Menyetujui,
Ketua LPPM UR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis ucapakan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan penulis rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan penelitian berbasis laboratorium dengan judul “Rekayasa proses pemanfaatan
gliserol produk samping biodiesel dan limbah produksi sawit sebagai sumber energi
terbarukan dan bahan kimia”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
dasar penelitian untuk pengembangan produksi biodiesel yang lebih efektif dan efisien
sebagai bahan bakar alternatif secara global.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu. Terutama kepada pihak yang telah memberi bantuan dana
sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan dengan baik dan selesai tepat waktu.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga untuk
membantu perbaikan yang lebih baik lagi untuk kedepannya, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca.
Abstract In this work, response surface methodology was used to optimize the conditions
for the transesterification of oil-palm off grade with methanol, using CaO from chicken
eggshell as catalyst. By experimental design a quadratic polynomial equation was obtained
for biodiesel yield. Multiple regression analysis and verification experiments confirmed the
validity of the predicted model. The studied variables were reaction temperature (50, 60 and
70 °C), catalyst weight base oil (2,4 and 6%) and methanol to oil-palm off grade molar ratio
(7:1; 9:1 and 11:1). Results from the optimation study showed that reaction temperature and
molar ratio methanol to oil-palm off grade can be optimized. Catalyst characterization was
carried out by X-ray Diffraction. Biodiesel with highest methyl ester content (87.41%) was
obtained at 70 °C, 1:11 methanol to oil-palm off grade molar ratio and 2% catalyst
concentration. The produced biodiesel was found to fulfill the specifications of the SNI-2012
regarding viscosity, flash point and acid value.
Keyword: biodiesel, CaO, oil-palm off grade, optimization, response surface methodology
Abstrak Sawit off-grade merupakan salah satu sumber minyak nabati yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Pada reaksi transesterifikasi
menggunakan katalis CaO yang diperoleh dari kalsinasi kulit telur pada temperatur
900oC selama 2 jam. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan biodiesel dari sawit
off-grade dengan menggunakan katalis CaO dan mengetahui pengaruh temperatur
reaksi, perbandingan mol minyak:metanol, serta konsentrasi katalis terhadap yield
biodiesel pada reaksi transesterifikasi. Proses esterifikasi dilakukan pada temperatur
60 oC dengan perbandingan mol minyak:metanol adalah 1:12 dan menggunakan
1%-b katalis H2SO4. Reaksi esterifikasi dapat menurunkan kadar ALB dari 16,18%
menjadi 0.6%. Transesterifikasi dilakukan dengan variasi perbandingan mol
minyak:metanol berturut-turut adalah 1:7, 1:9, 1:11, konsentrasi katalis CaO 2%-b,
4%-b, 6%-b, temperatur reaksi 50oC, 60oC, 70oC dan waktu reaksi selama 3 jam.
Pengolahan data dilakukan dengan Response Surface Methodology (RSM),
sedangkan jumlah tempuhan percobaan ditentukan dengan Central Composite
Design (CCD). Yield yang dihasilkan berkisar antara 62,30% sampai 87,41%. Yield
terbesar dihasilkan pada temperatur 70ºC dengan perbandingan mol
minyak:metanol yaitu 1:11 dan katalis CaO 2%-b. Hasil pengujian P-value
menunjukkan bahwa kondisi proses yang memberikan pengaruh signifikan terhadap
yield biodiesel adalah suhu reaksi, perbandingan mol minyak:metanol, dan interaksi
antara suhu dengan perbandingan mol minyak:metanol. Sedangkan konsentrasi
katalis tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
KAJIAN PUSTAKA
Sawit Off grade
Sawit off-grade merupakan salah satu sumber minyak nabati yang belum
termanfaatkan dan berasal dari sisa sortasi di Pabrik Crude Palm Oil (CPO). Sawit off grade
merupakan buah sawit diluar grade kematangan buah sehingga tidak layak olah (Arifin,
2009). Beberapa kriteria buah sawit yang digolongkan ke dalam sawit off grade adalah
(Budiawan dkk, 2013) :
1. Buah sawit muda ditandai dengan buah yang berwarna hitam dan keras, mesokorp
buah lapisan luar berwarna kekuningan, tidak ada berondolan yang lepas dan
memiliki kadar minyak yang sangat sedikit.
2. Buah sawit abnormal ditandai dengan tandan mempunyai buah yang tidak normal
dari segi ukuran atau kepadatan. Buah abnormal biasanya didapat dari tandan buah
sawit muda yang memiliki lebih dari 50% buah parthenocarpic (buah yang tumbuh
karena kurang dipupuk) dan menghasilkan yield minyak yang sedikit serta kernel
(inti) tidak mengandung endosperm dan embrio dimana bagian pusat buah biasanya
padu.
3. Buah sawit lewat matang ditandai dengan tandan mempunyai buah berwarna merah
tua dan lebih dari 50% buah telah lepas dari tandan tetapi terdapat sekurang-
kurangnya 10% buah segar yang masih melekat pada tandan.
4. Buah sawit busuk ditandai dengan sebagian tandan atau seluruhnya telah
lembek/menghitam warnanya, busuk atau berjamur.
Pengolahan buah sawit off grade di pabrik hanya akan mempengaruhi kualitas
minyak yang dihasilkan sehingga berimbas kepada rendahnya harga jual minyak yang
dihasilkan. Pengolahan minyak muda dan abnormal akan menghasilkan yield CPO yang
rendah sedangkan pengolahan lewat matang dan busuk akan menghasilkan minyak yang
berkadar asam lemak bebas (ALB) >5% (Arifin, 2009).
Faktor yang menyebabkan adanya sawit off grade adalah waktu pemanenan terlalu
cepat atau terlalu lambat, lamanya waktu tinggal di Tempat Pengumpulan Hasil (TPH)
maupun di pabrik. Jika Tandan Buah Segar (TBS) yang telah dipanen tidak langsung
diproses, akan menyebabkan peningkatan kadar ALB ketika buah diekstraksi menjadi
minyak. Dengan perlakuan yang tidak tepat disetiap pemanenan maupun pada saat
pertumbuhan sawit, maka jumlah sawit off grade akan terus meningkat. Menurut data, sawit
off grade tersedia cukup banyak yaitu sekitar 2 – 3 ton perjam dari sebuah pabrik CPO
dengan kapasitas olah 30 ton perjam (Arifin, 2009).
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah sawit off-grade yaitu sawit
lewat matang dan busuk. Proses ekstraksi minyak sawit off grade dilakukan dengan
menggunakan alat spindle hydraulic press.
Minyak sawit off-grade dan metanol direaksikan dengan bantuan katalis asam sulfat
(H2SO4) sebagai katalis asam pada reaksi esterifikasi dan kalsium oksida (CaO) dari
kalsinasi kulit telur sebagai katalis basa pada reaksi transesterifikasi. Rangkaian alat reaktor
ditampilkan pada Gambar 1.
Keterangan :
6 2
1. Standar
35
4 2. Klem
3. Kondensor
4. Slang air
5 4
pendingin
6
8
5. Labu leher
7 tiga
9
6. Termometer
1
7. Magnetic
stirrer
8. Campuran
Gambar 1. Rangkaian Alat Penelitian (Budiawanminyak
dkk, 2013)
9. Mantel
pemanas
Persiapan Bahan Baku
Sawit off-grade terlebih dahulu dicuci agar terbebas dari kotoran berupa pasir dan
mahkota buah. Selanjutnya buah sebanyak 3 kg dikukus selama 120 menit. Setelah proses
pengukusan selesai, buah di press menggunakan spindle hydraulic press dengan tekanan
pengepress 30 bar. Hasil ekstraksi selanjutnya dimasukkan ke dalam corong pisah hingga
terbentuk dua lapisan yaitu minyak dan air. Kemudian dianalisa untuk mengetahui kadar
ALB dan kadar airnya (Nugroho, 2013).
c. Transesterifikasi
Lapisan bawah hasil esterifikasi dengan kadar ALB < 2% dimasukkan ke dalam
reaktor transesterifikasi dan dipanaskan sampai suhu reaksi. Setelah suhu reaksi tercapai,
tambahkan campuran metanol dan katalis CaO sesuai dengan variabel penelitian. Endapan
berupa katalis dipisahkan dari filtratnya. Filtrat yang didapat dilanjutkan ke proses
pemisahan dan pemurnian biodiesel (Awaluddin dkk, 2008).
2 2 2
= o + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 11X1 + 22X2 + 33X3 + 12X1X2 + 13X1X3 + 23X2X3
..........(1)
Minyak sawit off-grade memiliki kandungan ALB yang cukup tinggi yaitu sebesar
16,18%. Bahan baku dengan kandungan ALB yang tinggi tidak mudah terkonversi dengan
reaksi transesterifikasi karena akan terjadi reaksi antara katalis basa dengan ALB
membentuk sabun. Sabun yang terbentuk akan mempersulit proses pemisahan produk
(Kouzu dkk, 2008).
