Green Business and Green Accounting
Green Business and Green Accounting
Oleh :
Kelompok 11
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
2016
Pendahuluan
Pada tahun 1992, para pemimpin bisnis dunia terlibat dalam Earth Summit di Rio
Jeneiro, Brazil. Konferensi yang diinisiasi oleh investor asal Swiss, Stephan Schimidheiny
tersebut membahas tentang isu-isu lingkungan. The UN Conference on Environment and
Development—sebagaimana secara resmi disebut—mengidentifikasi ancaman-ancaman
terhadap lingkungan yang menjadi penyebab pemanasan global, hilangnya keanekaragaman
hayati, degradasi sumber daya alam, dan seterusnya. Ratusan CEO dunia menghadiri
konferensi tersebut dan mulai menanyakan bagaimana peran perusahaan mereka untuk
pelestarian lingkungan.
Keterlibatan para CEO tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana yang kita ketahui,
setiap sumber daya alam yang ada di bumi ini dikelola oleh perusahaan. Contohnya di
Indonesia, minyak bumi dan gas diproduksi oleh Pertamina, semen diproduksi oleh Semen
Indonesia, emas dan nikel diproduksi oleh Freeport dan masih banyak perusahaan lainya.
Proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut hampir selalu menghasilkan emisi
yang dapat merusak kualitas lingkungan dan masyarakat. Seperti yang dilansir oleh berita
online Guardian, sebanyak 90 perusahaan menghasilkan hampir dua dari tiga emisi buatan
manusia yang menjadi penyebab pemanasan global. Di antara perusahaan-perusahaan
tersebut terdapat nama-nama besar seperti Chevrion, Exxon, dan BP. Tidak hanya perusahaan
manufaktur, perusahaan jasa juga berpotensi untuk menghasilkan emisi seperti perusahaan
jasa transportasi.
Selain pencemaran udara, pengolahan sumber daya alam oleh perusahaan juga
menyebabkan deplesi. Deplesi mengancam keseimbangan ekosistem yang akan berdampak
luas bagi lingkungan. Misalnya, pengalihan fungsi hutan untuk kepentingan produksi
perkebunan kelapa sawit. Cadangan minyak bumi dunia juga semakin menipis. Laporan
dari Biritish Petrolium (BP) pada tahun 2014 menunjukan bahwa cadangan minyak dunia
hanya bisa mendukung proses produksi untuk 52 tahun ke depan. Hal ini menuntut
perusahaan yang menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi harus berusaha lebih
keras untuk melakukan efisiensi energi. Masih banyak lagi data statistik yang menunjukan
deplesi sumber daya alam lainnya. Oleh karena itu, perusahaan sebagai salah satu pengguna
terbesar sumber daya alam harus memimpin inisiatif efisiensi sumber daya alam,
pengurangan emisi, dan pengembangan energi baru terbarukan. Upaya tersebut disebut
dengan green business
Berdasarkan fakta di atas, akuntansi sebagai alat kontrol dan penyedia informasi untuk
pengambilan keputusan akan memainkan peran yang cukup penting dalam konstelasi dunia
bisnis. Informasi yang diberikan oleh akuntansi akan menjadi salah satu faktor kesuksesan
implementasi green business. Selama ini, informasi akuntansi sangat identik digunakan untuk
kepentingan investor sebagai pengguna utama. Bagi investor, Informasi akuntansi
memberikan gambaran mengenai kinerja dan prospek keuangan suatu entitas. Sistem
informasi akuntansi konvensional tidak memberikan informasi mengenai dampak yang
dihasilkan perusahaan terhadap lingkungan. Infromasi akuntansi konvensional juga tidak
memberikan gambaran mengenai resiko-resiko yang akan dihadapi perusahaan berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap
isu lingkungan, para pemangku kepentingan teruatama NGO, masyarakat, dan pemerintah
menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan dampak
lingkungan yang mereka sebabkan. Pada titik inilah akuntansi akan memberikan informasi
yang berkaitan dengan environmental performance sebuah perusahaan.
