Anda di halaman 1dari 4

IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 22, Issue 3, Ver. IV (March.

2017) PP
31-34 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org

The Local Government Budget (APBD) and Its Inefficiency in the City of Malang, Indonesia - Ya‟qud A.
Gudban, Candra F. Ananda, Susilo, and Setyo T. Wahyudi Department of Economics, Brawijaya University,
Indonesi

Abstrak:

Artikel ini menjelaskan proses pembuatan Anggaran Pemerintah Daerah (APBD) di Indonesia pada
umumnya dan Kota Malang khususnya. Prosesnya akan dilihat dari perspektif hubungan principal-agent,
di mana legislatif ditempatkan sebagai prinsipal sedangkan eksekutif sebagai agen. Ketika APBD akan
ditetapkan sebagai regulasi, mungkin ada perdebatan dan negosiasi antara eksekutif dan legislatif.
Perdebatan dan negosiasi terus berlangsung hingga akhir proses pembuatan APBD. Ini berkaitan dengan
kepentingan legislator terhadap basis konstituen mereka dan berhubungan dengan ketidakkonsistenan
antara apa yang direncanakan dan apa yang akan dibiayai. Salah satu hasil dari situasi ini adalah
fenomena anggaran hantu (Anggaran siluman), yaitu anggaran yang tiba-tiba muncul di APBD tanpa
melalui prosedur yang benar. Anggaran hantu dapat dipahami sebagai anggaran yang tidak
direncanakan, dan itu adalah hasil kompromi tersembunyi antara legislatif dan eksekutif. Karena
anggaran ini tidak direncanakan dengan baik, biasanya tidak dapat dilaksanakan, dan kemudian menjadi
anggaran yang tidak terpakai (SiLPA). Tulisan ini merekomendasikan untuk menciptakan sistem yang
lebih transparan dalam proses pembuatan APBD.

Pendahuluan:

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) atau Anggaran Pemerintah Daerah adalah
proses politik. Ini adalah instrumen akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik dan pelaksanaan
program yang didanai dengan dana publik (Mardiasmo, 2002). Sederhananya, Anggaran Pemerintah
Daerah menggambarkan kondisi keuangan pemerintah daerah yang berisi informasi tentang pendapatan,
pengeluaran, dan kegiatan. Di Indonesia, selama era Orde Baru, pembuatan APBD dilakukan dengan
sistem top-down, di mana rencana dan jumlah anggaran ditetapkan oleh atasan, sementara bawahan
hanya melakukan apa yang telah dianggarkan. Sekarang, di era Reformasi (Reformasi), Indonesia
menerapkan prinsip partisipasi dalam pembuatan APBD sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.
105 tahun 2000 tentang Manajemen Keuangan dan Akuntabilitas Keuangan yang kemudian telah
digantikan oleh Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005.

Ada dua fenomena menarik dalam proses pembuatan APBD di Indonesia. Pertama, legislatif
(bukan eksekutif) memiliki kekuatan yang cukup dalam mempengaruhi penciptaan APBD. Peran legislatif
lokal dimainkan oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan
peran eksekutif lokal dilakukan oleh gubernur (gubernur) untuk provinsi, atau walikota untuk sebuah
kota (kota), atau bupati untuk kabupaten (kabupaten). Eksekutif dianggap lebih rendah daripada badan
legislatif, dan kadang-kadang eksekutif sulit menolak 'rekomendasi' dari legislatif dalam alokasi sumber
pendanaan, dan ini pada gilirannya dapat mengubah apa yang telah direncanakan oleh eksekutif. Penting
untuk mengetahui bahwa Indonesia memiliki 34 provinsi dan salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur
yang diperintah oleh Gubernur. Provinsi Jawa Timur dibagi menjadi 38 wilayah: 29 wilayah sebagai
kabupaten (kabupaten) ditambah 9 wilayah sebagai kota (kota). Kota ini diatur oleh seorang walikota
(walikota), dan kabupaten ini diatur oleh seorang bupati. Kedua, eksekutif lebih mungkin terlibat dalam
korupsi, karena apa yang telah direncanakan oleh eksekutif dan legislatif akan dilaksanakan oleh
eksekutif itu sendiri. Perilaku korup dikaitkan dengan peluang untuk keuntungan pribadi di semua tingkat
proses penganggaran publik, dari perencanaan hingga pembayaran layanan publik yang disediakan oleh
eksekutif (Abdullah 2004).

Tujuan artikel ini adalah untuk menggambarkan proses pembuatan Anggaran Pemerintah Daerah
(APBD) di Indonesia pada umumnya dan Kota Malang secara khusus. Prosesnya akan dilihat dari
perspektif hubungan keagenan, di mana legislatif ditempatkan sebagai prinsipal sedangkan eksekutif
sebagai agen. Ini akan fokus pada penganggaran pemerintah di Kota Malang, di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia.