Data yang diperoleh pada Tabel 2 menunjukkan bahwa minyak sawit off-grade
memiliki kandungan air sebesar 9,35%. Awaluddin dkk, (2008) mengatakan bahwa
kandungan air merupakan faktor yang lebih dominan bila dibandingkan dengan kandungan
ALB minyak, karena air dapat mengakibatkan terjadinya hidrolisis dari minyak menjadi ALB
dan dari biodiesel menjadi ALB.
Karakteristik Katalis CaO
Penelitian ini menggunakan katalis CaO yang berasal dari kalsinasi kulit telur pada
suhu 900ºC selama 120 menit. Reaksi yang terjadi pada proses kalsinasi adalah:
Wei dkk (2009) telah membuat CaO dari kulit telur dengan variasi temperatur kalsinasi
200ºC - 1000ºC. CaO baru dapat terbentuk pada temperatur kalsinasi >700ºC. Mahreni dan
Endang (2011) juga telah membuat CaO dari kulit telur dengan variasi temperatur kalsinasi
200ºC - 900ºC. CaO baru dapat terbentuk pada temperatur kalsinasi >700ºC. Temperatur
kalsinasi terbaik yang diperoleh pada 900ºC. Pola XRD kulit telur sebelum dan sesudah
kalsinasi ditampilkan pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. Pola XRD Kulit Telur (a) Sebelum dan (b) Sesudah Kalsinasi
Hasil analisa XRD pada Gambar 2 menunjukkan bahwa komponen utama kulit telur
adalah kalsium karbonat (CaCO3). Hal ini dapat dilihat berdasarkan puncak CaCO3 yang
tebentuk pada posisi 2 : 23º, 29,5º, 31,5º, 36º, 39,5º, 43,5º, 47,5º, 49º, 57º, 58º, 61º, 63º,
65º, 66º, 69.5º, 70,5º, 73º, 77º, 82º, 84º, 95º, 96º. Pola XRD kulit telur sesudah kalsinasi
pada temperatur 900ºC yang ditampilkan pada Gambar 4 menunjukkan bahwa semua
CaCO3 pada kulit telur telah terkonversi menjadi CaO dan Ca(OH)2. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan puncak CaO yang terbentuk pada posisi 2 : 32,2º, 37,4º, 53,9º, 67,4º, 88,6º,
91,5º dan puncak Ca(OH)2 yang tebentuk pada posisi 2 : 18º, 28.8º, 34.2º, 47.2º, 50.9º,
62,5º, 67,4º sedangkan puncak CaCO3 sudah tidak terbentuk lagi. Selama proses aktivasi,
hidrasi CaO tidak dapat dihindari sehingga terbentuk komponen Ca(OH)2 (Prastyo dkk,
2011).
Pembentukan CaO juga dapat dilihat dari perubahan berat sampel sebelum dan
sesudah kalsinasi dengan asumsi bahwa telah terjadi reaksi dekomposisi sesuai dengan
persamaan reaksi (2). Berat sampel sebelum kalsinasi adalah 300,82 g, sedangkan berat
sampel sesudah kalsinasi adalah 166,17 g. Perubahan berat sampel terjadi karena CO 2
terlepas dari molekul CaCO3 (Mahreni dan Endang, 2011). Selain itu, berdasarkan hasil
pengamatan secara langsung terjadi perubahan warna dari serbuk kulit telur sebelum
kalsinasi berwarna kekuningan menjadi berwarna putih (hasil kalsinasi pada temperatur
900ºC).
Yield Biodiesel
Yield yang dihasilkan berkisar antara 62,30% Sampai 87,41%. Yield terbesar diperoleh
pada temperatur 70ºC dengan perbandingan mol minyak:metanol 1:11 dan berat katalis 2%-
b. Perolehan ini lebih kecil dibandingkan dengan biodiesel dari soybean oil pada temperatur
65ºC dengan perbandingan mol minyak:metanol 1:9 dan 3%-b katalis CaO yang berasal dari
kulit telur yaitu sebesar 95% (Wei dkk, 2009). Hal ini terjadi karena sawit off-grade yang
digunakan masih memiliki ALB sebesar 0,6% sedangkan kadar ALB soybean oil sebesar
<0,1%. Menurut Kouzu dkk (2008) penggunaan CaO sebagai katalis basa padat pada reaksi
transesterifikasi dengan bahan baku yang memiliki kadar ALB tinggi menyebabkan
terjadinya reaksi antara CaO dengan ALB sehingga konversi menjadi metil ester tidak
sempurna. Kouzu dkk (2008) telah membuat biodiesel dari soybean oil dan waste cooking
oil dengan kondisi proses yang sama yaitu pada perbandingan mol minyak:metanol 1:12
dan katalis CaO 0.9%-b selama 1 jam reaksi. Yield yang dihasilkan menggunakan waste
cooking oil dengan kadar ALB 2,6% sebesar 66%, sedangkan menggunakan soybean oil
dengan kadar ALB <0.1% dapat menghasilkan yield biodiesel sebesar 93%.
Karakteristik Biodiesel
Hasil analisa karakteristik biodiesel dari sawit off-grade dibandingkan dengan yang
telah ditetapkan dalam SNI 04-7182-2006. Biodiesel dengan densitas 858,12 kg/m2 dapat
menghasilkan pembakaran yang sempurna. Biodiesel dengan densitas yang melebihi
standar akan menyebabkan reaksi pembakaran tidak sempurna sehingga dapat
meningkatkan emisi dan keausan mesin (Budiawan dkk, 2013). Viskositas kinematik dengan
nilai 2,35 mm2/s dapat dikatakan biodiesel ini mampu menghasilkan kinerja injektor mesin
diesel yang lebih baik (Padil dkk, 2010).
Bilangan asam dapat digunakan untuk mengetahui tingkat korosifitas biodiesel yang
dihasilkan. Semakin kecil bilangan asam, biodiesel memiliki kualitas yang baik karena
tingkat korosifitasnya juga akan semakin kecil (Kartika dan Yuyun, 2012). Angka asam yang
dimiliki biodiesel yaitu 0,24 mg-KOH/g-biodiesel. Sementara itu, titik nyala biodiesel yang
diperoleh sebesar 132ºC. Hasil ini telah sesuai dengan standar yaitu >100oC yang
menandakan biodiesel aman dalam proses penyimpanan (Budiawan dkk., 2013). Biodiesel
yang dihasilkan memenuhi spesifikasi standar mutu biodiesel Indonesia karena data yang
dihasilkan berada pada rentang standar yang ditetapkan.
Pengaruh variabel proses terhadap yield biodiesel dilihat berdasarkan koefisien pada
persamaan 3. Variabel yang memiliki pengaruh besar terhadap yield biodiesel adalah suhu
reaksi dan perbandingan mol minyak:metanol, sedangkan konsentrasi katalis hanya
memberikan pengaruh yang kecil terhadap yield biodiesel. Grafik hubungan antara variabel
proses terhadap yield biodiesel ditampilkan pada Gambar 3.
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa suhu dan perbandingan mol minyak:metanol
berbanding lurus terhadap yield biodiesel. Yield terbesar diperoleh pada suhu 70oC dengan
perbandingan mol minyak:metanol 1:11 yaitu sebesar 87,41%. Huaping dkk (2006) telah
mempelajari pengaruh suhu reaksi dan perbandingan mol minyak:metanol menggunakan
katalis CaO super basa terhadap konversi biodiesel dari jatropha curcas oil (JCO). Konversi
biodiesel terbesar diperoleh pada suhu 70oC dengan perbandingan mol minyak:metanol
1:12 yaitu sebesar 92,6%. Suhu 70oC merupakan suhu reaksi yang tepat karena metanol
dalam keadaan mendidih (Huaping dkk, 2006). Wei dkk (2009) telah membuat biodiesel dari
soybean oil pada temperatur 65ºC, perbandingan mol minyak:metanol 1:9 dengan 3%-b
katalis CaO dan diperoleh yield biodiesel sebesar 95%.
Liu dkk (2008) mengatakan penggunaan perbandingan mol minyak:metanol dalam
jumlah berlebihan agar reaksi kesetimbangan berjalan kearah kanan (produk). Sehingga
penggunaan perbandingan mol minyak:metanol dapat meningkatkan yield biodiesel. Setelah
kesetimbangan tercapai maka penambahan metanol tidak akan meningkatkan yield
biodiesel yang dihasilkan tetapi meningkatkan biaya produksi. Menurut Huaping dkk (2006),
penggunaan perbandingan mol minyak:metanol dalam jumlah berlebihan tidak
menguntungkan karena membutuhkan energi yang lebih besar untuk memurnikan biodiesel
dari metanol yang tidak bereaksi.