Seperti laporan keuangan lainnya, environmental cost juga dapat digunakan sebagai
alat kontrol dan evaluasi atas environmental peformance. Misalnya, berapa biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan pada suatu periode untuk pembersihan sungai karena limbah pabrik.
Monterary value-nya digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajer untuk pengembilan
keputusan pada periode berikutnya. Environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat
analisis untuk meningkatkan efisiensi perusahaan terhadap penggunaan sumber daya alam.
Tujuan akhir dari environmental cost adalah untuk mencapai sustainable business dan
sustainable development
Green Business
Melalui jurnal “Comparative Advantage & Green Business”, Ernst & Young
(2008:11) mengemukakan bahwa “green business adalah suatu hal yang relatif baru, dan
sebuah istilah yang tidak terdefinisi dengan baik sehingga dapat diinterpretasi dengan
berbagai cara yang berbeda oleh orang atau organisasi yang berbeda. Apa yang dianggap
sebagai ‘green’ oleh sebuah organisasi bisa jadi tidak sama oleh organiasasi lainnya”.
Walaupun begitu, inti dasar dari sebuah green business adalah fokusnya pada keberlanjutan.
Menurut Eric Koester (2010:8), dalam bukunya yang berjudul Green Entrepreneur
Handbook, dituliskan bahwa “In general, green business are just like any other business in
that they must create sufficient profits to continue to operate. The difference lies in what else
green business concern themselves with – weighing the value of sustainability and human
capital, for instance. Dia juga menambahkan bahwa green business membutuhkan komitmen
yang seimbang antara profitabilitas (finance), keberlanjutan (sustainability) dan kemanusiaan
(humanity) (Eric Koester, 2010:8). Berdasarkan jurnal Dennis D.Hrisch (2010:11) green
business didefinisikan sebagai “voluntary actions by a private firm that seeks to achieve
better environmental performance and, simultaneously, to make the company more
competitive”. Sedangkan The Green Times menggunakan definisi sebagai berikut: “Green is
being concerned with and supporting environmentalism and tending to preserve
environmental quality.” (seperti yang dikutip oleh Eric Koester 2010:8).
Konsep green business tidak bisa dilepaskan dengan sustainability. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, penerapan konsep green business berfokus pada keberlanjutan. Gil
Friend (2009:3) mendefenisikan sustainability sebagai “living and doing business in ways
that don’t erode the potential for future generations – commonly refers to the triple bottom
line (TBL) or economic, environmental, and social benefit”. Dalam sustainability, dikenal
istilah triple bottom line yang mencakup 3 sektor yang akan menentukan apakah organisasi
melakukan praktek berkelanjutan atau tidak. Robert Dahlstrom (2010:7) mengemukakan
bahwa “industry practice has embraced the notion that sustainability derives from focusing
on the triple bottom line”.
Ada karakteristik khusus dari green business yang membedakannya dengan bisnis lainnya.
Dalam jurnalnya yang berjudul Green Business and The Importance of Reflexive Law: What
Michael Porter Didn’t Say, Dennis D. Hirsch (2010:11), mengidentifikasi 9 kategori utama
dari perilaku green business. Disebutkan “When firms ‘go green’ they exceed legal
requirement by:
1. Directly reducing their own regulated, or unregulated, environmental
impactsReducing their customers’ environmental impacts and decrease their
customer’ exposure to unhealthy substances
2. Increasing their reuse and recycling of materials used in the production process
3. Improving their energy efficiency, or that of their customer
4. Improving their resource productivity, or that of their customers
5. Implementing systems to identify waste reduction, pollution prevention, energy
efficiency and/or resource productivity opportunities throughout the company of
facility
6. Collecting and disseminating more information about the firm’s environmental
impacts and performances that the law requires
7. Providing more opportunities for stakeholder input into corporate decision making
than the law requires
8. Financing and investing in green products and business
Strategies for Sustainable World yang memenangkan ‘Best Article’ di Harvard Business
Review dan membantu dalam meluncurkan ‘the movement for corporate sustainability’,
menyebutkan ada 3 tahapan yang mengerakkan sebuah perusahaan ke arah keberlanjutan,
yaitu:
Tahap pertama: Pollution Prevention The first step for most companies is to make the shift
from pollution control to pollution prevention. Pollution control means cleaning up waste
after it has been created. Pollution prevention focuses on minimizing or eliminating waste
before it is created.
