Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

ETIKA DALAM LINGKUNGAN BISNIS

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Henny Indrawati, SP, MM.

Oleh :
FITRIA JAYANTI
NIM. 2010242057

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
1441 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur terhadap Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga makalah yang berjudul “Etika dalam Lingkungan Bisnis”
ini dapat diselesaikan. Tidak lupa juga diucapkan solawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman yang tidak
berpengetahuan ke zaman yang penuh peradaban. Disamping itu, diucapkan
terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Henny Indrawati, SP, MM. yang telah memberi
tugas makalah ini sehingga penulis dapat memahami pelajaran dengan baik.
Demikian juga, semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga tugas ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
wawasan kita.
Atas kritikan dan saran yang diberikan diucapkan terimakasih. Semoga
semua itu menjadi amal ibadah bagi kita semua. Aamiin.

Pekanbaru, Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan Masalah................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Fungsi Lingkungan dan Penyebab Merosotnya Fungsi
Lingkungan ..................................................................................... 3
B. Tantangan Perubahan Lingkungan .................................................. 9
C. Prinsip Mencemar Membayar.......................................................... 10
D. Kebijakan Pengendalian Pencemaran yang Efisien ........................ 12
E. Penilaian Kinerja Perusahaan terkait Pengelolaan Limbah ............. 13
F. Bisnis Hijau ..................................................................................... 16
G. Hubungan Lingkungan dengan Bisnis Berkelanjutan ..................... 18
H. Pemanfaatan Sumberdaya Terbarukan dalam Bisnis ...................... 21
I. Contoh Kasus yang Sesuai dan Tidak Sesuai dengan Etika
Lingkungan Bisnis .......................................................................... 23
J. Pembahasan Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Materi.......... 30
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 35
B. Saran ................................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 36

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin banyak orang yang lebih memilih merintis usaha sendiri
dibandingkan dengan harus bekerja di perusahaan orang lain. Terlebih di
Indonesia yang masih sangat sedikit terdapat wirausaha, mendorong
masyarakatnya untuk berlomba-lomba mencari peluang bisnis baru.
Semua aktivitas bisnis dapat dianggap sebagai profesi. Karena dalam setiap
bisnis dituntut untuk selalu bersikap professional dan beretika. Dalam setiap
aktivitas yang dilakukan oleh manusia, selalu diikuti oleh norma-norma dan etika
yang harus dipenuhi supaya tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Namun
semakin banyaknya bisnis yang dijalankan, akan semakin menambah resiko
kerusakan lingkungan jika bisnis tersebut dilakukan tidak sesuai dengan etika
yang ada.
Bisnis yang etis adalah bisnis yang dapat memberi manfaat maksimal pada
lingkungan, bukan sebaliknya, menggerogoti keserasian lingkungan. Kerusakan
lingkungan pada dasarnya berasal dari dua sumber yaitu polusi dan penyusutan
sumber daya. Etika lingkungan disini tidak hanya membicarakan mengenai
perilaku manusia terhadap alam, namun berbicara mengenai relasi diantara semua
kehidupan alam semesta, antara manusia dengan manusia yang mempunyai
dampak terhadap alam, dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan
alam secara keseluruhan, termasuk dengan kebijakan politik dan ekonomi yang
berhubungan atau berdampak langsung atau tidak dengan alam.
Kemajuan teknologi saat ini sangat mendukung berkembangnya sebuah
bisnis.Teknologi dimanfaatkan manusia sebagai sarana untuk memudahkan
pekerjaan dan menjaga kelancaran dan keefektifan dalam berbisnis jika teknologi
digunakan sebagaimana mestinya dan sesuai etika yang ada. Segala sesuatu yang
dilakukan manusia akan berhasil baik jika dilakukan dengan cara yang benar dan
sesuai dengan aturan-aturan moral yang berlaku.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Fungsi Lingkungan dan Penyebab Merosotnya Fungsi Lingkungan ?
2. Apa saja Tantangan Perubahan Lingkungan ?
3. Apa yang dimaksud Prinsip Mencemar Membayar ?
4. Bagaimana Kebijakan Pengendalian Pencemaran yang Efisien ?
5. Bagaimana Penilaian Kinerja Perusahaan terkait Pengelolaan Limbah ?
6. Apa yang dimaksud Bisnis Hijau ?
7. Bagaimana Hubungan Lingkungan dengan Bisnis Berkelanjutan ?
8. Bagaimana Pemanfaatan Sumberdaya Terbarukan dalam Bisnis ?
9. Bagimana Contoh Kasus yang Sesuai dan Tidak Sesuai dengan Etika
Lingkungan Bisnis ?

C. Tujuan Penulisan
1. Menganalisis Fungsi Lingkungan dan Penyebab Merosotnya Fungsi
Lingkungan
2. Menganalisis Tantangan Perubahan Lingkungan
3. Menganalisis Prinsip Mencemar Membayar
4. Menganalisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran yang Efisien
5. Menganalisis Penilaian Kinerja Perusahaan terkait Pengelolaan Limbah
6. Menganalisis Bisnis Hijau
7. Menganalisis Hubungan Lingkungan dengan Bisnis Berkelanjutan
8. Menganalisis Pemanfaatan Sumberdaya Terbarukan dalam Bisnis
9. Menganalisis Contoh Kasus yang Sesuai dan Tidak Sesuai dengan Etika
Lingkungan Bisnis
10. Menganalisis Jurnal yang Relevan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Lingkungan dan Penyebab Merosotnya Fungsi Lingkungan


Lingkungan adalah segala yang berada di luar organisasi dan selama ini
dianggap memberi pengaruh pada mereka yang terlibat di sekitar lingkungan
tersebut. Secara umum lingkungan ada 2 (dua), yaitu lingkungan internal dan
lingkungan eksternal (Fahmi, 2017).
a. Fungsi Lingkungan
Sesungguhnya fungsi/peranan lingkungan yang utama adalah sebagai
sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau untuk langsung
dikonsumsi, sebagai assimilator yaitu sebagai pengolah limbah secara alami, dan
sebagai sumber kesenangan [amenity] (Suparmoko, 2017).
1. Peranan sebagai Sumber Bahan Mentah
Benarkah fungsi atau peranan lingkungan alami sebagai sumber bahan
mentah untuk kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi telah menurun pada saat
ini dibanding dengan saat sebelumnya. Apakah hal ini merupakan hipotesis yang
masih harus dibuktikan kebenarannya ataukah sudah merupakan fakta yang tidak
perlu diuji lagi kebenarannya. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikumpulkan
informasi dan data. Untuk Indonesia, sumber daya alam yang sangat besar
penurunan jumlah persediaannya pada tahun 1997 adalah sumber daya hutan,
yang terbukti hampir setiap tahun sejak 1992 selalu terbakar dalam jumlah yang
sangat luas. Demikian pula secara terus-menerus setiap tahun sumber daya
minyak bumi dan gas alam serta batubara selalu diambil dari dalam bumi,
sehingga dapat dikatakan persediaannya merosot pula, kecuali bila diperoleh atau
ditemukan sumur-sumur minyak baru, sumber gas alam baru maupun cadangan
tambang batubara baru sebagai hasil dari usaha-usaha eksplorasi (Suparmoko,
2017).
Sumber daya air minum, khususnya untuk kota-kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Ujungpandang dan Banjarmasin, volumenya
juga semakin menurun bahkan telah terjadi intrusi air laut dengan jarak semakin

3
jauh ke dalam daratan. Untuk kota Jakarta misalnya di mana kebutuhan air minum
dipasok oleh PDAM yang mengolah air kali Ciliwung menjadi air minum tampak
mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan oleh volume dan debit air kali Ciliwung
telah banyak menurun. Di samping itu telah terjadi pendangkalan di dasar sungai
serta peningkatan volume limbah yang terbuang di sungai atau kali tersebut.
Dengan program kali bersih dan Ciliwung bersih tampaknya sudah mulai ada
perbaikan kualitas air, namun kali Ciliwung masih belum dapat dinyatakan
sebagai kali yang bersih. Prokasih (program kali bersih) ini mula-mula
dilaksanakan di 8 (delapan) propinsi pada tahun 1989/90 yaitu: DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatra Selatan, Sumatra Utara dan
Kalimantan Timur. Pada tahun kedua jumlah propinsi meningkat menjadi 11
propinsi, yaitu dengan tambahan Daerah Istimewa Aceh, Riau dan Kalimantan
Barat. Kemudian pada tahun 1994/95 jumlah propinsi yang terlibat PROKASIH
meningkat lagi menjadi 13 propinsi dengan tambahan Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Kalimantan Selatan. Prokasih ini merupakan crash program di
mana pada tahap pertama bertujuan menurunkan beban pencemaran dari industri
dan kemudian dikembangkan untuk menurunkan beban pencemaran dari sumber
pencemaran lainnya. Jadi Prokasih merupakan program pengelolaan lingkungan
yang bertujuan meningkatkan kualitas air sungai sesuai dengan baku mutu
peruntukannya. Dalam empat tahun pertama kegiatan difokuskan pada
pengendalian pencemaran akibat limbah industri dan dimulai dengan parameter-
parameter seperti TSS (total suspended solid), COD (chemical oxygen demand),
dan BOD (biological oxygen demand). Kali yang diprioritaskan untuk masuk
Prokasih adalah sungai yang airnya diperuntukkan sebagai bahan baku air minum
(baku mutu air golongan B), dan kali yang airnya sudah sangat kotor, ruas sungai
yang menerima buangan limbah industri pabrik yang diharuskan menurunkan
beban pencemaran limbahnya, pabrik yang tidak tergolong kecil dan limbahnya
belum memenuhi baku mutu limbah yang ditetapkan. Pembiayaan Prokasih
sepenuhnya diserahkan kepada Daerah Tingkat I dan tanpa pembiayaan dari Pusat
sama sekali. Gerakan Ciliwung bersih terus dicanangkan untuk Ibu Kota DKI
Jakarta (Suparmoko, 2017).

