Anda di halaman 1dari 10

MODEL PEMBELAJARAN SAINS-TEKNOLOGI-MASYARAKAT (STM)

Pendahuluan
Pendidikan dasar saat ini harus mampu membekali setiap pebelajar dengan
pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap. Dimana proses belajar bukan semata-
mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) namun juga harus mencerminkan pilar-
pilar pendidikan. Pendidikan yang relevan harus bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu
(1) learning to know, yakni pebelajar mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni
pebelajar menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning
to be, yakni pebelajar belajar menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup,
dan (4) learning to live together, yakni pebelajar belajar untuk menyadari bahwa adanya
saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia
(Marhaeni, 2007). Dengan adanya kesinambungan keempat pilar pendidikan tersebut, niscaya
akan dihasilkan siswa-siswa yang berkopetensi dalam menjalani kehidupan di jaman yang
modern ini.
Untuk menghasilkan pebelajar yang kompetitif sesuai dengan keempat pilar diatas,
maka pendidikan saat ini harus bersifat kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh
proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang
bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran mandiri (self-
regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan
asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000).
Salah satu pendekatan kontekstual yang dapat dikembangkan dalam pendidikan dasar
adalah model Sains Teknologi Masyarakat (STM). Pendekatan STM adalah belajar dan
mengajarkan sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Pendekatan STM
dianggap cocok untuk mengintegrasikan domain konsep, keterampilan proses, kreativitas,
sikap, nilai-nilai, penerapan, dan keterkaitan antar bidang studi dalam pembelajaran dan
pendekatan sains. Menurut pandangan National Science Teacher Assocciation (NSTA), STM
harus sejalan dengan pengalaman hidup siswa. Oleh karena itu, pembelajaran sains yang
menggunakan pendekatan STM melibatkan masalah/isu aktual yang dihadapi oleh siswa dan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sehingga relevan dengan kehidupan siswa.
Pembelajaran dengan pendekatan STM memiliki cakupan pembelajaran yang lebih luas
karena diperkaya dengan permasalahan atau isu sains atau teknologi. Konteks pembelajaran
menjadi lebih luas. Pembelajaran seperti ini memberi kesempatan kepada siswa untuk
menyadari hubungan sains yang dipelajarinya dengan apa yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari. Pembelajaran selalu berawal dari masalah yang dihadapi masyarakat dalam
kehidupan nyata. Dengan demikian siswa tidak hanya memperlajari konsep fisika, biologi
atau kimia saja tetapi juga belajar untuk menanggapi dan menyelesaikan permasalahan yang
dihadirkan dalam pembelajaran. Harapannya siswa mendapat kebermaknaan dalam
mempelajari sains sebagaimana diungkapkan oleh King:
“STS science traditional content is not watered down but is embedded ini a social
technological context. The choice of the context is made on the basis of meaningfulness to the
students and the source content generated by the context on a need to know basis required by
a particular part of the curriculum”
Penggunaan pendekatan STM tidak hanya terbatas pada konsep esensial yang diajarkan
di sekolah tetapi juga menekankan peranan sains dan teknologi dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa terhadap dampak
sains dan teknologi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga aspek dalam diri siswa yang
dapat dikembangkan anatara lain domain konsep, keterampilan proses, kreativitas, sikap,
nilai-nilai, penerapan dan keterkaitan antarbidang studi dalam pembelajaran dan pendekatan
sains. Salah satu contohnya, dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam memecahkan
masalah, terutama permasalahan atau isu-isu yang ada dimasyarakat. Misal isu kimia di
masyarakat, yaitu mengenai zat aditif dimasyarakat. Dengan mengaitkan materi dengan
dunia nyata dalam kehidupan siswa (daily life) dengan jalan bercerita atau mengajukan tanya
jawab lisan tentang kondisi aktual siswa. Kemudian siswa diarahkan melalui mode ling agar
siswa termotivasi, questioning yang menuntut siswa berfikir, construct ivism agar siswa
membangun pengertian, inquiry mendesak siswa menemukan konsep sendiri dengan
bimbingan guru, learning community menciptakan siswa berbagi pengetahuan dan
pengalaman serta terbiasa berkolaborasi dan mengkomunikasikan pengetahuan, reflection
membuat siswa mampu mengulang kembali dan menyimpulkan pengalaman belajarnya, serta
authentic assessment agar penilaian yang diberikan guru menjadi objektif.

Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)


Dalam upaya meningkatkan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep dan prinsip-
prinsip sains, serta meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa, maka penyajian materi
ajar sains di sekolah hendaknya selalu dikaitkan dan disepadankan dengan isu-isu sosial dan
teknologi masyarakat. Salah satu pendekatan dalam pendidikan sains yang mungkin dapat
memberikan solusi terhadap permasalahan di atas adalah pendekatan “sains-teknologi-
masyarakat” (STM). Pendekatan STM dalam pembelajaran sains merupakan “perekat” yang
mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat. Isu-isu sosial dan teknologi di masyarakat
merupakan karakteristik kunci dari pendekatan STM (Yager, 1991). Melalui pendekatan
STM, para siswa belajar sains dalam konteks pengalaman nyata, yang mencakup penerapan
sains dan teknologi (Yager, 1996). Pengetahuan yang dibangun melalui pendekatan STM
akan ada pada diri siswa sebagai copy situasi kehidupan nyata.
Ciri-ciri pendekatan STM antara lain: 1) difokuskan pada isu-isu sosial dan teknologi di
masyarakat yang terkait dengan konsep dan prinsip sains yang akan diajarkan, 2) diarahkan
pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam membuat keputusan berdasarkan
informasi ilmiah, 3) tanggap terhadap karir pada masa depan, 4) evaluasi belajar ditekankan
pada kemampuan siswa dalam memperoleh dan menggunakan informasi ilmiah untuk
memecahkan masalah (Eddy M. Hidayat,1992).

Hubungan Antara Sains-Teknologi-Masyarakat


Sains memberi kontribusi terhadap teknologi, yang tercermin pada penerapan produk Sains
dalam teknologi. Sains memberi cara atau alat untuk mengestimasi perilaku benda-benda
(material). Para insinyur (engineer) menggunakan pengetahuan tentang Sains untuk
memecehkan masalah-masalah praktis. Sebaliknya, teknologi memberikan mata dan telinga
bagi Sains. Misalnya, teknologi komputer berperan penting bagi perkembangan subatansial
dalam mempelajari sistem cuaca, struktural kristal, struktur gen, dan sebagainya. Teknologi
tidak hanya memberi alat bagi Sains, tetapi juga memberi motivasi dan arah bagi teori-teori
penelitian. Misalnya, teori konservasi energi sebagian besar dikembangkan dari problem
teknologi dalam meningkatkan efisiensi mesin uap. Hubungan Sains) dan teknologi dapat
digambarkan sebagi berikut.

