Anda di halaman 1dari 33

GREEN BUSINESS DAN GREEN ACCOUNTING

SERTA KASUS-KASUS TERKAIT

(SEMINAR AKUNTANSI KEUANGAN)

Disusun oleh :

Kelompok 5

Andini Eleshya Putri (1910531011)

Khovifah Aviza (1910531032)

Dilla Fauziah (1910532007)

Pho Cut Farra Fazrina (1910532036)

Dosen pengampu :

Dr. Annisa Rahman, S.E., M.Si,. Ak,. CA.

DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ANDALAS

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, karena telah memberikan kepada umat manusia Al-Qur'an,
yang berfungsi sebagai panduan ke jalan kebenaran. Shalawat serta salam untuk makhluknya
yang paling agung, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya ke jalan kebahagiaan
dunia dan akhirat.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Seminar Akuntansi Keuangan.
Pada makalah ini, Kami memaparkan dan menjelaskan tentang “Green Business dan Green
Accounting Serta Kasus – Kasus Terkait”. Makalah ini dibuat dengan bantuan dan dukungan dari
beberapa anggota, serta berbagai sumber yang digunakan sebagai bahan referensi untuk makalah
ini yang sangat penting untuk keberhasilan penyelesaiannya.

Kami memohon maaf jika ada kekurangan atau kesalahan dalam isi atau struktur
kebahasaan selama pembuatan makalah ini, sehingga karya ini jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan demi
kesempurnaan laporan yang penulis buat ini. Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi
para pembaca dan bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Padang, 13 Desember 2022

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Green business pertama kali diperkenalkan di dunia sekitar akhir abad 20 untuk
meningkatkan kesadaran terhadap masalah lingkungan, yang kemudian mendorong
kesadaran perilaku pembelian konsumen terhadap produk green atau produk ramah
lingkungan (Rahbar & Wahid, 2011). Pada tahun 1992, para pemimpin bisnis dunia terlibat
dalam Earth Summit di Rio Jeneiro, Brazil. Konferensi yang diinisiasi oleh investor asal
Swiss, Stephan Schimidheiny tersebut membahas tentang isu-isu lingkungan. The UN
Conference on Environment and Development— sebagaimana secara resmi disebut—
mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap lingkungan yang menjadi penyebab
pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi sumber daya alam, dan
seterusnya. Ratusan CEO dunia menghadiri konferensi tersebut dan mulai menanyakan
bagaimana peran perusahaan mereka untuk pelestarian lingkungan.
Keterlibatan para CEO tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana yang kita ketahui,
setiap sumber daya alam yang ada di bumi ini dikelola oleh perusahaan. Contohnya di
Indonesia, minyak bumi dan gas diproduksi oleh Pertamina, semen diproduksi oleh Semen
Indonesia, emas dan nikel diproduksi oleh Freeport dan masih banyak perusahaan lainya.
Proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut hampir selalu menghasilkan emisi
yang dapat merusak kualitas lingkungan dan masyarakat. Seperti yang dilansir oleh berita
online Guardian, sebanyak 90 perusahaan menghasilkan hampir dua dari tiga emisi buatan
manusia yang menjadi penyebab pemanasan global. Di antara perusahaan-perusahaan
tersebut terdapat nama-nama besar seperti Chevrion, Exxon, dan BP. Tidak hanya
perusahaan manufaktur, perusahaan jasa juga berpotensi untuk menghasilkan emisi seperti
perusahaan jasa transportasi.
Selain pencemaran udara, pengolahan sumber daya alam oleh perusahaan juga
menyebabkan deplesi. Deplesi mengancam keseimbangan ekosistem yang akan berdampak
luas bagi lingkungan. Misalnya, pengalihan fungsi hutan untuk kepentingan produksi
perkebunan kelapa sawit. Cadangan minyak bumi dunia juga semakin menipis. Laporan dari
Biritish Petrolium (BP) pada tahun 2014 menunjukan bahwa cadangan minyak dunia hanya
bisa mendukung proses produksi untuk 52 tahun ke depan. Hal ini menuntut perusahaan
yang menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi harus berusaha lebih keras untuk
melakukan efisiensi energi. Masih banyak lagi data statistik yang menunjukkan deplesi
sumber daya alam lainnya. Oleh karena itu, perusahaan sebagai salah satu pengguna terbesar
sumber daya alam harus memimpin inisiatif efisiensi sumber daya alam, pengurangan emisi,
dan pengembangan energi baru terbarukan. Upaya tersebut disebut dengan green business.
Berdasarkan fakta di atas, akuntansi sebagai alat kontrol dan penyedia informasi
untuk pengambilan keputusan akan memainkan peran yang cukup penting dalam konstelasi
dunia bisnis. Informasi yang diberikan oleh akuntansi akan menjadi salah satu faktor
kesuksesan implementasi green business. Selama ini, informasi akuntansi sangat identik
digunakan untuk kepentingan investor sebagai pengguna utama. Bagi investor, informasi
akuntansi memberikan gambaran mengenai kinerja dan prospek keuangan suatu entitas.
Sistem informasi akuntansi konvensional tidak memberikan informasi mengenai dampak
yang dihasilkan perusahaan terhadap lingkungan. Informasi akuntansi konvensional juga
tidak memberikan gambaran mengenai risiko-risiko yang akan dihadapi perusahaan
berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan semakin meningkatnya
kepedulian terhadap isu lingkungan, para pemangku kepentingan terutama NGO,
masyarakat, dan pemerintah menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang
berkaitan dengan dampak lingkungan yang mereka sebabkan. Pada titik inilah akuntansi
akan memberikan informasi yang berkaitan dengan environmental performance sebuah
perusahaan.
Akuntansi lingkungan atau green accounting memberikan informasi mengenai
revenue dan expense atas kinerja perusahaan dalam upaya perlindungan terhadap
lingkungan. Bell dan Lehman (1999) mengatakan, green accounting adalah sebuah konsep
yang baru dalam dunia akuntansi yang mendukung green movement sebuah perusahaan atau
organisasi dengan cara mengakui, mengukur, menghitung, dan mengungkapkan kontribusi
lingkungan terhadap proses bisnis. Informasi green accounting biasanya dilaporkan dalam
environmental cost. Menurut Don R. Hansen dalam bukunya Cost Management,
environmental cost adalah biaya yang timbul akibat kualitas lingkungan yang buruk terjadi
atau mungkin terjadi. Oleh karena itu, environmental cost berhubungan dengan
pembentukan, pendeteksian, perbaikan, dan pencegahan atas degradasi lingkungan. Seperti
laporan keuangan lainnya, environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat kontrol dan
evaluasi atas environmental peformance. Misalnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan pada suatu periode untuk pembersihan sungai karena limbah pabrik. Monterary
value nya digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajer untuk pengambilan keputusan
pada periode berikutnya. Environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat analisis
untuk meningkatkan efisiensi perusahaan terhadap penggunaan sumber daya alam. Tujuan
akhir dari environmental cost adalah untuk mencapai sustainable business dan sustainable
development.

Green accounting adalah sebuah konsep akuntansi dimana konsep tersebut


menghubungkan atau menginput biaya-biaya lingkungan dalam suatu perusahaan agar
terjaganya kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan tersebut. Pada masa sekarang
masyarakat menyadari akan pentingnya pelestarian lingkungan, oleh karena itu penerapan
green accounting oleh suatu industri atau perusahaan akan menjadi daya tarik bagi
konsumen. . Di Indonesia, sejak tahun 2010 pemerintah telah mendorong industri untuk
melakukan praktik industri hijau atau green accounting. Disebutkan bahwa pemerintah
setiap tahunnya telah memberikan penghargaan kepada industri yang sudah menjalankan
praktik industri hijau, ini adalah bentuk upaya yang dilakukan pemerintahan Indonesia.
Penghargaan ini juga dijadikan motivasi oleh pemerintah untuk mendorong para pelaku
industri untuk mengimplementasikan praktik industri hijau.