Teori Agency:

Hubungan antara legislatif dan eksekutif dapat dianggap sebagai hubungan agen, yang timbul
dari kontrak antara orang-orang dan perwakilan mereka di legislatif, dan legislatif meminta eksekutif
(bersama dengan birokrasinya) untuk menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan orang-orang
(Maug 2002). Untuk mengawasi perilaku eksekutif serta menyelaraskan kepentingan orang-orang dengan
eksekutif, legislatif mengharuskan eksekutif untuk memperhitungkan penggunaan anggaran melalui
mekanisme pelaporan keuangan periodik. Melalui perwakilan mereka di badan legislatif, rakyat dapat
mengukur dan menilai kinerja eksekutif, dan untuk mengawasi sejauh mana eksekutif telah bertindak
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Singkatnya, teori keagenan atau teori pelaku utama adalah
menganalisis hubungan kontraktual antara dua pihak: satu adalah prinsipal dan yang lainnya adalah
agen. Prinsipal membuat kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan agen dengan harapan
bahwa agen akan melakukan tugas yang diinginkan oleh prinsipal. Namun, teori memprediksi bahwa
agen dapat berperilaku oportunistik terhadap kepala sekolah.

Menurut Bergman dan Lane (1990), kerangka principal-agent berhubungan dengan asimetri
informasi: agen memiliki lebih banyak informasi tentang kinerja aktualnya, motivasi tersembunyi, dan
tujuannya. Kepala sekolah, bagaimanapun, harus mengerahkan upaya untuk memantau kinerja agen dan
menentukan struktur insentif untuk agen. Asimetri informasi antara legislatif dan eksekutif menawarkan
terjadinya perilaku oportunistik dalam proses perencanaan serta penerapan anggaran sektor publik.
Menurut Strom (2000), hubungan principal-agent dalam penganggaran sektor publik dapat terjadi pada
berbagai tingkatan, di antaranya adalah (1) pemilih dan legislator, (2) legislator dan eksekutif, (3) walikota
/ bupati dan aparat birokrasi mereka, dan (4) bendahara dan pengguna anggaran. Gilardi (2001) melihat
hubungan ini sebagai rantai delegasi.

Proses Pembuatan APBD

Proses pembuatan APBD (Lihat Tabel 1) dimulai dari RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah,
yaitu Rencana Kerja Pemerintah Daerah), yaitu dokumen rencana kerja eksekutif untuk periode satu
tahun (langkah 1). RKPD dikembangkan untuk memastikan relevansi dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, implementasi dan pemantauan. RKPD terutama berisi rencana kerja terukur yang akan
dilaksanakan langsung oleh pemerintah dan / atau akan dikejar dengan mendorong partisipasi
masyarakat. RKPD diatur oleh peraturan walikota / bupati sebagai kepala eksekutif. Kemudian, TAPD (Tim
Anggaran Pemerintah Daerah, Tim Penganggaran Pemerintah Daerah) menyiapkan KUA-PPAS dan
menyerahkannya kepada walikota / bupati (langkah 2). KUA (Kebijakan Umum Anggaran, Kebijakan
Anggaran) adalah dokumen yang menggambarkan kondisi makroekonomi lokal, asumsi di balik APBD,
kebijakan pendapatan lokal, belanja lokal, pendanaan lokal dan strategi untuk mencapai target
pembangunan lokal.

Sementara PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara, Batas dan Prioritas Anggaran) berisi
program berdasarkan tugas dan fungsi setiap SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah, Unit Kerja
Pemerintah Daerah) seperti departemen pendidikan setempat, departemen konstruksi, departemen
kesehatan, departemen pendapatan lokal, dan sebagainya. KUA-PPAS diserahkan ke DPRD sebagai badan
legislative (langkah 3) untuk dibahas dan disepakati Bersama dengan eksekutif (langkah 4). Walikota /
bupati kemudian mengeluarkan surat edaran, memerintahkan setiap SKPD (Satuan Kerja Pemerintah
Daerah) untuk menyiapkan RKA-SKPD (rencana kerja dan anggaran skpd). Setiap SKPD diminta untuk
mempersiapkan dokumen yang berisi perencanaan program dan kegiatan serta anggaran yang
diperlukan untuk melaksanakannya (langkah 5). RKA-SKPD dibahas di dalam eksekutif, dan itu menjadi
cikal bakal dari APBD (langkah 6). Walikota/Bupati mengajukan draft APBD kepada legislative (langkah 7)
untuk didiskusikan dengan eksekutif, mereka harus setuju dengan draft (langkah 8), maka draft APBD
diserahkan kepada Gubernur Provinsi Jawa Timur untuk evaluasi (langkah 9), dan akhirnya rancangan
diatur menjadi peraturan daerah atau APBD akhir (langkah 10).