Hubungan antara teknologi dan masyarakat adalah sebagai berikut. Daya cipta individu
merupakan sesuatu yang esensial dalam inovasi teknologi. Kekuatan sosial dan ekonomi
masyarakat sangat mempengaruhi jenis teknologi yang dipilih. Teknologi juga dipengaruhi
oleh sejarah dan budaya masyarakat. Di sisi lain, secara historis, beberapa teori sosial
berkeyakinan bahwa perkembangan teknologi akan menyebabkan perubahan sosial.
Teknologi menimbulkan perubahan pola hidup, politik, religius, dan kesejahteraan umat
manusia. Jadi, terdapat hubungan timbal balik antara teknologi dan masyarakat.
Hubungan antara sains dan masyarakat adalah sebagai berikut. Produk-produk sains
memberi kontribusi bagi kesejahteraan umat manusia. Sains sebagai proses, memberikan
manusia kapasitas berpikir untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, kebutuhan manusia baik
sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat, memberi dorongan dan picu yang kuat
bagi perkembangan sains.
Model Pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
Model pembelajaran STM merupakan salah satu model dalam pembelajaran Sains di
sekolah. Sasaran yang ingin dicapai melalui pendekatan STM adalah meningkatkan minat
siswa terhadap Sains serta membentuk pribadi siswa yang literasi sains dan teknologi.
Melalui model pembelajaran STM, para siswa sebagai warga masyarakat diharapkan lebih
bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosialnya. Model pembelajaran STM
merupakan “perekat” yang mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat (Rustum Roy,
1983). Pengajaran Sains akan lebih bermakna jika konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-
teori Sains dikemas dalam kerangka yang bertalian dengan teknologi dan masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan USA oleh Yager (1984), Yager & Yager (1985)
menunjukkan bahwa jumlah siswa yang merasa bahwa sains tidak menyenangkan dan hanya
merupakan hafalan fakta, meningkat pada kelas-kelas yang makin tinggi. Kesan siswa bahwa
guru Sains berusaha membuat sains menarik, menimbulkan rasa ingin tahu, serta mendorong
siswa untuk berani mengemukakan pendapat, menurun pada kelas-kelas yang makin tinggi.
Di samping itu, terungkap pula bahwa 1) guru Sains terikat pada buku ajar yang diikuti baik
isi, urutan maupun contoh-contohnya secara kaku, 2) kebutuhan dan minat siswa diabaikan,
dan 3) disiplin dalam sains dipisahkan secara sangat tajam, dan tidak ditunjukkan aplikasinya
dan kaitannya dengan disiplin lainnya.
National Science Teacher Assosiation (NSTA) di USA mendefinisikan STM sebagai “
the teaching and learning of science in the contaxt of human experience (Yager,1992). NSTA
mengajukan sebelas ciri dalam mendeskripsikan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains,
yaitu:
1) Siswa mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan teknologi di daerahnya serta
dampaknya.
2) Menggunakan sumber lokal (manusia dan material) untuk memperoleh informasi
yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
3) Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat digunakan
dalam memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
4) Perluasan untuk terjadinya proses belajar yang melampaui waktu, kelas, dan sekolah.
5) Memusatkan pengaruh sains dan teknologi kepada siswa.
6) Pandangan bahwa materi subyek lebih dari sekedar konsep yang harus dikuasai
siswa.
7) Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam
memecahkan masalah.
8) Penekanan terhadap kesadaran karir, terutama karir yang berhubungan dengan
sains dan teknologi.
9) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai warga masyarakat, jika
telah dapat mengatasi isu yang telah diidentifikasinya.
10) Identifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah
di masa depan.
11) Perwujudan otonomi dalam proses belajar sebagai isu individu.
Keuntungan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains adalah berlakunya model
belajar konstruktivis. Pendekatan STM sejajar dengan pelaksanaan pandangan
konstruktivisme dalam belajar dan mengajar (Yager, 1992). Pandangan konstriktivisme dalam
belajar dan mengajar didasarkan atas asumsi bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran
pebelajar” (Bodner, 1986). Model konstruktivis tentang belajar dan mengajar, memberi
tekanan pada pentingnya peran prior knowledge siswa dalam belajar, serta memperhatikan
bagaimana pengetahuan itu dibangun di dalam struktur kognitif siswa. Jadi, model
konstruktivis menempatkan siswa pada posisi sentral dalam proses pembelajaran. Pendekatan
STM di samping menggunakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang berlaku pada model
konstruktivis dalam pembelajaran, juga memberi kesempatan kepada siswa sebagai decision
maker dalam memecahkan masalah.
Berikut ini dikemukakan perbandingan antara karakteristik pembelajaran Sains yang
tradisional yang pada umumnya diikuti oleh para guru Sains dan karakteristik pembelajaran
Sainsdengan pendekatan STM.
Pembelajaran Sains tradisional
(1) Konsep-konsep diperoleh dari buku teks.
(2) Menggunakan laboratorium dan aktivitas yang disarankan dalam buku petunjuk.
(3) Keterlibatan siswa kurang aktif, karena informasi biasanya telah disediakan guru atau ada
dalam LKS.
(4) Pernyataan pentingnya informasi berasal dari guru.
(5) Siswa berkonsentrasi pada masalah yang disiapkan oleh guru.
(6) IPA dipelajari di sekitar dinding kelas, sebagai bagian dari kurikulum.

Pembelajaran Sains dengan pendekatan STM


(1) Masalah diidentifikasi oleh siswa.
(2) Keterlibatan siswa lebih aktif, karena mereka harus mencari sendiri informasi yang
digunakan untuk memecahkan masalah.
(3) Pembelajaran Sains dapat melampaui apa yang tertera dalam kurikulum.
(4) Proses belajar sangat berpusat pada siswa.
(5) Tidak hanya ditekankan pada keterampilan proses, tetapi juga metode ilmiah yang
digunakan ilmuwan.
(6) Konsep-konsep yang dipelajari tidak hanya bersumber dari buku teks, tetapi juga dari
masyarakat.
(7) Para siswa memperoleh kesempatan untuk berfungsi sebagai “decision maker” dalam
memecahkan masalah.
Ditinjau dari penggunaan buku teks, antara kelas yang diajar dengan pendekatan
tradisional dan kelas yang diajar dengan pendekatan STM, terdapat beberapa perbedaan.
Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut

Tradisional STM
1. Buku teks dapat digunakan terus 1. Buku teks hanya digunakan jika diper-lukan
menerus. sebagai sumber informasi.
2. Guru menyediakan informasi untuk2. Guru membantu siswa dalam menemukan
dicatat dan diulangi. jawaban dari pertanyaannya.
3. Kegiatan belajar disiapakan terma- 3. Siswa merencanakan aktivitas sebagai cara
suk tujuan akhir. untuk menguji idenya dan pen-jelasannya.
4. Masalah dan isu yang ada sering
4. Tidak ada perhatian terhadap dipersiapkan sebagai konteks belajar.
masalah dan isu yang sedang
“ngetrend”. 5. Siswa mengusulkan kegiatan, sumber
5. Siswa mengerjakan apa yang ada informasi, dan pertanyaan baru.
dalam buku dan guru suruh untuk
dikerjakan. 6. Sering menggunakan laporan berita dan
6. Tidak ada penggunaan surat kabar situasi saat itu.
dan jurnal.
7. Ide dan informasi diperlukan untuk
7. Ide dan informasi dipresentasi untuk merespon isu dan pertanyaan.
dikuasai. 8. Sains berupa fakta di sekolah sebagai
8. “Sains” ditempatkan pada wadah kesatuan yang utuh di masyarakat dan dalam
yang dinamai kelas sains atau kelas kehidupan siswa.
laboratorium.
(Yager, 1996)
Lebih lanjut, dilihat dari penguasaan konsep dan keterampilan proses, antara kelas
yang diajar dengan pendekatan tradisional dan kelas yang diajar dengan pendekatan STM,
terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.

Tradisional STM
Konsep hanya disiapkan untuk Siswa melihat konsep sebagai
penguasaan tes yang dibuat guru. kebutuhan pribadi.
Konsep dilihat sebagai hasil akhir yang Konsep dilihat dari keperluannya
dicapai siswa. untuk pemecahan masalah.
Penguasaan konsep bersifat semen-tara. Siswa yang belajar dengan penga-
Siswa melihat proses sains sebagai laman memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang dilakukan oleh dapat menghubungkan penge-tahuannya
ilmuwan. dengan situasi baru.
Siswa melihat proses sains sebagai Siswa melihat proses sains sebagai
sesuatu yang dipraktekkan yang merupakan keterampilan yang mereka dapat
tuntutan pelajaran. gunakan.
Siswa melihat proses sains yang Siswa melihat proses sains sebagai
abstrak, sempurna, tidak dapat dicapai, dan keterampilan yang diperlukan untuk
tidak berhubungan dengan hidupnya. memperbaiki dan membangun diri-nya
secara lebih sempurna.
Siswa melihat proses sains sebagai
bagian penting dari apa yang me-reka
kerjakan di dalam belajar sains.
(Yager,1996).

Ditinjau dari sisi penerapan konsep sains yang diperoleh siswa, perbedaanya antara
siswa yang diajar dengan pendekatan tradisional dan siswa yang diajar dengan pendekatan
STM adalah sebagai berikut.
Tradisional STM
1. Siswa tidak melihat nilai dan atau 1. Siswa dapat menghubungkan sains
kegunaan dari pelajaran sains untuk yang dipelajari dengan kehidupan-nya.
kehidupannya.
2. Siswa menjadi terlibat dalam
2. Siswa tidak melihat nilai dari sains yang pemecahan isu-isu sosial; mereka
dipelajari untuk memecahkan masalah yang melihat manfaat dari belajar sains untuk
ada di masyarakat. menjadi warga negara yang bertanggung
3. Siswa dapat menceritakan informasi atau jawab.
konsep yang dipelajari. 3. Siswa menginginkan informasi yang
4. Siswa tidak dapat menghubungkan sains berhubungan dengan masalah.
yang dipelajari dengan teknologi yang ada4. Siswa tertarik dengan perkembangan
pada saat itu. teknologi baru dan menggunakannya
untuk melihat kepentingannya serta
kecocokannya dengan konsep sains.
(Yager,1996)