4
Cara mengukur kelangkaan sumber daya alam sebagai hasil dari fungsi
lingkungan bila tidak dapat dilaksanakan secara fisik, dapat dilakukan dengan cara
melihat apakah biaya produksinya meningkat dan semakin mahal. Bila ya, dapat
diartikan bahwa sumber daya alam itu semakin langka adanya. Namun sebaliknya
bila ternyata biaya pengambilannya menjadi semakin murah, maka dapat diartikan
bahwa sumber daya alam itu semakin berlimpah adanya. Kenaikan biaya produksi
ini biasanya tercermin pada kenaikan harga jualnya apabila permintaannya tidak
berubah. Kenaikan harga lebih ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran, sehingga sebenarnya kurang tepat sebagai pengukur kelangkaan
sumber daya alam (Suparmoko, 2017).

2. Lingkungan sebagai Asimilator


Sebagai asimilator, lingkungan mampu mengolah limbah secara alami,
sehingga tidak terjadi pencemar lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan
pencemaran lingkungan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah “masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau
oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke titik tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya”
(Suparmoko, 2017).
Kemudian yang dimaksud dengan limbah adalah segala macam sisa dari
adanya suatu kegiatan yang tidak dimanfaatkan lagi baik untuk kegiatan produksi
lebih lanjut, untuk konsumsi maupun untuk distribusi, dan sisa tersebut kemudian
dibuang ke badan air, udara ataupun tanah (Suparmoko, 2017).
Pada saat kegiatan manusia masih terbatas baik karena jumlah penduduk
yang masih relatif kecil ataupun karena teknologi yang belum begitu berkembang,
kegiatan eksploitasi atau pengambilan barang sumber daya alam belum begitu
banyak dan limbah yang terbuang ke dalam alam (lingkungan) juga masih
terbatas, maka lingkungan masih dapat menampung dan mengasimilasi limbah itu
sehingga tidak atau belum terjadi pencemaran. (Suparmoko, 2017).

5
Namun dengan berkembangnya jumlah penduduk dan peningkatan jumlah
dan macam kebutuhan manusia serta meningkatnya teknologi untuk memenuhi
kebutuhan manusia tersebut, maka volume limbah yang terbuang ke dalam
lingkungan meningkat terus. Di lain pihak kemampuan lingkungan dalam
mengasimilasi limbah terbatas dan tidak pernah meningkat, maka mau tidak mau
sampai suatu batas tertentu pasti kemampuan atau daya tampung lingkungan akan
terlampaui. Kalau daya tampung lingkungan dan kemampuan mengasimilasi
limbah terlampaui maka terjadilah pencemaran. Pada saat sekarang inilah daya
tampung lingkungan itu sudah sangat jauh dilampaui, terbukti dengan adanya
pencemaran lingkungan di mana-mana (Suparmoko, 2017).
Memang pembuangan limbah dari setiap kegiatan pasti terjadi, sehingga
pencemaran terhadap lingkungan juga cenderung terjadi bahkan akan meningkat
terus bila tidak ada usaha untuk mengurangi atau menanggulanginya. Salah satu
bentuk usaha penanggulangan pencemaran adalah adanya peraturan yang
diterapkan oleh pemerintah dengan cara menentukan baku mutu lingkungan
hidup. Yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas
atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan
atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dengan baku mutu lingkungan hidup
yang nantinya berkembang menjadi baku mutu pencemaran air limbah, baku mutu
emisi udara, baku mutu air minum dan sebagainya, diharapkan para pelaksana
kegiatan ekonomi akan dapat menjaga kualitas lingkungan dengan mengusahakan
agar kegiatannya tidak menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan
dengan melewati baku mutu yang sudah ditentukan. Dengan berbagai peraturan
perundangan, Pemerintah melalui instansi atau lembaga yang berwenang seperti
BAPEDAL dan BAPEDALDA akan dapat menuntut pelaksana kegiatan untuk
mengurangi limbah yang dibuangnya ke dalam lingkungan hidup, atau dapat
mengenakan sanksi denda atau pungutan tertentu (Suparmoko, 2017).

6
3. Lingkungan sebagai Sumber Hiburan atau Kesenangan
Tidak perlu diragukan lagi bahwa lingkungan alami merupakan sumber
kehidupan dan sumber kesenangan dan hiburan yang paling utama. Setiap
makhluk yang bangun pagi menikmati kesegaran dan udara yang bersih, dengan
sinar matahari yang cerah dan hangat. Tentunya mereka mensyukuri karunia
Tuhan Yang Maha Indah itu. Banyak kesenangan yang dapat diperoleh dari alam
secara langsung dan ini sangat terasa bila dikaitkan dengan kegiatan rekreasi dan
pariwisata di mana objek alam seperti lokasi pegunungan yang indah dan sejuk,
pantai yang indah dengan pasir dan air lautnya yang bersih akan mendatangkan
banyak kesenangan dan hiburan kepada orang yang datang dan memanfaatkannya.
Demikian pula danau yang indah pemandangannya dengan airnya yang bersih
dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi dan mendapatkan kesenangan bagi
setiap orang yang menggunakannya (Suparmoko, 2017).
Keindahan alam tersebut juga telah terpengaruh oleh adanya kegiatan
manusia yang semakin meningkat; sehingga kalau tidak hati-hati alam yang indah
itu akan berubah bentuk dan bersama dengan itu fungsi lingkungan sebagai
sumber kesenangan akan berkurang. Misalnya keindahan alam dalam bentuk
tanah lembah yang subur yang semula digunakan sebagai tempat tinggal
penduduk dengan kegiatan pertanian dan pemandangan pegunungan yang indah
diubah menjadi waduk dengan digenangi air untuk keperluan pembangunan
pertanian. Pantai alami yang indah yang semula belum pernah didatangi oleh para
pelancong, kemudian dikembangkan dan di situ didirikan bangunan hotel dan
perumahan sehingga mengubah pemandangan alami menjadi pemandangan kota.
Yang lebih parah adalah bila kondisi lingkungan alami itu terkena pencemaran
sehingga alam yang semula dapat mendatangkan kesenangan dan hiburan telah
hilang fungsinya sama sekali karena tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Sebagai misal sungai dan danau yang semula dapat diambil airnya sebagai air
minum dan digunakan sebagai tempat rekreasi telah hilang fungsinya karena
banyak sampah dan limbah industri yang dibuang ke situ. Pencemaran udara yang
terjadi di banyak kota dan negara juga telah membuat cuaca tidak pernah tampak
cerah karena terkontaminasi dengan emisi udara yang berlebihan, sehingga sinar

7
matahari juga tidak pernah tembus dengan leluasa sampai ke bumi (Suparmoko,
2017).

b. Penyebab Merosotnya Fungsi Lingkungan


Fungsi atau peranan lingkungan menjadi merosot disebabkan karena sifat atau
ciri yang melekat pada lingkungan itu sendiri sehingga menyebabkan manusia
mengeksploitasinya secara berlebihan melebihi daya dukung lingkungan tersebut.
Beberapa ciri atau sifat yang menonjol dan melekat pada lingkungan adalah :
adanya ciri atau sifat sebagai barang public, adanya sifat atau ciri sebagai barang
milik bersama (common property) dan adanya ciri atau sifat eksternalitas (Azhar,
2017).
a. Barang Publik
Dengan adanya sifat ini telah membawa konsekuensi terhadap
terbangkalainya sumber daya lingkungan, karena tidak akan ada atau langkanya
pihak swasta atau individu yang mau memelihara atau melestarikan sumber daya
lingkungan.
b. Pemilikan bersama/ milik umum
Pemilikan bersama dapat diartikan sebagai bukan milik seseorang namun
milik semua orang (common property is no one property and is every one
property). Dengan pemilikan seperti ini akan membuat kecenderungan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan melebihi daya dukung alam
tersebut. Setiap orang akan merasa harus mengambil atau mengusahakan
terlebih dahulu sebelum orang lain. Contohnya penambangan emas, dll.
c. Eksternalitas
Eksternalitas muncul apabila seseorang melakukan suatu kegiatan dan
menimbulkan dampak pada orang lain dapat dalam bentuk manfaat eksternal
atau biaya eksternal yang semuanya tidak memerlukan kewajiban untuk
menerima atau melakukan pambayaran. Contohnya pencemaran udara,
pencemaran air dan lain-lain.

