Disusun Oleh:
Kelompok 10
Intan Salsabila (1910531040)
Sri Wahyuni (1910531038)
Annisa Desri Rahmah (1910531017)
Dosen Pengampuh:
Dr. Yuskar, S.E., MA., Ak., CA.
DAPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVESITAS ANDALAS
2022
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin
Segala pujia bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan- Nya tentunya penulis
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga
tersampaikan kepada baginda tercinta kita, yakninya Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natukan syafa’atnya di akhirat kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Green Business dan Green Accounting serta Kasus-Kasus Terkait”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangung dari pembaca untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Keterlibatan para CEO tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap
sumber daya alam yang ada di bumi ini dikelola oleh perusahaan. Contohnya di Indonesia, minyak
bumi dan gas diproduksi oleh Pertamina, semen diproduksi oleh Semen Indonesia, emas dan nikel
diproduksi oleh Freeport dan masih banyak perusahaan lainya. Proses produksi yang dilakukan
oleh perusahaan tersebut hampir selalu menghasilkan emisi yang dapat merusak kualitas
lingkungan dan masyarakat. Seperti yang dilansir oleh berita online Guardian, sebanyak 90
perusahaan menghasilkan hampir dua dari tiga emisi buatan manusia yang menjadi penyebab
pemanasan global. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut terdapat nama-nama besar seperti
Chevrion, Exxon, dan BP. Tidak hanya perusahaan manufaktur, perusahaan jasa juga berpotensi
untuk menghasilkan emisi seperti perusahaan jasa transportasi.
Selain pencemaran udara, pengolahan sumber daya alam oleh perusahaan juga
menyebabkan deplesi. Deplesi mengancam keseimbangan ekosistem yang akan berdampak luas
bagi lingkungan. Misalnya, pengalihan fungsi hutan untuk kepentingan produksi perkebunan
kelapa sawit. Cadangan minyak bumi dunia juga semakin menipis. Laporan dari Biritish
Petrolium (BP) pada tahun 2014 menunjukan bahwa cadangan minyak dunia hanya bisa
mendukung proses produksi untuk 52 tahun ke depan. Hal ini menuntut perusahaan yang
menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi harus berusaha lebih keras untuk melakukan
efisiensi energi. Masih banyak lagi data statistik yang menunjukan deplesi sumber daya alam
lainnya. Oleh karena itu, perusahaan sebagai salah satu pengguna terbesar sumber daya alam harus
4
memimpin inisiatif efisiensi sumber daya alam, pengurangan emisi, dan pengembangan energi
baru terbarukan. Upaya tersebut disebut dengan green business
Berdasarkan fakta di atas, akuntansi sebagai alat kontrol dan penyedia informasi untuk
pengambilan keputusan akan memainkan peran yang cukup penting dalam konstelasi dunia bisnis.
Informasi yang diberikan oleh akuntansi akan menjadi salah satu faktor kesuksesan implementasi
green business. Selama ini, informasi akuntansi sangat identik digunakan untuk kepentingan
investor sebagai pengguna utama. Bagi investor, Informasi akuntansi memberikan gambaran
mengenai kinerja dan prospek keuangan suatu entitas. Sistem informasi akuntansi konvensional
tidak memberikan informasi mengenai dampak yang dihasilkan perusahaan terhadap lingkungan.
Infromasi akuntansi konvensional juga tidak memberikan gambaran mengenai resiko-resiko yang
akan dihadapi perusahaan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan semakin
meningkatnya kepedulian terhadap isu lingkungan, para pemangku kepentingan teruatama NGO,
masyarakat, dan pemerintah menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang
berkaitan dengan dampak lingkungan yang mereka sebabkan. Pada titik inilah akuntansi akan
memberikan informasi yang berkaitan dengan environmental performance sebuah perusahaan.
Seperti laporan keuangan lainnya, environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat
kontrol dan evaluasi atas environmental peformance. Misalnya, berapa biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan pada suatu periode untuk pembersihan sungai karena limbah pabrik.