Tahap kedua: Product Stewardship Product stewardship focuses on minimizing not only
pollution from manufacturing but also all environmental impacts associated with the full life
cycle of product.
Tahap ketiga: Clean Technology Companies with their eye on the future can begin to plan for
and invest In tomorrow’s technologies. The simple fact is that the existing technology base in
many industries is not environmentally sustainable.
Menurut Eric Koester (2010:14), Sektor green business memiliki penekanan yang
kuat pada energi. “This includes businesses focusing on generating electricity from renewable
resources and on energy efficiency, as well as those involved in the smart grid, alternative
fuels and transportation, green plastics, and countless others. In fact, many must work with
the utilities in order to succeed”.
Sedangkan Cooney dalam Eric Koester (2010:8) mengemukakan 4 kriteria dari green
business, sebagai berikut:
1. It incorporates principles of sustainability into each of its business decisions
2. It supplies environmentally friendly products or services that replaces demand for non-
green products and/or services
3. It is greener than traditional competition
4. It has made an enduring commitment to environmental principles in its business
operations.
Green Bussiness merupakan salah satu bagian dari green economy yang
mensinergikan nilai
ekonomi, sosial, dan lingkungan (Mutamimah, 2011). Melalui implementasi green business
akan diperoleh suatu sinergi dan kesinambungan antara
a). Tujuan ekonomi, yaitu: keberlangsungan profit dan pertumbuhan perusahaan,
b). Tujuan sosial, yaitu: kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,
c). Tujuan lingkungan, yaitu: terpeliharanya lingkungan dalam jangka panjang
Fenomena green business ini menjadi daya tarik berbagai pihak, baik konsumen
maupun investor. Artinya konsumen akan lebih memilih produk dan jasa yang sehat,
berkualitas, aman dalam jangka panjang dan tidak mencemari lingkungan
Contoh perusahaan menerapkan green business di Indonesia
No Perusahaan Aktivitas
• Energy conservation
PT. Medco Energy • Green house gas
1.
International Tbk • Waste treatment center
• Organic farming
Green Accounting
Berdasarkan definisi green accounting di atas, maka bisa dijelaskan bahwa green
accounting merupakan akuntansi yang di dalamnya mengidentifikasi, mengukur, menilai, dan
mengungkapkan biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan
lingkungan (Aniela, 2012).
Sedangkan aktivitas dalam green accounting dijelaskan oleh Cohen dan Robbins
(2011:190) sebagai berikut: “Environmental accounting collects, analyzes, assesses, and
prepares reports of both environmental and financial data with a view toward reducing
environmental effect and costs. This form of accounting is central to many aspects of
governmental policy as well. Consequently, environmental accounting has become a key
aspect of green business and responsible economic development”.
Melalui penerapan green accounting maka diharapkan lingkungan akan terjaga
kelestariannya, karena dalam menerapkan green accounting maka perusahaan akan secara
sukarela mamatuhi kebijakan pemerintah tempat perusahaan tersebut menjalankan bisnisnya.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh De Beer dan Friend (2005) membuktikan bahwa
pengungkapan semua biaya lingkungan, baik internal maupun eksternal, dan mengalokasikan
biaya-biaya ini berdasarkan tipe biaya dan pemicu biaya dalam sebuah akuntansi lingkungan
yang terstruktur akan memberikan kontribusi baik pada kinerja lingkungan (Aniela; 2012).
2. Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU ini diatur
kewajiban bagi setiap penanam modal berbentuk badan usaha atau perorangan untuk
melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan, menjaga kelestarian lingkungan
hidup dan menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar. Pelanggaran terhadap
kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis, pembatasan,
pembekuan, dan pencabutan kegiatan dan/atau fasilitas penanaman modal.
