukkan kegagalan bisnis per industri (1983)
yaitu :

Kegagalan bisnis per 10.000 operasi bisnis


Industri
Furniture 211
Peralatan transportasi 180
Tekstil 126
Makanan 93
Kertas 71

Retail
Pakaian anak dan bayi 227
Barang-barang sports 116
Pakaian dewasa laki-laki 112
Makanan dan minuman (restoran) 65
Departemen Store 34
Meskipun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti yang dibicarakan di atas,
tetapi klau penelitian kebangkrutan dinilai dari sumbangannya terhadap pengambilan
keputusan akan terasa bahwa penelitian kebangkrutan memberikan sumbangan yang cukup
substansial. Karena keputusan akan lebih baik dengan adanya informasi kebangkrutan ini.

G. METODE ANALISIS SPRINGATE DAN ANALISIS ZMIJEWSKI


Model prediksi kebangkrutan Springate menemukan empat rasio yang digunakan
untuk memprediksi adanya potensi kesulitan keuangan suatu perusahaan. Jika skor
S>0,862 maka perusahaan diklasifikasikan menjadi perusahaan sehat. Jika skor S<0,862
maka perusahaan diklasifikasikan menjadi perusahaan yang potensial bangkrut dengan
rumus yang digunakan sebagai berikut (Yoseph, 2011) :
S = 1,03 A + 3,07 B + 0,66 C + 0,4 D
Dimana:
A = Modal Kerja terhadap Total Aktiva
B = Laba Setelah Bunga Dan Pajak terhadap Total Aktiva
C = Laba Sebelum Pajak terhadap Kewajiban Lancar
D = Penjualan terhadap Total Aktiva

Metode kebangkrutan Zmijewski, rasio keuangan yang dipilih adalah rasio-rasio


keuangan terdahulu dan diambil sampel masing-masing untuk beberapa perusahaan
bangkrut dan beberapa dari perusahaan yang tidak bangkrut. Kriteria penilaian metode
Zmijewski jika Z < 0,5 maka perusahaan dinyatakan sehat. Rumus yang digunakan pada
penelitian ini sebagai berikut (Yoseph, 2011):
Z = -4,3 – 4,5X1 + 5,7X2 + 0,004X3
Dimana:
X1 = Laba Setelah Pajak terhadap Total Aktiva
X2 = Total Hutang terhadap Total Aktiva
X3 = Aktiva Lancar terhadap Kewajiban Lancar
DAFTAR PUSTAKA

Akhyar, Muhammad Adnan. 2000. Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Untuk


Memprediksi Potensi Kebangkrutan Dengan Pendekatan Altman. Dalam JAAIVol.4
No. 2 Desember

Alam, Ditiro. 2015. Analisis Metode Springate (S-Score) sebagai Alat untuk Memprediksi
Kebangkrutan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Property dan Real Estate yang
Listing di Bursa Efek Indonesia pada Tahun 2011-2013). Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB) Vol. 21 No. 1 April 2015

Citrawati, Etta. dan Made Gede Wirakusuma. 2014. Analisis Financial Distress dengan
Metode Z- Score Altman, Springate, Zmijewski. E-Journal Akuntansi Universitas
Udayana 6.3

Hanafi, Mamduh M. dan Abdul Halim. 2009. Analisis Laporan Keuangan . Yogyakarta:
STIM YKPN

Yoseph. 2011. Analisis Kebangkrutan dengan Metode Z- Score Altman, Springate, Zmijewski
pada PT. Indofood Sukses Makmur Tbk periode 2005-2009. Jurnal ilmiah Akuntansi
No.4

Anda mungkin juga menyukai