Anda di halaman 1dari 51

Behavioural Finance dalam Proses Pengambilan Keputusan

Investasi
HALAMAN JUDUL
Tugas Besar II Behavioral Corporate Finance

Nama : Tegar Martua Hasiholan Siboro


NIM : 43120010035
Dosen Pengampu : Dr. Sudjono, M.Acc

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Besar 2 Makalah
Behavioral Corporate Finance mengenai “Behavioural Finance dalam Proses
Pengambilan Keputusan Investasi” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Besar
pada Mata Kuliah Behavioral Corporate Finance dengan Dosen Pengampu Bapak
Dr. Sudjono, M.Acc
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan kita
mengenai mata kuliah Behavioral Corporate Finance.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sudjono, M.Acc selaku dosen
mata kuliah Behavioral Corporate Finance yang telah memberikan tugas besar ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna
dan sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat makalah ini sebaik
mungkin, namun tidak ada gading yang tak retak. Untuk itu, penulis berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada yang sempurna tanpa adanya sarana yang membangun.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. I


KATA PENGANTAR .......................................................................................... II
DAFTAR ISI ........................................................................................................ III

BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN.................................................................................................. 4

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 4


B. Batasan Masalah ......................................................................................... 10
C. Rumusan Masalah....................................................................................... 11
D. Tujuan .......................................................................................................... 11
E. Manfaat ........................................................................................................ 12

BAB II .................................................................................................................. 14
LANDASAN TEORI........................................................................................... 14

A. Grand Theory, Middle Theory, dan Operational Theory ....................... 14


B. Studi Dan Penelitian Terdahulu ................................................................ 18
C. Hipotesis ....................................................................................................... 23

BAB III ................................................................................................................. 26


PEMBAHASAN .................................................................................................. 26

A. Penerapan .................................................................................................... 26
B. Perbandingan antara Teori, Penelitian Terdahulu dan Praktek ........... 31
C. Pembahasan ................................................................................................. 36

BAB IV ................................................................................................................. 44
PENUTUP ............................................................................................................ 44

A. Kesimpulan .................................................................................................. 44
B. Saran ............................................................................................................ 45

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 48

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pengambilan keputusan investasi, investor seringkali tidak selalu bertindak

rasional dan obyektif sesuai dengan asumsi teori keuangan tradisional. Banyak

faktor perilaku dan psikologis yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan

mereka. Fenomena ini kemudian dipelajari dalam behavioural finance, suatu bidang

ilmu yang menggabungkan psikologi dan keuangan untuk memahami dan

menjelaskan fenomena pasar keuangan (Sadi et al., 2021).

Behavioural finance mempelajari pengaruh faktor perilaku dan kognitif terhadap

pengambilan keputusan keuangan para pelaku pasar. Teori ini menjelaskan anomali

pasar dan pola pergerakan harga aset keuangan yang tidak dapat dijelaskan dengan

baik oleh teori keuangan tradisional atau hipotesis pasar efisien (Dreyer &

Lichtenstein, 2022).

Model Tradisonal Pengambilan Keputusan Investasi

Model pengambilan keputusan investasi dalam teori keuangan tradisional

berasumsi investor adalah makhluk ekonomi yang rasional. Mereka diasumsikan

mampu mengumpulkan seluruh informasi yang tersedia, menghitung nilai sekarang

(present value) dari semua pilihan investasi yang ada secara akurat, serta memilih

pilihan investasi yang menghasilkan utilitas tertinggi (Dreyer & Lichtenstein,

2022).

4
5

Selain itu, investor rasional juga diasumsikan risk averse, artinya mereka akan

menghindari risiko jika tidak ada prospek imbal hasil lebih tinggi. Mereka akan

secara obyektif dan konsisten mempertimbangkan semua pilihan berdasarkan

perkiraan imbal hasil dan risiko yang terukur (Kengatharan, 2014). Hipotesis pasar

efisien juga menyebutkan harga aset di pasar keuangan akan selalu mencerminkan

seluruh informasi yang tersedia. Sehingga investor tidak dapat memperoleh

abnormal return secara konsisten dalam jangka panjang (Fama, 1970).

Akan tetapi realita pasar seringkali menunjukkan fenomena investasi yang tidak

sesuai dengan model tradisional tersebut. Beberapa anomali atau gejala yang sering

teramati antara lain (Baker & Nofsinger, 2002; Kahneman & Riepe, 1998):

1. Pembalikan jangka panjang (reversal) abnormal return saham jangka pendek

sebelumnya

2. Underreaction dan overreaction harga aset terhadap informasi

3. Volatilitas pasar yang berlebihan tidak sesuai dengan justifikasi fundamental

ekonomi

4. Terjadinya gelembung harga aset (bubble) dan krisis keuangan

5. Respons asimetris atau tidak proporsional harga aset terhadap berita baik dan

buruk

Gejala-gejala ini menunjukkan harga aset tidak selalu mencerminkan nilai

fundamentalnya. Perilaku investor yang tidak rasional diduga berkontribusi

terhadap terjadinya anomali pasar dan disfungsi sistemik pada pasar keuangan

(Dreyer & Lichtenstein, 2022).

Bias Perilaku dan Pengambilan Keputusan Investasi


6

Behavioural finance menunjukkan bahwa investor sebagai manusia biasa tidak

selalu berperilaku rasional dalam mengambil keputusan investasinya. Mereka

terpengaruh oleh emosi dan melakukan judgment error yang sistematis ketika

memproses informasi dan mengevaluasi pilihan investasi (Pompian, 2006).

Bias kognitif dan emosi sangat berpengaruh dalam situasi yang dihadapi investor

seperti ketidakpastian tinggi, informasi tak lengkap atau ambigu, dan tekanan untuk

mengambil keputusan secara cepat (Kahneman & Tversky, 1973). Dalam kondisi

tersebut, cara berpikir intuitive (heuristic) dan perasaan sangat menentukan

judgements dan pilihan yang diambil meskipun seringkali menyimpang dari kaidah

logika dan rasionalitas (Kahneman, 2003).

Ada banyak jenis bias psikologis dan perilaku yang telah teridentifikasi. Beberapa

diantaranya yang paling umum berpengaruh pada keputusan investasi individu

adalah (Baker & Nofsinger, 2002; Pompian, 2006):

1. Overconfidence bias

Overconfidence atau kelebihan kepercayaan diri membuat investor merasa terlalu

yakin pada informasi, perkiraan, dan kemampuan judgement mereka walaupun

seringkali salah. Mereka cenderung meremehkan risiko dan terlalu optimis

sehingga bertransaksi berlebihan. Overconfidence juga membuat trader terlalu

sering merevisi portofolionya sehingga meningkatkan biaya transaksi.

2. Confirmation bias

Confirmation bias adalah kecenderungan mencari, menginterpretasi, dan

mengingat informasi secara selektif untuk mendukung keyakinan atau hipotesis


7

awal investor. Sementara informasi yang bertentangan diabaikan atau ditafsirkan

secara tidak tepat. Hal ini membuat investor sulit mengubah pandangannya dan

terjebak dalam kesalahan.

3. Loss aversion bias

Loss aversion atau ketakutan akan kerugian membuat investor sangat sensitif

terhadap penurunan nilai investasinya. Mereka cenderung menjual pada saat harga

turun dan membeli kembali saat harga naik lagi untuk menghindari realisasi

kerugian. Perilaku ini tidak efisien dan mengurangi return total investor.

4. Mental accounting bias

Mental accounting adalah kecenderungan memperlakukan uang secara terpisah

berdasarkan sumber atau tujuan tertentu. Sehingga investor kurang

mempertimbangkan portofolio secara keseluruhan dan mengambil risiko

berlebihan pada rekening tertentu. Misalnya berinvestasi agresif pada saham karena

dianggap uang 'bermain-main'.

5. Herding bias

Herd behaviour atau perilaku kawanan terjadi saat investor meniru tindakan

investor lain tanpa analisis sendiri. Mereka beranggapan semua orang tidak

mungkin salah. Herd behaviour ini bisa memicu gelembung harga dan panik massal

saat terjadi krisis.

Hasil studi behavioural finance menunjukkan bias-bias tersebut sangat umum

terjadi pada investor individu dan bahkan profesional sekalipun. Ini menyebabkan

kesalahan sistematis dalam estimasi risiko dan return investasi serta alokasi

portofolio yang tidak optimal (Pompian, 2006).


8

Dampak Bias Perilaku pada Pasar dan Investor

Perilaku investor yang tidak rasional akibat bias dan emosi tersebut diduga

berkontribusi pada terjadinya anomali pasar seperti underreaction dan overreaction

harga saham, volatilitas berlebih, gelembung harga, dan krisis sistemik pada pasar

keuangan (Dreyer & Lichtenstein, 2022).

Misalnya overconfidence bias yang membuat banyak investor dan manajer selalu

merasa mampu memilih saham undervalued serta market timing dengan akurat. Hal

ini memicu transaksi dan aktivitas spekulasi berlebihan sehingga meningkatkan

volatilitas pasar. Overconfidence juga diduga memicu terbentuknya gelembung

harga karena investor terlalu optimis memilih saham tertentu padahal harganya

sudah overvalued (Hirshleifer, 2015).

Sementara loss aversion bias menyebabkan banyak investor panik dan melakukan

rush to exit saat harga turun tajam. Mereka menjual dalam jumlah besar untuk

memotong kerugian meskipun prospek jangka panjang perusahaan tetap baik. Hal

ini memicu efek domino dan meningkatkan amplitudo penurunan harga saham serta

mengganggu stabilitas pasar (Kahneman & Tversky, 1979).

