Anda di halaman 1dari 26

SEMINAR AKUNTANSI KEUANGAN

“GREEN BUSINESS DAN GREEN ACCOUNTING SERTA KASUS-KASUS


TERKAIT

Disusun Oleh:
Kelompok 10
Intan Salsabila (1910531040)
Sri Wahyuni (1910531038)
Annisa Desri Rahmah (1910531017)

Dosen Pengampuh:
Dr. Yuskar, S.E., MA., Ak., CA.

DAPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVESITAS ANDALAS
2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin
Segala pujia bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan- Nya tentunya penulis
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga
tersampaikan kepada baginda tercinta kita, yakninya Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natukan syafa’atnya di akhirat kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Green Business dan Green Accounting serta Kasus-Kasus Terkait”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangung dari pembaca untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya.

Padang, November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 6
1.3 Tujuan ............................................................................................................................. 6
BAB II ............................................................................................................................................ 7
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 7
2.1 Green Business..................................................................................................................... 7
2.1.1 Defenisi Green Business ............................................................................................... 7
2.1.2 Karakteristik dari Green Business ............................................................................. 8
2.2 Green Accounting.............................................................................................................. 10
2.2.1 Definisi Green Accounting ......................................................................................... 10
2.2.2 Peraturan yang terkait dengan Green Accounting ................................................. 11
2.2.3 Sifat Dasar Akuntansi Lingkungan .......................................................................... 12
2.2.4 Alasan Penerapan Green Accounting ....................................................................... 13
2.2.5 Perbedaan Akuntansi Konvensional dengan Akuntansi Lingkungan .................. 15
2.2.6 Biaya Lingkungan....................................................................................................... 15
2.2.7 Keterkaitan Green Accounting, Corparate Social Responbility, dan Sustainable
Development ......................................................................................................................... 16
2.2.8 Penerapan Green Accounting di Indonesia.............................................................. 17
2.2.9 Kendala yang dihadapi .............................................................................................. 19
BAB III......................................................................................................................................... 25
PENUTUP .................................................................................................................................... 25
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 1992, para pemimpin bisnis dunia terlibat dalam Earth Summit di Rio Jeneiro,
Brazil. Konferensi yang diinisiasi oleh investor asal Swiss, Stephan Schimidheiny tersebut
membahas tentang isu-isu lingkungan. The UN Conference on Environment and Development—
sebagaimana secara resmi disebut—mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap lingkungan
yang menjadi penyebab pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi sumber
daya alam, dan seterusnya. Ratusan CEO dunia menghadiri konferensi tersebut dan mulai
menanyakan bagaimana peran perusahaan mereka untuk pelestarian lingkungan.

Keterlibatan para CEO tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap
sumber daya alam yang ada di bumi ini dikelola oleh perusahaan. Contohnya di Indonesia, minyak
bumi dan gas diproduksi oleh Pertamina, semen diproduksi oleh Semen Indonesia, emas dan nikel
diproduksi oleh Freeport dan masih banyak perusahaan lainya. Proses produksi yang dilakukan
oleh perusahaan tersebut hampir selalu menghasilkan emisi yang dapat merusak kualitas
lingkungan dan masyarakat. Seperti yang dilansir oleh berita online Guardian, sebanyak 90
perusahaan menghasilkan hampir dua dari tiga emisi buatan manusia yang menjadi penyebab
pemanasan global. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut terdapat nama-nama besar seperti
Chevrion, Exxon, dan BP. Tidak hanya perusahaan manufaktur, perusahaan jasa juga berpotensi
untuk menghasilkan emisi seperti perusahaan jasa transportasi.

Selain pencemaran udara, pengolahan sumber daya alam oleh perusahaan juga
menyebabkan deplesi. Deplesi mengancam keseimbangan ekosistem yang akan berdampak luas
bagi lingkungan. Misalnya, pengalihan fungsi hutan untuk kepentingan produksi perkebunan
kelapa sawit. Cadangan minyak bumi dunia juga semakin menipis. Laporan dari Biritish
Petrolium (BP) pada tahun 2014 menunjukan bahwa cadangan minyak dunia hanya bisa
mendukung proses produksi untuk 52 tahun ke depan. Hal ini menuntut perusahaan yang
menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi harus berusaha lebih keras untuk melakukan
efisiensi energi. Masih banyak lagi data statistik yang menunjukan deplesi sumber daya alam
lainnya. Oleh karena itu, perusahaan sebagai salah satu pengguna terbesar sumber daya alam harus

4
memimpin inisiatif efisiensi sumber daya alam, pengurangan emisi, dan pengembangan energi
baru terbarukan. Upaya tersebut disebut dengan green business

Berdasarkan fakta di atas, akuntansi sebagai alat kontrol dan penyedia informasi untuk
pengambilan keputusan akan memainkan peran yang cukup penting dalam konstelasi dunia bisnis.
Informasi yang diberikan oleh akuntansi akan menjadi salah satu faktor kesuksesan implementasi
green business. Selama ini, informasi akuntansi sangat identik digunakan untuk kepentingan
investor sebagai pengguna utama. Bagi investor, Informasi akuntansi memberikan gambaran
mengenai kinerja dan prospek keuangan suatu entitas. Sistem informasi akuntansi konvensional
tidak memberikan informasi mengenai dampak yang dihasilkan perusahaan terhadap lingkungan.
Infromasi akuntansi konvensional juga tidak memberikan gambaran mengenai resiko-resiko yang
akan dihadapi perusahaan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan semakin
meningkatnya kepedulian terhadap isu lingkungan, para pemangku kepentingan teruatama NGO,
masyarakat, dan pemerintah menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang
berkaitan dengan dampak lingkungan yang mereka sebabkan. Pada titik inilah akuntansi akan
memberikan informasi yang berkaitan dengan environmental performance sebuah perusahaan.

Environmental accounting atau green accounting memberikan informasi mengenai revenue


dan expense atas kinerja perusahaan dalam upaya perlindungan terhadap lingkungan. Bell dan
Lehman (1999) mengatakan, green accounting adalah sebuah konsep yang baru dalam dunia
akuntansi yang mendukung green movement sebuah perusahaan atau organisasi dengan cara
mengakui, mengukur, menghitung, dan mengungkapkan kontribusi lingkungan terhadap proses
bisnis. Informasi green accounting biasanya dilaporkan dalam environmental cost. Menurut Don
R. Hansen dalam bukunya Cost Management, environmental cost adalah biaya yang timbul akibat
kulitas lingkungan yang buruk terjadi atau mungkin terjadi. Oleh karena itu, environmental cost
berhubungan dengan pembentukan, pendeteksian, perbaikan, dan pencegahan atas degradasi
lingkungan.