Jadi faktor utama yang menyebabkan perusahaan harus menerapkan green accounting
atau akuntansi lingkungan yaitu kebutuhan pengguna atau user needs. Pada dasarnya,
pengguna laporan keuangan hanya membutuhkan informasi sosial dan lingkungan untuk
membuat keputusan alokasi dananya. Beberapa orang menyatakan bahwa pemegang saham
atau investor bersifat konservatif dan hanya peduli terhadap tingkat pengembalian investasi
atau dividen. Kenyataannya sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Marc Epstein pada
pemegang saham, mereka menginginkan perusahaan memanfaatkan sumber dayanya agar
lingkungan bersih, menghentikan polusi lingkungan dan membuat produk aman.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi green business dan green accounting
2. Apa karakteristik dari green business?
3. Apa fungsi dari green accounting?
4. Bagaimana sifat dasar green accounting?
5. Apa alasan penerapan green accounting?
6. Bagaimana peran green accounting?
7. Bagaimana contoh penerapan green business dan green accounting pada perusahaan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi green business dan green accounting.
2. Untuk mengetahui karakteristik dari green accounting.
3. Untuk mengetahui fungsi dari green accounting.
4. Untuk mengetahui sifat dasar green accounting.
5. Untuk mengetahui alasan penerapan green accounting.
6. Untuk mengetahui peran green accounting
7. Untuk mengetahui contoh penerapan green business dan green accounting pada
perusahaan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Green Business


2.1.1 Green Business
Green business adalah sebuah konsep di dalam dunia bisnis dimana perusahaan
menjalankan bisnis tidak hanya berorientasi pada profit atau keuntungan yang didapat
tetapi perusahaan juga memperhatikan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari
kegiatan usaha yang mereka lakukan. Dampak yang dimaksud disini bisa berupa dampak
pada masyarakat yang berada disekitar tempat perusahaan tersebut beroperasi
“lingkungan yang terdampak”, bagaimana penggunaan sumber daya didalam perusahaan
tersebut. inti dasar dari sebuah green business adalah fokusnya pada keberlanjutan.
(Ernst & Young 2008:11) dalam jurnalnya “Comparative Advantage & Green Business”.
Menurut Eric Koester (2010:8), dalam bukunya yang berjudul “Green
Entrepreneur Handbook”, dituliskan bahwa “Secara umum, green business adalah suatu
bisnis yang bertujuan untuk menciptakan keuntungan dengan terus beroperasi. Perbedaan
green business dengan bisnis biasa yaitu terletak pada saat green business lebih
memperhatikan nilai keberlanjutan dan sumber daya manusia serta green business juga
membutuhkan komitmen yang seimbang antara profitabilitas (finance), keberlanjutan
(sustainability) dan kemanusiaan (humanity).
Sedangkan The Green Times menggunakan definisi sebagai berikut: Green
business yaitu adalah bisnis yang peduli serta mendukung lingkungan dan cenderung
mengutamakan kualitas lingkungan (dikutip oleh Eric Koester 2010:8). Gil Friend
(2009:2) mendefinisikan green business sebagai bisnis yang:
1. Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
2. Mematuhi regulasi tentang lingkungan
3. Melakukan kampanye pelestarian lingkungan
4. Melakukan CSR
5. Memiliki sistem manajemen yang mendukung gerakan hijau
6. Memiliki sertifikat ISO 14001
7. Bisnis yang berkelanjutan
8. Memberdayakan komunitas lokal

Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa green business tidak hanya fokus
terhadap lingkungan alam saja, namun lebih dari itu konsep green business berkaitan
dengan sustainability secara menyeluruh. Sustainability diartikan sebagai hidup dan
melakukan bisnis dengan cara yang tidak mengikis potensi untuk generasi mendatang
berdasarkan triple bottom line (TBL) atau manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial
(Friend, 2009). Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
green business adalah sebuah konsep bisnis yang memberikan kontribusi positif terhadap
lingkungan dan komunitas sosial sekaligus meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
Persyaratan untuk dapat melaksanakan praktik green business adalah pengetahuan
yang mendalam tentang kebutuhan konsumen sekaligus mengetahui kemampuan untuk
memenuhi persyaratan ini dengan kontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Manajer
perlu mengembangkan sistem dan struktur dalam bisnis mereka yang memenuhi
persyaratan praktik green business dan tetap melakukan tujuan bisnis strategis. Beberapa
penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Bized (2010) dan Ghorpade (2004)
menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda. Klasifikasi ini membantu para peneliti
dalam pengelompokan fungsi bisnis menjadi enam kelompok, sehingga dapat
mengurangi duplikasi kegiatan, serta untuk menyederhanakan analisis hasil empiris.
Fungsi dikelompokkan sebagai berikut: manufaktur/operasi, pemasaran/penjualan,
manajemen supply chain/pembelian, distribusi/logistik, sistem keuangan/ sistem
informasi, dan manajemen umum/SDM.

2.1.2 Karakteristik Green Business


Ada karakteristik khusus dari green business yang membedakannya dengan bisnis
lainnya. Dalam jurnalnya yang berjudul Green Business and The Importance of Reflexive
Law: What Michael Porter Didn’t Say, Dennis D. Hirsch (2010:11), mengidentifikasi 9
kategori utama dari perilaku green business. Disebutkan “When firms ‘go green’ they
exceed legal requirement by:
1. Secara langsung mengurangi dampak lingkungan mereka yang diatur, atau tidak
diatur.
2. Mengurangi dampak lingkungan pelanggan mereka dan mengurangi paparan
pelanggan terhadap zat yang tidak sehat
3. Meningkatkan penggunaan kembali dan daur ulang bahan yang digunakan dalam
proses produksi.
4. Meningkatkan efisiensi energi dan memperbanyak pelanggan
5. Meningkatkan produktivitas sumber daya
6. Menerapkan sistem untuk mengidentifikasi pengurangan limbah, pencegahan polusi,
efisiensi energi dan/atau peluang produktivitas sumber daya di seluruh perusahaan
fasilitas
7. Mengumpulkan dan menyebarkan lebih banyak informasi tentang dampak lingkungan
dan kinerja perusahaan yang dibutuhkan undang –undang
8. Memberikan lebih banyak peluang untuk masukan pemangku kepentingan ke dalam
pengambilan keputusan perusahaan daripada yang dibutuhkan undang –undang
9. Membiayai dan perinvestasi dalam Produk Hijau dan Model Bisnis, seperti yang
dijelaskan di atas

Strategies for Sustainable World yang memenangkan ‘Best Article’ di Harvard


Business Review dan membantu dalam meluncurkan ‘the movement for corporate
sustainability’, menyebutkan ada 3 tahapan yang mengerakkan sebuah perusahaan ke
arah keberlanjutan, yaitu:
1. Tahap pertama: Pencegahan Polusi bagi sebagian besar perusahaan seperti membuat
pergeseran dari pengendalian polusi ke pencegahan polusi. Pengendalian polusi
berarti membersihkan limbah setelah beraktifitas. Pencegahan polusi berfokus pada
meminimalkan atau menghilangkan limbah sebelum dibuat.
2. Tahap kedua: Pengelolaan produk tidak hanya berfokus pada pengurangan polusi dari
manufaktur tetapi juga semua dampak lingkungan yang terkait secara menyeluruh
dari siklus produk.
3. Tahap ketiga: Perusahaan teknologi melihat dengan jelas bahwa dimasa depan dapat
mulai merencanakan untuk dan berinvestasi dalam teknologi. Fakta sederhananya
adalah teknologi yang ada di industri tidak berbasis lingkungan yang berkelanjutan.

Menurut Eric Koester (2010:14), Sektor green business memiliki penekanan yang
kuat pada energi. “Bisnis ini berfokus untuk menghasilkan listrik dari yang dari sumber
daya yang bisa diperbaharui dan efisiensi energi, serta yang terlibat dalam jaringan listrik,
alternative Bahan bakar dan transportasi, plastik hijau, dan banyak lainnya. Faktanya,
banyak yang harus bekerja dengannya utilitas agar berhasil”.
Empat kriteria dari green business menurut Cooney dalam Eric Koester (2010:8):
1. Perusahaan menginternalisasikan prinsip-prinsip keberlanjutan bisnis dalam setiap
keputusan bisnis.
2. Perusahaan menghasilkan dan menawarkan produk atau jasa yang ramah lingkungan.
3. Perusahaan tersebut lebih hijau atau lebih peduli lingkungan dibanding perusahaan-
perusahaan kompetitor lainnya.
4. Perusahaan memiliki komitmen berkelanjutan untuk menerapkan prinsip-prinsip
lingkungan dalam operasi bisnisnya.