Monterary value-nya digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajer untuk pengembilan
keputusan pada periode berikutnya. Environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat analisis
5
untuk meningkatkan efisiensi perusahaan terhadap penggunaan sumber daya alam. Tujuan akhir
dari environmental cost adalah untuk mencapai sustainable business dan sustainable development
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi green business dan green accounting
2. Untuk mengetahui karakteristik dari green accounting
3. Untuk mengetahui fungsi dari green accounting
4. Untuk mengetahui sifat dasar green accounting
5. Untuk mengetahui kaitan green accounting, corporate social responbility, dan subtainable
development
6
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep green business tidak bisa dilepaskan dengan sustainability. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, penerapan konsep green business berfokus pada keberlanjutan. Gil
Friend (2009:3) mendefenisikan sustainability sebagai “living and doing business in ways
that don’t erode the potential for future generations – commonly refers to the triple bottom
line (TBL) or economic, environmental, and social benefit”. Dalam sustainability, dikenal
7
istilah triple bottom line yang mencakup 3 sektor yang akan menentukan apakah organisasi
melakukan praktek berkelanjutan atau tidak. Robert Dahlstrom (2010:7) mengemukakan
bahwa “industry practice has embraced the notion that sustainability derives from focusing
on the triple bottom line”.
Robert (2010:7) menjelaskan secara detail bahwa: “The sustainable organization must
generate acceptable levels of economic performance, or it will not survive. It must also
nurture social performance in its interaction with customers, suppliers, consumers, and
other interest groups. Survival is also contingent on the firm’s ability to achieve acceptable
levels of environmental performance throughout the supply cycle from raw material
procurement to post consumption disposal.”
8
Strategies for Sustainable World yang memenangkan ‘Best Article’ di Harvard Business
Review dan membantu dalam meluncurkan ‘the movement for corporate sustainability’,
menyebutkan ada 3 tahapan yang mengerakkan sebuah perusahaan ke arah keberlanjutan,
yaitu:
Tahap pertama: Pollution Prevention The first step for most companies is to make the shift
from pollution control to pollution prevention. Pollution control means cleaning up waste
after it has been created. Pollution prevention focuses on minimizing or eliminating waste
before it is created.
Tahap kedua: Product Stewardship Product stewardship focuses on minimizing not only
pollution from manufacturing but also all environmental impacts associated with the full
life cycle of product.
Tahap ketiga: Clean Technology Companies with their eye on the future can begin to plan
for and invest In tomorrow’s technologies. The simple fact is that the existing technology
base in many industries is not environmentally sustainable.
Menurut Eric Koester (2010:14), Sektor green business memiliki penekanan yang kuat
pada energi. “This includes businesses focusing on generating electricity from renewable
resources and on energy efficiency, as well as those involved in the smart grid, alternative
fuels and transportation, green plastics, and countless others. In fact, many must work with
the utilities in order to succeed”.
Sedangkan Cooney dalam Eric Koester (2010:8) mengemukakan 4 kriteria dari green
business, sebagai berikut:
1. It incorporates principles of sustainability into each of its business decisions
2. It supplies environmentally friendly products or services that replaces demand for non-
green products and/or services
3. It is greener than traditional competition
4. It has made an enduring commitment to environmental principles in its business
operations.
Green Bussiness merupakan salah satu bagian dari green economy yang mensinergikan
nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan (Mutamimah, 2011). Melalui implementasi green
business akan diperoleh suatu sinergi dan kesinambungan antara
a) Tujuan ekonomi, yaitu: keberlangsungan profit dan pertumbuhan perusahaan,
b) Tujuan sosial, yaitu: kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,
c) Tujuan lingkungan, yaitu: terpeliharanya lingkungan dalam jangka panjang
9
Fenomena green business ini menjadi daya tarik berbagai pihak, baik konsumen maupun
investor. Artinya konsumen akan lebih memilih produk dan jasa yang sehat, berkualitas,
aman dalam jangka panjang dan tidak mencemari lingkungan
Berdasarkan definisi green accounting di atas, maka bisa dijelaskan bahwa green
accounting merupakan akuntansi yang di dalamnya mengidentifikasi, mengukur, menilai,
dan mengungkapkan biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan yang berhubungan
dengan lingkungan (Aniela, 2012).