Respons investor yang berlebihan terhadap sinyal pasar ini diduga sebagai salah

satu pemicu krisis keuangan. Misalnya saat terjadi krisis perbankan Amerika pada

1980an dan krisis dot com di 2000an (Dreyer & Lichtenstein, 2022). Perilaku panik

yang menular (herding behaviour) juga teramati selama krisis keuangan global

2008 dan krisis COVID-19 baru-baru ini yang memicu penurunan tajam indeks

saham dan crash pasar (Baker & Wurgler, 2012).


9

Bias juga berdampak negatif secara individual terhadap kinerja portofolio investor

ritel. Beberapa studi menemukan trader yang overconfidence dan melakukan

perdagangan aktif secara berlebihan cenderung mendapat return lebih rendah

setelah dikurangi biaya transaksi (Barber dan Odean, 2000).

Investor ritel juga kerap melakukan kesalahan market timing dan memperburuk

kinerja investasinya. Mereka cenderung membeli saat pasar sedang bullish

kemudian panic selling saat terjadi koreksi dan melewatkan pemulihan selanjutnya.

Akibatnya return investor ritel jauh lebih rendah daripada return pasar secara

keseluruhan (Benartzi dan Thaler, 2007).

Oleh karena itu paradigma behavioural finance telah banyak diadopsi dalam praktik

manajemen portofolio dan kebijakan pengaturan industri keuangan. Pemahaman

mengenai bias investor sangat berguna bagi manajer investasi dan regulator dalam

merancang strategi dan kebijakan yang tepat agar investor mampu mengambil

keputusan secara lebih rasional (Dreyer & Lichtenstein, 2022).

Beberapa praktik konkret yang bisa dilakukan antara lain pemberian informasi dan

edukasi tentang bias-bias umum, penetapan sistem pengawasan diri (self-

monitoring system) serta aturan perilaku (code of ethics), hingga restrukturisasi

proses pengambilan keputusan investasi agar lebih sistematis dan mengurangi

faktor emosi yang berlebihan (Pompian, 2006).

Dengan mempertimbangkan faktor perilaku dan psikologis pelaku pasar,

paradigma behavioural finance diharapkan dapat menjelaskan gejala anomali di

pasar keuangan dengan lebih kompleks dan realistis. Serta membantu pemangku
10

kepentingan dalam merancang kebijakan dan strategi investasi yang lebih efektif di

tengah keterbatasan rasionalitas manusia.

B. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, topik behavioural finance dan

pengambilan keputusan investasi merupakan bidang kajian yang sangat luas.

Terdapat beragam jenis bias perilaku dan faktor psikologis yang potensial

mempengaruhi proses pengambilan keputusan investor individu.

Selain itu dampak perilaku investor terhadap pasar keuangan secara keseluruhan

juga merupakan fenomena kompleks dengan banyak faktor yang saling terkait.

Oleh karena itu, dalam studi ini perlu dilakukan pembatasan masalah agar

pembahasan lebih fokus dan mendalam.

Pertama, penelitian ini akan berfokus pada beberapa jenis bias perilaku utama yang

paling sering diamati memiliki dampak signifikan terhadap pengambilan keputusan

dan kinerja investasi investor individu. Beberapa bias inti yang akan dibahas antara

lain overconfidence, mental accounting, loss aversion dan herding bias.

Bias lain seperti availability bias, framing effect, anchoring dan prospect theory

juga relevan, namun tidak dibahas secara mendalam pada studi ini.Topik terkait

perilaku investor institusional seperti mutual fund dan pension fund juga tidak

menjadi fokus penelitian saat ini meskipun secara teori juga dipengaruhi bias

perilaku manajernya.

Kedua, dampak bias investor terhadap pasar keuangan akan dibatasi pada 2

fenomena utama yakni volatilitas berlebih dan terbentuknya bubble harga aset.
11

Dampaknya terhadap krisis keuangan dan contagion effect antar pasar tidak akan

dianalisis mendalam, melainkan hanya menjadi latar permasalahan.

Ketiga, solusi praktis mengatasi bias perilaku investor akan lebih difokuskan pada

level individu dan desain mekanisme pengambilan keputusan investasi.

Rekomendasi kebijakan makroprudensial dan regulasi industri fund management

tidak menjadi lingkup bahasan.

Dengan batasan tersebut, penelitian ini diharapkan mampu menganalisis

permasalahan utama dampak bias perilaku investor terhadap pengambilan

keputusan investasi dan stabilitas pasar keuangan secara lebih terfokus. Batasan ini

juga untuk memastikan kedalaman pembahasan mengingat keterbatasan waktu dan

sumber daya penelitian.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan pada latar belakang dan batasan masalah

yang ditetapkan, diturunkan beberapa pertanyaan penelitian berikut:

1. Apa saja jenis-jenis bias perilaku utama investor individu yang paling

berpengaruh terhadap pengambilan keputusan investasinya?

2. Bagaimana mekanisme bias perilaku tersebut mempengaruhi proses

pengambilan keputusan investasi pada investor individu?

3. Seberapa signifikan pengaruh bias perilaku terhadap kinerja portofolio dan

kesejahteraan investor individu dalam jangka panjang?

D. Tujuan

Berdasarkan pemaparan rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya,

makalah ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:


12

1. Mengetahui dan mendeskripsikan jenis-jenis bias perilaku utama investor

individu yang paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan investasi

mereka

2. Menganalisis mekanisme psikologis yang menjelaskan bagaimana bias investor

mempengaruhi proses pengambilan keputusan investasi

3. Mengestimasi dan menganalisis signifikansi pengaruh bias perilaku investor

terhadap profitabilitas investasi dan kesejahteraan keuangannya.

E. Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan konseptual dan empiris pada pengembangan behavioural

finance, terutama terkait penerapannya dalam pengambilan keputusan investasi

individu. Penelitian ini juga diharapkan memperkaya pemodelan teoritis mengenai

mekanisme fundamental yang menjelaskan pembentukan gelembung harga aset dan

volatilitas berlebih di pasar modal akibat interaksi perilaku investor ritel.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi bermanfaat dan rekomendasi konkret yang dapat diterapkan

investor individu untuk mengatasi judgment error akibat bias perilaku guna

meningkatkan kualitas analisis dan keputusan investasinya. Dengan demikian, studi

ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan literasi keuangan investor

ritel.

3. Manfaat Kebijakan
13

Hasil penelitian dapat menjadi masukan konseptual dan empiris untuk regulator

dalam merumuskan kebijakan terkait edukasi dan perlindungan investor ritel.

Selain itu, temuan penelitian juga diharapkan memberi kontribusi pada penyusunan

regulasi industri jasa keuangan guna mendorong praktik investasi yang sehat dan

beretika sejalan dengan prinsip-prinsip behavioural finance.


14

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Grand Theory, Middle Theory, dan Operational Theory

1. Behavioral Finance

Grand theory yang digunakan dalam studi ini adalah Behavioural Finance. Menurut

teori behavioural finance, investor tidak selalu bertindak rasional dan obyektif

dalam pengambilan keputusan investasinya, melainkan sangat dipengaruhi oleh

faktor perilaku dan emosi (Thaler, 2005; Sadi et al., 2021).

Terdapat dua asumsi pokok dalam behavioural finance. Pertama, investor seringkali

menggunakan metode heuristik dan "rule of thumb" (intuisi dan common sense)

dalam menentukan keputusannya alih-alih perhitungan analitik yang rumit. Kedua,

investor juga dipengaruhi oleh bias kognitif (cognitive bias) dan emosi yang

sistematis dan dapat memprediksi judgement error (Kengatharan & Kengatharan,

2014).

Teori ini didasarkan pada studi eksperimental psikologi kognitif yang menemukan

keterbatasan kapasitas otak manusia dalam memproses informasi, sehingga sering

terjadi penyimpangan sistematis pada proses judgement dan pengambilan

keputusan dimana faktor emosi juga dominan. Teori ini merupakan kritik terhadap

teori keuangan tradisional yang mengasumsikan investor selalu rasional (Dreyer &

Lichtenstein, 2022).

Menurut Kahneman dan Tversky (1979), terdapat dua sistem yang saling

berinteraksi dalam proses berpikir dan pengambilan keputusan, yakni:

1) Sistem 1 - Intuitif
15

Sistem ini bersifat cepat, otomatis, tidak sadar, dan sangat dipengaruhi emosi serta

pengalaman masa lalu. Sistem 1 menghasilkan perasaan dan kesan spontan yang

sangat mempengaruhi judgement. Sistem inilah yang sering menyebabkan bias.

2) Sistem 2 - Rasional

Sistem ini bersifat lambat, sadar, logis, dan analitis. Sistem 2 bertanggung jawab

untuk berpikir aktif, perhitungan, pertimbangan sebab akibat, serta koreksi

kesalahan hasil sistem 1 jika ditemukan inkonsistensi. Sayangnya aktivitas sistem

2 membutuhkan banyak energi mental sehingga investor sering mengambil 'mental

shortcut'.

a. Prospect Theory

Prospect theory merupakan salah satu model analitis utama behavioural finance

yang dikembangkan oleh Kahneman & Tversky (1979). Teori ini menjelaskan

model pengambilan keputusan individu dibawah kondisi risiko.

Menurut prospect theory, individu cenderung bersifat loss aversion, yakni lebih

menghindari kerugian daripada termotivasi oleh keuntungan. Fungsi nilai (value

function) investor bersifat cembung (convex) untuk kerugian dan cekung (concave)

untuk keuntungan.

Prospect theory juga menunjukkan preferensi risiko investor bersifat situasional,

bergantung pada konteks permasalahannya (framing effect) dan titik acuan awalnya

(endowment effect). Model ini telah banyak divalidasi dan mampu menerangkan

banyak anomali perilaku investor yang tidak rasional.

2. Cognitve Reflection Model


16

Berdasarkan kerangka behavioural finance sebagai grand theory-nya, studi ini

menggunakan Cognitive Reflection Model sebagai middle theory utamanya untuk

menjelaskan bagaimana interaksi dual proses kognitif (analitik vs intuitif) pada diri

investor berpotensi menimbulkan judgement error akibat bias-bias sistem 1 yang

tidak terkoreksi sistem 2.