Green bussiness merupakan salah satu bagian dari green economy yang mensinergikan
nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan (Mutamimah, 2011). Melalui implementasi green
business akan diperoleh suatu sinergi dan kesinambungan antara
a. Tujuan ekonomi, yaitu: keberlangsungan profit dan pertumbuhan perusahaan,
b. Tujuan sosial, yaitu: kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,
c. Tujuan lingkungan, yaitu: terpeliharanya lingkungan dalam jangka panjang

Fenomena green business ini menjadi daya tarik berbagai pihak, baik konsumen maupun
investor. Artinya konsumen akan lebih memilih produk dan jasa yang sehat, berkualitas,
aman dalam jangka panjang dan tidak mencemari lingkungan

2.2 Green Accounting


2.2.1 Definisi Green Accounting
Akuntansi merupakan suatu ilmu yang dipengaruhi dan mempengaruhi
lingkungannya. Eksistensinya tidak bebas nilai terhadap perkembangan masa. Metode-
metode pembukuan juga terus berkembang mengikuti kompleksitas bisnis. Ketika
kepedulian terhadap lingkungan mulai mendapat perhatian masyarakat, akuntansi
berbenah diri agar siap menginternalisasi berbagai eksternalitas.
Belkoui dan Ronald (1991) menjelaskan bahwa budaya merupakan faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan struktur bisnis dan lingkungan sosial, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi akuntansi. Konsekuensi dari wacana akuntansi sosial dan
lingkungan ini pada akhirnya memunculkan konsep Socio Economic Environmental
Accounting (SEEC) yang sebenarnya merupakan penjelasan singkat pengertian Triple
Bottom Line, yaitu pelaporan akuntansi ke publik tidak saja mencakup kinerja ekonomi
tetapi juga kinerja lingkungan dan sosialnya.
Bell dan Lehman (1999) mendefinisikan akuntansi lingkungan sebagai:
“Akuntansi Hijau adalah salah satu konsep kontemporer dalam akuntansi yang
mendukung gerakan hijau di perusahaan atau organisasi dengan mengenali, mengukur,
mengukur, dan mengungkapkan kontribusi lingkungan terhadap proses bisnis”.
Berdasarkan definisi green accounting di atas, maka bisa dijelaskan bahwa green
accounting merupakan akuntansi yang di dalamnya mengidentifikasi, mengukur, menilai,
dan mengungkapkan biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan yang berhubungan
dengan lingkungan (Aniela, 2012).
Sedangkan aktivitas dalam green accounting dijelaskan oleh Cohen dan Robbins
(2011:190) sebagai berikut: “Akuntansi lingkungan mengumpulkan, menganalisis,
menilai, dan menyiapkan laporan data lingkungan dan keuangan dengan maksud untuk
mengurangi efek dan biaya lingkungan. Bentuk akuntansi ini juga merupakan pusat aspek
kebijakan pemerintah. Akibatnya, akuntansi lingkungan telah menjadi aspek kunci dari
bisnis hijau dan pengembangan ekonomi yang bertanggung jawab”.
Melalui penerapan green accounting maka diharapkan lingkungan akan terjaga
kelestariannya, karena dalam menerapkan green accounting maka perusahaan akan
secara sukarela mematuhi kebijakan pemerintah tempat perusahaan tersebut menjalankan
bisnisnya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh De Beer dan Friend (2005)
membuktikan bahwa pengungkapan semua biaya lingkungan, baik internal maupun
eksternal, dan mengalokasikan biaya-biaya ini berdasarkan tipe biaya dan pemicu biaya
dalam sebuah akuntansi lingkungan yang terstruktur akan memberikan kontribusi baik
pada kinerja lingkungan (Aniela; 2012).
Beberapa teori yang mendukung penyampaian laporan pertanggungjawaban sosial
dan lingkungan adalah legitimacy theory dan stakeholder theory (Deegan, 2004:292).
Legitimacy theory menyatakan bahwa perusahaan akan memastikan bahwa mereka
beroperasi dalam batasan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan
tempat perusahaan berada.
Ghozali dan Chariri (2007) menjelaskan bahwa guna melegitimasi aktivitas
perusahaan di mata masyarakat, perusahaan cenderung menggunakan kinerja berbasis
lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan. Sedangkan stakeholder theory
memperhatikan keseluruhan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan.
Stakeholer perusahaan memiliki ekspektasi masing-masing terhadap perusahaan.
Manajemen akan berusaha untuk mengelola dan mencapai harapan stakeholder dengan
penyampaian aktivitas-aktivitas lingkungan dan sosial.

2.2.2 Peraturan yang terkait dengan Green Accounting


1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini
mengatur tentang kewajiban setiap orang yang berusaha atau berkegiatan untuk
menjaga, mengelola, dan memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
lingkungan hidup. Akibat hukum juga telah ditentukan bagi pelanggaran yang
menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
2) Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU ini diatur
kewajiban bagi setiap penanam modal berbentuk badan usaha atau perorangan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, menjaga kelestarian lingkungan
hidup dan menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar. Pelanggaran terhadap
kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis, pembatasan,
pembekuan, dan pencabutan kegiatan dan/atau fasilitas penanaman modal.
3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU ini mewajibkan
bagi perseroan yang terkait dengan sumber daya alam untuk memasukkan
perhitungan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai biaya yang dianggarkan
secara patut dan wajar. Pelanggaran terhadap hal tersebut akan dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-
134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau
Perusahaan Publik. UU ini mengatur mengenai kewajiban laporan tahunan yang
memuat Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) harus menguraikan
aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.
5) Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penetapan Peringkat Kualitas
Aktiva Bagi Bank Umum. Dalam aturan ini aspek lingkungan menjadi salah satu
syarat dalam pemberian kredit. Setiap perusahaan yang ingin mendapatkan kredit
perbankan, harus mampu memperlihatkan kepeduliannya terhadap pengelolaan
lingkungan. Standar pengukur kualitas limbah perusahaan yang dipakai adalah
PROPER. Dengan menggunakan lima peringkat (hitam, merah, biru, hijau, dan emas)
perusahaan akan diperingkat berdasarkan keberhasilan dalam pengelolaan limbahnya.

2.2.3 Sifat Dasar Green Accounting


1) Relevan
Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang valid terkait dengan manfaat
biaya pelestarian yang dapat memberikan dukungan dalam pengambilan keputusan
stakeholder. Namun, pertimbangan harus diberikan kepada materialitas dan
signifikansi dari relevansi. Dalam akuntansi lingkungan, materialitas ditempatkan
pada aspek kuantitas dan signifikansi ditempatkan pada aspek kualitas. Dari sudut
pandang materialitas, perhatian diberikan kepada dampak kuantitatif dari data yang
dinyatakan dalam nilai moneter atau unit fisik. Sedangkan signifikansi berfokus pada
kualitas informasi dari sudut pandang pelestarian lingkungan atau dampak masa
depan yang dibawanya.
2) Andal
Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang akurat atau tidak bias dan
dapat memberikan bantuan dalam membangun kepercayaan stakeholder.
Pengungkapan informasi akuntansi lingkungan seharusnya tidak hanya menjadi
formalitas belaka untuk sekedar memenuhi persyaratan undang-undang yang berlaku.
Bila perlu, perusahaan harus menentukan metode yang tepat dan sesuai dengan
pengungkapan dan secara akurat dapat menggambarkan kegiatan lingkungan yang
sebenarnya. Dalam hal pengungkapan informasi tersebut tidak sepenuhnya
dikomunikasikan mengikuti format yang ditetapkan oleh undang-undang. Informasi
tambahan yang diperlukan harus disediakan untuk lebih menjelaskan realitas secara
lengkap.
3) Mudah dipahami
Dengan tujuan pengungkapan data akuntansi lingkungan yang mudah untuk
dipahami, akuntansi lingkungan harus menghilangkan setiap kemungkinan timbulnya
penafsiran yang keliru tentang kegiatan pelestarian lingkungan. Untuk memastikan
bahwa informasi yang diungkapkan mudah dipahami bagi para pemangku
kepentingan, kata-kata harus dibuat sesederhana mungkin.
4) Dapat dibandingkan
Akuntansi dapat dibandingkan dari tahun ke tahun bagi sebuah perusahaan dan juga
dapat di bandingkan antar perusahaan yang berbeda di sektor yang sama. Adalah
penting untuk memastikan keterbandingan agar tidak menciptakan kesalahpahaman
antara stakeholder. Namun, karena fakta bahwa pengungkapan akuntansi lingkungan
bersifat independen dan berbeda-beda, perbandingan yang sederhana pun ulit
dilakukan ketika terdapat perbedaan sektor bisnis dan jenis operasi. Oleh karena itu,
dalam kasus-kasus di mana metode yang kompleks telah dipilih dan ditetapkan dalam
suatu pedoman untuk digunakan sebagai dasar untuk perbandingan, isi dari metode
tersebut harus dinyatakan dengan jelas dan ketelitian harus dilakukan agar tidak
menghasilkan kesalahpahaman antara stakeholder.
5) Dapat dibuktikan
Data akuntansi lingkungan harus diverifikasi secara objektif.