Sedangkan aktivitas dalam green accounting dijelaskan oleh Cohen dan Robbins
(2011:190) sebagai berikut: “Environmental accounting collects, analyzes, assesses, and
prepares reports of both environmental and financial data with a view toward reducing
environmental effect and costs. This form of accounting is central to many aspects of
governmental policy as well. Consequently, environmental accounting has become a key
aspect of green business and responsible economic development”.
Melalui penerapan green accounting maka diharapkan lingkungan akan terjaga
kelestariannya, karena dalam menerapkan green accounting maka perusahaan akan secara
sukarela mamatuhi kebijakan pemerintah tempat perusahaan tersebut menjalankan
bisnisnya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh De Beer dan Friend (2005)
10
membuktikan bahwa pengungkapan semua biaya lingkungan, baik internal maupun
eksternal, dan mengalokasikan biaya-biaya ini berdasarkan tipe biaya dan pemicu biaya
dalam sebuah akuntansi lingkungan yang terstruktur akan memberikan kontribusi baik
pada kinerja lingkungan (Aniela; 2012).
2. Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU ini diatur
kewajiban bagi setiap penanam modal berbentuk badan usaha atau perorangan untuk
melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan, menjaga kelestarian lingkungan
hidup dan menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar. Pelanggaran terhadap
kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis, pembatasan,
pembekuan, dan pencabutan kegiatan dan/atau fasilitas penanaman modal.
11
4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No: KEP-
134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau
Perusahaan Publik. UU ini mengatur mengenai kewajiban laporan tahunan yang
memuat Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) harus menguraikan aktivitas
dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan.
2. Andal: Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang akurat atau tidak bias
dan dapat memberikan bantuan dalam membangun kepercayaan stakeholder.
Pengungkapan informasi akuntansi lingkungan seharusnya tidak hanya menjadi
formalitas belaka untuk sekedar memenuhi persyaratan undang-undang yang berlaku.
Bila perlu, perusahaan harus menentukan metode yang tepat dan sesuai dengan
pengungkapan dan secara akurat dapat menggambarkan kegiatan lingkungan yang
sebenarnya. Dalam hal pengungkapan informasi tersebut tidak sepenuhnya
dikomunikasikan mengikuti format yang ditetapkan oleh undang-undang. Informasi
tambahan yang diperlukan harus disediakan untuk lebih menjelaskan realitas secara
lengkap.
12
3. mudah dipahami: Dengan tujuan pengungkapan data akuntansi lingkungan yang
mudah untuk dipahami, akuntansi lingkungan harus menghilangkan setiap
kemungkinan timbulnya penafsiran yang keliru tentang kegiatan pelestarian
lingkungan. Untuk memastikan bahwa informasi yang diungkapkan mudah dipahami
bagi para pemangku kepentingan, kata-kata harus dibuat sesederhana mungkin.
4. Dapat dibandingkan: Akuntansi dapat dibandingkan dari tahun ke tahun bagi sebuah
perusahaan dan juga dapat di bandingkan antarperusahaan yang berbeda di sektor yang
sama. Adalah penting untuk memastikan keterbandingan agar tidak menciptakan
kesalahpahaman antara stakeholder. Namun, karena fakta bahwa pengungkapan
akuntansi lingkungan bersifat independen dan berbeda-beda, perbandingan yang
sederhana pun ulit dilakukan ketika terdapat perbedaan sektor bisnis dan jenis operasi.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus di mana metode yang kompleks telah dipilih dan
ditetapkan dalam suatu pedoman untuk digunakan sebagai dasar untuk perbandingan,
isi dari metode tersebut harus dinyatakan dengan jelas dan ketelitian harus dilakukan
agar tidak menghasilkan kesalahpahaman antara stakeholder.
2. Biaya lingkungan jika tidak mendapatkan perhatian khusus akan menjadi tidak
jelas dan masuk dalam akun overhead atau bahkan akan diabaikan.
13
4. Pengelolaan biaya lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan perbaikan
kinerja lingkungan dan memberikan manfaat yang signifikan bagi kesehatan
manusia serta keberhasilan perusahaan.
5. Memahami biaya lingkungan dan kinerja proses dan produk dapat mendorong
penetapan biaya dan harga produk lebih akurat dan dapat membantu perusahaan
dalam mendesain proses produksi, barang dan jasa yang lebih ramah
lingkungan untuk masa depan.