Menurut teori ini, judgement dan pengambilan keputusan oleh individu merupakan

hasil interaksi antara proses kognitif reflektif dan intuitif (Thoma et al., 2015;

Toplak et al., 2011). Individu cenderung mengandalkan heuristik dan thinking

shortcut untuk efisiensi kognitif. Namun jika intuisi awal itu dikoreksi dengan

berpikir reflektif, judgement error dapat diminimalisir.

Toplak et al. (2014) mengkonsepkan Cognitive Reflection Test (CRT) untuk

mengukur kecenderungan individu berpikir reflektif atau intuitif. Individu dengan

skor CRT rendah mengindikasikan kecenderungan menggunakan intuisi heuristik

yang berpotensi bias, sementara skor tinggi menunjukkan kapasitas berpikir

reflektif guna koreksi kesalahan.

Model ini dapat menjelaskan mengapa investor dengan kemampuan berpikir

reflektif dan numerik yang rendah, serta terlalu mengandalkan intuisi cenderung

lebih sering menunjukkan bias perilaku tertentu. Sebaliknya keputusan investor

yang rasional relatif bebas dari judgment error karena koreksi yang efektif dari

proses kognitif reflektifnya ketika mendeteksi inkonsistensi.

3. Operational Theory
17

Setelah penjabaran grand theory dan middle theory, berikut ini adalah beberapa

teori tingkat operasional yang akan digunakan dalam studi ini terkait bias perilaku

dan pengambilan keputusan investor individu:

1) Overconfidence Bias

Menurut teori overconfidence, investor individu seringkali memiliki kepercayaan

diri yang berlebihan mengenai kemampuan memprediksi pergerakan pasar dan

memilih saham yang tepat (Odean, 1998; Barber & Odean 2000). Ini membuat

mereka bertransaksi terlalu aktif dan sering melakukan kesalahan.

Investor yang overconfidence juga cenderung mengestimasikan variabilitas return

saham di masa depan terlalu rendah, sehingga meremehkan risiko dan menyukai

saham volatile. Mereka juga menolak advis dari orang lain, karena yakin pada

keputusannya sendiri.

2) Mental Accounting Theory

Teori akuntansi mental menyatakan keputusan investasi dan toleransi risiko

investor bergantung pada framing dan kategorisasi dana yang dilakukannya

(Thaler, 1999). Misalnya investor memperlakukan dana warisan, bonus, atau

keuntungan berbeda toleransi risikonya.

Perilaku investor tidak konsisten antar mental account ini menyebabkan alokasi

portofolio dan diversifikasi tidak optimal. Misalnya investor menumpuk eksposur

risiko yang sama pada beberapa instrumen tertentu di rekening yang berbeda.

3) Herding Bias Theory


18

Menurut teori ini, investor individu cenderung mengikuti keputusan investor lain

dalam menentukan aset mana yang harus dibeli. Mereka beranggapan bahwa

keputusan kolektif tidak mungkin keliru (Devenow & Welch, 1995).

Herding bias ini diduga mendorong pembentukan bubble karena semua investor

saling membeli aset yang sama saat harga naik pesat tanpa mempertimbangkan

fundamentalnya. Kontribusi simultan investor individual ini juga diduga memicu

volatilitas berlebih di pasar.

4) Loss Aversion Theory

Teori loss aversion menjelaskan investor jauh lebih sensitif terhadap kerugian

daripada keuntungan potensial dengan proporsi setidaknya 2:1 (Kahneman &

Tversky, 1979). Hilangnya $100 akan dirasakan setara dengan memperoleh

keuntungan $200.

Ini membuat investor cenderung risk averse saat menghadapi peluang gain, namun

risk seeking saat menghadapi peluang kerugian untuk menghindarinya. Perilaku

tidak konsisten ini sering merugikan investor saat memutuskan untuk memotong

kerugian investasi.

B. Studi Dan Penelitian Terdahulu

Berikut adalah studi dan penelitian terdahulu yang digunakan oleh peneliti sebagai

referensi dan perbandingan hasil pada makalah ini:

Peneltian yang dilakukan oleh Purnamawati, I.G.A., & Wiksuana, I.G.B. (2021)

menyatakan bahwa survei investor milenial Indonesia menunjukkan beberapa bias

perilaku yakni overconfidence, bandwagon effect, loss aversion dan risk perception
19

bias signifikan mempengaruhi keputusan investasi mereka di pasar modal baik

saham maupun reksadana.

Penelitian yang dilakukan oleh Barberis, N., Jin, L., & Wang, B. (2021).

menyatakan bahwa menguji penerapan prospect theory dalam menjelaskan anomali

pasar seperti momentum effect dan reversal effect pada saham. Hasilnya

mendukung proposisi bahwa loss aversion bias dan risk seeking preference investor

di area kerugian dapat menjelaskan fenomena underreaction jangka pendek dan

overreaction jangka panjang harga saham akibat respons berlebihan terhadap berita.

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniadi, A. C., Sutrisno, T. F., & Kenang, I. H.

(2022) menyatakan bahwa hasil survei online investor ritel Bali menunjukkan

variabel behavioural finance, self efficacy, profil risiko dan financial literacy secara

signifikan saling mempengaruhi dalam pengambilan keputusan berinvestasi subyek

penelitian.

Penelitian yang dilakukan oleh Siregar, K. R. K., Hasibuan, S. H. N., Hsb, S., &

Dewi, S. (2023) menyatakan bahwa Studi kasus menemukan indikasi analisis

teknikal dan emosi negatif panic fear/greed berpengaruh signifikan terhadap

frekuensi dan jenis aksi perdagangan investor ritel online trading serta risk adjusted

return portofolionya. Temuan ini sesuai prinsip behavioral finance

Penelitian yang dilakukan oleh Rahma, N. (2023) menyatakan bahwa studi ini

menemukan perilaku berisiko generasi muda dan bias perilaku seperti loss aversion

serta herd behavior sangat memengaruhi keputusan alokasi portofolio investor ritel

generasi Y dan Z di Surabaya.


20

Penelitian yang dilakukan oleh Alice, A., & Haryanto, H. (2022) menyatakan

bahwa menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan investasi oleh

literasi keuangan, pengetahuan keuangan, sikap terlalu percaya diri, perilaku

keuangan, aversi risiko dan persepsi risiko tetapi variabel moderasi tidak

memberikan pengaruh yang signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Istiadi, W., & Djumahir, S. E. (2017) menyatakan

bahwa ambiguity aversion dan illusion of control berpengaruh secara signifikan

terhadap pengambilan keputusan investasi, namun keduanya tidak mempengaruhi

besarnya dana yang diinvestasikan, sedangkan pengujian perbedaan gender

terhadap behavioral finance menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara

signifikan antara pria dan wanita, baik pada ambiguty aversion maupun illusion of

control. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pria memiliki tingkat ambiguity

aversion dan illusion of control yang lebih tinggi daripada wanita.

Penelitian yang dilakukan oleh Isbanah, Y. (2019) menunjukkan bahwa hasil

penelitian ini menunjukkan variabel overconfidence dan herding berpengaruh

terhadap keputusan investasi. Responden memiliki tingkat kepercayaan diri yang

tinggi dalam mengambil keputusan investasi. Selain itu, responden dalam

mengambil keputusan investasi juga didasarkan pada investor lain. Literasi

keuangan pada responden penelitian ini berada pada kategori sedang, namun hal

tersebut tidak mempengaruhi pengambilan keputusan investasi karena responden

merasa tidak perlu menggunakan pengetahuan dalam pengambilan keputusan

investasi. Meskipun tingkat risk perception responden dalam kategori sedang dan
21

tingkat loss aversion dalam kategori tinggi, namun responden masih cenderung

berani dan kurang berhati-hati dalam berinvestasi.

Peneltian yang dilakukan oleh Mutawally, F. W., & Asandimitra, N. (2019)

menunjukkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel herding dan

pengalaman investasi memiliki pengaruh terhadap keputusan investasi. Responden

termasuk dalam kelompok investor yang bergantung pada kolega, teman atau

sesama investor serta keputusan mayoritas tanpa melakukan analisa terlebih dahulu.

Responden juga termasuk dalam kategori responden yang memiliki pengalaman

yang cukup dalam keputusan investasi sehingga dengan bertambahnya pengalaman

akan meningkatkan jumlah keputusan investasi untuk memegang berbagai

alternatif khusus untuk saham alternatif yang menguntungkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Desrita, L., & Marheni, D. K. (2022) menyatakan

bahwa literasi keuangan, overconfidence, herding, anchoring, representatif, dan

ketersediaan berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan investasi.

Sedangkan persepsi risiko dan keenam variabel moderasi lainnya tidak memiliki

pengaruh terhadap keputusan investasi investor. Dalam berinvestasi, investor harus

memahami perilaku keuangan yang membantu investor dalam mengambil

keputusan yang baik dan persepsi risiko akan membuat investor takut akan risiko

yang terjadi dalam berinvestasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Azimi, M. (2019) menunjukan bahwa hasil

penelitian menunjukkan bahwa investor profesional juga rentan terhadap bias

perilaku, yang merugikan investor reksa dana.


22

Penelitian yang dilakukan oleh Kumar, S., & Goyal, N. (2015) menyatakan bahwa

Sebagian besar literatur yang ada tentang bias perilaku menunjukkan terbatasnya

penelitian di negara berkembang di bidang ini, dominasi penelitian empiris berbasis

data sekunder, kurangnya penelitian empiris tentang individu yang menunjukkan

perilaku berkelompok, fokus pada ekuitas dalam bias tempat tinggal, dan temuan

empiris yang tidak pasti tentang bias berkelompok.