2.2.4 Alasan Penerapan Green Accounting


Aktivitas-aktivitas implementasi green accounting tentunya mengeluarkan biaya.
Aktivitas tersebut merupakan biaya yang harus dibebankan oleh perusahaan. Dengan
beban yang telah dialokasikan diharapkan akan membentuk lingkungan yang terjaga
kelestariannya. Kinerja lingkungan merupakan salah satu pengukuran penting dalam
menunjang keberhasilan perusahaan.
Beberapa alasan yang dapat mendukung pelaksanaan akuntansi lingkungan antara lain
(Fasua, 2011):
1) Biaya lingkungan secara signifikan dapat dikurangi atau dihilangkan sebagai hasil
dari keputusan bisnis, mulai dari perubahan dalam operasional dan pemeliharaan
untuk diinvestasikan dalam proses yang berteknologi hijau serta untuk perancangan
kembali produk yang dihasilkan.
2) Biaya lingkungan jika tidak mendapatkan perhatian khusus akan menjadi tidak jelas
dan masuk dalam akun overhead atau bahkan akan diabaikan.
3) Banyak perusahaan telah menemukan bahwa biaya lingkungan dapat diimbangi
dengan menghasilkan pendapatan melalui penjualan limbah sebagai suatu produk.
4) Pengelolaan biaya lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan perbaikan kinerja
lingkungan dan memberikan manfaat yang signifikan bagi kesehatan manusia serta
keberhasilan perusahaan.
5) Memahami biaya lingkungan dan kinerja proses dan produk dapat mendorong
penetapan biaya dan harga produk lebih akurat dan dapat membantu perusahaan
dalam mendesain proses produksi, barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan
untuk masa depan.
6) Perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang didapat dari proses, barang, dan
jasa yang bersifat ramah lingkungan. Brand image yang positif akan diberikan oleh
masyarakat karena keberhasilan perusahaan dalam memproduksi barang dan jasa
dengan konsep ramah lingkungan (Schaltegger dan Burritt, 2000 dalam Arisandi dan
Frisko, 2011). Hal ini berdampak pada segi pendapatan produk, yaitu memungkinkan
perusahaan tersebut untuk menikmati diferensiasi pasar, konsumen memiliki
kecenderungan untuk bersedia membayar harga yang mahal untuk produk yang
berorientasi lingkungan dengan harga premium (Aniela, 2012).
7) Akuntansi untuk biaya lingkungan dan kinerja lingkungan dapat mendukung
perkembangan perusahaan dan operasi dari sistem manajemen lingkungan secara
keseluruhan. Sistem seperti ini akan segera menjadi keharusan bagi perusahaan yang
bergerak dalam perdagangan internasional karena adanya persetujuan berlakunya
standar internasional ISO 14001.
8) Pengungkapan biaya lingkungan akan meningkatkan nilai dari pemegang saham
karena kepedulian perusahaan terhadap pelestarian lingkungan. Pemegang saham
perusahaan dapat lebih mudah dan cepat mendapatkan informasi dari pengungkapan
tersebut sehingga dapat mempermudah pengambilan keputusan (Arisandi dan Frisko,
2011). Selain itu, Alexopoulus et al. (2011) menunjukkan bahwa perbaikan kinerja
lingkungan adalah potensi sumber keunggulan kompetitif yang mengarah ke proses
yang lebih efisien, peningkatan produktivitas, biaya kepatuhan lebih rendah dan
peluang pasar baru.

Selain itu, Alexopoulus et. Al (2011) menunjukkan bahwa perbaikan kinerja


lingkungan adalah potensi sumber keunggulan kompetitif yang mengarah ke proses yang
lebih efisien, peningkatan produktivitas, biaya kepatuhan lebih rendah dan peluang pasar
baru. Dengan demikian, mengintegrasikan akuntansi lingkungan ke dalam sistem
informasi akuntansi perusahaan sangat penting. Memiliki sistem akuntansi lingkungan
yang tepat akan memungkinkan manajemen untuk membuat keputusan yang lebih tepat
mengenai hal-hal tersebut. Sistem ini memberikan analisis yang lebih baik atas biaya
lingkungan dan dapat mengungkapkan peluang yang mungkin bisa meningkatkan
pendapatan antara lain seperti daur ulang dari bahan baku, desain produk dan proses
manufaktur yang lebih baik. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menekankan pentingnya
akuntansi lingkungan dalam suatu organisasi dan untuk bangsa sebaiknya bersikap 'green'
bahwa minimisasi limbah dan skema efisiensi energi dapat dan akan menghasilkan
manfaat ekonomi yang besar bagi organisasi.

2.2.5 Peran Green Accounting


Akuntansi lingkungan memiliki peran penting terhadap perusahaan yang
menjalankan aktivitasnya. Akuntansi lingkungan memiliki 3 peran penting terhadap
akuntasi menurut adnyana et al, (2009) sebagai berikut :
1. Dalam akuntansi keuangan, akuntansi lingkungan berperan untuk memberikan
tambahan informasi melalui pengungkapan wajar atau dalam data kuantitatif pada
komponen laporan keuangan yang diterbitkan secara berkala serta menunjukkan
kegiatan dan hasil operasional perusahaan yang mencakup dimensi ekonomi, sosial,
dan lingkungan.
2. Dalam akuntansi biaya, akuntansi lingkungan digunakan untuk alokasi biaya yang
wajar dan pengendalian segala aktivitas perusahaan yang berkaitan dengan
perusahaan.
3. Dalam akuntansi manajemen, akuntansi lingkungan berperan dalam pengambilan
keputusan manajemen Adapun beberapa penelitian terdahulu.

Green Accounting atau akuntansi lingkungan membantu mengukur performa


lingkungan yang terkait dengan peran sosial yang dilakukan oleh perusahaan termasuk
pemahaman, pengukuran, pengaturan biaya, dan pendapatan lingkungan. Kinerja
lingkungan di Indonesia dinilai dengan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan) oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. PROPER dikembangkan
dengan beberapa prinsip dasar, yaitu peserta PROPER bersifat selektif, untuk industri
yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dan peduli dengan citra atau
reputasi. PROPER memanfaatkan masyarakat dan pasar untuk memberikan tekanan
kepada industri agar meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan. Informasi mengenai
kinerja perusahaan dikomunikasikan dengan menggunakan warna untuk memudahkan
penyerapan informasi oleh masyarakat. Peringkat kinerja usaha dan atau kegiatan yang
diberikan terdiri dari:
1. Emas adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan
keunggulan lingkungan dalam proses produksi atau jasa, melaksanakan bisnis yang
beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
2. Hijau adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan
lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance)
melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara
efisien dan melakukan upaya tanggung jawab sosial dengan baik.
3. Biru adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan
lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Merah adalah upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan belum sesuai dengan
persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5. Hitam adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau
melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan
serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak
melaksanakan sanksi administrasi.