Seperti laporan keuangan lainnya, environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat
kontrol dan evaluasi atas environmental peformance. Misalnya, berapa biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan pada suatu periode untuk pembersihan sungai karena limbah pabrik.
Monterary value-nya digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajer untuk pengembilan
keputusan pada periode berikutnya. Environmental cost juga dapat digunakan sebagai alat analisis

5
untuk meningkatkan efisiensi perusahaan terhadap penggunaan sumber daya alam. Tujuan akhir
dari environmental cost adalah untuk mencapai sustainable business dan sustainable development

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa definisi green business dan green accounting?
2. Apa karakteristik dari green business?
3. Apa fungsi dari green accounting?
4. Bagaimana sifat dasar green accounting?
5. Bagaimana kaitan green accounting, corporate social responbility, dan subtainable
development

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi green business dan green accounting
2. Untuk mengetahui karakteristik dari green accounting
3. Untuk mengetahui fungsi dari green accounting
4. Untuk mengetahui sifat dasar green accounting
5. Untuk mengetahui kaitan green accounting, corporate social responbility, dan subtainable
development

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Green Business


2.1.1 Defenisi Green Business
Melalui jurnal “Comparative Advantage & Green Business”, Ernst & Young (2008:11)
mengemukakan bahwa “green business adalah suatu hal yang relatif baru, dan sebuah
istilah yang tidak terdefinisi dengan baik sehingga dapat diinterpretasi dengan berbagai
cara yang berbeda oleh orang atau organisasi yang berbeda. Apa yang dianggap sebagai
‘green’ oleh sebuah organisasi bisa jadi tidak sama oleh organiasasi lainnya”. Walaupun
begitu, inti dasar dari sebuah green business adalah fokusnya pada keberlanjutan.
Menurut Eric Koester (2010:8), dalam bukunya yang berjudul Green Entrepreneur
Handbook, dituliskan bahwa “In general, green business are just like any other business in
that they must create sufficient profits to continue to operate. The difference lies in what
else green business concern themselves with – weighing the value of sustainability and
human capital, for instance. Dia juga menambahkan bahwa green business membutuhkan
komitmen yang seimbang antara profitabilitas (finance), keberlanjutan (sustainability) dan
kemanusiaan (humanity) (Eric Koester, 2010:8). Berdasarkan jurnal Dennis D.Hrisch
(2010:11) green business didefinisikan sebagai “voluntary actions by a private firm that
seeks to achieve better environmental performance and, simultaneously, to make the
company more competitive”. Sedangkan The Green Times menggunakan definisi sebagai
berikut: “Green is being concerned with and supporting environmentalism and tending to
preserve environmental quality.” (seperti yang dikutip oleh Eric Koester 2010:8).

Gil Friend (2009:2) mendefinisikan green business sebagai bisnis yang:


1. Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
2. Mematuhi regulasi tentang lingkungan
3. Melakukan kampanye pelestarian lingkungan
4. Melakukan CSR
5. Memiliki sistem manajemen yang mendukung gerakan hijau
6. Memiliki sertifikat ISO 14001
7. Bisnis yang berkelanjutan
8. Memberdayakan komunitas lokal

Konsep green business tidak bisa dilepaskan dengan sustainability. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, penerapan konsep green business berfokus pada keberlanjutan. Gil
Friend (2009:3) mendefenisikan sustainability sebagai “living and doing business in ways
that don’t erode the potential for future generations – commonly refers to the triple bottom
line (TBL) or economic, environmental, and social benefit”. Dalam sustainability, dikenal

7
istilah triple bottom line yang mencakup 3 sektor yang akan menentukan apakah organisasi
melakukan praktek berkelanjutan atau tidak. Robert Dahlstrom (2010:7) mengemukakan
bahwa “industry practice has embraced the notion that sustainability derives from focusing
on the triple bottom line”.

Robert (2010:7) menjelaskan secara detail bahwa: “The sustainable organization must
generate acceptable levels of economic performance, or it will not survive. It must also
nurture social performance in its interaction with customers, suppliers, consumers, and
other interest groups. Survival is also contingent on the firm’s ability to achieve acceptable
levels of environmental performance throughout the supply cycle from raw material
procurement to post consumption disposal.”

Kesimpulannya, “green business adalah sebuah konsep bisnis yang memberikan


kontribusi positif terhadap lingkungan dan komunitas sosial di saat yang bersamaan
meningkatkan keuntungan/profitability bagi organisasi”. Berdasarkan EC3 (2012:17),
dimensi ekonomi seperti cost saving, profit, economic growth, research & development.
Dimensi sosial mencakup standard of living, education, community dan equal opportunity.
Dan dimensi lingkungan mencakup natural resource use, environmental management dan
pollution prevention.

2.1.2 Karakteristik dari Green Business


Ada karakteristik khusus dari green business yang membedakannya dengan bisnis
lainnya. Dalam jurnalnya yang berjudul Green Business and The Importance of Reflexive
Law: What Michael Porter Didn’t Say, Dennis D. Hirsch (2010:11), mengidentifikasi 9
kategori utama dari perilaku green business. Disebutkan “When firms ‘go green’ they
exceed legal requirement by:
1. Directly reducing their own regulated, or unregulated, environmental impactsReducing
their customers’ environmental impacts and decrease their customer’ exposure to
unhealthy substances
2. Increasing their reuse and recycling of materials used in the production process
3. Improving their energy efficiency, or that of their customer
4. Improving their resource productivity, or that of their customers
5. Implementing systems to identify waste reduction, pollution prevention, energy
efficiency and/or resource productivity opportunities throughout the company of
facility
6. Collecting and disseminating more information about the firm’s environmental impacts
and performances that the law requires
7. Providing more opportunities for stakeholder input into corporate decision making than
the law requires
8. Financing and investing in green products and business

8
Strategies for Sustainable World yang memenangkan ‘Best Article’ di Harvard Business
Review dan membantu dalam meluncurkan ‘the movement for corporate sustainability’,
menyebutkan ada 3 tahapan yang mengerakkan sebuah perusahaan ke arah keberlanjutan,
yaitu:
Tahap pertama: Pollution Prevention The first step for most companies is to make the shift
from pollution control to pollution prevention. Pollution control means cleaning up waste
after it has been created. Pollution prevention focuses on minimizing or eliminating waste
before it is created.

Tahap kedua: Product Stewardship Product stewardship focuses on minimizing not only
pollution from manufacturing but also all environmental impacts associated with the full
life cycle of product.

Tahap ketiga: Clean Technology Companies with their eye on the future can begin to plan
for and invest In tomorrow’s technologies. The simple fact is that the existing technology
base in many industries is not environmentally sustainable.