Penelitian yang dilakukan oleh Painoli, G. K. (2016) menunjukan bahwa studi ini

menemukan bahwa keuangan perilaku memperlakukan orang seperti orang normal,

bukan orang pintar. Investor membuat keputusan berdasarkan bias perilaku yang

dibicarakan, dan hal ini berdampak besar pada mereka. Dengan demikian, perilaku

investor berdampak pada keputusan investasi mereka

Penelitian yang dilakukan oleh Sobkow, A., Olszewska, A., & Sirota, M. (2023)

menunjukan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa Verbal CRT adalah

ukuran refleksi kognitif yang valid yang memberikan interpretasi yang lebih jelas

daripada CRT tradisional, bahkan dalam konteks bahasa dan budaya yang berbeda

Penelitian yang dilakukan oleh Sadi, R., Asl, H. G., Rostami, M. R., Gholipour, A.,

& Gholipour, F. (2011) menunjukkan bahwa kesalahan persepsi yang ditawarkan

memiliki korelasi yang signifikan dengan kepribadian investor. Kesimpulannya

menunjukkan bahwa ada korelasi langsung antara ekstroversi dan keterbukaan

dengan bias melihat ke belakang dan bias kepercayaan diri yang berlebihan, antara

neurotisme dan bias keacakan, antara eskalasi komitmen dan bias ketersediaan.

Selain itu, terdapat korelasi terbalik antara conscientiousness dan bias keacakan,

antara keterbukaan dan bias ketersediaan.


23

Penelitian yang dilakukan oleh Deaves, R., Lüders, E., & Luo, G. Y. (2009)

menunjukkan overconfidence berbasis kalibrasi memang menimbulkan

perdagangan tambahan, meskipun efek lebih baik dari rata-rata juga tampaknya

berperan. Hal ini berlaku baik di tingkat individu maupun di tingkat pasar. Hanya

ada sedikit bukti bahwa gender memengaruhi aktivitas perdagangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Barber, B. M., & Odean, T. (2001) menunjukkan

bahwa pria akan melakukan trading lebih berlebihan daripada wanita. Dengan

menggunakan data rekening lebih dari 35.000 rumah tangga dari sebuah pialang

diskon besar, kami menganalisis investasi saham biasa pria dan wanita dari Februari

1991 hingga Januari 1997. Kami mendokumentasikan bahwa pria melakukan

perdagangan 45 persen lebih banyak daripada wanita. Perdagangan mengurangi

keuntungan bersih pria sebesar 2,65 poin persentase per tahun dibandingkan dengan

1,72 poin persentase untuk wanita

C. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, berikut ini

adalah rancangan hipotesis studi dalam topik Behavioural Finance dalam

Pengambilan Keputusan Investasi:

1. Hipotesis 1: Overconfidence bias merupakan behavioral bias yang paling

dominan dan berpengaruh signifikan terhadap keputusan investasi individu.

Beberapa studi terdahulu secara konsisten menemukan overconfidence menjadi

bias perilaku yang paling banyak diamati pada investor ritel maupun profesional

(Deaves et al., 2009; Barber & Odean, 2001; Sadi et al., 2021). Overconfidence
24

bias membuat mereka merasa mampu melakukan stock picking dengan akurat

dan market timing secara konsisten, padahal seringkali prediksi mereka salah.

Overconfidence juga menyebabkan investor meremehkan risiko berlebihan dan

melakukan frekuensi perdagangan (turnover) yang sangat aktif yakni 150%

lebih tinggi secara signifikan daripada investor rasional (Odean, 1998).

Aktivitas perdagangan berlebih ini justru kontraproduktif dan menurunkan rata-

rata return investor overconfident tersebut dalam jangka panjang.

Berdasarkan premis bahwa investor overconfident cenderung salah dalam

judgement valuasi saham dan prediksi pergerakan harga, serta bertransaksi

secara berlebihan, maka hipotesis yang diajukan adalah overconfidence

merupakan bias utama yang sangat mempengaruhi judgment error investor

individu dalam hal akurasi analisis saham, market timing dan frekuensi trading,

sehingga menghasilkan performa portofolio jangka panjang yang sub-optimal.

2. Hipotesis 2: Loss aversion merupakan behavioral bias kedua terbanyak yang

secara signifikan mendorong investor individu melakukan pemotongan

kerugian yang prematur.

Beberapa studi terdahulu menunjukkan loss aversion atau ketakutan akan

kerugian adalah bias perilaku kedua terbanyak setelah overconfidence yang

sistematis diamati pada investor ritel dan institusional (Sadi et al., 2021). Loss

aversion bias membuat investor terlalu emosional dan sensitif terhadap

penurunan nilai portofolionya.

Akibatnya, investor dengan loss aversion tinggi cenderung melakukan aksi jual

terburu-buru untuk memotong kerugian saham yang dimiliki meskipun prospek


25

fundamental emitennya baik dalam jangka panjang. Perilaku ini sangat

merugikan kinerja investasi mereka (Odean, 1998; Barber et al., 2021).

Berdasarkan rasional tersebut, maka hipotesis kedua dirumuskan bahwa loss

aversion merupakan behavioral bias terbesar kedua setelah overconfidence,

yang secara signifikan mendorong investor individu melakukan premature loss

cutting yang tidak rasional pada portofolionya.

3. Hipotesis 3: Investor individu dengan skor Cognitive Reflection Test tinggi

akan menunjukkan behavioral bias yang lebih sedikit dan pengambilan

keputusan investasi yang lebih rasional serta menghasilkan kinerja portofolio

yang optimal.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan investor dengan kapasitas berpikir

reflektif dan numerikal yang tinggi terbukti lebih rasional dalam judgement

keuangan dan alokasi portofolio. Mereka mampu mendeteksi inkonsistensi

judgement awal berbasis intuisi yang bias dan mengoreksinya dengan sistem

berpikir analitis. Sobkow, A., et al. (2023) mendukung penggunaan indikator

Cognitive Reflection Test (CRT) yang valid dan reliabel untuk mengukur

kemampuan berpikir reflektif.

Oleh karena itu, studi ini merumuskan hipotesis bahwa investor individu dengan

skor CRT tinggi akan menunjukkan behavioral bias yang lebih sedikit dan

membuat keputusan investasi yang lebih rasional dan menghasilkan kinerja

portofolio yang superior dibanding investor dengan CRT skor rendah.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Penerapan

Berdasarkan landasan teori behavioural finance yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya, berikut ini akan dianalisis penerapan pemahaman mengenai 5 bias

perilaku dan impactnya terhadap pengambilan keputusan investasi pada beberapa

kasus konkret.

1. Overconfidence Bias

Bias terlalu percaya diri adalah kecenderungan seseorang untuk melebih-

lebihkan pengetahuan, kemampuan, atau karakter etisnya dalam suatu bidang

tertentu. Bias kognitif ini dapat memengaruhi pengambilan keputusan dan

menghasilkan keputusan yang tidak optimal. Sebagai contoh, bias ini dapat

menyebabkan orang melakukan investasi yang berisiko, melakukan trading

terlalu sering, atau mengambil risiko yang berlebihan di bidang keuangan dan

investasi. Bias terlalu percaya diri juga dapat membuat seseorang percaya

bahwa mereka lebih beretika dibandingkan orang lain, yang berpotensi

menyebabkan mereka menganggap enteng masalah etika. Bias ini sulit untuk

dihilangkan sepenuhnya, namun ada beberapa langkah yang dapat dilakukan

untuk mengendalikannya, seperti mencari umpan balik yang obyektif dan

mempertimbangkan bukti-bukti yang kontradiktif. Secara keseluruhan, bias

terlalu percaya diri adalah jebakan keputusan yang umum terjadi dan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pengambilan keputusan

di bidang keuangan hingga perilaku etis.

26
27

Contoh kasus overconfidence: Seorang investor individu bernama Andi sangat

yakin bahwa harga saham perusahaan teknologi ABC akan melonjak tajam

dalam waktu dekat karena inovasi AI platformnya yang dinilai dapat

meningkatkan efisiensi operational di berbagai industri manufaktur. Dengan

sangat percaya diri (overconfident), Andi menginvestasikan hampir 90%

portofolionya untuk memborong saham ABC tersebut dengan harapan

mendapat capital gain besar dalam sebulan ke depan. Namun kenyataannya,

imbal hasil teknologi AI platform perusahaan ABC tersebut tidak sesuai

prediksi Andi. Akibatnya harga saham justru mengalami penurunan yang

signifikan beberapa waktu setelah Andi membeli secara besar-besaran tersebut

karena prediksi valuasinya yang tidak akurat.

2. Confirmation Bias

Bias konfirmasi adalah bias kognitif yang menggambarkan kecenderungan

untuk memperhatikan, fokus pada, dan memberikan kepercayaan yang lebih

besar pada bukti yang sesuai dengan keyakinan yang ada. Bias ini dapat

menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk karena mendistorsi realitas

yang menjadi dasar pengambilan bukti. Hal ini terjadi ketika individu secara

aktif mencari dan memberikan nilai yang lebih besar pada informasi yang

mengonfirmasi keyakinan yang sudah ada daripada bukti yang mendukung ide-

ide baru. Bias konfirmasi adalah hasil dari strategi otomatis dan tidak disengaja,

bukan penipuan yang disengaja, dan sulit untuk dihilangkan setelah ditegaskan.

Hal ini dapat menyebabkan keputusan yang salah dalam berbagai konteks,

seperti politik, organisasi, keuangan, dan ilmiah, serta berkontribusi pada


28

kepercayaan diri yang berlebihan terhadap keyakinan pribadi. Mengenali dan

mengelola bias konfirmasi merupakan hal yang penting, terutama di era internet

modern, di mana orang selalu dihadapkan dengan lebih banyak informasi

daripada sebelumnya.