Penilaian merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menyesuaikan aktivitas perusahaan


dengan komponen penilaian yang memiliki tingkatan. Penilaian PROPER didasarkan
pada 3 komponen utama yaitu:
1. Sistem Manajemen Penilaian
Dalam penilaian Proper ini, suatu unit bisnis dianggap memiliki Sistem Manajemen
Lingkungan (SML) jika:
a. Aspek-aspek lingkungan yang dikelola dalam sistem tersebut diidentifikasi
berdasarkan dampak dari kegiatan, produk atau juga yang dihasilkan oleh unit
bisnis yang bersangkutan. Jika unit bisnis tersebut merupakan anak perusahaan
dari suatu induk korporasi, maka harus dibuktikan bahwa aspek-aspek lingkungan
yang dikelola memang spesifik untuk unit bisnis yang bersangkutan.
b. Aspek-aspek lingkungan yang dikelola dalam sistem manajemen lingkungan
mencakup seluruh kegiatan utama dalam unit bisnis yang bersangkutan. Jika
cakupan sistem manajemen lingkungan hanya sebagian kecil atau bukan kegiatan
utama, maka unit bisnis tersebut tidak dianggap memiliki sistem manajemen
lingkungan.
2. Pemanfaatan Sumber Daya
a. Efisiensi energi
b. Penurunan emisi dan gas rumah kaca, pemantauan emisi kendaraan bermotor
c. Konservasi air
d. Penurunan dan pemanfaatan limbah B3
e. 3R sampah
f. Keanekaragaman hayati
g. Pengembangan masyarakat
2.2.6 Perbedaan Akuntansi Konvensional dan Akuntansi Lingkungan
Menurut Craig & Ben Gorgon (2001), berikut karakteristik yang dimiliki akuntansi
konvensional, yaitu:
a. Mengidentifikasi entitas akuntansi;
b. Mengaitkan aktivitas ekonomi dari entitas akuntansi;
c. Hanya diperuntukkan untuk yang berkepentingan dengan entitas akuntansi yaitu
pemilik/pegang saham atau stockholder.

Sedangkan berikut beberapa karakteristik dari akuntansi lingkungan, yaitu:


a. Mengidentifikasi kejadian ekonomi, sosial dan lingkungan;
b. Memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan bagi kelangsungan hidup
(going concern) perusahaan.
c. Tidak hanya bagi stockholder, informasi yang dihasilkan diperuntukkan juga bagi
stakeholder seperti masyarakat, publik dan generasi selanjutnya.

Pada akuntansi konvensional transaksi dicatat secara timbal balik (reciprocal


transactions). Sebaliknya, akuntansi lingkungan mencatat transaksi yang bersifat tidak
timbal balik (non-reciprocal transactions). Sistem akuntansi lingkungan berorientasi
pada analisis sebab dan akibat sehingga biaya akibat kerusakan lingkungan terkait output
menjadi input bagi perusahaan. Sedangkan, biaya-biaya tersebut dalam sistem akuntansi
konvensional diperlakukan sebagai biaya overhead dan dialokasikan terpisah. Terdapat
potentially hidden cost, conting contingent cost dan image and relationship cost dalam
akuntansi lingkungan sedangkan, dalam akuntansi konvensional hanya mengenal biaya
yang melekat pada produk.
Dalam akuntansi lingkungan mempertimbangkan private cost dan societal cost
dalam membuat keputusan. Sedangkan, dalam akuntansi konvensional tidak
mempertimbangkan biaya tersebut dalam pengambilan keputusan. Dalam sistem
akuntansi konvensional, biaya lingkungan dapat dialokasikan ke produk tertentu secara
spesifik atau dikumpulkan menjadi biaya tertentu dan tidak dialokasikan ke produk
secara spesifik. Sedangkan, pengalokasian biaya lingkungan di dalam sistem akuntansi
lingkungan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: (a) mengalokasikan biaya
lingkungan secara langsung dalam sistem akuntansi biaya dan (b) mengalokasikan secara
terpisah dari sistem akuntansi biaya.
Berikut penjelasan lebih lanjut beberapa istilah yang digunakan diatas, yaitu:
• Potentially hidden cost: biaya yang tersembunyi yang berpotensi dikeluarkan
perusahaan sebelum produksi (seperti: biaya desain produk) dan selama proses
produksi serta backend environment cost (seperti: lisensi mutu produk).
• Contingent cost: biaya yang mungkin terjadi dalam suatu perusahaan yang
dibebankan pada contingent liabilities cost, seperti biaya cadangan kompensasi untuk
kecelakaan kerja yang mungkin terjadi.
• Image and relationship cost: biaya yang dikeluarkan akibat pengaruh persepsi
manajemen, pelanggan, tenaga kerja, publik dan pemerintahan untuk patuh terhadap
undang-undang lingkungan bersifat subjektif, seperti pelaporan biaya lingkungan yang
bersifat sukarela.
• Private cost: biaya yang berpengaruh langsung terhadap bottom line perusahaan.
• Societal cost: biaya eksternal yang menggambarkan dampak lingkungan dan sosial,
seperti biaya akibat dampak pencemaran lingkungan.

2.2.7 Biaya Lingkungan


Biaya lingkungan adalah biaya yang terjadi karena kualitas lingkungan yang
buruk atau mungkin akan memburuk (Hansen & Mowen, 2009). Biaya lingkungan dapat
dibagi dua yaitu (a) Biaya lingkungan implisit: biaya tidak terkait langsung dengan proses
produksi tetapi perusahaan berkewajiban memperbaik lingkungan, seperti biaya
pencemaran tanah, air, dan udara. (b) Biaya lingkungan eksplisit: biaya pengurangan polusi,
limbah dan lainnya yang menjadi tanggung jawab perusahaan.
Menurut Hansen & Mowen, biaya lingkungan dibagi empat kategori yaitu:
a. Biaya Pencegahan Lingkungan (Prevention Costs)
Biaya pencegahan lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mencegah
diproduksinya limbah atau sampah yang dapat merusak lingkungan. Contoh: evaluasi
dan pemilihan pemasok, alat mengendalikan polusi, desain proses dan produk untuk
mengurangi limbah, melatih karyawan dan lainnya.
b. Biaya Deteksi Lingkungan (Detection Cost)
Biaya deteksi lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas yang berkaitan
dengan penentuan bahwa proses dan produk perusahaan telah memenuhi standar
lingkungan yang berlaku. Contoh: pemeriksaan proses dan produk, pengukuran
tingkat pencemaran, audit aktivitas lingkungan, dan lainya.
c. Biaya Kegagalan Internal Lingkungan (Internal Failure Costs)
Biaya kegagalan internal lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengelola
dan mengurangi limbah dan sampah yang telah diproduksi, tetapi tidak dibuang ke
lingkungan luar. Contoh: peralatan pengurang polusi, pengelolaan limbah beracun,
daur ulang sisa bahan dan lainnya.
d. Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan (External Failure Costs)
Biaya kegagalan eksternal lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas
mengelola limbah dan sampah yang telah lepas ke lingkungan. Biaya kegagalan
eksternal lingkungan terbagi dua yaitu,
a) Biaya direalisasi (private cost): biaya menjadi tanggung jawab dan dibayar
perusahaan, seperti membersihkan danau dan tanah tercemar dan lainnya.
b) Biaya tidak direalisasi (social cost): biaya disebabkan oleh perusahaan tapi dialami
dan dibayarkan pihak luar, seperti perawatan medis akibat polusi, hilangnya
lapangan perkerjaan akibat pencemaran dan lainnya.

Adapun, biaya lingkungan tersebut bersumber dari:


1. Biaya pemeliharaan dan penggantian akibat limbah dan emisi (waste and emission
treatment) untuk memelihara, memperbaiki, mengganti kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh limbah dan emisi.
2. Biaya pencegahan dan pengelolaan lingkungan (prevention & evironmental
management) untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan.
3. Biaya pembelian bahan untuk bukan hasil produk (material purchase value of non-
product) dalam rangka pencegahan dan pengurangan dampak dari limbah bahan baku
produksi.
4. Biaya pengelolaan untuk yang bukan hasil produk (non-product output).
5. Penghematan biaya lingkungan (environmental revenue) sebagai penambahan
penghasilan sebagai akibat dari pengelolaan lingkungan.