Menurut Eric Koester (2010:14), Sektor green business memiliki penekanan yang kuat
pada energi. “This includes businesses focusing on generating electricity from renewable
resources and on energy efficiency, as well as those involved in the smart grid, alternative
fuels and transportation, green plastics, and countless others. In fact, many must work with
the utilities in order to succeed”.
Sedangkan Cooney dalam Eric Koester (2010:8) mengemukakan 4 kriteria dari green
business, sebagai berikut:
1. It incorporates principles of sustainability into each of its business decisions
2. It supplies environmentally friendly products or services that replaces demand for non-
green products and/or services
3. It is greener than traditional competition
4. It has made an enduring commitment to environmental principles in its business
operations.
Green Bussiness merupakan salah satu bagian dari green economy yang mensinergikan
nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan (Mutamimah, 2011). Melalui implementasi green
business akan diperoleh suatu sinergi dan kesinambungan antara
a) Tujuan ekonomi, yaitu: keberlangsungan profit dan pertumbuhan perusahaan,
b) Tujuan sosial, yaitu: kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,
c) Tujuan lingkungan, yaitu: terpeliharanya lingkungan dalam jangka panjang

9
Fenomena green business ini menjadi daya tarik berbagai pihak, baik konsumen maupun
investor. Artinya konsumen akan lebih memilih produk dan jasa yang sehat, berkualitas,
aman dalam jangka panjang dan tidak mencemari lingkungan

2.2 Green Accounting


2.2.1 Definisi Green Accounting
Akuntansi merupakan suatu ilmu yang dipengaruhi dan mempengaruhi
lingkungannya. Eksistensinya tidak bebas nilai terhadap perkembangan masa. Metode-
metode pembukuan juga terus berkembang mengikuti kompleksitas bisnis. Ketika
kepedulian terhadap lingkungan mulai mendapat perhatian masyarakat, akuntansi
berbenah diri agar siap menginternalisasi berbagai eksternalitas.
Belkoui dan Ronald (1991) menjelaskan bahwa budaya merupakan faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan struktur bisnis dan lingkungan sosial, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi akuntansi. Konsekuensi dari wacana akuntansi sosial dan
lingkungan ini pada akhirnya memunculkan konsep Socio Economic Environmental
Accounting (SEEC) yang sebenarnya merupakan penjelasan singkat pengertian Triple
Bottom Line, yaitu pelaporan akuntansi ke publik tidak saja mencakup kinerja ekonomi
tetapi juga kinerja lingkungan dan sosialnya.
Bell dan Lehman (1999) mendefinisikan akuntansi lingkungan sebagai : “Green
accounting is one of the contemporary concepts in accounting that support the green
movement in the company or organization by recognizing, quantifying, measuring and
disclosing the contribution of the environment to the business process”.

Berdasarkan definisi green accounting di atas, maka bisa dijelaskan bahwa green
accounting merupakan akuntansi yang di dalamnya mengidentifikasi, mengukur, menilai,
dan mengungkapkan biaya-biaya terkait dengan aktivitas perusahaan yang berhubungan
dengan lingkungan (Aniela, 2012).
Sedangkan aktivitas dalam green accounting dijelaskan oleh Cohen dan Robbins
(2011:190) sebagai berikut: “Environmental accounting collects, analyzes, assesses, and
prepares reports of both environmental and financial data with a view toward reducing
environmental effect and costs. This form of accounting is central to many aspects of
governmental policy as well. Consequently, environmental accounting has become a key
aspect of green business and responsible economic development”.
Melalui penerapan green accounting maka diharapkan lingkungan akan terjaga
kelestariannya, karena dalam menerapkan green accounting maka perusahaan akan secara
sukarela mamatuhi kebijakan pemerintah tempat perusahaan tersebut menjalankan
bisnisnya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh De Beer dan Friend (2005)

10
membuktikan bahwa pengungkapan semua biaya lingkungan, baik internal maupun
eksternal, dan mengalokasikan biaya-biaya ini berdasarkan tipe biaya dan pemicu biaya
dalam sebuah akuntansi lingkungan yang terstruktur akan memberikan kontribusi baik
pada kinerja lingkungan (Aniela; 2012).

Beberapa teori yang mendukung penyampaian laporan pertanggungjawaban sosial


dan lingkungan adalah legitimacy theory dan stakeholder theory (Deegan, 2004: 292).
Legitimacy theory menyatakan bahwa perusahaan akan memastikan bahwa mereka
beroperasi dalam batasan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan
tempat perusahaan berada.
Ghozali dan Chariri (2007) menjelaskan bahwa guna melegitimasi aktivitas
perusahaan di mata masyarakat, perusahaan cenderung menggunakan kinerja berbasis
lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan. Sedangkan stakeholder theory
memperhatikan keseluruhan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan.
Stakeholer perusahaan memiliki ekspektasi masing-masing terhadap perusahaan.
Manajemen akan berusaha untuk mengelola dan mencapai harapan stakeholder dengan
penyampaian aktivitas-aktivitas lingkungan dan social

2.2.2 Peraturan yang terkait dengan Green Accounting


1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini
mengatur tentang kewajiban setiap orang yang berusaha atau berkegiatan untuk
menjaga, mengelola, dan memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
lingkungan hidup. Akibat hukum juga telah ditentukan bagi pelanggaran yang
menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

2. Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU ini diatur
kewajiban bagi setiap penanam modal berbentuk badan usaha atau perorangan untuk
melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan, menjaga kelestarian lingkungan
hidup dan menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar. Pelanggaran terhadap
kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis, pembatasan,
pembekuan, dan pencabutan kegiatan dan/atau fasilitas penanaman modal.

3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU ini mewajibkan


bagi perseroan yang terkait dengan sumber daya alam untuk memasukkan perhitungan
tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagai biaya yang dianggarkan secara patut dan
wajar. Pelanggaran terhadap hal tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11
4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No: KEP-
134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau
Perusahaan Publik. UU ini mengatur mengenai kewajiban laporan tahunan yang
memuat Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) harus menguraikan aktivitas
dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan.

5. Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penetapan Peringkat Kualitas


Aktiva Bagi Bank Umum. Dalam aturan ini aspek lingkungan menjadi salah satu syarat
dalam pemberian kredit. Setiap perusahaan yang ingin mendapatkan kredit perbankan,
harus mampu memperlihatkan kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan.
Standar pengukur kualitas limbah perusahaan yang dipakai adalah PROPER. Dengan
menggunakan lima peringkat (hitam, merah, biru, hijau, dan emas) perusaahaan akan
diperingkat berdasarkan keberhasilan dalam pengelolaan limbahnya.

2.2.3 Sifat Dasar Akuntansi Lingkungan


1. Relevan: Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang valid terkait dengan
manfaat biaya pelestarian yang dapat memberikan dukungan dalam pengambilan
keputusan stakeholder. Namun, pertimbangan harus diberikan kepada materialitas dan
signifikansi dari relevansi. Dalam akuntansi lingkungan, materialitas ditempatkan pada
aspek kuantitas dan signifikansi ditempatkan pada aspek kualitas. Dari sudut pandang
materialitas, perhatian diberikan kepada dampak kuantitatif dari data yang dinyatakan
dalam nilai moneter atau unit fisik. Sedangkan signifikansi berfokus pada kualitas
informasi dari sudut pandang pelestarian lingkungan atau dampak masa depan yang
dibawanya.