(a) (b)
(c)
Gambar 3. Grafik Hubungan (a) Suhu Reaksi terhadap Yield Biodiesel, (b) Perbandingan
mol Minyak:Metanol terhadap Yield Biodiesel, dan (c) Konsentrasi Katalis
terhadap Yield Biodiesel
Pada Gambar 3 dapat dilihat penambahan konsentrasi katalis dapat
meningkatkan yield biodiesel yang dihasilkan. Namun setelah tercapai kondisi
maksimum, yield biodiesel yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini terjadi
karena biodiesel terserap kedalam katalis sehingga yield biodiesel yang
dihasilkan menurun (Huaping dkk, 2006). Wei dkk (2009) mengatakan yield
biodiesel meningkat ketika katalis ditambah hingga 3%-b, sedangkan ketika
katalis digunakan dalam jumlah yang sedikit (<1%-b) yield biodiesel yang
dihasilkan tidak besar. Namun penambahan katalis lebih dari 3%-b tidak
memberikan peningkatan pada yield biodiesel.
KESIMPULAN
Pembuatan biodiesel dari bahan baku ALB tinggi dapat dilakukan dengan
proses dua tahap. Pada penelitian ini, reaksi esterifikasi dapat mengkonversi
96,29% ALB pada sawit off-grade menjadi metil ester. Yield biodiesel tertinggi
pada penelitian ini diperoleh pada suhu 70ºC dengan rasio molar minyak:metanol
1:11 yaitu sebesar 87,41%. Kondisi proses yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap yield biodiesel adalah suhu reaksi, perbandingan mol minyak:metanol,
dan interaksi antara suhu dengan perbandingan mol minyak:metanol. Sedangkan
konsentrasi katalis tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Riau yang telah
mendanai penelitian ini dari dana DIPA dengan No. Kontrak
1932/UN19.5.1.3/L.T/2015.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, J.K. 2009. Pemanfaatan Buah Sawit Sisa Sortiran sebagai Sumber
Bahan Baku Asam Lemak. Tesis, Program S2 Teknik Kimia Universitas
Sumatra Utara, Medan.
Awaluddin, A., Saryono, S. Nelvia, dan Wahyuni. 2009. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Produksi Biodiesel dari Minyak Sawit Mentah
Menggunakan Katalis Padat Kalsium Karbonat yang Dipijarkan. Jurnal
Natur Indonesia 11(2): 129-134 (ISSN : 1410-9379). Jurusan Kimia,
FMIPA, Universitas Riau. Pekanbaru.
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI)
Nomor 04-7182:2006 tentang Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.
iv
Boey, P., G.P. Maniam, dan S.A. Hamid. 2011. Performance of Calcium Oxide
as a Heterogeneous Catalyst in Biodiesel Production : A Review.
Chemical Engineering Journal 168, 15-22
Budiawan, R. Zulfansyah, W. Fatra dan Z. Helwani. 2013. Off-grade Palm Oil as
a Reneweble Raw Material for Biodiesel Production By Two-Step
Processes. ChESA Conference. Januari. Banda Aceh. Chemical
Engineering on Science and Application. 7 : 40 – 50.
Hayyan, A., Md. Z. Alam, M.E.S. Mirghani, N.A. Kabbashi, N.I.N.M. Hakimi, Y.M.
Siran dan S. Tahiruddin. 2011. Reduction of Hight Content of Free
Fatty Acid in Sludge Palm Oil Via Acid Catalyst for Biodiesel
Production. Fuel Processing Technology 52, 920 – 924.
Helwani, Z., M.R. Othman, N. Aziz, J. Kim dan W.J.N. Fernando. 2009. Solid
Heterogeneus Catalyst for Transesterification of Triglycerides with
Methanol: A review. Applied Catalysis A:General 363: 1 -10.
Huaping, Z., W. Zongbin, C. Yuanxiong, Z. Ping, D. Shije, L. Xiaohua, dan M.
Zongqiang. 2006. Preparation of Biodiesel Catalyzed by Solid Super
Base of Calcium Oxide and its Refining Process. Chinese Journal of
Catalysis 27(5): 391-396.
Kartika, I.A., dan Yuyun P. 2012. Optimasi Produksi Biodiesel dari Biji Jarak
Pagar melalui Transesterifikasi In Situ Menggunakan Metode Respon
Permukaan. E-Jurnal Agroindustri Indonesia 1(2): 68-74. Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kouzu, M., T. Kasuno, M. Tajika, Y. Sugimoto, S. Yamanaka, dan J. Hidaka. 2008.
Calcium Oxide as a Solid Base Catalyst for transesterification of
soybean oil and its application to biodiesel production. Fuel Processing
Technology 87, 2798-2806
Liu, X., H. Ye, Y. Wang, S. Zhu, dan X. Piao. 2008. Transesterification of
Soybean Oil to Biodiesel Using CaO as a Solid Base Catalyst. Fuel 87:
216-221.
Mahreni dan Endang S. 2011. Pemanfaatan Kulit Telur sebagai Katalis Biodiesel
dari Minyak Sawit dan Metanol. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses
(ISSN : 1411-4216). Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta. Yogyakarta.
Montgomery, D.C. 1991. Design and Analysis of Experiments 3rd edition. John
Wiley and Sons Inc. Singapore.
Nugroho, D.A. 2013. Ekstraksi Sawit Off-grade Menggunakan Metode Artisanal.
Skripsi Sarjana, Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, Pekanbaru.
Padil, S. Wahyuningsih, dan A. Awaluddin. 2010. Pembuatan Biodiesel dari
Minyak Kelapa melalui Reaksi Metanolisis Menggunakan Katalis
CaCO3 yang dipijarkan. Jurnal Natur Indonesia 13(1): 27-32 (ISSN :
1410-9379). Universitas Riau. Pekanbaru.
Prastyo, H. S., Y. Y. Margaretha, A. Ayucitra, dan S. Ismadji. 2011.
Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit dengan menggunakan Katalis
Padat dari Cangkang Keong Mas (Pomacea sp.). Prosiding Seminar
Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia. Universitas Widya
Mandala. Surabaya.
Riyanti, F., Poedji L. H., dan Catur D. L. 2012. Pengaruh Variasi Konsentrasi
Katalis KOH pada Pembuatan Metil Ester dari Minyak Biji Ketapang
(Terminalia Catappa Linn). JPS 15 (2C). Jurusan Kimia Universitas
Sriwijaya. Sumatera Selatan.
Wei, Z., Xu, C., dan Li, B., 2009. Application of Waste Eggshell as Low-Cost
Solid Catalyst for Biodiesel Production. Bioresource Technology, 100:
2883-2885.
v
Widiastuti. 2010. Kajian Pengembangan Kontrak Berjangka CPO. Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI). Http://www.
bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/1038.html, diakses pada 17
November 2013, Pkl. 11.29 WIB.
vi
Esterifikasi gliserol menggunakan katalis zeolit alam teraktivasi
vii
PENDAHULUAN
Gliserol merupakan produk samping dari proses pembuatan biodiesel secara
transesterifikasi yang dihasilkan lebih kurang 10% dari total volume produk
biodiesel [Khayoon dkk, 2011]. Peningkatan produksi biodiesel meningkatkan
produksi gliserol. Produksi biodiesel Indonesia mencapai 720 juta liter pada
tahun 2010 dengan jumlah crude gliserol sekitar 72 juta liter, dan diprediksi akan
terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah crude gliserol tidak diiringi
dengan diversifikasi dari produk gliserol. Untuk ini perlu adanya pengolahan
crude gliserol menjadi bahan lain atau menjadi produk yang lebih bernilai
ekonomi.
Gliserol dapat diolah secara esterifikasi menghasilkan produk-produk
seperti gliserol triheptanoat, gliserol monostearat, lesitin, tri tetra butil gliserol,
mono oleat gliserida, tri acetil gliserol, gliserol tri benzoat, dan gliserol ester
maleat resin. Proses esterifikasi banyak dipilih karena dapat menghasilkan
produk turunan yang lebih bernilai ekonomi dan penggunaannya yang banyak
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu produk dari konversi gliserol ini bersifat
ramah lingkungan dan terbaharukan karena bukan berasal dari turunan produk
petroleum.
Tri Acetyl Glycerol (Triasetin) adalah salah satu produk turunan gliserol
yang dapat digunakan sebagai aditif pada makanan seperti bahan aroma pada
permen (gula-gula), minuman olahan susu, minuman berperisa dan permen
karet. Selain itu dapat digunakan sebagai pelarut pada parfum, tinta cetak,
pelarut pada aroma, plastisizer untuk resin selulosa, polimer danko-polimer,
bahkan dapat digunakan sebagai zat aditif bahan bakar untuk mengurangi
knocking pada mesin mobil [Nuryoto dkk, 2010]. Triasetin dapat dijadikan aditif
dalam biofuel yang dapat mengurangi biaya pengadaan zat aditif, menaikkan
kualitas biofuel, dan menaikkan nilai ekonomi dari gliserol itu sendiri [Liao dkk,
2009]. Selain itu Triasetin sebagai zat aditif dalam biofuel merupakan bahan baku
yang terbaharukan dan ramah lingkungan.