2.2.8 Perlakuan Akuntansi atas Biaya Lingkungan


Menurut Munn (2016), “pencatatan pembiayaan atas pengelolaan sampah dari
hasil sisa produksi suatu perusahaan dialokasikan dalam tahapan tertentu yang masing-
masing tahap memerlukan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengelompokan
dalam tahap analisis lingkungan ditentukan sebagaimana dalam SAK, yaitu:
a) Identifikasi
Pertama, perusahaan perlu untuk menentukan biaya penanggulangan esternality yang
mungkin terjadi dalam kegiatan operasional perusahaan dengan mengidentifikasi
dampak negatif dari peristiwa ekonomi tersebut. Setiap biaya lingkungan ini
diklasifikasikan secara berbeda sehingga perusahaan memiliki pandangan berbeda
dari penentuan biaya lingkungan. Hal ini karena akan lebih memudahkan manajemen
untuk lebih fokus dalam menentukan keputusan.

b) Pengakuan
Kemudian unsur yang telah diidentifikasi tersebut diakui sebagai akun atau rekening
biaya pada saat penerimaan manfaat dan sejumlah nilai yang telah dikeluarkan. Hal
ini karena saat sebelum nilai atau jumlah tersebut dialokasikan maka tidak dapat
disebut biaya sehingga pengakuan sebagai biaya dilakukan pada saat sejumlah nilai
dibayarkan untuk pembiayaan pengelolaan lingkungan. Adapun dijelaskan di Kerangka
Dasar Penyusunan Penyajian Laporan Keuangan mengenai unsur dan kriteria
pengakuan, jika pos tersebut kemungkinan manfaat ekonomi dan memunya nilai atau
biaya yang dapat diukur dengan andal.

c) Pengukuran
Pada umumnya, perusahaan mengukur biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan
lingkungan dengan menggunakan satuan moneter. Mengacu pada realisasi biaya yang
telah dikeluarkan pada periode sebelumnya sehingga akan diperoleh nilai yang tepat
sesuai kebutuhan rill perusahaan setiap periodenya. Setiap perusahaan memiliki
standar pengukuran yang berbeda-beda sehingga pengalokasian pembiayaan
disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Hal ini dikarenakan dalam Standar Akuntansi
Keuangan dan teori-teori masih belum ada yang mengatur khusus mengenai
pengukuran biaya lingkungan. Namun, dalam Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian
Laporan Keuangan paragraf 100 dijelaskan bahwa sejumlah dasar pengukuran seperti,
biaya historis, biaya kini, nilai realisasi/ penyesuaian, dan nilai sekarang.

d) Penyajian
Biaya yang dalam pengelolaan lingkungan disajikan bersama-sama dengan biaya unit
lainnya yang sejenis dalam sub-sub biaya administrasi dan umum. Penyajian biaya
lingkungan dalam laporan keuangan dapat dilakukan dengan nama rekening yang
berbeda, sebab tidak ada ketentuan baku untuk nama rekening yang memuat alokasi
pembiayaan lingkungan perusahaan ini. Pelaporan biaya lingkungan sangat penting
jika perusahaan serius untuk memperbaiki dan mengendalikan biaya lingkungannya
(Hansen & Mowen, 2008). Pelaporan biaya lingkungan ini dikelompokkan
berdasarkan kategori biayanya memberikan dua hasil yang penting yaitu dampak
biaya lingkungan terhadap profitabilitas perusahaan dan jumlah relatif dari setiap
kategori biaya lingkungan.

e) Pengungkapan
Pengungkapan akuntansi lingkungan merupakan pengungkapan data informasi
akuntansi lingkungan dari sudut padang fungsi internal itu sendiri berupa laporan
akuntansi lingkungan. Pengungkapan memiliki tujuan untuk memperlihatkan kepada
masyarakat tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan kepada
masyarakat dari aktivitas operasional perusahaan. Hingga saat ini, pengungkapan
tanggung jawab lingkungan dan sosial masih bersifat sukarela. Pernyataan PSAK No.1
tentang Penyajian Laporan Keuangan di paragraf 12 (2013) menjelaskan bahwa:
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai
lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi
industri dimana faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri
yang menganggap pegawainya sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang
peranan penting”.

2.2.9 Penerapan Green Accounting di Indonesia


Praktik green accounting di Indonesia belum bisa dikatakan efektif. Cepatnya
tingkat pembangunan di masing-masing daerah dengan adanya otonomi terkadang
mengesampingkan aspek lingkungan yang disadari atau tidak, pada akhirnya akan
menjadi penyebab utama terjadinya permasalahan lingkungan. Misalnya mengabaikan
regulasi mengenai tata ruang, tanpa kontrol yang kuat dari pemerintah pusat atau
provinsi, potensi kerusakan lingkungan akan semakin besar. Sehingga dalam penerapan
konsep green accounting di Indonesia masih memerlukan proses akulturasi sikap dan
perilaku ekonomi yang berbasis ekologi. Proses akulturasi tersebut sangat memerlukan
waktu yang tidak singkat karena harus mempunyai kesiapan pelaku bisnis dalam
pengetahuan, teknologi serta kesadaran konvensional dalam praktik bisnis. Selain itu,
pelaksanaan green accounting sangat bergantung kepada karakteristik perusahaan
tersebut di dalam memahami permasalahan lingkungan hidup. Pemahaman permasalahan
lingkungan hidup akan mengarahkan perusahaan di dalam kebijakannya terutama terkait
dengan keselamatan lingkungan hidup.
Green accounting merupakan akuntansi yang di dalamnya mengidentifikasi,
mengukur, menilai, dan mengungkapkan biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan
yang berhubungan dengan lingkungan. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi
pengelolaan lingkungan dengan melakukan penilaian kegiatan lingkungan dari sudut
pandang biaya (enviromental costs) dan manfaat atau efek (economic benefit). Green
accounting mengalami kesulitan dalam pengukuran nilai costs and benefit yang muncul
dari proses industri. Bukan hal yang mudah untuk mengukur kerugian masyarakat sekitar
dan lingkungan ekologis yang ditimbulkan dari polusi udara, limbah cair, kebocoran
tabung amoniak, kebocoran tabung nuklir atau faktor lingkungan lain. Pelaporan kinerja
lingkungan ini tidak ada di dalam laporan keuangan yang konvensional, di mana dalam
laporan keuangan yang konvensional hanya dijumpai laporan kinerja ekonomi saja.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia masih sebatas anggapan sebagai suatu konsep yang
rumit dan dikhawatirkan akan menimbulkan efek dari implementasi dan pengeluaran
biaya tambahan yang diakui sebagai beban yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan
dalam perspektif akuntansi konvensional. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Gray et. al (1993) bahwa pengungkapan biaya eksternalitas akan mempengaruhi
pengambilan keputusan dan mempengaruhi pertimbangan stakeholder karena reaksi pasar
telah menunjukkan hasil yang tidak berbeda terhadap aktivitas perusahaan yang
melakukan (atau tidak) kepentingan sosial dan lingkungan.
Di Indonesia, pengungkapan informasi tentang green accounting juga masih
bersifat sukarela dan belum ada aturan yang tegas yang mengatur tentang hal ini.
Akibatnya, banyak entitas bisnis yang belum mengungkapkan informasi tentang green
accounting dengan baik.