2. Andal: Akuntansi lingkungan harus memberikan informasi yang akurat atau tidak bias
dan dapat memberikan bantuan dalam membangun kepercayaan stakeholder.
Pengungkapan informasi akuntansi lingkungan seharusnya tidak hanya menjadi
formalitas belaka untuk sekedar memenuhi persyaratan undang-undang yang berlaku.
Bila perlu, perusahaan harus menentukan metode yang tepat dan sesuai dengan
pengungkapan dan secara akurat dapat menggambarkan kegiatan lingkungan yang
sebenarnya. Dalam hal pengungkapan informasi tersebut tidak sepenuhnya
dikomunikasikan mengikuti format yang ditetapkan oleh undang-undang. Informasi
tambahan yang diperlukan harus disediakan untuk lebih menjelaskan realitas secara
lengkap.

12
3. mudah dipahami: Dengan tujuan pengungkapan data akuntansi lingkungan yang
mudah untuk dipahami, akuntansi lingkungan harus menghilangkan setiap
kemungkinan timbulnya penafsiran yang keliru tentang kegiatan pelestarian
lingkungan. Untuk memastikan bahwa informasi yang diungkapkan mudah dipahami
bagi para pemangku kepentingan, kata-kata harus dibuat sesederhana mungkin.

4. Dapat dibandingkan: Akuntansi dapat dibandingkan dari tahun ke tahun bagi sebuah
perusahaan dan juga dapat di bandingkan antarperusahaan yang berbeda di sektor yang
sama. Adalah penting untuk memastikan keterbandingan agar tidak menciptakan
kesalahpahaman antara stakeholder. Namun, karena fakta bahwa pengungkapan
akuntansi lingkungan bersifat independen dan berbeda-beda, perbandingan yang
sederhana pun ulit dilakukan ketika terdapat perbedaan sektor bisnis dan jenis operasi.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus di mana metode yang kompleks telah dipilih dan
ditetapkan dalam suatu pedoman untuk digunakan sebagai dasar untuk perbandingan,
isi dari metode tersebut harus dinyatakan dengan jelas dan ketelitian harus dilakukan
agar tidak menghasilkan kesalahpahaman antara stakeholder.

5. Dapat dibuktikan: Data akuntansi lingkungan harus diverifikasi secara objektif.

2.2.4 Alasan Penerapan Green Accounting


Aktivitas-aktivitas implementasi green accounting tentunya mengeluarkan biaya.
Aktivitas tersebut merupakan biaya yang harus dibebankan oleh perusahaan. Dengan
beban yang telah dialokasikan diharapkan akan membentuk lingkungan yang terjaga
kelestariannya. Kinerja lingkungan merupakan salah satu pengukuran penting dalam
menunjang keberhasilan perusahaan. Beberapa alasan yang dapat mendukung
pelaksanaan akuntansi lingkungan antara lain (Fasua, 2011):

1. Biaya lingkungan secara signifikan dapat dikurangi atau dihilangkan sebagai


hasil dari keputusan bisnis, mulai dari perubahan dalam operasional dan
pemeliharaan untuk diinvestasikan dalam proses yang berteknologi hijau serta
untuk perancangan kembali produk yang dihasilkan.

2. Biaya lingkungan jika tidak mendapatkan perhatian khusus akan menjadi tidak
jelas dan masuk dalam akun overhead atau bahkan akan diabaikan.

3. Banyak perusahaan telah menemukan bahwa biaya lingkungan dapat diimbangi


dengan menghasilkan pendapatan melalui penjualan limbah sebagai suatu
produk.

13
4. Pengelolaan biaya lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan perbaikan
kinerja lingkungan dan memberikan manfaat yang signifikan bagi kesehatan
manusia serta keberhasilan perusahaan.

5. Memahami biaya lingkungan dan kinerja proses dan produk dapat mendorong
penetapan biaya dan harga produk lebih akurat dan dapat membantu perusahaan
dalam mendesain proses produksi, barang dan jasa yang lebih ramah
lingkungan untuk masa depan.

6. Perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang didapat dari proses,


barang, dan jasa yang bersifat ramah lingkungan. Brand image yang positif akan
diberikan oleh masyarakat karena keberhasilan perusahaan dalam
memproduksi barang dan jasa dengan konsep ramah lingkungan (Schaltegger
dan Burritt, 2000 dalam Arisandi dan Frisko, 2011). Hal ini berdampak pada
segi pendapatan produk, yaitu memungkinkan perusahaan tersebut untuk
menikmati diferensiasi pasar, konsumen memiliki kecenderungan untuk
bersedia membayar harga yang mahal untuk produk yang berorientasi
lingkungan dengan harga premium (Aniela, 2012).

7. Akuntansi untuk biaya lingkungan dan kinerja lingkungan dapat mendukung


perkembangan perusahaan dan operasi dari sistem manajemen lingkungan
secara keseluruhan. Sistem seperti ini akan segera menjadi keharusan bagi
perusahaan yang bergerak dalam perdagangan internasional karena adanya
persetujuan berlakunya standar internasional ISO 14001.

8. Pengungkapan biaya lingkungan akan meningkatkan nilai dari pemegang


saham karena kepedulian perusahaan terhadap pelestarian lingkungan.
Pemegang saham perusahaan dapat lebih mudah dan cepat mendapatkan
informasi dari pengungkapan tersebut sehingga dapat mempermudah
pengambilan keputusan (Arisandi dan Frisko, 2011). Selain itu, Alexopoulus et
al. (2011) menunjukkan bahwa perbaikan kinerja lingkungan adalah potensi
sumber keunggulan kompetitif yang mengarah ke proses yang lebih efisien,
peningkatan produktivitas, biaya kepatuhan lebih rendah dan peluang pasar
baru.

Dengan demikian, mengintegrasikan akuntansi lingkungan ke dalam sistem informasi


akuntansi perusahaan sangat penting. Memiliki sistem akuntansi lingkungan yang tepat
akan memungkinkan manajemen untuk membuat keputusan yang lebih tepat mengenai
hal-hal tersebut. Sistem ini memberikan analisis yang lebih baik atas biaya lingkungan
dan dapat mengungkapkan peluangyang mungkin bisa meningkatkan pendapatanantara
lain seperti daur ulang dari bahan baku,desain produk dan proses manufaktur yang lebih
baik. Tujuan dari tulisan ini adalah untukmenekankan pentingnya akuntansi lingkungan
dalam suatu organisasi dan untuk bangsa -sebaiknya bersikap 'green' - bahwa

14
minimisasi limbah dan skema efisiensi energi dapat danakan menghasilkan manfaat
ekonomi yang besar bagi organisasi.
2.2.5 Perbedaan Akuntansi Konvensional dengan Akuntansi Lingkungan
Akuntansi konvensional menurut Craig & Ben Gorgon (2001) dalam Rossje
2006 memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1. Mengidentifikasi entitas akuntansi
2. Mengaitkan aktivitas ekonomi dari entitas akuntansi
3. Mencatat kejadian ekonomi (economic events)
4. Hanya diperuntukkan secara khusus untuk investor dan lainnya yang
berkepentingan dengan entitas akuntansi (stockholder)

Sedangkan karakteristik akuntansi lingkungan adalah :