KAJIAN PUSTAKA
Produk Samping Biodiesel
Peraturan Presiden No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
menyebutkan kuota bahan bakar nabati (BNN) jenis biodesel pada tahun 2011-
2015 sebesar 3 persen dari konsumsi energi nasional atau setara dengan 1,5
viii
milyar liter. Pada pembuatan biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dihasilkan
produk samping berupa gliserol dengan tingkat kemurnian yang rendah, yang
biasa disebut dengan crude glycerol. Produksi gliserol akan meningkat dengan
adanya target produksi biodiesel pada tahun 2015 dengan menghasilkan gliserol
sebanyak 150 juta liter dan kemudian target pada tahun 2025 dihasilkan gliserol
sebanyak 470 juta liter [Prasetyo dkk, 2012]. Perkiraan jumlah gliserol yang
dihasilkan dari produk samping biodiesel dengan perkiraan konversi biodiesel
yang dihasilkan 90% yang ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkiraan produksi gliserol dari produk samping biodiesel (Satuan ribu
kiloliter)
2007 2008 2009 2010 2015 2025
Biodiesel 262,5 415 567,5 720 1500 4700
Kenaikan 152,5 152,5 152,5 152,5 152,5 152,5
Gliserol 26,25 41,5 56,75 72 150 470
Sumber : Prasetyo dkk, [2012]
Selama ini crude glycerol yang dihasilkan belum dimanfaatkan oleh industri
penghasil biodiesel, karena banyaknya zat pengotor yang terdapat dalam crude
glycerol. Komposisi dari crude glycerol ditampilkan pada Tabel 1. Crude glycerol
yang dihasilkan sangat bernilai ekonomis jika diolah dan penggunaannya sangat
luas. Gliserol dalam jumlah besar digunakan dalam pembuatan obat, kosmetik,
pasta gigi, busa uretan, resin sintesis dan lain-lain. Gliserol juga bisa digunakan
untuk industri makanan dan tembakau [Appleby, 2003].
Komposisi dalam crude glycerol berupa sisa bahan yang digunakan pada
reaksi transesterifikasi, yaitu gliserol (50-60%), metanol (23,4-37,5%), katalis
basa (KOH, NaOH) (15-18%), air (2-3%), serta komposisi lainnya, yaitu garam
dan bahan organik yang tidak bereaksi [Thompson dkk, 2006]. Pengotor pada
gliserol, terutama bahan organik non-gliserol (matter organic non-glycerol,
MONG) berdampak pada mutu dan kuantitas gliserol yang dihasilkan. Jika kadar
MONG tinggi (3-5%) akan menimbukan bau, warna dan rasa pada produk yang
dihasilkan [Hui, 1996].
ix
netralisasi dengan alkali. Umumnya efisiensi proses berkurang dari 96 % dan
tahan netralisasi menyebabkan permasalah dalam penanganan limbah hasil
pencucian dengan air [Lim dkk, 2009]. Katalis homogen asam ini bersifat korosif,
sehingga memerlukan penanganan khusus. Dalam pembuatan ester dengan
katalis asam tersebut diperlukan sistem pemisahan air untuk menggeser
kesetimbangan reaksi ke arah pembentukan ester sehingga tahapan proses
menjadi lebih panjang [Haeruddin dkk, 2007].
Katalis heterogen asam banyak dikembangkan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan katalis homogen. Katalis
heterogen adalah katalis yang mempunyai fase yang berbeda dengan fase
reaktannya [Jumari dkk, 2009]. Penggunaan katalis heterogen asam pada reaksi
esterifikasi dapat menghilangkan kontaminasi pada produk ester, proses
pembuatan ester menjadi lebih sederhana, pemisahan sisa asam karboksilat,
sisa katalis dan produk sampingnya dapat menjadi lebih mudah dan sederhana
[Haeruddin dkk, 2007; Lim dkk, 2009]. Beberapa contoh katalis heterogen yang
digunakan dalam pembuatan Triacetin melalui reaksi esterifikasi diantaranya
resin penukar ion iodion 225Na [Nuryoto dkk, 2010], Amberlysts-15, Amberlysts-
35, zeolit HY dan HZSM-5 [Liao dkk, 2009].
Zeolit didefenisikan sebagai senyawa alumina silika yang mempunyai
struktur kerangka tiga dimensi dengan rongga didalamnya. Struktur kerangka
zeolit tersusun atas unit-unit tetrahedral (AlO4)-5 dan (SiO4)-4 yang saling
berikatan melalui atom oksigen membentuk pori-pori zeolit. Ion silikon bervalensi
4, sedangkan aluminium bervalensi 3. Hal ini yang menyebabkan struktur zeolit
kelebihan muatan negatif yang diseimbangkan oleh kation-kation logam alkali
atau alkali tanah seperti Na+, K+, Ca+ atau Sr+ maupun kation-kation lainnya.
Kation-kation tersebut terletak diluar tetrahedral, dapat bergerak bebas dalam
rongga-rongga zeolit dan bertindak sebagai counter ion yang dapat
dipertukarkan dengan kation-kation lainnya, sifat-sifat inilah yang mendasari
zeolit sebagai penukar kation. Berdasarkan sifat fisika dan sifat kimia tersebut
zeolit dapat dimanfaatkan sebagai penukar ion, penyaring molekuler, adsorben
dan katalis (Sutarti dan Rahmawati, 1994).
Zeolit pertama kali ditemukan oleh Freiherr Axel Cronstedt, seorang ahli
mineralogi dari Swedia pada tahun 1756 (Lefond, 1983). Zeolit menurut proses
pembentukannya dibagi 2, yaitu : zeolit alam (natural zeolit) dan zeolit sintetis
(syntetic zeolit). Sedangkan berdasarkan ukuran porinya, zeolit dapat
x
diklasifikasikan menjadi 3 golongan, yaitu: zeolit dengan pori kecil (small pore
zeolit), zeolit dengan pori medium (medium pore zeolit), dan zeolit dengan pori
besar (large pore zeolit). Zeolit alam biasanya mengandung kation-kation K+ ,Na+,
Ca2+ atau Mg2+ sedangkan zeolit sintetik biasanya hanya mengandung kation-
kation K+ atau Na+. Pada zeolit alam, adanya molekul air dalam pori dan oksida
bebas di permukaan seperti Al2O3, SiO2, CaO, MgO, Na2O, K2O dapat menutupi
pori-pori atau situs aktif dari zeolit sehingga dapat menurunkan kapasitas
adsorpsi maupun sifat katalisis dari zeolit tersebut. Inilah alasan mengapa zeolit
alam perlu diaktivasi terlebih dahulu sebelum digunakan [Suyartono dan Husaini,
1991].
Aktivasi zeolit alam dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Secara
fisika, aktivasi dapat dilakukan dengan pemanasan pada suhu 300-400 oC
dengan udara panas atau dengan sistem vakum untuk melepaskan molekul air.
Sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan melalui pencucian zeolit dengan
larutan Na2EDTA atau asam-asam anorganik seperti HF, HCl dan H2SO4 untuk
menghilangkan oksida-oksida pengotor yang menutupi permukaan pori
[Suyartono dan Husaini, 1991] .
Aktivasi zeolit dapat dilakukan dengan perlakuan asam, yaitu mereaksikan
zeolit dengan larutan asam seperti HCl, HF, dan NH4Cl [Khairinal dkk, 2000],
HCl, HNO3, H2SO4, dan H3PO4 [Heraldy dkk, 2003]. Perlakuan menggunakan
HCl didapat kondisi optimum pada konsentrasi 6M, waktu refluks 30 menit
menghasilkan penghilangan kotoran dalam zeolit alam tertinggi tanpa merusak
kristilinitas mordenit [Trisunaryanti dan Puppe, 1999]. Perlakuan zeolit alam
dengan HCl 6M untuk waktu 20 jam menyebabkan terjadinya kerusakan struktur
kristal zeolit [Trisunaryanti dkk, 1996]. Zeolit alam teraktivasi dimungkinkan dapat
digunakan sebagai katalis asam dalam reaksi esterifikasi pada pembuatan
Triacetin. Proses aktivasi zeolit menyebabkan zeolit mengalami dealuminasi dan
dekationisasi, yaitu keluarnya Al dan kation-kation dalam kerangka zeolit
sehingga menyebabkan bertambahnya luas permukaan karena berkurangnya
pengotor yang menutupi pori-pori zeolit. Luas permukaan yang bertambah
diharapkan meningkatkan kemampuan zeolit dalam proses penjerapan
[Weitkamp & Puppe, 1999].