4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No: KEP-
134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau
Perusahaan Publik. UU ini mengatur mengenai kewajiban laporan tahunan yang
memuat Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) harus menguraikan
aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Fungsi akuntansi lingkungan dibagi menjadi fungsi internal dan eksternal (Fasua, 2011):
1) Fungsi internal
Sebagai salah satu langkah dari sistem informasi lingkungan organisasi, fungsi
internal memungkinkan untuk mengelola dan menganalisis biaya pelestarian lingkungan yang
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh, serta mempertimbangkan pelestarian
lingkungan yang efektif dan efisien melalui pengambilan keputusan yang tepat. Hal ini sangat
diperlukan keberadaan fungsi akuntansi lingkungan sebagai alat manajemen bisnis untuk
digunakan oleh para manajer dan unit bisnis terkait.
2) Fungsi eksternal
Dengan mengungkapkan hasil pengukuran kegiatan pelestarian lingkungan, fungsi
eksternal memungkinkan perusahaan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
stakeholder. Diharapkan bahwa publikasi hasil akuntansi lingkungan akan berfungsi baik
sebagai alat bagi organisasi untuk memenuhi tanggung jawab mereka atas akuntabilitas
kepada stakeholder dan secara bersamaan, sebagai sarana untuk evaluasi yang tepat dari
kegiatan pelestarian lingkungan.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garap akuntansi lingkungan adalah sebagai berikut
(Cahyono, 2002) :
1) Pengakuan dan identifikasi pengaruh negatif aktifitas bisnis perusahaan terhadap dalam
praktek akuntansi konvensional.
2) Identifikasi, mencari dan memeriksa persoalan bidang garap akuntansi konvensional yang
bertentangan dengan kriteria lingkungan serta memberikanalternatif solusinya.
3) Melaksanakan langkah-langkah proaktif dalam menyusun inisiatif untuk memperbaiki
lingkungan pada praktik akuntansi konvensional.
4) Pengembangan format baru sistem akuntansi keuangan dan nonkeuangan, sistem
pengendalian pendukung keputusan manajemen ramah lingkungan.
5) Identifikasi biaya-biaya (cost) dan manfaat berupa pendapatan (revenue) apabila
perusahaan lebih peduli terhadap lingkungan dari berbagai program perbaikan
lingkungan.
6) Pengembangan format kerja, penilaian dan pelaporan internal maupun eksternal
perusahaan.
7) Upaya perusahaan yang berkesinambungan, akuntansi kewajiban, resiko, investasi biaya
terhadap energi, limbah dan perlindungan lingkungan.
8) Pengembangan teknik-teknik akuntansi pada aktiva, kewajiban dan biaya dalam konteks
non keuangan khususnya ekologi.
1) Relevan: Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang valid terkait dengan
manfaat biaya pelestarian yang dapat memberikan dukungan dalam pengambilan keputusan
stakeholder. Namun, pertimbangan harus diberikan kepada materialitas dan signifikansi dari
relevansi. Dalam akuntansi lingkungan, materialitas ditempatkan pada aspek kuantitas dan
signifikansi ditempatkan pada aspek kualitas. Dari sudut pandang materialitas, perhatian
diberikan kepada dampak kuantitatif dari data yang dinyatakan dalam nilai moneter atau unit
fisik. Sedangkan signifikansi berfokus pada kualitas informasi dari sudut pandang pelestarian
lingkungan atau dampak masa depan yang dibawanya.
2) Andal: Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang akurat atau tidak bias dan
dapat memberikan bantuan dalam membangun kepercayaan stakeholder. Pengungkapan
informasi akuntansi lingkungan seharusnya tidak hanya menjadi formalitas belaka untuk
sekedar memenuhi persyaratan undang-undang yang berlaku. Bila perlu, perusahaan harus
menentukan metode yang tepat dan sesuai dengan pengungkapan dan secara akurat dapat
menggambarkan kegiatan lingkungan yang sebenarnya. Dalam hal pengungkapan informasi
tersebut tidak sepenuhnya dikomunikasikan mengikuti format yang ditetapkan oleh undang-
undang. Informasi tambahan yang diperlukan harus disediakan untuk lebih menjelaskan
realitas secara lengkap.