1. Mengidentifikasi kejadian ekonomi, sosial dan lingkungan
2. Entitas akuntansi
3. Memperhatikan dampak kejadian ekonomi, sosial, dan lingkungan demi
4. kelangsungan hidup organisasi perusahaan
5. Menghasilkan informasi untuk para stakeholder seperti masyarakat, publik,
6. karyawan atau buruh, generasi akan datang

Akuntansi konvensional tidak memiliki perhatian terhadap transaksi-transaksi yang


bersifat non reciprocal transactions, tetapi hanya mencatat transaksi secara timbal balik
(reciprocal transactions). Sedangkan akuntansi lingkungan mencatat transaksi yang
bersifat tidak timbal balik, seperti polusi, kerusakan lingkungan atau hal-hal negatif
dari aktivitas perusahaan. Dalam sistem akuntansi lingkungan berorientasi pada flow
yang mendasarkan pada analisis sebab dan akibat secara sistematis khususnya biaya
yang terkait dengan output, seperti emisi, pembuangan sampah dan limbah yang
dijadikan input perusahaan. Namun dalam akuntansi konvensional, biaya-biaya
tersebut diberlakukan sebagai biaya overhead (factory overhead cost) dan dialokasikan
secara terpisah.

2.2.6 Biaya Lingkungan


Pengungkapan akuntansi lingkungan di mayoritas negara termasuk Indonesia masih
bersifat voluntary, artinya tidak ada aturan yang mewajibkan. (Utama, 2006 dalam
Suryono dan Prastiwi,2011). Akuntansi keuangan konvensional menurut Idris (2012)
belum dapat menyajikan informasi asset, liabilitas, pendapatan dan beban atau biaya
yang terkait dengan pelestarian lingkungan.
Dua hal penting yang perlu didiskusikan, yaitu:
1. Pengungkapan masih bersifat sukarela. Perusahaan terlebih dahulu akan
mempertimbangkan manfaat dan biaya atas pengungkapan informasi
lingkungan. Jika manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan, maka perusahaan dengan sukarela akan mengungkapkan informasi

15
tersebut (Darwin, 2004). Hal ini berimplikasi pula pada luas dan kedalaman
pengungkapan informasi lingkungan. Jika informasi tersebut bersifat „bad
news‟ maka perusahaan mempertimbangkan untuk tidak mengungkapkan hal
tersebut.
2. Akuntansi lingkungan belum dianggap sebagai bagian integral dalam
operasional perusahaan sehingga beban lingkungan yang timbul tidak
diperlakukan sebagai tambahan harga pokok produksi dan atau tambahan biaya
operasional tidak langsung. Padahal, pada hakekatnya biaya lingkungan adalah
biaya yang muncul akibat kegiatan proses produksi yang dilakukan oleh suatu
perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa. Bila perusahaan tidak
melakukan kegiatan produksi, maka biaya lingkungan ini tidak akan muncul.
Keadilan ekonomi tidak akan terjadi jika penurunan fungsi lingkungan oleh
suatu agen ekonomi (produsen), harus ditanggung oleh agen ekonomi lain
(individu atau masyarakat) yang tidak ikut menikmati manfaat (benefit) dari
suatu produk yang dihasilkan. Bila biaya lingkungan ini dibebankan pada
produk yang dihasilkan, maka harga pokok produksinya harga jualnya tentu
akan naik pula (Idris, 2012).
Didalam akuntasi lingkungan ada beberapa komponen pembiayaan yang harus
dihitung misalnya :
1. Biaya operasional bisnis yang terdiri dari biaya depresiasi fasilitasi lingkungan,
biaya memperbaiki fasilitais lingkungan, jasa atau fee kontrak untuk
menjalankan fasilitas pengelolaan lingkungan, biaya tenaga kerja untuk
mengjalankan operais fasilitas pengelolaan lingkungan serta baya kontrak
untuk pengelolaan limbah (recycling).
2. Biaya daur ulang yang dijual yang disebut sebagai “Cost incurred by upstream
and down-stream business operations” is the contract fee paid to the Japan
Container and Package Recycling Association.
3. Biaya penelitian dan pengembangan (Litbang) yang terdiri dari biaya total
untuk material dan tenaga ahli, tenaga kerja lain untuk pengembangan material
yang ramah lingkungan, produk dan fasilitasi pabrik. Berikut jenis-jenis
aktivitas yang termasuk dalam perhitungan akuntansi lingkungan
(environmental cost)

2.2.7 Keterkaitan Green Accounting, Corparate Social Responbility, dan Sustainable


Development
Keadaan teknologi pada kehidupan manusia tentu mempengaruhi keseimbangan
lingkungan hidup yang berada disekitar manusia. Perkembangan teknologi yang pesat
membuat lingkungan disekitarnya sedikit demi sedikit akan terancam kelestariannya. Pada
saat ini, setiap negara berupaya untuk mengatasi potensi ancaman yang ditimbulkan oleh

16
perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya, dan hal ini merupakan kekuatan utama
yang melatarbelakangi munculnya akuntansi hijau.
Green accounting yang dasarnya merupakan penggabungan kebijakan keuangan dan non-
keuangan secara garis besar mengambil keputusan bisnis berdasarkan analisis biaya dan
dampak lingkungan dari kebijakan bisnis yang diterapkan. Melalui CSR analisis terhadap
dampak lingkungan serta estimasi biaya yang dikeluarkan secara otomatis akan
mempengaruhi setiap langkah perusahaan dalam mengambil kebijakan dalam
menggunakan sumber daya alam yang ada disekitarnya.
CSR sendiri merupakan alat pembagi perusahaan untuk memperlihatkan tanggung
jawabnya kepada lingkungan dari hasil apa yang mereka peroleh. Melali CSR perusahaan
secara kontiniu akan mempraktekkan apa yang disebut dengan Accounting.
Studi kasus akuntansi hijau diterapkan penilaian pasar terutama untuk penipisan sumber
daya alam. Dengan tidak adanya harga pasar untuk aset non-produksi, sumber daya alam
sewa yang diterima dengan menjual output di pasar di pasar sumber daya digunakan untuk
memperkirakan nilai sekarang bersih dan perubahan nilai (terutama dari deplesi) dari aset.
Untuk degradasi lingkungan, biaya pemeliharaan menghindari atau mengurangi dampak
lingkungan dapat diterapkan.
Sebuah kekuatan khusus akuntansi hijau adalah pengukuran biaya lingkungan yang
disebabkan oleh agen-agen ekonomi rumah tangga dan perusahaan. Pencemar terkenal/
penggunaa membayar prinsip terus agen bertanggung jawab atas dampak biaya lingkungan
mereka. Para ekonom menganggap instrumen pasar internalisasi buaya lingkungan lebih
efisien dalam membawa tentang produksi berkelanjutan dan pola konsumsi dari regulasi
lingkungan hiup top-down. Dengan tidak adanya informasi akuntansi hijau, urgensi politik
dari pada perkiraan biaya rasional muncul untuk menentukan dalam banyak kasus
pengaturan instrumen pasar.
Oleh sebab itu, ruang lingkup CSR yang bergerak di lingkungan bisa menopang fungsi dari
green accounting itu sendiri. Apabila perusahaan telah melaksanakan CSRotomatis
perusahaan telah menerapkan green accounting dalam mengambil sebuahkebijakan,
apakah itu kebijakan keuangan maupun kebijakan non keuangan.