Kasus confirmation bias: Wawan sudah sangat yakin perusahaan

telekomunikasi DEF yang saat ini tengah ekspansi ke digital banking memiliki

prospek pertumbuhan melonjak. Ia pun membeli banyak saham DEF pada harga

Rp3.200 per saham. Setelah harga saham anjlok ke Rp2.700 beberapa waktu

kemudian, Wawan terus mencari-cari dan menginterpretasi informasi yang

mendukung keyakinan awalnya bahwa prospek DEF sangat bagus untuk

mengurangi keraguan dan kognitif dissonance. Ia bahkan mengabaikan fakta

DEF tengah bermasalah dengan kendala regulasi dan masalah merger yang

menghambat ekspansi bisnis barunya.

3. Loss Aversion Bias

Loss aversion bias untuk kehilangan adalah bias kognitif yang menggambarkan

kecenderungan individu untuk merasakan sakitnya kehilangan lebih akut

daripada kesenangan saat mendapatkan keuntungan. Ini adalah gagasan bahwa

orang lebih membenci kerugian daripada menikmati keuntungan. Keengganan

untuk menghindari kerugian dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang

tidak rasional, seperti menahan investasi yang merugi terlalu lama atau menjual

saham yang sedang untung terlalu cepat. Hal ini juga dapat menyebabkan

individu menghindari mengambil risiko yang dapat mengakibatkan kerugian,

meskipun potensi keuntungannya tinggi. Bias menghindari kerugian sangat


29

relevan dalam pengambilan keputusan keuangan, di mana bias ini dapat

menyebabkan portofolio yang terlalu konservatif sehingga tidak memberikan

imbal hasil yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Bias ini

bisa jadi sulit diatasi, tetapi investor dapat menghindari jebakan psikologis

dengan mengadopsi strategi alokasi aset yang strategis, berpikir secara rasional,

dan tidak membiarkan emosi menguasai diri mereka.

Kasus Loss aversion bias: Rico memiliki saham sebuah perusahaan konsumer

XYZ yang dinilai high growth dengan valuasi PER 30 kali diatas rata-rata

industrinya. Namun belakangan ini sentimen negatif akibat pelemahan daya beli

masyarakat membuat harga saham XYZ anjlok hingga 40% dalam 2 bulan.

Karena Rico memiliki loss aversion yang tinggi, ia pun memutuskan untuk

melakukan panic selling guna memotong kerugian walau fundamental bisnis

XYZ masih bagus jangka panjang. Penjualan saham secara prematur ini sangat

merugikan Rico karena begitu tren pemulihan daya beli terjadi 6 bulan

kemudian, harga saham XYZ kembali naik signifikan hampir mencapai level

sebelum terkoreksi.

4. Mental Accounting Bias

Mental Accounting Bias adalah bias kognitif yang menggambarkan

kecenderungan individu untuk memperlakukan uang mereka secara berbeda

berdasarkan faktor-faktor seperti tujuan penggunaan atau sumbernya. Bias ini

dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak rasional, seperti

membelanjakan uang untuk barang-barang mewah dan bukannya menabung

atau memperlakukan arus masuk tertentu lebih "dapat dibelanjakan" daripada


30

yang lain. Bias akuntansi mental juga dapat menyebabkan orang terlalu fokus

pada satu akun tanpa mempertimbangkan cakupan penuh keuangan mereka,

yang menyebabkan hilangnya peluang. Bias ini penting untuk dikenali dan

dikelola, karena dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap keuangan

pribadi dan keputusan investasi. Untuk menghindari bias akuntansi mental,

individu harus memperlakukan uang sebagai sesuatu yang dapat dipertukarkan,

tidak peduli dari mana asalnya atau bagaimana mereka berencana untuk

menggunakannya

Studi kasus mental accounting: Handoko baru saja menerima bonus akhir tahun

sebesar Rp100 juta dari perusahaannya. Karena menganggap uang bonus adalah

uang tambahan di luar gaji rutin, ia memutuskan untuk menginvestasikan

seluruh bonusenya ke saham dan reksa dana pertambangan yang sangat volatile

demi potensi upside besar. Handoko bahkan nekad menggunakan margin

trading guna mengejar keuntungan jangka pendek melalui spekulasi saham

tambang tersebut. Akibatnya begitu harga komoditas anjlok dan memicu

koreksi saham tambang, Handoko mengalami loss hampir 80% dari modal

bonusnya. Perilaku high risk taking pada mental account bonus ini sangat

merugikan Handoko.

5. Herding Bias

Herding Bias mengacu pada kecenderungan individu untuk mengikuti dan

meniru apa yang orang lain lakukan, terutama dalam konteks keputusan

investasi. Bias ini sebagian besar dipengaruhi oleh emosi dan naluri, membuat

individu membuat keputusan berdasarkan tindakan orang lain daripada analisis


31

independen mereka sendiri. Bias herding dapat menyebabkan episode

spekulatif dan gelembung aset di pasar keuangan, karena individu dapat

mengikuti kerumunan dengan asumsi bahwa orang lain memiliki informasi

yang lebih baik, yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan. Meskipun perilaku

herding terkadang dapat memberikan hasil positif, seperti memungkinkan

investor pemula untuk mendapatkan keuntungan dari penelitian orang lain,

perilaku ini juga dapat menyebabkan reli pasar yang tidak berdasar, aksi jual,

dan gelembung aset. Untuk menghindari bias herding, individu harus

meluangkan waktu untuk membentuk opini mereka sendiri dan memastikan

bahwa mereka tidak mengambil keputusan di bawah tekanan. Bias ini

merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi dan dapat

memiliki implikasi yang luas untuk pasar keuangan.

Contoh kasus herding: Saat Gina melihat banyak investor individu dan institusi

tengah memborong saham perusahaan logistik GHI yang belakangan kinerja

keuangannya melambung pesat akibat boom e-commerce, ia pun ikut membeli

beli saham GHI dalam volume besar tanpa analisis mendalam terhadap

valuasinya. Ketika beberapa prediksi kinerja GHI tidak tercapai dan memicu

aksi jual, Gina pun ikutan panik menjual sahamnya untuk ambil untung

meskipun sebenarnya prospek jangka panjang bisnis logistik GHI masih sangat

potensial mengingat akselerasi perdagangan online.

B. Perbandingan antara Teori, Penelitian Terdahulu dan Praktek

Berikut adalah perbandingan antara teori, penelitian terdahulu, dan praktik:

1. Overconfidence Bias
32

Teori menyatakan bahwa overconfidence bias membuat investor individu memiliki

kepercayaan diri yang berlebihan dalam kemampuan memprediksi pasar dan

memilih saham, sehingga membuat mereka bertransaksi secara berlebihan.

Overconfidence juga membuat investor meremehkan risiko dan menolak advis dari

orang lain (Odean, 1998; Barber & Odean, 2001).

Penelitian terdahulu secara konsisten menemukan overconfidence sebagai bias

perilaku utama. Deaves et al. (2009) menemukan overconfidence menimbulkan

perdagangan berlebih baik di tingkat individu maupun pasar. Barber & Odean

(2001) juga menemukan pria melakukan perdagangan 45% lebih banyak dari

wanita akibat overconfidence, yang mengurangi return mereka.

Praktik di lapangan menunjukkan memang banyak investor ritel laki-laki yang

sangat percaya diri dalam melakukan analisis teknikal atau fundamental untuk stock

picking. Mereka sering trading aktif karena yakin bisa melakukan market timing.

Namun prediksi dan keputusan mereka tidak selalu benar. Overconfidence ini

merugikan karena biaya transaksi tinggi dan kinerja buruk.

2. Loss Aversion Bias

Teori menyebutkan loss aversion membuat investor terlalu sensitif pada kerugian

hingga 2 kali lipat dibanding keuntungan (Kahneman & Tversky, 1979). Ini

mendorong perilaku premature loss cutting yang merugikan (Odean, 1998).

Penelitian oleh Barber et al. (2021) mendukung loss aversion menjelaskan under

dan overreaction harga saham. Isbanah (2019) juga menemukan meski tingkat loss

aversion tinggi, investor ritel tetap berani berinvestasi karena terlalu percaya diri.
33

Praktik dilapangan membuktikan memang banyak investor individu yang panic

selling saat market jatuh 10-20% meski prospek emiten bagus jangka panjang.

Mereka terlalu takut kehilangan capital, sehingga realisasi kerugian. Padahal

seringkali harga kembali naik tak lama setelah dijual.

3. Cognitive Reflection dan Rasionalitas Investor

Teori menyatakan individu dengan skor Cognitive Reflection Test (CRT) tinggi

lebih rasional karena mampu mendeteksi dan mengoreksi judgement error berbasis

intuisinya (Toplak et al., 2014).

Penelitian Sobkow et al. (2023) membuktikan CRT sebagai indikator valid daya

pikir reflektif. Penelitian lain menemukan investor dengan literasi dan numerikal

keuangan baik lebih rasional berinvestasi (Kurniadi et al., 2022).

Praktik menunjukkan investor ritel dan profesional dengan pendidikan dan keahlian

keuangan, akuntansi, atau teknik tinggi cenderung lebih teliti melakukan analisis

kuantitatif sebelum investasi. Mereka lebih sabar dan disiplin, tidak mudah terbawa

emosi atau mengikuti opini mayoritas seperti investor awam.

4. Overconfidence Sebagai Bias Utama

Hipotesis studi ini menyatakan overconfidence merupakan behavioral bias utama

pada investor individu yang sangat mempengaruhi judgement error mereka dalam

hal akurasi analisis saham, market timing dan frekuensi trading berlebih, sehingga

berdampak signifikan terhadap kinerja portofolio.

Penelitian terdahulu konsisten menemukan overconfidence sebagai bias perilaku

terbesar dan paling berpengaruh buruk terhadap keputusan investasi (Deaves et al.