Karena sifat zeolit yang unik yaitu susunan atom maupun komposisinya
yang dapat dimodifikasikan, maka peneliti berupaya untuk membuat zeolit
sintetis yang mempunyai sifat khusus sesuai dengan keperluannya. Kemampuan
xi
zeolit sebagai katalis berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif dalam
saluran antar zeolit. Pusat-pusat aktif tersebut terbentuk karena adanya gugus
fungsi asam tipe Bronsted maupun Lewis. Perbandingan kedua jenis asam ini
tergantung pada proses aktivasi zeolit dan kondisi reaksi. Pusat-pusat aktif yang
bersifat asam ini selanjutnya dapat mengikat molekul-molekul basa secara
kimiawi. Sedangkan sifat zeolit sebagai penukar ion karena adanya kation logam
alkali dan alkali tanah. Kation tersebut dapat bergerak bebas didalam rongga dan
dapat dipertukarkan dengan kation logam lain dengan jumlah yang sama. Akibat
struktur zeolit berongga, anion atau molekul berukuran lebih kecil atau sama
dengan rongga dapat masuk dan terjebak [Sutarti & Rachmawati, 1994]
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan adalah reaktor pemasak berupa labu leher tiga
volume 500 mL, dan dilengkapi dengan heating mantle, kondensor, magnetic
stirred dan termometer. Bahan-bahan yang digunakan adalah crude gliserol dari
pabrik Biodiesel PT. Wilmar Group Dumai, asam asetat pa merck, dan zeolit alam
Yogyakarta. Sebelum digunakan, crude gliserol terlebih dahulu dimurnikan, dan
zeolit alam diaktifasi lebih dahulu untuk mendapatkan zeolit alam yang bersifat
asam.
Persiapan Gliserol
Pemurnian gliserol dilakukan dengan mengggunakan metode evaporasi
[Prakorso, 2007]. Proses pemurnian ini dilakukan untuk menghilangkan air,
metanol dan sisa asam dalam proses pembuatan biodiesel tersebut. Adapun
xii
pelarut yang digunakan adalah aquades. Sampel (crude gliserol) ditambahkan
aquades dengan perbandingan 2 : 3. Untuk menghilangkan warna pada crude
gliserol digunakan karbon aktif 5% dari total volume sampel yang sudah terlebih
dahulu dicuci. Campuran sampel dan karbon aktif diaduk selama 30 menit, lalu
dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam sampel disaring menggunakan kertas
saring. Sampel dimasukkan kedalam rotary evaporator, dimana sebelumnya
o
sudah di set kondisinya pada tekanan vakum dan suhu 60 C. Untuk
meningkatkan kemurnian gliserol, produk bawah rotary evaporator didistilasi
selama 4 jam kemudian dianalisa kemurniaan gliserol (menurut metode FBI A02-
03).
Proses Esterifikasi
Proses esterifikasi bertujuan untuk mengkonversi gliserol menjadi
Triasetin menggunakan asam asetat. Proses yang dilakukan pada suhu 100oC
dengan memvariasikan konsentrasi katalis dan perbandingan pereaksi. Gliserol
dengan volume tertentu dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian dipanaskan
sampai mendekati suhu 100 oC. Asam asetat dengan volume 65, 109 dan 152
ml berdasarkan perbandingan gliserol dan asam asetat dipanaskan mendekati
suhu 100 oC dalam gelas piala, kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga,
dan reaktan dipanaskan sampai suhu 100 oC. Selanjutnya katalis dimasukkan
dan waktu dicatat sebagai waktu awal reaksi. Reaksi dihentikan setelah waktu
reaksi 4 jam. Percobaan diulangi dengan mempelajari pengaruh konsentrasi
katalis. Triasetin hasil proses esterifikasi dipisahkan dari katalisator dengan
menyaringnya menggunakan kertas saring. Triasetin yang diperoleh dianalisa
menggunakan FT-IR (Fourier Transfor-Infra Red).
Analisa Hasil
Analisis asam total (Ao) dilakukan dengan cara volumetri menggunakan
asam klorida (menurut metode FBI A01-03), sementara bilangan penyabunan
dianalisis menggunakan KOH (menurut metode FBI A03-03). Perhitungan
konversi pereaksi berdasarkan hasil dari pengurangan antara jumlah mol asam
asetat mula-mula dikurangi dengan mol asam asetat yang bereaksi, jumlah
gliserol yang terkonversi dihitung dari stoikhiometri reaksi asam asetat dengan
gliserol. Gliserol yang bereaksi dapat dihitung menggunakan metode yang sama.
Sedangkan uji kualitatif dan kuantitatif Triasetin yang diperoleh dari hasil reaksi
xiii
esterifikasi dengan variasi perbandingan pereaksi dan konsentrasi katalis,
dianalisis menggunakan FT-IR (Fourier Transfor-Infra Red).
a b
Gambar 2 a. Crude Gliserol produk samping biodiesel di PT Wilmar Group
b. Gliserol murni
xiv
vakum dilanjutkan dengan mengambil produk bawah untuk didistilasi. Produk
bawah hasil rotary evaporator diuji kemurniannya sekitar 85%, tetapi setelah
dilakukan proses distilasi kemurnian meningkat menjadi 98%. Kadar gliserol yang
didapat mendekati kadar gliserol yang diperoleh oleh Prakorso, [2007] sebesar
98,9%.
Gliserol yang telah dimurnikan dan crude gliserol dilakukan analisa
meliputi densitas, viskositas, kadar gliserol, kadar metanol, kadar air dan kadar
impuritis. Tujuan analisa ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dari crude
gliserol PT. Wilmar Group yang akan dibandingkan dengan sifat fisik gliserol yang
sudah dimurnikan. Sifat fisik crude gliserol, gliserol yang telah dimurnikan, dan
gliserol murni dapat dilihat pada Tabel 2.
Data sifat fisik pada Tabel 2 menunjukkan nilai densitas crude gliserol
sebesar 1,1414 g/mllebih rendah dari nilai densitas gliserol setelah dimurnikan
sebesar 1,2410 g/ml. Jika dibandingkan densitas gliserol yang sudah dimurnikan
dan gliserol murni hampir sama. Hal ini disebabkan adanya senyawa lain yang
terdapat dalam crude gliserol seperti air, sisa metanol dan ash. Senyawa lain
yang terdapat dalam crude gliserol tersebut memiliki densitas yang lebih rendah
daripada gliserol murni yang menyebabkan turunnya densitas crude gliserol.
xv
kalsinasi pada suhu 500oC.Tujuan aktifasi secara kimia dan fisika untuk
menghilangkan pengotor pada permukaan zeolit, meningkatkan kritalinitas,
keasaman dan menguapkan air yang terperangkap di dalam pori-pori kristal
zeolit, sehingga luas permukaannya bertambah [Khairinal, 2000; Hari, 2001].
Proses perendaman zat kimia dan pemanasan zeolit yang berlebihan
kemungkinan akan menyebabkan zeolit tersebut rusak.
Aktivasi zeolit secara kimia dengan perlakuan HF konsentrasi 5%
sebanyak 200ml yang dilanjutkan dengan HCl 6M sebanyak 200 ml
menyebabkan zeolit mengalami dealuminasi dan dekationisasi yaitu keluarnya Al
dan kation-kation dalam kerangka zeolit. Proses dealuminasi oleh HCl akan
menyebabkan lepasnya atom-atom Al dalam kerangka zeolit sehingga rasio Si/Al
akan meningkat. Setelah direfluks dengan HCl, zeolit dicuci dengan aquades
sebanyak 10 kali hingga seluruh ion Cl- diharapkan hilangagar kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 120oC selama 2 jam.
Zeolit alam yang telah diaktivasi secara kimia dan fisika diuji tingkat
keasamannya. Tingkat keasaman zeolit merupakan jumlah basa yang
berinteraksi dengan gugus asam zeolit, dimana jumlah basa yang teradsorp
adalah ekivalen dengan jumlah asam pada permukaan padatan zeolit yang
menyerang basa tersebut. Uji keasaman dilakukan menggunakan metode
adsorpsi amoniak dimana akan dihitung jumlah amoniak yang teradsorsi per
berat zeolit alam yang telah diaktifasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zeolit
alam dapat mengadsorbsi amoniak sebesar 0,68 mmol/gram. Jika dibandingkan
dengan zeolit MTZ yang digunakan Padigapati dkk, [2010] yang dapat
mengadsorp amoniak sebesar 0,61 mmol/gram, hasil yang didapat lebih besar
0,07 mmol/gram.
Nilai keasaman zeolit alam sebelum diaktivasi sebesar 0,449 mmol/gram.
Aktivasi zeolit alam menggunakan metoda kimia dan fisika memiliki nilai
keasaman sebesar 0,68 mmol/gram. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
aktivasi akan meningkatkan keasaman dari zeolit alam. Semakin besar
keasaman dari suatu katalis akan meningkatkan situs aktif dari katalis tersebut
sehingga permukaan katalis lebih efektif dalam menyerap reaktan.