2.2.8 Penerapan Green Accounting di Indonesia

17
Akuntansi lingkungan mengalami kesulitan dalam pengukuran nilai cost and benefit
eksternalitas yang muncul dari proses industri. Bukan hal yang mudah untuk mengukur
kerugian masyarakat sekitar dan lingkungan ekologis yang ditimbulkan polusi udara,
limbah cair, kebocoran tabung amoniak, kebocoran tabung nuklir atau eksternalitas
lain. Pelaporan baik kinerja sosial maupun kinerja lingkungan ini tidak ada laporan
keuangan yang konvensional, dimana dalam laporan keuangan yang konvensional
hanya dijumpai laporan kinerja ekonomi saja (Idris, 2012). Begitu pula yang terjadi di
Indonesia masih sebatas anggapan sebagai suatu konsep yang rumit karena kurangnya
informasi yang komprehensif bagi stakeholder dikhawatirkan akan menimbulkan efek
dari implementasi dan pengeluaran biaya tambahan yang diakui sebagai beban yang
seharusnya tidak perlu dikeluarkan dalam perspektif akuntansi konvensional
(Nurhayati, Brown, dan Tower, 2006 dalam Arisandi dan Frisko, 2011). Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Gray et. al (1993) dalam Burrit dan Welch (1997)
bahwa pengungkapan biaya eksternalitas akan mempengaruhi pengambilan keputusan
dan mempengaruhi pertimbangan stakeholder karena reaksi pasar telah menunjukkan
hasil yang tidak berbeda terhadap aktivitas perusahaan yang melakukan (atau tidak)
kepentingan sosial dan lingkungan. Sehingga pelaksanaan akuntabilitas lingkungan
akan berhasil jika didukung oleh peraturan.

Menurut Solihin (2008) dalam Idris (2012), pelaksanaan CSR di Indonesia terutama
berkaitandengan pelaksanaan CSR untuk kategori discretionary responsibilities, yang
dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, pelaksanaan CSR memang
merupakan praktik bisnis secara sukarela dari inisiatif perusahaan dan bukan
merupakan aktivitas yang dituntut dilakukan perusahan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Kedua, pelaksanaan CSR sesuai dengan tuntutan undang-
undang (bersifat mandatory). Misalnya, BUMN memiliki kewajiban untuk
menyisihkan sebagian laba yang diperoleh perusahaan untuk menunjang kegiatan
sosial, dan perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumberdaya alam
atau berkaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR seperti
diatur oleh UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74.

Dilihat dari sudut dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara konseptual
masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan besar dan
CSRyang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah. Selama ini terdapat
anggapan yang keliru bahwa pelaksanaan CSR hanya diperuntukkan bagi perusahaan
besar yang dapat memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan,
padahal perusahaan kecil dan menengah pun bisa memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Apalagi bila perusahaan kecil dan menengah
itu banyak jumlahnya, tentu dampaknya akan terakumulasi dalam jumlah yang besar
dan untuk mengatasinya akan lebih sulit dibandingkan dampak yang ditimbulkan oleh
satu perusahaan besar.
Bila dilihat dari pelaksanaan CSR di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa
perusahaan yang telah melaksanakan program CSR dan membuat laporannya belum

18
bisa dikatakan sebagai perusahaan yang telah menerapkan akuntansi lingkungan. Hal
ini disebabkan karena dalam operasional perusahaan belum memasukkan upaya
pelestarian lingkungan sebagai bagian integral (Idris, 2012). Gray et al. (1993)
menyimpulkan bahwa mekanisme pengungkapan yang bersifat sukarela kurang tepat.
Bukti dari Deegan and Rankin (1996) menyebutkan bahwa pelaporan akuntansi
lingkungan bersifat bias karena perusahaan seringkali tidak melaporkan kabar buruk
(bad news).

2.2.9 Kendala yang dihadapi


Menurut Utama (n.d) struktur governance ikut menentukan pelaksanaan pelaporan
CSR. Seperti dikemukakan oleh Cooper dan Owen (2007), dengan struktur governance
yang saat ini masih menekankan hanya pada kepentingan pemegang saham, maka sulit
bagi stakeholders untuk menuntut akuntabilitas perusahaan melalui mekanisme
governance. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena pemegang sahamlah yang
berinisiatif mendirikan perusahaan, menempatkan modalnya, dan sebagai residual
claimant adalah pihak terakhir yang berhak atas imbal hasil perusahaan setelah
kewajiban kepada pihak lain dipenuhi. Sesuai dengan penelitian Suryono dan Prastiwi
(2011) yang meneliti seluruh perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia
(BEI) untuk periode tahun 2007 sampai dengan 2009, hasilnya menyatakan bahwa
praktik pengungkapan CSR dipengaruhi oleh profitabilitas (ROA), ukuran perusahaan
dan CG (komite audit dan dewan direksi).
Untuk mengkompensasi risiko yang ditanggung pemegang saham, maka mereka
diberikan hak untuk mengawasi dan mengatur kepengurusan perusahaan. Oleh
karenanya, yang diperlukan adalah menyediakan instrumen tambahan dalam struktur
governance yang mendorong terciptakan kegiatan dan pelaporan CSR, misalnya
dibentuknya komite CSR. Hingga kini belum ada aturan yang mewajibkan perusahaan
untuk memiliki Komite CSR dan saat ini, sangat jarang perusahaan di Indonesia
memiliki komite CSR. Keberadaan komite CSR terutama sangat penting untuk
perusahaan yang berada di sektor yang potensial menimbulkan eksternalitas negatif
(misalnya sektor kehutanan,pertambangan). Instrumen lainnya untuk mendukung
pelaksanaan CSR adalah keberadaan jasa assurance atas laporan CSR oleh pihak
eksternal dan independen yang berperan untuk memberi keyakinan bagi stakeholders
bahwa laporan tersebut telah disusun sesuai dengan standar pelaporan yang ada.
Namun, permasalahan lain yang muncul adalah bahwa laporan yang telah diverifikasi
oleh pihak eksternalpun masih perlu dipertanyakan keandalan, konsistensi, dan
keabsahannya (robustness). Kenyataan ini disebabkan karena hingga kini belum ada
standar assurance terkait dengan pelaporan CSR yang diterima umum (Adams, 2002;
Owen et al., 2000), sehingga jasa assurance umumnya menggunakan standar assurance
keuangan, yang kurang tepat untuk laporan CSR karena cakupannya lebih luas dan
lebih bersifat kualitatif (O‟Dwyer, 2001). Dengan demikian diperlukan suatu standar
assurance yang diterima umum sehingga dapat dijadikan acuan oleh auditor eksternal

19
dalam melakukan verifikasi terhadap laporan CSR (Utama, n.d). Agustin (2010)
melakukan penelitian pada perusahaan ekstraktif yaitu perusahaan yang proses
produksinya diambil langsung dari alam (natural resources) daftar perusahaan
ekstraktif pada Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melakukan program lingkungan.
Penelitian Agustin (2010) mendukung pemikiran sebelumnya.
Hasil yang didapat bahwa tidak ada pengaruh antara kinerja lingkungan dan kinerja
ekonomi perusahaan. Perusahaan yang memiliki standar kualitas mutu (ISO 9001 dan
ISO 14001) serta melakukan program CSR tidak berarti dapat menunjang kinerja
ekonomi yang diharapkan lebih baik. Selain itu Agustin (2010) juga mengungkapkan
bahwa tidak ada pengaruh antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan dan
antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. Hal ini berarti tidak adanya standar
baku pengungkapan CSR menjadikan perusahaan dapat melaporkan kinerja lingkungan
sebatas pada hal yang memberikan kesan positif kepada masyarakat dan tidak terkait
dengan hasil kinerja ekonomi perusahaan.
Sarumpaet (2005) dalam Almilia dan Wijayanto (2007), menguji hubungan antara
kinerja lingkungan dan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kinerja
lingkungan yang diteliti diukur dengan mengunakan rating kinerja lingkungan
perusahaan atau PROPER yang disediakan oleh Bapedal/Kementerian Lingkungan
Hidup RI, sedangkan kinerja keuangan diukur dengan ROA (Return On Assets).
Penelitian tersebut membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kinerja lingkungan dan kinerja keuangan perusahaan, akan tetapi ukuran perusahaan,
listing di BEJ dan ISO 14001 berhubungan secara signifikan terhadap kinerja
lingkungan.

Perusahaan perusahaan publik di Indonesia saat ini baru sampai pada batas memenuhi
kewajiban yang bersifat mandatory, dalam artian perusahaan-perusahaan tersebut baru
mengimplementasikan CSR pada kategori social obligation, yakni implementasi CSR
hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan minimal yang ditentukan oleh pemerintah
dan ada kesan terpaksa (Susanto, 2003 dalam Wibisono, 2007: 52-53). Hartanti (2007)
dalam Utama (n.d) melakukan penelitian menggunakan daftar yang didasarkan pada
Global Reporting Initiative (GRI) Guideline. Pengungkapan dibagi menjadi dua yaitu
pengungkapan informasi lingkungan hidup dan pengungkapan sistem manajemen
lingkungan hidup. Sampel yang digunakan adalah 81 perusahaan manufaktur BUMN
dan terbuka yang pernah menerima PROPER dari kementrian lingkungan hidup 14.
Hartanti (2007) menemukan bahwa rata-rata pengungkapan informasi lingkungan
hidup relatif rendah, yaitu hanya 8.3 dari maksimum skor 30; demikian pula rata-rata
pengungkapan sistem manajemen lingkungan hidup yang juga rendah, yaitu 2.6 dari
maksimum skor 7. Rendahnya pengungkapan informasi lingkungan dan sosial juga
dikemukakan oleh Darwin (2006):

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) kompartemen Akuntansi Manajemen setiap tahun


mengadakan Indonesian Sustainability Reporting Awards (ISRA), yang menemukan
bahwa hanya sekitar 10% dari perusahaan publik di Indonesia mengungkapkan

20
informasi lingkungan dan sosial dalam laporan tahunan 2004. Bahkan hanya beberapa
perusahaan yang membuat laporan khusus tentang lingkungan dan sosial.

2.2.10 Kasus Green Business dan Green Accounting pada PT Semen Padang
Semen Padang berkomitmen untuk meminimalisasi dampak operasional, meningkatkan
penggunaan sumber daya yang berkelanjutan serta menjaga kelestarian lingkungan dengan
menginternalisasikannya dalam budaya Perusahaan melalui program.
“Semen Padang Elok Nagari”

A. Melestarikan Lingkungan dan Konversi Energi (Planet)


Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan dukungan Semen Padang terhadapkelestarian
lingkungan dan meningkatkan kualitas kehidupan bumi maka sepanjang tahun2014 Semen
Padang telah melakukan kegiatan diantaranya sebagai berikut:
1. Pengembangan Hutan Nagari
Untuk menjalankan program CSR terhadap lingkungan, tahun 2014 Semen Padang
kembali bergerak cepat dalam menjalankan program-programnya pada tahun 2014 ini. Kali
ini yang menjadi sasarannya adalah pengembangan hutan nagari untuk penanaman
pohon gaharu. Gaharu merupakan salah satu komoditi yang
sangat bagus prospeknya. Selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, pohon gaharu juga
sangat bagus untuk lingkungan terutama bagi paru-paru bumi.
Untuk menjalankan program CSR yang termasuk dalam “Elok Nagari” ini, maka Semen
Padang menggandeng pihak pihak terkait yaitu dengan Dekanat FakultasPertanian
Universitas Andalas
2. Bantuan Sarana Air Bersih
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar Packing
PlantSemen Padang di Lampung, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)
Semen Padang menyerahkan bantuan sarana air bersih untuk warga Desa
Rangai,Kecamatan Ketibung, Lampung Selatan. Serah terima secara simbolis bantuan
sarana air bersih ini diserahkan oleh Kepala Biro CSR Semen Padang, Iskandar Z. Lubis
didampingi Kepala Bidang BinaLingkungan H. Sensurianus kepada Kepala Desa Rangai,
Juanta, SSos, disaksikanratusan warga desa. Bantuan ini merupakan wujud kepedulian
sosial Semen Padang yang direalisasikandalam Progran CSR bagi warga desa, dimana di

21
desa ini terdapat salah satu unit usaha perusahaan, yakni Packing Plant Semen Padang,
yang dikenal dengan PP Lampung.

B. Tanggung Jawab Terhadap Operasional Perusahaan


Semen Padang mempunyai komitmen yang tinggi untuk menciptakan industri
hijau,hal ini tercermin dari visi dan misi Semen Padang. Visi Semen Padang adalah
menjadi Perusahaan persemenan yang andal, unggul dan berwawasan lingkungan di
Indonesia bagian barat dan Asia Tenggara. Sedangkan misi Semen Padang adalah
memberdayakan, mengembangkan, dan mensinergikan sumber daya perusahaan yang
berwawasan lingkungan.
Tahun 2014, Semen Padang meraih Asean Energy Award 2014 yang diserahkan
Menteri Energi Brunei Darussalam pada rangkaian acara The 32 th Asean Ministers
onEnergy Meeting (AMEM) and Related Meetings di Hotel Don Chan
Palace,Vientiane,Laos, 22 September 2014 lalu. Sebelumnya, Semen Padang juga meraih
Penghargaan Efisiensi Energi Nasional (PEEN) tahun 2013.
Selama Tahun 2014, kegiatan yang telah dilakukan untuk menciptakan industri
hijau adalah sebagai berikut:
1. Pencegahan Polusi
Semen Padang menjamin operasi bisnis ramah lingkungan, selaku industri manufaktur
disektor persemenan, tindakan pencegahan polusi atas udara, air dan tanah menjadisuatu
sangat prioritas.
Semen Padang menyusun program untuk mengurangi emisi debu, melalui peningkatan
performa Electro Static Precipirator (ESP). Prinsip kerja ESP didasarkan atas partikel
bermuatan listrik yang dilewatkan dalam satu medan elektrostatik. Semen Padang juga
melaksanakan program green belt, merupakan penyediaan
lahan penghijauan di daerah perkotaan atau perumahan, bertujuan untuk melindungilingk
ungan alami atau semi alami dan meningkatkan kualitas udara. Penanaman pohon
produktif merupakan komitmen dan dukungan Semen Padang terhadap Program
Adiwiyata dengan memberikan pohon produktif berupa bibitmangga, sirsak, lengkeng,
jambu air, sawo dan jambu biji kepada sekolah-sekolah diKota Padang.
2. Pemanfaatan Sumber Daya yang Berkelanjutan

22
Semen Padang berkomitmen terhadap kinerja lingkungan dan tetap konsisten
dalam pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya terbarukan, melalui efisiensi dan peng
olahan sumber daya menjadi sumber daya yang terkonversi atau dapat terpakai kembali,
seperti pemakaian energy alternative (AFR), konservasi air, efisiensi pemakaian energy
dan material. Dalam mengurangi dampak lingkungan, Semen Padang menjalankan prinsif
3R(Reduce, Reuse and Recycle), Hal ini terlihat dari program inovasi untuk me-
Reduce biaya pemakaian energi listrik, seperti penggantian bola neon dengan LED, pema
kaian oli bekas menjadi pelumas dan pembangunan WHRPG (Waste HeatRecovery Power
Generator) yang merupakan Power Plant yang berkapasitas rencana12 MW, dari
pemakaian uap panas dari kiln. Segala kegiatan ini dilakukan untuk menghemat energi dan
memanfaatkan limbah. Untuk pengendalian emisi udara, Semen Padang melakukan
penambahan alat dengansistim yang canggih sebagai filter debu. Filter ini menyaring debu
dalam dua tahap dengan teknologi baru. Tahap pertama, debu disaring oleh separator, dan
selanjutnyadisaring lagi oleh Electrostatic Precipirator (EP). Udara dari EP inilah yang
boleh keluar menjadi udara ambient. Setiap cerobong udara ambient ini dipasang sensor
untuk pengukur emisi ambient secara realtime dan keluar dalam bentuk grafik. Pengawasan
limbah padat dan cair dikelola oleh Biro Keselamatan Kesehatan Kerjadan Lingkungan
Hidup (K3LH) Departemen Utilitas dan Jaminan Kualitas. Semua limbah dipilah antara
LB3 atau bukan LB3, sehingga bisa diperlakukan sesuai prosedur penanganan yang tepat
terhadap limbah tersebut.
3. Perubahan Iklim, Mitigasi dan Adaptasi
Semen Padang beroperasi dengan prinsip ramah lingkungan, dalam operasi bisnisnya
mengurangi aspek dampak efek gas rumah kaca, seperti emisi CO2, Nitrose Oksida (N2O),
Metan (CH4) sebagai komitmen berperan dalam mitigasi dan adaptasi atas pemanasan
global.4.

4. Proteksi Lingkungan, Keanekaragaman Hayati, dan Pemulihan Sumber Daya Alam


Semen Padang meminimalisir perubahan ekosistem akibat operasi bisnis, khususnya
terhadap habitat flora dan fauna dalam suatu mata rantai kehidupan di alam.
SemenPadang fokus dalam mengolah limbah- limbah berbahaya seperti limbah B3
darioperasi bisnis /industri.Semen Padang mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang

23
besifat memberi nilai atas lingkungan hidup, pelayanan pemulihan masalah ekosistem
serta upaya pemanfaatan sumber daya alam, seperti tanah, air dan udara secara
berkelanjutan.
5. Sertifikasi Lingkungan Hidup
Sebagai bukti komitmen dari program CSR Semen Padang, sampai dengan tahun2014
Semen padang telah memperoleh sertifikasi dibidang lingkungan yaitu SertifikatISO
14001:2004 / SNI 19 – 14001:2005

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Green accounting masih relatif baru di bidang akuntansi keuangan dan terus
berkembang. Namun, keberadaannya dianggap semakin penting untuk menghadapi
tantangan bisnis saat ini dan masa depan. Memang di beberapa penelitian tidak ada
hubungan yang signifikan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan. Tetapi,
menurut penulis, paradigma kapitalisme akuntansi yang memandang kinerja keuangan
adalah segalanya harus dialihkan. Sudah saatnya inisiatif pelestarian lingkungan
menjadi tanggung jawab setiap pihak (terutama perusahaan) yang mendapatkan
manfaat yang disediakan lingkungan itu sendiri.

Dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan perlu dilaporkan sebagai


perwujudan tanggung jawab perusahaan kepada stakeholder. Rendahnya kesadaran
pelaporan dampak lingkungan disebabkan oleh beberapa kendala pelaporannya. Untuk
mendorong penerapan akuntansi lingkungan yang lebih luas lagi diperlukan berbagai
upaya.

Berikut ini beberapa usaha meningkatkan pelaporan akuntansi lingkungan:


1. Menyusun standar akuntansi lingkungan. Dalam upaya keseragaman dan
memenuhi fungsi keterbandingan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) diharapkan
dapat menyusun pedoman Sustainability Reporting.
2. Mewajibkan untuk menerapkan pedoman pelaporan yang sudah ada. Karena
keseluruhan aktivitas perusahaan akan berdampak pada masyarakat dan
lingkungan dalam jangka panjang demi menjaga pembangunan yang
berkelanjutan, maka Sustainability Reporting yang Sustainability Reporting
bersifat mandatory diperlukan.
3. Memberikan penghargaan atas perusahaan yang telah menyelenggarakan
Sustainability Reporting.
4. Penyelenggaraan menyelenggarakan Indonesia Sustainability Reporting Award
(ISRA) oleh Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen
diharapkan akan meningkatkan reputasi perusahaan dan kemudian
kesadarannya dalam melaporkan apa saja yang telah mereka lakukan untuk
memberikan nilai tambah yang berdampak pada lingkungan.
5. Melakukan audit lingkungan.
6. Sustainability reporting harus disertai dengan audit lingkungan guna
meningkatkan kredibilitas pelaporan.
7. Mengembangkan mekanism Good Corporate Governance (GCG) untuk
memastikan penerapan kewajiban lingkungan. Melalui pembentukan komite

25
CSR dalam komponen governance, diharapkan pelaksanaan green accounting
dan sustainability reporting akan lebih handal dan mengalami peningkatan.

26

Anda mungkin juga menyukai