2009; Barber & Odean 2001). Overconfidence terbukti mendorong aktivitas


34

perdagangan berlebihan hingga 150% lebih tinggi daripada investor rasional

(Odean 1998).

Praktik di pasar modal Indonesia juga menunjukkan banyak investor ritel laki-laki

dan profesional muda yang sangat percaya diri dalam memilih saham sendiri.

Mereka sering salah timing dan kinerjanya buruk karena cost transaksi tinggi akibat

turnover aktif untuk pindah saham.

5. Loss Aversion Picu Premature Loss Cutting

Hipotesis kedua menyatakan loss aversion merupakan behavioral bias kedua

terbesar setelah overconfidence yang signifikan mendorong investor individu

melakukan premature loss cutting pada portofolionya.

Sejumlah penelitian sebelumnya seperti Barber et al. (2021) dan Isbanah (2019)

juga menemukan loss aversion sebagai bias kedua terbanyak setelah

overconfidence. Loss aversion terbukti memicu investor memotong kerugian secara

dini sebelum fundamental emiten membaik (Odean 1998).

Praktik di lapangan mengkonfirmasi temuan teori dan penelitian tersebut. Memang

banyak kasus investor ritel maupun institusi yang melakukan panic selling saat

IHSG turun 10-20% meskipun prospek emiten masih bagus dalam 1-2 tahun ke

depan. Mereka terobsesi hindari kerugian walau harus realize loss.

6. Pengaruh Cognitive Reflection terhadap Rasionalitas

Hipotesis ketiga menyatakan investor individu dengan skor CRT tinggi akan

menunjukkan behavioral bias lebih sedikit dan membuat keputusan investasi lebih

rasional, serta menghasilkan kinerja portofolio yang superior.


35

Penelitian terdahulu seperti Kurniadi et al. (2022) dan Sobkow et al. (2023)

mendukung CRT sebagai indikator valid untuk mengukur kemampuan berpikir

reflektif individu. Literasi dan pengetahuan keuangan tinggi terbukti tingkatkan

rasionalitas investor (Alice & Haryanto 2022).

Praktik di lapangan mengonfirmasi investor ritel dan profesional yang

berpendidikan keuangan dan teknik tinggi serta telah lama berpengalaman,

cenderung lebih rasional. Mereka lebih sabar melakukan analisis kuantitatif dan

tidak mudah terbawa opini mayoritas atau sentimen pasar dalam mengambil

keputusan investasi.

7. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Praktik Perilaku Investor

Hasil penelitian-penelitian terdahulu dalam topik behavioural finance telah banyak

membuktikan penyimpangan sistematis investor ritel dan profesional dari asumsi

standar teori keuangan tradisional. Manusia memang tidak sepenuhnya rasional dan

terbebas dari bias perilaku & emosi dalam judgement keuangan.

Praktik yang terjadi di lapangan sebenarnya sangat sesuai dengan temuan-temuan

penelitian tersebut. Memang lazim dijumpai investor individu dan institusional

yang overconfidence, loss averse dan terjebak aksi bergerombol tanpa analisis

mendalam.

Oleh karena itu pendidikan dan sosialisasi mengenai behavioral finance perlu

digencarkan kepada investor, agar mereka introspeksi dan mewaspadai bias

perilaku yang potensial merugikan pengambilan keputusan investasinya. Regulator

juga perlu memformulasikan kebijakan yang mendorong keputusan investasi lebih

rasional.
36

8. Prospek Perkembangan Studi Behavioral Finance Ke Depan

Studi-studi akademis behavioral finance diperkirakan akan terus berkembang pesat

di masa mendatang. Beberapa peluang penelitian menarik ke depan antara lain

eksplorasi indikator perilaku (behavioral metrics) yang dapat dipakai memprediksi

dan mencegah judgement error investor, survei nasional terkait predominansi jenis

bias tertentu pada investor ritel dan profesional di berbagai negara, serta

implementasi temuan riset behavioral finance untuk penyusunan prototype

investasi algoritma yang bebas human bias.

Dengan berkembangnya behavioural finance, diharapkan perilaku investasi yang

irasional dan merugikan seperti bandwagon effect, underdiversification dan panic

selling dapat dikurangi. Sehingga stabilitas dan efisiensi pasar modal meningkat.

Regulator juga dapat menerapkan kebijakan untuk melindungi investor ritel dari

manipulasi dan judgement error.

C. Pembahasan

1. Overconfidence Merupakan Bias Utama Pengambilan Keputusan Investasi

Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan, baik teori maupun studi-studi empiris

terdahulu menemukan bahwa overconfidence bias merupakan penyimpangan

perilaku utama yang paling banyak dijumpai pada investor ritel maupun

profesional. Teori behavioral finance menjelaskan overconfidence bias membuat

investor individu memiliki rasa percaya diri berlebihan pada kemampuan dirinya

memprediksi pergerakan pasar dan memilih saham unggulan. Akibat keyakinan

yang keliru ini, investor overconfident cenderung meremehkan risiko dan


37

melakukan frekuensi perdagangan yang sangat aktif karena yakin bisa konsisten

melakukan market timing serta stock picking yang menguntungkan.

Studi longitudinal oleh Barber & Odean (2001) yang menganalisis aktivitas 35 ribu

investor individu menemukan investor pria rata-rata melakukan transaksi 45% lebih

banyak dibandingkan investor wanita. Fenomena perdagangan yang aktif ini

merugikan investor pria karena biaya transaksi tinggi dan akurasi pemilihan saham

rendah, sehingga mengurangi tingkat imbal hasil investasi mereka secara signifikan

dibanding investor wanita. Penelitian ini mengonfirmasi teori bahwa aktivitas

perdagangan efek berlebihan merupakan dampak dari overconfidence bias yang

lebih dominan pada kaum pria ketimbang wanita. Demikian pula penelitian oleh

Deaves et al. (2009) menemukan overconfidence terbukti menimbulkan

peningkatan aktivitas perdagangan saham baik di tingkat investor individu maupun

agregat di pasar. Kesimpulan ini sesuai teori bahwa rasa percaya diri yang

berlebihan pada kemampuan analisis dan prediksi membuat investor overconfident

melakukan revisi portofolio secara berlebihan.

Praktik dan pengamatan empiris yang sering dijumpai di pasar modal Indonesia dan

global juga didominasi oleh investor ritel pria dan profesional junior yang

overconfidence. Mereka sering berkeyakinan secara berlebihan mampu melakukan

market timing dan stock picking secara akurat, padahal prediksi mereka seringkali

salah. Akibatnya, overconfidence bias ini menjerumuskan investor pada pola

perdagangan yang terlalu aktif untuk pindah dari satu saham ke saham lain,

sehingga menanggung biaya transaksi tinggi dan opportunity cost karena tidak

memegang saham dengan prospek positif dalam jangka menengah-panjang.


38

Dengan demikian dapat disimpulkan overconfidence merupakan behavioral bias

yang dominan serta konsisten memiliki dampak signifikan terhadap judgement

error dalam prediksi harga, pemilihan saham, dan frekuensi trading yang terlalu

tinggi, sehingga merugikan kinerja investasi. Baik hasil riset akademis maupun

pengamatan empiris membuktikan bahwa mayoritas investor ritel dan profesional

rentan terhadap overconfidence bias ini.

2. Loss Aversion Picu Perilaku Premature Loss Cutting

Perilaku kedua terbanyak yang sistematis diamati pada investor individu dan

institusional adalah loss aversion bias. Menurut teori prospect yang dikembangkan

oleh Kahneman-Tversky, manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan

menghindari potensi kerugian setidaknya dua kali lipat dibanding termotivasi oleh

keuntungan. Inilah yang disebut dengan istilah loss aversion. Akibat sensitivitas

yang berlebihan pada kerugian ini, maka saat menghadapi penurunan nilai

investasinya walau bersifat temporer, investor dengan loss aversion tinggi

cenderung melakukan perilaku premature loss cutting yakni merealisasikan

kerugiannya dengan exit investasi sebelum nilai kembali membaik dalam jangka

panjang.

Studi ilmiah oleh Barber et al. (2021) menemukan loss aversion dan risk seeking

terbukti menjelaskan fenomena underreaction dan overreaction harga saham di

pasar. Sedangkan penelitian oleh Isbanah (2019) mendapati meski memiliki tingkat

loss aversion yang tinggi, investor individu kerap tetap nekat mengambil risiko

karena terjebak behavioral bias overconfidence. Di sisi lain, Odean (1998)


39

membuktikan eksistensi fenomena disposition effect akibat loss aversion, dimana

investor lebih sering melakukan divestasi saham yang mengalami kerugian

sedangkan keuntungan cenderung dipertahankan terlalu lama di portofolio.

Praktik di pasar modal baik domestik maupun global juga kerap diwarnai oleh panik

massal yang dipicu investor guna menghindari potensi kerugian. Hal ini terjadi

contohnya saat pasar global bergejolak karena taper tantrum pada tahun 2013 atau

saat terjadi krisis Covid-19 di awal 2020 yang memicu aksi jual investor secara

besar-besaran. Demikian pula saat IHSG baru-baru ini sempat anjlok 10-20% di

tengah sentimen The Fed tingkatkan suku bunga acuan, kerap dijumpai investor

ritel maupun institusi yang melakukan premature loss cutting walau emiten yang

mereka pegang masih cukup fundamental. Perilaku ini sangat identik dengan teori

dan eksperimen loss aversion effect.