APBD dan Ghost Budget

Indonesia menganut anggaran sektor publik (APBD) berdasarkan kinerja. Penganggaran berbasis kinerja
menjelaskan hubungan antara alokasi sumber daya dengan pencapaian tujuan yang terukur. Ini telah
dilaksanakan di Indonesia di bawah Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000. APBD diharapkan untuk
mendorong partisipasi para pemangku kepentingan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
diinginkan. Hubungan antara APBD berdasarkan kinerja dan pertumbuhan ekonomi lokal di Kota Malang
tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Di sini, APBD dapat dipahami sebagai pengeluaran
pemerintah, yang bersama-sama dengan konsumsi swasta dan investasi swasta, akan berkontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Di Kota Malang, APBD tidak secara tegas mendorong
pertumbuhan ekonomi Kota Malang (lihat Gambar 2). Gambar 2 menggambarkan bahwa besarnya
belanja pemerintah (APBD) Kota Malang belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Hal ini
dapat dilihat pada tahun 2013 dan 2014 di mana pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan pada
saat pengeluaran pemerintah meningkat 22% pada tahun 2013.

(tabel)

Sebagaimana disebutkan di atas, rancangan APBD dari eksekutif didasarkan pada KUA-PPAS, yang
dinyatakan dalam nota kesepahaman antara eksekutif dan legislatif. Secara relatif tidak ada konflik dalam
tahap perumusan KUA-PPAS. Namun, ketika KUA-PPAS dikirim ke legislatif, mungkin ada perdebatan dan
negosiasi antara eksekutif dan legislatif (Yudhoyono 2003, 39). Situasi debat dan negosiasi ini akan terus
berlangsung hingga akhir proses pembuatan APBD. Konflik ini berkaitan dengan kepentingan legislator
terhadap basis konstituen mereka atau berkaitan dengan ketidakkonsistenan antara RKPD dan KUA-PPAS
(Abdullah 2004). Di sini, hubungan antara eksekutif dan legislatif dapat dilihat sebagai hubungan
principal-agent (Johnson, 1994).

Para legislator ingin dipilih kembali sebagai anggota legislatif dalam pemilihan berikutnya, birokrat ingin
memaksimalkan anggaran mereka, dan para pemilih ingin memaksimalkan utilitas mereka. Untuk dipilih,
legislator harus mencari program dan proyek yang membuat mereka populer di mata konstituen mereka.
Fenomena ini, dalam literatur pilihan publik, disebut teori siklus anggaran politik (Rogoff 1990). Teori ini
menyatakan bahwa politisi, terutama para petahana, cenderung mengarahkan pengeluaran pemerintah
atau kebijakan fiskal untuk memenangkan mereka dalam pemilihan berikutnya.

(gambar)

Salah satu hasil dari situasi tersebut di atas, adalah munculnya anggaran hantu (Anggaran siluman), yaitu
anggaran yang tiba-tiba muncul di APBD tanpa melalui proses KUA-PPAS. Sebagai contoh, pada tahun
2014, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan Pemerintah) telah menemukan anggaran hantu yang
mencapai 3,518 triliun rupiah dengan 252 kegiatan fiktif di departemen infrastruktur publik dan 210,80
miliar rupiah dengan 58 kegiatan fiktif di departemen kesehatan di APBD Provinsi DKI Jakarta (Kompas, 6
November 2014). Di Kota Malang, seperti yang dilaporkan oleh Malang Post (pada 19 Agustus 2013), ada
40 miliar rupiah anggaran hantu di APBD Kota Malang pada 2013; sedangkan pada 10 Juli 2015, Radar
Malang melaporkan 2,7 miliar rupiah dalam APBD Kota Malang pada 2015. Fenomena anggaran hantu
dapat dikategorikan sebagai perilaku oportunistik dalam proses pembuatan APBD. Anggaran hantu dapat
dipahami sebagai anggaran yang tidak direncanakan, dan itu adalah hasil kompromi tersembunyi antara
eksekutif dan legislatif. Karena tidak direncanakan, mungkin anggarannya tidak terserap / dibelanjakan,
atau dengan kata lain itu menjadi SiLPA (Sisa Lebih Anggaran, Anggaran yang Tidak Terpakai). Tabel 2
menunjukkan gambaran SiLPA dalam APBD Kota Malang dalam lima tahun terakhir.

(tabel)

Kesimpulan

Makalah ini menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat antara eksekutif dan legislatif dalam proses
pembuatan APBD di Indonesia. Hubungan ini adalah agen-utama di alam, di mana legislatif bertindak
sebagai pelaku yang mewakili orang secara keseluruhan sementara eksekutif sebagai agen mewakili
birokrasinya. Ini menunjukkan adanya inefisiensi dalam proses pembuatan APBD. Karena anggaran ini
tidak terencana dengan baik, anggaran ini akhirnya menjadi inefisiensi, dalam bentuk anggaran hantu,
yang dihasilkan dari perilaku oportunistik dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif.

Anggaran hantu (Anggaran siluman) didefinisikan sebagai anggaran yang tiba-tiba muncul dalam
anggaran pemerintah akhir (APBD akhir) tanpa melalui prosedur yang benar. Anggaran hantu dapat
dipahami sebagai anggaran yang tidak direncanakan, dan itu adalah hasil kompromi tersembunyi antara
legislatif dan eksekutif. Karena anggaran ini tidak direncanakan dengan baik, biasanya tidak dapat
dilaksanakan, dan kemudian menjadi anggaran yang tidak terpakai (SiLPA). Tulisan ini merekomendasikan
untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dalam proses pembuatan APBD.

Anda mungkin juga menyukai