3) Mudah dipahami: Dengan tujuan pengungkapan data akuntansi lingkungan yang mudah
untuk dipahami, akuntansi lingkungan harus menghilangkan setiap kemungkinan timbulnya
penafsiran yang keliru tentang kegiatan pelestarian lingkungan. Untuk memastikan bahwa
informasi yang diungkapkan mudah dipahami bagi para pemangku kepentingan, kata-kata
harus dibuat sesederhana mungkin.
4) Dapat dibandingkan: Akuntansi dapat dibandingkan dari tahun ke tahun bagi sebuah
perusahaan dan juga dapat di bandingkan antarperusahaan yang berbeda di sektor yang sama.
Adalah penting untuk memastikan keterbandingan agar tidak menciptakan kesalahpahaman
antara stakeholder. Namun, karena fakta bahwa pengungkapan akuntansi lingkungan bersifat
independen dan berbeda-beda, perbandingan yang sederhana pun ulit dilakukan ketika
terdapat perbedaan sektor bisnis dan jenis operasi. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus di
mana metode yang kompleks telah dipilih dan ditetapkan dalam suatu pedoman untuk
digunakan sebagai dasar untuk perbandingan, isi dari metode tersebut harus dinyatakan
dengan jelas dan ketelitian harus dilakukan agar tidak menghasilkan kesalahpahaman antara
stakeholder.
1) Biaya lingkungan secara signifikan dapat dikurangi atau dihilangkan sebagai hasil
dari keputusan bisnis, mulai dari perubahan dalam operasional dan pemeliharaan
untuk diinvestasikan dalam proses yang berteknologi hijau serta untuk perancangan
kembali produk yang dihasilkan.
2) Biaya lingkungan jika tidak mendapatkan perhatian khusus akan menjadi tidak jelas
dan masuk dalam akun overhead atau bahkan akan diabaikan.
5) Memahami biaya lingkungan dan kinerja proses dan produk dapat mendorong
penetapan biaya dan harga produk lebih akurat dan dapat membantu perusahaan
dalam mendesain proses produksi, barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan
untuk masa depan.
6) Perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang didapat dari proses, barang, dan
jasa yang bersifat ramah lingkungan. Brand image yang positif akan diberikan oleh
masyarakat karena keberhasilan perusahaan dalam memproduksi barang dan jasa
dengan konsep ramah lingkungan (Schaltegger dan Burritt, 2000 dalam Arisandi dan
Frisko, 2011). Hal ini berdampak pada segi pendapatan produk, yaitu memungkinkan
perusahaan tersebut untuk menikmati diferensiasi pasar, konsumen memiliki
kecenderungan untuk bersedia membayar harga yang mahal untuk produk yang
berorientasi lingkungan dengan harga premium (Aniela, 2012).
Biaya Lingkungan
Terdapat juga standar pelaporan dari Global Reporting Initiative (GRI). GRI
merupakan sebuah organisasi independen yang telah mempelopori pengembangan omitmen
untuk terus menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Indikator kinerja
GRI yaitu: indikator kinerja ekonomi, indikator kinerja lingkungan hidup, indikator praktek
tenaga kerja dan pekerjaan yang layak, indikator Hak Asasi Manusia, indikator kinerja
masyarakat, indikator kinerja tanggung jawab produk (Agustin, 2010). Indikator kinerja
lingkungan hidup dalam sustainabiliy reporting dan GRI melaporkan dampak dari produk,
jasa dan proses perusahaan terhadap lingkungan, komponen dari
triple bottom line ini dapat melaporkan pelepasan polutan ke udara dan air publik, utilisasi
sumber daya alam yang dapat di perbaharui (renewable) dan tidak dapat diperbaharui
(nonrenewable), dan pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan (Amin, 2011).