8
B. Menganalisis Tantangan Perubahan Lingkungan
Menurut Schuller (1990) melihat berbagai perubahan lingkungan bisnis
meliputi aspek internal dan eksternal. Perubahan internal melihat pada berbagai
faktor dalam organisasi yang mempengaruhi perubahan sumberdaya manusia,
sementara perubahan eksternal melihat pada berbagai faktor diluar organisasi
yang mempengaruhi perubahan peran sumberdaya manusia (Wattimena, 2013).
1. Perubahan Internal
Perubahan internal dalam lingkungan bisnis meliputi permasalahan
manajemen puncak, struktur organisasi, budaya organisasi, ukuran organisasi.
Menurut Noe, et.al., perubahan internal meliputi: (Wattimena, 2013)
a. Tantangan Kualitas, berupa penciptaan produk dan jasa berkualitas, tuntutan
yang semakin kreatif, berani mengambil resiko, mampu beradaptasi,
partisipasi kerja tim.
b. Tantangan Teknologi, berupa perubahan struktural dan perubahan peran
sumberdaya manusia, bertambahnya tekanan untuk membuktikan peran dari
sumberdaya manusia dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
c. Tantangan Sosial, berupa penanganan kompetensi karyawan dan cara
perusahaan menangani konflik kerja, makin meningkatnya tekanan untuk
mengukur produktivitas kerja, karena adanya brencmarking, maka
organisasi berlomba dalam meningkatkan kinerja sehinga mampu bersaing
diarena bisnis global.

2. Perubahan Eksternal
Menurut Noe, et.al., Perubahan eksternal dalam lingkungan bisnis meliputi
tantangan global, yang berupa ekspansi global dan persaingan akan penugasan
internasional, persaingan domestik dan internasional (kinerja dan pemberdayaan),
karakteristik demografi (gender, pendapatan, minoritas, mayoritas, diversifikasi
angkatan kerja), karakteristik angkatan kerja (tingkat pendidikan dan nilai budaya
kerja), serta trend ekonomi dan organisasional yang meliputi: perubahan skill dan
pekerjaan, perubahan organisasi, kemajuan teknologi, otomatisasi dan robotis
(Wattimena, 2013).

9
C. Menganalisis Prinsip Mencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH), ketentuan pertanggunjawaban atas pencemaran lingkungan hidup,
diatur dalam pasal 87 ayat 1, dimana setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu (Darma, 2018).
Jika kita simak penjelasan pasal 87 ayat 1 yang mengatakan bahwa ayat ini
merupakan realisasi asas dalam yang ada dalam hukun lingkungan hidup yang
disebut juga sebagai pencemar membayar, maka dapat disimpulkan bahwa
rumusan ketentuan pasal ini merpakan bagian dari polutter pay priciple (PPP),
yang dimana tidak hanya menyangkut aspek preventif, tetapi dapat pula dikaitkan
dengan aspek represif (Darma, 2018).
Secara teoritis, Prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya merupakan
sebuah kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian biayabiaya bagi
pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian memiliki implikasi bagi
perkembangan hukum lingkungan internasional dan nasional, yaitu dalam hal
terkait dengan masalah tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya
lingkungan yang harus dipikul oleh pejabat publik (Darma, 2018).
PPP merupakan salah satu prinsip yang penting dalam pengelolaan
lingkungan, selain prinsip the sustainable development, the prevention principle,
the precautionary principle, and the proximity principle. Asas ini pertama-tama
tercantum dalam beberapa rekomendasi The Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) pada tahun 70-an yang pada dasarnya
menyatakan bahwa asas pencemar membayar mewajibkan para pencemar
mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya yang diperlukan dalam
rangka upaya-upaya yang diambil dalam oleh pejabat publik untuk menjaga agar
kondisi lingkungan berada pada kondisi yang dapat diterima, atau dengan kata
lain ialah bahwa biaya biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan upaya-
upaya ini harus tercermin di dalam harga barang dan jasa yang telah menyebabkan

10
pencemaran selama dalam proses produksi atau proses konsumsinya. Namun
demikian, muncul penentangan dengan alasan: (Darma, 2018)
a. Pemulihan lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya kerusakan hebat
yang dampaknya tidakk dapat diselesaikan dengan ganti kerugian murni
b. Pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan misalnya dampak jangka
panjang dan penemuan dampak tidak langsung
c. Perkiraan biaya kerusakan terhadap biaya pemulihan perbaikan kerusakan
seringkali sia sia dai segi ekonomi.
Menurut OECD, upaya pengendalian pencemar melibatkan biaya seperti
biaya alternatif penerapan kebijaksanaan anti pencemaran, biaya pengukuran dan
pemantauan pengelolaan, biaya riset, pengembangan teknologi unit-unit pengelola
pencemaran, dan perawatan instalasi unit unit pengelolaan limbah. Prinsip-prinsip
yang diterapkan oleh OECD tercakup dalam 7 kebijaksanaan yang diambil yaitu:
(Darma, 2018)
a. Pengendalian langsung
b. Perpajakan
c. Pembayaran
d. Subsidi
e. Macam-macam kebijakan yang bersifat intensif seperti keuntungan pajak,
fasilitas kredit, dan amortasi atau pelunasan hutang yang di percepat
f. Pelelangan hak-hak pencemaran
g. Pungutan-pungutan
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya
lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini
mengandung makna bahwa pencemar wajib bertanggung jawab untuk
menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib membayar biaya-
biaya untuk menghilangkannya (Darma, 2018).

11
Dalam rangka penerapan PPP ini, dijelaskan bahwa selain
bertanggungjawab membayar ganti rugi, hakim dapat membebankan kepada
pelaku pencemaran sebagai tindakan, misalnya: (Darma, 2018)
a. Pemasangan dan perbaikan instalasi-instalasi pengolahan limbah sejalan
dengan prinsip baku mutu lingkungan hidup
b. Memulifkan fungsi tata lingkungan
c. Menghilangkan semua faktor penyebab perusakan lingkungan.
Kecuali jenis pembebanan diatas, hakim juga dapat menetapkan
pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian
tindakan-tindakan tersebut diatas. Apabila disimak, prinsip PPP dalam hukum
nasional tidak hanya bersifat preventif tapi juga bersifat represif (Darma, 2018).

D. Menganalisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran yang Efisien


1. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang perlu diambil dan sudah dilaksanakan
pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan agar fungsi lingkungan dapat tetap lestari adalah: (Azhar, 2017)
a. Memperbaiki hak penguasaan atas sumber daya alam dan lingkungan
(property right) dari ”common property” menjadi ”private property”. Dengan
adanya private property, barang public dapat diubah sifatnya menjadi barang
privat, sehingga akan cenderung dipelihara dengan baik.
b. Memperbaiki sumber daya alam dan lingkungan sehingga biaya eksternal
dapat diinternalkan dengan cara menerapkan command and control sytem dan
atau dengan economic incentive system termasuk polluter pays principle.
Untuk itu perlu disiapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), Rencana Kelola Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) untuk setiap proyek atau kegiatan yang memberikan
dampak besar bagi lingkungan.
c. Menggunakan tekanan social untuk mengurangi pencemaran seperti dengan
system ecolabeling. Pemerintah menggunakan kekuatan para konsumen untuk

12
menekan produsen agar mau memproduksi produk yang bersahabat dengan
lingkungan sejak awal pengambilan input sampai dengan konsumsi akhir.
d. Memberikan insentif untuk pengelolaan lingkungan yang baik melalui
penghargaan atau perlombaan seperti Program Kalpataru, Adipura dll.

E. Menganalisis Penilaian Kinerja Perusahaan terkait Pengelolaan Limbah


Pelaksanaan kinerja lingkungan di indonesia saat ini difasilitasi oleh
Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
(PROPER). PROPER merupakan suatu program kementrian lingkungan hidup
yang telah dimulai pada tahun 2015. Awal penerapan proper berdasarkan
Keputusan Mentri No. 35a Tahun 1995 tentang Program Penilaian Kinerja
Perusahaan/ Kegiatan Usaha dalam Pengendalian Pencemaran dalam Lingkup
Kegiatan PROKASIH (PROPER PROKASIH). PROPER dalam perjalanannya
mengalami pasang surut dimana pada tahun 1998-2002 PROPER tidak dapat
dilaksanakan karena krisis ekonomi dan perubahan struktur pada KLH sehingga
baru mulai berjalan kembali pada tahun 2002 dengan integrasi 3 kriteria media
(air, udara, dan B3). PROPER terus berkembang dengan beberapa kriteria yang
ditetapkan dan terus diperbarui hingga pada tahun 2014 keluar peraturan terbaru
terkait PROPER yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun
2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Wahyudianto, 2017).
Definisi PROPER berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
3 Tahun 2014 adalah evaluasi ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan
pertanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibidang pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun. Evaluasi ketaatan dan melebihi ketaatan terdiri dari beberapa aspek
seperti tersaji pada tabel 1 (Wahyudianto, 2017).