3. Cognitive Reflection Tingkatkan Kapasitas Berpikir Rasional Investor

Konsep mengenai dual cognitive process dalam behavioral finance menjelaskan

bahwa dalam proses judgement dan pengambilan keputusan keuangan, investor

menggunakan interaksi dua sistem, yakni dengan daya nalar intuitif (sistem 1) dan

berpikir reflektif (sistem 2). Sistem 1 bersifat cepat dengan mengandalkan heuristik

dan intuitif, namun rawan bias. Sementara sistem 2 bersifat lambat namun rasional,

logis dan analitis untuk melakukan koreksi yang sistematis. Kemampuan berpikir

reflektif yang tinggi memungkinkan investor mendeteksi inkonsistensi judgement

awal berbasis intuisinya, sehingga mengurangi potensi judgement error perilaku

(behavioral bias) dengan melakukan koreksi rasional yang efektif.


40

Teori Cognitive Reflection Model yang dirumuskan oleh Toplak et al. (2014)

menjelaskan bahwa skor Cognitive Reflection Test (CRT) yang tinggi

mengindikasikan kemampuan individu berpikir secara reflektif guna mengoreksi

kesalahan penalaran intuitif. Penelitian oleh Kurniadi et al. (2022) membuktikan

literasi dan kemampuan numerik investor berpengaruh positif signifikan terhadap

rasionalitas keputusan investasi. Demikian pula penelitian Sobkow et al. (2023)

yang memvalidasi CRT sebagai alat ukur kemampuan berpikir reflektif yang

efektif. Semakin investor memiliki skor CRT tinggi, semakin sedikit perilaku bias

karena judgement error dapat terdeteksi dan dikoreksi melalui proses kognitif

reflektifnya.

Praktik di lapangan menunjukkan investor ritel dan profesional yang berpendidikan

dan berpengalaman di bidang keuangan, akuntansi atau teknik/matematika,

umumnya lebih rasional dalam judgement valuation dan pengambilan keputusan

investasinya. Mereka lebih teliti dan sabar melakukan analisis kuantitatif

fundamental maupun teknikal sebelum trading. Selain itu investor dengan latar

belakang tersebut juga tidak mudah terbawa sentimen pasar (herd mentality)

ataupun pernyataan bombastis di media massa/sosial. Perilaku mereka sangat sesuai

dengan konstruk teoritis bahwa kapasitas berpikir reflektif yang tinggi mampu

meminimalkan bias perilaku irasional.

4. Investor Belum Sepenuhnya Rasional & Bebas Behavioural Bias

Secara keseluruhan, behavior finance telah memberikan kritik dan bukti-bukti

inkonsistensi terhadap asumsi standar teori keuangan (standard finance theory)

yang meganggap investor selalu rasional dan pasar efisien. Berbagai eksperimen
41

dan survei perilaku investor telah banyak membuktikan bahwa pada kenyataannya

investor individu dan institusional tidak selalu rasional, namun rentan dipengaruhi

oleh berbagai jenis bias perilaku dan emosi (behavioral bias) yang justru systemic

dan dapat diprediksi. Kondisi psikologis investor ini kerap memengaruhi penilaian

aset, imbal hasil investasi, hingga stabilitas agregat pasar pada situasi dan waktu

tertentu.

Pengamatan praktik di bursa efek, baik domestik ataupun global sepanjang sejarah

juga menunjukkan berkali-kali pasar diwarnai euforia yang berlebihan hingga

ratusan persen (mania/bubble phase) maupun aksi panic selling massal

(krach/distress selling) yang mengakibatkan penurunan drastis dalam waktu

singkat. Perilaku investor ini jelas inkonsisten dengan asumsi makhluk rasional

pada efficient market hypothesis. Volatilitas pasar juga seringkali tidak sebanding

dengan fundamental emiten atau kondisi ekonomi yang ada. Ini semua sangat sesuai

dengan pemaparan berbagai jenis behavioural bias oleh teori dan studi ilmiah

behavioral finance.

5. Perlunya Mitigasi Behavioural Bias & Kebijakan Perlindungan Investor

Mengingat investor individu dan institusional terbukti sangat rentan terhadap

berbagai macam bias perilaku yang justru bersifat sistematis dan berdampak

signifikan terhadap judgement error pengambilan keputusan investasi mereka, baik

teori maupun praktik menyarankan perlunya upaya mitigasi atau minimalisasi

behavioural bias. Upaya ini dapat berupa edukasi dan sosialisasi mengenai jenis-

jenis bias perilaku beserta studi kasus dampaknya, sehingga investor menyadari dan

introspeksi diri, serta meningkatkan kewaspadaan. Regulator juga perlu menyusun


42

framework atau blueprint yang mewajibkan skema investasi kolektif dan manajer

investasi untuk mengidentifikasi indikasi perilaku berbias guna mencegah atau

menghindari judgement error. Di sisi lain, temuan penelitian behavior finance harus

menjadi pertimbangan Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan dalam menyusun

kebijakan perlindungan konsumen investor ritel, mengingat secara umum mereka

sangat rentan perilaku investasi yang irasional dan rawan dimanipulasi oleh para

pelaku pasar.

6. Prospek Studi Behavioral Finance Ke Depan

Perkembangan studi dan literatur mengenai topik behavioral finance diprediksi

akan terus meningkat pesat pada dekade mendatang. Beberapa peluang penelitian

behavioral finance ke depan yang menarik antara lain eksplorasi variabel perilaku

tertentu (behavioral metrics) yang berpotensi dijadikan indikator dini munculnya

judgement error akibat bias tertentu pada investor individu maupun institusional.

Dengan demikian dapat dilakukan intervensi preventif untuk mencegah atau

memitigasi dampak judgement error perilaku mereka. Kemudian survei nasional

maupun lintas negara guna pemetaan governance indicator dan perilaku investment

bias yang dominan pada investor ritel dan profesional di masing-masing yurisdiksi.

Selain itu, implementasi dan validasi model kuantitatif behavioral finance untuk

pengembangan investasi algoritma yang mampu meniru atau bahkan melampaui

keputusan investasi manusia. Model ini diharapkan mampu meminimalkan sistem

pengambilan keputusan yang rawan bias perilaku dan emosi.

Dengan pesatnya perkembangan studi akademis mengenai topik behavior finance

ini, maka stabilitas dan tingkat efisiensi agregat pasar modal global di masa
43

mendatang diperkirakan akan semakin meningkat. Regulator juga diperkirakan

memiliki pedoman kebijakan yang lebih baik dengan bertumpu pada temuan hasil

riset perilaku investor terkini. Dengan demikian perilaku investasi irasional yang

sistemik seperti herd behaviour/bandwagon effect, under-diversification maupun

panic selling dapat lebih dimitigasi atau bahkan dihindari di masa mendatang.
44

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Overconfidence merupakan behavioral bias utama yang paling banyak dijumpai

dan berpengaruh signifikan terhadap judgement error investor individu dalam

hal akurasi prediksi harga saham, market timing, pemilihan saham, hingga

frekuensi perdagangan yang berlebih. Hal ini dibuktikan oleh teori behavioral

finance, studi-studi terdahulu, serta praktik empiris di pasar modal yang

menunjukkan aktivitas perdagangan berlebih dan kinerja buruk investor akibat

keyakinan yang over terhadap kemampuan analisis dan keputusan investasinya.

2. Loss aversion merupakan bias perilaku terbesar kedua setelah overconfidence,

yang kerap memicu investor melakukan premature loss cutting walau prospek

investasinya positif dalam jangka panjang. Temuan teori prospect, sejumlah

studi empiris dan praktik pengamatan mengonfirmasi kecenderungan

menghindari kerugian yang berlebihan inilah yang memicu investor bertindak

tidak konsisten dengan melakukan aksi jual tergesa-gesa hanya karena

penurunan nilai investasi bersifat sementara.

3. Tingkat kapasitas kognitif reflektif yang diukur dengan Cognitive Reflection

Test (CRT) terbukti meningkatkan rasionalitas pengambilan keputusan

investasi. Investor dengan CRT skor tinggi mampu mendeteksi dan melakukan

koreksi sistematis terhadap judgement error akibat bias perilaku karena

mengandalkan intuisi. Investor dengan literasi dan pengetahuan keuangan yang

baik terbukti lebih rasional dan hati-hati karena mampu melakukan analisis
45

kuantitatif dan tidak mudah terbawa sentimen pasar dalam mengambil

keputusan investasinya.

4. Secara keseluruhan investor individu dan institusional terbukti masih belum

sepenuhnya rasional seperti yang diasumsikan standar teori keuangan klasik.

Kajian behavior finance dan fenomena empiris volatile clustering di pasar

modal membuktikan keputusan investasi masih sangat dipengaruhi bias

sistematis akibat keterbatasan kognitif dan emosi manusiawi.

5. Pengenalan behavior finance perlu digalakkan untuk edukasi investor mengenai

bias perilaku yang potensial merugikan pengambilan keputusan investasi.

Regulator juga disarankan menerapkan kebijakan yang mendorong perilaku

investasi lebih rasional, serta melindungi investor ritel dari judgement error

akibat manipulasi informasi dan tekanan emosi.

6. Studi akademik behavior finance diperkirakan semakin berkembang pesat pada

dekade mendatang, terutama eksplorasi behavioral metrics guna deteksi dini

judgement investor error, survei identifikasi bias dominan tiap yurisdiksi, serta

penerapan model kuantitatif perilaku pada pengembangan investasi algoritma

bebas human bias.

B. Saran

1. Investor individu maupun institusional perlu meningkatkan kewaspadaan

terhadap potensi bias perilaku (behavioural bias) yang dapat merugikan

judgement pengambilan keputusan investasi mereka. Beberapa jenis bias yang

perlu diwaspadai antara lain: overconfidence bias yang membuat terlalu percaya

diri sehingga frekuensi transaksi berlebih dan meremehkan risiko; loss aversion
46

bias yang membuat terlalu sensitif pada kerugian hingga melakukan premature

loss cutting; serta herd mentality bias yang membuat ikut-ikutan keputusan

investor mayoritas tanpa analisis mendalam terlebih dahulu.