Berdasarkan perbandingan di atas, terlihat adnya keunggulan pembelajaran IPA dengan


pendekatan STM terhadap pembelajaran tradisional dalam meningkatkan penguasaan siswa
terhadap konsep-konsep dan prinsip-prinsip Sains, khususnya dalam menyiapkan individu
siswa yang literasi sains dan teknologi.
Model pembelajaran berpendekatan STM dengan sintak mulai dari fase invitasi,
ekslorasi, eksplanasi dan solusi, tindak lanjut, dapat membangkitkan berpikir siswa, seperti
13 ciri berpikir kritis yang dikemukakan oleh Raymond. S. Neckerson. Berpikir kritis siswa
pada fase invitasi pada implementasi pembelajaran berpendekatan STM adalah, guru dapat
menggali isu-isu sains teknologi di masyarakat, mengorganisasi ide-ide dan
mengartikulasinya secara ringkas. Pada fase eksplorasi siswa menggunakan bukti atau fakta
secara cakap, mampu belajar secara independen, membedakan antara kesimpulan yang secara
logika, meragukan penilaian yang tidak didukung oleh bukti yang yang cukup guna
pengambilan keputusan, memahami perbedaan antara penalaran dan rasional, sensitif
terhadap perbedaan antara validitas dan intensitas dari suatu keyakinan. Pada fase ekplanasi
dan solusi siswa dapat menyususn representasi masalah secara informasi yang serupa dengan
cara teknik formal. Pada fase tindak lanjut siswa berusaha mengantisipasi kemungkinan-
kemingkinan konskuensi dari tindakan alternatif.
Menurut Robert E. Yager (1992) sintak model pembelajaran STM adalah sebagai
berikut:
Sintak Model Pembelajaran STM

FASE-FASE AKTIVITAS MENGAJAR


Fase 1 (Invitasi)
Menggali isu atau masalah lebih · Guru menyampaikan pertanyaan-
dahulu dari peserta didik pertanyaan yang efektif agar siswa
termotivasi

Menghubungkan pembelajaran baru · Guru memberikan resfek positif bagi


dengan pembelajaran sebelumnya siswa yang berusaha untuk menjawab

Mengidentipikasi isu atau masalah · Guru menjelaskan materi pokok dan


dalam masyarakat yang berkaitan dengan manfaat praktis yang akan didapat
topik yang dibahas
Fase 2 (Eksplorasi)
Merancang dan melakukan kegiatan · Guru membagi siswa menjadi beberapa
eksperimen atau percobaan untuk kelompok
mengumpulkan data
Berlatih keterampilan proses sains · Guru memberikan siswa untuk
Mengasah kerja ilmiah dan sikap melakukan eksperimen untuk
ilmiah mendapatkan penjelasan dan pemecahan
Diskusi kelompok untuk menghasilkan masalah, kemudian melaporkan hasil
kesimpulan pengamatannya untuk disimpulkan

Fase 3
(Pengajuan Eksplanasi dan solusi) · Guru langsung mengajak siswa untuk
Siswa membangun sendiri konsep mendiskusikan hasil pengamatan
Siswa berdiskusi kemudian diaplikasikan pada situasi lain
· Guru memperhatikan hasil kegiatan
Solusi masalah yang dihadapi seluruh kelompok
masyarakat terkait materi yang diperoleh · Guru mencermati kembali kegiatan
siswa semata-mata berdasarkan informasi siswa apabila ada kelompok yang
dari kegiatan eksplorasi menghasilkan kesimpulan yang bias
· Guru memberikan rangkuman atau
ulasan tentang konsep-konsep yang benar
diantara peserta didik

Fase 4
Tindak Lanjut · Guru mengajukan pertanyaan-
Menjelaskan fenomena alam pertanyaan yang bersifat konseptual.
berdasarkan konsep yang disusun
Menjelaskan berbagai aplikasi untuk
memberikan makna
Refleksi pemahaman konsep
(Dimodifikasi dari Yager, 1992)

Daftar Pustaka

Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences: Lesson
Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000. Texas
Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy.
Eddy Mohamad Hidayat (1991). Science-Technology-Society: Pendidikan Sains untuk Tahun 2000.
Edisi Khusus Jurnal Pendidikan IPA. Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia
Hungerford, Harold R., et al. (1990). Science-Technology-Society: Investigating and Evaluation
STS Issues and Solutions. Illinois: Stipes Publishing Company
Marhaeni, A.A. Istri N. 2007. Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka
Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif. Singaraja: Undiksha.
Yager, Robert E. & S.O. Yager (1985). Changes in Perception of 3rd.7th, and 11th Grade Students.
Journal of Research in Science Teaching, Vol. 22. No.4.

Yager, Robert. E (1992). The STS Aproach Parallels Constructivist Practices. Science Education
International, Vol. 3, No. 2.

Yager, Robert E. (1996). Science/Technology/Society, As Reform in Science Education. New York:


State University of New York Press.

Sumber yg didapat : http://elangbiru3004.blogspot.co.id/2012/01/model-pembelajaran-sains-


teknologi.html

Anda mungkin juga menyukai