13
Tabel 1. Aspek Penilaian PROPER Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 3 Tahun 2014. (Wahyudianto, 2017).
Aspek
Ketaatan Melebihi Ketaatan
Pemenuhan ketentuan dalam izin Penerapan sistem manajemen
lingkungan lingkungan
Pengendalian pencemar air Pencapaian dibidang efisiensi energi
Pengendalian pencemar udara Pengurangan dan pemanfaatan
Pengelolaan limbah bahan berbahaya limbah bahan berbahaya dan beracun
dan beracun Penerapan pronsip pengurangan,
Pengendalian kerusakan lingkungan penggunaan kembali dan daur ulang
hidup limbah padat non bahan berbahaya
dan beracun
Pengurangan pencemar udara dan
emisi gas rumah kaca
Pencapaian dibidang efisiensi air dan
penurunan beban pencemar air
Perlindungan keanekaragaman hayati
Pemberdayaan Masyarakat

Hasil dari evaluasi PROPER akan direpresentasikan dengan peringkat


yang disimbolkan menjadi lima warna yang berbeda diantaranya yaitu hitam,
merah, biru, hijau, dan emas. Masing-masing warna tersebut memiliki makna
yang berbeda sesuai dengan tingkat ketaatan dan upaya melebihi ketaatan yang
dilakukan oleh industri seperti tersaji pada tabel 2. (Wahyudianto, 2017).
Tabel 2. Peringkat PROPER Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 3 Tahun 2014. (Wahyudianto, 2017).
No Aspek Peringkat Deskripsi
.
1 Ketaatan Hitam Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang sengaja melakukan perbuatan atau

14
melakukan kelalaian yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta pelanggaran terhadap Peraturan
Perundang-Undangan atau tidak
melaksanakan sanksi administrasi.
2 Ketaatan Merah Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang upaya pengelolaan lingkungan hidupnya
dilakukan tidak sesuai dengan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan.
3 Ketaatan Biru Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang upaya pengelolaan lingkungan hidupnya
dilakukan sesuai dengan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan
4 Melebihi Hijau Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
Ketaatan yang telah melakukan pengelolaan
lingkungan hidup melebihi ketaatan melalui
pelaksanaan sistem manajemen lingkungan,
pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan
melakukan upaya pemberdayaan masyarakat
dengan baik.
5 Melebihi Emas Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
Ketaatan yang telah secara konsisten menunjukkan
keunggulan lingkungan hidup dalam proses
produksi dan/atau jasa, melaksanakan bisnis
yang beretika dan bertanggung jawab
terhadap masyarakat

F. Menganalisis Bisnis Hijau (Green Business)

15
Bisnis Hijau adalah suatu bentuk kepedulian dari perusahaan-
perusahaan didunia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar
dengan meminimalisir dampak negatif terhadap masyarakat, lingkungan
sekitar dan ekonomi, yang kini menjadi tren dunia. Menurut FORA (2010)
dalam Green Paper, menyatakan bahwa “Model bisnis hijau melibatkan
penciptaan jenis pekerjaan baru, dampak lingkungan yang lebih rendah, dan
mereka sangat menjanjikan platform untuk inovasi”. Menurut Kementrian
Lingkungan Hidup “Greening business management” adalah strategi
pengelolaan lingkungan yang terpadu yang meliputi pengembangan struktur
organisasi, sistem dan budidaya dalam suatu kompetensi hijau dengan cara
menerapkan dan mentaati seluruh peraturan tentang pengelolaan lingkungan,
termasuk pengelolaan bahan baku, pengolahan limbah, penggunaan
sumberdaya alam yang efektif, penggunaan teknologi produksi yang
menghasilkan limbah minimal serta menerapkan komitmen kesadaran
lingkungan bagi seluruh karyawan dalam organisasinya (Oktavia, 2012).
Secara umum, suatu bisnis dinyatakan sebagai “hijau” jika ia memenuhi
empat kriteria: Pertama, menggunakan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam
setiap keputusan bisnisnya. Kedua, menyediakan produk atau jasa yang
ramah lingkungan (environmentally friendly), yang menggantikan permintaan
terhadap produk-produk dan jasa yang tidak ramah lingkungan. Ketiga, lebih
ramah lingkungan dibandingkan dengan kompetitor. Keempat, memiliki
komitmen serta mejalankannya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
lingkungan hidup dalam operasi-operasi bisnisnya (jtanzilco.com).
Saat ini sudah banyak perusahaan yang menerapkan the greening of
manajemen, beberapa diantaranya adalah The Body Shop Indonesia, Sofyan
hotel, Indomaret, KFC, PT. Inalum (Persero), PT. Unilever Indonesia Tbk,
Nokia Siemens Network Indonesia, BNI, PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk,
dan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Perusahaan yang melaksanakan the
greening of management bukan hanya melestarikan lingkungan alam tetapi
juga melestarikan kehidupan perusahaan (Rahmawati, 2018).

16
a. Analisa Peluang Bisnis Hijau Analisa Peluang berdasarkan lingkungan
makro:
1. Dari sisi ekonomi peluang untuk mengembangkan bisnis hijau adalah
peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto) ini berarti adanya
peningkatan daya beli konsumen Indonesia. Indonesia penghasil C02
terbesar kedua setelah China dalam pertumbuhan ekonominya dan
menggerus 5% dari PDB untuk perbaikan lingkungan, bisnis hijau dapat
mengurangi gas CO2 dan mengurangi biaya untuk perbaikan lingkungan
dari PDB.
2. Dari sisi sosial-demografi, pertumbuhan penduduk Indonesia terus
meningkat setiap tahunnya. Jumlah penduduk yang banyak menyebabkan
peningkatan dalam konsumsi, sehingga ini merupakan peluang bagi
bisnis hijau untuk mengembangkan bisnisnya di pasar yang cukup luas
dan potensial. Konsumsi penduduk terhadap produk hijau akan
mengurangi dampak terhadap lingkungan.
3. Dari sisi politik-hukum dan pemerintahan, pemerintah mendukung para
pelaku bisnis untuk mengembangkan bisnis atau usaha yang ramah
lingkungan, ini dibuktikan dengan disusunnya peraturan-peraturan,
ketetapan-ketetapan, dan undang-undang yang mengarahkan pada
pengembangan usaha ramah lingkungan, meski belum sepenuhnya
ditetapkan dan dilaksanakan. Secara legalitas bisnis hijau akan dilindungi
oleh payung hukum.
4. Dari sisi ekologi, posisi Indonesia sebagai penghasil emisi GHG terbesar
ketiga setelah Amerika dan China, menekankan Indonesia untuk
memperbaiki lingkungannya. Dan bisnis hijau sangat membantu untuk
mengurangi emisi GHG.
5. Dari sisi perilaku konsumen, konsumen Indonesia memiliki kesadaran
terhadap lingkungan, kondisi ini merupakan peluang bagi para
pengembang bisnis hijau di Indonesia (Oktavia, 2012).
b. Tantangan Bisnis Hijau di Indonesia

17
Bisnis hijau akan menghasilkan produk hijau. Berdasarkan analisa perilaku
konsumen di beberapa negara termasuk Indonesia, ada beberapa tantangan
yang perlu diperhatikan dalam bisnis hijau, yaitu: (Oktavia, 2012).
1. Harga, ternyata meski pada umumnya kesadaran konsumen terhadap
lingkungan terus meningkat tetapi harga penawaran produk hijau yang
masih tinggi menjadi pengaruh yang paling tinggi untuk memutuskan
membeli produk hijau.
2. Kepercayaan, Selain harga ada juga masalah ketidakpercayaan konsumen
pada label “hijau” atau ecolabel, konsumen Indonesia sebagian
berpendapat bahwa informasi itu tidak akurat.
3. Edukasi, Informasi mengenai fungsi, manfaat, serta keunggulan dari
produk hijau atau produk yang ramah lingkungan masih rendah, sehingga
sebagian konsumen masih enggan membeli produk hijau dengan harga
premium.
4. Target, Pasar Target pasar untuk produk hijau adalah ceruk pasar, karena
targetnya adalah untuk konsumen yang peduli dengan lingkungan dan
rela membayar sejumlah uang untuk membeli produk hijau.

G. Menganalisis Hubungan Lingkungan dengan Bisnis Berkelanjutan


(Sustainable Business)
Bisnis sangat bergantung pada alam baik sebagai pemasok bahan baku
maupun sebagai tempat pembuangan sisa (limbah). Oleh karena itu, dari
perspektif jangka panjang, keberlanjutan bisnis dalam membentuk keuntungan
akan dibatasi oleh kemampuan alam dalam memberikan fondasi bagi bisnis.
Artinya, keberlanjutan bisnis akan terjadi jika didukung oleh keberlanjutan
ekosistem sebagai penopang sistem produksi. Dalam perspektif inilah dimensi
bisnis tidak dapat dilepaskan dari elemen pembangunan berkelanjutan yakni
ekonomi, sosial, dan lingkungan [Gambar 1] (Bantacut, 2012).