Konversi Gliserol
Konversi yang dihasilkan dalam proses esterifikasi pembuatan Triasetin
menggunakan katalis zeolit alam adalah berkisar antara 58-91% sedangkan
xvi
konversi yang dihasilkan pada proses esterifikasi gliserol menggunakan katalis
padat sintesis indion 225Na berkisar antara 25-42% [Nuryoto dkk, 2010]. Hasil
ini membuktikan bahwa zeolit alam dapat mengkorversi gliserol menjadi Triasetin
lebih baik. Konversi terendah yaitu 58,49% diperoleh pada perbandingan
pereaksi gliserol dan asam asetat 1:3 konsentrasi katalis 5% dan konversi
terbesar diperoleh pada perbandingan pereaksi gliserol dan asam asetat 1:7
konsentrasi katalis 3% sebesar 90,2% sedangkan tanpa katalis diperoleh
konversi sebesar 36,54%. Perbandingan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel
3 berikut.
xvii
100
Perbandingan Pereaksi
Konversi Gliserol (%)
80
60
40
1:7
20
1:5
0
1:3
1%
3%
5%
Konsentrasi Katalis
Pada suhu reaksi 100oC dan waktu reaksi 4 jam yang dijaga konstan
konversi gliserol menjadi Triasetin terus mengalami peningkatan. Nuryoto dkk,
[2010] mengungkapkan bahwa konversi gliserol menjadi Triasetin terus
meningkat pada perbandingan pereaksi 3-7 mol gliserol/asam asetat disebabkan
karena esterifikasi merupakan reaksi yang dapat balik, sehingga jika salah satu
reaktan dibuat berlebih, maka reaksi akan bergeser kearah kanan dan
bertumbuknya antar molekul semakin besar yang mengakibatkan konversi
semakin besar pula. Kondisi terbaik didapat Nuryoto dkk, [2010] pada
perbandingan pereaksi 1:7 mol gliserol dan asam asetat dengan konversi
sebesar 40,7% sedangkan pada penelitian ini adalah perbandingan mol pereaksi
gliserol terhadap asam asetat 1:7 sebesar 90,02%.
Uji hipotesis dengan hipotesis awal bahwa perbandingan pereaksi tidak
mempengaruhi konversi menggunakan tingkat signifikan 95% dan toleransi 5%
diperoleh F hitung= 57,34 > F(5%,2,4)= 6,94. Keputusan yang diambil untuk
menolak hipotesis awal yang berarti ada pengaruh perbandingan pereaksi
gliserol dan asam asetat dalam konversi. Apabila menggunakan p-value dari
tabel yang nilainya sebesar 0,001 maka disimpulkan menolak hipotesis awal
bahwa tidak ada pengaruh perbandingan pereaksi gliserol dan asam asetat
karena p-value kurang dari α level toleransi sebesar 5%. Perbandingan pereaksi
gliserol dan asam asetat memberikan pengaruh yang nyata terhadap konversi
yang dihasilkan.
xviii
Pengaruh Konsentrasi Katalis Terhadap Konversi
Pada Gambar 3 dapat dilihat pengaruh konsentrasi katalis terhadap
konversi gliserol menjadi Triasetin yang dilakukan pada suhu reaksi 100oC dan
waktu reaksi 4 jam yang dijaga konstan konversi gliserol menjadi Triasetin terus
mengalami peningkatan namun menurun pada konsentrasi katalis 5% berat
asam asetat. Padigapati dkk, [2010] konversi gliserol menjadi Triasetin terus
meningkat pada konsentrasi katalis 5% berat gliserol tetapi tidak memberikan
perubahan yang besar pada konsentrasi katalis 7,5% berat gliserol. Nuryoto dkk,
[2010] melakukan penelitian pada konsentrasi katalis 1-5% berat asam asetat
memperoleh kondisi terbaik pada konsentrasi katalis 3% berat asam asetat
dengan konversi sebesar 40,7%. Hal ini terjadi karena semakin besar
konsentrasi katalisator maka energi aktivasi akan cenderung menurun sehingga
laju reaksi semakin cepat. Reaksi esterifikasi antara gliserol dan asam asetat
merupakan reaksi bolak-balik, sehingga naiknya laju reaksi akan mempercepat
pada kondisi kesetimbangan. Hal ini akan mengakibatkan konversi akhir yang
dihasilkan lebih kecil [Fogler, 2006]. Pada penelitian ini diperoleh kondisi terbaik
pada konsentrasi katalis 3% berat asam asetat dengan konversi sebesar
90,02%.
Uji hipotesis dengan hipotesis awal bahwa konsentrasi katalis tidak
mempengaruhi konversi menggunakan tingkat signifikan 95% dan toleransi 5%
diperoleh F hitung= 2,35 < F(5%,2,4)= 6,94 sehingga dapat diambil keputusan
untuk menerima hipotesis awal H0 yang berarti tidak ada pengaruh konsentrasi
katalis. Apabila menggunakan p-value dari tabel yang nilainya sebesar 0,211
maka disimpulkan menolak hipotesis awal bahwa tidak ada pengaruh konsentrasi
katalis karena p-value lebih besar dari α level toleransi sebesar 5%. Pada
penelitian ini pengaruh konsentrasi katalis tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap konversi gliserol menjadi Triasetin.
xix
Gambar 4. Triasetin memiliki rumus molekul C9H14O6 yang tergolong dalam grup
ester dengan panjang gelombang 1700-1750 cm-1 [Vogel, 1989].
KESIMPULAN
Proses pembuatan Triasetin berbahan baku gliserol secara esterifikasi
menggunakan katalis zeolit alam diperoleh konversi gliserol tertinggi sebesar
90,02% pada perbandingan gliserol asam asetat 1:7 dan konsentrasi katalis
zeolit alam 3%. Perbandingan pereaksi gliserol asam asetat mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap konversi jika dibandingkan dengan
konsentrasi katalis. Semakin besar perbandingan pereaksi gliserol asam asetat
semakin besar konversi yang diperoleh. Semakin besar konsentrasi katalis pada
perbandingan pereaksi yang sama tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap konversi gliserol menjadi Triasetin.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Riau yang telah
mendanai penelitian ini dari dana DIPA dengan No. Kontrak
1932/UN19.5.1.3/L.T/2015.
DAFTAR PUSTAKA
xx
Over Niobic Acid Supported Tungstophosphoric Acid Catalysts.Fuel
Process.Technol., 91:249-253.
Bunyamin, A., 2011, Pemanfaatan Gliserol Hasil Samping Produksi Biodiesel
Jarak Pagar Sebagai Komponen Coal Dust Suppressant. Laporan
Penelitian Institut Pertanian Bogor.
Breck, D.W., 1974, Zeolites Molecular Sieves, Structure, Chemistry, and Use.
New York: Jhon Willey and Son,Inc
Dewati, R,. & Teddy, H., 2010, Pengolahan Limbah Pabrik Sabun Dari Soap
Gliserin Menjadi Triasetin. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 2 (2)
Fan, X., Rachel, B.,& Yongchang, Z., 2010, Glycerol (Byproduct of Biodiesel
Production) as a Source for Fuels and Chemicals-Mini Review. The Open
Fuels & Energy Science Journal.3 : 17-22.
Ferreira, P., Fonseca, I. M., Ramos, A. M., Vital, J., & Castanheiro, J. E., 2009,
Esterification of Glycerol with Acetic Acid over Dodecamolybdophosphoric
Acid Exnchaged in USY, Zeolite. Catal Commun, 10:481-484.
Handoko, DSP., 2002, Preparasi Katalis Cr/Zeolit Melalui Modifikasi Zeolit Alam.
Jurnal Ilmu Dasar, Vol.3 No.1:15-23
Handoko, DSP., 2003, Aktivitas Katalis Cr/Zeolit dalam Reaksi Konversi Katalitik
Fenol dan Metal Isobutyl Keton. Jurnal Ilmu Dasar, 4 (2) :70-7
Heraldy, E., Hisyam, S.W., & Sulistyono., 2003, Karakterisasi dan Aktivasi Zeolit
Alam Ponorogo. Indo Journal Chem 3(2): 91-97.
Hui, Y. H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. fifth edition. New York:
Jhon Willey & Sons Inc.
Khairinal., & Trisunaryanti, W., 2000, Dealuminasi Zeolit Alam Wonosari dengan
Perlakuan Asam dan Proses Hidrotermal. Prosiding Seminar Nasional
Kimia VIII. Universitas Gajah Mada,Yogyakarta. Yogyakarta: FMIPA-UGM.
Khayoon, M.S., & Hameed B.H., 2011, Acetylation of Glycerol to Biofuel additives
Over Sulfated Activated Carbon Catalys. Elsevier Bioresource Technology
Journal 102:9225-9235
Kocsisová, T.,& J. Cvengroś., 2006, G-Phase form Methyl Ester Production –
Splitting and Refining. Petroleum & Coal 48 (2): 1 – 5.
Liao X., Zhu Y., Wang S. G.,& Li Y., 2009, Producing Triacetylglycerol with
Glycerol by Two Steps: Esterification and Acetylation. J. Fuel Process
Tech, 90:988-993.
Lim HN, MA Yarmo, NM Huang, PS Khiew.,& WS Chiu., 2009, Sythesis
Characterization and Catalytic Performance of Porous Nafion Resin/Silica
Nanocomposites for Esterification of Lauric Acid and Methanol.Journal of
Physical Science 20 (2) : 23 – 36.