2. Investor disarankan mengasah kemampuan berpikir reflektif dan rasa skeptis

dengan lebih banyak belajar metode analisis kuantitatif, membaca literatur

investasi berbasis riset, serta mengikuti edukasi dan berbagi pengalaman

dengan komunitas investor rasional. Mengonsumsi informasi dari media sosial

dan interaksi analis / investor lain justru perlu diwaspadai agar tidak mudah

terprovokasi emosi.

3. Regulator OJK dan BEI sangat disarankan untuk secara massif dan intensif

melakukan program edukasi mengenai behavioural finance kepada investor ritel

agar mereka memahami dampak judgement error perilaku yang dapat

merugikan investasinya. Program sosialisasi yang menarik dan mudah

dipahami melalui media sosial, youtube channel, hingga pendekatan

gamification perlu dirancang guna meningkatkan awareness investor.

4. Manajer investasi dan advisor keuangan sangat dianjurkan mempelajari

behavioral finance agar mampu mendiagnosis apakah klien atau nasabahnya

rentan judgement error perilaku tertentu, sehingga bisa memberikan advis

investasi yang prudent.

5. Akademisi dan praktisi sangat disarankan melakukan penelitian dengan

pendekatan interdisipliner yang menggabungkan perilaku keuangan, ekonomi

eksperimental dan neurosains untuk memahami akar penyebab investor error

judgement serta alternatif mitigasinya. Survei nasional atau komparatif antar


47

negara mengenai bias perilaku dominan tiap latar belakang demografi investor

perlu dilakukan secara berkala.

Demikian penulis sampaikan beberapa rekomendasi spesifik bagi para pemangku

kepentingan guna mitigasi dan pencegahan dampak merugikan dari perilaku

investasi yang irasional akibat judgement error. Tentunya saran ini dapat

dieksplorasi dan disempurnakan lebih lanjut melalui studi maupun diskusi

kelompok terarah di masa mendatang.


48

DAFTAR PUSTAKA

Baker, H. K., & Nofsinger, J. R. (2002). Psychological biases of investors. Financial


services review, 11(2).

Baker, M., & Wurgler, J. (2012). Comovement and predictability relationships


between bonds and the cross-section of stocks. Review of Asset Pricing
Studies, 2(1), 57-87.

Barber, B. M., & Odean, T. (2000). Trading is hazardous to your wealth: The
common stock investment performance of individual investors. The journal of
Finance, 55(2), 773-806.

Benartzi, S., & Thaler, R. H. (2007). Heuristics and biases in retirement savings
behavior. Journal of Economic perspectives, 21(3), 81-104.

Dreyer, M., & Lichtenstein, S. (2022). Behavioral Finance, COVID-19, Emotions,


and Financial Decision Making. Risk Analysis, 42(2), 358–366.

Fama, E. F. (1970). Efficient capital markets: A review of theory and empirical


work. The journal of Finance, 25(2), 383-417.

Hirshleifer, D. (2015). Behavioral finance. Annual Review of Financial Economics,


7, 133–159.

Kahneman, D. (2003). A perspective on judgment and choice: mapping bounded


rationality. American psychologist, 58(9), 697.

Kahneman, D., & Riepe, M. W. (1998). Aspects of investor psychology. Journal of


portfolio management, 24(4), 52-65.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1973). On the psychology of prediction.


Psychological review, 80(4), 237.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect theory: An analysis of decision


under risk. Econometrica, 47(2), 263-291.

Kengatharan, L., & Kengatharan, N. (2014). The influence of behavioral factors in


making investment decisions and performance: Study on investors of Colombo
Stock Exchange, Sri Lanka. Asian Journal of Finance & Accounting, 6(1), 1-
23.

Pompian, M. M. (2006). Behavioral finance and wealth management: How to build


optimal portfolios that account for investor biases (Vol. 667). John Wiley &
Sons.
49

Sadi, R., Jaffar, R., Nagayev, R., Yu, X., Karanina, T., & Mardanov, I. (2021).
Behavioral biases in financial decision-making and investment portfolios: A
systematic literature review. The Journal of Asian Finance, Economics, and
Business, 8(2), 565-575.

Dreyer, M., & Lichtenstein, S. (2022). Behavioral Finance, COVID-19, Emotions,


and Financial Decision Making. Risk Analysis, 42(2), 358–366.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect Theory: An Analysis of Decision


under Risk. Econometrica, 47(2), 263-291.

Kengatharan, L., & Kengatharan, N. (2014). The influence of behavioral factors in


making investment decisions and performance: Study on investors of Colombo
Stock Exchange, Sri Lanka. Asian Journal of Finance & Accounting, 6(1), 1-
23.

Sadi, R., Jaffar, R., Nagayev, R., Yu, X., Karanina, T., & Mardanov, I. (2021).
Behavioral biases in financial decision-making and investment portfolios: A
systematic literature review. The Journal of Asian Finance, Economics and
Business, 8(2), 565-575.

Thaler, R.H. (2005). Advances in Behavioral Finance, Volume II. Princeton


University Press.

Thoma, V., White, E., Panigrahi, A., & Strowger, V. (2015). Good thinking or gut
feeling? Cognitive reflection and intuition in traders, bankers and financial
non-experts. PloS one, 10(4), e0123202.

Toplak, M. E., West, R. F., & Stanovich, K. E. (2011). The Cognitive Reflection
Test as a predictor of performance on heuristics and biases tasks. Memory &
Cognition, 39, 1275–1289.

Toplak, M. E., West, R. F., & Stanovich, K. E. (2014). Assessing miserly


information processing: An expansion of the Cognitive Reflection Test.
Thinking & Reasoning, 20(2), 147-168.

Barber, B. M., & Odean, T. (2000). Trading is hazardous to your wealth: The
common stock investment performance of individual investors. The journal of
Finance, 55(2), 773-806.

Devenow, A., & Welch, I. (1996). Rational herding in financial economics.


European Economic Review, 40(3-5), 603-615.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect Theory: An Analysis of Decision


under Risk. Econometrica, 47(2), 263-291.

Odean, T. (1998). Volume, volatility, price, and profit when all traders are above
average. The journal of finance, 53(6), 1887-1934.
50

Thaler, R. H. (1999). Mental accounting matters. Journal of Behavioral decision


making, 12(3), 183-206.

Barberis, N., Jin, L. J., & Wang, B. (2021). Prospect theory and stock market
anomalies. The Journal of Finance, 76(5), 2639-2687.

Pradnyawati, N. L. P. E. (2022). Analisis Keputusan Investasi Pada Generasi


Millenial Di Pasar Modal Saat Pandemi Covid-19. Bisma: Jurnal Manajemen,
8(2), 428-437.

Kurniadi, A. C., Sutrisno, T. F., & Kenang, I. H. (2022). The Influence of Financial
Literacy and Financial Behavior on Investment Decision for Young Investor in
Badung District, Bali. Matrik: Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis Dan
Kewirausahaan, 323.

Siregar, K. R. K., Hasibuan, S. H. N., Hsb, S., & Dewi, S. (2023). Persepsi Investor
Millenial dalam Menggunakan Online Trading System. Maktabatun: Jurnal
Perpustakaan dan Informasi, 3(1), 59-63.

Rahma, N. (2023). Analisis faktor yang memengaruhi keputusan investasi generasi


millennial. Jurnal Ilmu Manajemen, 522-535.

Alice, A., & Haryanto, H. (2022). Dampak behavioral finance terhadap keputusan
investasi dengan persepsi risiko sebagai variabel moderasi pada masyarakat
Kota Batam. MBIA, 21(2), 159-173.

Istiadi, W., & Djumahir, S. E. (2017). Pengaruh Behavioral Finance Dalam


Pengambilan Keputusan Investasi Beresiko (Studi Eksperimen Pada
Mahasiswa Jurusan Manajemen Konsentrasi Keungan FEB-UB). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FEB, 5(2).

Isbanah, Y. (2019). Pengaruh Financial Literacy Dan Behavioral Finance Factors


Terhadap Keputusan Investasi (Studi Terhadap Investor Saham Syariah Pada
Galeri Investasi Syariah Uin Sunan Ampel Surabaya).

Mutawally, F. W., & Asandimitra, N. (2019). Pengaruh financial literacy, risk


perception, behavioral finance dan pengalaman investasi terhadap keputusan
investasi mahasiswa surabaya. Jurnal Ilmu Manajemen (JIM), 7(4), 942-953.

Desrita, L., & Marheni, D. K. (2022). The Influence of Financial Behavior with
Risk Perception as Moderation in Determining Investment Decisions in Batam
City. Inovbiz: Jurnal Inovasi Bisnis, 10(2), 184-193.

Are Professional Investors Prone to Behavioral Biases? Evidence from Mutual


Fund Managers. Evidence from Mutual Fund Managers (October 1, 2019).
51

Kumar, S., & Goyal, N. (2015). Behavioural biases in investment decision making–
a systematic literature review. Qualitative Research in financial markets, 7(1),
88-108.

Painoli, G. K. (2016). A study on behavioral biases and personal investment


decision: Recent Systematic.

Sobkow, A., Olszewska, A., & Sirota, M. (2023). The factor structure of cognitive
reflection, numeracy, and fluid intelligence: The evidence from the Polish
adaptation of the Verbal CRT. Journal of Behavioral Decision Making, 36(2),
e2297.

Sadi, R., Asl, H. G., Rostami, M. R., Gholipour, A., & Gholipour, F. (2011).
Behavioral finance: The explanation of investors’ personality and perceptual
biases effects on financial decisions. International journal of economics and
finance, 3(5), 234-241.

Deaves, R., Lüders, E., & Luo, G. Y. (2009). An experimental test of the impact of
overconfidence and gender on trading activity. Review of finance, 13(3), 555-
575.

Anda mungkin juga menyukai