14
minimisasi limbah dan skema efisiensi energi dapat danakan menghasilkan manfaat
ekonomi yang besar bagi organisasi.
2.2.5 Perbedaan Akuntansi Konvensional dengan Akuntansi Lingkungan
Akuntansi konvensional menurut Craig & Ben Gorgon (2001) dalam Rossje
2006 memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1. Mengidentifikasi entitas akuntansi
2. Mengaitkan aktivitas ekonomi dari entitas akuntansi
3. Mencatat kejadian ekonomi (economic events)
4. Hanya diperuntukkan secara khusus untuk investor dan lainnya yang
berkepentingan dengan entitas akuntansi (stockholder)
15
tersebut (Darwin, 2004). Hal ini berimplikasi pula pada luas dan kedalaman
pengungkapan informasi lingkungan. Jika informasi tersebut bersifat „bad
news‟ maka perusahaan mempertimbangkan untuk tidak mengungkapkan hal
tersebut.
2. Akuntansi lingkungan belum dianggap sebagai bagian integral dalam
operasional perusahaan sehingga beban lingkungan yang timbul tidak
diperlakukan sebagai tambahan harga pokok produksi dan atau tambahan biaya
operasional tidak langsung. Padahal, pada hakekatnya biaya lingkungan adalah
biaya yang muncul akibat kegiatan proses produksi yang dilakukan oleh suatu
perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa. Bila perusahaan tidak
melakukan kegiatan produksi, maka biaya lingkungan ini tidak akan muncul.
Keadilan ekonomi tidak akan terjadi jika penurunan fungsi lingkungan oleh
suatu agen ekonomi (produsen), harus ditanggung oleh agen ekonomi lain
(individu atau masyarakat) yang tidak ikut menikmati manfaat (benefit) dari
suatu produk yang dihasilkan. Bila biaya lingkungan ini dibebankan pada
produk yang dihasilkan, maka harga pokok produksinya harga jualnya tentu
akan naik pula (Idris, 2012).
Didalam akuntasi lingkungan ada beberapa komponen pembiayaan yang harus
dihitung misalnya :
1. Biaya operasional bisnis yang terdiri dari biaya depresiasi fasilitasi lingkungan,
biaya memperbaiki fasilitais lingkungan, jasa atau fee kontrak untuk
menjalankan fasilitas pengelolaan lingkungan, biaya tenaga kerja untuk
mengjalankan operais fasilitas pengelolaan lingkungan serta baya kontrak
untuk pengelolaan limbah (recycling).
2. Biaya daur ulang yang dijual yang disebut sebagai “Cost incurred by upstream
and down-stream business operations” is the contract fee paid to the Japan
Container and Package Recycling Association.
3. Biaya penelitian dan pengembangan (Litbang) yang terdiri dari biaya total
untuk material dan tenaga ahli, tenaga kerja lain untuk pengembangan material
yang ramah lingkungan, produk dan fasilitasi pabrik. Berikut jenis-jenis
aktivitas yang termasuk dalam perhitungan akuntansi lingkungan
(environmental cost)
16
perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya, dan hal ini merupakan kekuatan utama
yang melatarbelakangi munculnya akuntansi hijau.
Green accounting yang dasarnya merupakan penggabungan kebijakan keuangan dan non-
keuangan secara garis besar mengambil keputusan bisnis berdasarkan analisis biaya dan
dampak lingkungan dari kebijakan bisnis yang diterapkan. Melalui CSR analisis terhadap
dampak lingkungan serta estimasi biaya yang dikeluarkan secara otomatis akan
mempengaruhi setiap langkah perusahaan dalam mengambil kebijakan dalam
menggunakan sumber daya alam yang ada disekitarnya.
CSR sendiri merupakan alat pembagi perusahaan untuk memperlihatkan tanggung
jawabnya kepada lingkungan dari hasil apa yang mereka peroleh. Melali CSR perusahaan
secara kontiniu akan mempraktekkan apa yang disebut dengan Accounting.
Studi kasus akuntansi hijau diterapkan penilaian pasar terutama untuk penipisan sumber
daya alam. Dengan tidak adanya harga pasar untuk aset non-produksi, sumber daya alam
sewa yang diterima dengan menjual output di pasar di pasar sumber daya digunakan untuk
memperkirakan nilai sekarang bersih dan perubahan nilai (terutama dari deplesi) dari aset.