18
Gambar 1. Hubungan Komponen Bisnis Bekelanjutan

Bertolak dari komponen pembangunan berkelanjutan maka bisnis diawali


dengan memilih kegiatan yang bersahabat dengan lingkungan. Pertimbangan
sosial menjadi penting karena bisnis yang menciptakan ketimpangan sosial,
terutama yang berbasis pada sumberdaya alam, akan memperbesar potensi konflik
(ini salah satu pertimbangan diadakannya Social Corporate Responsibility).
Perbedaan terbesar pada prinsip ini adalah menempatkan keuntungan ekonomi
sebagai pertimbangan akhir jika kedua komponen lainnya terpenuhi. Inilah yang
membedakan bisnis berkelanjutan jangka panjang dengan bisnis berorientasi
sesaat (Bantacut, 2012).
Hubungan bisnis dan lingkungan yang nyata dapat ditransformasikan
menjadi bentuk fungsi laba rugi. Perusahaan yang menghemat biaya penanganan
limbah cair akan mencemari air dan lingkungannya. Pencemaran ini akan
meningkatkan biaya pengolahan air minum dan industri. Akhirnya, perusahaan
akan membayar biaya pengolahan atau pembelian air. MLS memperbaiki
hubungan ini sehingga lebih baik mengeluarkan biaya untuk penanganan limbah
cair dari pada membayar biaya lebih untuk pengolahan air karena akan ada
tambahan biaya tidak terduga, biaya tidak langsung dan biaya yang tersembunyi
yang secara keseluruhan jauh lebih besar (Bantacut, 2012).

19
Bertolak dari pengertian Pembangunan Berkelanjutan yakni pembangunan
yang membentuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dengan tetap
mempertahankan, menjaga dan memperbaiki lingkungan maka dapat dibangun
pengertian bisnis berkelanjutan (BB). Tujuan bisnis adalah mencapai keuntungan
ekonomi secara optimal melalui pelaksanaan bisnis yang bersahabat dengan sosial
dan lingkungan. Setiap perusahaan harus meyakini dan menerapkan akuntabilitas
terhadap dampak yang ditimbulkannya mulai dari pencemaran lingkungan,
perubahan iklim, kesehatan masyarakat, dan hak manusia. Pertimbangan ini tidak
hanya sebagai bentuk tanggungjawab tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari
strategi bisnis inti (Bantacut, 2012).
Uraian di atas mengarahkan bahwa perusahaan mengadopsi strategi bisnis
berkelanjutan sebagai upaya untuk menciptakan peluang pasar, pengurangan
biaya, serta minimisasi limbah dan resiko protes kolega. Prinsip ER3TD di atas
harus diikuti sedemikian rupa sehingga mampu mengkapitalisasi pertumbuhan
permintaan produk dan jasa “hijau” dan “perdagangan adil”. Peniadaan limbah
diupayakan sepanjang rantai nilai: pengadaan, manufaktur, produksi, operasi,
pemasaran dan distribusi. Perusahaan memastikan mematuhi semua peraturan
terkait lingkungan. Melalui CSR bangun kedekatan emosional dengan masyarakat
sekitar dan masyarakat yang lain yang mempunyai ketertarikan tertentu di bidang
lingkungan (Bantacut, 2012).
Perusahaan mengawali semua kegiatannya dengan perencanaan yang
komprehensif dengan visi keberlanjutan yang tegas melibatkan semua pemangku
kepentingan di dalam maupun di luar perusahaan. Dengan pendekatan ini,
perusahaan memastikan bahwa semua pertimbangan ekonomi, sosial dan
lingkungan diperhatikan dengan seksama sebagai basis pengembangan bisnis
[Gambar 2] (Bantacut, 2012).

20
Gambar 2. Pertimbangan dan Dimensi Bisnis Berkelanjutan

Bisnis Berkelanjutan memperluas produk dan jasa melalui ketertarikan yang


luas dan mendalam dalam koridor ekonomi, sosial dan linkungan. Pandangan
yang menyatakan bahwa penggunaan dimensi Pembangunan Berkelanjutan
mempersempit bisnis harus dihilangkan melalui visi dan wawasan bisnis jangka
panjang yang lebih luas dan menjanjikan (Bantacut, 2012).

H. Menganalisis Pemanfaatan Sumberdaya Terbarukan dalam Bisnis


Sumber daya terbarukan adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui.
Sumber daya terbarukan meliputi energi matahari, angin, air yang jatuh, panas
bumi, bahan tanaman (biomassa), gelombang, arus laut, perbedaan suhu di
lautan dan energi pasang surut, hewan, dan tumbuhan. Teknologi energi
terbarukan menghasilkan tenaga, panas atau energi mekanik dengan mengubah
sumber daya tersebut menjadi listrik atau menjadi tenaga penggerak. Pembuat
kebijakan yang peduli dengan pengembangan sistem jaringan nasional akan
fokus pada sumber daya yang telah berkembang secara komersial dan hemat
biaya untuk aplikasi jaringan. Teknologi komersial tersebut meliputi tenaga air,
energi matahari, bahan bakar yang berasal dari biomassa, energi angin, dan
energi panas bumi. Gelombang, arus laut, panas laut, dan teknologi lain yang
berada dalam penelitian atau tahap komersial awal, serta teknologi energi

21
terbarukan non-listrik, seperti pemanas air matahari dan pompa panas bumi, juga
didasarkan pada sumber daya terbarukan, tetapi di luar ruang lingkup Manual ini
(Putra, 2020).
Menurut definisi International Energy Agency  (IEA), Energi Baru dan
Terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang diisi ulang secara
terus menerus dan secara berkelanjutan dapat terus diproduksi tanpa harus
menunggu waktu jutaan tahun layaknya energi berbasis fosil. EBT merupakan
energi alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh manusia di zaman modern ini
sebagai pengganti dari energi fosil yang sifatnya tidak dapat diperbaharui dan
tak terbarukan. Pemahaman EBT menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2007
dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu “Energi baru” yang berasal dari
sumber energi baru yaitu  jenis-jenis energi yang pada saat ini belum
dipergunakan secara massal oleh manusia dan masih dalam tahap pengembangan
teknologi. Sedangkan, “Energi terbarukan” merupakan energi yang berasal dari
sumber energi terbarukan yang ketersediaan sumbernya bisa digunakan kembali
setelah sumber itu digunakan atau dihabiskan.  Selain itu, Pemanfaatan energi
baru terbarukan dinilai lebih ramah lingkungan karena mampu mengurangi
pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan jika dibandingkan dengan
energi tak terbarukan karena EBT cukup cepat untuk dapat dipulihkan kembali
secara alami.  Artinya, EBT yang dihasilkan dari sumber daya energi yang
secara alami tidak akan habis jumlahnya dan dapat bersifat berkelanjutan apabila
dikelola dengan baik. Oleh karena itu, Energi Baru dan terbarukan dapat disebut
juga sebagai energi yang berkelanjutan [sustainable energy] (Putra, 2020).
Potensi bisnis yang dimiliki  oleh Energi Baru dan Terbarukan ini cukup
banyak jenisnya dan sangat bermanfaat sekali bagi manusia dalam menunjang
kebutuhan hidupnya terutama dalam penyediaan tenaga listrik sebagai sumber
pengganti dari Energi Fosil yang tidak dapat diperbaharui dan jumlahnya sangat
terbatas. Beberapa sumber Energi Baru dan Terbarukan misalnya Biofuel,
biomasa, panas bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), angin,
energi matahari, pasang surut dan gelombang laut (Putra, 2020).

22
1. Peluang Pemanfaatan EBT:
a. Potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia cukup besar yang tersebar
di berbagai wilayah.
b. Pertumbuhan energi yang relatif tinggi karena pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi (56 %/tahun).
c. Dalam kerangka perubahan iklim, pemanfaatan energi baru terbarukaan
sebagai energi bersih menjadi trend dunia karena berpotensi
menurunkan emisi GRK.
d. Biaya pemeliharaan yang relatif murah karena sumber energi baru
terbarukan yang tersedia setempat (Hutapea, 2017).

2. Tantangan Pemanfaatan EBT:


a. Biaya produksi listrik EBT relatif tinggi sehingga sulit berkompetisi
dengan energi konvensional.
b. Keterbatasan insentif dan mekanisme pendanaan untuk EBT.
c. EBT bersifat intermittent dan tidak dapat ditransportasikan (harus
dibangkitkan di lokasi setempat).
d. Terbatasnya kemampuan sistem jaringan menyerap listrik dari Energi
Baru Terbarukan dengan kapasitas besa.
e. Terbatasnya kemampuan Sumber Daya Manusia dalam penguasaan
teknologi energi baru terbarukan
f. Teknologi energi baru terbarukan pada umumnya masih di import
(Hutapea, 2017).