Penerapan Green Accounting di Indonesia
Akuntansi lingkungan mengalami kesulitan dalam pengukuran nilai cost and benefit
eksternalitas yang muncul dari proses industri. Bukan hal yang mudah untuk mengukur
kerugian masyarakat sekitar dan lingkungan ekologis yang ditimbulkan polusi udara, limbah
cair, kebocoran tabung amoniak, kebocoran tabung nuklir atau eksternalitas lain. Pelaporan
baik kinerja sosial maupun kinerja lingkungan ini tidak ada laporan keuangan yang
konvensional, dimana dalam laporan keuangan yang konvensional hanya dijumpai laporan
kinerja ekonomi saja (Idris, 2012). Begitu pula yang terjadi di Indonesia masih sebatas
anggapan sebagai suatu konsep yang rumit karena kurangnya informasi yang komprehensif
bagi stakeholder dikhawatirkan akan menimbulkan efek dari implementasi dan pengeluaran
biaya tambahan yang diakui sebagai beban yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan dalam
perspektif akuntansi konvensional (Nurhayati, Brown, dan Tower, 2006 dalam Arisandi dan
Frisko, 2011). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Gray et. al (1993) dalam Burrit
dan Welch (1997) bahwa pengungkapan biaya eksternalitas akan mempengaruhi
pengambilan keputusan dan mempengaruhi pertimbangan stakeholder karena reaksi pasar
telah menunjukkan hasil yang tidak berbeda terhadap aktivitas perusahaan yang melakukan
(atau tidak) kepentingan sosial dan lingkungan. Sehingga pelaksanaan akuntabilitas
lingkungan akan berhasil jika didukung oleh peraturan.
Menurut Solihin (2008) dalam Idris (2012), pelaksanaan CSR di Indonesia terutama
berkaitandengan pelaksanaan CSR untuk kategori discretionary responsibilities, yang dapat
dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, pelaksanaan CSR memang merupakan
praktik bisnis secara sukarela dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang
dituntut dilakukan perusahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kedua,
pelaksanaan CSR sesuai dengan tuntutan undang-undang (bersifat mandatory). Misalnya,
BUMN memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagian laba yang diperoleh perusahaan
untuk menunjang kegiatan sosial, dan perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang
sumberdaya alam atau berkaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk melaksanakan
CSR seperti diatur oleh UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74.
Dilihat dari sudut dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara konseptual
masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan besar dan
CSRyang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah. Selama ini terdapat anggapan yang
keliru bahwa pelaksanaan CSR hanya diperuntukkan bagi perusahaan besar yang dapat
memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan, padahal perusahaan kecil
dan menengah pun bisa memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Apalagi bila perusahaan kecil dan menengah itu banyak jumlahnya, tentu
dampaknya akan terakumulasi dalam jumlah yang besar dan untuk mengatasinya akan lebih
sulit dibandingkan dampak yang ditimbulkan oleh satu perusahaan besar.
Bila dilihat dari pelaksanaan CSR di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa
perusahaan yang telah melaksanakan program CSR dan membuat laporannya belum bisa
dikatakan sebagai perusahaan yang telah menerapkan akuntansi lingkungan. Hal ini
disebabkan karena dalam operasional perusahaan belum memasukkan upaya pelestarian
lingkungan sebagai bagian integral (Idris, 2012). Gray et al. (1993) menyimpulkan bahwa
mekanisme pengungkapan yang bersifat sukarela kurang tepat. Bukti dari Deegan and Rankin
(1996) menyebutkan bahwa pelaporan akuntansi lingkungan bersifat bias karena perusahaan
seringkali tidak melaporkan kabar buruk (bad news).
Kesimpulan
Green accounting masih relatif baru di bidang akuntansi keuangan dan terus
berkembang. Namun, keberadaannya dianggap semakin penting untuk menghadapi tantangan
bisnis saat ini dan masa depan. Memang di beberapa penelitian tidak ada hubungan yang
signifikan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan. Tetapi, menurut penulis,
paradigma kapitalisme akuntansi yang memandang kinerja keuangan adalah segalanya harus
dialihkan. Sudah saatnya inisiatif pelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab setiap
pihak (terutama perusahaan) yang mendapatkan manfaat yang disediakan lingkungan itu
sendiri.
Dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan perlu dilaporkan sebagai
perwujudan tanggung jawab perusahaan kepada stakeholder. Rendahnya kesadaran pelaporan
dampak lingkungan disebabkan oleh beberapa kendala pelaporannya. Untuk mendorong
penerapan akuntansi lingkungan yang lebih luas lagi diperlukan berbagai upaya.