Liu, Y., Lotero, E., James, G G., & Lu, Changqing., 2007., Transesterification of
Triacetin Using Solid Bronsted Bases. Elsevier Journal of Catalysis
246:428-433.
Mufrodi, Z., Rochmadi, Sutijan., & Budiman, A., 2010, Effects of Temperature
and Catalyst upon Triacetin Production from Glycerol (by-Product
Biodiesel Production) as Octane Booster. Proceedings of International
Conference on Advances in Renewable Energy Technologies, Putrajaya,
Malaysia.
Nuryoto, Sulistyo,H., Rahayu S.S.,& Sutijan., 2010,Uji Performa Katalisator Resin
Penukar Ion Untuk Pengolahan Hasil Samping Pembuatan Biodiesel
Menjadi Triacetin. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses 2010.
Padigapati, R.S., Putla, Sudarsanam.,Gangadhara, Raju., & Benjaram,
M.Reddy., 2010, Synthesis of Bioadditives: Acetylation of Glycerol Over
Zirconia-Based Solid Acid Catlysts. Journal of Catalysis Communication
11: 1224 – 1228.
xxi
Pardi., 2005, Optimasi proses produksi gliserol monooleat dari gliserol hasil
samping biodiesel.Skripsi Teknik kimia Universitas Sumatera Utara.
Pathak, K.K., Reddy ,M.N.N.,& Dalai, B.A.K.,2010. Catalytic Convertion of
Glycerol to Value Added Liquid Products. Elsevier Applied Catalysis A:
General 372: 224-238.
Prakorso, T., H., Sirait.,& Bintaroe., 2007, Pemurnian Hasil Samping Produksi
Biodiesel.Prosiding Konferensi Nasional Pemanfaatan Hasil Samping
Produksi Biodiesel dan Industri etanol serta Peluang pengembangan
Industri Integratednya, Jakarta : 267-275
Prasetyo , A.E., Widhi, A.,& Widayat,. 2012, Potensi Gliserol Dalam Pembuatan
Turunan Gliserol Melalui Proses Esterifikasi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10
(1): 26-31.
Quan D, Ninad AD.,Srinivasan V.,& Charles ED., 1997. Triacetin as Penetration
Enchanger for Transdermal Delivery of a Basic Drug. US Patent
5,601,839.
Thompson, J.C.,& B.B. He. 2006. Characterization of Crude Glycerol from
Biodiesel Production from Multiple Feedstocks. Applied Engineering in
Agriculture 22 (2): 261-265
Trisunaryanti, W., Shiba, R., Miura, M., Nomura, M., Nishiyama, N., & Matsukata,
M., 1996, Characterization and modification of Indonesian Natural Zeolites
and Their Propoerties for Hydrocracking of Paraffin. Jurnal of The Japan
PetroleumInstitute, 39(1): 20-25.
Trisunaryanti, W., 2009,Zeolit Alam Indonesia Sebagai Absorben dan Katalis
dalam Mengatasi Masalah Lingkungan dan Krisis Energi.Yogyakarta.
Widayat, Hantoro, S.,Abdullah., & Ika,W.K.H., 2013, Proses Produksi Triasetat
dari Gliserol dengan Katalis Asam Sulfat. Jurnal Tekink Kimia Indonesia
10(4)
Yuliusman., Widodo WP., Yulianto,S.N., & Yuda,P., 2010, Preparasi Zeolit Alam
Lampung dengan Larutan HF, HCl dan Kalsinasi untuk Adsorpsi Gas CO.
Seminar Rekayasa dan Proses 2010, ISSN: 1411-4216
xxii
Optimisasi proses torefaksi tandan kosong sawit untuk
menghasilkan bahan bakar padat
Keyword: torrefaction, empty fruit bunch, mass yield, energy yield, calorific value
xxiii
biomassa yang ditorefaksi, pengaruh suhu reaksi jauh lebih kuat. Hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai panduan untuk produksi kepadatan energi yang
tinggi biofuel yang solid dari biomassa lignoselulosa yang tersedia di Indonesia
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi batu bara
mencapai 50,4 juta ton setara minyak pada tahun 2012 dan mengalami kenaikan
sebesar 2,8% dari tahun 2011 yaitu sebesar 48,9 juta ton setara minyak.
Indonesia juga merupakan negara eksportir batubara terbesar ketiga didunia
dengan tingkat ekspor batubara sebesar 237 juta ton setara minyak pada tahun
2012. Tingginya tingkat konsumsi dan ekspor tidak dapat diimbangi dengan
cadangan batubara di Indonesia yang mengalami penurunan 0,6% setiap
tahunnya [BP Statistical Review of World Energy, 2013]. Pada beberapa dekade
terakhir, konversi limbah perkebunan menjadi energi alternatif telah menarik
minat beberapa negara, khususnya Indonesia sebagai negara agraris. Indonesia
merupakan negara penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar dengan total
produksi mencapai 23 juta ton pada tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan
mencapai 24,5% [Kementrian Perindustrian, 2011].
Riau merupakan produsen CPO terbesar di Indonesia dengan produksi
5.072.834 ton atau sekitar 26,38% dari produksi nasional [Susetyanto dkk.,
2012]. 23% limbah yang dihasilkan oleh pengolahan sawit merupakan tandan
kosong sawit (TKS) yang jumlahnya sangat banyak akan tetapi pemanfaatannya
kurang diminati. Dari sekitar satu ton CPO yang diproduksi, dihasilkan sekitar 1,1
ton TKS [Abimanyu, 2011]. Pengolahan TKS oleh pabrik kelapa sawit masih
sangat terbatas, sebagian besar pabrik kelapa sawit di Indonesia masih
membakar TKS dalam incenerator, meskipun cara ini sudah dilarang oleh
pemerintah. Alternatif pengolahan lainnya adalah dengan menimbun (open
dumping), dijadikan mulsa di perkebunan kelapa sawit, atau diolah menjadi
kompos [Isroi, 2013]. Nilai kalor dari TKS yang mencapai 17.570 kJ/kg
memungkinkan untuk menjadi energi pengganti dari batubara [Nyakuma dkk.,
2012].
Ide menggabungkan limbah gliserol dari hasil samping pembuatan
biodiesel dengan biomasa masih relatif baru.Gliserol sebetulnya bisa menjadi
produk yang lebih berguna seperti produk kosmetik namun memerlukan
pemurnian lebih lanjut dengan biaya yang tinggi [Asavatesanupap dan
xxiv
Santikunaporn, 2012]. Penggunaan gliserol yang mempunyai nilai kalor
25.175,98 kJ/kg sebagai bahan peningkat nilai panas pembakaran merupakan
salah satu alternatif pemanfaatan gliserol tanpa pemurnian [Umam, 2007]. Hal ini
selain dapat mengurangi biaya juga dapat dilakukan secara terintegrasi oleh
produsen biodiesel skala kecil dan menengah [Ali dkk., 2011].
Pembuatan bahan bakar padat dari TKS hasil produksi CPO dan gliserol
yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel diharapkan menjadi
salah satu alternatif bahan bakar padat dikarenakan sumbernya yang sangat
banyak dan sampai saat ini masih belum optimal dalam penggunaannya.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tandan kosong
sawit (TKS) dan gliserol. Pasokan TKS didapatkan dari pabrik pengolahan sawit
yang berada di Riau sedangkan gliserol diperoleh dari pabrik pembuatan
biodiesel yang berada di Dumai.
Peralatan percobaan terdiri dari unit pembuatan bahan bakar padat dan
unit pengujian. Unit pembuatan bahan bakar padat terdiri dari neraca analitik,
furnace serta alat pengepresan. Sedangkan unit pengujian terdiri dari cawan
porselen dan bomb calorimeter. Alat pengepres yang digunakan adalah hydraulic
press.
xxv
dengan variasi suhu 225, 250 dan 275 °C yang menghasilkan nilai karbon terikat
yang paling besar. Suhu pada tahap uji pendahuluan ini akan menjadi dasar
penggunaan suhu torefaksi pada tahap selanjutnya. TKS dimasukkan ke dalam
furnace kemudian suhu diatur dan dibiarkan selama 15, 30 dan 45 menit. TKS
dikeluarkan dari dalam furnace dianalisa nilai total karbon terikatnya.
xxvi
Tabel 2 Hubungan Suhu Karbonisasi terhadap Kehilangan Berat Biomassa
Suhu Berat sebelum torefaksi Berat setelah Kehilangan berat
(°C) (gr) torefaksi (gr) (gr)
225 10 8,5 1,55
250 10 6,8 6,1
275 10 5,6 6,4
xxvii
Pengepresan dilakukan di Laboratorium Teknologi Oleokimia. Analisa proximat
produk yang dihasilkan berupa kadar air, kada abu, volatile matter, fixed carbon,
dan nilai kalor yang merupakan parameter utama dalam penentuan kondisi
optimum dapat dilihat pada Tabel 3.