2.3 Case Study Green Accounting Pada PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
PT Indocement menyadari bahwa karakteristik industrinya berpotensi menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan, di antaranya polusi udara dan perubahan iklim yang
ekstrim. Namun demikian, mereka menerapkan inovasi teknologi tercanggih untuk
mengurangi polusi melalui proses produksi dan produk yang ramah lingkungan dengan tema
“Menapak Jalan Menuju Operasi yang Lebih Hijau dan Berkelanjutan”
Pengelolaan lingkungan di Indocement mengacu pada sistem manajemen lingkungan
(SML) ISO 14001:2015. Perseroan mengelola setiap potensi risiko pencemaran lingkungan
yang timbul dari kegiatan operasional melalui pendekatan atau prinsip pencegahan untuk
menghindari kerugian Perseroan. Indocement menjaga kepatuhan terhadap seluruh peraturan,
standar, dan pedoman yang berlaku terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan potensi dan risiko lingkungan berdasarkan proses Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), Mekanisme Pelaporan Dokumen Lingkungan (RKL-RPL), serta
mendukung capaian tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB). Sepanjang tahun pelaporan,
Indocement tidak mendapat sanksi atau hukuman akibat pelanggaran terhadap kepatuhan
hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Selain itu, Indocement telah
merealisasikan biaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebesar Rp247 miliar.
Perseroan terus mengurangi jejak lingkungan dengan menurunkan jumlah emisi
karbon, meningkatkan penggunaan material alternatif, dan mengelola limbah. Dalam
penggunaan bahan baku mengacu pada “Material to Build Our Future” untuk memastikan
langkah-langkah terobosan baru dalam memproduksi beragam varian semen hijau. Selain itu,
melalui kerja sama dengan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Perseroan berhasil
meningkatkan penggunaan bahan bakar alternatif dengan memanfaatkan sumber baru, yaitu
refused derived fuel (RDF) dari Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang. RDF
adalah bahan bakar yang berasal dari sampah. Penggunaan RDF bertujuan untuk mengurangi
penggunaan batu bara pada proses produksi agar mampu menurunkan emisi CO2. Perseroan
juga akan melakukan kerja sama pembangunan fasilitas pembangkit tenaga listrik
menggunakan panel surya untuk meningkatkan pemakaian energi terbarukan. Inisiatif ini
diharapkan mampu mendukung penerapan ekonomi rendah karbon, pengurangan biaya, dan
penurunan penggunaan bahan bakar fosil. Perseroan juga terus mendukung pelestarian
lingkungan dengan melakukan penggantian electrostatic precipitator (EP) menjadi bag filter
yang mampu mengurangi emisi debu hingga 75%.
Berbagai upaya Perseroan untuk melestarikan lingkungan telah mendapatkan evaluasi
dari pemerintah. Hal ini ditandai dengan perolehan PROPER Hijau oleh Kompleks Pabrik
Citeureup, Kompleks Pabrik Cirebon, dan Kompleks Pabrik Tarjun yang menunjukkan
bahwa pengelolaan lingkungan tidak terbatas hanya pada yang dipersyaratkan, namun
berkesinambungan dalam pemeliharaan dan pelibatan masyarakat. Di aspek lingkungan
yang lain, Perseroan berhasil meraih prestasi melalui Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi
Energi 2021 yang merupakan penghargaan tertinggi di bidang efisiensi energi dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Perseroan juga menjadi salah satu
perusahaan yang dipilih oleh Kementerian ESDM untuk mengikuti forum lingkungan yang
diadakan oleh ASEAN Coal Awards (ACA) di Brunei Darussalam dan berhasil mendapatkan
penghargaan Clean Coal Technology. Penghargaan ini tentunya tidak terlepas dari komitmen
seluruh pihak untuk menerapkan proses produksi yang ramah bagi lingkungan dan
berdampak positif bagi masyarakat.

2.3.1 Sertifikasi
Berikut ini sertifikasi operasional yang telah didapatkan oleh PT Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk:
1. ISO 9001:2015 – Sistem Manajemen Mutu;
2. ISO 14001:2015 – Sistem Manajemen Lingkungan;
3. ISO 45001:2018 – Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
4. SMK3 – Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
5. Strandar Industri Hijau No. SIH 23941.1:2018 Kompleks Pabrik Citeureup,
Kompleks Pabrik Cirebon, dan Kompleks Pabrik Tarjun;
6. Green Label Indonesia, No. 019/GLI/SP/2020 Peringkat Gold untuk Semen Tiga
Roda (tipe PCC) Jenis Semen Portland Komposit Kompleks Pabrik Citeurep dan
Kompleks Pabrik Cirebon.

2.3.2 Pengelolaan Lingkungan


Selama Tahun 2021, kegiatan yang telah dilakukan PT Indocement untuk menciptakan
industri hijau adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi Emisi
Emisi dihasilkan dari kegiatan pembakaran pada proses produksi semen berupa emisi
debu partikulat maupun emisi gas rumah kaca (GRK) yang mengakibatkan penurunan
kualitas udara dan kesehatan lingkungan di sekitar wilayah operasi Perseroan.
Keterlibatan Perseroan dalam mengurangi emisi GRK juga menjadi upaya mitigasi
dampak perubahan iklim.
Upaya yang dilakukan Perseroan dalam rangka mengurangi emisi GRK:
a. Produksi semen hijau (semen hidraulis) yang mampu mengurangi pemakaian
klinker hingga 12%–13% sehingga mengurangi emisi CO2.
Sejalan dengan konsep konstruksi yang kuat, tahan lama, dan ramah lingkungan,
Perseroan berkomitmen untuk memproduksi “Semen Hijau” yang diwujudkan
melalui road map hingga tahun 2025.
Road Map Pengurangan Bahan Bakar Fosil Indocement:
Semen hijau merupakan produk yang relatif baru bagi masyarakat dan perlu terus
disosialisasikan karena lebih ramah lingkungan. Dengan dukungan penuh dari
Pemerintah, khususnya Kementerian PUPR melalui perubahan spesifikasi pada
dokumen tender, maka semen hijau menjadi produk masa depan yang ramah
lingkungan. Pada 2021, Indocement mulai memperkenalkan semen hijau melalui
produk semen hidraulis. Semen hidraulis merupakan semen yang lebih ramah
lingkungan yang dapat menurunkan emisi CO2 dari produksinya serta tingkat
rasio klinker yang lebih rendah dari OPC. Selain itu, semen hidraulis bisa dipakai
pada air laut, dan memiliki temperatur yang sangat rendah sehingga baik untuk
cor. Dengan rasio klinker yang relatif lebih rendah, semen hidraulis menghasilkan
emisi karbon lebih rendah 80–100 kg/ton semen dibandingkan dengan OPC.
b. Memaksimalkan penggunaan energi alternatif dari limbah untuk mengurangi
emisi CO2.
Bahan bakar alternatif yang digunakan berupa biomassa yang merupakan CO2-
neutral untuk proses pembakaran di kiln, antara lain sekam padi, cangkang kelapa
sawit, dan serbuk gergaji yang mampu mengurangi penggunaan batu bara.
c. Pemanfaatan RDF dari Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang.
Selain biomassa, Perseroan juga menggunakan bahan bakar alternatif berupa
limbah non-biomassa. Selaku pemilik izin pengelolaan limbah sebagai bahan
bakar alternatif, Perseroan turut serta mengurangi volume limbah dengan
memanfaatkan limbah B3 dan non-B3 sebagai bahan bakar alternatif pengganti
batu bara. Sampah rumah tangga yang dikelola menjadi RDF merupakan salah
satu fokus Perseroan saat ini. Dengan memanfaatkan sampah menjadi bahan
bakar, Perseroan turut aktif dalam membantu mengurangi permasalahan yang
ditimbulkan akibat tingginya volume sampah rumah tangga dan dapat mengurangi
emisi GRK.

Selain melakukan upaya mengurangi emisi GRK, Perseroan juga melakukan


beberapa upaya mengurangi emisi debu dan kebisingan. Sejak 2015, Perseroan
mengimplementasikan pemasangan bag filter untuk mengurangi emisi debu di
lingkungan pabrik. Pada proses pengemasan produk, Perseroan menerapkan Pallete
Management and Monitoring System (PMMS) yang mampu meningkatkan kualitas
pengemasan semen agar tidak mudah rusak pada saat proses pengiriman, sehingga
mampu mengurangi emisi debu semen yang dikeluarkan dari kemasan yang robek. Di
lingkungan pabrik, Perseroan juga mengurangi polusi debu dari proses produksi
dengan penanaman pohon-pohon yang dapat menjadi windbreaker atau shelterbelt.
Selain emisi debu, emisi lain berupa kebisingan juga dihasilkan dari getaran
saat penggunaan peralatan produksi dan mesin pabrik, serta pengoperasian belt
conveyor untuk transportasi material. Sejak 2020, Perseroan telah melakukan
penggantian roller belt conveyor menggunakan roller berbahan teflon (green roller)
secara bertahap untuk mengurangi dampak kebisingan dari belt conveyor. Untuk
menanggulangi kebisingan, Perseroan melakukan pemantauan dan pengukuran secara
rutin menggunakan sound level meter dan pemeriksaan audiometri, untuk kemudian
dilakukan analisis kebisingan dan pengendalian teknis lainnya. Selain itu, Perseroan
juga memastikan perlindungan karyawan dari kebisingan dengan melaksanakan
pelatihan pengendalian kebisingan, dan melengkapi alat pelindung diri seperti ear
plug dan ear muff.