I. Menganalisis Contoh Kasus yang Sesuai dan Tidak Sesuai dengan Etika
Lingkungan Bisnis
a. Kasus yang Sesuai Etika Lingkungan Bisnis
1. PT. Antam, Tbk (2019)
PT. Antam, Tbk. merupakan perusahaan pertambangan dan logam
Indonesia sebagai hasil dari penggabungan beberapa Perusahaan Negara
yang bergerak dibidang pertambangan. PT. Antam, Tbk. memiliki

23
operasi dan lokasi deposit bijih tambang di seluruh Indonesia dan
bergerak dibidang eksplorasi, eksploitasi, proses manufaktur dan
pemasaran bijih nikel, feronikel, emas, perak, bauksit telah dimulai sejak
tahun 1968 ketika Perseroan didirikan sebagai Badan Usaha Milik
Negara melalui merjer dari beberapa Perusahaan tambang dan proyek
tambang milik pemerintah, yaitu Badan Pimpinan Umum Perusahaan-
perusahaan Tambang Umum Negara, Perusahaan Negara Tambang
Bauksit Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok,
Perusahaan Negara Logam Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan dan
Proyek-proyek Bapetamb (Nugraha, G. I. K, 2019).
Risiko terbesar yang dihadapi pelaku bisnis pertambangan, tak
terkecuali PT. Antam, Tbk. adalah potensi ancaman kerusakan
lingkungan yang bisa mengganggu ekosistem disekitar lokasi
penambangan. Kenyataan ini sangat disadari Perusahaan sehingga
berupaya agar operasional penambangan di seluruh unit bisnis PT.
Antam, Tbk. dijalankan sesuai praktik penambangan yang baik dan
sejalan peraturan yang berlaku, baik sejak perencanaan maupun setelah
selesai (pasca tambang). Kebijakan lingkungan PT. Antam, Tbk.
mencakup: a) Mengembangkan dan menerapkan suatu sistem manajemen
lingkungan yang mengacu kepada peraturan perundangan dan standar
yang berlaku; b) Mengupayakan penggunaan sistem, metode, peralatan,
bahan yang memiliki dampak negatif minimal bagi lingkungan dalam
setiap kegiatan pertambangan; c) Menggunakan sumber daya alam secara
optimal dalam rangka konservasi dan minimasi limbah; d) Memiliki,
melaksanakan dan memenuhi ketentuan dokumen lingkungan dalam
setiap kegiatan operasional; e) Melakukan upaya pencegahan dan
meminimalkan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan;
f)Meminimasi lahan terganggu dan merehabilitasi sesuai dengan
peruntukannya termasuk menjaga dan memelihara flora dan fauna
didalamnya; g) Memiliki prosedur tanggap darurat bagi kegiatan yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan lingkungan; h) Memiliki rencana

24
penutupan tambang (mine closure) pada setiap kegiatan pertambangan
tahap operasi/produksi; i) Melakukan evaluasi untuk meningkatkan
kinerja lingkungan secara berkelanjutan (Nugraha, G. I. K, 2019).
Selain kebijakan yang dilakukan diatas, PT. Antam, Tbk juga
melaksanakan suatu program yang diberi nama PKBL ANTAM atau
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan ANTAM, sebagai wujud
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan guna melestarikan
lingkungan tersebut. Berkat program PKBL yang dilakukan, PT. Antam,
Tbk menerima beberapa penghargaan atas program sosial dan lingkungan
yang diadakan.
Seperti pada Anugerah Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan (Proper) 2019 yang digelar oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK). PT. Antam, Tbk berhasil meraih empat
penghargaan sekaligus. Penghargaan Proper ini merupakan apresiasi atas
komitmen Antam untuk terus menjaga kualitas lingkungan hidup dan
melaksanakan praktik penambangan yang baik (good mining practice).
Empat penghargaan Antam tersebut diraih melalui Unit Bisnis
Pertambangan Emas di Jawa Barat, Unit Bisnis Pengolahan & Pemurnian
Logam Mulia, Unit Bisnis Pertambangan Bauksit Kalimantan Barat serta
entitas anak PT Cibaliung Sumberdaya (Liputan6.com).
Pencapaian Proper Hijau memposisikan Antam pada pelaksanaan
pengelolaan lingkungan yang tidak hanya memenuhi ketentuan dan
peraturan yang berlaku, namun juga melalui beberapa upaya lain yang
tergolong beyond compliance. Contohnya seperti efisiensi energi,
penurunan emisi, melakukan inovasi pengelolaan limbah, menjaga
keanekaragaman hayati, perencanaan pascatambang yang baik serta
pengelolaan program Corporate Social Responsibility yang berdampak
langsung pada masyarakat sekitar wilayah operasi (Liputan6.com).
Sementara Proper Biru diraih Antam melalui Unit Bisnis
Pertambangan Nikel Sulawesi Tenggara dan Unit Bisnis Pertambangan
Nikel Maluku Utara. Peringkat Biru berarti perusahaan telah

25
melaksanakan pengelolan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundangan. Aspek penilaian PROPER meliputi ijin lingkungan,
pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara,
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dan potensi
kerusakan lahan [khusus untuk kegiatan pertambangan] (Liputan6.com).
Kebijakan serta Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang
dilakukan PT. Antam, merupakan tindakan dan keputusan perusahaan
dalam menerapkan etika lingungan terhadap bisnis yang dilakukan. Yang
mana kebijakan dan program tersebut sebagai bentuk tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan serta melestarikan lingkungan untuk
bisnis berkelanjutan.

2. PT. Bukit Asam Tbk (2020)


PT Bukit Asam Tbk (disingkat BA, IDX: PTBA, memiliki nama
resmi Tambang Batubara Bukit Asam) adalah anak perusahaan Inalum
yang berfokus pada pertambangan batu bara yang didirikan pada
tahun 1950 (Wikipedia). Menyadari Risiko terbesar yang dihadapi pelaku
bisnis pertambangan adalah potensi ancaman kerusakan lingkungan yang
bisa mengganggu ekosistem disekitar lokasi penambangan.
Komitmen penuh Perseroan terhadap pelestarian lingkungan
tercermin dari visi Perseroan yang secara tegas menyebutkan “Menjadi
perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan”. Oleh karena itu,
Perseroan senantiasa mengedepankan aspek pelestarian lingkungan
dalam menyelenggarakan kegiatan penambangan. Pelaksanaan kegiatan
operasional penambangan berpedoman pada kaidah teknis yang baik atau
“good mining practice” yang dimulai pada tahapan perencanaan yang
menginternalisasikan prasyarat keselamatan kerja dan pelestarian
lingkungan. Hal tersebut telah diatur dalam sistem manajemen yang
terintegrasi dan telah disertifikasi oleh badan sertifikasi independen
(ptba.co.id).

26
Berbagai program pemberdayaan unggulan terus dilakukan secara
konsisten oleh Bukit Asam di UPTE dan Peltar, diantaranya Eco-Edu
Zoo Park dan Kampung Batik Kujur Ramah Lingkungan di UPTE dan
Kapal Pendidikan Pulau Tegal di Peltar (ptba.co.id).
Melalui Eco-Edu Zoo Park, Bukit Asam menyulap lahan bekas
tambang menjadi kebun binatang mini dan jogging track untuk
masyarakat. Dalam pengelolaannya, Bukit Asam menggandeng pemuda
yang berada di sekitar perusahaan untuk mengedukasi mengenai satwa
dan lingkungan kepada para pelajar dan masyarakat. Selain itu, melalui
kebun binatang mini ini, Bukit Asam juga bermaksud untuk
mengkonservasi flora dan fauna, serta mengedukasi masyarakat
mengenai pentingnya keseimbangan ekosistem dengan menjaga
lingkungan (ptba.co.id).
Program lain yang dilakukan adalah Kampung Batik Kujur Ramah
Lingkungan di Tanjung Enim. Melalui Kampung Batik Kujur ini, Bukit
Asam berupaya untuk melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal
melalui motif batik yang digunakan serta menciptakaan kesejahteraan
bagi masyarakat dengan bergabung di Kampung Batik Kujur (ptba.co.id).
Dapat kita lihat bahwa program-program yang dilakukan PT. Bukit
Asam merupakan tindakan dan keputusan perusahaan dalam menerapkan
etika lingungan terhadap bisnis yang dilakukan. Sebagai bentuk apresiasi
pemerintah atas berbagai program yang dilakukan oleh Bukit Asam
untuk masyarakat dan lingkungan.
PT Bukit Asam Tbk kembali menerima penghargaan Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) kategori Emas untuk
Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) PT Bukit Asam Tbk (PTBA)
dan kategori Hijau untuk Unit Pelabuhan Tarahan (Peltar) PTBA dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik
Indonesia. Penghargaan PROPER Emas ini diserahkan langsung oleh
Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin dengan didampingi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti

27
Nurbaya kepada Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin di Istana Wakil
Presiden, Rabu [8/1/2020] (ptba.co.id).