Untuk degradasi lingkungan, biaya pemeliharaan menghindari atau mengurangi dampak
lingkungan dapat diterapkan.
Sebuah kekuatan khusus akuntansi hijau adalah pengukuran biaya lingkungan yang
disebabkan oleh agen-agen ekonomi rumah tangga dan perusahaan. Pencemar terkenal/
penggunaa membayar prinsip terus agen bertanggung jawab atas dampak biaya lingkungan
mereka. Para ekonom menganggap instrumen pasar internalisasi buaya lingkungan lebih
efisien dalam membawa tentang produksi berkelanjutan dan pola konsumsi dari regulasi
lingkungan hiup top-down. Dengan tidak adanya informasi akuntansi hijau, urgensi politik
dari pada perkiraan biaya rasional muncul untuk menentukan dalam banyak kasus
pengaturan instrumen pasar.
Oleh sebab itu, ruang lingkup CSR yang bergerak di lingkungan bisa menopang fungsi dari
green accounting itu sendiri. Apabila perusahaan telah melaksanakan CSRotomatis
perusahaan telah menerapkan green accounting dalam mengambil sebuahkebijakan,
apakah itu kebijakan keuangan maupun kebijakan non keuangan.
17
Akuntansi lingkungan mengalami kesulitan dalam pengukuran nilai cost and benefit
eksternalitas yang muncul dari proses industri. Bukan hal yang mudah untuk mengukur
kerugian masyarakat sekitar dan lingkungan ekologis yang ditimbulkan polusi udara,
limbah cair, kebocoran tabung amoniak, kebocoran tabung nuklir atau eksternalitas
lain. Pelaporan baik kinerja sosial maupun kinerja lingkungan ini tidak ada laporan
keuangan yang konvensional, dimana dalam laporan keuangan yang konvensional
hanya dijumpai laporan kinerja ekonomi saja (Idris, 2012). Begitu pula yang terjadi di
Indonesia masih sebatas anggapan sebagai suatu konsep yang rumit karena kurangnya
informasi yang komprehensif bagi stakeholder dikhawatirkan akan menimbulkan efek
dari implementasi dan pengeluaran biaya tambahan yang diakui sebagai beban yang
seharusnya tidak perlu dikeluarkan dalam perspektif akuntansi konvensional
(Nurhayati, Brown, dan Tower, 2006 dalam Arisandi dan Frisko, 2011). Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Gray et. al (1993) dalam Burrit dan Welch (1997)
bahwa pengungkapan biaya eksternalitas akan mempengaruhi pengambilan keputusan
dan mempengaruhi pertimbangan stakeholder karena reaksi pasar telah menunjukkan
hasil yang tidak berbeda terhadap aktivitas perusahaan yang melakukan (atau tidak)
kepentingan sosial dan lingkungan. Sehingga pelaksanaan akuntabilitas lingkungan
akan berhasil jika didukung oleh peraturan.
Menurut Solihin (2008) dalam Idris (2012), pelaksanaan CSR di Indonesia terutama
berkaitandengan pelaksanaan CSR untuk kategori discretionary responsibilities, yang
dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, pelaksanaan CSR memang
merupakan praktik bisnis secara sukarela dari inisiatif perusahaan dan bukan
merupakan aktivitas yang dituntut dilakukan perusahan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Kedua, pelaksanaan CSR sesuai dengan tuntutan undang-
undang (bersifat mandatory). Misalnya, BUMN memiliki kewajiban untuk
menyisihkan sebagian laba yang diperoleh perusahaan untuk menunjang kegiatan
sosial, dan perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumberdaya alam
atau berkaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR seperti
diatur oleh UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74.
Dilihat dari sudut dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara konseptual
masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan besar dan
CSRyang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah. Selama ini terdapat
anggapan yang keliru bahwa pelaksanaan CSR hanya diperuntukkan bagi perusahaan
besar yang dapat memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan,
padahal perusahaan kecil dan menengah pun bisa memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Apalagi bila perusahaan kecil dan menengah
itu banyak jumlahnya, tentu dampaknya akan terakumulasi dalam jumlah yang besar
dan untuk mengatasinya akan lebih sulit dibandingkan dampak yang ditimbulkan oleh
satu perusahaan besar.
Bila dilihat dari pelaksanaan CSR di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa
perusahaan yang telah melaksanakan program CSR dan membuat laporannya belum
18
bisa dikatakan sebagai perusahaan yang telah menerapkan akuntansi lingkungan. Hal
ini disebabkan karena dalam operasional perusahaan belum memasukkan upaya
pelestarian lingkungan sebagai bagian integral (Idris, 2012). Gray et al. (1993)
menyimpulkan bahwa mekanisme pengungkapan yang bersifat sukarela kurang tepat.
Bukti dari Deegan and Rankin (1996) menyebutkan bahwa pelaporan akuntansi
lingkungan bersifat bias karena perusahaan seringkali tidak melaporkan kabar buruk
(bad news).
19
dalam melakukan verifikasi terhadap laporan CSR (Utama, n.d). Agustin (2010)
melakukan penelitian pada perusahaan ekstraktif yaitu perusahaan yang proses
produksinya diambil langsung dari alam (natural resources) daftar perusahaan
ekstraktif pada Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melakukan program lingkungan.
Penelitian Agustin (2010) mendukung pemikiran sebelumnya.
Hasil yang didapat bahwa tidak ada pengaruh antara kinerja lingkungan dan kinerja
ekonomi perusahaan. Perusahaan yang memiliki standar kualitas mutu (ISO 9001 dan
ISO 14001) serta melakukan program CSR tidak berarti dapat menunjang kinerja
ekonomi yang diharapkan lebih baik. Selain itu Agustin (2010) juga mengungkapkan
bahwa tidak ada pengaruh antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan dan
antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. Hal ini berarti tidak adanya standar
baku pengungkapan CSR menjadikan perusahaan dapat melaporkan kinerja lingkungan
sebatas pada hal yang memberikan kesan positif kepada masyarakat dan tidak terkait
dengan hasil kinerja ekonomi perusahaan.
Sarumpaet (2005) dalam Almilia dan Wijayanto (2007), menguji hubungan antara
kinerja lingkungan dan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kinerja
lingkungan yang diteliti diukur dengan mengunakan rating kinerja lingkungan
perusahaan atau PROPER yang disediakan oleh Bapedal/Kementerian Lingkungan
Hidup RI, sedangkan kinerja keuangan diukur dengan ROA (Return On Assets).
Penelitian tersebut membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kinerja lingkungan dan kinerja keuangan perusahaan, akan tetapi ukuran perusahaan,
listing di BEJ dan ISO 14001 berhubungan secara signifikan terhadap kinerja
lingkungan.
Perusahaan perusahaan publik di Indonesia saat ini baru sampai pada batas memenuhi
kewajiban yang bersifat mandatory, dalam artian perusahaan-perusahaan tersebut baru
mengimplementasikan CSR pada kategori social obligation, yakni implementasi CSR
hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan minimal yang ditentukan oleh pemerintah
dan ada kesan terpaksa (Susanto, 2003 dalam Wibisono, 2007: 52-53). Hartanti (2007)
dalam Utama (n.d) melakukan penelitian menggunakan daftar yang didasarkan pada
Global Reporting Initiative (GRI) Guideline. Pengungkapan dibagi menjadi dua yaitu
pengungkapan informasi lingkungan hidup dan pengungkapan sistem manajemen
lingkungan hidup. Sampel yang digunakan adalah 81 perusahaan manufaktur BUMN
dan terbuka yang pernah menerima PROPER dari kementrian lingkungan hidup 14.
Hartanti (2007) menemukan bahwa rata-rata pengungkapan informasi lingkungan
hidup relatif rendah, yaitu hanya 8.3 dari maksimum skor 30; demikian pula rata-rata
pengungkapan sistem manajemen lingkungan hidup yang juga rendah, yaitu 2.6 dari
maksimum skor 7. Rendahnya pengungkapan informasi lingkungan dan sosial juga
dikemukakan oleh Darwin (2006):
20
informasi lingkungan dan sosial dalam laporan tahunan 2004. Bahkan hanya beberapa
perusahaan yang membuat laporan khusus tentang lingkungan dan sosial.