Kondisi operasi terbaik dicapai pada rasio kulit durian terhadap gliserol
sebesar 70:30 menggunakan pengepresan tipe hidraulik pada tekanan 30 bar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan gliserol meningkatkan nilai
kalor bahan bakar padat menjadi 24015 kJ/kg dari nilai kalor kulit durian yang
hanya berkisar 17500 kJ/kg. Asavatesanupap dan Santikunaporn (2012) juga
melakukan penelitian mengenai pembuatan bahan bakar padat dari kulit durian
dan ampas tebu dengan filler gliserol. Rasio perbandingan kulit durian dan
ampas tebu terhadap gliserol terbaik didapatkan dari rasio 70:30 dengan nilai
kalor 18.010 kJ/kg dan 18.420 kJ/kg.
KESIMPULAN
Bahan bakar padat yang berasal dari TKS dan gliserol dapat digunakan
sebagai bahan bakar alternatif sesuai dengan energi yang dimiliki. Rasio berat
optimum untuk campuran TKS:gliserol adalah sekitar 70:30. Meskipun jumlah
akrolein yang merupakan gas beracun dari pembakaran cukup berlebihan, tapi
ini mungkin karena proses pengumpulan produk gas. Gas buang yang lebih
encer diharapkan jika pembakaran berlangsung di lingkungan terbuka. Di Selain
itu, kekuatan bahan bakar padat dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan
pengikat. Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan bahan bakar
alternatif yang mudah digunakan dan ramah lingkungan.
xxviii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Riau yang telah
mendanai penelitian ini dari dana DIPA dengan No. Kontrak
1932/UN19.5.1.3/L.T/2015.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., Fortuna, A.D., dan Restuhadi, F. 2011. Kajian Pemanfaatan Biomassa
Limbah Industri Minyak Picung (Pangium Edule Reinw) Untuk Biobriket
Sumber Energi Alternatif Di Desa Pulau Picung, Kampar. Skripsi,
Universitas Riau.
American Society for Testing and Materials [ASTM] D-2015. 1996. Standard Test
Method for Gross Calorific Value of Coal and Coke by the Adiabatic Bomb
Calorimeter. ASTM International. Philadephia, USA.
Asavatesanupap, C., dan Santikunaporn, M. 2012. A Feasibility Study on
Production of Solid Fuel from Glycerol and Agricultural Wastes.
International Transaction Journal of Engineering, Managemen, & Applied
Sciences & Technologies, Vol. 01 (01), p. 43-51.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. “SNI 01-6235-2000 Briket Arang Kayu”.
Bahri, S. 2007. Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Kayu Untuk
Pembuatan Briket Arang dalam Mengurangi Pencemaran Lingkungan di
Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Basu, P. 2013. Biomass Gasification, Pyrolysis and Torrefaction (2nd ed). New
York: Elsevier Inc.
Chavalparit, O., M. Ongwandee dan K. Trangkaprasith. 2013. Production of
Pelletized Fuel from Biodiesel-Production: Oil Palm Fronds and Crude
Glycerin. Engineering Journal, Vol. 17 (4), p. 61-71.
Clarke, S., Eng, P., dan Preto, F., 2011. Biomass Densification for Energy
Production. Ministry of Agriculture, Food and Rural Affairs
Ditjen Perkebunan. 2014. Pertumbuhan Areal Sawit Meningkat.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-362-pertumbuhan-areal-kelapa-sawit-
meningkat.html. Diakses pada 26 Maret 2015.
Ervando, M. 2013. Pengaruh Variasi Temperatur Cetakan Terhadap Karakteristik
Briket Kayu Sengon pada Tekanan Kompaksi 6000 Psig. Skripsi
Universitas Semarang.
Fachry, A.R., Sari, T.I., A.Y. Dipura dan J. Najamudin. 2010. Mencari Suhu
optimal Proses Karbonisasi dan Pengaruh Campuran batubara Terhadap
Kualitas Briket Eceng Gondok. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sriwijaya,
Vol. 17 (02). Palembang.
Grover, P.D., dan Mishra. 1996. Biomass Briquetting : Technology and Practices.
Field Document No. 46, FAO-Regional Wood Energy Development
Program (RWEDP) In Asia, Bangkok.
Grover, V.I., Grover, V.K., dan Hogland, W. 2002. Recovering Energy From
Waste: Various Aspects. Science Publisher Inc, Enfield, USA.
xxix
Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A.H., Pattiwiri, A.W., dan Handroko, R.
2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia, Jakarta.
Hidayanto, M. 2013. Limbah Kelapa Sawit sebagai Sumber Pupuk Organik dan
Pakan Ternak. Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa
Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternah. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Kalimantan Timur, p. 84-90.
Jamilatun, S. 2011. Kualitas Sifat-sifat Penyalaan dari Pembakaran Briket
Tempurung Kelapa, Briket Gergaji Kayu Jati, Briket Sekam Padi dan Briket
Batubara. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”.
Yogyakarta.
Kurniawan, O. dan Marsono. 2008. Superkarbon Bahan Bakar Alternatif
Pengganti Minyak Tanah dan Gas. Penebar Swadaya, Depok.
Kusuma A.W., Sarwono., dan Dwi, N.R. 2012. Kajian Eksperimental Terhadap
Karakteristik Pembakaran Briket Limbah Ampas Kopi Instan dan Kulit Kopi.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
Kusumaningrum, W.B., dan Munawar, S.S., 2014. Prospect of Bio-pellet as an
Alternative Energy to Substitute Solid Fuel Based. Energy Procedia
47(2014) 303-309
Mulyani dan Sofyana. 2007. Pemanfaatan Pelepah Sawit sebagai Bahan Baku
Pulp dengan Proses Etanol. Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala.
Aceh.
Montgomery, C.D. 2001. Design and Analysis of Experiments 5th Edition. John
Wiley & Sons, Inc. New York.
Nuryanti dan D.H. Salimy. 2008. Metode Permukaan Respon dan Aplikasinya
pada Optimasi Eksperimen Kimia. Risalah Lokakarya Komputasi dalam
Sains dan Teknologi Nuklir. 373 – 391.
Panwar, V., Prasad, B., dan Wasewar, K.L., 2011. “Biomass Residue Briquetting
and Characterization”. Jurnal of Energy Engineering
Prasetyo, A.E., Widhi, A., dan Widayat. 2012. Potensi Gliserol Dalam Pembuatan
Turunan Gliserol Melalui Proses Esterifikasi. Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol
10 (01), p. 26-31.
Saktiawan. 2008. Identifikasi Sifat Fisis dan Kimia Briket Arang Dari Sabut
Kelapa. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Satriyani, Melvha dan Rosdanelli. 2013. “Penentuan Kondisi Optimum Suhu dan
Waktu Karbonisasi pada Pembuatan Arang dari Sekam Padi”. Jurnal Teknik
Kimia USU, Vol. 02 (01). Medan.
Simanihuruk, K., Junjungan, dan Tarigan, A. 2008. “Pemanfaatan Pelepah
Kelapa Sawit Sebagai Pakan Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan”.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Sudiro dan Suroto. 2014. Pengaruh Komposisi dan Ukuran Serbuk Briket yang
Terbuat dari Batubara dan Jerami Padi Terhadap Karakteristik
Pembakaran. Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta, Vol. 02 (02),
ISSN:2355-5009.
Surono, U.B., 2010. Peningkatan Kualitas Pembakaran Biomassa Limbah
Jagung sebagai Bahan Bakar Alternatif dengan Karbonisasi dan
Pembriketan. Universitas Janabadra Yogyakarta
xxx
Tirono, M., dan Sabit, A. (2011). Efek Suhu Pada Proses Pengarangan Terhadap
Nilai Kalor Arang Tempurung Kelapa (Coconut Shell Charcoal). Jurnal
Neutrino, Vol 03 (02), p. 143-152
Thompson, J.C., dan He B.B., 2006. Characterization of Crude Glycerol from
Biodiesel Production from Multiple Feedstocks. Applied Engineering in
Agriculture 22,2, pp. 261-265.
Umam, M.C. 2007. Optimasi Penambahan Limbah Gliserol Hasil Samping
Transesterifikasi Minyak Jarak Pagar Dan Perekat Tapioka Pada
Pembuatan Biomass Pellets Bungkil Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.).
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Usman, M.N., 2007. Mutu Briket Arang Kulit Buah Kakao dengan Menggunakan
Kanji Sebagai Perekat. Jurnal Perennial,3(2):55-58
Wardani, L., Massijaya, M.Y., dan Machdie, M.F. 2013. Pemanfaatan Limbah
Pelepah Sawit dan Plastik Daur Ulang (RPP) sebagai Papam Komposit
Plastik. Jurnal Hutan Tropis, Vol. 1(01), p. 46-53. Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Widarti, E.S., Sarwono., dan Hantoro, R. 2008. Studi Eksperimental Karakteristik
Briket Organik Dengan Bahan Baku Dari PPLH Seloliman. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember
xxxi