b. Kasus yang Tidak Sesuai Etika Lingkungan Bisnis


1. PT. How Are you Indonesia (2020)
PT. How Are You Indonesia adalah perusahaan yang bergerak
dalam industrusi tekstil knitting dan garment. Didirikan sejak tahun 1990
dan berlokasi di Jl. Nanjung 206 Cimahi Selatan, Bandung, Jawa Barat –
Indoneia. Industri Tekstil Knitting PT. How Are You Indonesia meliputi
knitting, Dyeing, Finishing dan Printing dengan produk utamanya adalah
bebagai jenis kain knitting. Selain itu PT. How Are You Indonesia juga
memiliki industri Garment yng memproduksi berbagai jenis pakaian anak
dan dewasa yang berkualitas export (pthowareyou.com).
Majelis Hakim PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT
How Are You Indonesia (PT HAYI) Rabu (26/2/2020). PT HAYI yang
beralamat di Jalan Nanjung No 206, Kalurahan Cibeureum, Kecamatan
Cimahi Selatan Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat dinyatakan terbukti
melakukan pencemaran lingkungan hidup DAS Citarum. Majelis Hakim
menghukum PT HAYI untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp.
12,013 Milyar (Tribunnews.com).
Berdasarkan kasus ini, dapat dilihat bahwa kondisi-kondisi tersebut
adalah bentuk pelanggaran ketentuan etika bisnis dan sangsi-sangsi yang
akan diterima akibat perbuatan tersebut. Adapun bentuk pelanggaran etika
yang dilakukan oleh perusahaan adalah sudah jelas yaitu perusahaan
dalam melaksanakan operasi pabrik tidak mengindahkan nilai-nilai etika
bisnis yaitu menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup DAS
Citarum dan perusakan lingkungan dan telah menimbulkan kerugian bagi
pihak lain.
Adapun solusi yang harus dilakukan oleh perusahaan sebaiknya
tempat pengolahan limbah pakbrik harus dibuat dan perusahaan harus

28
menyediakan anggaran khusus untuk penanganan persoalan limbah pabrik
baik untuk yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.

2. PT. Bayas Biofule (2020)


PT. Bayas Biofule mulai beroperasi secara komersial sejak bulan
sepember 2015. PT. Bayas Biofule, perusahaan yang bergerak dibidang
pengolahan minyak kelapa sawit.
Tiraskita.com: Pencemaran lingkungan yang berlangsung secara
terus menerus dalam waktu yang  lama mencemari lingkungan yang
bersumber dari rembesan limbah pengolahan biofule yang di duga berasal
dari kolam penampungan limbah PT. Bayas Biofule mencemari lahan
warga dan diduga  dibuang ke sungai Batang kuantan atau sungai Indragiri
di desa bayas jaya kecamatan kempas kabupaten Indragiri hilir.
Ini cukup memprihatinkan mengingat pengolahan Crude plam oil
untuk bahan biodiesel 20 tersebut menggunakan bahan kimia methanol
sodium methyl untuk memurnikan atau proses trsnsferifikasi sehingga bila
limbahnya tidak di tangani dengan baik maka akan mencemari lingkungan
oleh residu bahan kimia sehingga  bahan beracun dan berbahaya (B3) akan
masuk kedalam tanah dan mencemari air  yang mengakibatkan
terganggunya kesehatan masyarakat dan membunuh ekosistem didalam
sungai, demikian di ucapkan oleh Ir. Ganda Mora.M.Si  aktivis lingkungan
independen dari lembaga IPSPK3-RI, kepada awak media. Kamis
(16/07/20)
Lebih lanjut Ganda menyampaikannya bahwa PT. Bayas biofule
diduga tidak memiliki izin analisis dampak lingkungan (AMDAL)
sehingga dilapangan tidak ditemukan instalasi pengolahan limbah (IPAL)
sehingga tidak sesuai dengan amanat undang undang nomor 32 tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, bab 3 pasal 93
dimana dilarang membuang bahan beracun dan berbahaya ke dalam
lingkungan dan diancam hukuman pidana dan perdata.

29
Ancaman perusakan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat
cukup serius oleh pengelolaan limbah B3 yang tidak serius dimana pihak
perusahaan hanya ingin mendapatkan keuntungan sebesar besarnya namun
merugikan masyarakat dan mengakibatkan lingkungan tercemar, maka
kami dari aktivis meminta kepada menteri lingkungan hidup dan
kehutanan dan kepolisian republik Indonesia untuk menghentikan
sementara pabrik tersebut sampai pengelolaan lingkungannya diperbaiki
sesuai dengan UU no 32 tahun 2009, untuk itu kami sudah melaporkan
perusahaan PT. Bayas Biofule ke Menteri KLH-K dan Kabareskrim
dengan nomor laporan No 70/ laporan-IPSPK3-RI/VII/ 2020 tertanggal 16
Juli 2020 tentang laporan pencemaran lingkungan oleh PT.bayas Biofule.

J. Pembahasan Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Materi


1. Penelitian oleh Anna Remisova & Anna Lasakova (2020) dengan
judul Unethical practices in the Slovak business environment:
Entrepreneurs vs. the State?
Penelitian ini dilakukan oleh Anna Remisova & Anna Lasakova
pada negara bagian Slovakia. Informan penelitian utama adalah
perwakilan perusahaan dan pengusaha, terutama karena orang-orang ini
terlibat langsung dalam bisnis dan oleh karena itu dapat memahami
dengan baik masalah dan tantangan lingkungan bisnis saat ini. Metode
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kelompok
terarah (FG). Kelompok Pertama (FG1) terdiri dari perwakilan
organisasi bisnis dan pengusaha di Slovakia (BEOs). Responden untuk
FG2 kedua dipilih dari sekumpulan badan usaha yang telah secara aktif
menerapkan etika bisnis atau tanggung jawab sosial perusahaan ke
dalam struktur organisasinya dan mendapatkan penghargaan atas
pelaksanaannya. Kelompok terarah ketiga (FG3) terdiri dari responden
yang perusahaannya termasuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan
menengah (UKM). responden kelompok fokus keempat (FG4), yang
terdiri dari responden dari perusahaan besar (LAC).

30
Kebencian dalam hubungan bisnis – Negara bukanlah fenomena
baru di Slovakia. Bukti penelitian menyiratkan bahwa terdapat masalah
dalam hubungan antara pengusaha dan Negara, terkait dengan fakta
bahwa bisnis tidak bersarang di masyarakat dan bekerja sama dengan
lembaga kemasyarakatan lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa
perusahaan kecil di Slovakia khususnya melihat lingkungan bisnis
sebagai medan perang, di mana mereka terus-menerus berjuang dengan
administrasi Negara dan melawan kewajiban hukum yang keras.
Beberapa studi menunjukkan bahwa lingkungan bisnis Slovakia
dicirikan sebagai lingkungan di mana beban administrasi dan birokrasi,
beban pajak dan retribusi yang tinggi, undang-undang bisnis yang rumit,
berubah dan tidak dapat diprediksi, penegakan hukum yang bermasalah,
klientelisme dan korupsi.
Dukungan tidak langsung untuk pengembangan etika bisnis dari
Negara terjadi melalui dampak undang-undang dengan muatan etika
yang kuat terhadap penduduk dan pengusaha. Misalnya, jika pajak
dianggap tidak adil oleh pengusaha, hal ini menciptakan lingkungan
sosial yang tidak mendukung perkembangan etika bisnis, begitu pula
sebaliknya. Selain itu para pengusaha juga mengkritisi sikap negara
dalam penerapan mekanisme moral perilaku terhadap pengusaha.
Negara dicela karena tidak menggunakan institusi penghargaan dan
hukuman sama sekali dalam lingkungan bisnis. Pendapat mereka jelas:
“[Penting] untuk menghargai perilaku etis dan menghukum perilaku
tidak etis, inisiatif seperti itu diperlukan dalam masyarakat”, karena
“kami tidak memiliki contoh positif tentang seseorang yang terpengaruh
jika mereka melakukan sesuatu yang tidak etis”. Mereka percaya bahwa
mendisiplinkan mereka yang melanggar etika bisnis akan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan etika bisnis,
demikian pula, karena pengakuan dan kemungkinan keuntungan
ekonomi bagi bisnis yang menghormati prinsip etika bisnis akan
bermanfaat bagi pengembangan etika. Dengan mengakui entitas bisnis

31
secara publik, Negara memberikan pola perilaku positif kepada warga
negara, yang merupakan elemen struktural dari sistem moral apa pun.
Tindakan disipliner berdampak besar pada perilaku warga negara -
menunjukkan ketidaksepakatan dengan perilaku badan usaha dan secara
terbuka menjauhkan diri dari perilakunya adalah pelajaran moral yang
kuat. Citra publik yang negatif adalah “mimpi buruk” yang tersembunyi
bagi setiap entitas bisnis, karena jika seorang wirausahawan serius
dalam bisnis, dia harus peduli dengan reputasi perusahaannya di antara
pelanggannya dan di masyarakat secara keseluruhan.
Dari pihak para pelaku bisnis, mereka menempatkan negara
pertama sebagai pencipta perkembangan etika bisnis di negaranya, dan
menempatkan diri pada posisi sekunder, seolah-olah kurang penting.
Bagi para pengusaha, negara adalah pencipta utama dari lingkungan
ekonomi-etis dan badan usaha hanya nomor dua didalam. Persepsi diri
sebagai pelaku pengembangan etika bisnis tidak ada. Pandangan tentang
tempat seseorang dalam pengembangan etika bisnis seperti itu mengacu
pada kurangnya refleksi diri yang etis.
Dari penelitian tersebut dapat kita simpulkan bahwa kurangnya
kerjasama antara Negara dan badan usaha itulah yang menyebabkan
timbulnya sikap negatif atau permusuhan badan usaha terhadap Negara.
Dengan kata lain, baik Negara, badan usaha maupun individu tidak
dapat menciptakan mekanisme untuk pengembangan etika bisnis jangka
panjang.
Berdasarkan materi salah satu faktor untuk bisnis yang
berkelanjutan adalah faktor lingkungan. Maka dari itu solusi untuk masa
depan etika bisnis di negara Slovakia ini dibutuhkan lingkungan yang
positif yaitu dengan kerja sama dan kemitraan antara badan usaha dan
negara yang bertanggung jawab atas perkembangannya.