2. Efisiensi Energi
Penggunaan energi merupakan komponen biaya terbesar dalam proses produksi,
terutama saat harga batu bara dan bahan bakar mengalami kenaikan. Energi yang
digunakan Indocement berasal dari bahan bakar minyak berupa solar digunakan untuk
transportasi di pertambangan dan distribusi, listrik untuk operasional pabrik dan
kebutuhan domestik lain yang bersumber dari PLN dan panel surya, batu bara untuk
memanaskan tanur dan sumber energi pembangkit listrik di Kompleks Pabrik Tarjun
dengan kapasitas 55 MW dan limbah B3 sebagai alternatif bahan bakar pada produksi
semen guna mengurangi penggunaan batu bara.
Keterlibatan Perseroan dalam efisiensi energi juga menjadi upaya mitigasi
dampak perubahan iklim. Sepanjang 2021, Perseroan berhasil menurunkan intensitas
penggunaan energi sebesar 0,3% dibandingkan tahun sebelumnya dalam proses
produksi maupun dengan fasilitas pendukung. Total penggunaan energi di 2021
mencapai 47,8 juta GJ.
Upaya yang dilakukan Perseroan dalam rangka efisiensi energi:
a. Membentuk tim manajemen energi dan menyusun rencana strategis terkait
efisiensi energi dan bahan bakar alternatif.
b. Produksi semen hidraulis dapat mengurangi jumlah pemakaian batu bara.
c. Penggunaan bahan bakar alternatif yang mengurangi 15% penggunaan batu bara.

3. Pengelolaan Limbah
Limbah yang tidak diolah dengan baik akan berdampak negatif pada lingkungan. Di
sisi lain, limbah dapat didayagunakan oleh Perseroan menjadi bahan baku alternatif
dan bahan bakar alternatif. Perseroan menggunakan pendekatan ekonomi sirkuler
yang dapat mengurangi penggunaan bahan baku dari sumber daya alam dengan
memanfaatkan kembali limbah dari berbagai sumber sebagai bahan baku produksi
dan bahan bakar alternatif yang berkontribusi secara tidak langsung dalam
pengurangan emisi karbon. Pada tahun 2021 Indocement memanfaatkan teknologi
dalam pendayagunaan dan pengelolaan limbah seperti:
a. Pembangunan instalasi refused derived fuel (RDF) di Plant 14 yang dapat
memanfaatkan sampah hingga 230.500 ton/tahun.
b. Pencampuran bahan baku alternatif dan mensubstitusi kandungan klinker dalam
produk semen sebesar 278.000 ton
Untuk pengelolaan limbah, Perseroan memiliki tempat penyimpanan sementara (TPS)
limbah B3 di tiga kompleks pabrik dipantau oleh Alternative Fuel and Raw Material
(AFG) dan General Sevices. Dalam pengelolaan limbah juga telah menggunakan
pendekatan ekonomi sirkuler dimana limbah B3 dan non-B3 akan melewati lima tahap
yaitu reduce, reuse, recyle, repair dan recovery. Ditahun 2021, tercatat Perseroan
telah memanfaatkan kembali limbah B3 sebanyak 25.673 ton dan limbah non-B3
sebanyak 329.512 ton sebagai bahan bakar alternatif.

4. Keanekaragaman Hayati
Perseroan berkomitmen operasi pabrik sesuai dengan rencana yang disetujui otoritas
dan kebutuhan masyarakat, mengupayakan dampak positif pada nilai
keanekaragaman hayati di seluruh lokasi tambang. Wilayah pertambangan Perseroan
telah memiliki izin dari Dinas Lingkungan hidup pada setiap pabrik. Perolehan izin
ini memastikan bahwa Perseroan menggunakan dan mengelola lahan sesuai dengan
semua peraturan perundangan yang berlaku. Perseroan menyadari adanya dampak
dari proses pembukaan lahan dan penggalian material batu kapur dan pengangkutan
material tambang. Oleh karena itu, Perseroan berupaya untuk mengurangi dampak
kerusakan lahan melalui rencana reklamasi lahan pasca tambang berapa penanaman
pohon multispesies sebanyak 134.897 di tiga lokasi pabrik. Selain itu, sebagai upaya
perlindungan keanekaragaman hayati, Perseroan mendirikan 3Roda Edu-Green Park
yang berdiri di atas lokasi pascatambang Indocement. Adapun upaya pemantauan dan
perlindungan satwa di setiap komplek pabrik untuk menjaga kelestarian spesies khas
serta fauna lainnya di kawasan operasional dengan menghabiskan Rp 402 juta pada
2021. Indocement melakukan pengolahan data foto udara untuk mendukung program
perlindungan keanekaragaman hayati.

Untuk mempertahankan margin yang sehat, Indocement berfokus pada operational


excellence program, pengurangan biaya tetap, mengelola pemanfaatan kiln yang efisien, dan
transformasi digital pada kegiatan operasional. Perseroan mencatatkan peningkatan produksi
semen sebesar 2,4%, serta pertumbuhan volume penjualan sepanjang 2021 mencapai 4,7%.
Melalui pencapaian tersebut, Indocement berhasil mendapatkan pendapatan bersih sebesar
Rp14.772 miliar atau meningkat 4,1% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar
Rp14.184 miliar.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Green accounting masih relatif baru di bidang akuntansi keuangan dan terus
berkembang. Namun, keberadaannya dianggap semakin penting untuk menghadapi tantangan
bisnis saat ini dan masa depan. Penerapan green accounting akan mendorong kemampuan
untuk meminimalkan masalah lingkungan yang dihadapi oleh perusahaan. Tujuan penerapan
akuntansi lingkungan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan
dengan melakukan kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya dan manfaat atau efek.
Penerapan green accounting pada perusahaan dapat meningkatkan kinerja lingkungan
perusahaan yang berakhir pada peningkatan kinerja keuangan dengan keuntungan lingkungan
yang dapat dikelola dan dilestarikan dengan baik sesuai peraturan pemerintah. Melalui
aktivitas-aktivitas lingkungan dan pengungkapan aktivitas-aktivitas tersebut pada laporan
tahunan menyebabkan pengguna laporan keuangan (investor, manajemen, kreditor) akan
mendapatkan informasi yang membantu para pengguna informasi tersebut dalam
pengambilan keputusan untuk kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan pelestarian dan
pengelolaan lingkungan di masa yang akan datang. Pengorbanan perusahaan dalam
mengeluarkan biaya untuk lingkungan juga dapat mengurangi potensi pengeluaran biaya
yang lebih besar dimasa yang akan datang seperti biaya tuntutan masyarakat atas perusakan
lingkungan oleh industri, resiko penutupan usaha akibat sangsi dari pemerintah dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Aniela, Yoshi. 2012. Peran Akuntansi Lingkungan Dalam Meningkatkan Kinerja Lingkungan
dan Kinerja Perusahaan. Berkala Ilmiah Mahasiswa Akuntansi. Vol. 1, No.1.
Belkaoui, Ahmed.1997. Teori Akuntansi, Terjemahan Budhi Pujiharto. Yogyakarta: AK Group.
Bell, F dan Lehman, G. 1999. Recent Trends in Environment Accounting: How Green Are Your
Account. Accounting Forum.
Chariri dan Imam Ghozali. 2007. “Teori Akuntansi”. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro
Cohen, N., dan P. Robbins, 2011, Green Business: An A-to-Z Guide, Thousand Oaks, California:
SAGE Publications Inc.
De Beer, P., dan F. Friend, 2005, Environmental Accounting: A Management Tool for
Enhancing Corporate Environmental and Economic Performance, Ecological Economics
58 (2006) 548– 560.
Deegan, Craig. 2004. Financial Accounting Theory. Australia: McGraw-Hill
Dennis D. Hirsch 2010. Green Business and The Importance of Reflexive Law: What Michael
Porter Didn’t Say
Eric Koester.2010. The Guide To Building And Growing A Green And Clean Business. Ebook
Published
Ernst dan Young. 2013. Value of Sustainability Reporting. Boston College Carroll School Of
Management.
Hansen dan Mowen. 2009. Akuntansi Manajerial. Buku 2 edisi 8. Jakarta: Salemba Empat.
Ikatan Akuntansi Indonesia. PSAK No. 1 Tentang Laporan Keuangan edisi revisi 2013. Penerbit
Dewan Standar Akuntansi Keuangan: PT. Raja Grafindo.
Mutamimah, H.S. and Sugiyanto, E.K. (2011) Model Peningkatan Return Saham Dan Kinerja
Keuangan Melalui Corporate Social Responsibility Dan Good Corporate Governance di
bursa efek Indonesia. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, 4, 1-12
Rahbar, Elham Dan Nabsiah Abdul Wahid. 2011. Investigation Of Green Marketing Tools’
Effect On Consumers’ Puchese Behavior. Business Strategy Series Vol. 12 No 2.
SRINTP (2021). Laporan Keberlanjutan. PT Indocement Tunggal Prakarsa: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai