Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

BISNIS, LINGKUNGAN HIDUP & ETIKA


Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis

Dosen Pengampu : Dudu Risana, M.M

Disusun oleh :

Feri Ferdiansyah : 20220101053

Siti Rohimah : 20220101047

Muhammad Ansor : 20220101071

Qivtia Febriyanti Fadilah : 20220101050

Cindi Alwin : 20220101052

Nadila Puspita : 20220101055

Ahmad Susandi : 20210101048

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS CIPASUNG

SINGAPARNA TASIKMALAYA

2024
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehinggakami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk makalah Manajemen Etika Bisnis, dengan judul Bisnis,
Lingkungan hidup dan Etika. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.

Tasikmalaya, Desember 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................1
B. Identifikasi masalah........................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Masalah Dalam Krisis Ekonomi.....................................................3


B. Keterkaitan Lingkungan Hidup dan Ekonomi................................6
C. Hubungan Manusia dengan Alam..................................................7
D. Dasar Etika Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan Hidup..........9
E. Impelementasi Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan................11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kerusakan lingkungan merupakan masalah bersama yang harus dipecahkan
secara bersama-sama pula. Merebaknya kasus-kasus kerusakan lingkungan mulai dari yang
kecil sampai ke tahap yang bersifat serius di indonesia merupakan dampak dari
terakumulasinya kerusakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Berbagai faktor menjadi
penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tersebut, mulai dari prilaku individu yang
tidak care terhadap alam sampai pada masalah yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi yang
mengekploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Masalah-masalah terkait antara bisnis dan kerusakan lingkungan merupakan masalah
kekinian yang patut diselesaikan sesegera mungkin, khususnya di indonesia. Berbagai
persoalan menyangkut kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh kalangan pebisnis kerap
kali memiliki sangkut paut dengan cara dan etika dalam menjalankan bisnisnya. Binis yang
baik (good business) adalah bisnis yang membawa banyak keuntungan jika di tinjau dari
sektor ekonomi, bisnis yang baik adalah bisnis yang menaati hukum serta peraturan yang
berlaku, juga merupakan bisnis yang baik jika baik secara moral dan etika dalam aktivitas
bisnisnya.
Maksimalisasi keuntungan merupakan salah satu prinsip dalam kapitalisme, dalam
pijakan teori ini segala cara dapat dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebenarnya
(sesuai dengan prinsip ekonomi, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya berusaha
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya). Efek dari mencari keuntungan yang sebesar-
besarnya adalah terjadinya eksploitasi tenaga kerja, ekploitasi lingkungan, serta konsumen.

1
A. Rumusan Masalah
a. Apa masalah dalam krisis lingkungan hidup?
b. Bagaimanakah keterkaitan lingkungan hidup dan ekonomi?
c. Bagaimanakah hubungan manusia dengan alam?
d. Apakah dasar etika tanggung jawab terhadap lingkungan hidup?
e. Bagaimanakah implementasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup?

B. Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui masalah dalam krisis lingkungan hidup.
b. Mengetahui keterkaitan lingkungan hidup dan ekonomi.
c. Mengetahui hubungan manusia dengan alam.
d. Mengetahui dasar etika tanggung jawab terhadap lingkungan hidup.
e. Mengetahui implementasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Krisis Lingkungan Hidup
Dalam situasi yang sekarang ini melanda tidak hanya negara maju namun juga negara
berkembang, kegiatan bisnis menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan terutama pada
lingkungan kawasan industri. Kawasan industri yang biasanya hampir selalu dikelilingi
kawasan penghunian yang padat menimbulkan tidak hanya kerusakan lingkungan, bahkan
berbagai penyakit yang mampu merusak kesehatan penduduk di sekitarnya.
Kerusakan lingkungan yang terjadi pun tidak terbatas pada ruang lingkup daerah yang
memiliki kepadatan penduduk dimana banyak sekali kegiatan bisnis yang dilakukan disana
namun saat ini kerusakan lingkungan tersebut juga bisa melanda daerah-daerah yang semula
bersih tanpa pencemaran. Bahkan karena inilah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat
kegiatan bisnis menjadi suatu permasalahan dunia yang menggloba seiring dengan dampak
lingkungan yang terjadi di dunia.
Dikutip dari buku Pengantar Etika Bisnis, Kees Bertens (311) mengemukakan
terdapat enam masalah pokok yang menjadi pembahasan dalam dampak pencemaran
lingkungan akibat kegiatan bisnis dalam dimensi global, diantaranya yaitu:
a. Akumulasi bahan beracun
Pembuangan limbah dan sisa industri kimia yang dilakukan oleh industri-industri
dan kegiatan rumah tangga konsumsi mengakibatkan banyak sekali permasalahan
lingkungan terutama pada tanah dan air. Banyaknya hasil pembuangan industri yang
tanpa diolah lebih lanjut mengakibatkan pencemaran tanah dan air yang kemudian hari
dapat menyebabkan kematian pada organism-organisme yang terdapat di dalamnya.
Beberapa zat-zat kimia yang digunakan industri seperti pestisida, fosfat, dan polystyrene
merupakan zat yang dapat merusak lingkungan dan merusak jaringan di dalam tubuh
pengonsumsinya. Pestisida yang digunakan pada industri produksi pangan dapat masuk
ke dalam rantai makanan, fosfat dalam detergen dapat menambah populasi alga dalam air
sungai sehingga mengurangi jumlah oksigen dalam air yang kemudian berdampak pada
kematian organisme air, dan polystyrene yang sulit hancur secara alami dapat
membebankan lingkungan. Selain itu juga dalam industri PLTN yang dapat beresiko pada

3
lingkungan dan kesehatan manusia. PLTN menghasilkan limbah nuklir yaitu plutonium
yang mengandung radioaktivitas yang bertahan selama ribuan tahun dan membahayakan
kesehatan manusia karena mengakibatkan kanker, keguguran, dan mutasi gen.
b. Efek rumah kaca
Green house effect atau efek rumah kaca merupakan penyebab dari naiknya
permukaan laut akibat suhu permukaan bumi yang tinggi. Karbondioksida yang
dilepaskan dari permukaan bumi tidak dapat dipantulkan kembali ke luar atmosfer bumi
dan sinar ultraviolet yang semakin membuat bumi panas akibat alat pemantul yaitu
lapisan ozon mengalami penurunan jumlah. Karbondioksida yang bertahan dan tidak
dapat dipantulkan kembali inilah yang mengakibatkan es dan salju di kutub mencair dan
permukaan air laut naik. Karbondioksida ini terlepas dari pembakaran bahan bakar fosil,
gas yang dikeluarkan manusia, kotoran sapi. Namun karbondioksida yang memegang
peranan besar penyebab efek rumah kaca adalah dari pembuangan kendaraan bermotor
dan industri. Hal ini berdampak pada daerah-daerah di pinggir laut yang akan tergenang
air laut seperti Belanda dan Bangladesh serta perubahan iklim dunia seperti kekeringan,
banjir, dan bencana alam lainnya.
c. Perusakan lapisan ozon
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, efek rumah kaca disebabkan dari
berkurangnya lapisan ozon yang memantulkan sinar ulraviolet ke luar atmosfer bumi.
Sinar ultraviolet yang masuk ke dalam bumi harus disaring oleh ozon dan akan
dipantulkan kembali ke luar atmosfer bumi. Bila sinar ultraviolet tetap bertahan dalam
bumi ini akan berdampak buruk pada kehidupan di dalamnya. Sinar ultraviolet dapat
mengakibatkan suhu bumi yang meningkat dan radiasinya yang merusak kulit bahkan
menyebabkan kanker kulit, penyakit katarak, dan kerusakan bentuk kehidupan lainnya.
d. Hujan asam
Acid rain atau hujan asam adalah hujan yang terbentuk dari gabungan asam dalam
emisi industri dan air hujan yang mencemari daerah yang luas. Hujan asam ini dapat
merusak hutan dan pohon-pohon yang tumbuh disana, mencemari air danau, dan merusak
gedung dengan kandungan zat asam yang ada di dalamnya. Bagi manusia hujan asam ini
dapat mengganggu kesehatan pada saluran pernapasan dan paru-paru.
e. Deforestasi dan penggurunan

4
Semakin berkembangnya suatu bisnis dalam siklus hidupnya akan mendorong
bisnis itu untuk lebih produktif. Begitu pula dengan bisnis kayu yang semakin
berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin banyak. Kayu
merupakan barang yang laris dalam bisnis sehingga para pebisnis berlomba-lomba
menyediakan penawaran kayu. Namun semakin berkembangnya bisnis ini tidak sejalan
dengan pembuatan kembali barang tersebut yaitu pohon. Teknologi yang modern pun
menyediakan alat untuk menebang pohon dengan cepat dan efisien menyebabkan hutan
yang semakin berkurang. Deforestasi besar-besaran ini berdampak besar pada lingkungan
kita. Salah satu fungsi hutan menyerap karbondioksida yang dihasilkan oleh industri dan
kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan efek rumah kaca menjadi tidak berjalan
dengan maksimal. Bahkan bila penebangan tersebut dilakukan dengan tidak sistematis
bisa menyebabkan erosi tanah yang pada akhirnya akan menyebabkan perguruan atau
desertification. Bila terus dilakukan, deforestasi pada jankgka panjang bisa
mengakibatkan perubahan ekstrim pada iklim dunia.
f. Keanekaan hayati
Yang dimaksudkan keanekaan hayati atau biodiversitas di sini adalah jenis-jenis
kehidupan yang ada di bumi. Keanekaan hayati pada masa depan sangat dibutuhkan
terutama pada spesies yang saat ini belum diketahui manfaatnya, mungkin akan berguna
pada masa depan. Salah satu akibat dari kerusakan lingkungan adalah kepunahan banyak
spesies yang ada. Maka bila kerusakan habitat dan terutama penebangan hutan yang
semakin banyak akan mempercepat terjadinya kepunahan banyak spesies saat ini.
Namun terkadang aspek-aspek yang dibahas menyangkut krisis lingkungan yang
telah dibahas sebelumnya ini bisa jadi meleset dari perkiraan. Para ahli biologi dan
geofisika bisa jadi menyimpulkan bahwa kegiatan bisnis terutama industri dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun pada beberapa kasus justru sebaliknya.
Pengeboran minyak yang dilakukan di Teluk Meksiko justru membantu industri
perikanan di sekitarnya. Dibangunnya instalasi-instalasi pengeboran justru
mempermudah ikan berkembang biak. Yang perlu diperhatikan bukan pada apakah
kegiatan industri berdampak buruk pada lingkungan, namun dengan mengatasi dampak-
dampak buruk akibat kegiatan industri. Isu kerusakan lingkungan akibat industri ini telah

5
menjadi isu mengglobal yang harus dipandang sebagai masalah global dan ditangani
secara global pula.

B. Lingkungan Hidup dan Ekonomi


a. Lingkungan hidup sebagai “the commons”
Lingkungan hidup sebagai “the commons” sering dilakukan sejak Professor
Garret Hardin dari Universitas Harvard menulis artikelnya “The Tragedy of The
Commons”. Dalam pengandaian ini, lingkungan hidup dianggap sebagai ranah umum
atau kepemilikan umum. The commons adalah ladang umum yang dulu dapat ditemukan
dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh
semua penduduknya. Menurutnya, masalah lingkungan hidup dan kependudukan dapat
dibandingkan dengan menghilangnya the commons. Maka diperlukan suatu jalan keluar
yang membatasinya yaitu “freedom in a commons brings ruin to all” – membatasi
kebebasan individu dan memberikannya pada kepentingan umum.Dalam kehidupan
modern, the commons dengan bertambahnya jumlah penduduk tidak bisa dipertahankan
lagi melainkan diprivatisasi pada penduduk perorangan. Sehingga mulai muncul
perubahan sosial-ekonomi yang besar di kalangan masyarakat, dengan adanya orang kaya
(the landlords) yan memprivatisasi pemilikan tanah. The tragedy of the commons dapat
dipadang sebagai kebalikan dari The invisible hands milik Adam Smith. Karena, bila
semua orang mengejar kepentingan dan ambisinya sendiri, yang didapat bukan
kemakmuran umum namun justru kehancuran bersama.
b. Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas
Dalam pengandaian ini, lingkungan hidup dianggap sebagai sumber-sumber daya
alam yang tidak terbatas. Walaupun pada kenyataannya jumlah sumber daya alam
memiliki kuantitas yang besar namun komponen di dalamnya merupakan hal yang
terbatas. Sumber daya alam pun bisa mengalami kelangkaan. Bahkan yang awalnya dapat
kita peroleh secara gratis bisa jadi harus kita bayar untuk mendapatkannya suatu saat
nanti. Kini environmental economics sudah menjadi cabang ilmu ekonomi yang
penting.Eksternalitas adalah faktor- faktor yang bersifat ekonomis tapi tetap tinggal di
luar perhitungan ekonomis. Karena sumber daya alam yang berubah menjadi barang

6
langka dan harus diberi harga ekonomis, maka lingkungan hidup bukan lagi hal yang
eksternalitas.
c. Pembangunan berkelanjutan
Pertumbuhan ekonomi yang terus menerus tidak mungkin dicocokkan dengan
keadaan terbatas sumber daya alam terutama pada sumber-sumber yang tidak dapat
diperbaharui. Ini memicu perlunya pembatasan pertumbuhan penduduk. Ekonomi harus
mempertimbangkan adanya zero growth atau pertumbuhan nol atau pertumbuhan tidak
sama sekali. Sustainable development mampu mengubah pandangan mengenai
pertumbuhan penduduk yang bertentangan dengan lingkungan hidup. Pembangunan
berkelanjutan memberikan jembatan kepada keduanya dengan memungkinkan
pertumbuhan ekonomi asalkan prospek ekonomi (lingkungan hidup) berkualitas sama.

C. Hubungan Manusia dengan Alam


Masalah lingkungan hidup menimbulkan suatu cabang filsafat baru yang berkembang
dengan cepat, yaitu filsafat lingkungan hidup. Di sini dibuka beberapa perspektif yang sama
sekali baru, karena dalam refleksi filosofis selama ini belum pernah terpikirkan. Beberapa
unsur dari filsafat lingkungan hidup perlu dibahas, sebab berkaitan erat dengan etika
lingkungan hidup. Yang paling penting adalah pergeseran paradigma dalam menyoroti
hubungan antara manusia dan alam.
Salah satu ciri khas dari sikap manusia modern adalah usahanya untuk menguasai dan
menaklukkan alam. Alam dipandang bagaikan binatang buas yang perlu dijinakkan oleh
manusia. Tujuan itu tercapai dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Cara mendekati alam ini dapat disebut sikap teknokratis. Berkat cara kerja
teknokratisnya manusia modern memang berhasil memperoleh banyak sekali manfaat. Bagi
yang bisa membayar, hidup modern menjadi jauh lebih nyaman daripada hidup di zaman
pramodern. Kita ingat saja pemakaian lemari es, alat penyejuk (AC), transportasi,
telekomunikasi dan seribu satu fasilitas lain bagi yang dulu tidak mungkin dibayangkan.
Sekarang disadari bahwa kita harus meninjau kembali hubungan manusia dengan
alam. Manusia tidak terpisah dari alam, apalagi bertentangan dengan alam, ia termasuk alam
itu sendiri seperti setiap makhluk hidup lain. Pada dasarnya manusia adalah sebagian alam.
Persatuannya dengan alam itu tidak pernah boleh dilupakan. Pandangan modern tentang alam

7
adalah antroposentris, karena menempatkan manusia dalam pusatnya. Pandangan baru yang
kita butuhkan bila kita ingin mengatasi krisis lingkungan, harus bersifat ekosentris, karena
menempatkan alam dalam pusatnya.
Aliran dalam filsafat lingkungan yang dengan paling radikal mengemukakan
pandangan ini adalah deep ecology. Gagasan deep ecology ini untuk pertama kali
dikemukakan oleh filsuf Norwegia, Arne Naess, pada suatu kongres filsafat dan kemudian
dipublikasikan dalam bentuk artikel. Deep ecology sangat menekankan kesatuan alam.
Semua makhluk hidup termasuk manusia, tercantum dalam alam menurut relasi-relasi
tertentu. Setiap makhluk hidup menjadi sebagaimana adanya, karena interaksi dengan semua
makhluk hidup lain dan dengan lingkungannya. Dari situ disimpulkan bahwa semua makhluk
mempunyai nilai tersendiri, karena yang satu tidak mungkin hidup tanpa yang lain. Hal itu
kadang-kadang disebut biospherical egalitarianism, yang tentu menjadi kontroversial, bila
dimaksud bahwa semua makhluk hidup mempunyai nilai yang sama.
Deep ecology harus dibedakan dari shallow ecology, ekologi dangkal. Ekologi
dangkal itu tidak pernah sampai pada akar masalah-masalah lingkungan hidup. Ia akan
berusaha melestarikan lingkungan, supaya bermanfaat terus untuk manusia. Ia masih
tercantum dalam suasana antroposentrisme. Ia hanya mengakui best nilai instrumental dari
alam. Buat ekologi-dalam, alam mempunyai nilai intrinsik, artinya nilai sendiri, tak
tergantung dari faktor luar.
Dengan menekankan nilai intrinsik dari alam, ekologi-dalam sudah menginjak
wilayah etika. Dapat dimengerti juga, kalau ekologi-dalam tidak membatasi diri pada teori
saja, tapi mengajak para peminat untu melibatkan diri dalam aksi yang kadang-kadang cukup
radikal. Antara lain ada yang ingin berpegang teguh pada gagasan nature knows best,
sehingga menolak dengan tegas setiap intervensi manusia dalam alam, khususnya manipulasi
genetik. Yang menarik perhatian adalah 8 prinsip ekologi-dalam yang dirumuskan oleh dua
pengarang Amerika. Daftar 8 prinsip ini bisa dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut
oleh pendukung ekologi-dalam.
1. Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupunkehidupan bukan
manusiawi di bumi mempunyai nilai intrinsik. Nilai-nilai ini tak tergantung dari
bermanfaat tidaknya dunia bukan manusiawi untuk tujuan manusia.

8
2. Kekayaan dan keanekaan bentu-bentuk hidup menyumbangkan kepada terwujudnya
nilai-nilai ini dan merupakan nilai sendiri.
3. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali untuk memenuhi
kebutuhan vitalnya.
4. Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan dengan
dikuranginya secara substansial jumlah penduduk. Keadaan baik kehidupan bukan
manusiawi memerlukan dikuranginya jumlah penduduk itu.
5. Campur tangan manusia dengan dunia bukan manusiawi kini terlalu besar, dan situasi
memburuk dengan cepat.
6. Karena itu kebujakan umum harus berubah. Kebijakan itu menyangkut struktur-struktur
dasar dibidang ekonomis, teknologis, dan ideologis. Keadaan yang timbul sebagai
hasilnya akan berbeda secara mendalam dengan struktur-struktur sekarang.
7. Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan (artinya manusia
dapattinggal dalm situasi-situasi yang bernilai inheren), dan bukan berpegang pada
standar kehidupan yang semakin tinggi. Akan timbul kesadaran mendalam akan
perbedaan antara big (kuantitas) dan great (kualitas).
8. Mereka yang menyetujui butir-butir sebelumnya berkewajiban secara langsung dan tidak
langsung untuk berusaha mengadakan perubahan-perubahan yang perlu.
Banyak pandangan ekologi-dalam itu pantas dihargai secara positif, menurut hemat
kami, manusia memang bisa dianggap sebagai sebagian alam. Pandangan ekosentris adalah
benar, sejauh manusia tidak mungkin dilepaskan dari alam. Perlu diakui pula bahwa alam
mempunyai nilai intrinsik, yang tidak tergantung pada manfaatnya untuk manusia. Dan
gaagsan ini pasti punya konsekuensi besar untu etika. Khususnya etika bisnis harus
memikirkan kedudukan alam sebagai stakeholder, di samping stakeholders lain yang sudah
disebut sebelumnya.

D. Dasar Etika Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup


a. Hak dan deontologi
Dalam artikelnya, William T. Blackstone mengajukan pikiran bahwa setiap
manusia berhak atas lingkungan berkualitas yang memungkinkan untuk hidup dengan
baik. Dalam teori deontologi menyebutkan bahwa manusia selalu harus diperlakukan

9
juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Manusia
memiliki hak sekaligus kewajiban untuk memiliki hidup dalam lingkungan yang
berkualitas namun juga bertanggung jawab terhadap generasi sesudah kita dan
keanekaragaman hayati, bukan pada hak mereka.
b. Utilitarisme
Teori utilitarisme menyediakan dasar moral bagi tanggung jawab manusia untuk
melestarikan lingkungan hidup. Bahkan teori ini bisa memberikan jalan keluar pada
masalah atas hak lingkungan hidup. Teori utilitarisme menyebutkan bahwa suatu
perbuatan atau aturan yang baik bila membawa keuntungan pada jumlah orang yang
banyak dengan memaksimalkan manfaat. Sehingga sudah jelas bahwa pelestarian
lingkungan hidup bermanfaat bagi banyak orang bahkan generasi yang selanjutnya.
c. Keadilan
Dasar pada tanggung jawab melestarikan lingkungan juga adalah tuntutan etis
yang mengharuskan keadilan. Dalam konteks lingkungan hidup yang digunakan adalah
prinsip keadilan distributif dimana keadilan yang mewajibkan untuk saling membagi
dengan adil. Hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu:
1. Persamaan
Dalam sebagian besar kegiatan bisnis dapat kita lihat kesenjangan hasil yang
didapat dalam sebuah bisnis. Dengan mengeksploitasi kekayaan alam para pemilik
usaha bisa mendapat keuntungan banyak. Namun di sisi lain para orang kurang
mampu justru mendapatkan kerugian dalam bisnis. Seperti masyarakat yang tinggal
dalam lingkungan industri kimia, kerusakan lingkungan hidup akan banyak mereka
rasakan. Hal inilah yang dianggap tidak adil. Pada konteks persamaan di keadilan
distributif semua orang memiliki perlakuan yang sama. Sehingga lingkungan hidup
harus dilestarikan dan pemanfaatannya dengan menggunakan cara persamaan.
2. Prinsip penghematan adil
”the just savings principle” artinya kita harus menghemat dalam memakai
sumber daya alam, sehingga nantinya masih tersisa cukup untuk generasi-generasi
yang akan datang. Keadilan hanya menuntut bahwa kita meninggalkan sumber-
sumber energi alternatif bagi generasi yang akan datang. Dalam prinsip penghematan
adil, kita wajib mewariskan lingkungan hidup seperti yang ada saat ini agar mereka

10
bisa hidup pantas seperti yang kita rasakan saat ini. Sehingga semua generasi akan
menerima prinsip prnghematan adil sebagai cara yang adil untuk membagi.
3. Keadilan sosial
Keadilan sosial berbeda dengan keadilan individu dimana pelaksanaan
keadilan tidak bergantung pada kemauan orang tertentu melainkan pada struktur-
struktur yang ada dalam masyarakat. Seperti menggunakan sepeda atau berjalan kaki
ke suatu tempat untuk mengurangi efek rumah kaca itu tidak membantu selama masih
ada jutaan orang tetap menggunakan kendaraan bermotor. Permasalahan lingkungan
tidak bisa diselesaikan hanya dalam lingkup individu, nasional, bahkan regional.
Permasalahan ini telah mencapai global. Langkah-langkah sederhana memang tidak
mempunai banyak arti dalam skala yang kecil, namun bila dilaksanakan bersama-
sama akan mencapai kemajuan besar dalam memperbaiki dan melestarikan lingkunga
hidup.
E. Implementasi Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup
Apabila suatu kegiatan bisnis hanya bisa memberikan efek negatif, salah atu
tindakan radikal yang bisa diambil adalah dengan melarang seluruh bentuk kegiatan
bisnis terutama industri. Namun hal seradikal ini bisa jadi merupakan hal yang
menentang suatu prinsip hak seseorang. Bahkan bila hak tersebut untuk memenuhi
kebutuhan hidup kita. Sangat diperlukan tanggung jawab moral untuk melindungi
lingkungan terhadap faktor-faktor lainnya.
a. Siapa harus membayar?
Terdapat dua jwaban untuk menjawab pertanyaan siapa yang harus membayar
seluruh akibat dari pencemaran lingkungan:
1. The polluter pays. Yang dimaksud dengan si pencemar membayar adalah orang atau
perusahaan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan harus menanggung biaya
untuk membersihkan pencemaran hingga kembali seperti semula. Namun
menentukan siapa yang membuat pencemaran dan siapa yang mebuat pencemaran
lebih banyak sangat sulit untuk ditentukan. Apalagi bila pencemaran sudah terjadi
sebelumnya dan dilakukan oleh generasi sebelum kita. Kita akan sulit
mengidentifikasi siapa yang harus menanggungnya.

11
2. Those who will benefit from environmental improvement should pay the cost. Yang
dimaksud dengan yang ingin menikmati lingkungan bersih harus menanggung
biayanya adalah orang-orang yang berusaha menikmati lingkungan yang bersih.
Namun prinsip ini memiliki kesulitan apabila seseorang membayar, namun di lain
pihak ada yang tidak membayar namun ikut menikmatinya. Prinsip ini tidak
menghiraukan tanggung jawab dan dianggap tidak adilsehingga tidak boleh
dibebankan pada orang lain saja.
Dalam konteks lingkungan hidup yang global seperti saat ini, masing-masing
Negara memiliki andil dan tanggung jawab dalam melaksanakan pelestarian lingkungan
hidup tanpa terkecuali. Negara maju memiliki tanggung jawab terbesar dalam
melestarikan karena mereka mengakibatkan pencemaran lingkungan lebih banyak
dibanding negara lain.
b. Bagaimana beban dibagi?
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa setiap negara memiliki
tanggung jawab untuk membayar akibat pencemaran lingkungan, kini muncul pertanyaan
bagaimana pembayaran itu dibagi sehingga dapat adil pada seluruh negara terutama pada
setiap industri.
1. Pengaturan.
Cara pertama adalah membuat peraturan mengenai polusi dari industri.
Peraturan itu bisa melarang membuang limbah beracun dalam air sungai atau laut dan
menentukan denda bila peraturan itu dilanggar. Atau peraturan bisa menetukan
tingginya cerobong dan kuantitas emisi beracun berapa boleh dibuang ke dalam udara
melalui cerobong-cerobong itu dan banyak hal lain lagi. Kekuatan pengaturan itu
adalah bahwa pelaksanaannya dapat dipaksakan secara hukum. Bagi yang melanggar
ada sanksinya. Dipandang dari sudut moral, bisa dikatakan juga bahwa pengaturan ini
cukup fair, karena diterapkan dengan cara yang sama kepada semua industri.
Tetapi cara menangani masalah lingkungan ini mempunyai beberapa
kelemahan yang dapat disingkatkan sebagai berikut.
a. Pelaksanaan kontrol terhadap peraturan-peraturan macam itu menuntut
tersedianya teknologi tinggi serta personel berkualitas dan karena itu menjadi
mahal. Instansi pengontrolan pemerintah tidak mungkin menguasai seluk-

12
beluknya begitu banyak industri yang berbeda. Karena itu mudah terjadi
kesalahan, sehingga dari beberapa industri dituntut terlalu banyak, sedangkan
industri lain barangkali lolos dari pengontrolan yang tepat.
b. Pengontrolan efektif menjadi suatu kesulitan ekstra untuk negara-negara
berkembang. Kalau negara industri maju sudah mengalami banyak kesulitan
dengan mengontrol peraturan lingkungan, apalagi negara berkembang yang
tidak cukup menguasai teknologi canggih. Karena alasan finansial pula tidak
dapat diharapkan negara berkembang memiliki instansi pengontrolan yang
efektif.
c. Di satu pihak pengaturan tentang lingkungan dapat diterapkan dengan cara
egalitarian untuk semua industri dan karena itu harus dianggap fair. Tetapi di
lain pihak situasi semua industri dan lokasi tidak sama juga, sehingga
penerapan norma-norma yang sama kadang-kadang menjadi tidak efektif.
Misalnya, bisa saja bahwa cerobong-cerobong sebuah pabrik yang letaknya di
pinggir laut hampir tidak mengganggu kualitas udara, sedangkan cerobong-
cerobong dari seratus pabrik dekat tempat pemukiman padat sangat
mencemari udara, walaupun emisi masing-masing pabrik hanya separuh dari
pabrik pertama tadi.
d. Pengaturan di bidang polusi industri dapat menimbulkan suatu sikap
minimalistis pada bisnis. Mereka hanya berusaha untuk tidak melanggar
peraturan (kalau pengontrolan memang efektif), tapi barangkali mereka bisa
melakukan lebih banyak tanpa kerugian ekonomis. Melalui pengaturan, bisnis
tidak mendapat motivasi kuat untuk berusaha optimal bagi kualitas
lingkungan.
e. Kesulitan lain adalah bahwa pengaturan ketat bisa menimbulkan efek negatif
untuk ekonomi. Pabrik-pabrik yang tidak mungkin memenuhi norma
peraturan barangkali harus ditutup, sehingga akan mengakibatkan
pengangguran dan masalah ekonomis lain untuk masyarakat bersangkutan.
Bisa juga bisnis memindahkan industri yang mengakibatkan polusi ke negara
lain yang tidak mempunyai peraturan tegas. Kalau begitu, pada taraf global
tidak ada perbaikan lingkungan sama sekali.

13
2. Insentif
Cara menangani biaya perbaikan lingkungan yang menemui lebih banyak
simpati pada bisnis adalah memberikan insentif kepada industri yang bersedia
mengambil tindakan khusus untuk melindungi lingkungan. Misalnya, dengan
memberikan bersyarat lunak, subsidi, pengurangan pajak atau sebagainya, kepada
industri yang memakai energi terbarukan seperti energi angin, surya, panas bumi dan
lain-lain. Atau insentif berupa penghargaan bagi perusahaan yang mempunyaijasa
khusus dalam memperbaiki lingkungan. Kekuatan cara ini adalah bahwa peranan
pemerintah dengan itu dapat dikurangi dan inisiatif bebas dari bisnis dimajukan.
Bisnis tidak dipaksakan seperti dengan cara pertama. Dengan demikian bisa
dihindarkan juga penutupan perusahaan atau pemindahan pabriknya ke tempat lain,
karena tidak mampu memenuhi peraturan tentang polusi.
Tetapi cara ini mempunyai juga beberapa kelemahan.
a. Metode ini akan berjalan perlahan-lahan. Padahal, banyak masalah polusi yang
disebabkan oleh industri harus segera diatasi dan tidak boleh dibiarkan berlarut-
larut.
b. Cara ini menguntungkan para pencemar. Mereka yang sudah lama memproduksi
barang yang ramah lingkungan tidak memperoleh manfaat dari metode insentif
ini. Apalagi, kontrol dari pihak pemerintah di sini agak sulit dijalankan, sehingga
insentif ini mudah disalahgunakan atau tidak diterapkan pada semua perusahaan
dengan cara yang sama.
3. Mekanisme harga
Mereka yang mementingkan ekonomi pasar bebas, cenderung memasang
harga pada polusi yang disebabkan industri. Pabrik-pabrik yang menyebabkan polusi
harus membayar sesuai dengan kuantitas emisi dan tingkatan pencemaran. Dengan
kata lain, dipungut pajak lingkungan dari industri yang besarnya sesuai dengan polusi
yang disebabkan. Dengan demikian mengakibatkan polusi menjadi sama dengan
menambahkan biaya produksi, sehingga harga produk menjadi lebih mahal dan
konkurensi dengan pesaing bertambah sulit. Secara otomatis bisnis akan berusaha
agar biaya produksinya serendah mungkin dan karena itu akan berusaha pula agar

14
polusi yang disebabkan oleh kegiatan ekonomisnya seminimal mungkin. Cara
berproduksi yang paling bersih menjadi juga cara berproduksi yang paling murah.
Mekanisme harga ini memungkinkan lagi beberapa variasi sesuai dengan
situasi. Polusi di daerah di mana industri hanya sedikit, bisa dibebankan dengan harga
lebih rendah ketimbang polusi di daerah industri padat. Dan di daerah industri padat
di Eropa atau Amerika Serikat bisa dipasang harga polusi lebih tinggi waktu musim
panas, ketimbang musim dingin, karena polusi waktu musim panas mempunyai
dampak paling jelek atas lingkungan.
Cara menangani biaya pencemaran ini mempunyai keuntungan bahwa yang
harus membayar di sini adalah si pencemar. Banyak ekonom akan menyetujui cara
ini, karena dengan demikian beban pada lingkungan tidak lagi dijadikan suatu
eksternalitas ekonomis tetapi dimasukkan dalm biaya produksi. Secara teoritis,
industri bisa diwajibakan membayar untuk setiap polusi yang disebabkannya. Suatu
kesulitan adalah mengukur dengan persis kuantitas polusi dan tingkatan jeleknya
suatu polusi. Tetapi kesulitan ini secara teknis bisa diatasi.
Dibandingkan dengan para ekonom, para pejuang lingkungan (the
environmentalists) pada umumnya tidak begitu antusias tentang metode ini, terutama
para penganut deep ecology. Mereka menekankan bahwa mengkalkulasikan biaya
kerusakan lingkungan hidup ke dalam harga produk secara implisit tetap mengizinkan
polusi dan perusakan lingkungan. Dengan demikian hanya toleransi ekonomis dari
masyarakat dipertimbangkan, bukan “toleransi” alam atau kemampuan alam untuk
membersihkan diri.
c. Etika dan hukum lingkungan hidup
Apa yang berlaku tentang etika bisnis pada umumnya, berlaku juga mengenai
masalah lingkungan hidup. Pebisnis belum tentu memenuhi norma- norma etika, bila ia
berpegang pada aturan-aturan hukum. Memang benar, sebagian besar hukum
mempertegas norma-norma etika tetapi hal itu tidak berarti bahwa hukum menampung
semua nilai dan norma etika. Etika secara logis mendahului hukum dan refleksi etis selalu
harus mendampingi dan menilai hukum. Pebisnis juga belum tentu berlaku etis, bila ia
berpegang pada semua aturan hukum tentang lingkungan hidup. Perusakan lingkungan
hidup hingga tidak bisa diperbaiki lagi selalu harus dianggap tidak etis, juga kalau tidak

15
atau belum dilarang menurut hukum. Jika besok diberlakukan peraturan hukum yang
melarang membuang limbah industri dalam sungai, perusahaan yang masih
melakukannya hari ini tidak melanggar hukum. Tetapi dari segi etika bagaimana? Atau
bila cara berproduksi yang tertentu dilarang menurut hukum di dalam negeri, perusahaan
bisa memindahkan pabriknya ke negara lain di mana tidak ada peraturan hukum semacam
itu. Menurut hukum perilaku seperti itu diperbolehkan saja, tetapi menurut etika
bagaimana? Di sisi lain, jika satu perusahaan berlaku etis dengan tidak membuang limbah
ke dalam sungai, sedangkan begitu banyak perusahaan lain membuang limbah seenaknya,
sikap etisnya yang sangat terpuji itu sama sekali tidak efektif. Barangkali kita semua
sepakat bahwa perilaku semua perusahaan kecuali yang satu itu tidak etis, namun mereka
lakukan juga, karena dari segi ekonomis lebih menguntungkan. Bagi mereka motivasi
untung lebih kuat daripada motivasi moral. Pada 1981 Presiden Ronald Reagan dari
Amerika Serikat mengeluarkan executive order yang memerintahkan mencek semua
peraturan lingkungan baru dengan cost-benefit analysis sebelum diimplementasikan.
Dengan itu ia menempatkan keuntungan bisnis di atas kepentingan lingkungan hidup.
Kepatuhan pada norma etika tidak bisa dipaksakan. Karena itu terutama dalam
konteks lingkungan hidup ini kita sangat membutuhkan peraturan hukum. Lingkungan
hidup hanya bisa dilindungi dengan baik, jika tercipta peraturan hukum yang efektif dan
lengkap demi tujuan itu. Mestinya bisnis bersedia membantu dalam membuat sistem
peraturan hukum lingkungan yang baik. Sebab, menciptakan peraturan-peraturan itu tidak
mudah, karena materinya sangat teknis dan canggih. Dalam hal ini bisnis mempunyai
keahlian lebih banyak daripada pemerintah. Dan sistem hukum lingkungan yang baik
adalah demi kepntingan semua pihak, termasuk bisnis sendiri. Harus dianggap tidak etis,
bila bisnis dengan lobbying atau caralain mencoba menghambat terbentuknya peraturan
hukum lingkungan, karena menyadari konsekuensi ekonomisnya yang berat. Dalam
materi yang begitu penting seperti pelestarian lingkungan hidup, mereka seharusnya
bersedia menempatkan kepentingan lingkungan di atas segala kepentingan lainnya.
Kalau sudah ada sistem peraturan lingkungan yang baik, masalahnya belum
selesai, sebab masih tinggal pelaksanaan. Justru karena segi teknisnya sering kali sangat
kompleks, pengontrolan di bidng ini menjadi amat sulit. Pihak kepolisisan dan
kejaksanaan kerap kali tidak mempunyai personel dan keahlian cukup untuk mengontrol

16
polusi dengan efektif. Karena itu kans untuk ditangkap bila melanggar, bagi perusahaan
barangkali tidak besar. Apalagi, denda acap kali relatif kecil, sehingga bagi perusahaan
lebih menguntungkan membayar denda daripada membangun instalasi mahal untuk
mengurangi polusi atau mengolah limbah. Karena itu setelah terbentuk sistem peraturan
lingkungan yang baik, tetap diperlukan kemauan moral dari dunia bisnis untuk
mewujudkan tujuannya.
Malah pelaksanaan peraturan-peraturan hukum pda taraf nasional belum cukup.
Polusi yang disebabkan industri tidak berhenti pada perbatasan negara. Peraturan hukum
lingkungan harus dibuat pada taraf internasional dan dikontrol juga. Hal itu tentu lebih
sulit lagi untuk dipaksakan dan hanya bisa dilaksanakan, bila negara-negara bersangkutan
menyetujui. Kini permulaannya sudah ada dengan Agenda 21 dari Konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro (1992) walaupun sampai
sekarang hasilnya sangat mengecewakan.
Karena semua pertimbangan ini, kita tidak mungkin berhasil dalam upaya
melestarikan lingkungan hidup, jika bisnis tidak ikut menegakkan etika dan hukum di
bidang ini. Khusus dari sudut etika, perlu ditekankan bahwa bisnis mempunyai tanggung
jawab moral untuk tidak merusak lingkungan hidup.
Namun demikian, dalam konteks pelestarian lingkungan hidup, kami berpendapat
bahwa tanggung jawab bisnis tidak terbatas pada segi negatif saja. Bisnis mempunyai
juga tanggung jawab positif untuk mengajukan pelestarian lingkungan hidup. Bisnis
wajib memberi kontribusi kepada perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup. Ada dua
alasan untuk itu. Pertama, sejak permulaan industrialisasi bisnis telah merusak
lingkungan. Selama satu abad lebih industri tidak memiliki wawasan lingkungan. Kita
membutuhkan waktu lama, sebelum hal itu disadari dengan jelas. Kini bisnis wajib
membantu mengoreksi tradisi lama yang buruk itu. Kedua, alam mempunyai nilai sendiri.
Anggapan lama bahwa alam hanya merupakan instrumen untuk dimanfaatkan oleh
manusia, harus ditinggalkan. Jika alam mempunyai nilai sendiri, ia patut dihormati pula.
Karena manusia termasuk alam, dengan menghormati dan memelihara alam manusia
serentak juga menghormati masa depannya sendiri.
Tetapi jika bisnis mempunyai tanggung jawab moral, dalam arti kewajiban positif
untuk memajukan kepentingan lingkungan hidup, hal itu tidak berarti bahwa seluruh

17
tanggung jawab harus dipikul oleh produsen saja. Produsen dan konsumen bersam-sam
memikul tanggung jawab itu. Dalam segala pertimbangannya, produsen harus
menomorsatukan kepentingan lingkungan hidup. Tentu saja tujuan mencari untung tidak
pernah dapat dilepaskannya. Tetapi jika ia mempunyai pilihan antara cara berproduksi
lebih beruntung dengan merugikan lingkungan dan cara berproduksi dengan untung lebih
kecil tapi rmah lingkungan, ia wajib memilih kemungkinan kedua. Kepentingan
lingkungan harus diberi prioritas tinggi dalam segala rencana dan kegiatan produsen. Di
sisi lain, dalam membeli produk, konsumen pun harus sadar lingkungan. Walaupun harga
produk tertentu lebih murah daripada produk lain, ia harus memilih produk kedua, jika
diketahui produk pertama merusak lingkungan. Kualitas lingkungan harus mendapat
prioritas tinggi juga untuk konsumen. Ada tanda-tanda yang menunjukkan kesadaran
lingkungan dari konsumen sudah mulai terbentuk, terutama di Eropa Barat. Salah satu
contoh adalah pemakaian ecolabel. Label khusus ini dipasang pada produk yang dapat
dipastikan tidak merusak lingkungan. Antara lain dipakai untuk produk kayu tropis. Jika
produk itu dilengkapi dengan ecolabel, sudah terjamin produk itu dibuat dengan tidak
merusak hutan tropis.Ecolabel itu dikeluarkan oleh suatu lembaga independen (bukan
oleh produsen) yang mempergunakan kriteria jelas dan ketat. Tentu saja, efisiensi label
itu seratus persen tergantung pada kredibilitas lembaga tersebut. Lembaga-lembaga
konsumen juga bisa menilai produk dan jasa dari sudut pandang dampaknya terhadap
lingkungan dan dalam hal ini memberi penyuluhan kepada anggotanya. Cara ampuh lain
lagi yang dimiliki oleh konsumen adalah memboikot produk-produk dari perusahaan
yang diketahui merusak lingkungan. Dengan memanfaatkan media komunikasi modern
boikot seperti itu tidak sulit diselenggarakan. Sangat diharapkan, kesadarn lingkungan
pada konsumen akan bertambah besar. Jumlah produsen dalam masyarakat sangat
terbatas, sedangkan jumlah konsumen luas sekali, sehingga pengaruh mereka bisa besar
pula.

18
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan dari pembahasan yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, dapat
beberapa kesimpulan mengenai etika, bisnis, dan lingkungan hidup. Kesimpulan-kesimpulan
tersebut yaitu:
a. Dalam dimensi global lingkungan hidup terdapat enam masalah krisis lingkungan hidup
yang dihadapi masyarakat global yaitu akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca,
perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforestasi dan penggurunan, dan keanekaan hayati.
b. Keterkaitan lingkungan hidup dan ekonomi terlihat dalam perspektif lingkungan hidup
sebagai the commons, ketidakeksternalitasnya lagi lingkungan hidup, dan pembangunan
berkelanjutan.
c. Hubungan manusia dengan alam terlihat dari pandangan bahwa pendekatan teknokratis
membawa dampak positif dan negatif serta dalam menghadapi krisis lingkungan hidup,
masyarakat modern berpendapat ekosentris dengan alam sebagai pusatnya.
d. Dasar etika tanggung jawab terhadap lingkungan hidup adalah hak dan deontologi,
utilitarisme, dan keadilan.
e. Cara mengimplementasi tanggung jawab terhadap lingkungan adalah dengan menentukan
siapa yang harus membayar dan bagaimana beban tersebut dibagi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aulia A, Anastasya. (2015). Bisnis Etika dan Lingkungan Hidup. Tersedia:


https://www.academia.edu/12188771/Bisnis_Lingkungan_Hidup_dan_Etika. [Online]. 5.

Moderator :

20

Anda mungkin juga menyukai