32
2. Penelitian oleh Annisa Mahfuzah & Maimunah (2019) dengan judul
Implikasi Etika Lingkungan terhadap Kesejahteraan Ekonomi
Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Tabalong).
Penelitian ini dilakukan oleh Annisa Mahfuzah & Maimunah di
kabupaten Tabalog. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat
mengetahui implikasi etika lingkungan terhadap kesejahteraan ekonomi
masyarakat Kabupaten Tabalong setelah beroperasinya perusahaan
tambang. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer
didukung pula dengan data sekunder. Data primer diperoleh penulis
dengan melakukan observasi di lapangan dan dengan melakukan
wawancara. Adapun masyarakat yang menjadi narasumber dalam
penelitian ini merupakan masyarakat asli dan masyarakat pendatang
yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari berbagai literatur dan sumber pustaka yang dapat
digunakan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, diantaranya
adalah data publikasi BPS Kabupaten Tabalong.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikasi etika lingkungan
di Kabupaten Tabalong memberikan dampak negatif terhadap
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Penyebabnya adalah kecenderungan
masyarakat yang mempunyai cara pandang antroposentrisme terhadap
lingkungan. Cara pandang antroposentrisme memperlebar kesenjangan
ekonomi di masyarakat Kabupaten Tabalong. Kesenjangan ini
menunjukkan bahwa tujuan kegiatan perekonomian untuk ke-mashlahat-
an tidak tercapai. Kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa dicapai ketika
kesejahteraan itu bisa dirasakan secara menyeluruh. Salah satunya
dengan memperhatikan konsep etika lingkungan sebagai instrumen
penting dalam kegiatan pertambangan.
Cara pandang antroposentrime tidak hanya dilakukan oleh pelaku
pertambangan saja, akan tetapi juga pada masyarakat yang berada di
sekitar lokasi penambangan. Berdasarkan hasil wawancara, penulis
memperoleh informasi bahwa pihak Dinas Lingkungan Hidup

33
Kabupaten Tabalong pernah menerima kasus yang diajukan oleh
masyarakat. Masyarakat melakukan pengaduan akibat aktivitas tambang
yang mencemari lingkungan, tindak lanjut dari pengaduan ini kemudian
di tanggapi pihak Dinas terkait, kemudian di mediasi dan hasil akhirnya
ditemukan solusi penyelesaian terhadap kasus mereka dengan jalan:
pihak pertambangan melakukan ganti rugi dengan memberikan sejumlah
uang kepada masyarakat yang merasa dirugikan. Masyarakat tidak dapat
menghentikan aktivitas pertambangan tersebut ketika terjadi
pelanggaran. Kepedulian masyarakat akan lingkungan dengan mudah
luntur karena perilaku oportunis. Hal inilah yang terjadi di masyarakat di
Kabupaten Tabalong. Ketika alam dapat memberikan keuntungan secara
materi maka keberlangsungan akan kelestarian alam tersebut sekalipun
diindahkan oleh masyarakat.
Berdasarkan materi salah satu faktor untuk bisnis yang
berkelanjutan adalah faktor lingkungan. Jika cara pandang masyarakat
Kabupaten Tabalong masih pada cara pandang antroposentrime dan
berperilaku oportunis, maka bukan hanya berdampak negatif pada
kesejahteraan ekonomi masyarakat saja. Untuk jangka panjang akan
berdampak pada kerusakan lingkungan. Bila lingkungan telah
mengalami kerusakan bukan hanya bisnis yang tidak dapat
berkelanjutan, tapi juga akan berdampak negatif untuk kehidupan
manusia jangka panjang.
Untuk itu diperlukan solusi yaitu kepedulian terhadap lingkungan
bukan hanya oleh dari usaha pertambangan, tetapi juga dibutuhkan
kepedulian lingkungan oleh masyarakat di Kabupaten Tabalong.

34
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kehidupan ini manusia sepatutnya menjaga lingkungan agar tetap
lestari guna tetap memilki kehidupan dan lingkungan dalam suasana yang baik dan
menyenangkan. Oleh karena itu dibuat prinsip etika-etika yang harus diperbuat manusia
dalam memperlakukan makhluk hidup.
Lingkungan Bisnis Adalah faktor-faktor yang berada diluar jangkauan
perusahaan yang dapat menimbulkan suatu peluang atau ancaman. Lingkungan
bisnis adalah segala sesuatu yang mempengaruhi aktivitas bisnis dalam suatu
lembaga organisasi atau perusahaan.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan perusahaan
berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, di mana ada argumentasi
bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan
keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan
atau deviden melainkan jugaharus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan
untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.

B. Saran
Pembahasan mengenai makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Referensi dan sumber pengetahuan yang didapat mengenai materi masih sangat
minim, kedepannya penulis berharap ada pembahasan lebih lanjut mengenai
materi yang diahas dalam makalah ini.

35
DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Z. (2017). Buku Ajar Kajian Lingkungan dan Perencanaan


Pembangunan. Indonesia: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.
Bantacut, T. (2012). Bisnis Berkelanjutan: integrasi manajemen lingkungan dalam
pengelolaan usaha. Agrimedia, 33-41.
Darma, M.E & Ahmad, R. (2018). Penerapan Asas Polluter Pay Principle dan
Strict Liability Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan. Jurnal Hukum
Adigama, 1(1), 6-8. DOI: http://dx.doi.org/10.24912/adigama.v1i1. 2236
Hutapea, M. (2017). Potensi Bisnis Energi Baru Terbarukan. Jakarta: Direktur
Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Mahfuzah, A & Maimunah. (2019). Implikasi Etika Lingkungan terhadap
Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Tabalong).
At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi, 10(2), 127-141.
Nugraha, G. I. K. (2018). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) PT. Antam,
Tbk. (Studi Literatur Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan). Jurnal
Ilmiah Ilmu Administrasi Dan Sekretari, 2 (1)
Octavia, D. (2012). Analisa Lingkungan Makro, Perilaku Konsumen Serta
Peluang Dan Strategi Bisnis Hijau Di Indonesia. Jurnal Analisa
Lingkungan Makro UNNISULA, 1(1), 169-171.
Putra, M. R. P. (2020). Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) : Tinjauan
Penerapannya dalam Asas Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup. Diakses dari universitas padjadjaran, Situs
https://fh.unpad.ac.id/pemanfaatan-energi-baru-terbarukan-ebt-tinjauan-
penerapannya-dalam-asas-pengelolaan-dan-perlindungan-lingkungan-
hidup/
Rahmawati, N. I. (2018). Semaraknya The Greening Of Management di
Indonesia. Ikraith-Humaniora Jurnal Jurnal Sosial dan Humaniora, 4(2),
41-51.

36
Remisova, A & Laskova, A. (2020). Unethical practices in the Slovak business
environment: Entrepreneurs vs. the State? Ethics & Bioethics (in Central
Europe), 10(1-2):78-95. DOI:10.2478/ebce-2020-0002.
Suparmoko, M. (2017). Modul 1 Peranan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
dalam Pembangunan. Indonesia: Universitas Terbuka.
Wahyudianto, F.E & Rachmat, B. (2017). Penerapan PROPER sebagai Alat
Pemicu Inovasi Teknologi Industri Berkelanjutan. IPTEK Journal of
Proceedings Serie, 60-61. DOI: 10.12962/j23546026.y2018i1.3347
Wattimena, R. A. (2013). Transformasi Dan Reposisi Praktek Sumber Daya
Manusia Dalam Mencapai Keunggulan Kompetitif. Jurnal Ekonomi Cita
Ekonomika, 7(1)

Sumber Lainnya :
https://id.wikipedia.org/wiki/Bukit_Asam#:~:text=PT%20Bukit%20Asam
%20Tbk%20(disingkat,yang%20didirikan%20pada%20tahun%201950.
https://jtanzilco.com/blog/detail/634/slug/bisnis-hijau
https://www.liputan6.com/news/read/4151329/klhk-beri-4-penghargaan-proper-
hijau-ke-antam
http://www.ptba.co.id/id/berita/detail/1169/bukit-asam-kembali-raih-proper-emas-
dan-hijau
http://www.ptba.co.id/id/csr/kinerja-lingkungan
https://www.tiraskita.com/read-3-1641-2020-07-16--dugaan-pencemaran-
lingkungan-oleh-pt-bayas-biofule.html
https://www.tribunnews.com/nasional/2020/02/27/pn-jakarta-utara-kabulkan-
gugatan-klhk-hukum-perusahaan-yang-mencemari-lingkungan

37

Anda mungkin juga menyukai