2.2.10 Kasus Green Business dan Green Accounting pada PT Semen Padang
Semen Padang berkomitmen untuk meminimalisasi dampak operasional, meningkatkan
penggunaan sumber daya yang berkelanjutan serta menjaga kelestarian lingkungan dengan
menginternalisasikannya dalam budaya Perusahaan melalui program.
“Semen Padang Elok Nagari”
21
desa ini terdapat salah satu unit usaha perusahaan, yakni Packing Plant Semen Padang,
yang dikenal dengan PP Lampung.
22
Semen Padang berkomitmen terhadap kinerja lingkungan dan tetap konsisten
dalam pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya terbarukan, melalui efisiensi dan peng
olahan sumber daya menjadi sumber daya yang terkonversi atau dapat terpakai kembali,
seperti pemakaian energy alternative (AFR), konservasi air, efisiensi pemakaian energy
dan material. Dalam mengurangi dampak lingkungan, Semen Padang menjalankan prinsif
3R(Reduce, Reuse and Recycle), Hal ini terlihat dari program inovasi untuk me-
Reduce biaya pemakaian energi listrik, seperti penggantian bola neon dengan LED, pema
kaian oli bekas menjadi pelumas dan pembangunan WHRPG (Waste HeatRecovery Power
Generator) yang merupakan Power Plant yang berkapasitas rencana12 MW, dari
pemakaian uap panas dari kiln. Segala kegiatan ini dilakukan untuk menghemat energi dan
memanfaatkan limbah. Untuk pengendalian emisi udara, Semen Padang melakukan
penambahan alat dengansistim yang canggih sebagai filter debu. Filter ini menyaring debu
dalam dua tahap dengan teknologi baru. Tahap pertama, debu disaring oleh separator, dan
selanjutnyadisaring lagi oleh Electrostatic Precipirator (EP). Udara dari EP inilah yang
boleh keluar menjadi udara ambient. Setiap cerobong udara ambient ini dipasang sensor
untuk pengukur emisi ambient secara realtime dan keluar dalam bentuk grafik. Pengawasan
limbah padat dan cair dikelola oleh Biro Keselamatan Kesehatan Kerjadan Lingkungan
Hidup (K3LH) Departemen Utilitas dan Jaminan Kualitas. Semua limbah dipilah antara
LB3 atau bukan LB3, sehingga bisa diperlakukan sesuai prosedur penanganan yang tepat
terhadap limbah tersebut.
3. Perubahan Iklim, Mitigasi dan Adaptasi
Semen Padang beroperasi dengan prinsip ramah lingkungan, dalam operasi bisnisnya
mengurangi aspek dampak efek gas rumah kaca, seperti emisi CO2, Nitrose Oksida (N2O),
Metan (CH4) sebagai komitmen berperan dalam mitigasi dan adaptasi atas pemanasan
global.4.
23
besifat memberi nilai atas lingkungan hidup, pelayanan pemulihan masalah ekosistem
serta upaya pemanfaatan sumber daya alam, seperti tanah, air dan udara secara
berkelanjutan.
5. Sertifikasi Lingkungan Hidup
Sebagai bukti komitmen dari program CSR Semen Padang, sampai dengan tahun2014
Semen padang telah memperoleh sertifikasi dibidang lingkungan yaitu SertifikatISO
14001:2004 / SNI 19 – 14001:2005
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Green accounting masih relatif baru di bidang akuntansi keuangan dan terus
berkembang. Namun, keberadaannya dianggap semakin penting untuk menghadapi
tantangan bisnis saat ini dan masa depan. Memang di beberapa penelitian tidak ada
hubungan yang signifikan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan. Tetapi,
menurut penulis, paradigma kapitalisme akuntansi yang memandang kinerja keuangan
adalah segalanya harus dialihkan. Sudah saatnya inisiatif pelestarian lingkungan
menjadi tanggung jawab setiap pihak (terutama perusahaan) yang mendapatkan
manfaat yang disediakan lingkungan itu sendiri.
25
CSR dalam komponen governance, diharapkan pelaksanaan green accounting
dan sustainability reporting akan lebih handal dan mengalami peningkatan.
26